• Tidak ada hasil yang ditemukan

PENGEMBANGAN SAPI POTONG BERBASIS INDUSTRI KELAPA SAWIT

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "PENGEMBANGAN SAPI POTONG BERBASIS INDUSTRI KELAPA SAWIT"

Copied!
19
0
0

Teks penuh

(1)

1)Naskah disarikan dari bahan Orasi Profesor

Riset yang disampaikan pada tanggal 31 Juli 2007 di Bogor.

PENDAHULUAN

Laju pertumbuhan penduduk Indonesia pada periode 2000-2003 mencapai 1,5%/ tahun sehingga jumlah penduduk menjadi lebih dari 215.276.000 jiwa dengan kepa-datan rata-rata 114 jiwa/km2 (BPS 2003).

Jumlah penduduk yang terus bertambah dan tingkat pengetahuan yang makin baik menuntut ketersediaan pangan yang memadai, termasuk produk peternakan (daging, susu, telur, dan kulit/bulu), baik jumlah maupun kualitasnya.

Di sisi lain, laju pertumbuhan ternak cenderung lambat dan tidak sejalan dengan peningkatan permintaan daging nasional dengan laju 6-8%/tahun (Thalib

et al. 2003). Sumbangan peternakan terhadap pengadaan daging nasional pada tahun 2003 mencapai 1.908.600 ton, sementara kebutuhan daging nasional pada tahun yang sama sekitar 1.947.200 ton (Direktorat Jenderal Bina Produksi Pe-ternakan 2003). Dengan demikian, terda-pat kekurangan pasokan daging dan ke-kurangan tersebut dipasok melalui impor dalam bentuk daging segar/beku maupun ternak hidup. Pada tahun 2003, impor sapi

bakalan dari Australia mencapai 374.741 ekor (Trikesowo 2004). Kondisi demikian sudah tentu tidak dapat dipertahankan sehingga perlu lebih memberikan kesem-patan bagi para pelaku usaha untuk me-ngembangkan peternakan di dalam negeri. Pada masa yang akan datang, Indo-nesia dituntut untuk mampu bersaing dengan negara-negara industri yang mampu mendukung ternak tampil sesuai potensi genetiknya. Ternak ruminansia di Indonesia kurang dapat tumbuh-kembang sesuai dengan potensi genetik yang dimiliki. Tulisan ini memaparkan sumbang-an pemikirsumbang-an penulis tentsumbang-ang strategi dsumbang-an langkah alternatif yang perlu ditempuh untuk mengembangkan ternak ruminansia, khususnya sapi potong, ditinjau dari aspek ketersediaan dan pemberian pakan nonkonvensional.

PERKEMBANGAN DAN PERAN SAPI POTONG DALAM KEHIDUPAN

MASYARAKAT

Saat ini dunia sangat bergantung pada peternakan, tidak hanya sebagai sumber pangan hewani (daging dan susu), tetapi juga sebagai tenaga kerja, tabungan yang dapat diuangkan, uji tangkas (hiburan), ternak korban, penghasil bahan organik

PENGEMBANGAN SAPI POTONG BERBASIS

INDUSTRI KELAPA SAWIT

I Wayan Mathius

Pusat Penelitian dan Pengembangan Peternakan Jalan Raya Pajajaran Kav. E-59, Bogor 16143

(2)

berkualitas, produk ikutan/inedible by-products (insulin, kortison, estrogen, kulit, perekat, bahan kancing, bahan lilin, sabun, plastik, pasta gigi), dan sumber energi alternatif (biogas) (Fitzhugh et al. 1978). Di Indonesia, budi daya ternak ruminansia telah menunjang kehidupan jutaan kelu-arga petani-ternak, pedagang, dan jagal.

Perkembangan produksi dan konsumsi daging serta populasi ternak ruminansia di Indonesia disajikan dalam Tabel 1 dan 2. Populasi sapi perah, kambing, dan domba meningkat dari tahun ke tahun, namun untuk kerbau mengalami penu-runan. Sementara perkembangan sapi potong dalam dua dekade terakhir relatif

Tabel 2. Perkembangan populasi ternak ruminansia (000 ekor), 1970-2006.

Tahun Sapi perah Sapi potong Kerbau Domba Kambing

1970 5 9 6.137 2.885 3.362 6.336 1980 103 6.440 2.547 4.124 7.691 1990 294 10.410 3.335 6.006 11.298 1997 334 11.939 3.065 7.698 14.163 1998 322 11.634 2.829 7.114 13.560 1999 332 11.276 2.504 7.226 12.701 2000 354 11.008 2.405 7.427 12.566 2001 347 11.138 2.310 7.394 12.323 2002 358 11.298 2.403 7.641 12.549 2003 374 10.504 2.459 7.811 12.722 2004 368 10.533 2.403 8.075 12.781 2005 361 10.569 2.128 8.327 13.409 2006 382 10.836 2.201 8.543 14.051

Sumber: Direktorat Jenderal Bina Produksi Peternakan (2003). Tabel 1. Produksi, impor, dan konsumsi daging nasional, 1993-2003.

Tahun Produksi Impor daging Impor sapi Konsumsi (t) (t) bakalan (ekor) (t) 1993 1.378.300 10.079 58.299 1.388.200 1994 1.492.900 15.667 118.034 1.508.500 1995 1.507.100 22.053 228.422 1.530.200 1996 1.632.200 29.000 388.974 1.661.200 1997 1.555.100 33.400 428.077 1.558.500 1998 1.228.500 14.100 42.394 1.239.300 1999 1.195.700 23.400 157.338 1.215.900 2000 1.445.200 72.300 296.723 1.516.000 2001 1.560.600 43.500 288.922 1.601.600 2002 1.769.800 44.700 428.486 1.808.400 2003 1.908.600 44.700 374.741 1.947.200 Sumber: Jaya (1999); Direktorat Jenderal Bina Produksi Peternakan (2003); Trikesowo (2004).

(3)

konstan dengan jumlah pemilikan ternak tidak berubah, yakni 2-5 ekor/kepala keluarga. Populasi sapi potong yang relatif konstan tersebut boleh jadi disebabkan tingginya angka pemotongan sebagai akibat permintaan daging yang terus meningkat. Membaiknya nilai jual daging sapi memacu para pelaku usaha sapi potong untuk menyembelih sapi betina produktif sehingga populasi sapi potong saat ini berada pada posisi stagnan.

Pemeliharaan sapi potong masih me-rupakan usaha yang bersifat pelengkap/ komplementer dalam suatu sistem usaha tani terpadu. Tujuan pemeliharaan sapi potong antara lain adalah sebagai tenaga kerja, sumber protein hewani, tabungan, dan sebagai sumber pupuk organik. Hal tersebut menunjukkan bahwa sapi potong memainkan peran cukup penting dan merupakan titik sentral kehidupan manusia (Gongal 1996). Sapi potong merupakan bagian integral dalam sistem usaha tani yang sekaligus merupakan faktor kunci keseimbangan ekologi dan sebagai peng-aman penting (bufer) untuk mengatasi risiko kegagalan panen tanaman pertanian.

POTENSI SAPI POTONG LOKAL DI INDONESIA

Tiga bangsa sapi lokal yang berpotensi dikembangkan di Indonesia adalah sapi Ongole (Sumba Ongole dan Peranakan Ongole), sapi Bali, dan sapi Madura. Bangsa sapi tersebut telah beradaptasi dengan baik terhadap lingkungan dan cekaman di wilayah Indonesia. Dari ketiga bangsa sapi lokal tersebut, sapi Bali paling tahan terhadap cekaman panas (Sutrisno

et al. 1978), di samping memiliki tingkat kesuburan yang baik, kemampuan libido pejantan lebih unggul, persentase karkas

tinggi (56%), dan kualitas daging baik. Dengan tata laksana pemeliharaan yang baik, sapi potong dapat tumbuh-kembang dengan laju kenaikan bobot hidup harian 750 g (Moran 1979), sementara pada kon-disi pedesaan kecepatan pertumbuhan hanya mencapai rata-rata 250 g/ekor/hari (Bamualim dan Wirdahayati 2003; Fordyce

et al. 2003).

Siklus reproduksi sapi lokal dapat ter-jadi setiap saat sepanjang tahun dengan tingkat kesuburan yang tinggi. Hal ini mengindikasikan bahwa perkembangbiak-an sapi potong dapat dilakukperkembangbiak-an setiap saat tanpa dipengaruhi oleh musim. Oleh karena itu, perkembangbiakannya dapat disesuai-kan dengan ketersediaan faktor penunjang seperti pakan dan pasar.

Jumlah pasokan daging sapi potong relatif konstan (Tabel 3), namun persentase sumbangannya terhadap pasokan daging menurun. Pada tahun 2003, sumbangan sapi potong terhadap pengadaan daging nasional mencapai 351.800 ton. Jumlah tersebut setara dengan 18,4% total peng-adaan daging nasional, sementara ternak unggas memasok 63% (Direktorat Jenderal Bina Produksi Peternakan 2003). Daging sapi potong lokal yang semula merupakan pemasok terbesar, yakni 53,3% pada tahun 1970, berangsur-angsur turun hingga mencapai 18,4%.

Peningkatan permintaan daging sapi menyebabkan makin meningkat pula jumlah sapi yang dipotong, termasuk sapi betina produktif. Keadaan tersebut memperburuk perkembangan sapi potong nasional. Pola pemeliharaan yang bersifat komplementer dan dilakukan secara tradisional me-nyebabkan usaha sapi potong kurang efisien. Akibatnya, perkembangan sapi potong di Indonesia rendah.

Upaya meningkatkan produksi sapi potong nasional dapat dilakukan melalui

(4)

pendekatan kualitatif maupun kuantitatif. Pendekatan kualitatif sedang dan terus dilakukan melalui perbaikan mutu genetik sapi lokal dengan mempergunakan teknik inseminasi buatan (IB). Namun untuk men-capai tingkat produksi yang tinggi, per-baikan mutu genetik sapi harus diikuti dengan penyediaan dan pemberian pakan yang memadai (Jalaludin et al. 1991). Zarate (1996) melaporkan bahwa keberhasilan perbaikan mutu genetik ternak mem-butuhkan kondisi yang stabil, yaitu tata laksana memadai, ketersediaan pakan cukup, berkualitas dan berkelanjutan, serta kesehatan ternak baik.

MASALAH PETERNAKAN SAPI POTONG

Sistem pemeliharaan semi-intensif yang didasarkan pada penyediaan dan pem-berian pakan dengan cara “potong angkut” (cut and carry) dan dengan komposisi vegetasi alam seadanya menyebabkan tingkat produksi sapi potong belum

opti-mal. Pakan hijauan utama berasal dari hasil samping tanaman pertanian atau vegetasi alam pada daerah yang tidak dimanfaatkan sebagai areal pertanian. Pola dan pemberi-an pakpemberi-an ypemberi-ang belum sesuai dengpemberi-an ke-butuhan merupakan penyebab utama rendahnya tingkat produktivitas ternak di daerah tropis (Chen 1990).

Masalah utama dalam peningkatan produksi sapi potong adalah sulitnya menyediakan pakan secara berkesinam-bungan, baik jumlah maupun kualitasnya (Mathius et al. 1984; Chen 1990; Jalaludin

et al. 1991; Zarate 1996). Hal tersebut me-nyebabkan tingkat produktivitas sapi potong menjadi rendah sehingga saat ini jarang ditemui sapi potong (sapi Bali) dengan bobot hidup melebihi bobot po-tong/pasar, yakni di atas 250 kg/ekor; suatu penyusutan bobot hidup yang sangat drastis dibandingkan dengan yang pernah dicapai pada masa lampau, yakni 300-500 kg/ekor (Tillman 1983).

Pemanfaatan lahan khususnya di Pulau Jawa dan Bali sangat intensif. Areal sekitar pemukiman di pedesaan yang sebelumnya Tabel 3. Produksi daging nasional dan sumbangan daging sapi potong dan unggas, 1970-2003.

Produksi daging Sapi Unggas

Tahun (000 t) (000 t) (%) (000 t) (%) 1970 314,0 167,3 53,3 38,7 12,3 1980 570,8 220,8 38,7 172,3 30,2 1990 1.027,7 259,2 25,2 508,7 49,5 1997 1.555,1 353,7 22,7 898,5 57,8 1998 1.220,8 340,7 27,9 621,2 50,9 1999 1.195,9 308,8 25,8 622,6 52,1 2000 1.445,2 339,9 23,5 817,7 56,6 2001 1.560,5 338,7 21,7 923,5 59,2 2002 1.629,2 330,0 20,3 964,1 59,2 2003 1.908,8 351,8 18,4 1.203,3 63,0

(5)

digunakan sebagai padang penggemba-laan umum telah beralih fungsi menjadi pe-mukiman, kawasan industri atau jalan raya. Setiap tahun sekitar 40 ribu ha lahan sawah produktif di Jawa beralih fungsi menjadi kegiatan nonpertanian (Departemen Per-tanian 2005). Penyusutan lahan perPer-tanian menimbulkan permasalahan serius dalam penyediaan bahan baku pakan untuk sapi potong. Menyusutnya lahan pertanian juga mengurangi peluang untuk mengem-bangkan budi daya hijauan pakan dan persediaan produk samping tanaman pangan untuk pakan. Semua permasalahan tersebut mengandung makna yang perlu dipelajari, bahwa pengembangan sapi potong sebaiknya diarahkan ke luar Pulau Jawa dan Bali karena ketersediaan lahan masih cukup luas.

Ke depan perlu diupayakan peme-cahannya dengan memanfaatkan sumber bahan pakan alternatif nonkonvensional yang tersedia sepanjang tahun, seperti produk samping perkebunan/industri perkebunan. Produk samping dan hasil ikutan industri perkebunan terus ber-tambah jumlahnya seiring dengan makin luasnya areal perkebunan. Salah satu per-kebunan yang cukup luas arealnya dengan laju pertumbuhan 12,6%/tahun adalah perkebunan kelapa sawit (Liwang 2003).

ALTERNATIF PENYEDIAAN DAN PEMBERIAN PAKAN SAPI POTONG Pakan merupakan komponen biaya produksi tertinggi dalam usaha peternakan, dengan kisaran 65-75% untuk sapi potong. Tingkat produksi dan reproduksi sapi potong di Indonesia lebih rendah di-bandingkan dengan di daerah temperate. Hal tersebut disebabkan ketersediaan dan pemberian pakan tidak mencukupi

ke-butuhan ternak, baik untuk hidup pokok maupun produksi. Kekurangan energi merupakan faktor utama rendahnya efi-siensi produksi dan reproduksi sapi po-tong. Rendahnya kualitas nutrien pakan yang berasal dari produk samping industri pertanian menyebabkan rendahnya tingkat produksi sapi potong di Indonesia.

Banyak penelitian telah dan sedang dilakukan untuk meningkatkan nilai nutrien dan nilai biologis produk samping tanaman dan hasil ikutan agroindustri. Uji lapang hasil penelitian dalam skala labora-torium telah pula dilakukan dan hasilnya cukup menjanjikan. Upaya perbaikan nilai produk samping tersebut dilakukan secara fisik (cacah, giling), kimiawi (sodium hidroksida, urea), biologis (fermentasi dan enzimatis), dan kombinasi ketiganya.

Pemanfaatan produk samping tanaman pangan dan perkebunan yang telah men-dapatkan perlakuan, seperti amoniasi de-ngan urea dan biofermentasi dede-ngan ka-pang (Laconi 1998), merupakan teknologi yang siap diterapkan, meskipun perlu penambahan beberapa komponen pakan imbuhan. Pemberian blok mineral-urea-molases atau teknologi imbuhan probiotik bersama-sama dengan pakan hijauan nonkonvensional spesifik lokasi yang berkualitas rendah merupakan langkah bijak dalam upaya meningkatkan efisiensi penggunaan ransum. Salah satu pakan nonkonvensional yang belum dimanfaat-kan secara optimal berasal dari industri perkebunan kelapa sawit.

PRODUK SAMPING DAN HASIL IKUTAN INDUSTRI KELAPA SAWIT Di Indonesia, tanaman kelapa sawit telah dikenal sejak tahun 1848, dan pertama kali ditanam di Kebun Raya Bogor.

(6)

Pengem-bangan kelapa sawit sebagai penghasil minyak dimulai pada tahun 1911. Ke-seimbangan asam lemak jenuh dan tidak jenuh dalam minyak kelapa sawit mem-perkuat posisi minyak sawit sebagai bahan pangan penting (Fold 2003). Luas tanam kelapa sawit di Indonesia mencapai 2,014 juta ha pada tahun 2000, dengan laju pertumbuhan 12,6%/ tahun (Liwang 2003), sementara Malaysia memiliki luas tanam 2,941 juta ha dengan laju pertumbuhan 5,5%/tahun. Luas tanam kelapa sawit di Indonesia diperkirakan akan terus mening-kat, khususnya perkebunan swasta dan perorangan. Saat ini luas tanam kelapa sawit diperkirakan telah melebihi 6,7 juta ha. Peningkatan luas tanam kelapa sawit menyebabkan produk samping kebun dan hasil ikutan pengolahan kelapa sawit juga bertambah yang berpotensi menimbulkan masalah lingkungan.

Produk samping industri kelapa sawit yang belum dimanfaatkan secara optimal adalah pelepah, daun, tandan kosong, serat perasan, lumpur sawit, dan bungkil kelapa sawit. Salah satu cara pemecahan-nya adalah dengan memanfaatkanpemecahan-nya untuk pakan ternak. Sapi dapat memanfaat-kan produk samping tersebut sebagai pakan dan sekaligus menghasilkan pupuk organik untuk tanaman. Pola integrasi ataupun diversifikasi tanaman dan ternak diharapkan dapat menjadi bagian integral dalam usaha perkebunan. Dengan per-kataan lain, pemanfaatan produk samping industri kelapa sawit pada wilayah perke-bunan dapat menjadi basis pengembangan sapi potong. Kehadiran sapi potong di per-kebunan kelapa sawit diharapkan dapat memberikan nilai tambah, baik secara langsung maupun tidak langsung, selain dampaknya terhadap kebersihan lingkung-an.

Potensi Produk Samping Tanaman dan Hasil Ikutan Industri

Kelapa Sawit

Secara garis besar, produk samping in-dustri kelapa sawit dapat dikelompokkan berdasarkan asal produk, yakni yang ber-asal dari kebun dan dari pabrik pengolahan kelapa sawit.

Produk Samping Asal Kebun. Pro-duksi bahan kering vegetasi alam yang tumbuh di bawah tanaman kelapa sawit bervariasi, bergantung pada pola tanam yang diterapkan, khususnya pada saat tanaman belum berproduksi. Jika ditanam sebagai tanaman tunggal maka vegetasi alam yang dapat dihasilkan berkisar antara 2,8-4,8 ton bahan kering/ha/tahun (Chen

et al. 1991). Produksi hijauan vegetasi alam di bawah tanaman kelapa sawit ber-gantung pada umur tanaman kelapa sawit, yang secara langsung berpengaruh ter-hadap intensitas cahaya yang mencapai areal perkebunan. Jika intensitas sinar matahari yang diterima tanaman rendah maka aktivitas fotosintesis menurun sehingga produksi vegetasi alam menjadi rendah (Whiteman 1980). Demikian pula jika dikelola dengan pola tumpang sari maka produk yang dihasilkan akan sangat bergantung pada jenis tanaman sela yang dibudidayakan. Jika panjang tajuk setiap tanaman kelapa sawit diasumsikan 4 m maka luas lahan yang tidak dapat diman-faatkan adalah 50,3 m2 (22/7 x 4 x 4 m). Jika

setiap hektar lahan ditanami 143 pokok pohon inti maka nilai tersebut setara dengan 7.191 m2. Dengan demikian, lahan

yang tersedia untuk ditanami tanaman sela sekitar 2.809 m2.

Vegetasi alam yang tumbuh di areal perkebunan kelapa sawit terbatas dan tidak

(7)

cukup untuk mendukung penyediaan pakan hijauan secara berkelanjutan. Produk samping yang dihasilkan, baik yang berasal dari tanaman (Ishida dan Hassan 1997) maupun pengolahan buah kelapa sawit (Wan Zahari et al. 2003) berpotensi untuk dioptimalkan sebagai bahan pakan ruminansia, khususnya sapi potong. Produk samping asal kebun meli-puti pelepah, daun, dan batang (Kawamoto

et al. 2001).

Populasi tanaman kelapa sawit dengan jarak tanam 9 m x 9 m adalah 143 tanaman/ ha. Namun kenyataannya jumlah tanaman kelapa sawit setiap hektar hanya mencapai 130 pohon. Variasi jumlah tanaman pokok disebabkan oleh kondisi wilayah yang berbeda-beda. Hasil pengamatan di PT Agricinal menunjukkan bahwa setiap pohon kelapa sawit dapat menghasilkan 22 pelepah/tahun dengan bobot pelepah per batang rata-rata 7 kg (Diwyanto et al. 2004). Jumlah ini setara dengan 20.000 kg (22 pelepah x 130 pohon x 7 kg) pelepah segar untuk setiap hektar dalam setahun. Total bahan kering pelepah yang dihasil-kan dalam setahun mencapai 5.214 kg/ha (Tabel 4). Dengan asumsi luas perkebunan kelapa sawit yang telah berproduksi 60% dari luas tanam, dan luas perkebunan kelapa sawit di Indonesia 4,02 juta ha (tahun 2008) maka jumlah bahan kering pelepah yang tersedia untuk dimanfaatkan mencapai 10.500.996 ton/tahun.

Setiap pelepah dapat menyediakan 0,5 kg daun, yang setara dengan 658 kg bahan kering/ha/tahun (Tabel 4). Selain pelepah dan daun, batang kelapa sawit juga dapat dimanfaatkan sebagai pakan, namun dam-paknya terhadap ternak belum banyak diketahui.

Hasil Ikutan Pengolahan Buah Kela-pa Sawit. Produk utama ekstraksi buah

kelapa sawit adalah minyak sawit (crude palm oil, CPO), sementara hasil ikutannya adalah tandan kosong, serat perasan, lum-pur sawit/solid, dan bungkil inti kelapa sawit. Liwang (2003) melaporkan setiap hektar tanaman kelapa sawit dapat meng-hasilkan 4 ton CPO/tahun, yang diperoleh dari + 16 ton tandan buah segar (TBS) (Jalaludin et al. 1991). Selanjutnya, setiap 1 ton TBS menghasilkan 294 kg lumpur sawit, 35 kg bungkil kelapa sawit, dan 180 kg serat perasan. Jumlah tersebut dapat disetarakan dengan 1.132 kg lumpur sawit, 514 kg bungkil kelapa sawit, 2.681 kg serat perasan, dan 3.389 kg tandan kosong untuk setiap hektar per tahun (Tabel 4). Berdasarkan nilai tersebut maka hasil ikutan pengolahan buah kelapa sawit dari indus-tri kelapa sawit di Indonesia mencapai 2.463.000 ton lumpur sawit, 1.026.000 ton bungkil kelapa sawit, 5.394.000 ton serat perasan, dan 6.818.000 ton tandan kosong. Mengacu pada nilai tersebut maka produksi bahan kering produk samping dari tanaman dan pengolahan kelapa sawit untuk setiap hektar dalam setahun men-capai 13.585 kg. Dengan asumsi luas ta-naman yang telah menghasilkan adalah 60% (4,69 juta ha) maka jumlah produk samping yang dihasilkan hampir mencapai 64 juta ton. Jika diasumsikan hanya 60% produk samping industri kelapa sawit dapat dimanfaatkan maka jumlah ternak sapi yang dapat ditampung mencapai 12 juta ekor. Dengan demikian, daya tampung industri kelapa sawit melebihi populasi sapi potong yang ada di Indonesia saat ini.

NILAI NUTRISI PRODUK SAMPING INDUSTRI KELAPA SAWIT Kandungan nutrien produk samping ta-naman dan hasil ikutan industri

(8)

peng-olahan kelapa sawit telah dilaporkan oleh peneliti Malaysia (Jalaludin et al. 1991) dan Indonesia (Aritonang 1984; Mathius et al. 2004a). Kandungan dan kualitas nutrien produk samping tanaman kelapa sawit cukup rendah (Tabel 5) akibat tingginya kandungan serat kasar, namun kandungan karbohidrat dalam bentuk gula mudah la-rut cukup. Secara umum, kandungan nutrien produk samping tanaman kelapa sawit hampir setara dengan pakan hijauan atau produk samping tanaman pangan (Mathius et al. 1983). Sebagaimana produk samping pertanian, produk samping ta-naman dan pengolahan kelapa sawit perlu diperlakukan secara khusus agar dapat dimanfaatkan secara optimal oleh ternak, baik melalui perlakuan fisik (cacah, giling, tekanan uap), kimiawi (NaOH, urea), bio-logis (fermentasi) maupun kombinasinya.

Untuk meningkatkan konsumsi dan palatabilitas pelepah dan daun kelapa sawit perlu dilakukan pencacahan (Mathius et al. 2004b). Upaya mempertahankan dan meningkatkan kualitas nutrien pelepah kelapa sawit melalui amoniasi, pemberian molases, perlakuan alkali, pembuatan silase, tekanan uap tinggi, peletisasi, dan secara enzimatis telah dilakukan oleh para peneliti di Malaysia dan terbukti dapat meningkatkan kandungan nutrien pelepah. Pengawetan pelepah sawit dalam bentuk silase telah pula dilakukan tanpa meng-ubah kandungan nutrien maupun me-ningkatkan konsumsi (Wan Zahari et al. 2003).

Lumpur sawit merupakan hasil ikutan ekstraksi minyak sawit dan mengandung air cukup tinggi. Produk samping ini dapat menimbulkan masalah lingkungan sehing-Tabel 4. Produksi produk samping tanaman dan olahan kelapa sawit untuk setiap hektar.

Produk samping

Produksi

Bahan segar Bahan kering Bahan kering

(kg) (%) (kg)

Daun tanpa lidi 1.430 46,18 658

Pelepah 20.000 26,07 5.214

Tandan kosong 3.680 92,10 3.386

Serat perasan 2.880 93,11 2.681

Lumpur sawit, solid 4.704 24,07 1.132 Bungkil kelapa sawit 560 91,83 514

Total biomassa 13.585

Asumsi:

Populasi tanaman 130 pohon/ha,

Produksi pelepah 22 pelepah/pohon/tahun,

Bobot pelepah 7 kg,

Bobot daun per pelepah 0,5 kg,

Tandan kosong 23% dari TBS,

Produksi minyak sawit 4 t/ha/tahun (Liwang 2003),

Tiap 1.000 kg TBS menghasilkan 250 kg minyak sawit, 294 kg lumpur sawit, 180 kg serat perasan, dan 35 kg bungkil kelapa sawit (Jalaludin et al. 1991).

(9)

ga upaya untuk mengatasinya dilakukan dengan mengurangi kandungan air lumpur sawit untuk selanjutnya digunakan seba-gai bahan pakan. Produk hasil pemisahan lumpur sawit dari airnya disebut solid atau blondo (Jawa).

Solid mengandung protein kasar 14% dari bahan kering. Upaya untuk mening-katkan kandungan nutrien solid telah pula dilakukan dengan fermentasi secara aerob. Proses tersebut dapat meningkatkan kandungan protein kasar dan energi masing-masing menjadi 43,4% dan 2,34 kkal EM/g (Yeong et al. 1983). Fermentasi dengan menggunakan Aspergillus niger

telah dilakukan oleh para peneliti Balai Penelitian Ternak, Ciawi-Bogor, dan di-laporkan dapat meningkatkan kandungan protein kasar dari 12,21% menjadi 24,5%, sementara kandungan energi metabolis meningkat dari 1,6 menjadi 1,7 kkal/g (Pasaribu et al. 1998; Sinurat et al. 1998; Purwadaria et al. 1999). Namun, teknologi fermentasi tersebut masih perlu disem-purnakan agar dapat diterapkan pada skala lapang (Sinurat et al. 2004).

Bungkil kelapa sawit mengandung nutrien dan nilai biologis yang tinggi sehingga sangat berpotensi sebagai pakan ternak. Tandan kosong dan serat perasan

juga berpotensi sebagai bahan pakan, namun belum banyak dimanfaatkan karena mengandung serat kasar yang cukup tinggi. Upaya meningkatkan nilai nutrien produk samping tersebut untuk pakan ternak ruminansia belum banyak dilakukan, dan lebih banyak dimanfaatkan sebagai bahan baku kompos. Pengolahan pelepah sawit sacara kimiawi dengan menggunakan 8% sodium hidroksida (NaOH) dapat meningkatkan kecernaan bahan kering dari 43,2% menjadi 58% (Jalaludin et al. 1991). Penggunaan sodium hidroksida hingga 12% maupun perlakuan fisik (tekanan uap), kombinasi perlakuan NaOH dengan tekan-an uap menurunktekan-an tingkat kecernatekan-an bahan kering. Belum diketahui alasan yang kuat mengapa perlakuan tersebut dapat me-nurunkan tingkat kecernaan bahan kering.

PEMANFAATAN PRODUK SAMPING INDUSTRI KELAPA SAWIT UNTUK

SAPI POTONG

Produk samping tanaman dan hasil ikutan pengolahan buah kelapa sawit belum dimanfaatkan secara optimal, khususnya sebagai bahan dasar ransum ternak rumi-nansia (Noel 2003). Sebagian besar produk Tabel 5. Komposisi nutrisi produk samping tanaman dan hasil ikutan pengolahan buah kelapa sawit. Bahan/produk BK Abu P K SK L BETN Ca P GE samping (%) ... % BK ... (kal/g) Daun tanpa lidi 46,18 13,40 14,12 21,52 4,37 46,59 0,84 0,17 4.461 Pelepah 26,07 5,10 3,07 50,94 1,07 39,82 0,96 0,08 4.841 Solid/lumpur sawit 24,08 14,40 14,58 35,88 14,78 16,36 1,08 0,25 4.082 Bungkil 91,83 4,14 16,33 36,68 6,49 28,19 0,56 0,84 5.178 Serat perasan 93,11 5,90 6,20 48,10 3,22 - - - 4.684 Tandan kosong 92,10 7,89 3,70 47,93 4,70 - 0,24 0,04 3.367 Sumber: Mathius et al. (2004a).

(10)

samping tersebut mengandung serat kasar cukup tinggi. Oleh karena itu, bila diberikan secara tunggal kepada ternak ruminansia dapat menyebabkan ternak kekurangan pasokan nutrien. Menyadari hal tersebut, para peneliti berupaya untuk meningkatkan nilai nutriennya dengan berbagai cara (Jalaludin et al. 1991).

Ditinjau dari kandungan nutrien, pele-pah kelapa sawit dapat digunakan sebagai sumber atau pengganti pakan hijauan yang umum diberikan sebagai bahan dasar pakan (Hassan dan Ishida 1992), sementara Mathius et al. (2004a) membatasi jumlah pemberian pelepah maksimal 33% dari total kebutuhan bahan kering untuk sapi Bali. Selanjutnya studi awal yang dilakukan Hassan dan Ishida (1992) pada sapi Kedah Kalantan menunjukkan bahwa tingkat kecernaan bahan kering pelepah dapat mencapai 45%. Upaya Wan Zahari et al. (2003) untuk meningkatkan nilai nutrien dan biologis pelepah melalui pembuatan silase dengan menambahkan urea atau molases belum memberikan hasil yang signifikan, tetapi nilai nutrien cenderung meningkat. Namun pemberiannya disa-rankan tidak melebihi 30%. Untuk me-ningkatkan konsumsi dan kecernaan pe-lepah dapat dilakukan dengan menam-bahkan produk ikutan pengolahan buah kelapa sawit.

Penampilan sapi yang diberi pelepah segar atau silase dalam bentuk kubus cukup menjanjikan. Pemberian tepung pelepah dalam bentuk pelet tidak disaran-kan karena ukurannya terlalu kecil, sehing-ga waktu tingsehing-gal pelet dalam saluran pen-cernaan menjadi singkat dan tidak dapat dimanfaatkan secara optimal oleh ternak. Untuk mengoptimalkan penggunaan pelepah kelapa sawit, pemotongan menjadi bentuk kubus (1-2 cm3) lebih disarankan.

Pemberian pelepah sebagai bahan dasar

ransum dalam jangka panjang menghasil-kan kualitas karkas yang baik.

Daun kelapa sawit juga dapat digu-nakan sebagai pengganti pakan hijauan. Namun, pemanfaatan daun kelapa sawit sebagai pakan memiliki kelemahan dalam penyediaannya, yaitu adanya lidi sehingga menyulitkan ternak dalam mengkonsum-sinya. Masalah tersebut dapat diatasi dengan pencacahan yang dilanjutkan dengan pengeringan, penggilingan untuk selanjutnya diberikan kepada ternak dalam bentuk pelet atau balok.

Tandan kosong mengandung serat kasar yang tinggi, yang diindikasikan dengan kandungan serat detergen asam (ADF) yang mencapai 61%, serta memiliki nilai biologis yang rendah. Oleh karena itu, pemanfaatannya disarankan dicampur dengan bahan pakan yang berkualitas. Penggunaannya dalam ransum sapi ber-kisar antara 30-50% dan harus dicacah terlebih dahulu agar ukurannya layak dikonsumsi (+ 2 cm).

Serat perasan merupakan hasil ikutan ekstraksi minyak sawit, dan mengandung protein kasar 6% dan serat kasar 48%. Hassan dan Ishida (1992) melaporkan bah-wa kemampuan ternak untuk mengkon-sumsi serat perasan cukup rendah karena nilai kecernaannya juga rendah, hanya 24-30%. Upaya untuk meningkatkan nilai nutrien dan biologis serat perasan dengan perlakuan kimia (alkali) dan fisik (tekanan tinggi) kurang memberikan manfaat yang berarti, sehingga pemanfaatan serat pe-rasan untuk pakan belum dapat disaran-kan.

Lumpur sawit mengandung protein kasar 12-14%, namun kandungan air yang tinggi (75%) menyebabkan produk sam-ping ini kurang disukai ternak. Kandungan energi yang rendah dengan abu yang ting-gi menyebabkan lumpur sawit tidak dapat

(11)

digunakan secara tunggal sebagai pakan. Upaya untuk meningkatkan kandungan nutrien dan biologis lumpur sawit melalui fermentasi memberi peluang pemanfaatan produk samping tersebut sebagai pakan ternak ruminansia. Namun, jumlah pem-beriannya yang aman belum diketahui de-ngan pasti. Pemberian lumpur sawit di-kombinasikan dengan bungkil kelapa sawit memberikan respons positif pada ternak sapi (Jalaludin et al. 1991).

Bungkil inti kelapa sawit merupakan produk samping yang berkualitas karena mengandung protein kasar cukup tinggi, yakni 16-18%, sementara kandungan serat kasarnya 36%. Pemanfaatan bungkil dengan penambahan produk samping lainnya perlu dilakukan untuk meng-optimalkan penggunaan bungkil sebagai pakan ternak sapi.

Uraian di atas memperlihatkan bahwa hampir seluruh produk samping tanaman dan hasil ikutan pengolahan buah kelapa sawit dapat dimanfaatkan sebagai bahan baku pakan ternak ruminansia, meskipun pemberian secara tunggal tidak disaran-kan. Kelemahan salah satu produk samping dapat dilengkapi dengan kelebihan produk samping lainnya. Imbangan setiap bagian produk samping dalam pakan lengkap belum diketahui dengan pasti. Hasil pe-nelitian awal pada sapi Bali belum mampu menjawab permasalahan tersebut, meski-pun imbangan pelepah, solid, dan bungkil kelapa sawit 1 : 1 : 1 (dasar bahan kering) mampu memenuhi kebutuhan hidup pokok sapi Bali. Sapi Bali muda (umur 1,5 tahun) yang digunakan dalam penelitian baru didatangkan dari daerah yang bukan berbasis perkebunan kelapa sawit. Oleh karena itu, hasil penelitian saat itu baru dapat menunjukkan bahwa ternak sapi dapat memanfaatkan pelepah, solid, dan bungkil kelapa sawit sebagai bahan utama

pakan dengan fase adaptasi yang cukup lama (+ 3 bulan). Hal tersebut tercermin pada penampilan ternak yang kurang memuaskan pada 3 bulan pertama.

Uji biologis pakan yang tersusun dari campuran produk samping kelapa sawit pada sapi telah dilakukan oleh Mathius et al. (2004a). Ransum dengan imbangan 1/3 bagian cacahan daging pelepah, 1/3 bagian solid, dan 1/3 bagian bungkil inti kelapa sawit memberikan hasil terbaik, meskipun belum optimal (pertambahan bobot hidup harian 0,338 kg). Rendahnya tingkat kon-sumsi solid karena tingginya kandungan air bahan sehingga menurunkan tingkat palatabilitas. Salah satu upaya untuk me-ningkatkan palatabilitas solid adalah mela-lui fermentasi. Fermentasi secara aerobik dengan Aspergillus niger telah dilakukan Sinurat et al. (2004). Dilaporkan bahwa kandungan protein kasar produk fermen-tasi tersebut meningkat menjadi 22,1% (dasar bahan kering), sementara kandung-an energi bruto bertambah menjadi 3.804 kal/g (Mathius et al. 2005). Namun, tekno-logi fermentasi tersebut masih memerlukan penyempurnaan. Solid segar yang dihasil-kan oleh decanter masih mengandung air cukup tinggi (sekitar 75%) sehingga proses fermentasi tidak efektif. Pada kondisi seperti itu, bakteri pembusuk akan mudah tumbuh.

Kadar air sangat berpengaruh terhadap keberhasilan fermentasi. Kandungan air substrat lebih dari 60% menghasilkan produk yang kurang baik (Sinurat et al. 2004). Pengkajian fermentasi campuran solid-bungkil dengan kandungan air yang berbeda menunjukkan terjadinya kehilang-an bahkehilang-an kering selama proses fermentasi, sementara kandungan protein kasarnya juga berbeda (Tabel 6). Kehilangan bahan kering selama proses fermentasi disebab-kan mikroorganisme menggunadisebab-kan

(12)

sub-strat untuk berkembang biak dan meng-hasilkan air dan karbon dioksida sebagai sisa metabolisme. Oleh karena itu, kehi-langan bahan kering dapat digunakan sebagai indikator pertumbuhan mikroorga-nisme dalam substrat. Pada penelitian ini, kehilangan bahan kering tertinggi tercapai pada substrat dengan kadar air awal 60%, sedangkan kadar proteinnya tidak ber-beda. Meskipun demikian, perlakuan kadar air 60% adalah yang terbaik karena protein sejati (protein kasar minus protein terlarut) yang ada pada produk lebih tinggi dari produk kedua perlakuan lainnya. Kan-dungan protein produk fermentasi yang diperoleh pada percobaan ini (Tabel 7) lebih rendah dibanding yang dilaporkan Sinurat et al. (1998). Oleh karena itu, penyempurnaan proses fermentasi perlu dilakukan.

Produk fermentasi cukup baik diguna-kan sebagai sumber protein dalam penyu-sunan konsentrat pakan sapi. Umumnya konsentrat sapi hanya mengandung pro-tein sekitar 14%. Dengan demikian, produk fermentasi perlu dicampur dengan bahan lain seperti lumpur sawit segar, bungkil inti sawit dan/atau serat perasan untuk men-capai kadar protein ransum yang diingin-kan. Dengan asumsi bahwa kualitas produk fermentasi dapat meningkat dua kali dari Tabel 6. Kehilangan bahan kering produk fermentasi.

Kadar bahan kering Bahan kering produk Kehilangan bahan Kadar protein substrat awal fermentasi kering kasar

(%) (%) (%) (%)

5 0 62,62 18,74 19,30

4 5 54,25 18,70 20,66

4 0 45,94 36,43 18,67

24* - -

-*Proses fermentasi gagal, dan ditumbuhi oleh kapang pengganggu.

bahan bakunya maka jumlah ternak yang dapat diberi produk fermentasi menjadi dua kali pula.

Pengujian lebih lanjut terhadap kan-dungan nutrien produk fermentasi dari imbangan terbaik, yakni dengan kadar bahan kering 40%, menunjukkan hasil sebagaimana tertera pada Tabel 7. Selanjut-nya imbangan ini digunakan sebagai bahan pada uji biologis pada ternak sapi. Hasil pengujian biologis produk fermentasi dibandingkan dengan konsentrat komer-sial menunjukkan bahwa ternak tidak mengalami gangguan pencernaan. Sub-stitusi solid tanpa fermentasi dengan produk fermentasi meningkatkan nafsu makan ternak (Tabel 8). Sapi yang men-dapat pakan solid fermentasi memberikan respons yang positif dan konsumsi bahan kering meningkat (2,4% vs 3,04% bobot hidup). Peningkatan jumlah pemberian solid terfermentasi hingga 66% justru menurunkan konsumsi bahan kering.

Pola konsumsi protein kasar dan energi mengikuti pola konsumsi bahan kering. Ternak sapi yang mendapatkan ransum yang tersusun dari solid terfermentasi mengkonsumsi lebih banyak protein dan energi. Konsekuensi dari tingkat konsumsi ransum, yang sekaligus mempengaruhi konsumsi nutrien lainnya, terutama protein

(13)

kasar dan energi, adalah pertambahan bobot hidup harian. Laju pertambahan bobot hidup harian pada penelitian ini berkisar antara 0,310-0,582 kg/hari (Tabel 8), lebih tinggi dari yang dilaporkan Sudana (1992) dengan kisaran 0,089-0,208

kg/hari. Hasil pengamatan Panjaitan et al. (2003) terhadap penampilan sapi Bali pada kondisi lapang di daerah NTB selama 3 tahun menunjukkan bahwa pertambahan bobot hidup anak sapi Bali yang belum disapih adalah 0,410 + 0,11 kg/ekor/hari, Tabel 7. Kandungan nutrien bungkil inti sawit, lumpur sawit dan produk fermentasinya.

Uraian Bungkil inti sawit Lumpur sawit Produk fermentasi

Bahan kering - - -Protein kasar 12,20 11,94 22,10 Protein sejati 13,59 10,94 19,74 Lemak 9,60 10,40 18,56 Abu 3,50 28,65 25,85 Serat kasar 21,70 29,76 18,60 Kalsium 0,36 0,74 1,24 Fosfor 0,71 0,46 0,65

Energi total (kal/g) 4.408 3.260 3.804

Tabel 8. Konsumsi dan pertambahan bobot hidup harian sapi dengan berbagai perlakuan pakan limbah sawit. Parameter R1 R2 R3 R4 Konsumsi BK (kg/e) Pelepah 1,84 1,28 1,79 1,74 Solid - 0,46 - -Solid fermentasi - 1,27 1,25 1,84

Bungkil kelapa sawit - - 1,74

-Konsentrat 2,88 - - -Total 4,72 3,55 4,75 3,58 % bobot hidup 3,19 2,43 3,04 2,33 Konsumsi (g/e) Protein kasar 373,40 290,40 536,70 440,55 Serat kasar 1.677 1348,20 823,97 1.152,50 Energi total (kkal) 11.106 15.972 19.284 14.544 Bahan organik 3.632 2.994,50 3.692,65 2.869,50

PBHH (g/hari) 354 310 582 474

Efisiensi konsumsi penggunaan pakan 11,36 9,93 7,04 7,09 R1 : pelepah + konsentrat komersial

R2 : pelepah + solid tanpa fermentasi + bungkil inti sawit R3 : pelepah + solid fermentasi + bungkil inti sawit R4 : pelepah + solid fermentasi

(14)

sementara pertambahan bobot hidup harian sapi Bali muda/pascasapih 0,23 + 0,11 kg. Nilai tersebut lebih rendah dibanding yang diperoleh pada penelitian ini. Nilai pertambahan bobot hidup harian pada sapi yang mendapat ransum solid tanpa fermentasi (0,310 kg) adalah yang terendah, dan yang tertinggi diperoleh pada sapi yang mendapat ransum yang tersusun dari 33% produk terfermentasi (0,582 kg), dan berbeda dengan per-tambahan bobot hidup harian sapi yang diberi ransum yang tersusun dari 66% produk fermentasi (0,474 g). Hasil penelitian ini juga menunjukkan, tingkat efisiensi penggunaan pakan/ransum terbaik diper-oleh pada ternak yang mendapat ransum solid 33%, dengan nilai 7,04, dan yang terendah pada sapi yang mendapat ransum komersial, yakni 11,36.

Mengacu pada data yang diperoleh, diyakini bahwa ternak sapi dapat dikem-bangkan dengan mengandalkan produk samping industri kelapa sawit (Mathius et al. 2004b). Dengan kata lain, produk samping industri kelapa sawit dapat di-andalkan sebagai sumber utama pakan sapi.

MODEL PENGEMBANGAN USAHA SAPI POTONG DI TINGKAT

LAPANG

Pakan yang dapat disediakan oleh industri perkebunan kelapa sawit bersumber pada dua lokasi, yaitu: (1) kebun kelapa sawit, yang dapat menyediakan bahan baku utama berupa vegetasi alam, pelepah, dan daun; dan (2) pabrik kelapa sawit yang dapat menyediakan pakan tambahan berupa solid dan bungkil inti sawit. Produk ikutan pengolahan buah sawit dapat disediakan dalam bentuk seadanya (segar)

maupun dalam bentuk olahan yang di-perkaya kandungan nutriennya melalui fermentasi. Proses pengkayaan dapat dila-kukan oleh perusahaan atau pihak lain, seperti koperasi perusahaan, yang selan-jutnya bertindak menjadi pemasok. Diha-rapkan pemasok memperoleh nilai tambah dari penjualan produk kepada pengguna.

Didasarkan pada pertimbangan ke-sesuaian daya dukung wilayah (pakan), ketersediaan tenaga kerja, serta sarana dan prasarana maka pendekatan dalam upaya pengembangan sapi potong di kawasan industri kelapa sawit dapat dikelompok-kan dalam dua model, yaitu: (1) model usaha perbanyakan, penyediaan bakalan, dan bibit sapi potong; dan (2) model pem-besaran dan penggemukan sapi potong. Model pertama dapat dilakukan pada tingkat para pemanen pada kebun inti dan petani plasma pada kebun binaan, sedang-kan model kedua dapat dijalansedang-kan oleh perusahaan atau koperasi perusahaan.

Model Usaha Perbanyakan dan Penyediaan Sapi Potong Bakalan Terbatasnya luas lahan garapan para pemanen atau petani-kebun maka usaha

cow-calf operation sebaiknya diterapkan dengan jumlah ternak terbatas, yakni 2 ekor sapi potong/ha kebun kelapa sawit. Dengan demikian, petani-kebun dengan lahan garapan 2-4 ha dapat memelihara 4-8 ekor sapi potong, sementara pemanen (karyawan) dengan luas ancak/olahan 10-15 ha dapat memelihara 20-30 ekor sapi potong.

Untuk menekan biaya produksi, baik biaya tenaga kerja maupun penyediaan pakan, khususnya pakan hijauan, maka pola pemeliharaan sebaiknya dilakukan secara semi-intensif, yaitu ternak

(15)

dikan-dangkan pada malam hari dan digemba-lakan secara terbatas (dengan pengawas-an/diikat) pada siang hari. Agar daya du-kung pakan hijauan lokal tersedia sepan-jang tahun maka penggembalaan harus diatur. Defoliasi yang berlebihan dapat terjadi, sehingga keseimbangan vegetasi yang ada harus dipertahankan dan bahkan ditingkatkan untuk menghindari kerusak-an kebun akibat kelebihkerusak-an daya tampung (over-grazing).

Pemberian pakan yang bersumber hanya dari pelepah-daun kelapa sawit, vegetasi alam, dan produk samping tanam-an ptanam-angtanam-an belum mampu memenuhi kebutuhan nutrien sapi potong sehingga akan mengganggu siklus reproduksi dan produksi. Oleh karena itu, ternak perlu mendapat pakan tambahan hasil ikutan pengolahan kelapa sawit. Dengan penga-turan sistem perkawinan yang terarah, para pemanen/petani-kebun dapat menjual ternak bakalan berumur 1-1,5 tahun secara periodik dan berkelanjutan mulai pada tahun kedua atau ketiga. Jumlah ternak yang dijual bergantung pada jumlah ke-pemilikan ternak dan jumlah ternak betina yang dimiliki. Pengeluaran sapi jantan anak diarahkan sebagai sapi bakalan untuk pembesaran dan penggemukan. Diharap-kan pihak perusahaan atau yang ditunjuk dapat menampung sapi bakalan untuk se-lanjutnya dibesarkan, digemukkan, dan dipasarkan. Sapi betina anak dapat didis-tribusikan kembali ke pemanen/petani-kebun untuk dijadikan calon induk. Pola yang diterapkan di tingkat pemanen/pe-tani-kebun tersebut dapat pula diarahkan sebagai sumber bibit sapi potong. Dengan sistem pendataan yang baik, diyakini program tersebut dapat diarahkan untuk penyediaan sapi potong bibit.

Model Usaha Pembesaran dan Penggemukan

Kontinuitas pengadaan sapi bakalan dari model perbanyakan dan penyediaan ba-kalan sangat menentukan keberadaan usaha pembesaran dan penggemukan sapi potong. Untuk itu dibutuhkan ketersedia-an pakketersedia-an yketersedia-ang berkelketersedia-anjutketersedia-an, sumber daya manusia yang terampil, serta sarana dan prasarana yang memadai.

Ketersediaan pakan tidak hanya dalam bentuk hijauan sebagai pakan pokok, te-tapi juga bahan pakan tambahan agar ke-butuhan ternak akan nutrien terpenuhi. Pakan tambahan dapat disusun dari hasil ikutan industri kelapa sawit yang telah di-perkaya kandungan nutriennya dan dileng-kapi dengan pakan imbuhan sebagai sum-ber mineral dan vitamin. Untuk memudah-kan dalam tata laksana harian pengelolaan usaha tersebut, maka pengembangan mo-del pembesaran dan penggemukan sebaik-nya diarahkan ke daerah di sekitar pabrik pengolahan kelapa sawit. Hasil ikutan solid dan bungkil inti kelapa sawit merupakan komponen penting bahan pakan sumber protein dan energi. Hasil ikutan yang telah diperkaya kandungan nutriennya dapat diformulasikan sebagai bahan pakan tam-bahan sehingga pemberian pakan lengkap, dalam arti cukup jumlah dan baik kualitas-nya, dapat dipenuhi dan bobot hidup siap potong dapat tercapai dalam waktu ter-tentu. Dengan asumsi konsumsi bahan kering untuk sapi potong sebanyak 4% dari bobot hidup, dan kapasitas produksi pro-duk samping dan hasil ikutan industri pengolahan kelapa sawit diketahui, maka daya tampung ternak untuk pembesaran dan penggemukan dalam suatu wilayah industri dapat dihitung.

(16)

Hasil pengamatan menunjukkan bah-wa pemberian pakan yang tersusun dari pelepah kelapa sawit, solid yang diper-kaya, dan bungkil inti kelapa sawit dapat meningkatkan pertambahan bobot hidup harian sebesar 0,6 kg/hari (Mathius et al. 2005). Sementara pemberian cacahan pelepah ditambah solid yang belum di-perkaya dan bungkil inti kelapa sawit hanya memberikan pertambahan bobot hidup harian 0,34 kg (Mathius et al. 2004a). Pe-meliharaan sapi secara tradisional hanya mampu menghasilkan pertambahan bobot hidup sapi prasapih 0,21-0,41 kg/hari (Ba-mualim dan Wirdahayati 2003; Panjaitan et al. 2003) dan pada sistem feedlot 0,40 kg/ hari (Oka 2003). Sapi Bali pascasapih dengan kondisi pemeliharaan tradisional di NTT mampu memberikan pertambahan bobot hidup harian 0,21 kg (Bamualim dan Wirdahayati (2003), sementara di NTB mampu tumbuh 0,23 kg/hari (Panjaitan et al. 2003).

Untuk efisiensi pemanfaatan pakan maka penyediaan dan pemberian pakan perlu diperhitungkan sebaik mungkin agar dapat memenuhi kebutuhan harian ternak (konsumsi bahan kering 4% dari bobot hidup). Hal ini juga untuk mencegah pem-borosan pemberian pakan, terutama bila perbedaan bobot hidup individu sapi da-lam suatu kelompok cukup besar. Perubah-an yPerubah-ang terjadi setiap hari pada masing-masing ternak perlu mendapat perhatian sehingga diperlukan sumber daya manusia yang terampil. Sistem pemeliharaan secara intensif mengharuskan pengelolaan yang profesional sehingga model ini disarankan dilakukan oleh badan usaha/anak perusa-haan (seperti koperasi), yang sekaligus dapat bertindak sebagai inti usaha sapi potong.

PENUTUP

Untuk memenuhi permintaan daging perlu diupayakan penyediaan dan pemberian pakan yang memadai agar produktivitas sapi potong dapat ditingkatkan. Sapi po-tong dapat mengubah pakan berserat menjadi sumber pangan yang berkualitas. Produk samping tanaman pertanian belum dimanfaatkan secara optimal, khu-susnya produk samping perkebunan dan hasil ikutan industri kelapa sawit. Dengan inovasi teknologi yang ada, pemanfaatan limbah dan produk samping industri kelapa sawit dapat meningkatkan pertambahan bobot hidup harian sapi potong hingga 72% atau 0,60 kg.

Jika diasumsikan luas lahan perkebun-an kelapa sawit (di luar Pulau Jawa dperkebun-an Bali) yang sedang berproduksi 2.014.000 ha (tahun 2002) maka industri kelapa sawit dapat menampung + 8,5 juta satuan ter-nak. Dengan demikian, populasi sapi po-tong yang ada di Indonesia dapat ditam-pung oleh industri kelapa sawit. Pada saat ini baru 51% populasi sapi potong berada di luar Pulau Jawa dan Bali. Oleh karena itu, perlu pemikiran lebih lanjut dalam penentuan kebijakan penetapan kawasan industri pengembangan, terutama dikait-kan dengan skala kepemilidikait-kan/pengelola- kepemilikan/pengelola-an sapi potong ykepemilikan/pengelola-ang lebih bkepemilikan/pengelola-anyak jum-lahnya.

Mengacu pada pola kepemilikan per-kebuan kelapa sawit (rakyat, swasta dan BUMN), pola usaha sapi potong yang di-sarankan adalah: (1) pola usaha penye-diaan bakalan dan perbanyakan bibit, dan (2) pola pembesaran dan penggemukan. Pola kedua membutuhkan perhatian yang lebih banyak, terutama penyediaan pakan, sehingga pola ini harus dilakukan secara

(17)

intensif. Dalam tata laksana keseharian, sebaiknya pola ini dikelola dalam bentuk kelompok dan/atau oleh perusahaan inti/ koperasi. Untuk mendapat hasil yang me-muaskan, kedua pola ini perlu dilakukan seiring-sejalan secara simultan. Jika kedua pola ini berjalan berdampingan, diyakini produktivitas sapi potong dapat ditingkat-kan dan sekaligus memberi nilai tambah bagi industri kelapa sawit. Dengan perka-taan lain, pendapatan per satuan luas lahan perkebunan kelapa sawit dapat meningkat.

DATAR PUSTAKA

Aritonang, D. 1984. Pengaruh Pemberian Bungkil Inti Sawit dalam Ransum Babi yang Sedang Tumbuh. Disertasi. Fakul-tas Pascasarjana Institut Pertanian Bogor.

Bamualim, A. and R.B. Wirdahayati. 2003. Nutrition and management strategies to improve Bali cattle in eastern Indo-nesia. In K. Entwistle and D.R. Lindsay (Eds.). Strategies to Improve Bali Cattle in Eastern Indonesia. ACIAR Proc. No. 110: 17-22.

BPS. 2003. Statistik Indonesia. Badan Pusat Statistik, Jakarta.

Chen, C.P. 1990. Management of forage for animal production under tree crops. p. 10-23. Proc. Integrated Tree Cropping and Small Ruminant Production System. SR-CRSP. Univ. California Davis, USA.

Chen, C.P., H.K. Wong, and I. Dahlan. 1991. Herbivores and plantation. p. 71-81. In

Recent Advances on the Nutrition of Herbivores. Selangor-Malaysia. MSAP. Departemen Pertanian. 2005. Rencana Pembangunan Pertanian Tahun 2005-2009. Departemen Pertanian, Jakarta.

Direktorat Jenderal Bina Produksi Peter-nakan. 2003. Buku Statistik Peternakan 2003. Direktorat Jenderal Bina Produksi Peternakan, Jakarta.

Diwyanto, K., D. Sitompul, I. Manti, I.W. Mathius, dan Soentoro. 2004. Pengkaji-an pengembPengkaji-angPengkaji-an usaha sistem integ-rasi kelapa sawit-sapi. hlm. 11-22.

Dalam Setiadi et al. (Ed.). Prosiding Lokakarya Nasional Sistem Integrasi Kelapa Sawit-Sapi. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian, Peme-rintah Provinsi Bengkulu dan PT Agricinal.

Fitzhugh, G.H., H.J. Hodgson, O.J. Scoville, T.D. Nguyen, and T.C. Byerly. 1978. The Role of Ruminants in Support of Man. Winrock International, Arkansas USA.

Fold, N. 2003. Oil palm: Market and trade. Burotrop Bull. 19: 11-13.

Fordyce, G., T. Panjaitan, Muzani, and D. Poppi. 2003. Management to facilitate genetic improvement of Bali cattle in eastern Indonesia. In K. Entwistle and D.R. Lindsay (Eds.). Strategies to Improve Bali Cattle in Eastern Indo-nesia. ACIAR Proc. No. 110: 23-28. Gongal, G.N. 1996. Aspects of the focal

theme. Anim. Res. Dev. 43/44: 9-14. Hassan, O.A. and M. Ishida. 1992. Status

of utilization of selected fibrous crop residues and animal performance with special emphasis on processing of oil palm frond (OPF) for ruminant feed in Malaysia. Trop. Agric. Res. Series 24: 135-143.

Ishida, M. and O.A. Hassan. 1997. Utiliza-tion of oil palm frond as cattle feed. JARQ 31: 41-47.

Jalaludin, S., Y.W. Ho, N. Abdullah, and H. Kudo. 1991. Strategies for animal improvement in Southeast Asia. In

(18)

Utilization of Feed Resources in Re-lation to Utilization and Physiology of Ruminants in the Tropics. Trop. Agric. Res. Series 25: 67-76.

Jaya, U. 1999. Daging sapi Indonesia berpeluang ekspor. Semai 2(3): 6-9. Kawamoto, H., M. Wan Zahari, N.I. Mohd

Shukur, M.S. Mohd Ali, Y. Ismail, and S. Oshio. 2001. Palatability, digestibil-ity and voluntary intake of processed oil palm fronds in cattle. JARQ 35(3): 195-200.

Laconi, E.B. 1998. Peningkatan Mutu Pod Kakao Melalui Amoniasi dengan Urea dan Fermentasi dengan Phanero-chaete chrysosporium serta Penja-barannya ke dalam Formulasi Ransum Ruminansia. Disertasi Program Pasca-sarjana, Institut Pertanian Bogor. Liwang, T. 2003. Palm oil mill effluent

management. Burotrop Bull. 19: 38. Mathius, I-W., M. Rangkuti, dan L.P.

Batubara. 1983. Pemanfaatan jerami kacang tanah sebagai pakan domba. hlm. 143-151. Prosiding Seminar Pe-manfaatan Limbah Pangan dan Limbah Pertanian untuk Makanan Ternak. Lembaga Kimia Nasional LIPI Ban-dung.

Mathius, I-W., J.E. van Eys, M. Rangkuti, N. Thomas, dan W.L. Johnson. 1984. Karakteristik sistem pemeliharaan ternak ruminansia kecil di Jawa Barat: Aspek makanan. hlm. 37-41. Prosiding Domba dan Kambing di Indonesia. Pusat Penelitian dan Pengembangan Peternakan, Bogor.

Mathius, I-W., D. Sitompul, B.P. Manu-rung, dan Azmi. 2004a. Produk samping tanaman dan pengolahan kelapa sawit sebagai bahan pakan ternak sapi po-tong: Suatu tinjauan. hlm. 120-128. Pro-siding Lokakarya Nasional Sistem

In-tegrasi Kelapa Sawit-Sapi. Badan Penelitian dan Pengembangan Perta-nian, Pemerintah Provinsi Bengkulu dan PT Agricinal.

Mathius, I-W., Azmi, B.P. Manurung, D.M. Sitompul, dan E. Priyatomo. 2004b. Integrasi sapi-sawit: Imbangan peman-faatan produk samping sebagai bahan dasar pakan. hlm. 439-446. Prosiding Sistem Integrasi Tanaman-Ternak. Pusat Penelitian dan Pengembangan Peternakan, Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Bali dan CASREN.

Mathius, I-W., A.P. Sinurat, B.P. Manu-rung, D.M. Sitompul, dan Azmi. 2005. Pemanfaatan produk fermentasi lum-pur-bungkil sebagai bahan pakan sapi potong. Prosiding Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner. Pusat Penelitian dan Pengembangan Peternakan, Bogor.

Moran, J.B. 1979. The performances of Indonesian breeds of cattle in Indo-nesia when fed high concentrate diets. Mimeo Report. Center for Animal Researh and Development, Bogor. Noel, J.M. 2003. Processing and

by-products. Burotrop Bull. 19: 8. Oka, L. 2003. Performance of Bali cattle

heifers and calves prior to weaning in the feedlot system. In K. Entwistle and D.R. Lindsay (Eds.). Strategies to Improve Bali Cattle in Eastern Indo-nesia. ACIAR Proc. No. 110: 14-16. Panjaitan. T., G. Fardyce, and D. Poppi. 2003.

Bali cattle performance in dry tropics of Sumbawa. Jurnal Ilmu Ternak dan Veteriner 8(3): 183-188.

Pasaribu, T., A.P. Sinurat, T. Purwadaria, Supriyati, dan H. Hamid. 1998. Pening-katan nilai gizi lumpur sawit melalui proses fermentasi: Pengaruh jenis kapang, suhu dan lama proses

(19)

enzi-matis. Jurnal Ilmu Ternak dan Veteriner 3(4): 237-242.

Purwadaria, T., A.P. Sinurat, Supriyati, H. Hamid, dan I.A.K. Bintang. 1999. Evaluasi nilai gizi lumpur sawit fermentasi dengan Aspergillus niger

setelah proses pengeringan dengan pemanasan. Jurnal Ilmu Ternak dan Veteriner 4(4): 257-263.

Sinurat. A.P., T. Purwadaria, J. Rosida, H. Surachman, H. Hamid, dan I P. Kom-piang. 1998. Pengaruh suhu ruang fer-mentasi dan kadar air substrat terhadap nilai gizi produk fermentasi lumpur sawit. Jurnal Ilmu Ternak dan Veteriner 3(4): 225-229.

Sinurat AP., T. Purwadaria, I-W. Mathius, D.M. Sitompul, dan B.P. Manurung. 2004. Integrasi sapi-sawit: Upaya pemenuhan gizi sapi dari produk samping. hlm. 424-429. Prosiding Seminar Sistem Integrasi Tanaman-Ternak. Pusat Penelitian dan Pengem-bangan Peternakan, Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Bali dan CASREN. Sudana, I.B. 1992. Urea mollases block supplement for Bali cattle fed on rice straw basal diet. p. 184-187. In M.N.M. Ibrahim., R.de Jong, J. van Bruchem, and H. Purnomo (Eds.). Livestock and Feed Development in the Tropics. Malang.

Sutrisno, D. Adisuwiryo, Munadi, dan Sudjadi. 1978. Heat tolerance pada sapi peranakan dan Ongole di Kabupaten Banyumas. Prosiding Seminar Rumi-nansia No. 1. Pusat Penelitian dan Pengembangan Peternakan, Bogor.

Thalib, C., K. Entwistle, A. Siregar, S. Budiarti-Turner, and D. Lindsay. 2003. Survey of population and production dynamics of Bali cattle and existing breeding programs in Indonesia. In. K. Entwistle and D.R. Lindsay (Eds.). Strategies to Improve Bali Cattle in Eastern Indonesia. ACIAR Proc. No. 110: 3-9.

Tillman, A.D. 1983. Animal Agriculture in Indonesia. Winrock International, Ar-kansas, USA.

Trikesowo, N. 2004. Peluang dan Kendala Pengembangan Agribisnis Peternakan Sapi. Lokakarya Intern. Pusat Peneli-tian dan Pengembangan Peternakan, Bogor.

Wan Zahari, M., O.B. Hassan, H.K. Wong, and J.B. Liang. 2003. Utilization of oil palm frond-based diets for beef cattle production in Malaysia. Asian-Aust. J. Anim. Sci. 16(4): 625-634.

Whiteman, P.C. 1980. Tropical Pasture Science. Oxford University Press, Oxford.

Yeong, S.W., T.K. Mukherjee, M. Faizah, and M.D. Azizah. 1983. Effect of palm oil by-product-based diets on repro-ductive performance of layers in-cluding residual effect on offspring. Phil. J. Vet. Anim. Sci. IX(1-4): 93-100. Zarate, A.V. 1996. Breeding strategies for

marginal regions in the tropics and subtropics. Anim. Res. Dev. 43/44: 99-118.

Gambar

Tabel 1. Produksi, impor, dan konsumsi daging nasional, 1993-2003.
Tabel 3. Produksi daging nasional dan sumbangan daging sapi potong dan unggas, 1970-2003.
Tabel 4. Produksi produk samping tanaman dan olahan kelapa sawit untuk setiap hektar.
Tabel 5. Komposisi nutrisi produk samping tanaman dan hasil ikutan pengolahan buah kelapa sawit.
+3

Referensi

Dokumen terkait

Di mana internet dapat memperkenalkan segala sesuatunya dengan jelas dan internet adalah tempat yang memungkinkan semua orang saling bertukar informasi dengan mudah dan ringan. Hal

[r]

Sesuai dengan jadwal pelelangan umum Pembangunan Kantor Camat Bolo Tahun Anggaran 2014 pada Satuan Kerja Bagian Administrasi Pemerintahan Sekertariat Daerah Kabupaten

keuntungan  dari  PT  kepada  anggota/pengurus  yang  berstatus  orang  pribadi  disamakan  atau  dianggap  sebagai  deviden  (Ps.4  ayat  1  huruf 

Teknik total sampling adalah teknik pengambilan sampel dimana jumlah sampel sama dengan populasi (Sugiyono, 2004) Pada penelitian ini sampelnya adalah seluruh

Penguasaan terhadap pengetahuan tersebut akan mempermudah seorang pemain drum dalam menginterpretasikan komposisi musik untuk drum sesuai dengan apa yang

lebih lanjut mengenai Pola Konsumsi Media Remaja Dalam Memperoleh Informasi Kesehatan Reproduksi di SMAN 1 Stabat. 1.2

Untuk interval 3 jam yang ke 27 sample 3 O.AT yang ditunjukkan pada gambar 4.32, perubahan yang terjadi yaitu semen sedikit berwarna lebih gelap, butiran semen dan