TINJAUAN PUSTAKA
Lokasi Penyebaran Sapi Potong di Kabupaten Karo
Kecamatan Tigapanah merupakan salah satu daerah penyebaran populasi
ternak sapi potong yang cukup banyak di Kabupaten Karo. Selain itu Kecamatan
Tigapanah juga merupakan sentra perdagangan sapi potong di Kabupaten Karo.
(Badan Pusat Statistik Kabupaten Karo, 2011).
Tabel 1. Populasi Ternak Sapi Potong di Kabupaten Karo dalam Kecamatan
No Kecamatan Luas
Sumber : di olah Badan Pusat Statistik Kabupaten Karo (2011)
Dari tabel diatas dapat dilihat jumlah populasi ternak sapi potong di
Kecamatan Tigapanah berada pada peringkat keempat terbanyak setelah
Untuk lebih mengetahui jumlah populasi ternak sapi potong secara rinci
dalam di Kecamatan Tigapanah dapat dilihat pada Tabel 2 berikut ini.
Tabel 2. Populasi Ternak Sapi Potong di Kecamatan Tigapanah
No Desa Luas Sumber : diolah dari Data Badan Pusat Statistik Kabupaten Karo (2011)
Dari tabel diatas dapat dilihat bahwa jumlah kepadatan ternak sapi potong
yang paling besar terdapat di desa Lau Riman dan Kuta Mbelin, populasi ternak
sapi potong yang sedang terdapat di desa Tigapanah dan Manuk Mulia serta desa
Profil Peternak Umur
Menurut Chamdi (2003), semakin muda usia peternak umumnya rasa
keingintahuan terhadap sesuatu semakin tinggi dan minat untuk mengadopsi
terhadap introduksi teknologi semakin tinggi. Soekartawi (2002), menyatakan
bahwa para petani yang berusia lanjut biasanya fanatik terhadap tradisi dan sulit
untuk diberikan pengertian-pengertian yang dapat mengubah cara berfikir, cara
kerja dan cara hidupnya. Petani ini bersikap apatis terhadap adanya teknologi
baru.
Umur seseorang menentukan prestasi kerja atau kinerja orang tersebut.
Semakin berat pekerjaan secara fisik maka semakin turun pula prestasinya.
Namun, dalam hal tanggung jawab semakin tua umur tenaga kerja tidak akan
berpengaruh karena justru semakin berpengalaman (Suratiyah, 2009).
Menurut penelitian yang dilakukan oleh Siregar (2009), variabel umur
tidak berpengaruh nyata terhadap pendapatan peternak sapi potong, karena
disebabkan karena kriteria umur peternak tidak mendorong peternak dalam
mengembangkan usaha ternak sapi potong di Kecamatan Stabat Kabupaten
Langkat. Faktor umur biasanya lebih diindetikkan dengan produktivitas kerja dan
jika seseorang masih tergolong usia produktif ada kecederungan produktivitasnya
juga tinggi.
Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan oleh Purba (2011), dapat
diketahui bahwa umur memiliki pengaruh negatif terhadap pendapatan peternak.
Tingkat Pendidikan
Menurut Soekartawi et al. (1995), menyatakan bahwa tingkat pendidikan
peternak cenderung mempengaruhi cara berpikir dan tingkat penerimaan mereka
terhadap inovasi dan teknologi baru. Selain itu, Soekartawi (1996) menyatakan
bahwa seseorang yang memiliki pengetahuan dan keterampilan mampu
memanfaatkan potensi di dalam maupun di luar dirinya dengan lebih baik. Orang
itu akan menemukan pekerjaan yang paling tidak setara dengan pendidikannya.
Dengan adanya tingkat pendidikan yang rendah menyebabkan seseorang
kurang mempunyai keterampilan tertentu yang diperlukan dalam kehidupannya.
Keterbatasan keterampilan/pendidikan yang dimiliki menyebabkan keterbatasan
kemampuan untuk masuk dalam dunia kerja (Ahmadi, 2003).
Menurut Mosher (1991), semakin tinggi tingkat pengetahuan dan
keterampilan mengakibatkan petani peternak lebih dinamis, aktif dan terbuka
dalam mengadopsi suatu teknologi. Kondisi ini penting mengingat saat ini
diperlukan pengetahuan dan pemahaman secara baik tentang perkembangan usaha
yang semakin cepat baik teknologi maupun aspek pemasaran.
Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Siregar (2009), dapat
diketahui bahwa variabel pendidikan tidak berpengaruh nyata terhadap
pendapatan peternak sapi potong. Peternak yang tingkat pendidikannya lebih
tinggi seharusnya dapat meningkatkan lebih besar pendapatan peternak umum
kenyataan di lapangan berbeda seperti yang telah diuraikan diatas karena pada
dasarnya peternak yang ada di daerah penelitian masih tergolong berpendidikan
Pengalaman Beternak
Faktor penghambat berkembangnya peternakan pada suatu daerah tersebut
dapat berasal dari faktor-faktor topografi, iklim, keadaan sosial, tersedianya
bahan-bahan makanan rerumputan atau penguat, disamping itu faktor pengalaman
yang dimiliki peternak masyarakat sangat menentukan pula perkembangan
peternakan di daerah tersebut (Abidin danSimanjuntak, 1997).
Pengalaman seseorang dalam berusahatani berpengaruh terhadap
penerimaan inovasi dari luar. Dalam melakukan penelitian, lamanya pengalaman
diukur mulai sejak kapan peternak itu aktif secara mandiri mengusahakan
usahataninya tersebut sampai diadakan penelitian
(Fauzia danTampubolon, 1991).
Variabel pengalaman beternak tidak berpengaruh nyata terhadap
pendapatan ternak sapi potong. Umumnya pengalaman beternak diperoleh dari
orang tuanya secara turun-temurun. Dengan pengalaman beternak yag cukup lama
memberikan indikasi bahwa pengetahuan dan keterampilan peternak terhadap
manajemen pemeliharaan ternak mempunyai kemampuan yang lebih baik. Namun
di lapangan tidak diperoleh pengaruh seperti yang diharapkan. Hal ini dapat
disebabkan banyak peternak yang memiliki pengalaman yang memadai namun
masih mengelolah usaha tersebut dengan kebiasaan-kebiasaaan lama yang sama
dengan sewaktu mereka mengawali usahanya sampai sekarang (Siregar, 2009).
Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan oleh Purba (2011), diketahui
bahwa pengalaman berpengaruh negatif terhadap pendapatan peternak di
Kecamatan Perbaungan Kabupaten Serdang Bedagai. Lama peternak beternak
Pendapatan
Analisis usaha ternak sapi pendekatan yang sangat penting bagi suatu
usaha ternak komersil. Melalui hasil analisis ini dapat dicari langkah pemecahan
berbagai kendala yang dihadapi. Analisis usaha peternakan bertujuan mencari titik
tolak untuk memperbaiki hasil dari usaha ternak tersebut. Hasil analisis ini dapat
digunakan untuk merencanakan perluasan usaha baik menambah cabang usaha
atau memperbesar skala usaha. Hermanto (1996), menyatakan bahwa analisis
usaha dimaksudkan untuk mengetahui kinerja usaha secara menyeluruh. Ada tiga
laporan utama yang berkaitan dengan analisis usaha yaitu: (1) cash flow (arus
biaya dan penerimaan), (2) neraca (balance sheet), (3) pertelaan pendapatan
(income statement).
Menurut Suharno dan Nazaruddin (1994), gambaran mengenai usaha
ternak yang memiliki prospek cerah dapat dilihat dari analisis usahanya. Analisis
usaha juga dapat memberikan informasi lengkap tentang modal yang diperlukan,
penggunaan modal, besar biaya untuk bibit, pakan dan kandang, lamanya modal
akan kembali dan tingkat keuntungan yang diperoleh.
Usaha peternakan sapi 99% merupakan usaha subsistem pada usaha
pertanian dengan tingkat kepemilikan ternak rata-rata dua hingga tiga ekor tiap
keluarga dan tipologi usahanya adalah sebagai usaha sambilan. Pendapatan dari
usaha peternakan sapi belum merupakan sumber pendapatan utama petani tetapi
hanya merupakan penambah pendapatan keluarga. Proporsi pendapatan ternak
sapi potong adalah 21% terhadap pendapatan total (Gunawan et al.,1998).
Analisis pendapatan berfungsi untuk mengukur berhasil tidaknya suatu
itu masih dapat ditingkatkan atau tidak. Kegiatan usaha dikatakan berhasil apabila
pendapatannya memenuhi syarat cukup untuk memenuhi semua sarana produksi.
Analisis usaha tersebut merupakan keterangan yang rinci tentang penerimaan dan
pengeluaran selama jangka waktu tertentu (Aritonang, 1993).
Usaha ternak sapi telah memberi kontribusi dalam peningkatan pendapatan
keluarga peternak. Soekartawi (1995), menyatakan bahwa peningkatan
pendapatan keluarga peternak sapi tidak dapat dilepaskan dari cara mereka
menjalankan dan mengelola usaha ternaknya yang sangat dipengaruhi oleh
berbagai faktor sosial dan faktor ekonomi.
Beberapa faktor produksi yang perlu diperhatikan dan diperkirakan
berpengaruh terhadap pendapatan dalam pemeliharaan sapi jantan adalah jumlah
pemilikikan sapi, lama pemeliharaan, biaya pakan, biaya obat-obatan dan tenaga
kerja. Identifikasi faktor-faktor produksi dengan menggunakan analisis regresi
memberikan suatu gambaran bahwa lama pemeliharaan dan biaya pakan
berpengaruh negatif terhadap pendapatan petani peternak. Artinya, peningkatan
lama pemeliharaan dan biaya pakan menyebabkan penurunan pendapatan. Faktor
jumlah pemilikan ternak, biaya obat-obatan dan tenaga kerja berpengaruh positif
terhadap pendapatan peternak. Oleh karena itu, peningkatan jumlah pemilikan
ternak akan meningkatkan pendapatan. Dibidang peternakan, proyeksi produksi
lebih banyak ditentukan oleh jumlah pemilikan ternak. Jumlah pemilikan sapi di
peternak sulit ditingkatkan karena keterbatasan kemampuan modal yang dimiliki
peternak. Perawatan sapi yang baik melalui peningkatan pelayanan obat-obatan
dan waktu untuk merawat sapi juga berpengaruh terhadap meningkatnya
Penerimaan
Penerimaan merupakan hasil perkalian dari produksi total dengan harga
peroleh satuan. Produksi total adalah hasil utama dan sampingan, sedangkan
harga adalah harga pada tingkat usahatani atau harga jual petani
(Soeharjo danPatong, 1973).
Menurut Hadisapoetro (1973), untuk memperhitungkan biaya dan
pendapatan dalam usahatani diperlukan beberapa pengertian. Pendapatan
kotor atau penerimaan adalah seluruh pendapatan yang diperoleh dari
usahatani selama satu periode diperhitungkan dari hasil penjualan dan penaksiran
kembali (Rp.).
Penerimaan usahatani dapat dibedakan menjadi dua, yaitu penerimaan
bersih usahatani dan penerimaan kotor usahatani. Penerimaan bersih usahatani
adalah merupakan selisih antara total penerimaan usahatani dengan pengeluaran
total usahatani. Pengeluaran total usahatani adalah nilai semua masukan yang
habis terpakai dalam proses produksi, tidak termasuk tenaga kerja dalam keluarga
petani. Penerimaan kotor usahatani adalah nilai total produksi usahatani dalam
jangka waktu tertentu baik yang dijual maupun tidak dijual
(Soekartawi et al., 1986).
Pengeluaran (Biaya Produksi)
Biaya adalah nilai dari semua pengorbanan ekonomis yang diperlukan,
yang tidak dapat dihindarkan, dapat diperkirakan dan dapat di ukur untuk
menghasilkan suatu produk (Cyrilla dan Ismail, 1998).
Berdasarkan volume kegiatan, biaya dibedakan atas biaya tetap dan biaya
produksi yang jumlah totalnya tetap pada volume kegiatan tertentu
(Widjaja, 1999). Sedangkan biaya variabel adalah biaya yang digunakan untuk
membeli atau menyediakan bahan baku yang habis dalam sekali produksi
(Suratiyah, 2009).
Menurut Prawirokusumo (1990), ada beberapa biaya produksi diantaranya
adalah biaya tetap dan biaya variabel. Yang termasuk biaya tetap dalam usaha
peternakan antara lain : depresiasi, bunga modal, pajak, asuransi dan reparasi
rutin. Sedangkan yang termasuk dalam biaya variabel adalah : biaya pakan, biaya
kesehatan, pembelian ternak, upah tenaga kerja, obat-obatan, bahan bakar dan
lain-lainnya.
Efesiensi Pemasaran
Suatu usaha peternakan adalah proses produksi sehingga rendahnya
tingkat pendapatan peternak mungkin disebabkan oleh penggunaan faktor-faktor
produksi yang tidak efisien. Ini merupakan ukuran dalam mencapai produksi
tertentu dibandingkan dengan faktor produksi atau biaya minimum. Efisiensi
merupakan ukuran dalam mencapai produksi yang didapat dari suatu kesatuan
biaya, kemudian ratio input-output yang juga dapat dijadikan dasar dalam
menentukan nilai efisiensi. Menurut Gray et al. (1996) dalam mengukur efisiensi
usaha perlu diukur juga tingkat efisiensi pemasaran hasil baik dilakukan oleh
petani atau oleh pihak lain. Hal ini penting untuk menunjukan bahwa dalam
memproduksi komoditas pertanian faktor pemasaran merupakan faktor yang tidak
boleh diabaikan.
Sistem pemasaran akan efesien apabila dapat memberikan suatu balas jasa
sebagai produsen, pedagang perantara dan konsumen akhir (Azzaino, 1981).
Efisiensi pemasaran didefenisikan sebagai optimasi dari nisbah antara output
dengan input. Suatu perubahan yang dapat mengurangi biaya input dalam
melakukan kegiatan pemasaran tanpa mengurangi kepuasan konsumen dari
output, yang dapat berupa barang dan jasa, menunjukkan suatu perbaikan dari
tingkat efisiensi pemasaran (Feed, 1972).
Saluran Pemasaran
Pemasaran adalah suatu sistem keseluruhan dari kegiatan-kegiatan usaha/
aktivitas dengan tujuan untuk menyampaikan produk barang dan atau jasa dari
produsen (penghasil) ke konsumen (pemakai) akhir dan segala upaya yang telah
dilakukan untuk memperlancar kegiatan arus barang dan jasa tersebut untuk
mewujudkanapermintaanayangaefektifa(Kotler,1996).
Saluran pemasaran kadang-kadang orang menyebutnya juga dengan
saluran distribusi atau saluran perdagangan. Soekartawi (1993) mengatakan
bahwa saluran pemasaran adalah saluran atau jalur yang digunakan baik
secara langsung maupun tidak langsung untuk memudahkan pemilihan
suatu produk itu bergerak dari produsen sampai berada di tangan konsumen.
Hanafiah dan Saefudin (1986) mengatakan bahwa saluran pemasaran merupakan
badan-badan atau lembaga yang menyelenggarakan kegiatan atau fungsi
pemasaran dengan cara menggerakkan aliran barang dagangan tersebut atau hanya
bertindak sebagai agen dari pemilik barang. Urutan dari badan ini membentuk
rangkaian yang disebut dengan rantai pemasaran.
Penetapan saluran pemasaran oleh produsen sangatlah penting sebab dapat
sebagainya. Oleh karena itu setiap produsen atau perusahaan hendaknya dapat
menetapkan saluran pemasaran yang paling tepat. Karena pertambahan jumlah
dan proporsi biaya pemasaran terhadap total biaya, maka sangat diperlukan
strategi dan kebijakan pengendalian atas biaya pemasaran yang tepat. Dalam
strategi dan kebijakan pengendalian biaya pemasaran diperlukan analisis biaya
pemasaran yang memadai (Fanani, 2000).
Pemasaran dari hasil penggemukan sapi kereman ini biasanya ada dua
bentuk, yaitu penjualan sapi hidup setelah selesai pemeliharaan dan penjulan
daging setelah di lakukan pemotongan. Kebanyakan peternak tradisional menjual
sapi hidup hasil kereman saja di pasar hewan maupun pedagang sapi. Pada sapi
kereman sistem intensif keuntungan diperoleh dari menjual langsung sapi ke
perusahaan daging maupun di potong sendiri dan menjual karkasnya. Dalam hal
yang terakhir ini keuntungan yang diperoleh dapat lebih besar lagi
(Darmono, 1993).
Biaya Pemasaran
Menurut Fanani (2000) analisis pemasaran merupakan aktivitas pemasaran
sangat penting untuk menunjang kegiatan pemasaran dalam upaya mencapai
tujuannya, untuk itu sampai tingkat tertentu hal itu diimbangi pula dengan
besarnya biaya pemasaran yang harus dikeluarkan oleh perusahaan. Pengertian
analisa pemasaran dibedakan menjadi dua kategori yaitu : “Dalam arti sempit,
analisa pemasaran diartikan sebagai biaya penjualan, yaitu biaya-biaya yang
dikeluarkan untuk menjual produk ke pasar. Dalam arti luas biaya pemasaran
simpan dalam gudang sampai dengan produk tersebut diubah kembali dalam
bentuk uang tunai” ( Mulyadi, 1992).
Untuk indikator efesiensi pemasaran relatif digunakan analisis margin dan
korelasi harga yang mencerminkan tingkat keterpaduan pasar. Margin pemasaran
terdiri dari biaya pemasaran dan keuntungan biaya pemasaran. Biaya pemasaran
akan semakin besar apabila terdapat unsur-unsur biaya yang sifatnya
non-kompetitif pada sistem pemasaran sehingga tidak efesien
(Limbong dan Sitorus, 1987).
Berbagai laporan mengemukakan perbedaan harga disebabkan oleh variasi
saluran dan margin pemasaran ternak di Indonesia baik dari jumlah pelaku
maupun distribusi biaya dan margin yang diperoleh pelaku pasar.
Kariyasa dan Faisal (2004) menyatakan bahwa penyebabnya adalah biaya
pemasaran akibat pemberlakuan berbagai peraturan daerah seiring dengan
pelaksanaan otonomi daerah dan kurangnya fasilitas pemasaran. Disamping itu
berbagai laporan mengemukakan bahwa hingga saat ini diperoleh kesan
peranan blantik sangat dominan dalam menentukan harga, terlebih dalam
kondisi pasar akhir-akhir ini dimana lebih banyak blantik dari pada
ternak (Rusastra et al., 2006). Pendapat tersebut berlawanan dengan laporan
Kariyasa dan Faisal (2004) dimana biaya pemasaran lebih banyak ditanggung oleh
blantik sehingga ia memperoleh manfaat paling sedikit dari aktivitas pemasaran
sementara margin/keuntungan lebih banyak dinikmati oleh pejagal. Pendapat yang
sama dikemukakan oleh Marak Ali et al. (2004) bahwa peranan dan keberadaan
harga yang lebih dinamis namun keuntungan yang diperoleh hanya sepertiga
dibanding pejagal.
Masalah pemasaran komoditi pertanian pada dasarnya adalah bagaimana
menyalurkan produk-produk pertanian dari produsen kepada konsumen
dengan harga yang wajar dan biaya pemasaran minimal. Menurut
Downey dan Erickson (1992) bahwa pemasaran hasil pertanian ditinjau dari
bagian harga yang diterima oleh petani produsen dikatakan efisien apabila harga
METODE PENELITIAN
Lokasi dan Waktu Penelitian
Penelitian ini dilaksanakan di Desa Lau Riman, Desa Kuta Mbelin, Desa
Tigapanah, Desa Manuk Mulia, Desa Seberaya dan Desa Bunuraya Kecamatan
Tigapanah Kabupaten Karo Sumatera Utara. Penelitian dilaksanakan pada bulan
Juli sampai September 2012.
Penentuan Responden Penelitian
Analisis Pendapatan
Persyaratan responden adalah para peternak di Kecamatan Tigapanah
Kabupaten Karo. Metode penelitian yang digunakan adalah metode survey dan
wawancara yaitu pengumpulan informasi dari responden dengan alat bantu
kuesioner. Metode penarikan responden yang digunakan adalah sebagai berikut: 1. Pada tahap pertama pemilihan 6 buah desa dari beberapa desa yang ada di
Kecamatan Tigapanah dengan metode penarikan responden secara
Proporsional Stratified Random Sampling (Soekartawi, 1995), yaitu desa yang
kepadatan ternak sapinya tinggi (desa Lau Riman dan Kuta Mbelin) , sedang
(desa Tigapanah dan Manuk Mulia) dan jarang (desa Seberaya dan Bunuraya),
dimana penentuan kepadatan ternak sapi yang tinggi, sedang dan jarang
tersebut ditentukan dengan melihat data dari Badan Pusat Statistik Kabupaten
Karo dalam angka 2011.
2. Pada tahap kedua pemilihan responden secara acak sederhana, diambil
menyatakan bahwa untuk penelitian yang akan menggunakan data statistik
ukuran sampel paling kecil 30% sudah dapat mewakili populasi.
Analisis Efisiensi Pemasaran
Metode responden yang digunakan adalah metode survei dengan unit
responden adalah pelaku pemasaran ternak sapi potong yaitu peternak,
pengumpul,rumah potong,pedagang besar, pengecer daging dan konsumen akhir.
Pengumpulan Data
Data yang diperoleh dalam penelitian ini terdiri dari data primer dan data
sekunder
1. Data primer diperoleh langsung dari monitoring responden terhadap kegiatan
usaha ternak sapi potong melalui wawancara dan pengisian daftar kuesioner.
2. Data sekunder diperoleh dari berbagai instansi yang terkait seperti Kantor
Badan Pusat Statistik dan Dinas Peternakan Kabupaten Karo.
Data Pendapatan
Data yang diperoleh dari hasil wawancara responden di lapangan diolah
dan ditabulasi. Kemudian data dianalisis dengan menggunakan metode analisis
pendapatan dan diolah dengan model pendekatan ekonometri dan dijelaskan
secara metode deskriptif. Menurut Soekartawi (1995), untuk menghitung
pendapatan dari kegiatan beternak sapi, dapat dihitung dengan rumus:
Keterangan:
Pd : adalah total pendapatan atau keuntungan yang diperoleh peternak sapi
aapotong (rupiah/tahun).
TR : adalah total revenue atau penerimaan yang diperoleh peternak sapi
aapotong (rupiah/tahun)
TC : adalah biaya yang dikeluarkan peternak sapi potong (rupiah/tahun).
Jumlah pendapatan ditabulasi secara sederhana, yaitu dengan menghitung
pendapatan peternak pada usaha sapi potong terhadap pendapatan keluarga di
daerah penelitian.
Berdasarkan hasil yang telah diperoleh, maka untuk melihat faktor-faktor
yang mempengaruhi pendapatan dapat dilihat dengan menggunakan Model
Pendekatan Teknik Ekonometri yang menggunakan analisis regresi linear
berganda dengan alat bantu Software SPSS 16 (Statistical Package for Sosial
Sciences). Menurut Djalal dan Usman (2002), model pendugaan yang digunakan:
Ŷ
= a + b1X1 + b2X2 + b3X3 + µ
Keterangan:
Ŷ : adalah pendapatan peternak (Y : topi) yang dipengaruhi beberapa faktor
iadalam memelihara ternak sapi potong a : adalah koefisien intercept (konstanta) b1b2b3: adalah koefisien regresi
X1 : adalah tingkat pendidikan (tahun) X2 : adalah umur peternak (tahun) X3 : adalah pengalaman peternak (tahun) µ : adalah variabel lain yang tidak diteliti
Variabel-variabel pada hipotesis diuji secara serempak dan parsial untuk
mengetahui apakah variabel tersebut mempunyai pengaruh dominan atau tidak.
Jika variabel tersebut berpengaruh secara serempak maka digunakan uji F yakni:
Keterangan :
r2
n = Jumlah responden = Koefisien determinasi
k = Derajat bebas pembilang n-k-1 = Derajat bebas penyebut
Kriteria uji:
F-hit ≤ F-tabel... H0 diterima (H1
F-hit > F-tabel... H
ditolak)
0 ditolak (H1 diterima)
Menurut Sudjana (2002), jika variabel berpengaruh secara parsial dapat
diuji dengan uji t yakni :
= Standart error estimates
i = Variabel bebas (i = 1,2,3)
Untuk mengetahui efisiensi pemasaran pada setiap lembaga pemasaran
yang terlibat digunakan rumus :
EP = Biaya pemasaran x 100%
Nilai produk yang dipasarkan
Jika EP > 30% berarti tidak efisien
Jika EP < 30% berarti efisien
Efisiensi pemasaran adalah perbandingan antara biaya pemasaran dengan
total nilai penjualan sapi potong yang dinyatakan dalam bentuk persen. Biaya
pemasaran adalah segala biaya yang dikeluarkan oleh lembaga dalam memasarkan
sapi potong. Nilai produk yang dipasarkan adalah harga akhir produk yang
dipasarkan kepada konsumen. Jalur pemasaran dapat dikatakan efesien bila selisih
harga dari petani dengan harga yang dibayar konsumen akhir lebih kecil dari 30%
(Gray et al., 1996).
Parameter Pengamatan
Analisis Pendapatan
a. Pendapatan peternak
1. Penerimaan adalah jumlah yang diterima peternak yang berasal dari
penjualan ternak maupun kotoran ternak (Rp).
2. Pengeluaran adalah semua biaya yang dikeluarkan peternak meliputi biaya
pakan, obat-obatan, listrik, kandang dan lain sebagainya.
3. Pendapatan adalah selisih penerimaan dengan pengeluaran selama
pemeliharaan ternak sapi potong (dalam kurun waktu tertentu misalnya 1
tahun)
b. Profil peternak
1. Umur peternak adalah umur peternak yang memelihara ternak sapi yang di
ukur berdasarkan usia kerja produktif yaitu 16-60 tahun.
2. Tingkat pendidikan adalah lamanya pendidikan yang ditempuh peternak
(tahun) baik formal (SD, SMP, SMA) maupu n informal.
3. Pengalaman beternak adalah lamanya peternak memelihara ternak sapi
Efesiensi Pemasaran
1. Peternak adalah orang yang beternak ataupun yang melakukan budidaya usaha
ternak sapi potong.
2. Pengumpul adalah orang yang mengumpulkan atau membeli sapi langsung dari
peternak yang ada di pedesaan dan akan menjual sapinya ke pasar hewan.
3. Bandar/pedagang besar adalah pedagang yang membeli sapi dari pengumpul
yang ada dipasar hewan dan membawa langsung ke rumah potong untuk
dipotong dan nantinya akan dijual ke pengecer daging sapi.
4. Pengecer daging adalah penjual daging sapi yang terdapat di pasar-pasar.
5. Konsumen akhir adalah orang yang membeli atau mengkonsumsi daging sapi