Oseana, Volume XXVII, Nomor I, 2002 : 19-25 ISSN 0216- 1877
PEMULIHAN POPULASI TERIPANG MELALUI FISION,
MUNGKINKAH ???
Oleh
Pradina Purwati
ABSTRACT
REPOPULATING HOLOTHURIANS BY FISSION, IS IT POSSIBLE?.
Popula-tions possess potential to self-recover, but when the rate is slower than that of re-moval, the populations may be depleted. Induced fission may be an option for effec-tive population recoveries. This paper presents possibilities of the use of asexual reproduction capacity by fission on stock restoration of fissiparous holothurians. Advantages and disadvantages of recruitment by fission, compare to that of sexual reproduction will be discussed, as well as the need of preliminary experiments due to lack of information.
PENDAHULUAN
Terus merosotnya jumlah cadangan sumber day a di alam sesungguhnya merupakan hal yang selalu dikhawatirkan oleh para ilmuwan yang bergerak di bidang lingkungan dan sumberdaya. Kekhawatiran ini tidak hanya menyangkut aspek ekonomi, tetapi juga karena dampak yang ditimbulkannya, seperti perubahan keseimbangan ekosistem dan ancaman hilangnya plasma nutfah. Sumberdaya yang memiliki nilai jual berpotensi untuk mengalami ancaman seperti ini.
Menyusutnya cadangan alam (stock depletion) sebenarnya disebabkan oleh
sedemikian cepatnya tingkat pengurangan individu sehingga populasi yang bersangkutan tidak mempunyai waktu dan kesempatan untuk berkembang biak, mengganti anggota populasi yang hilang (self-recovery). Teripang, salah satu kelompok anggota Ekhinodermata adalah salah satu contoh sumberdaya yang mengalami hal ini. Kelompok hewan ini berukuran cukup besar dengan pertumbuhannya yang lambat. Habitat yang ditempati umumnya adalah perairan laut dangkal. Sifat-sifat ini memperburuk kondisi populasinya jika terjadi penangkapan yang terus menerus, selain lemahnya mekanisme pengaturan penangkapannya.
Penurunan jumlah stok teripang yang drastis ironisnyajustru terjadi di negara-negara yang tidak atau sedikit sekali mengkonsumsi teripang. Indonesia, Thailand, Philipina, Maldives dan negara tropis lainnya (AKAMINE 2000, BUSSARAWIT & THONGTHAM 1999, CONAND 1999, REICHENBACH & HOLLOWAY 1995) adalah contohnya. Dengan negara pengimport terbesar Hongkong dan Singapura, jumlah teripang yang ditangkap di seluruh dunia diperkirakan 120.000 ton per tahun, dan pasokan terbesar adalah dari Indonesia sejak 1987 (CONAND & BYRNE 1993, CONAND 1999), yang seluruhnya bisa dikatakan diambil dari stok alam.
Ada beberapa cara untuk pengembalian stok alam, yang bisa diterapkan pada teripang. Pertama adalah yang diterapkan pada populasi yang potensial mengalami tangkap lebih. Untuk populasi ini, aturan penangkapan harus segera diterapkan, termasuk jumlah yang boleh ditangkap, ukuran yang boleh ditangkap, juga cara-cara pemrosesan. Yang terakhir pen ting diperhatikan karena akan berdampak pada nilai jual yang pantas, yang selanjutnya dapat dijadikan patokan pendapatan per-orang yang menjadi bahan pertimbangan jumlah teripang yang boleh ditangkap per-orang. Ini akan jadi mekanisme pengereman perburuan.
Kedua adalah cara yang diterapkan pada populasi yang telah mengalami penurunan jumlah. Hal yang diperlukan untuk memulihkannya adalah dengan memberikan waktu "istirahat" pada populasi teripang dan berbagai gangguan termasuk gangguan pada habitatnya maupun pemanenan. Waktu istirahat ini dimaksudkan sebagai kesempatan untuk berbiak dan tumbuh bagi individu-individunya. Jika penbiakannya dilakukan secana seksual, maka jumlah individu per luas areanya harus sedemikian banyak sehingga garnet jantan dan betina mudah bertemu.
Ketiga adalah yang diterapkan pada populasi telah habis akibat tangkap lebih,
dimana jumlah individu per satuan areanya terlalu kecil, yang membawa resiko pada kegagalan fertilisasi. Cara yang bisa ditempuh adalah memasukkan/menambahkan individu-individu teripang, baik yang berasal dan hasil budidaya berupa larvae atau juvenil (reseed-ing), atau berupa individu dewasa diambil dari habitat lain (transplantasi).
Sebenarnya implementasi atau penerapan management penangkapan teripang juga membutuhkan waktu, seperti halnya penemuan teknik budidaya. Keduanya bisa dilakukan secara bersamaan. Sampai saat ini, teknik-teknik budidaya teripang masih terus diupayakan. Keberhasilan budidaya melalui reproduksi seksual baru dapat diraih pada Stichopus japonicus di Jepang (YANAGISAWA 1995, ITO & KITAMURA 1998) dan Holothuria scabra di India (BATTAGLENE 1999, JAMES 1999, JAMES et al. 1994). Khusus pada species yang pertama, kebutuhan konsumsi sudah berhasil dipasok oleh produk hasil budidaya.
Usaha budidaya melalui reproduksi seksual yang tampaknya masih memerlukan waktu panjang, mendorong usaha penemuan metoda lain yang lebih cepat, efektif dan memungkinkan untuk diterapkan oleh penduduk kepulauan. Persyaratan utama yang perlu dipertimbangkan tentunya biaya yang murah, teknologi yang sederhana baik dalam hal sumberdaya manusianya maupun peralatan, sertamenguntungkan dalam segi waktu, Selain itu, juga perlu dipertimbangkan efeknya terhadap habitat yang bersangkutan. Pemanfaatan potensi fision kiranya layak untuk diusulkan.
MENGAPA FISION?
Aspek reproduksi aseksual melalui fision telah dijabarkan dan didiskusikan dalam publikasi PURWATI (2001b). Beberapa rujukan yang dianjurkan di baca untuk memahami fision antara lain EMSON &
WILKIE (1980), EMSON & MLADENOV (1987), CONAND & DeRIDDER (1990), CONAND (1996), CONAND et al. (1997, 1998), UTHICKE (1997, 1998, 1999, 200 la,b), UTHICKE etal. (1998).
Penelitian dan publikasi tentang reproduksi aseksual melalui fision tidak sepopuler reproduksi seksual. Penyebabnya mungkin karena sangat sedikitnya jumlah jenis teripang yang fisiparous, dan fisionnyapun tidak selalu muncul di semua habitat. Selain itu, perioritas penelitian biasanya berhubungan dengan urgency (kepentingan yang mendesak) seperti penyelamatan plasma nutfah dan pemulihan stok alam. Dari sekitar 10 jenis teripang yang fisiparus, hanya 3 spesies yang memiliki nilai jual, yaitu Holothuria atra, Holothuria leucospilota, Stichopus
chloronotus, itupun menurut CONAND &
BYRNE (1993) masih menjadi prioritas ketiga dalam perburuan. Dalam tahun - tahun terakhir, ada kecenderungan peningkatan kebutuhan pasar akan ketiga jenis ini (AKAMINE 2000, P30 LIPI, 2000; BUSSARAWIT & THONGTHAM 1999, REICHENBACH & HOLLOWAY 1995), yang sangat mungkin sebagai dampak semakin sedikitnya stok jenis teripang yang unggul seperti Holothura scabra (teripang pasir) dan Holothuria nobilis (teripang susu).
Ada beberapa keuntungan dan kekurangan dan pemanfaatan potensi fision dalam usaha pemulihan populasi, jika dibandingkan dengan reproduksi seksual.
Keuntungan:
1. Individu hasil fision sudah beradaptasi pada habitat induknya. Dalam reproduksi aseksual melalui pembelahan seperti ini, induk dan individu hasil fision tidak perlu berpindah tempat. Di habitatnya, seringkali kedua belahan hasil fision ditemukan tidak berjauhan.
2. Fision tidak memerlukan jumlah individu yang banyak. Pada reproduksi seksual, jumlah relatif induk dalam populasi terhadap luas habitatnya sangat menentukan. Ini berhubungan dengan jumlah telur dan sperma yang bertemu di massa air. Semakin sedikit individu, semakin sedikit jumlah sel kelamin yang dilepas dan semakin kecil kemungkinannya bertemu untuk fertilisasi di massa air. 'Re cruitment′ (penambahan individu baru ke
habitat) melalui fision tidak memerlukan persyaratan ini.
3. 'Recruitment′ melalui fision terhindar dari
masa kritis larvae dan juvenil. Masa larva teripang diketahui relatif lama, 1-2 bulan, dan waktu selama itu menjadi periode yang berat karena besarnya kemungkinan termangsa, terbawa arus keluar habitatnya, dan kekurangan makanan. Fision bebas dan kondisi kritis semacam ini.
4. Pertumbuhan individu hasil fision relatif lebih cepat. Pertumbuhan individu baru hasil fision dimulai dari ukuran yang lebih besar (dibandingkan juvenil hasil reproduksi seksual), sehingga ada efisiensi. 5. 'Recruitment' melalui fision berarti juga
penghematan dalam hal tenaga, waktu dan biaya. Dalam melakukan 'induced fision' (pembelahan yang dirangsang), tidak diperlukan tenaga yang banyak, juga tidak diperlukan ruang/tempat khusus karena bisa dikerjakan di habitat alamiahnya. Teknologinya pun sederhana sehingga tidak memerlukan teknik dan fasilitas yang canggih, sehingga biaya operasional pun minimal.
Kerugian:
1. Hasil fision memiliki genotip yang identik. Karena fision dilakukan tanpa melibatkan khromosom dan gen seperti halnya dalam fertilisasi, individu hasil fision kembar
identik. Hal ini bisa merugikan jika dilihat dalam jangka waktu yang panjang, karena variasi genetik dalam populasinya menjadi sempit. Dampak yang mungkin terjadi adalah rendahnya daya toleransi terhadap perubahan faktor-faktor lingkungan, termasuk penyakit.
2. 'Recruitment' yang dihasilkan melalui fision hanya dua kali jumlah induk.
METODA
Fision pada spesies fisiparus dapat terjadi secara alamiah di laboratorium, terutama jika pemeliharaannya dilakukan pada periode musim reproduksi aseksual. UTHICKE (1997) melaporkan bahwa
S.chloronotus dan H.edulis yang dibawa ke
laboratorium dari populasi fisiparus, melakukan fision pada periode yang sama dengan periode musim fision di habitat asalnya. Demikian juga//. leucospilota yang melakukan fision tanpa adanya perlakuan khusus di laboratorium (PURWATI 2001a). Namun demikian, yang kita inginkan sekarang adalah pembelahan yang dapat kita kontrol, sehingga fision dapat terjadi pada populasi yang tidak melakukan reproduksi aseksual di habitatnya, baik dan jenis yang fisiparus maupun yang non fisiparus.
Metoda yang akan dipaparkan merupakan bahan mentah yang masih perlu modifikasi. Metoda ini terutama merujuk pada percobaan REICHENB ACH & HOLLOWAY (1980). Hal yang perlu ditambahkan pada percobaan mereka adalah posisi pengikatan pada tubuh spesimen, yang harusnya merupakan area fision. Kompilasi Hteratur menunjukkan bahwa area fision cenderung spesifik untuk masing-masing spesies (PURWATI 2001 a).
Dalam propagasi aseksual (meminjam istilah REICHENB ACH dan Holloway, 1995), individu percobaan akan melalui tahap 'induced fision' (fision buatan) dan tahap regenerasi. 'Induced fision' bertujuan merangsang individu untuk membelah. Ini bisa dilakukan dengan mengikat tubuh teripang (misalnya dengan karet atau bahan lain yang tidak membuat kulit teripang rusak) pada titik tertentu sepanjang tubuhnya, sesuai dengan area fisian spesies yang bersangkutan. Untuk H.atra pengikatan dapat dilakukan pada titik 44% dari lubang mulut,
H.leucospilota 1/4-1/ 3 dari lobang mulut dan S.chloronatus 1/3 panjang tubuh dan lobang
anal. Lamanya proses terbelahnya tubuh menjadi dua ini akan bervariasi. Beberapa informasi dapat dijadikan patokan, antara lain S.chloronatus membutuhkan waktu fision 5-12 jam (UTHICKE 2001b).
Tahap selanjutnya adalah regenerasi, dimana setiap belahan hasil fision akan menumbuhkan kembali organ-organ yang hilang. Regenerasi dapat dilakukan spesimen bersangkutan di habitatnya, mengingat tidak diperlukannya perlakuan khusus. Selama regenerasi, spesimen menjadi pasif. Pada periode ini, sangatlah penting memberi kesempatan pada spesimen bersangkutan hidup tanpa terganggu. Penyediaan kurungan akan sangat bermanfaat untuk menghindarkan individu-individu ini dan kemungkinan terbawa arus, dan menjauhkan spesimen dari predator. Selain itu, kurungan juga akan memudahkan monitoring.
Pada saat proses fision dan regenerasi berlangsung, spesimen tidak memerlukan makan karena pembelahan ini melibatkan juga pembagian dan penumbuhan kembali alat pencernaan. Oleh sebab itu kebugaran spesimen yang dipilih menjadi sangat penting, Cadangan makanan dalam tubuh spesimen boleh jadi menjadi salah satu modal keberhasilan regenerasi.
KENDALA
Hingga saat ini, belum diketahui mengapa tidak semua populasi dan spesies fisiparus melakukan reproduksi aseksual. Apakah ada variasi genetik antara yang melakukan reproduksi seksual dan yang tidak, ataukah kemunculan fision hanya berhubungan dengan faktor-faktor lingkungan. Dan apakah benar setiap spesies fisiparus menuntut kondisi eksternal tententu, yang berbeda bagi setiap spesies agar reproduksi aseksual melalui fision muncul.
Dalam menentukan populasi yang akan menjadi target percobaan, perlu diketahui apakah populasi tersebut bereproduksi aseksual, musiman atau sepanjang tahun. Melakukan propagasi aseksual pada saat fision di habitatnya mencapai maksimum, akan lebih menjamin kesuksesan.
Karena keterbatasan informasi tentang fisipariti, posisi ikatan dalam melakukan 'induced fision' masih perlu ditentukan. Walaupun ada kecenderungan bahwa setiap jenis teripang fisiparus memiliki area fision berbeda, belum diketahui apakah posisi dimana tubuh terbagi menjadi dua, bersifat mutlak seperti yang diintepretasikan dan pengamatan
in situ, atau posisi fision masih bisa bergeser.
Juga belum dapat diketahui apakah area ini yang menentukan keberhasilan regenerasi, atau ada faktor lain seperti persiapan fisiologis dan anatomis yang menjadi penentunya. Berdasarkan hasil laporan fision di beberapa habitat, diketahui ada kecenderungan bahwa fision tidak dilakukan secara spontan, tetapi memerlukan waktu pensiapan sebelum tubuh terbelah menjadi dua. Jika fenomenanya memang demikian, maka penentu keberhasilan pencobaan propagasi aseksual tidak hanya pada kesuksesan dalam merangsang individu untuk membelah dan kesempatan yang diberikan untuk regenerasi, tetapi juga faktor internal. Faktor internal ini menyangkut masa persiapan yang sangat mungkin berhubungan dengan
penimbunan makanan cadangan untuk beregenerasi.
Ukuran spesimen yang digunakan dalam propagasi aseksual ini tampaknya juga dapat menjadi penentu keberhasilan. Dan hasil pengamatannya CHAO et al. (1993) dan REICHENBACH et al. (1996) menyimpulkan bahwa individu yang berukuran relatif kecil lebih mudah mengalami fision dan lebih cepat melakukan negenerasi.
PENUTUP
Ukuran tubuh yang mudah terlihat dan hidup di perairan yang relatif dangkal, menjadikan teripang sebagai; 'easy target' (mudah diperoleh). Karena teripang termasuk hewan yang tumbuh lambat, diperlukan waktu agak lama untuk mengganti individu-individu yang hilang dari habitatnya. Restocking sebenarnya pilihan terakhir kalau saja ada penerapan aturan main dalam memanfaatkan teripang. Aturan ini dapat berupa pembatas ukuran yang boleh dipanen, jumlah maksimal yang dipanen dan ada jarak waktu antara musim panen yang satu dengan yang lain di suatu habitat. Hal yang hingga saat ini belum dianggap penting oleh nelayan Indonesia adalah bagaimana caranya menyediakan teripang siap jual dengan kondisi prima. Sampai saat ini nelayan teripang kita tidak mengenal standart kualitas teripang yang diingini pasar, sehingga nilai jualnya lebih rendah dari harga yang seharusnya untuk spesies yang bersangkutan. Oleh karena itu, membangun jaringan kerja dalam usaha pemberdayaan sumber daya alam teripang, yang berdampak pada penyelamatan teripang di habitatnya, berdasarkan 'community-based management1 (atau pengaturan berdasarkan
kesadaran masyarakat setempat) adalah salah satu hal yang layak dirintis. Samoa di Samudra Pasifik (KING & FAASILI 1999) merupakan negara yang terus mengembangkan mekanisme seperti ini.
DAFTAR PUSTAKA
AKAMINE, J. 2000. Sea cucumbers from the coral reef to the world market. In
Bisayan knowledge, movement & iden-tity (Ushijima, I. & C.N. Zayas eds.).
Quezon city, the Philippines : 223-244. BATTAGLENE, S. C. 1999. Culture of the
tropical sea cucumber for stockrestoration and enhancement.
Naga, the Iclarm Quarterly-22(4) :
5-11.
BUSSARAWIT, S. & THONGTHAM, N. 1999. Sea cucumber fisheries and trade in Thailand. Proc. International
Con-ference: The conservation of sea cucumbers in Malaysia, their tax-onomy, ecology and trade. Kuala
Lumpur. Malaysia: 26-36.
CHAO, S-M, CHEN, C.-R & ALEXADER, P. S. 1993. Fission and its effect on population structure of Holothuria atra (Echinodermata: Holothuroidea) in Taiwan. Marine Biology-\\6:109-115. CON AND, C. & DE RIDDER, C. 1990.
Re-production asexuee par scission chez
Holothuria atra (Holothuroidea) dens
populations de platiers recifoux. In
Echinoderm Research (DeRIDDER,
Dubois, Lohaye, Jangoux eds.). Balkema, Rottendam : 71-75.
CONAND, C. and BYRNE, M. 1993. A re-view of recent developments in the world sea cucumber fisheries. Marine
Fisheries Review-55(4): 1-13.
CONAND, C. 1996. Asexual reproduction by fission in Holothuria atra: variability of some parameters in populations from the tropical Indo-Pacific. Oceanologia
Acta-19 (3-4): 209-216.
CONAND, C. 1998. Overexploitation of the present world sea cucumber fisheries and perspective ini maniculture. In
Echinoderms (Mooi, R. & Telford, M.,
eds.), Balkema, Rottendam : 449-454. CONAND, C, ARMAND, J., DIJOUX, N. &
GARRYER, J. 1998. Fission in a popu-lation of Stichopus chloronotus on Reunion Island, Indian Ocean. SPC
Beche-de-mer Information Bulletin-10 :
15-23.
CONAND, C, MOREL, C. & MUSSARD, R. 1997. A new study of asexual reproduc-tion in holothurian: fission in
Holothuria leucospilota populations on
Reunion Island in the Indian Ocean. SPC
Beche-de-mer Information Bulle-tin-9:5-ll.
EMSON, R. E. & MLADENOV, P. V. 1987. Studies of the fissiparous holothunians
Holothuria parvula (Selenka)
(Echino-dermata: Holothuroidea). Journal of
Experimental Marine Biology and Ecology-Ill: 159-211.
EMSON, R. H. & WILKIE, I. C. 1980. Fis-sion and autotomy in echinoderms.
Oceanography Marine Biology Annual Review-I S : 155-250.
ITO, S. & KITAMURA, H. 1998. Technical development in seed production of Japanese sea cucumber, Stichopus
japonicus. SPC Beche-de-mer Informa-tion Bulletin-10: 24-28.
JAMES, D.B. 1999. Hatchery and culture tech-nology for the sea cucumber,
Holothuria scabra, Jaeger, in India.
Naga, the Iclarm Quarterly'-22(4): 12-16.
JAMES, D.B., GANDHI, A. D., PALANISMA, N. & RODRIGO, J. X. 1994. Hatchery techniques and culture of the sea cucumber Holothuria scabra.
Central Marine Fishery Research In stitute Special Pubi 57 : 40pp.
KING, M. & U. FAASILI. 1999. Community-based management of subsistence fisheries in Samoa. Fisheries
Manage-ment and Ecology-6 : 13 3-144.
P3O LIPI. 2000. Laporan Akhir Proyek Pengembangan dan Penerapan IPTEK Kelautan: 102 pp.
PURWATI, P. 200 1a. Reproduction in a fis-siparous holothurian species,
Holothuria leucospilota Clark 1920 in
tropical waters of Darwin, Northern Territory, Australia. MSc. Thesis. Northern Territory University, Darwin : 139 pp.
PURWATI, P. 2001b. Ekspresi fision dan konsekuensinya bagi populasi fisiparus Holothuroidea. Oseana (Dalam persiapan).
REICHENBACH, N. & HOLLOWAY, 5. 1995. Potential for asexual propagation of several commercial important spe cies of tropical sea cucumber (Echino- dermata).
Journal of the World Aquaculture So-ciety-26 (3): 272-278.
REICHENBACH, N., NISHAR, Y. & SAEED, A. (1996). Species and size-related trends in asexual propagation of com-
mercially important species of tropical sea cucumber (Holothuroidea). Journal of
the World Aquaculture Society-21 (4) :
475-482.
UTHICKE, S. (1997). Seasonality of asexual reproduction in Holothuria (Halodeima) atra, H. edulis and
Sticho-pus chioronotus (Holothuroidea:
Aspidochirotida ) on the Great Barrier Reef. Marine Biology-129 : 435-441. UTHICKE, S. (2001a). Influence of asexual
reproduction on the structure and dynamics of Holothuria (Halodema)
atra and Stichopus chloronatus
popu-lations of the Great Barrier Reef. Marine
Freshwater Research-52(2): 205-215.
UTHICKE, S. (2001b). The process of asexual reproduction by transverse fission in S.
chioronotus (greenfish). SPC Beche-demerInformationBuletin-\A : 23-25.
UTHICKE, S., Benzie, J. A. H. & Ballment, E. (1998). Genetic structure of fissipa-rous populations of Holothunia (Halodeima) atra on the Great Barrier Reef. Marine Biology A3! : 1 4 1 - 1 5 1 . YANAGISAWA, T. 1995. Sea cucumber
ranching in Japan and some suggestions for the south Pacific. In Present and future
of aquaculture research and de-velopment in the Pacific Island coun-tries (K.K. Jigyeodan ed.). Tonga: