• Tidak ada hasil yang ditemukan

KAJIAN PENGARUH ph DAN SUHU TERHADAP PRODUKSI BIOINSEKTISIDA OLEH Bacillus thuringiensis subsp.israelensis MENGGUNAKAN SUBSTRAT ONGGOK TAPIOKA

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "KAJIAN PENGARUH ph DAN SUHU TERHADAP PRODUKSI BIOINSEKTISIDA OLEH Bacillus thuringiensis subsp.israelensis MENGGUNAKAN SUBSTRAT ONGGOK TAPIOKA"

Copied!
83
0
0

Teks penuh

(1)

KAJIAN PENGARUH pH DAN SUHU TERHADAP PRODUKSI

BIOINSEKTISIDA OLEH Bacillus thuringiensis subsp.israelensis

MENGGUNAKAN SUBSTRAT ONGGOK TAPIOKA

Oleh

DJAUHAR FAIZ AHDIANTO

F34101056

2006

FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(2)

KAJIAN PENGARUH pH DAN SUHU TERHADAP PRODUKSI

BIOINSEKTISIDA OLEH Bacillus thuringiensis subsp.israelensis

MENGGUNAKAN SUBSTRAT ONGGOK TAPIOKA

SKRIPSI

Sebagai Salah Satu Syarat untuk Mendapatkan Gelar SARJANA TEKNOLOGI PERTANIAN Pada Departemen Teknologi Industri Pertanian

Fakultas Teknologi Pertanian Institut Pertanian Bogor

Oleh

DJAUHAR FAIZ AHDIANTO

F34101056

2006

FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(3)

FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

KAJIAN PENGARUH pH DAN SUHU TERHADAP PRODUKSI

BIOINSEKTISIDA OLEH Bacillus thuringiensis subsp.israelensis

MENGGUNAKAN SUBSTRAT ONGGOK TAPIOKA

SKRIPSI

Sebagai Salah Satu Syarat untuk Mendapatkan Gelar SARJANA TEKNOLOGI PERTANIAN Pada Departemen Teknologi Industri Pertanian

Fakultas Teknologi Pertanian Institut Pertanian Bogor

Oleh

DJAUHAR FAIZ AHDIANTO

F34101056

Dilahirkan pada tanggal 15 Juli 1983 di Pati, Jawa Tengah

Tanggal Kelululusan : 27 Januari 2006

Disetujui, Bogor, Januari 2006

Dr. Ir. Mulyorini Rahayuningsih, MSi Prayoga Suryadarma, STP MT Dosen Pembimbing I Dosen Pembimbing II

(4)

Djauhar Faiz Ahdianto F34101056. Kajian Pengaruh Suhu dan pH terhadap Produksi Bioinsektisida Oleh Bacillus thuringiensis subsp. israelensis Menggunakan Substrat Onggok Tapioka. Di bawah Bimbingan Mulyorini Rahayuningsih dan Prayoga Suryadarma. 2006.

RINGKASAN

Penggunaan insektisida kimia dengan dosis dan frekuensi yang tinggi dapat menjadikan serangga pembawa vektor penyakit menjadi resisten terhadap insektisida kimia tersebut, dan insektisida kimia bersifat tidak selektif sehingga menyebabkan terganggunya keseimbangan ekosistem. Penggunaan insektisida kimia tidak ramah terhadap lingkungan dan sudah terjadi resistensi vektor pembawa penyakit yaitu nyamuk aedes aegypti dan Anopheles. Nyamuk Aedes aegypti merupakan vektor penyebab penyakit demam berdarah.

Usaha yang paling tepat untuk memutus rantai kehidupan nyamuk penyebab penyakit demam berdarah adalah dengan membunuh larva nyamuk menggunakan bioinsektisida. Insektisida mikrobial merupakan produk yang dihasilkan oleh mikroorganisme yang bersifat racun biologis untuk membunuh serangga. Bacillus thuringiensis subsp. israelensis adalah salah satu mikroorganisme yang digunakan untuk mengendalikan vektor pembawa penyakit demam berdarah. Kondisi kultivasi media berpengaruh terhadap toksisitas bioinsektisida yang dihasilkan. Derajat keasaman (pH) dan suhu berpengaruh terhadap pembentukan kristal protein. Tetapi pengaruh faktor-faktor tersebut tidak sama antara pertumbuhan dan pembentukan produk. Tujuan penelitian ini adalah untuk menentukan pengaruh suhu dan pH terhadap pertumbuhan Bacillus thuringiensis subsp. israelensis dan pembentukan produk kristal protein. Media yang digunakan adalah limbah pertanian yaitu ampas tapioka (onggok). Penelitian ini terdiri atas penentuan pengaruh suhu dan pH terhadap pertumbuhan B.t.i dan penentuan suhu, pH dan waktu terhadap produk kristal protein yang dihasilkan.

Rancangan percobaan yang yang digunakan dalam penelitian ini adalah rancangan faktorial dua taraf (two level factorial) dengan dua faktor perlakuan yaitu suhu (X1) dengan nilai rendah dan tinggi masing-masing 25 oC dan 35 oC, pH (X2) pada 5.5 dan 8. Parameter respon terhadap pertumbuhan B.t.i. adalah laju pertumbuhan maksimum, bobot massa kering maksimum dan penggunaan substrat. Sedangkan parameter respon terhadap produk adalah aktivitas bioinsektisida yang dihasilkan (potensi produk bioinsektisida).

Hasil penelitian menunjukkan bahwa suhu (X1) berpengaruh positif terhadap laju pertumbuhan maksimum (89.52 persen) dan bobot kering biomassa maksimum (75.30 persen) pada interval suhu 25-35 oC. Semakin tinggi suhu menyebabkan semakin tinggi biomassa yang terbentuk dan semakin cepat laju pertumbuhan sel. Suhu berpengaruh negatif terhadap penggunaan substrat sebesar 86.33 persen. Derajat keasaman (pH) (X2) berpengaruh negatif terhadap laju pertumbuhan maksimum (86.74 persen) dan bobot kering biomassa (85.88 persen) pada interval pH 5,5-8.

Aktivitas bioinsektisida (potensi produk) dipengaruhi oleh suhu dan pH. Kedua faktor tersebut berpengaruh pada selang kepercayaan 95 persen. Suhu berpengaruh negatif sedangkan pH berpengaruh positif terhadap potensi produk

(5)

bioinsektisida. Pada selang kepercayaan 95 persen interaksi antara suhu dan pH berpengaruh negatif terhadap aktivitas bioinsektisida. Semakin tinggi suhu dan pH awal medium menyebabkan semakin rendah aktivitas bioinsektisidanya, atau semakin rendah suhu dan pH menyebabkan semakin tinggi potensi produk bioinsektisidanya. Produk bioinsektisida dapat dipanen pada jam ke-72. Hal ini berdasarkan jumlah spora yang terbentuk dan aktivitas bioinsektisida di dalam pengujian bioassay terhadap larva nyamuk Aedes aegypti.

(6)

Djauhar Faiz Ahdianto F34101056. The Study of Temperature and pH Effects on Bioinsecticides Production Using Bacillus thuringiensis subsp. israelensis with Cassava bagasse as Substrate. Supervised by Mulyorini Rahayuningsih and Prayoga Suryadarma. 2006.

SUMMARY

The use of chemical insecticides with high frequency and dose could make the insect as vector of disease would become resistance. Chemical insecticides are not selective so that it may cause the ecosystem unbalance. The use of chemical insecticides are not safe for environment and it had caused the vector of disease for example Aedes aegypti and Anopheles could become resistance.

The right effort to prevent the dengue disease is by killing the larva of mosquito using bioinsecticides. Microbial insecticides is product from microorganism which has a characteristic as biological poison to kill insect. Bacillus thuringiensis subsp. israelensis is one of the microorganism used to control vector of dengue disease. The cultivation condition have an effect on bioinsecticides toxicity. Temperature and pH have an effect on protein crystal production. However, the effect of all that factors would not be significantly the same for product formation and the growth of B.t.i. The purpose of this research is to determine the effect of temperature and pH for the growth of B.t.i and protein crystal production. The cassava bagasse was used as substrate.

The statistical analysis indicates that all of the two factors are major variables in the bioinsecticides product. The temperature (X1) that had been used in this research were low level (25 oC) and high level (35 oC). pH values were 5,5 and 8. Two parameters which is evaluated in the research are the growth of B.t.i. and bioinsecticides activity.

The results of the research indicate that maximum growth rate is influenced by temperature and pH. Temperature had some effects on the growth of B.t.i., it can be shown by numerous value of maximum growth rate (89.52 percent), maximum biomass (75.30 percent) and substrates utilization (86.33 percent). While pH had effect on maximum growth rate (86.74 percent) and maximum biomass (85.88 percent). Bioinsecticides activity was influenced by temperature at significancys value of 97.11 percent and pH at significancys value of 96.95 percent.

(7)

PERNYATAAN

Saya menyatakan dengan sebenar-benarnya bahwa skripsi yang berjudul “Kajian Pengaruh pH dan Suhu terhadap Produksi Bioinsektisida Oleh Bacillus thuringiensis subsp. israelensis Menggunakan Substrat Onggok Tapioka” adalah hasil karya saya sendiri dengan arahan dosen pembimbing, kecuali yang dengan jelas ditunjukkan rujukannya.

Bogor, Januari 2006

DJAUHAR FAIZ AHDIANTO F34101056

(8)

BIODATA PENULIS

Djauhar Faiz Ahdianto dilahirkan di Pati (Jawa Tengah) pada tanggal 15 Juli 1983 dari ayah Mohammad Slamet dan ibu Masruhah. Putra pertama dari dua bersaudara ini meyelesaikan pendidikan dasar di Sekolah Dasar Negeri 1 Sendangrejo-Bondol tahun 1989-1995, Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama di SLTP Negeri 1 Tayu tahun 1995-1998 dan Sekolah Menengah Umum di SMU Negeri 1 Tayu tahun 1998-2001.

Pada tahun 2001, penulis diterima di Institut Pertanian Bogor melalui jalur Undangan Seleksi Masuk (USMI) IPB pada Departemen Teknologi Industri Pertanian, Fakultas Teknologi Pertanian IPB. Pada bulan Januari 2006, penulis dinyatakan lulus dari perguruan tinggi tersebut setelah meyelesaikan tugas akhirnya yang berjudul “Kajian Pengaruh pH dan Suhu terhadap Produksi Bioinsektisida Oleh Bacillus thuringiensis subsp. israelensis Menggunakan Substrat Onggok Tapioka”.

Selama kuliah, penulis tidak hanya mengikuti kegiatan akademik saja. Untuk mengasah kemampuan berorganisasi dan kepemimpinanya, penulis mengikuti berbagai organisasi seperti HIMALOGIN (Himpunan Mahasiswa Teknologi Industri). Penulis diberikan kesempatan untuk melaksanakan magang di departemen IT (Information Technology) pada tahun 2003 di PT. Indolakto Sukabumi. Pada tahun 2004, penulis melaksanakan praktek lapang di departemen Produksi dan QC susu UHT PT. Indolakto Sukabumi. Penulis juga diberikan kepercayaan sebagai asisten praktikum laboratorium Bioproses pada tahun 2004, laboratorium Lingkungan dan Teknologi Emulsi pada tahun 2005.

(9)

KATA PENGANTAR

Alhamdulillahi robbil ‘alamin, puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT karena berkat limpahan Rahmat, Karunia dan Hidayah-Nya, penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul “Kajian Pengaruh pH dan Suhu terhadap Produksi Bioinsektisida Oleh Bacillus thuringiensis subsp. Israelensis Menggunakan Substrat Onggok Tapioka” sebagai salah satu syarat untuk menyelesaikan studi pada Departemen Teknologi Industri Pertanian, Fakultas Teknologi Pertanian.

Pada kesempatan ini, penulis ingin mengucapkan rasa terima kasih kepada:

1. Dr. Ir. Mulyorini Rahayuningsih, MSi. dan Prayoga Suryadarma, STP. MT., selaku dosen pembimbing yang telah memberikan dukungan, bimbingan dan arahan, baik berupa moriil, materi maupun dorongan motivasi sehingga penulis dapat menyelesaikan penyusunan skripsi ini. 2. Dr. Ir. Khaswar Syamsu, MSc. selaku dosen penguji atas saran dan

masukannya.

3. Kedua orangtuaku tercinta dan adikku yang telah memberikan doa, motivasi dan kasih sayang.

4. Rini Purnawati, STP. yang telah memberikan motivasi dan arahan . 5. Wirasuwasti Nugrahani, STP. atas ilmu, motivasi dan limpahan

bantuannya.

Penulis mengharapkan kritik dan saran yang membangun dari semua pihak berkaitan dengan skripsi ini. Akhirnya penulis berharap agar skripsi ini dapat memberikan manfaat bagi semua pihak yang memerlukannya.

Bogor, Januari 2006

(10)

UCAPAN TERIMAKASIH

Penelitian dan penyusunan skripsi yang berjudul “Kajian Pengaruh pH dan Suhu terhadap Produksi Bioinsektisida Oleh Bacillus thuringiensis subsp. israelensis Menggunakan Substrat Onggok Tapioka” tidak terlepas dari bantuan berbagai pihak. Oleh karena itu, penulis menyampaikan rasa terima kasih yang sebesar-besarnya kepada:

1. Tim Bioinsektisida (Wirasuwasti, Galih Firmana, Ardianto Mey Lesmana, dan Zulfa Hendra) atas bantuan dan kerja samanya dalam penelitian. 2. Elly Nurasih W.P. yang telah membantu dan memberikan motivasi serta

dukungan selama penelitian.

3. Kakak-kakak di laboratorium (Deuxianto Hendarsyah, Muhammad Zaky, dan Puji R.N.) atas limpahan bantuannya.

4. Seno Satrio Ariwibowo yang telah membantu dan memberikan masukan dalam penulisan skripsi.

5. Rekan-rekan satu bimbingan (Khairil Anwar, Yeni Sulastri dan Hevy Susanti) atas bantuan dan dukungan.

6. Tim Surfaktan (Widodo Eko, dkk); Tim Pati dan Gula (Wawan Marwan, dkk); Tim Membran (Fery Irawan, dkk); Tim Herbal Tea (Oryza, dkk); Tim Atsiri (Dicky Romadlon, dkk); Tim Panili (Dwi Lestari, dkk); serta Ratna Mahmudah atas bantuan dan motivasinya selama penelitian.

7. Laboran di laboratorium TIN : Pak Edi Sumantri, Pak Sugiardi, Bu Rini Purnawati, Bu Egnawati Sari, Pak Gunawan, Bu Sri Mulyasih, Pak Wagimin, dan Pak Yogi Suprayogi atas bantuan dan keramahan selama penelitian.

8. Teman-teman TIN’38 di “Wisma Sakinah” atas kebersamaan dan dukungan.

9. Keluarga Ibu Hj. Ulan Sari serta teman-temanku di “Wisma Gong-li” atas bantuan dan kerjasamanya selama penulis melakukan penelitian.

(11)

DAFTAR ISI

Halaman

KATA PENGANTAR ... i

UCAPAN TERIMA KASIH ... ii

DAFTAR ISI ...iii

DAFTAR TABEL ... v

DAFTAR GAMBAR ...vi

DAFTAR LAMPIRAN ... vii

I. PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG ...1

B. TUJUAN ...3

C. RUANG LINGKUP PENELITIAN ...3

II. TINJAUAN PUSTAKA A. BIOINSEKTISIDA ...4

B. BACILLUS THURINGIENSIS...5

C. KRISTAL PROTEIN...6

D. PROSES TOKSISITAS DAN INFEKSI OLEH Bacillus thuringiensis ...8

E. FERMENTASI Bacillus thuringiensis ...9

F. PENGARUH LINGKUNGAN TERHADAP PERTUMBUHAN MIKROBA...11

G. PEMANENAN...12

H. PENENTUAN AKTIVITAS INSEKTISIDA MIKROBA ...13

I. NYAMUK Aedes Aegypti ...13

III. BAHAN DAN METODE A. ALAT DAN BAHAN ...15

B. METODOLOGI PENELITIAN ...16

1. Karakterisasi Media Fermentasi dan Persiapan Inokulum...17

2. Penentuan Pengaruh Suhu dan pH Terhadap Pertumbuhan...17

3. Pengujian Aktivitas Bioinsektisida...18

4. Pengukuran Jumlah Spora...18

(12)

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

A. KARAKTERISASI ONGGOK TAPIOKA DAN PERSIAPAN

INOKULUM ...21

1. Karakterisasi Onggok Tapioka dan Medium fermentasi ...21

2. Persiapan Inokulum ...25

B. PENGARUH SUHU DAN pH TERHADAP PERTUMBUHAN...25

1. Pengaruh Suhu dan pH terhadap Laju Pertumbuhan...26

2. Pengaruh Suhu dan pH terhadap Biomassa Maksimum...28

3. Pengaruh Suhu dan pH terhadap Penggunaan Substrat ...30

C. PENGUKURAN JUMLAH SPORA HIDUP...32

D. PENENTUAN AKTIVITAS BIOINSEKTISIDA (BIOASSAY) ...34

E. PENGARUH SUHU DAN pH TERHADAP AKTIVITAS BIOINSEKTISIDA ...36

V. KESIMPULAN DAN SARAN A. KESIMPULAN ...39

B. SARAN...39

DAFTAR PUSTAKA ...40

(13)

DAFTAR TABEL

Halaman

Tabel 1. Produk berbahan aktif Bacillus thuringiensis subsp. israelensis ... 4

Tabel 2. Tipe patogenitas dari Bacillus thuringiensis. ... 8

Tabel 3. Nilai rendah dan tinggi perlakuan... 19

Tabel 4. Matrik perlakuan suhu dan pH untuk produksi bioinsektisida... 19

Tabel 5. Komposisi onggok tapioka (C,N,S, kadar air dan abu) ... 21

Tabel 6. Komposisi onggok tapioka... 22

Tabel 7. Komposisi elemental tipikal untuk mikroorganisme ... 23

Tabel 8. Kisaran konsentrasi mineral ... 24

Tabel 9. Nilai laju pertumbuhan maksimum dan biomassa maksimum ... 26

Tabel 10. Koefisien parameter dan nilai signifikansi laju pertumbuhan maksimum (µ maks.)... 27

Tabel 11. Koefisien parameter dan nilai signifikansi biomassa maksimum ... 29

Tabel 12. Koefisien parameter dan nilai signifikansi efisiensi penggunaan substrat... 31

Tabel 13. Perbandingan bobot kering biomassa, Log VSC produk, LC50 dan potensi produk bioinsektisida. ... 35

Tabel 14. Parameter koefisien dan nilai signifikansi aktivitas bioinsektisida (potensi produk) ... 36

(14)

DAFTAR GAMBAR

Halaman Gambar 1. Siklus hidup nyamuk Aedes aegypti ... 14 Gambar 2. Tahapan penelitian ... 16 Gambar 3. Interaksi suhu (X1) dan pH (X2) terhadap laju pertumbuhan

maksimum (µ-maks) ... 28 Gambar 3. Efisiensi penggunaan substrat ... 31 Gambar 4. Jumlah spora hidup dalam produk yang dipanen. ... 33 Gambar 5. Pengaruh interaksi suhu (X1) dan pH (X2) terhadap

(15)

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman

Lampiran 1. Prosedur Analisa Kadar Air, Kadar Abu dan Kadar Nitrogen ... 46

Lampiran 2. Persiapan Inokulum... 48

Lampiran 3. Prosedur Pengukuran Biomassa dan Substrat Sisa ... 49

Lampiran 4. Prosedur Penentuan Aktivitas Bioinsektisida ... 51

Lampiran 5. Prosedur Penentuan Jumlah Spora Hidup ... 52

Lampiran 6. Rekapitulasi Data pH Rata-Rata Selama Fermentasi ... 53

Lampiran 7. Rekapitulasi Data Bobot Kering Biomassa Rata-Rata Selama Fermentasi ... 54

Lampiran 8. Rekapitulasi Data Substrat Sisa Selama Fermentasi ... 55

Lampiran 9. Rekapitulasi Data Log Total Spora Hidup ... 56

Lampiran 10. Rekapitulasi Data Uji Aktivitas Bioinsektisida ... 57

Lampiran 11. Analisa Statistik Laju Pertumbuhan maksimum ... 59

Lampiran 12. Analisa Statistik Biomassa maksimum ... 60

Lampiran 13. Analisa Statistik Penggunaan Substrat ... 61

Lampiran 14. Olahan Statistik Terhadap Jumlah Spora Hidup ... 62

Lampiran 15. Olahan Statistik Terhadap Aktivitas Bioinsektisida (LC50) ... 63

Lampiran 16. Analisa Statistik Aktivitas Bioinsektisida (Potensi Produk) ... 64

Lampiran 17. Penghitungan Susunan Medium fermentasi ... 65

Lampiran 18. Contoh Penghitungan Laju Pertumbuhan... 66

Lampiran 19. Larva nyamuk Aedes aegypti yang digunakan untuk pengujian Bioassay ... 67

Lampiran 20. Spora dan Kristal Protein Bacillus thuringiensis subsp. israelensis... 67

(16)

I. PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG

Aktivitas manusia dapat menyebabkan kerusakan lingkungan, salah satunya adalah penggunaan insektisida kimia untuk memberantas vektor pembawa penyakit, seperti nyamuk dan lalat. Penggunaan insektisida kimia dengan dosis dan frekuensi yang tinggi dapat menjadikan serangga pembawa vektor penyakit menjadi resisten terhadap insektisida kimia tersebut dan insektisida kimia bersifat tidak selektif sehingga menyebabkan terganggunya keseimbangan ekosistem (Philip et al., 1993). Penggunaan insektisida kimia tidak ramah terhadap lingkungan dan sudah terjadi resistensi vektor pembawa penyakit yaitu nyamuk Aedes aegypti dan Anopheles (http://www.kimianet.lipi.go.id).

Penggunaan insektisida kimia dapat menyebabkan vektor yang dibasmi menjadi resisten terhadap insektisida tersebut. Selain itu, penggunaan insektisida kimia yang tidak selektif dan penggunaan yang tidak bijaksana dapat menyebabkan berbagai serangga maupun mahluk hidup lainnya yang berguna, seperti serangga predator dapat ikut mati serta menimbulkan kerusakan lingkungan (Margalit, 1990). Nyamuk Aedes aegypti merupakan vektor penyebab penyakit demam berdarah (http://www.epa.org).

Usaha yang dinilai paling tepat adalah dengan memutus rantai kehidupan nyamuk dengan membunuh larva nyamuk menggunakan bioinsektisida. Salah satu mikroorganisme yang digunakan untuk mengendalikan vektor pembawa penyakit adalah Bacillus thuringiensis. B.t. merupakan famili bakteri yang memproduksi kristal protein di inclusion body-nya pada saat bersporulasi. Bioinsektisida B.t. merupakan 90-95 % dari bioinsektisida yang dikomersialkan untuk dipakai oleh petani di berbagai negara (Bahagiawati, 2002). Kristal protein yang dihasilkan bersifat selektif (hanya toksik terhadap serangga sasaran), aman terhadap organisme bukan sasaran dan manusia, serta tidak menimbulkan residu yang dapat mencemari lingkungan (Couch dan Ross, 1980).

(17)

Bioinsektisida berbahan aktif kristal protein diproduksi dengan cara kultivasi bakteri dalam media dan kondisi pertumbuhan yang optimum. Kondisi kultivasi media berpengaruh terhadap toksisitas bioinsektisida yang dihasilkan (Pearson dan Ward, 1988; Morris et al., 1996). Formulasi media fermentasi yaitu rasio C/N berpengaruh terhadap produksi bioinsektisida, densitas optik dan pembentukan spora dari Bacillus thuringiensis subsp. israelensis (Rahayuningsih, 2003). Mineral (trace element) seperti K2HPO4, MgSO4.7H2O, CaCO3, Fe, Mn dan Cu berpengaruh terhadap pembentukan δ-endotoksin (Sikdar et al., 1991). Menurut Gumbira Sa’id (1987), faktor lingkungan yang berpengaruh terhadap pertumbuhan sel dan pembentukan produk adalah suhu dan pH awal medium. Spora dan kristal protein dihasilkan pada saat akhir dari fase logaritmik (Pearson dan Ward, 1988). Kondisi kultur dalam medium fermentasi berpengaruh terhadap pembentukan spora dan kristal protein. Menurut Morris et al., (1996), derajat keasaman (pH) berpengaruh terhadap produksi spora dan kristal protein.

Suhu berpengaruh terhadap pertumbuhan sel, tetapi tidak ada hubungan secara langsung antara pertumbuhan sel dengan produksi kristal protein (Sikdar et al., 1991). Struktur dan susunan asam-asam amino didalam toksin berpengaruh terhadap toksisitas bioinsektisida (Schnepf et al., 1998). Pembentukan produk oleh mikroorganisme tergantung pada suhu yang sama dengan pertumbuhan, tetapi suhu yang optimum untuk pertumbuhan dan pembentukan produk tidak harus sama. Untuk menentukan suhu yang optimum diperlukan hubungan antara suhu dengan produk yang dihasilkan. Didalam penelitian ini dilakukan perlakuan suhu dan pH selama sel mengalami pertumbuhan dan pembentukan kristal protein.

(18)

B. TUJUAN PENELITIAN

Adapun tujuan penelitian ini adalah untuk :

1. Menentukan pengaruh suhu dan pH terhadap pertumbuhan Bacillus thuringiensis subsp. israelensis yaitu laju pertumbuhan maksimum, bobot kering biomassa maksimum dan penggunaan substrat selama fermentasi. 2. Menentukan pengaruh suhu dan pH terhadap aktivitas bioinsektisida dan

jumlah spora hidup yang dihasilkan.

3. Menentukan waktu pemanenan produk bioinsektisida yang dihasilkan.

C. RUANG LINGKUP PENELITIAN

Ruang lingkup dari penelitian ini diantaranya adalah sebagai berikut: 1. Karakterisasi medium fermentasi yaitu onggok tapioka dan urea sebagai

sumber karbon dan nitrogen yaitu meliputi kadar karbon dan nitrogen. 2. Fermentasi medium untuk menentukan pengaruh suhu dan pH terhadap

pertumbuhan yaitu meliputi laju pertumbuhan maksimum, biomassa maksimum dan penggunaan substrat.

3. Pengujian bioassay untuk menentukan aktivitas bioinsektisida (LC50). 4. Pengujian bioassay untuk menentukan pengaruh suhu dan pH serta waktu

(19)

II. TINJAUAN PUSTAKA

A. BIOINSEKTISIDA

Insektisida mikrobial didefinisikan sebagai racun biologis yang dihasilkan oleh mikroorganisme yang dapat membunuh serangga (entomopatogen). Sebagai entomopatogen, insektisida mikrobial dapat dikembangkan dari bakteri, virus, fungi atau protozoa (Ignoffo dan Anderson, 1979).

Bacillus thuringiensis adalah bakteri yang banyak digunakan untuk memproduksi bioinsektisida. Secara komersial, bioinsektisida yang dihasilkan oleh Bacillus thuringiensis telah digunakan secara luas untuk mengendalikan larva serangga yang berperan sebagai hama (Quinlan dan Lisansky, 1985; Feitelson, et al., 1992). Contoh produk komersil berbahan aktif Bacillus thuringiensis subsp. israelensis yang digunakan untuk membasmi nyamuk pada Tabel 1 dibawah ini.

Tabel 1. Produk berbahan aktif Bacillus thuringiensis subsp. israelensis

Produk Formula Perusahaan

Teknar TC Powder Novartis (sold by

triology)

Teknar HP-D Fluid “

Teknar G Granules “

VectoBac TP Powder AbbottLaboratories

VectoBac 12 AS Fluid “ VectoBac G Granules “ VectoBac CG “ Bactimos WP Powder “ Bactimos G Granules “ Bactimos Briquettes/pellets “ Bactimos PP “

Cybate (Australian Label) Fluid Cyanamid

Skeetal FC Fluid Entotec/Novo

(purchased by abbott?)

BMC WP Powder Reuter

Duplex Methoprene + Bti Zoecon - PPM

(20)

Penggunaan Bacillus thuringiensis sebagai bioinsektisida diharapkan semakin meningkat dan berkembang dengan ditemukannya galur-galur Bacillus thuringiensis yang mempunyai aktivitas tinggi dan spektrum inang yang lebih luas (Rupar, et al., 1991; Johnson, et al., 1993). Produksi bioinsektisida B.t. berkembang dengan pesat dari 24 juta dolar Amerika Serikat pada tahun 1980 menjadi 107 juta dolar Amerika Serikat pada tahun 1989. Kenaikan permodalan diperkirakan mencapai 11% per tahun, dimana pada tahun 1999 mencapai 300 juta dolar Amerika Serikat. B.t. yang dikomersialkan dalam bentuk spora yang membentuk inklusi bodi. Inklusi bodi ini mengandung kristal protein yang dikeluarkan pada saat bakteri lisis pada masa fase stasioner. Produk ini digunakan sebanyak 10-50 gram per acre atau 1020 molekul per acre. Potensi toksisitasnya berlipat kali dibandingkan dengan pestisida, misalnya 300 kali dibandingkan dengan sintetik pyrethroid (Feitelson et al., 1992).

B. BACILLUS THURINGIENSIS

Bacillus thuringiensis adalah jenis spesies bakteri yang dapat membunuh serangga tertentu. Sedikitnya terdapat 34 subspesies dari Bacillus thuringiensis yang disebut serotype atau varietas dari Bacillus thuringiensis dan lebih dari 800 keturunan atau benih Bacillus thuringiensis telah diisolasi (Swadener, 1994). Beberapa subspesies dari bakteri Bacillus thuringiensis yaitu kurstaki, aizawai, sotto entomocidus, berliner, san diego, tenebroid, morrisoni dan israelensis. Dalam satu subspesies Bacillus thuringiensis dijumpai beberapa jenis strain, seperti HD-1, HD-5 dan sebagainya (Bahagiawati, 2002).

Pertama kali ditemukan di Jepang pada tahun 1901 dari penyakit pada jentik ulat sutera (Swadener, 1994). Ishiwata adalah orang yang pertama kali mengisolasikan Bacillus thuringiensis dari larva ulat sutera yang mati (Dulmage et al., 1990). Namun pada saat itu, belum dikenal sebagai Bacillus thuringiensis. Baru pada tahun 1911, Berliner menemukan sejenis bakteri yang sama dengan yang ditemukan oleh Ishiwata dari kumbang tepung Mediteranian (Mediterranean flour moth), Anagasta kuehniella yang mati (Swadener, 1994; Dulmage et al., 1990). Bakteri ini kemudian dinamakan dengan Bacillus thuringiensis.

(21)

Bacillus thuringiensis subsp. israelensis (B.t.i) pertama kali diisolasi dari genangan air di daerah Israel. Aktivitas insektisida dari bakteri ini pertama kali di uji pada tahun 1976, dan dari pengujian ini diketahui bahwa bakteri B.t.i. efektif untuk membasmi lima spesies nyamuk yaitu Culex pipiens, Culex unnivatus, Aedes aegypti, Uranotaenia unguiculata dan Anopheles sergentii (Margalit, 1990).

Bacillus thuringiensis merupakan salah satu bakteri patogen bagi serangga (Hickle dan Fitch, 1990). Bakteri ini bersifat gram positif, berbentuk batang, memilki flagella, membentuk spora secara aerob dan selama sporulasi membentuk kristal protein paraspora yang dapat berfungsi sebagai insektisida (Shieh, 1994; Hickle dan Fitch, 1990; Knowles, 1994). Kristal protein ini di kenal dengan nama δ-endotoksin (Shieh, 1994 ; Knowles, 1994). Menurut Gill et al. (1992) spora yang dihasilkan oleh Bacillus thuringiensis berbentuk oval dan berwarna terang, rata-rata memiliki dimensi 1,0 - 1,3 µm. Jika ditumbuhkan pada medium padat, koloni Bacillus thuringiensis berbentuk bulat dengan tepian berkerut, memiliki diameter 5-10 mm, berwarna putih, elevasi timbul pada permukaan koloni kasar (Bucher, 1981).

C. KRISTAL PROTEIN

Menurun Aronson et al., (1986) dan Gill et al., (1992), komponen utama penyusun kristal protein pada sebagian besar Bacillus thuringiensis adalah polipeptida dengan berat molekul (BM) berkisar antara 130 sampai 140 kilodalton (kDa). Polipeptida ini adalah protoksin yang dapat berubah menjadi toksin dengan BM yang bervariasi dari 30 sampai 80 kDa, setelah mengalami hidrolisis pada kondisi pH alkali dan adanya protease dalam saluran pencernaan serangga. Aktivitas insektisida tersebut akan menghilang jika berat molekulnya lebih kecil dari 30 kDa.

Berdasarkan analisa kuantitatif yang dilakukan terhadap kristal protein tersebut, diperoleh data bahwa kristal Bacillus thuringiensis tersusun atas 95 persen protein sebagai komponen utama dan 5 persen karbohidrat (Heimpel, 1967), serta tidak mengandung asam nukleat maupun asam lemak (Fast, 1981).

(22)

Protein yang menyusun kristal Bacillus thuringiensis tersebut terdiri dari 18 asam amino. Kandungan asam amino yang terbesar adalah asam aspartat dan asam glutamat (Fast, 1981).

Kristal protein Bacillus thuringiensis mempunyai beberapa bentuk, diantaranya bentuk bulat pada subsp. israelensis yang toksik terhadap Diptera, bentuk kubus yang toksik terhadap Diptera tertentu dan Lepidoptera, bentuk pipih empat persegi panjang (flat rectangular) pada subsp. tenebriosis yang toksik terhadap Coleoptera, bentuk piramida pada subsp. kurstaki yang toksik terhadap Lepidoptera (Shieh, 1994).

Gen yang mengkode kristal protein yang dihasilkan oleh bakteri Bacillus thuringiensis telah diisolasi dan dikarakterisasi, dikenal dengan sebutan gen Cry yang berasal dari kata Crystal (Bahagiawati, 2002). Terdiri dari 13 gen penyandi kristal protein yang dikenal dengan gen Cry (kristal protein) dan Cyt (sitolitik) (Hofle dan Whiteley, 1989). Gen Cry adalah paraspora yang mengandung kristal protein dari Bacillus thuringiensis yang menghasilkan toksik terhadap organisme sasaran. Sedangkan Cyt adalah paraspora yang mengandung kristal protein dari Bacillus thuringiensis yang menghasilkan aktivitas hemolitik atau sitolitik

Berdasarkan kesamaan struktur asam-asam amino dan spektrum aktivitas insektisidanya, maka gen Cry dapat dikelompokkan menjadi 4 kelas yaitu Cry I, Cry II, Cry III dan Cry IV. Jenis gen penyandi kristal protein yang dimilki sangat menentukan sifat toksik yang dihasilkan. Pengetahuan tentang mekanisme daya kerja dari endotoksin ini penting untuk menentukan proses kunci (key process) yang bertanggung jawab terhadap kespesifikan dari sebuah kristal protein. Faktor utama yang menentukan kisaran ruang (host range) dari kristal protein adalah perbedaan pada larva midgut yang mempengaruhi proses kelarutan (solubilization) dan prosesing kristal dari tidak aktif menjadi aktif, dan keberadaan dari spesifik (binding-site) protoksin di dalam gut dari spesies-spesies serangga (Bahagiawati, 2002). Berdasarkan perbedaan gen penyandi kristal protein yang dimilki, maka tipe patogenitas Bacillus thuringiensis dapat dikelompokkan seperti terlihat pada Tabel 2.

(23)

Tabel 2. Tipe patogenitas dari Bacillus thuringiensis Tipe patogenitas Contoh Jenis

Gen

Contoh Produk Spesifik untuk ordo

Lepidoptera Contoh:  Moth  Kupu-kupu Bacillus thuringiensis subsp. kurstaki

Cry I  Dipel (Abbott)  Bactospeine

(Philip Duphar)  Thuricide, Javelin

(Sandoz) Spesifik untuk ordo

Diptera Contoh:

 Two winged flies  Midges  Crane flies  Lalat rumah  Nyamuk Bacillus thuringiensis subsp. israelensis

Cry III  Vectobac (Abbott)  Bactimos (Philip

Duphar)

 Teknar (Sandoz)

Spesifik untuk ordo Coleoptera

Contoh:  Bettles

Bacillus thuringiensis subsp. san diego

Cry IV  Trident (Sandoz)  M-One (Mycogen)

Spesifik untuk ordo Lepidoptera dan Diptera

Bacillus thuringiensis subsp. aizawai

Cry II Certan (Sandoz)

Sumber: Ellar et al., 2000

D. PROSES TOKSISITAS DAN INFEKSI OLEH Bacillus thuringiensis

Bacillus thuringiensis membentuk spora secara aerob dan selama sporulasi membentuk kristal protein paraspora yang bersifat insektisida, yang disebut juga dengan δ-endotoksin (Shieh, 1994). Bacillus thuringiensis juga menghasilkan eksotoksin yaitu α-eksotoksin, β-eksotoksin dan faktor kutu yang bersifat sangat toksik terhadap kutu mamalia (Baviola sp.) (Dulmage. 1981).

Proses toksisitas kristas protein (δ-endotoksin) sebagai bioinsektisida dimulai ketika serangga sasaran memakan kristal ini, maka kristal tersebut akan larut didalam usus tengah serangga. Setelah itu, dengan bantuan enzim protease pada pencernaan serangga maka kristal protein tersebut akan terpecah struktur kristalnya. Toksin aktif yang dihasilkan akan berinteraksi dengan reseptor pada sel-sel epitelium usus tengah larva serangga, sehingga akan membentuk pori-pori kecil berukuran 0.5 – 1.0 nm. Hal ini akan mengacaukan keseimbangan osmotik sel didalam usus serangga sehingga ion-ion dan air dapat masuk kedalam sel dan

(24)

menyebabkan sel mengembang dan mengalami lisis (hancur). Larva akan berhenti makan dan akhirnya mati (Hofte dan Whiteley, 1989; Gill et al.,1992).

Kristal protein (δ-endotoksin) yang bersifat insektisida ini sebenarnya hanya protoksin yang jika larut dalam usus serangga akan berubah menjadi polipeptida yang lebih pendek (27-149 kd). Pada umumnya kristal protein di alam bersifat protoksin, karena adanya aktivitas proteolisis dalam sistem pencernaan serangga yang mengubah Bt-protoksin menjadi polipeptida yang lebih pendek dan bersifat toksin. Toksin yang telah aktif berinteraksi dengan sel-sel epitelium di usus tengah serangga sehingga menyebabkan terbentuknya pori-pori di sel membran saluran pencernaan serangga (Bahagiawati, 2002).

Aktivitas toksin dari kristal protein serangga tergantung pada sifat intrinsik dari usus serangga, seperti kadar pH dari sekresi enzim proteolitik dan kehadiran spora bakteri secara terus menerus beserta kristal protein yang termakan (Burgerjon dan Martouret, 1971). Selain itu, efektifitas dari toksin tertentu dipengaruhi oleh kelarutan, afinitas terhadap reseptor yang ada serta pemecahan proteolitik ke dalam toksin. Secara umum dapat disimpulkan bahwa cara kerja kristal protein sebagai toksin dari Bacillus thuringiensis dapat dipengaruhi oleh dua faktor, yaitu faktor spesifikasi dari mikroorganisme dan kerentanan dari serangga sasaran (Milne et al.,1990). Selain itu, umur dari serangga merupakan salah satu faktor yang menentukan toksisitas dari Bacillus thuringiensis. Jentik serangga yang lebih muda lebih rentan jika dibandingkan dengan jentik yang lebih tua (Swadener, 1994).

E. FERMENTASI Bacillus thuringiensis

Proses fermentasi untuk memproduksi bioinsektisida terdiri dari dua tipe, yaitu fermentasi semi padat (semi solid fermentation) dan fermentasi terendam (submerged fermentation). Pada fermentasi terendam, biakan muni Bacillus thuringiensis ditumbuhkan dalam medium cair dengan dispersi yang merata (Dulmage dan Rhodes, 1971). Fermentasi terhadap Bacillus thuringiensis dapat dilakukan di dalam labu kocok pada suhu 28-30 oC, dengan pH awal medium berkisar antara 6.8-7.2. Sedangkan agitasi yang digunakan berkisar antara

(25)

142-340 rpm. Labu yang digunakan berukuran 300 ml yang disi 50-100 ml medium fermentasi (Krieg dan Miltenburger, 1984) atau dengan menggunakan labu erlenmeyer ukuran 500 ml yang diisi 100-125 ml medium (Vandekar dan Dulmage, 1982; Mummigatti dan Raghunathan, 1990).

Beberapa faktor yang sangat mempengaruhi fermentasi Bacillus thuringiensis, diantaranya komposisi medium dan kondisi untuk pertumbuhan mikroba seperti pH, oksigen dan suhu (Dulmage dan Rhodes, 1971).

Hampir semua mikroorganisme memiliki kisaran suhu untuk tumbuh dan berkembang. Suhu yang optimal untuk produksi sel atau produk sel dapat ditentukan secara empiris. Biasanya suhu yang optimal terjadi sedikit dibawah suhu maksimal untuk pertumbuhannya dan suhu yang paling baik untuk pembentukan produk sering tidak sama untuk pertumbuhan maksimalnya (Dulmage dan Rhodes, 1971). Menurut Heimpel (1967) dan Deacon (1983), Bacillus thuringiensis dapat tumbuh dengan medium buatan dengan suhu pertumbuhan berkisar antara 15 - 40 oC.

Bacillus thuringiensis dapat tumbuh pada medium yang memiliki pH pada kisaran 5.5 - 8.5 dan tumbuh optimum pada pH 6.5 - 7.5 (Benhard dan Utz, 1993). Selama fermentasi pH dapat berubah dengan cepat tergantung pada penggunaan karbohidrat (menurunkan pH) dan protein (menaikkan pH). Nilai pH dapat dikendalikan dengan memelihara keseimbangan antara senyawa gula dan nitrogen (Quinlan dan Lisansky, 1985).

Mikroorganisme membutuhkan sumber air, sumber karbon, nitrogen, unsur mineral dan faktor pertumbuhan dalam medium pertumbuhannya (Vandekar dan Dulmage, 1982). Beberapa sumber karbon dapat digunakan untuk fermentasi Bacillus thuringiensis secara terendam antara lain glukosa, sirup jagung, tepung jagung, dekstrosa, sukrosa, laktosa, pati, minyak kedelai dan molase dari bit atau tebu. Sumber nitrogen yang dapat digunakan adalah tepung kedelai, tepung biji kapas (proflo), corn steep, gluten jagung, ekstrak khamir, pepton, kedelai, tepung ikan, tripton dan kasein (Dulmage dan Rhodes, 1971; Quinlan dan Lisansky, 1985).

Unsur mineral merupakan garam-garam anorganik yang penting untuk pertumbuhan mikroorganisme, meliputi K, Mg, P dan S, sedangkan yang

(26)

dibutuhkan dalam jumlah sedikit yaitu Ca, Zn, Fe, Co, Cu, Mo, dan Mn. Unsur-unsur mineral tersebut dibutuhkan mikroorganisme untuk pertumbuhan, misalnya Mn dibutuhkan untuk sporulasi dan Ca untuk menjaga kestabilan panas dalam spora (Dulmage dan Rhodes, 1971). Kedalam medium fermentasi Bacillus thuringiensis biasanya ditambahkan 0.3 g/l MgSO4.7H2O, 0,02 g/l ZnSO4.7 H2O, 0,02 g/l FeSO4.7H2O dan 1,0 g/l CaCO3 (Dulmage dan Rhodes, 1971; Vandekar dan Dulmage, 1982). Bernhard dan Utz (1993) menyatakan bahwa ion-ion organik, seperti Ca++ dan Mn++ dapat menstimulus pembentukkan spora. Selain itu, penambahan ion Mg++, Cu++, Fe++, Co++ dan Zn+ juga dapat meningkatkan pertumbuhan sel dan pembentukan spora, jika media kompleks yang digunakan sebagai medium fermentasi.

Agar proses fermentasi berjalan dengan lancar dan untuk memperkirakan waktu panen yang optimal, maka sejumlah parameter dimonitor untuk dilakukan pengukuran. Parameter-paremeter tersebut diantaranya, suhu, nilai pH dan jumlah oksigen. Sedangkan pengukuran berat kering (biomassa), konsentrasi glukosa dan nitrogen, jumlah spora, bentuk koloni dapat dilakukan pada setiap sampel (Quinlan dan Lisansky, 1985).

F. PENGARUH LINGKUNGAN TERHADAP PERTUMBUHAN

MIKROBA 1. Pengaruh Suhu

Pertumbuhan mikroorganisme dan pembentukan produk merupakan suatu hasil dari urutan reaksi-reaksi kimiawi. Menurut Gumbira Sa’id (1987), terdapat tiga jenis kurva pertumbuhan mikoorganisme, yaitu psikrofilik, mesofilik dan termofilik. Mikroorganisme yang kecepatan pertumbuhannya dibawah 20oC disebut psikrofilik, yang diantara 30-35 oC disebut mesofilik dan diatas 50 oC disebut termofilik. Pola pertumbuhan ketiga kurva tersebut hampir sama, jika suhu dinaikkan kearah suhu pertumbuhan optimal maka kecepatan tumbuh rata-rata akan meningkat dua kalinya pada kisaran suhu 10 oC. Diatas suhu pertumbuhan optimum maka kecepatan tumbuh akan menurun secara cepat berlawanan dengan naiknya suhu (Ketaren, 1990).

(27)

2. Pengaruh pH

Pengaturan nilai pH medium merupakan salah satu faktor penting yang mempengaruhi pertumbuhan dan pembentukan produk (Ketaren, 1990). Besarnya pH untuk kecepatan pertumbuhan maksimum seringkali berkisar antara satu sampai satu setengah unit. Derajat keasaman (pH) sangat penting sehingga didalam fermentasi parameter ini secara terus menerus dikontrol oleh suatu cairan penyangga (buffer) atau suatu sistem kontrol pH tertentu (Gumbira Sa’id, 1987).

G. PEMANENAN

Bahan aktif insektisida Bacillus thuringiensis dapat dipanen dengan sentrifugasi, filtrasi, presipitasi, spray drying atau kombinasi dari proses-proses tersebut. Bahan aktif insektisida tersebut selanjutnya dapat diformulasikan menjadi produk flowable liquid, wettable powder, dust atau granular tergantung tipe fermentasi, segi ekonomi dari proses dan kebutuhan fomula tertentu (Ignoffo dan Anderson, 1979).

Percobaan aplikasi bioinsektisida Bacillus thuringiensis pada luasan terbatas yang telah dilakukan oleh Silapantakul, et al (1983) dan Yap (1985) dalam Bhumiratana (1990) menunjukkan bahwa formulasi cairan mempunyai beberapa kelebihan. Beberapa kelebihan tersebut adalah mudah cara pemanenannya dan bersifat ekonomis. Selain itu, dalam bentuk cair, toksin akan mudah larut sehingga akan lebih cepat bereaksi pada saat diaplikasikan pada serangga sasaran. Formulasi tersebut diperoleh dengan cara mengkonsentrasikan kultur hasil kultivasi Bacillus thuringiensis dengan cara sentrifugasi. Formulasi tersebut juga dianggap paling sesuai untuk pengontrolan nyamuk.

(28)

=

H. PENENTUAN AKTIVITAS INSEKTISIDA MIKROBA

Terdapat perbedaan pengukuran aktivitas mikroba antara insektisida kimia dengan bioinsektisida. Pada insektisida kimia prosedur yang dilakukan untuk memonitor produksi relatif sederhana. Hal ini disebabkan karena produk yang digunakan adalah produk murni yang telah dievaluasi dan aktivitas insektisidanya telah diketahui sebelumnya. Sedangkan pada bioinsektisida, aktivitas insektisida dari mikroorganisme tidak dapat diukur secara kimia, melainkan dengan bioassay. Bioassay merupakan salah satu cara untuk menentukan serbuk bahan aktif yang dihasilkan oleh mikroorganisme. Pada insektisida kimia, bioassay hanya digunakan sebagai alat pelengkap (Vandekar dan Dulmage, 1982).

Insektisida mikroba ditentukan aktifitasnya dengan menghitung jumlah spora hidup dan melalui bioassay untuk menentukan kadar letal (LC50) dan International Unit (IU) (Vandekar dan Dulmage, 1982) atau dosis letal (LD50), Diet Dillution Unit (DDU50) dan IU (Dulmage dan Rhodes, 1971). LC50, LD50, DDU50 sebenarnya hanya menunjukkan potensi relatif produk, karena potensi produk insektisida mikroba (Bacillus thuringiensis) dinyatakan dalam satuan internasional (SI) dengan cara pengukuran sebagai berikut:

(IU/mg) standar otensi sampel LC50 standar LC50 P X Sampel Potensi

I. NYAMUK Aedes Aegypti

Nyamuk merupakan hewan invertebrata yang membahayakan bagi kesehatan dan dapat menyebarkan berbagai penyakit. Salah satu jenis nyamuk yang banyak dikenal di masyarakat adalah Aedes aegypti, Culex,dan Anopheles. Aedes aegypti dan Culex adalah dua dari lebih 30 genus yang terdapat dalam famili Culicidae (Roberts dan Janovy, 1996). Larva nyamuk tersebut bersifat akuatik, yaitu hanya dapat hidup ditempat yang berair. Nyamuk berpengaruh negatif terhadap kesehatan manusia dan hewan, karena nyamuk betina bersifat

(29)

sebagai penghisap darah dan dapat menjadi vektor beberapa jenis penyakit (Borror et al., 1992). Penyakit yang ditimbulkan antara lain demam kuning, demam berdarah, malaria dan kaki gajah. (Roberts dan Janovy, 1996).

Nyamuk Aedes aegypti merupakan vektor penyebab penyakit demam berdarah (dengue haemorrarghic fewer). Munstermann (1997) menjelaskan siklus hidup nyamuk Aedes aegypti sebagai berikut. Telur nyamuk Aedes aegypti kira-kira berukuran panjang 1 mm dan berdiameter 0,25 mm, telur tersebut hidup di dalam air kemudian menjadi larva nyamuk. Pada kondisi pertumbuhan optimum, larva hidup hingga enam hari, kemudian menjadi pupa selama dua hingga tiga hari dan setelah itu nyamuk dewasa keluar dari pupa. Siklus hidup nyamuk Aedes aegypti dapat dijelaskan pada Gambar 1 di bawah ini.

(30)

III. BAHAN DAN METODE

A. ALAT DAN BAHAN 1. Alat

Peralatan utama yang digunakan adalah water shaker yang dilengkapi dengan kontrol suhu. Prinsip pengaturan suhu didalam water shaker adalah dengan mengatur tombol digital suhu dan kecepatan agitasi. Panas yang dihasilkan berasal dari plat pemanas (heater) dengan menggunakan media air. Alat-alat yang digunakan untuk analisa adalah otoklaf, inkubator, labu erlenmeyer, pemanas listrik, magnetic stirrer, pH-meter, sentrifuse, tabung film, tabung ulir, tabung reaksi, eppendorf, pipet mekanik, jarum ose, lemari pendingin, oven, tanur, spektrofotometer, cawan petri, neraca analitik, cawan porselin, cawan aluminium, vortex, desikator, serta alat gelas lainnya.

2. Bahan

Bahan-bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah kultur Bacillus thuringiensis subsp. israelensis yang diperoleh dengan membiakkan campuran spora kristal produk komersial (Vectobac) pada medium agar miring (Nutrien Agar). Media yang digunakan adalah onggok tapioka sebagai sumber karbon, dan urea sebagai sumber nitrogen. Mineral (trace element) yang digunakan adalah MgSO4.7H2O, ZnSO4.7H2O, FeSO4.7H2O, MnSO4.7H2O, CaCO3, K2HPO4, KH2PO4. bahan-bahan yang digunakan untuk analisa adalah nutrien agar (NA), nutrien broth (NB), NaOH, fenol 5%, H2SO4 pekat, garam fisiologis, air suling, etanol 70% dan spiritus. Larva nyamuk Aedes aegypti digunakan untuk pengujian aktivitas bioinsektisida (potensi produk).

(31)

B. METODOLOGI PENELITIAN

Penelitian yang dilakukan terdiri atas karakterisasi onggok tapioka, melakukan fermentasi medium untuk menentukan pengaruh suhu dan pH terhadap pertumbuhan Bacillus thuringiensis subsp. israelensis yang meliputi laju pertumbuhan maksimum, bobot kering biomassa maksimum dan penggunaan substrat. Sampel diuji aktivitas bioinsektisidanya untuk menentukan pengaruh suhu dan pH. Jumlah spora hidup yang terbentuk diukur untuk mengetahui jumlah spora yang terbentuk. Tahapan penelitian disajikan pada Gambar 2.

Gambar 2. Tahapan penelitian Karakterisasi media fermentasi (C dan N)

dan persiapan inokulum

Penentuan pengaruh suhu dan pH terhadap pertumbuhan (laju pertumbuhan maksimum, biomassa maksimum dan

penggunaan substrat)

Pengujian aktivitas bioinsektisida untuk menentukan pengaruh suhu dan pH

Penentuan waktu pemanenan dan jumlah spora yang terbentuk

Selesai Mulai

(32)

1. Karakterisasi Media Fermentasi dan Persiapan Inokulum

Karakterisasi media fermentasi meliputi analisa komposisi media yaitu onggok tapioka dan urea sebagai sumber karbon dan nitrogen. Onggok tapioka berasal dari daerah Kedung Halang Bogor dalam bentuk kering. Untuk mendapatkan tepung onggok tapioka dilakukan penggilingan yang bertujuan untuk memecah partikel dengan menggunakan Hammer mill, kemudian dilakukan penyaringan dengan ukuran 100 mesh. Terhadap tepung onggok tapioka yang sudah disaring, dilakukan analisa kadar karbon, kadar nitrogen, kadar air dan kadar abu. Sedangkan untuk mengetahui kadar nitrogen yang terdapat di dalam urea, dilakukan analisa kadar nitrogen dengan menggunakan metode Kjeldahl. Hasil analisa kadar karbon dan nitrogen digunakan dalam formulasi media fermentasi. Prosedur analisa kadar air, kadar abu dan kadar nitrogen dapat dilihat pada Lampiran 1.

Untuk mendapatkan kultur Bacillus thuringiensis subsp. israelensis yang baik, maka dilakukan penyegaran inokulum. Kultur B.t.i berasal dari produk komersil bioinsektisida (Vectobac) yang merupakan campuran kristal protein dan spora. Sebanyak satu lup produk bioinsektisida (Vectobac) diinokulasikan kedalam agar miring dengan tujuan mengembangkan sel vegetatif dari spora. Kultur hasil inokulasi tersebut digunakan sebagai kultur sediaan untuk memproduksi bioinsektisida. Prosedur persiapan inokulum dapat dilihat pada Lampiran 2.

2. Penentuan Pengaruh Suhu dan pH Terhadap Pertumbuhan

Fermentasi medium dimulai dengan menyiapkan media yaitu onggok tapioka, urea dan mineral (trace element). Formulasi media tersebut terdiri atas rasio C/N dan penambahan trace element, jenis dan jumlah mineral yang digunakan dalam formulasi sesuai dengan yang digunakan oleh Dulmage dan Rhodes (1971). Larutan penyangga (buffer) phosphat ditambahkan kedalam media (onggok tapioka, urea dan trace element), hal ini bertujuan untuk membuat medium fermentasi dengan nilai derajat keasaman (pH) sesuai dengan perlakuan yaitu pH 5,5; pH 6,75

(33)

dan pH 8. Selanjutnya, dilakukan sterilisasi medium fermentasi, sterilisasi dilakukan secara terpisah antara sumber karbon dan sumber nitrogen.

Terhadap medium fermentasi yang sudah di sterilisasi, diinokulasi dengan kultur B.t.i. yang sudah disegarkan sebagai kultur sediaan. Fermentasi dilakukan dalam labu erlenmeyer 500 ml yang diisi medium dengan volume 150 ml dengan menggunakan water shaker untuk dilakukan inkubasi selama 72 jam. Suhu dan pH diatur sesuai dengan perlakuan.

Analisa terhadap pertumbuhan B.t.i. dilakukan per-satuan waktu pengambilan contoh, yaitu jam ke- 0, 6, 12, 18, 24, 36, 48, 60, dan 72. Analisa tersebut meliputi pengukuran bobot kering biomassa dan penggunaan substrat. Hasil dari penghitungan bobot kering biomassa digunakan untuk mengukur laju pertumbuhan sel dan biomassa maksimum. Prosedur untuk menghitung bobot kering biomassa dan penggunaan substrat dapat dilihat pada Lampiran 3.

3. Pengujian Aktivitas Bioinsektisida

Analisa terhadap aktivitas bioinsektisida dilakukan per-hari atau pada jam pengambilan contoh yaitu jam ke- 24, 48 dan 72. Prosedur untuk mengukur aktivitas bioinsektisida (bioassay), mengikuti prosedur yang dilakukan oleh Yamamoto et al., (1983). Aktivitas bioinsektisida dinyatakan dengan LC50. Nilai LC50 ditentukan dengan menggunakan analisa Probit Quant (sofware dari Steve Mound, University of Wales, College of Cardiff, Inggris). Prosedur pengujian bioinsektisida dapat dilihat pada Lampiran 4.

4. Pengukuran Jumlah Spora

Analisa terhadap produk yaitu jumlah spora hidup, dilakukan per-hari atau pada jam pengambilan contoh yaitu jam ke- 24, 48 dan 72. Prosedur pengukuran jumlah spora hidup mengikuti prosedur yang dilakukan oleh Mummigati dan Raghunathan (1990) dapat dilihat pada Lampiran 5. Data pengukuran jumlah spora hidup diolah dengan

(34)

menggunakan software SPSS. Pengolahan data ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh suhu, pH dan waktu pengambilan contoh terhadap spora yang terbentuk.

Hasil olahan statistik dari pengujian aktivitas bioinsektisida (potensi produk) dan pengukuran jumlah spora hidup digunakan untuk menentukan waktu pemanenan produk bioinsektisida.

C. RANCANGAN PERCOBAAN

Rancangan percobaan yang digunakan dalam penelitian ini adalah rancangan faktorial dua tingkat (two level faktorial) dengan dua faktor perlakuan yaitu suhu (X1) dan pH (X2). Besarnya nilai suhu dan pH dapat dilihat pada Tabel 3.

Tabel 3. Nilai rendah dan tinggi perlakuan

Jenis perlakuan Nilai rendah (-) Nilai tinggi (+)

Suhu (X1) 25 35

pH (X2) 5.5 8

Parameter respon utama yang digunakan untuk menentukan pengaruh suhu dan pH terhadap pertumbuhan B.t.i adalah laju pertumbuhan maksimum (µ-maks.) dan bobot kering biomassa. Sedangkan respon utama aktivitas bioinsektisida adalah potensi produk bioinsektisida. Matrik perlakuan selama fermentasi disajikan pada Tabel 4.

Tabel 4. Matrik perlakuan suhu dan pH untuk produksi bioinsektisida Kode Nilai Nilai Asli

No X1 X2 Suhu pH 1 -1 -1 25 5.5 2 -1 +1 25 8 3 0 0 30 6.75 4 0 0 30 6.75 5 +1 -1 35 5.5 6 +1 +1 35 8

(35)

i=1 2

I<k

Model rancangan percobaan faktorial untuk mengetahui pengaruh linier dari kedua variabel terhadap respon yang diinginkan adalah sebagai berikut :

Y =

α

o

+ ∑ α

i

x

i

+∑ α

ij

x

i

x

j

Keterangan :

Y = Respon dari masing-masing perlakuan

α

o,

α

i,

α

ij

=

Koefisien parameter

x

i

=

Pengaruh linier faktor perlakuan utama

(36)

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

A. KARAKTERISASI ONGGOK TAPIOKA DAN PERSIAPAN

INOKULUM

Sebelum dilakukan inokulasi pada medium fermentasi, perlu diperhitungkan parameter yang mempengaruhinya. Parameter-parameter tersebut diantaranya jumlah nutrien, kesetimbangan nutrien, komponen total dan jenis komponen. Pada dasarnya media yang digunakan untuk menumbuhkan mikroorganisme harus mengandung air, sumber energi, zat hara sebagai sumber karbon, nitrogen dan mineral (trace element).

1. Karakterisasi Onggok Tapioka dan Medium fermentasi

Karakterisasi onggok tapioka dilakukan dengan tujuan untuk mengetahui kadar karbon dan nitrogen yang digunakan dalam persiapan medium fermentasi. Hasil analisa kadar karbon dan kadar nitrogen onggok tapioka dan urea dapat dilihat pada Tabel 5.

Tabel 5. Komposisi onggok tapioka (C,N,S kadar air dan abu) Kadar (persen) No Komponen

Onggok tapioka Urea

1 Karbon (C) 40.43 20

2 Nitrogen (N) 0.143 45.2

3 Sulfur (S) 1 -

4 Abu 0.87 -

5 Air 2.11 -

Berdasarkan Tabel 5 di atas, onggok tapioka mengandung unsur karbon dalam jumlah yang relatif tinggi yaitu 40,43 persen. Hal ini disebabkan karena kandungan pati dalam onggok tapioka yang cukup tinggi yaitu 60–70 persen berat kering (Abbas et al., 1985). Onggok tapioka juga mengandung nitrogen sehingga dapat digunakan sebagai media dalam fermentasi. Keuntungan penggunaan onggok tapioka sebagai media fermentasi adalah harganya yang murah dan merupakan hasil

(37)

samping industri tapioka sehingga dapat meningkatkan nilai tambah onggok tapioka. Selain mengandung karbon dan nitrogen, onggok tapioka juga mengandung komponen-komponen yang diperlukan untuk pertumbuhan mikroorganisme. Komposisi kimia onggok dapat dilihat pada Tabel 6.

Tabel 6. Komposisi onggok tapioka (berat kering)

No Komponen Tjiptadi (1982) Anonim (1984)

1 Air (%) 16.86 13.39 2 Abu (%) 8.50 4.90 3 Serat Kasar (%) 8.14 11.02 4 Lemak (%) 0.25 0.15 5 Protein (%) 6.42 0.58 6 Pati (%) 62.97 68.79 7 Karbohidrat (%) 71.11 79.81

Berdasarkan Tabel 6 diatas, kandungan karbohidrat dalam onggok tapioka mencapai 71,11 persen berat kering (Tjiptadi, 1982). Anonim (1984) menambahkan bahwa kandungan karbohidrat dalam onggok tapioka mencapai 79,81 persen berat kering. Hasil analisa proksimat menunjukkan hasil yang berbeda-beda, hal ini dapat disebabkan karena kandungan pati dalam onggok sangat bergantung pada varietas dan mutu ubi kayu yang diolah menjadi tapioka, efisiensi proses ekstraksi pati tapioka dan penanganan onggok tapioka (Anonim, 1984).

Bahan utama lain yang digunakan sebagai sumber nitrogen adalah urea. James (1993) menyatakan bahwa kadar nitrogen tertinggi di dalam urea (CO(NH2)2) sebesar 46 persen. Hasil analisa kadar nitrogen terhadap urea, menunjukkan bahwa kandungan nitrogen urea sebesar 45,2 persen. Kadar nitrogen tersebut berada pada kisaran tertinggi, hal ini dapat disebabkan oleh tingkat kemurnian urea yang digunakan dalam analisa. Morris et al., (1997) menambahkan bahwa sumber nitrogen berpengaruh didalam pembentukan campuran kristal-spora. Urea dapat digunakan sebagai sumber nitrogen karena dapat mempercepat pertumbuhan mikroorganisme (Stanbury dan Whitaker, 1984).

(38)

Hasil analisa dari onggok tapioka dan urea berguna untuk menentukan nilai nisbah karbon dan nitrogen. Menurut Wang et al., (1978), kebutuhan nitrogen bagi mikroorganisme untuk tumbuh berada pada kisaran 7-12 persen, sedangkan kebutuhan karbon sebesar 50 persen. Nilai nisbah C/N yang digunakan dalam penelitian adalah 7/1, nilai tersebut masih berada pada kisaran untuk pertumbuhan mikroorganisme (Wang, et al., 1978). Nilai nisbah C/N digunakan untuk menentukan komposisi onggok tapioka dan urea. Konsentrasi onggok tapioka yang digunakan dalam penelitian sebesar 20 gram/liter, konsentrasi tersebut berdasarkan penelitian Wicaksono (2002). Judoamidjojo (1989) menambahkan bahwa batas maksimum konsentrasi karbohidrat sebagai sumber karbon adalah 50 gram/liter. Pada konsentrasi diatas 50 gram/liter, penghambatan pertumbuhan sel oleh substrat akan mulai terjadi. Penghambatan timbul karena adanya tekanan osmotik yang dapat menyebabkan plasmolisis dan terjadinya penghambatan sintesis enzim-enzim pada rantai respirasi. Komposisi onggok tapioka dan urea yang digunakan sebagai sumber karbon dan nitrogen adalah 3 gram onggok tapioka dan 0,398 gram urea di dalam 150 ml medium fermentasi. Hasil perhitungan komposisi onggok tapioka dan urea dapat dilihat pada Lampiran 17.

Menurut Rahayuningsih (2003), kombinasi faktor, jenis dan nisbah C/N serta mineral yang digunakan berpengaruh terhadap toksisitas dari kristal protein yang dihasilkan. Komposisi elemental tipikal bagi mikroorganisme ditunjukkan pada Tabel 7.

Tabel 7. Komposisi elemental tipikal untuk mikroorganisme

No Elemen Bobot kering sel

(persen) 1 Karbon 50 2 Nitrogen 7 – 12 3 Fosforus 1 – 3 4 Sulfur 0,5 – 1.0 5 Magnesium 0,5 (Wang et al., 1978)

(39)

Selain sumber karbon dan nitrogen, mikroorganisme juga membutuhkan mineral untuk pertumbuhan dan pembentukan metabolit. Kebutuhan mineral bervariasi tergantung pada jenis mikroorganisme yang ditumbuhkan. Jenis dan jumlah mineral yang digunakan dalam penelitian ini sesuai dengan yang digunakan oleh Dulmage dan Rhodes (1971) dan Vandekar dan Dulmage (1982), yaitu untuk pembuatan satu liter medium fermentasi ditambahkan 0.3 g MgSO4.7H2O, 0,02 g ZnSO4.7H2O, 0,02 g FeSO4.7H2O dan 1,0 g CaCO3. Menurut Moo-Young (1985), CaCO3 sangat penting untuk pertumbuhan sel dan produksi endotoksin. Konsentrasi mineral baik tunggal maupun campuran sangat berpengaruh terhadap proses fermentasi tertentu. Bentuk senyawa yang biasanya ditambahkan dan kisaran konsentrasinya, adalah seperti pada Tabel 8 di bawah ini.

Tabel 8. Kisaran konsentrasi mineral

Komponen Kisaran (g/l) KH2PO4 1.0 – 4.0 MgSO4.7H2O 0.25 – 3.0 KCl 0.5 – 12.0 CaCO3 5.0 – 17.0 FeSO4.4H2O 0.01 – 0.1 ZnSO4.8H2O 0.1 – 1.0 MnSO4.H2O 0.01 – 0.1 CuSO4.5H2O 0.003 – 0.01 Na2MoO4.2H2O 0.01 – 0.1

(Stanbury dan Whitaker, 1984)

Dalam sterilisasi media antara sumber karbon dan nitrogen dilakukan terpisah, hal ini bertujuan untuk menghindari terjadinya reaksi browning. Hal ini perlu dicegah karena dapat menyebabkan terbentuknya warna yang gelap pada medium fermentasi serta dapat meyebabkan kerusakan nutrien. Menurut Hartoto (1992), dalam melakukan sterilisasi media untuk fermentasi perlu diperhatikan faktor-faktor, diantaranya kepekaan nutrien terhadap panas, kerusakan vitamin, ketersediaan protein dan pengendapan trace element.

(40)

2. Persiapan Inokulum

Untuk mendapatkan kultur yang digunakan sebagai inokulum dalam keadaan segar dan aktif, maka dilakukan pengembangan inokulum. Pengembangan inokulum merupakan penyiapan suatu populasi mikroorganisme dari kultur sediaan yang dorman (istirahat) ke tahap kultur yang dapat digunakan untuk menginokulasi suatu proses produksi.

Dalam penelitian ini, dilakukan penyiapan inokulum dengan menumbuhkan B.t.i. kedalam agar miring (nutrien agar) dari produk komersial bioinsektisida (Vectobac). Hal ini bertujuan untuk mendapatkan sel B.t.i dalam keadaan segar sebelum dilakukan pengembangan inokulum. Dalam penelitian ini dilakukan inokulasi sebanyak satu lup biakan B.t.i. kedalam medium nutrien broth (NB) sebagai labu pembibitan 1, kemudian dilakukan inkubasi selama 12 jam. Tujuan dari pembuatan inokulum 1 adalah untuk mendapatkan kondisi pertumbuhan yang optimum yang berasal dari media padat (agar miring) ke media cair. Inokulum hasil pembibitan 1 digunakan untuk menginokulasi medium pembibitan 2 sebanyak 5 persen. Medium pembibitan 2 berisi medium yang akan digunakan untuk memproduksi bioinsektisida. Menurut Hartoto (1992), sebelum masuk ke medium fermentasi utama perlu dilakukan pengembangan inokulum beberapa tahap, sebanyak 3–10 persen inokulum yang ditambahkan. Hal ini bertujuan untuk memproduksi biomassa yang maksimum untuk medium fermentasi utama.

B. PENGARUH SUHU DAN pH TERHADAP PERTUMBUHAN

Pengamatan terhadap pertumbuhan Bacillus thuringiensis subsp. israelensis ditunjukkan oleh peningkatan bobot kering biomasa selnya. Pengukuran bobot kering biomassa digunakan untuk menghitung laju pertumbuhan maksimum Bacillus thuringiensis subsp. israelensis. Pengukuran bobot kering biomassa tidak hanya mengukur sel hidup saja, tetapi juga sel mati, spora dan bahan-bahan lain yang tidak dapat larut. Menurut Gumbira Sa’id

(41)

(1987), faktor lingkungan yang berpengaruh terhadap pertumbuhan sel dan pembentukan produk adalah suhu dan pH awal medium.

Hasil dari perhitungan bobot kering biomassa digunakan untuk menghitung laju pertumbuhan maksimum, biomassa maksimum dan waktu terbentuknya biomassa maksimum. Nilai hasil perhitungan tersebut dapat dilihat pada Tabel 9.

Tabel 9. Nilai laju pertumbuhan maksimum dan biomassa maksimum Suhu (x1) PH (x2) Kode (x1) Kode (x2) µ maks (jam-1) Biomassa maks. (mg/ml) 25 5.5 -1 -1 0.246±0.000 5.025±0.318 25 8 -1 1 0.150±0.053 3.625±0.955 30 6.75 0 0 0.328±0.012 5.195±0.73 30 6.75 0 0 0.386±0.101 6.800±1.146 35 5.5 1 -1 0.219±0.081 2.500±0.57 35 8 1 1 0.310±0.028 6.350±1.34

1. Pengaruh Suhu dan pH terhadap Laju Pertumbuhan

Fermentasi Bacillus thuringiensis subsp. israelensis untuk memproduksi bioinsektisida dilakukan dengan cara sistem fermentasi tertutup (batch process). Pada sistem fermentasi tertutup ini tidak dilakukan lagi penambahan komponen substrat setelah inokulasi kedalam medium steril. Setelah fase adaptasi (lag phase) selesai, mikroba memasuki fase pertumbuhan eksponensial (log phase) dimana pertumbuhan berlangsung konstan dengan laju pertumbuhan maksimum. Laju pertumbuhan maksimum berbeda-beda tergantung pada spesies mikroba dan kondisi kultur.

Hasil analisa statistik (Lampiran 11), menunjukkan bahwa laju pertumbuhan maksimum (µ maks.) dipengaruhi oleh suhu (X1) dan pH (X2). Koefisien parameter dan nilai signifikansi laju pertumbuhan maksimum (µ maks.) disajikan pada Tabel 10.

(42)

Tabel 10. Koefisien parameter dan nilai signifikansi laju pertumbuhan maksimum (µ maks.)

Parameter Koefisien Signifikansi

Intersep -2.8481 85.19

Suhu (X1) 0.2580 89.52

pH (X2) -0.2254 86.74

Interaksi X1 dan X2 0.0075 86.84

R2 95.32

Pada Tabel 10 dapat dilihat, bahwa suhu fermentasi (X1) berpengaruh terhadap laju pertumbuhan pada tingkat signifikansi 89.52 persen. Dalam penelitian ini dilakukan pengambilan interval suhu antara 25–35 oC. Menurut Heimpel (1967) dan Deacon (1993), B.t. dapat tumbuh pada medium buatan pada suhu pertumbuhan berkisar antara 15–40 oC. Pada interval suhu 25-35 oC, faktor suhu (X1) memberikan pengaruh positif terhadap laju pertumbuhan, semakin tinggi suhu menyebabkan semakin cepat laju pertumbuhan B.t. Judoamidjojo et al., (1992) menyatakan bahwa laju pertumbuhan dipengaruhi oleh suhu. Kecenderungan ini mungkin disebabkan oleh aktivasi enzim amilase dalam proses katabolisme yaitu menguraikan karbohidrat dalam onggok tapioka menjadi gula-gula sederhana. Menurut Pelczar dan Chan (1986), mulai pada suhu rendah, aktivitas enzim bertambah dengan naiknya suhu sampai aktivitas optimumnya dicapai, kenaikan suhu lebih lanjut berakibat dengan berkurangnya aktivitas enzim dan pada akhirnya akan rusak.

Faktor derajat keasaman (pH) memberikan pengaruh pada tingkat signifikansi 86.74 persen terhadap laju pertumbuhan maksimum. Dalam penelitian ini dilakukan perlakuan pH antara 5,5 – 8. Pada Lampiran 6 dapat dilihat bahwa nilai pH cairan kultur selama fermentasi berlangsung berkisar antara 5,6 – 7,9, kisaran tersebut masih berada pada kisaran pertumbuhan B.t. karena menurut Bernhard dan Utz (1993) bahwa B.t. dapat tumbuh pada kisaran pertumbuhan 5,5 - 7,5. Menurut Judoamidjojo (1992), derajat keasaman (pH) merupakan parameter yang mempengaruhi pertumbuhan dan pembentukan produk karena protein mempunyai gugusan yang dapat terionisasi, sehingga perubahan pH akan berpengaruh terhadap katalitik dan konformasi enzim. Enzim amilase yang berperan

(43)

dalam proses katabolik karhohidrat menjadi gula-gula sederhana dapat aktif pada selang pH yang optimum untuk pertumbuhan B.t.i. Aktivitas maksimum dicapai pada pH tertentu dan penyimpangan dari nilai derajat keasaman (pH) akan menyebabkan berkurangnya aktivitas enzim (Pelczar dan Chan, 1986). X2-X2+ X2+ 0.00 0.05 0.10 0.15 0.20 0.25 0.30 0.35 (j a m -1 ) X1- X1+

Gambar 3. Interaksi suhu (X1) dan pH (X2) terhadap laju pertumbuhan maksimum (µ-maks.)

Dari Gambar 3 dapat dilihat, bahwa suhu berpengaruh positif terhadap laju pertumbuhan maksimum (µ maks.) pada interval 25-35 oC. Suhu dan pH berpengaruh terhadap aktivitas enzim amilase yang berperan dalam proses metabolisme sel yaitu perombakan karbohidrat menjadi gula sederhana.

2. Pengaruh Suhu dan pH terhadap Biomassa Maksimum

Metode yang paling umum untuk mengukur massa sel total adalah dengan cara menghitung bobot kering biomassa. Pertumbuhan mikroba dapat diamati dengan cara mengukur jumlah sel atau konsentrasi biomassnya. Peningkatan massa sel hanya terjadi, jika kondisi-kondisi kimiawi dan fisika tertentu dipenuhi, misalnya terdapat suhu dan pH yang optimum dan tersedianya nutrien yang dibutuhkan untuk pertumbuhan.

Hasil analisa statistik (Lampiran 12) menunjukkan bahwa nilai bobot kering biomassa maksimum dipengaruhi oleh suhu (X1) dan pH (X2). Suhu berpengaruh positif terhadap bobot kering biomassa maksimum. Pada interval suhu 25-35 oC, semakin tinggi suhu

(44)

menyebabkan semakin tinggi nilai bobot kering biomassa. Hal ini sesuai dengan pengaruh suhu terhadap laju pertumbuhan maksimum, tetapi tidak berarti bahwa semakin tinggi nilai bobot kering biomassa akan dihasilkan laju pertumbuhan yang semakin cepat, karena selain faktor biomassa juga

dapat dipengaruhi oleh waktu terbentuknya biomassa maksimum (t-maks.). Koefisien parameter dan nilai signifikansi bobot kering

biomassa maksimum disajikan pada Tabel 11

Tabel 11. Koefisien parameter dan nilai signifikansi biomassa Maksimum

Parameter Koefisien Signifikansi

Intersep -13.495 60.47

Suhu (X1) 2.487 75.30

pH (X2) -5.810 85.88

Interaksi X1 dan X2 0.210 87.01

R2 90.24

Dari Tabel 11, dapat dilihat bahwa suhu (X1) berpengaruh positif pada selang interval suhu 25-35 oC terhadap nilai bobot kering biomassa maksimum. Semakin tinggi suhu yang digunakan selama fermentasi akan menyebabkan semakin tinggi nilai bobot kering biomassa. Nilai biomassa berhubungan dengan konversi maksimal dari substrat ke massa sel. Suhu yang terlalu rendah untuk pertumbuhan sel akan menyebabkan nilai bobot kering biomassa rendah. Hal ini dipengaruhi oleh penggunaan energi, menurut Moo-Young (1985), suhu pada umumnya penting dalam mempengaruhi efisiensi konversi substrat menjadi massa sel dimana substrat tersebut adalah sumber karbon atau energi. Dalam penelitian ini, diluar suhu pertumbuhan optimum, energi ekstra dibutuhkan untuk tujuan pemeliharaan karena turnover protein dan asam nukleat menjadi lebih cepat sehingga energi untuk pertumbuhan menjadi lebih kecil. Hal ini akan mengakibatkan bobot kering biomassa yang dihasilkan oleh mikroorganisme menjadi lebih rendah.

Derajat keasaman (pH) (X2) memberikan pengaruh negatif pada tingkat signifikansi 85.88 persen terhadap bobot kering biomassa

(45)

maksimum. Hal ini berhubungan dengan konversi media (sumber karbon dan nitrogen) menjadi biomassa dan produk. Perlakuan terhadap pH akan berpengaruh terhadap metabolisme sel, hal ini disebabkan karena sel akan mengkonsumsi substrat sederhana kemudian baru mengkonsumsi substrat yang komplek. Selama B.t.i. mengkonsumsi sumber karbon, menyebabkan terjadi penurunan nilai pH selama fermentasi. Hal ini disebabkan karena terbentuknya asam-asam organik akibat proses katabolik terhadap glukosa yang terdapat pada sumber karbon. Menurut Benoit et al. (1990), proses katabolik terhadap glukosa tersebut oleh Bacillus thuringiensis melalui Embden Meyerhoff Pathway (EMP) dan lintasan pentosa fosfat. Proses perombakan ini menghasilkan ATP dan asam-asam organik, seperti asam piruvat, asam sitrat, asam laktat dan asetoin. Bacillus thuringiensis bersifat kemoheterotrof, pada umumnya mengoksidasi karbohidrat secara aerobik untuk membentuk asam organik yang dioksidasi lebih lanjut menjadi CO2. Norris (1971) menyatakan bahwa pada fase eksponensial, Bacillus thuringiensis menggunakan gula dalam medium dan menghasilkan asam asetat serta asam piruvat yang menyebabkan pH medium mengalami penurunan pada waktu inkubasi tertentu.

3. Pengaruh Suhu dan pH terhadap Penggunaan Substrat.

Selama fermentasi berlangsung, sel akan mengkonversi substrat sumber karbon menjadi biomassa dan produk. Hal ini ditandai dengan berkurangnya konsentrasi substrat yaitu nilai kadar gula sisa. Tinggi rendahnya kadar gula sisa dalam medium fermentasi dipengaruhi oleh kemampuan sel dalam mengkonversi sumber karbon dari pati menjadi biomassa dan produk. Selain itu juga dipengaruhi oleh kondisi lingkungan, misalnya suhu dan pH. Menurut Dulmage dan Rhodes (1971), faktor yang sangat mempengaruhi fermentasi Bacillus thuringiensis, diantaranya adalah komposisi medium dan kondisi untuk pertumbuhan mikroba seperti pH, oksigen dan suhu.

Gambar

Tabel 1. Produk berbahan aktif Bacillus thuringiensis subsp. israelensis
Tabel 2. Tipe patogenitas dari Bacillus thuringiensis
Gambar 1. Siklus hidup nyamuk Aedes aegypti (www.epa.org)
Gambar 2. Tahapan penelitian  Karakterisasi media fermentasi (C dan N)
+7

Referensi

Dokumen terkait

Penilaian agresivitas kedua tipe KTP melalui ekspresi MMP-9 pada penelitian ini membuktikan bahwa tidak terdapat perbedaan rerata skor ekspresi MMP-9 yang bermakna

Parameter yang diamati adalah karakteristik fungsional dari tepung antara lain swelling power, indeks penyerapan air, indeks kelarutan dalam air, daya serap air, kadar

Setelah dilakukan penelitian maka didapatkan bahwa terdapat hubungan yang positif dan berarti antara kemampuan Penguasaan Kosa Kata dan kemampuan Struktur Kalimat

MENINGKATKAN HASIL BELAJAR SISWA DENGAN MENGGUNAKAN MODEL PEMBELAJARAN KOOPERATIF TWO STAY TWO.. STRAY (TSTS) PADA PELAJARAN SAINS DI KELAS V SD NEGERI 104206 SEI ROTAN

[r]

Hasil Perhitungan Regresi Sederhana Spiritual Quotient Terhadap Prestasi Belajar Untuk Melihat Perubahan Dan Uji T.

Dalam melakukan triangulasi , setelah observasi dan wawancara terhadap kinerja guru dan aktivitas siswa peneliti akan membandingkan serta mendiskusikan hasil data

Bradshaw (2005:11) berkata, “ Kepercayaan bahwa kemiskinan berakar dari kelemahan-kelemahan individu adalah teori lama. ” Namun selain terjadinya distorsi budaya di