2.1 Anatomi
Struktur anatomi pada kepala terdiri dari: tengkorak, kulit kepala, otot kepala, otak, dan vaskularisasi otak (Peter, 2006).
Tengkorak berfungsi sebagai pelindung otak dan organ-organ seperti mata dan lain-lain. Selain itu, tulang tengkorak juga berfungsi sebagai tempat insersi otot-otot yang berada di leher dan kepala. Secara garis besar, tengkorak ada 2 bagian: kranium, dan mandibular. Pada bagian kranium, tengkorak terdiri dari os
parietalis, os frontalis, os temporalis, dan os occipitalis. Pada bagian mandibular:
os mandibularis dan os maksillaris (Peter, 2006).
Kulit kepala adalah lapisan yang menutupi seluruh bagian kepala. Bersifat tebal dan berfungsi sebagai perlindungan pada tengkorak. Terdiri dari beberapa lapisan: kulit kepala, dense connective tissue, aponeurosis (jaringan fibrous yang melekatkan otot occipitalis pada bagian belakang kepala ke otot frontalis), otot
temporalis, loose connective tissue, perikranium, dan lapisan meningen (dura
mater, araknoid, dan pia mater) (Peter, 2006).
Otot pada kepala berfungsi dalam proses mengunyah makanan dan
menggerakkan kulit kepala pada bagian dahi. Otot pada kepala terdiri dari: otot
occipitalis, otot temporalis, otot orbicularis oculi, dan otot orbicularis oris(Peter,
2006).
Otak adalah bagian dari sistem saraf tubuh yang membantu dalam mengkontrol fungsi tubuh badan seperti denyut jantung, berjalan dan berlari. Otak juga berfungsi dalam emosi dan pemikiran manusia (Peter, 2006).
sensasi bunyi dan percakapan). Kedua–dua hemisfer digabungkan oleh korpus collusum. Diencephalon berada pada bagian tengah (medial) dari forebrain.
Diencephalon terdiri dari: thalamus (relay informasi ke otak), hipothalamus
(berfungsi dalam kerja homeostatic tubuh, suhu tubuh dan lain-lain), epithalamus, dan subthalamus (Peter, 2006).
Otak tengah(mesencephalon) adalah sebagian dari sistem saraf pusat yang berfungsi dalam proses visual, pendengaran, motorik, siklus tidur, arousal dan pengaturan suhu tubuh. Formasio reticularis yang berfungsi dalam mengatur fungsi motorik juga termasuk dalam mesencephalon (Peter, 2006).
Otak belakang(rhombencephalon)terdiri dari: pons, medulla oblongata (mengatur pernafasan, denyut jantung, tekanan darah), dan cerebellum (mengatur pergerakan tubuh, keseimbangan tubuh) (Peter, 2006).
Arteri dan vena pada sangat vital dalam fungsi otak. Arteri berfungsi dalam membawa oxygenated blood ke otak dan vena membawa deoxygenated
blood kembali ke jantung. Darah sangat vital dalam fungsi otak sehingga dalam
hitungan 10 detik otak tidak menerima suplai darah, kerusakan pada otak bersifat
irreversible (Peter, 2006).
Darah dari jantung sampai ke otak melewati arteri karotid yang akan bercabang dua menjadi arteri serebri medial dan anterior. Vena akan mengumpul
kembali darah melalui sinus–sinus yang ada pada otak. Sinus–sinus yang ada pada otak terdiri dari: sinus sagitalissuperior (menerima darah dari superficial serebri),
inferior sagittal sinus (menerima darah dari vena superficial), straight sinus
(menerima darah dari inferior sagittal sinus dan great vein of Gale), sinus
cavernosus, dan sigmoid sinus (Peter, 2006).
2.2 Trauma Kepala
2.2.1 Etiologi
Menurut David (2010), banyak mekanisme yang bisa menyebabkan terjadinya trauma pada kepala seperti terjatuh, dipukul dan juga cedera saat olahraga. Tetapi, penyebab yang paling sering dicatat dalam kasus trauma kepala adalah kecelakaan lalu lintas. Di Amerika Serikat, separuh dari kasus trauma kepala adalah disebabkan oleh kecelakaan lalu lintas.
Kasus ini juga lebih banyak terjadi pada laki-laki dibandingkan perempuan dengan perbandingan 2:1dan lebih sering terjadi pada pasien berumur dibawah dari 35 tahun (David, 2010).
2.2.2 Patofisiologi
Pada pasien yang mengalami trauma kepala, kecederaan yang dialami pasien bisa diklasifikasikan menjadi dua, yaitu: primer dan sekunder. Pada tipe primer, kecederaan yang dialami pasien adalah kerusakan pada struktur kepala. Perdarahan intrakranial dan fraktur kepala termasuk dalam tipe primer. Fraktur bisa terjadi apabila trauma atau hentakan yang diberikan lebih kuat dari toleransi
elastisitas tulang kepala. Kerusakan yang terjadi pada struktur kepala ataupun fraktur yang terjadi bisa dikategorikan menjadi dua: fraktur jenis terbuka dan fraktur jenis tertutup. Tipe fraktur ini mudah dibedakan melalui gambaran
tomografi komputer (Lee and Newberg, 2005). Fraktur yang terjadi juga bisa menyebabkan terjadi kebocoran cairan serebrospinal. Hal ini juga menjelaskan kenapa otorrhea dan rhinorrhea terjadi pada pasien trauma kepala. Rhinorrhea dan otorrhea yang terjadi secara berterusan adalah indikasi terjadinya kerusakan pada lapisan dura pada kepala pasien. Posisi kerusakan yang terjadi hanya bisa ditentukan menggunakan gambaran tomografi komputer (Allan, 2008).
rotasi pada kepala berlaku sehingga terjadi laserasi pada sistem vaskularisasi otak. Pembuluh darah yang paling sering terjadi kerusakan dalam trauma kepala adalah arteri karotid interna dan arteri meningeal (Allan, 2008).
Trauma kepala juga bisa menyebabkan kerusakan pada saraf kranial. Saraf yang sering terjadinya kerusakan adalah saraf olfaktorius, optikus, okulomotorik, troklearis, trigeminalis, fasialis, dan auditorius. Anosmia ataupun hilangnya bau pada pasien menunjukkan ada kerusakan pada saraf olfaktorius pasien. Biasanya terjadi pada pasien yang mengalami trauma pada bagian belakang kepala. Kerusakan yang terjadi pada saraf optikus akan menyebabkan penglihatan pasien kabur tergantung tingkat kerusakan saraf yang dialaminya (Allan, 2008).
Apabila pasien tidak ditangani dengan tepat dan cepat, kecederaan yang dialami pasien bisa berubah dari tipe primermenjadi tipe sekunder. Kecedaraan tipe sekunderbisa terjadi karenakomplikasi-komplikasi dari tipe primer yang tidak ditatalaksana dengan baik. Antara komplikasi yang bisa muncul adalah peningkatan tekanan intrakranial. Sekiranya terjadi peningkatan tekanan
intrakranial, hernia pada otak bisa terjadi. Struktur vaskularisasi otak akan tertekan dan akan menyebabkan hipoksia terjadipada otak pasien. Iskemik yang muncul akibat hipoksia pada otak menyebabkan trauma kepala yang dialami
pasien menjadi lebih parah (Tuong, 2006).
2.2.3 Diagnosis
Menurut Allan (2008), diagnosis trauma kepala bisa ditegakkan menggunakan pemeriksaan fisik, pemeriksaan neurologis dan pemeriksaan radiologis.
Pada pemeriksaan neurologis, dilakukan beberapa pemeriksaan seperti: pemeriksaan tingkat kesadaran, pemeriksaan batang otak, pemeriksaan motorik, pemeriksaan reflek, dan pemeriksaan sensorik. Pemeriksaan ini dilakukan untuk melihat kerusakan yang mungkin terjadi pada sistem neurologis pasien (Allan, 2008).
Pemeriksaan radiologis sangat dibutuhkan dalam mendiagnosis trauma kepala. Pemeriksaan tomografi komputer pada kepala pasien telah menjadi standardisasi dalam mendiagnosis trauma kepala karena pemeriksaan tomografi komputer lebih cepat, memiliki akurasi yang tinggi dan juga lebih murah dibandingkan pemeriksaan gambaran magnetik resonansi(Allan, 2008).
2.2.4 Tingkat Keparahan Trauma Kepala
Dalam menentukan tingkat keparahan trauma kepala, bisa digunakan beberapa metode seperti durasi hilangnya kesadaran, skala koma
Glasgow,post-traumatic amnesia. Metode yang menjadi standar adalah dengan menggunakan
skala koma Glasgow yang bisa dilihat pada Tabel 2.1
(The Brain Injury Guide And References, 2008).
Tabel2.1 Cara Pemeriksaan Tingkat Kesadaran Pasien(The Brain Injury Guide And References, 2008)
Durasi Hilangnya Kesadaran
Skala Koma Glasgow Post-traumatic Amnesia
- Ringan = < 20 menit.
2.2.5 Penatalaksanaan
Talakasana yang dilakukan pada pasien trauma kepala menurut prioritas: (1) ditentukan tingkat kesadaran menggunakan skala koma Glasgow; (2) lakukan resusitasi jantung paru (primary survey); (3) lakukan pemeriksaan fisik (secondary survey); (4) lakukan pemeriksaan radiologis; (5) pengukuran tekanan intrakranial; dan (6) lakukan terapi (Japardi, 2002).
2.2.5.1 Pemeriksaan Tingkat Kesadaran Berdasarkan Skala Koma Glasgow Dalam ilmu kedokteran, skala koma Glasgow telah menjadi satu standari dalam menilai tingkat kesadaran pasien. Skala ini juga dapat digunakan dalam menentukan tingkat keparahan pasien trauma kepala(CDC, 2003).
Pemeriksaan skala koma Glasgow didasari oleh 3 variabel, yaitu: respon pembukaan mata, respon verbal, dan respon motorik. Skor dari setiap respon akan dijumlahkan dan dijadikan nilai skala koma Glasgow. Skala terendah adalah 3 dan tertinggi 15(CDC, 2003).
Menurut CDC (2003), skala ini dikategorikan menjadi 3: berat (skor ≤ 8); sedang (skor 9-12); dan ringan (skor 13-15).
Tabel 2.2 Skala Koma Glasgow / Glasgow Coma Scale ( CDC, 2003)
MEMBUKA MATA RESPON VERBAL RESPON MOTORIK
• Spontan- 4 • Menjauhi lokasi nyeri-
4
• Fleksi- 3 • Ekstensi- 2 • Tidak ada- 1 Jumlah Skor Skala Koma Glasgow: 3-15
2.2.5.2 Resusitasi Jantung Paru (Primary Survey)
Saat melakukan primary survey, jalan pernafasan pasien diperiksa untuk memastikan tidak terjadi sumbatan. Bersihkan mulut pasien dari cairan yang ada dan buang benda asing yang menutupi jalan pernafasan pasien (A = jalan pernafasan). Apabila ada gangguan dalam pernafasan, pasien bisa mengalami hipoksia dan hiperkapnia. Berikan oksigen dan ventilator apabila diperlukan(B = pernafasan). Hindari pasien dari mengalami hipotensi, karena pasien hipotensi akan menyebabkan terjadinya kecederaan sekunder. Hentikan perdarahan ada dan lakukan infus darah sekiranya diperlukan (C = sirkulasi) (Japardi, 2002).
2.2.5.3 Pemeriksaan Fisik (Secondary Survey)
Setelah dilakukan resusitasi jantung paru, lakukan pemeriksaan fisik singkat pada pasien dengan diperiksa kembali tingkat kesadaran pasien, pupil, defisit fokal serebral yang mungkin terjadi, dan kecederaan ekstrakranial(Japardi, 2002).
2.2.5.4 Pemeriksaan Radiologis
Dalam pemeriksaan radiologis, pemeriksaan yang paling akurat dalam mendiagnosis trauma kepala adalah dengan pemeriksaan gambaran tomografi komputer pada kepala pasien (Jeremy, 2003).
yang diperoleh sangat sukar untuk mendeteksi fraktur ataupun lesi yang berukuran kecil. Walaupun gambaran dari pencitraan magnetik resonansi mempunyai sensitivitas lebih baik, tetapi gambaran tomografi komputer tetap menjadi pilihan utama dalam tatalaksana trauma kepala karena umumnya rumah sakit di seluruh dunia mempunyai alat untuk melakukan gambaran tomografi komputer dan lebih murah dibandingkan pencitraan magnetik resonansi.
Gambaran yang bisa dijumpai pada tomografi komputer pada kepala pasien trauma kepala: perdarahan subdural (hiperdens, homogen, dan berbentuk bulan sabit) (Gambar 2.1); perdarahan subaraknoid(ruangan subaraknoid dipenuhi cairan serebrospinal, sisternadan sulsi berwarna putih) (Gambar 2.3); perdarahan epidural (hiperdens, bikonveks, dan herniasi pada otak juga bisa dijumpai) (Gambar 2.2); perdarahan intraserebral (hiperdens dan efek massa) (Gambar 2.4)(Lee and Newberg, 2005).
Gambar 2.2 Perdarahan Epidural (Crash, 2013)
Gambar 2.4 Perdarahan Intraserebral (Crash, 2013)
2.2.5.5 Pengukuran Tekanan Intrakranial
Pengukuran intrakranial biasanya dilakukan pada pasien trauma kepala berat. Tekanan intrakranial bisa diukur dengan menggunakan kateter intraventrikuler, skru subdural, dan sensor epidural. Nilai normal adalah 1-20 mmHg (Japardi, 2002).
2.2.5.6Terapi
Menurut David (2010), tatalaksana terapi pada trauma kepala ada dua, yaitu; terapi bedah dan terapi non-bedah. Pasien trauma kepala yang mengalami peningkatan tekanan intrakranial yang tinggi bisa dilakukan pembedahan kraniotomi untuk menurunkan tekanan intrakranial pasien. Selain itu, kraniotomi juga dilakukan untuk menghentikan dan membuang perdarahan yang ada.