• Tidak ada hasil yang ditemukan

SEKOLAH 1 MAKALAH APASIA. docx

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "SEKOLAH 1 MAKALAH APASIA. docx"

Copied!
30
0
0

Teks penuh

(1)

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Bahasa merupakan sesuatu yang paling kompleks dari perilaku yang ditunjukkan oleh manusia, karena bahasa melibatkan memori, belajar, keterampilan penerimaan pesan, proses, danekspresi. Di dalam kehidupan sehari-hari, individu selalu melakukan interaksi dengan orang lain. Interaksi tersebut menggunakan kemampuan kita dalam bahasa. Berbicara dengan orang lain, memperoleh kata-kata yang tepat untuk mengungkapkan sesuatu, memahamiapa yang orang lain katakan, serta dalam membaca, menulis dan melakukan isyaratpun termasuk dalam bagian dari penggunaan bahasa.

(2)

B. Rumusan Masalah 1. Apa definisi afasia? 2. Apa penyebab dari afasia?

3. Bagaimana intervensi atau terapi untuk afasia?

(3)

PEMBAHASAN

A. Pengertian Afasia

(4)

Penggunaan bahasa tidak lagi berfungsi dengan baik (yang dikarenakan oleh cedera otak), maka kondisi tersebut dinamakan aphasia. Secara harfiah aphasia berarti, A (tidak) dan phasia (bicara) berarti seseorang tidak dapat lagi mengungkapkan apa yang dia mau. Berikut adalah beberapa pengertian menurut para ahli :

Menurut Wood (1971) afasia merupakan “parsial or complete loss of ability to speak or to comprehend the spoken word due to injury, disease. Or maldevelopment of brain.” (Kehilangan kemampuan untuk bicara atau untuk memahami sebagaan atau keseluruhan dari yang diucapkan oleh orang lain, yang diakibatkan karena adanya gangguan pada otak). Menurut Wiig dan Semel (1984) bahwa “Aphasia as involving those who have acquired a berkaitan dengan disorder of brain, injury of the brain.

Afasia berbeda dari satu orang dengan yang lain. Tingkat keparahan dan luasnya cakupan afasia tergantung dari lokasi dan keparahan cedera otak, kemampuan berbahasa sebelum afasia, dan kepribadian seseorang. Beberapa penderita afasia dapat mengerti bahasa dengan baik, tetapi mengalami kesulitan untuk mendapatkan kata-kata yang tepat atau membuat kalimat-kalimat. Penderita yang lain dapat berbicara panjang lebar, tetapi apa yang diucapkan susah atau tidak dapat dimengerti oleh lawan bicaranya. Penderita seperti ini sering mengalami masalah besar dalam memahami bahasa.

(5)

gejala-gejala suatu individu yang aphasia dari pada dengan hanya mendefinisikannya atau tentang esensi afasianya. Menurut Eisnson (1971) mengemukakan hasil observasi dari individu yang menderita aphasia:

1. Ada beberapa tingkatan dalam kesulitannya, seseorang dikatakan afasia yaitu menunjukkkan ketidak mampuan untuk menerima rangkaian bahasa lisan sebagai out put. Gangguan ini sering disebut sebagai gangguan span memory atau span attention. Gangguan ini (serangkaian output dimanifestasikan dalam gangguan memformulasikan secara sintaksis).

2. Kesulitan afasia secara umum diekspresikan dalam kurangnya kemampuan dalam memformulasikan bahasa yang dapat dipahami atau memproduksi dalam jenis dan cara yang konsisten dengan situasi (dikaitkan dengan formulasi bahasa). Pada umumnya, kurang mampu untuk merespon yang lebih intelektual dan abstrak terhadap situasi yang terjadi.

B. Jenis-Jenis Afasia 1. Afasia Broca

Individu yang menderita Broca’s afasia memiliki kesulitan dalam berbicara walaupun ia mampu memahami suatu kalimat. Broca’s afasia dikenal juga dengan motor, expressive atau noninfluent afasia. Pasien ini berbicara lambat sekali dengan struktur kata yang sangat sederhana. Kata benda mampu disebutkan hanya ketika ia menyebutkan satu kata saja. Kata sambung, kata sifat, dan lainnya jarang sekali digunakan.

2. Transkortikal afasia

(6)

kata-kata walaupun mereka dapat mengulangnya. Afasia ini diduga diakibatkan oleh hilangnya area korteks luar bahasa tradisional.

3. Afasia Konduksi

Afasia konduksi adalah sebuah paradoxical deficit dimana orang dengan gangguan ini dapat bicara dengan mudah, mengetahui nama objek, dan memahami pembicaraan, tapi mereka tidak dapat mengulang kata-kata. Penejelasan tentang masalah ini adalah terdapat hubungan yang buruk antara perceptual word image dalam pariental-temporal cortex dan sistem motorik yang memproduksi kata-kata.

(7)

Afasia Wernicke, atau afasia sensoris, adalah ketidakmampuan untuk mengerti dari suatu kata atau menyuarakannya menjadi ucapan yang utuh. Luria mengatakan bahwa afasia ini memiliki tiga karakteristik atau ciri. Pertama, untuk mendengar dan membuat suatu suara, salah satunya harus bisa menjadi suara atau bunyi. Sebagai contohnya, dalam bahasa Jepang bunyi dari huruf “L” dan “R” tidak berbeda. Orang Jepang yang mendengar bahasa Inggris tidak dapat membedakan bunyi dari kedua huruf tersebut karena tidak ada cetakan huruf tersebut di dalam otak mereka. Meskipun perbedaan antara kedua huruf tersebut sangatlah jelas bagi orang yang berbicara dalam bahasa Inggris, tetapi tidak untuk orang Jepang. Contoh tersebutlah yang menjadi masalah dalam bahasa orang yang mengidap penyakit afasia wernicke, ketidakmampuan untuk membedakan karakteristik fonem yang signifikan dan menggolongkan suara kedalam system fonem yang telah diketahui.

Karakteristik yang kedua ialah terdapat kerusakan dalam berbicara. Orang yang menderita mungkin dapat berbicara dan mungkin berbicara banyak, namun ia merasa bingung dalam karakteristik fonetik, yang sering disebut sebagai word salad. Karakteristik yang ketiga ialah kerusakan dalam menulis. Seseorang yang tidak dapat mencerna karakteristik fonetik tidak bisa diharapkan untuk bisa menulis, karena ia tidak mengetahui bentuk huruf yang dapat disusun menjadi suatu kata.

5. Afasia tuli kata murni

(8)

mereka tidak dapat memahami apa yang dikatakan. Mereka dapat memahami apa yang orang lain katakan dengan membaca bibir mereka. Mereka juga dapat membaca dan menulis dan mereka kadang-kadang meminta orang-orang untuk berkomunikasi dengan mereka secara tertulis. Tuli kata murni bukanlah ketidakmampuan untuk mamahami arti kata, jika seperti itu, orang-orang dengan gangguan ini tidak mampu membaca bibir orang atau membaca kata-kata yang ditulis di atas kertas.

C. Gejala Afasia

1. Secara umum, tiga penurunan fungsi bicara disebabkan oleh lesi di dalam area Broca, yaitu :

a. Agramatisme

Pasien kesulitan menggunakan kontruksi gramatikal. Orang dengan aphasia Broca jarang menggunakan kata-kata fungsi. Bahkan mereka jarang menggunakan tanda gramatikal dan sering menggunakan –ing, karena khiran ini mengubah kata kerja menjadi kata benda.

b. Anomia

Mengacu pada kesulitan untuk menemukan kata, karena penderita aphasia menggunakan kata yang tidak tepat. Biasanya penderita memperlihatkan ekspresi wajah mereka dan sering menggunakan “eh” hal ini terlihat jelas bahwa mereka berusaa untuk mencari kata-kata c. Kesulitan dengan artikulasi

Salah mengucapkan kata-kata dan sering mengubah urutan suara, sebagai contoh “ lipstick” bisa diucapkan “likstip”. Sebenarnya penderita tahu bahwa mereka keliru dalam pengucapan dan mereka berusaha untuk memperbaikinya.

2. Gejala afasia wernick

(9)

dan tidak nampak mencari kata-kata. Penderita memperrhankan melodi, dengan suara naik dan turun secara nomal. Ketika anda mendengarkan penderita afasia Wernick berbicara, tampaknya terdengar gramatikal (sesuai tata bahasa). Penderitanya menggunakan beberapa kata konten, tapi kata-kata yang diangkai secara bersama-sama tidak masuk akal. Secara ekstrem, ucapannya semakin memburuk dan campur aduk tidak ada artinya.

(10)

masih mengikuti kebiasaan atau konvensi sosial, bergiliran dalam percakapan dengan pemeriksa, meskipun mereka tidak memahami ucapan pemeriksa dan jawaban mereka kurang masuk akal. Mereka tetap peka terhadap ekspresi wajah orang lain, dan nada suara serta mulai berbicara ketika orang tersebut mengajukan pertanyaan dan jeda untuk jawaban.

Eisenson (1971) menyarankan bahwa agar kesepakatan terjadi antara para ahli dengan cara lebih baik mengindentifikasi gejala-gejala suatu individu yang afasia dari pada dengan hanya mendefinisikannya atau tentang esensi aphasianya. Menurut Eisnson (1971) mengemukakan hasil observasi dari individu yang menderita afasia:

1. Ada beberapa tingkatan dalam kesulitannya, seseorang dikatakan aphasia yaitu menunjukkkan ketidak mampuan untuk menerima rangkaian bahasa lisan sebagai out put. Gangguan ini sering disebut sebagai gangguan span memory atau span attention. Gangguan ini (serangkaian output dimanifestasikan dalam gangguan memformulasikan secara sintaksis).

2. Kesulitan afasia secara umum diekspresikan dalam kurangnya kemampuan dalam memformulasikan bahasa yang dapat dipahami atau memproduksi dalam jenis dan cara yang konsisten dengan situasi (dikaitkan dengan formulasi bahasa). Pada umumnya, kurang mampu untuk merespon yang lebih intelektual dan abstrak terhadap situasi yang terjadi.

D. PENYEBAB AFASIA 1. Afasia Wernick

(11)

Wernick menyebutkan bahwa wilayah yang sekarang meyandang namanya adalah lokasi memori urutan suarayang merupakan kata-kata. Korteks asosiasi auditoris dari gyrus temporal superior mengenali bunyi kata, sama halnya dengan korteks asosiasi visual dari gyrus temporal inverior mengenali ketika melihat objek. Lesi yang menyebabkan afasia jenis Wernicke terletak di daerah bahasa bagian posterior. Semakin berat defek dalam komprehensi auditif, semakin besar kemungkinan lesi mencakup bagian posterior dari girus temporal superior. Bila pemahaman kata tunggal terpelihara, namun kata kompleks terganggu, lesi cenderung mengenai daerah lobus parietal, ketimbang lobus temporal superior. Afasia jenis Wernicke dapat juga dijumpai pada lesi subkortikal yang merusak isthmus temporal memblokir signal aferen inferior ke korteks temporal.

2. Tuli kata murni

Kerusakan pada lobus temporal sebelah kiri dapat menyebabkan gangguan pengenalan kata yang berhubungan dengan pendengaran, yang tidak terkontaminasi oleh masalah lain. Sebagian besar penelitian percaya bahwa belahan kiri terutama terlibat dalam penilaian waktu, komponen bunyi kompleks yang berubah dengan cepat, sedangkan belahan kakan terutama terlibat dalam menilai komponen yang berubah lebih lambat, termasuk melodi. Bukti menunjukkan bahwa aspek paling penting dari bunyi ucapan adalah waktu, bukan nada.

(12)

3. Afasia Broca

Kerusakan daerah inferior lobus frontal kiri menyebabkan afasia Broca. Bagian belakang dari belahan otak memiliki sesuatu untuk dikatakan, tetapi kerusakan pada lobus frontal membuat pasien mengalami kesulitan untuk mengucapkan pikiran tersebut. Daerah yang mengalami lesi pada afasia Broca ini terdapat pada korteks frontal arah kepala menuju dasar korteks motor primer (area Broca).

4. Afasia konduksi

Afasia ini disebabkan oleh adanya lesi pada materi putih di bawah lobus parietal superior menuju lateral (fasikulus arkuota).

5. Afasia Anomik

Afasia ini disebabkan oleh adanya lesi pada bagian parietal dan lobus temporal. Banyak tempat lesi di hemisfer dominan yang dapat menyebabkan afasia anomik, dengan demikian nilai lokalisasi jenis afasia ini terbatas. Anomia dapat demikian ringannya sehingga hampir tidak terdeteksi pada percakapan biasa atau dapat pula demikian beratnya sehingga keluaran spontan tidak lancar dan isinya kosong. Prognosis untuk penyembuhan bergantung kepada beratnya defek inisial. Karena output bahasa relatif terpelihara dan komprehensi lumayan utuh, pasien demikian dapat menyesuaikan diri dengan lebih baik daripada jenis afasia lain yang lebih berat.

(13)

6. Afasia Sensoris Transkortikal

Adanya lesi pada area bahasa posterior. Afasia transkortikal disebabkan oleh lesi yang luas, berupa infark berbentuk bulan sabit, di dalam zona perbatasan antara pembuluh darah serebral mayor (misalnya di lobus frontal antara daerah arteri serebri anterior dan media). Afasia transkortikal motorik terlihat pada lesi di perbatasan anterior yang menyerupai huruf C terbalik. Lesi ini tidak mengenai atau tidak melibatkan korteks temporal superior dan frontal inferior (area 22 dan 44 dan lingkungan sekitar) dan korteks peri sylvian parietal. Korteks peri sylvian yang utuh ini dibutuhkan untuk kemampuan mengulang yang baik.

Penyebab yang paling sering dari afasia transkortikal ialah:

1. Anoksia sekunder terhadap sirkulasi darah yang menurun, seperti yang dijumpai pada henti-jantung (cardiac arrest).

2. Oklusi atau stenosis berat arteri karotis.

3. Anoksia oleh keracunan karbon monoksida. 4. Demensia.

E. Diagnosa Afasia Diagnosa

(14)

Diagnosis merupakan hasil dari evaluasi dan itu mencerminkan temuan. Evaluasi disini berarti upaya yang dilakukan untuk menegakan atau mengetahui jenis penyakit yang diderita oleh seseorang atau masalah kesehatan yang dialami oleh masyarakat. Setelah dilakukan diagnosis dari suatu kondisi tertentu barulah tindakan prognosis dapatdilakukan.

Berikutini diagnosis untuk afasia

 Pengecualian dari masalah komunikasi lainnya

 Samping tempat tidur dan pengujian neuro psikologi

 Pencitraan otak

 interaksi verbal biasanya dapat mengidentifikasi afasia. Namun, dokter harus mencoba untuk membedakan afasia dari masalah komunikasi yang berasal dari dysarthria parah atau dari gangguan pendengaran, penglihatan (misalnya, ketika menilai membaca), atau kemampuan menulis bermotor.

Awalnya, Wernicke afasia mungkin keliru untuk delirium. Namun, Wernicke afasia adalah gangguan bahasa murni tanpa fitur lain dari delirium (misalnya, tingkat berfluktuasi kesadaran, halusinasi, kurangnyaperhatian).

Pengujian untuk mengidentifikasi defisit spesifik harus mencakup penilaian sebagai berikut:

Spontan ucapan: Pidato dinilai untuk kelancaran, jumlah kata yang

(15)

Penamaan: Pasien diminta untuk nama benda. Mereka yang mengalami kesulitan penamaan sering menggunakan perkataan panjang (misalnya, "apa yang Anda gunakan untuk memberitahu waktu" untuk "jam").

Pengulangan: Pasien diminta untuk mengulangi frasegramatikal kompleks (misalnya, "tidak ada jika, dan, atautapi-tapian").

Pemahaman: Pasien diminta untuk menunjuk ke objek disebut oleh dokter, melakukan satu langkah dan perintah tahapan, dan menjawab sederhana dan kompleksya-atau-tidak ada pertanyaan.

Membacadanmenulis: Pasien diminta untuk menulis spontan dan membaca keras-keras. Membaca pemahaman, ejaan, dan menulis.

Formal pengujian kognitif oleh neuro psikolog atau pidato dan terapis bahasa bisa mendetek sitingkat yang lebih halus dari disfungsi dan membantu dalam perencanaan perawatan dan menilai potensi untuk pemulihan. Berbagaites formal untuk mendiagnosis afasia (misalnya, Boston Diagnostic Aphasia Examination, Western Afasia Battery, Boston Penamaan Test, Token Test, Action Penamaan Test) yang tersedia.

Pencitraan otak (misalnya, CT, MRI, dengan atau tanpa protokolan giografi) diperlukan untuk mencirikan lesi (misalnya, infark, perdarahan, massa). Pemeriksaan lebih lanjut dilakukanuntuk menentuk anetiologi dari lesi (misalnya, langkah evaluasi ) seperti yang ditunjukkan.

F. Prognosis

(16)

pasien akan berkembang, dan apakah ada kemungkinan pemulihan. Istilah ini juga sering digunakan dalam laporan medis dari pandangan dokter pada suatu kasus, seperti prognosis penyakit kanker, patah kaki dan lain – lain.

Tujuan dari prognosis adalah untuk mengkomunikasikan prediksi dari kondisi pasien di masa datang, dengan penyakit yang telah dideritanya.

Fungsi dari prognosis ini adalah menentukan rencana terapi selanjutnya, sabagai bahan pertimbangan perawatan dan rehabilitasi.

Ada beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam membuat prognosa, seperti Sifat atau ciri – cirri gangguan yang dialami pasien, Fungsi apa yang paling tinggi tingkat aktivitasnya dan yang masih bisa berfungsi dengan baik dan masalah umum, misalnya jika terjadi pada usia awal. Biasanya pronosisnya lebih buruk, terutama untuk perkembangan selanjutnya. Sehingga kita harus memperhatikan adanya dukungan sosial yang mungkin akan diterima pasien dari lingkungan untuk membuatnya lebih baik dan bentukt indakan yang efektif serta tindakan yang pernah gagal dilakukan, penting untuk diperhatikan.

Sebuah prognosis tidak selalu berakibat fatal, tetapi hanya mengungkapkan apa yang paling mungkin terjadi di masa depan berdasarkan apa yang diketahui pada saat dilakukan pemeriksaan. Untuk membuat prognosis yang akurat ,sangat sulit. Terkadang diagnosis tidak akurat, terjadi baik karena hasil tes tidak akurat, atau karena salah tafsir informasi.Terkadang diagnosis yang tepat, tetapi prognosis tidak akurat. Kadang-kadang kedua diagnosis dan prognosis yang akurat.

(17)

Berikut ini prognosis untuk afasia

Pemulihan afasia dipengaruhi oleh:

 Sebab

 Ukuran dan lokasi lesi

 Tingkat penurunan bahasa

 Respon terhadap terapi

 Untuk tingkat yang lebih rendah, usia, pendidikan, dan kesehatan umum

pasien

Prognosis untuk hidup pada pasien dengan afasia tergantung pada penyebab afasia tersebut. Sebuah belahan glioblastoma meninggalkan mungkin terkait dengan harapan hidup yang sangat singkat, sedangkan stroke ringan mungkin memiliki prognosis yang sangat baik. Inia dalah patologi yang mendasari, bukan afasia sendiri, yang menentukan prognosis.

(18)

Kebanyakan pasien, bahkan yang tua, mengalami beberapa pemulihan dalam pasca stroke aphasia, dan beberapa sembuh sepenuhnya. Secara umum, pasien dengan fungsi bahasa reseptif diawetkan adalah kandidat yang lebih baik untuk rehabilitasi daripada orang-orang dengan gangguan pemahaman. Potensi untuk pemulihan fungsional afasia terutama ekspresif seperti afasia Broca setelah stroke sangat baik. Potensi pemulihan dari afasia Wernicke karena stroke tidak sebagus situ untuk Broca afasia, tetapi sebagian besar pasien ini menunjukkan beberapa pemulihan. Potensi untuk pemulihan afasia karena tumor diobati atau penyakit neuro degenerative miskin.

Prognosis untuk pasien untuk menjadi mandiri agak berbeda dari itu untuk pemulihan bahasa. Pasien mungkin pulih fungsional dan mampu hidup mandiri meskipun memiliki afasia bertahan, selama mereka tidak memiliki deficit penyertalainnya seperti kemampuan untuk menggunakan alat rumah tangga (apraxia), sering berhubungan dengan lobulus parietal inferior atau keterlibatan frontal atau deficit kognitif lainnya.

Meskipun pernah diajarkan bahwa sebagian peningkatan afasia terjadi dalam enam bulan pertama setelah stroke, paling sekarang mengakui pemulihan yang dapat terjadi berbulan-bulan atau bahkan bertahun-tahun setelah awal stroke yang menyebabkan penurunan nilai tersebut. Dalam parah, afasia global, ada sebenarnyabisalebih banyak perbaikan di kedua 6 bulan setelah stroke disbanding pada 6 bulan pertama.

(19)

G. Intervensi atau Terapi

Ada beberapa terapi yang dapat diterapkan pada penderita aphasia dilihat dari beberapa sudut pandang dan berdasarkan tujuan dari proses terapi yang dilakukan ( Howard & Hatfield, 1987). Tingkat keparahan dari afasia juga memiliki variasi, pendekatan terapi dapat dikelompokkan menjadi dua kelompok besar yang utama ( Albert, Goodglass, Helm Rubens & Alexander 1981, Seron, 1984) didasarkan pada pandangan yang mendasari afasia dan bagaimana terapi yang akan dilakukan. Pertama adalah keyakinan bahwa afasia merupakan penurunan akses bahasa atau kerusakan proses bahasa ( representasi). Terapi yang dapat dilakukan dalam hal ini adalah terapi relearned atau dilatih. Pendekatan kedua didasarkan pada asumsi bahwa proses gangguan itu sendiri irremediable. Terapi ini menarik pada strategi kompensasi (bahasa lain dan keterampilan komunikasi) untuk mengambil alih fungsi-fungsi yang terganggu.

(20)

Semua pengobatan untuk afasia harus mencerminkan seorang individu memiliki kebutuhan untuk komunikasi, keinginan untuk berkomunikasi dan prioritas mereka untuk pengobatan. Prioritas ini termasuk terapi yang ditargetkan pada penurunan sistem pengolahan bahasa dan kognitif neuropsikologi memberi kesempatan yang unik untuk mengidentifikasi dan melakukan identifikasi untuk kesembuhan afasia. Tujuan akhir dari terapi kognitif neuropsikologi yaitu penggunaan keterampilan komunikasi dalam pengaturan pengobatan sehari-hari seperti harus mengolah bahan dan tema yang relevan sesuai kebutuhan klien. Demikian pula harus melakukan evaluasi evektivitas intervensi mengalami perbaikan dari sistem pengolahan bahasa yang akan berdampak pada komunikasi kehidupan nyata dan manfaat yang benar dan perubahan positif yang dirasakan oleh penderita afasia.

Dari perspektif neuropsikologi kognitif tujuan penilaian adalah untuk memahami bicara dan pola bahasa klien dalam hal sistem pengolahan normal dan intervensi yang dilakukan memungkinkan adanya perkembangan pada individu. Penilaian perlu cukup rinci untuk memungkinkan identifikasi proses gangguan atau proses kemampuan pengolahan yang tetap utuh pada mereka. Analisis gejala permukaan atau gejala awal tidak cukup untuk merencanakan terapi, karna gejala permukaan yang timbul mengalami kesamaan dengan berbagai cara. Terapi yang sebenarnya ditawarkan mungkin tidak secara langsung atau signifikan berbeda dengan metode teknik tradisional. Perbedaannya adalah teknik tradisional menargetkan pada aspek gangguan klien dipilih atas dasar pemahaman teoritis dari gangguan yang mendasarinya.

(21)

sempit, spektrum perawatan termotivasi semakin rasional, sedangkan kurang finegrained model kognitif, semakin besar jumlah teoritis intervensi terapeutik dibenarkan.

Pendekatan terapi yang berbeda

1. Reaktivasi Untuk mengaktifkan akses ke bahasa terganggu dan pengolahan kemampuan.

2. Belajar kembali prosedur bahasa Gangguan atau pengetahuan yang ulang yang diperoleh melalui pembelajaran.

3. Kognitif-estafet Untuk mencari rute alternatif atau sarana melakukan fungsi bahasa, yaitu menggunakan komponen utuh dari sistem bahasa untuk mencapai fungsi terganggu melalui cara tidak langsung (Luria, 1970).

4. Pergantian Untuk mendorong adopsi dari suatu prostesis eksternal untuk mempromosikan komunikasi.

5. Kompensasi untuk memaksimalkan penggunaan bahasa ditahan dan perilaku komunikasi, tanpa berfokus pada fungsi terganggu.

H. Identifikasi Terapi

Afasia motorik merupakan kerusakan terhadap seluruh korteks pada daerah broca. Seseorang dengan afasia motorik tidak bisa mengucapkan satu kata apapun, namun masih bisa mengutarakan pikirannya dengan jalan menulis (Mardjono & Sidharta, 2004, hlm.205). Salah satu bentuk terapi rehabilitasi gangguan afasia adalah dengan memberikan terapi wicara (Sunardi, 2006, hlm.7). Terapi wicara merupakan tindakan yang diberikan kepada individu yang mengalami gangguan komunikasi, gangguan berbahasa bicara, gangguan menelan. terapi wicara ini berfokus pada pasien dengan masalah-masalah neurologis, diantaranya pasien pasca stroke (Hearing Speech & Deafness Center, 2006, dalam sunardi, 2006, hlm.1)

(22)

bicara dan komunikasi merupakan faktor yang berpengaruh dalam interaksi sosial. Kesulitan dalam berkomunikasi akan menimbulkan isolasi diri dan perasaan frustasi (Sunardi, 2006).

Stroke merupakan suatu gangguan neurologik fokal yang timbul dari adanya thrombosis, embolus, ruptur dinding pembuluh darah. Akibat adanya sumbatan tersebut mengakibatkan pecahnya pembuluh darah, sehingga aliran darah ke daerah distal mengalami gangguan, sel mengalami kekurangan oksigen sehingga mengakibatkan terjadinya infark (Price & Willson, 2006).

Akan tetapi pasien stroke yang yang mengalami gangguan bicara dikarenakan lesi yang merusak daerah Broca. Daerah Broca inilah yang mengatur atau mengendalikan kemampuan bicara, yang terletak di lobus frrontalis kiri berdekatan dengan daerah motorik korteks yang mengontrol otot-otot artikulasi, sehingga pasien akan mengalami afasia motorik (Sherwood, 2011, hlm.163).

Setelah diberikan terapi AIUEO terjadi peningkatan kemampuan bicara pada pasien. Hal ini sesuai hasil penelitian bahwa yang semula ada 4 responden dengan gangguan bicara berat menjadi tidak ada. Menurut Meinzer et al., (2005) menjelaskan bahwa 85% pasien stroke mengalami peningkatan kemampuan bahasa secara signifikan setelah menjalani terapi wicara yang intensif. Perbaikan-perbaikan yang berkelanjutan juga terjadi pada pasien-pasien tersebut selama enam bulan.

Hal ini sependapat Bakheit, et. al (2007 dalam Dachrud 2010) menjelaskan bahwa treatment berupa terapi yang diberikan pada pasien penderita gangguan komunikasi untuk memberikan kemampuan berkomunikasi baik secara lisan, tulisan maupun isyarat.

(23)

Terapi wicara difokuskan pada pembentukan organ bicara agar dapat memproduksi bunyi dengan tepat. Terapi ini biasanya meliputi bagaimana menempatkan posisi lidah dengan tepat, bentuk rahang, dan mengontrol nafas agar dapat memproduksi bunyi dengan tepat. Bunyi yang dihasilkan oleh adanya getaran udara, akan diterima oleh saraf pendengaran. Melalui saraf pendengaran, rangsangan diterima dan diolah sebagai informasi. Sehingga terapi wicara ini dapat meningkatkan kemampuan bicara. (Gunawan, 2008, hlm.26).

Terapi AIUEO terhadap kemampuan bicara pada pasien stroke yang mengalami afasia motorik.

Menurut Wardhana (2011, hlm.167) penderita stroke yang mengalami kesulitan bicara dapat diberikan terapi AIUEO yang bertujuan untuk memperbaiki ucapan supaya dapat dipahami oleh orang lain.

(24)

dipelajari kembali. Proses neuroplastisitas otak terjadi melalui proses substitusi yang tergantung pada stimulus eksternal, melalui terapi latihan dan proses kompensasi yang dapat tercapai melalui latihan berulang untuk suatu fungsi tertentu (Wirawan, 2009)

Pedoman untuk berkomunikasi

Afasia mengubah cara seseorang dalam memahami sesuatu atau bersikap. Dengan memanfaatkan secara optimal kemungkinan komunikasi yang masih ada, lingkungan penderita afasia masih bisa berkomunikasi dengannya. Seseorang yang menderita afasia berat sering hanya dapat mengerti kata-kata penting dari sebuah kalimat. Dia hanya bisa mengerti ‘kata-kata kunci’. Mengerti dengan menggunakan kata-kata kunci dapat menimbulkan salah pengertian. Pesan yang ingin disampaikan disalahartikan. Hal ini timbul dari kombinasi kata-kata kunci dengan pengetahuan umum mengenai subyek tertentu. Terkadang kita mengira bahwa kita dan penderita afasia mengerti dengan baik satu sama lain. Reaksi yang timbul kemudian menunjukkan hal yang berbeda.

Ketika Anda ingin memberitahukan sesuatu kepada penderita afasia 1. Luangkan waktu khusus untuk percakapan tersebut.

2. Duduk tenang dan buat kontak mata.

3. Jika Anda merasa tidak yakin dengan percakapan tersebut, mulai dengan sesuatu yang sederhana mengenai diri Anda. Setelah itu ajukan pertanyaan yang jawabannya ingin Anda ketahui.

4. Bicaralah dengan tenang dengan menggunakan kalimat-kalimat pendek. Berikan penekanan pada kata-kata yang paling penting.

(25)

6. Bantu penderita afasia mengungkapkan permasalahannya dengan menggunakan bahasa isyarat, menggambar, atau menulis atau minta dia untuk juga menunjuk, memberikan isyarat, menggambar, atau menuliskan permasalahannya. Sama-sama mencari di buku saku bahasa atau buku percakapan.

Ketika penderita afasia ingin memberitahukan sesuatu kepada Anda

Pertama-tama harus jelas mengenai siapa yang dibicarakan, apa yang terjadi, dan dimana atau kapan kejadian itu berlangsung. Sangat penting bagi Anda untuk mengajukan pertanyaan yang tepat, inventif, dan sebisa mungkin dilakukan dengan sistematis. Coba untuk selalu memberikan pertanyaan pilihan. Tuliskan pilihan yang salah satunya harus atau dapat dipilih, berdekatan satu sama lain.

Alat bantu komunikasi

(26)

BAB III PENUTUP A. Kesimpulan

(27)
(28)
(29)

DAFTAR PUSTAKA

Carlson, Neil R. 2015. Fisiologi Perilaku. Erlangga: Jakarta

Haryanto, Ghoffar Dwi Agus, dkk..“PENGARUH TERAPI AIUEO TERHADAP KEMAMPUAN BICARA PADA PASIEN STROKE YANG MENGALAMI AFASIA MOTORIK DI RSUD TUGUREJO SEMARANG”. Jurnal Ilmu Keperawatan Dan Kebidanan (JIKK).

http://download.portalgaruda.org/article.php?

article=393106&val=6378&title=PENGARUH%20TERAPI%20AIUEO %20TERHADAP%20KEMAMPUAN%20BICARA%20PADA%20PASIEN %20STROKE%20YANG%20MENGALAMI%20AFASIA%20MOTORIK %20%20DI%20RSUD%20TUGUREJO%20SEMARANG. 6 November 2016.

Juniasti, Ridwan. “Afasia menurut seorang Terapis Wicara”. 7 November 2016. http://astitbercerita.blogspot.co.id/2011/09/afasia-menurut-seorang-terapis-wicara.html.

Kirshner, Howart. “Aphasia Prognosis”. 7 November 2016. http://emedicine.medscape.com/article/1135944-followup.

(30)

Whitworth, Anne, dkk. July 1, 2004. “A Cognitive Neuropsychological Approach to Assessment and Intervention in Aphasia”. Volume 13, No. 5, https://books.google.co.id/books/about/A_Cognitive_Neuropsychological_Approa ch.html?id=PSUtMpki23UC&redir_esc=y. 6 November 2016.

Referensi

Dokumen terkait

Stroke adalah suatu keadaan yang timbul karena. terjadi gangguan peredaran darah di otak yang menyebabkan

Afasia adalah gangguan komunikasi yang disebabkan oleh kerusakan pada bagian otak yang mengandung bahasa (biasanya di hemisfer serebri kiri otak, yaitu otak yang lebih dominant

Gejala stroke non hemoragik yang timbul akibat gangguan peredaran darah di otak bergantung pada berat ringannya gangguan pembuluh darah dan lokasi tempat gangguan peredaran

Gejala stroke non hemoragik yang timbul akibat gangguan peredaran darah di otak bergantung pada berat ringanya gangguan pembuluh darah dan lokasi

Stroke adalah suatu gangguan fungsi saraf akut yang disebabkan oleh karena gangguan peredaran darah otak, dimana secara mendadak (dalam beberapa detik atau menit) dapat

Gejala stroke non hemoragik yang timbul akibat gangguan peredaran darah di otak  bergantung pada berat ringannya gangguan pembuluh darah dan lokasi tempat

Gejala stroke non hemoragik yang timbul akibat gangguan peredaran darah di otak bergantung pada berat ringannya gangguan pembuluh darah dan lokasi tempat gangguan

Stroke haemoragik terjadi akibat tekanan darah yang sangat tinggi dapat mengakibatkan terjadinya gangguan peredaran darah otak atau stroke haemoragik yang dapat dibedakan