• Tidak ada hasil yang ditemukan

Konsep Kepribadian Pendidik (Telaah Qs. Al-Muddatstsir) - Test Repository

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2019

Membagikan "Konsep Kepribadian Pendidik (Telaah Qs. Al-Muddatstsir) - Test Repository"

Copied!
100
0
0

Teks penuh

(1)

KONSEP KEPRIBADIAN PENDIDIK

(TELAAH QS. AL-MUDDATSTSIR)

SKRIPSI

Diajukan untuk Memperoleh Gelar

Sarjana Pendidikan Islam

Oleh:

Nur

Aini

NIM 11112255

JURUSAN PENDIDIKAN AGAMA ISLAM (PAI)

FAKULTAS TARBIYAH DAN ILMU KEGURUAN (FTIK)

INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI (IAIN)

SALATIGA

(2)
(3)

KONSEP KEPRIBADIAN PENDIDIK

(TELAAH QS. AL-MUDDATSTSIR)

SKRIPSI

Diajukan untuk Memperoleh Gelar

Sarjana Pendidikan Islam

Oleh:

Nur

Aini

NIM 11112255

JURUSAN PENDIDIKAN AGAMA ISLAM (PAI)

FAKULTAS TARBIYAH DAN ILMU KEGURUAN (FTIK)

INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI (IAIN)

SALATIGA

(4)
(5)
(6)
(7)

MOTTO DAN PERSEMBAHAN

MOTTO

“Jangan pernah meragukan kemampuan diri sendiri, tapi juga jangan

mudah merasa puas dan bangga. Karena segalanya atas kehendak Allah.”

Tetap tenang, berusaha dan pasrahkan segala urusan pada sang

pencipta. Dia lebih tau yang terbaik dan pantas untuk diri kita.”

PERSEMBAHAN

Untuk orang tuaku, adik-adikku,

Keluarga ku, dosen-dosen serta guru-guruku

Teman-teman seperjuanganku, sahabat-sahabatku,

(8)

KATA PENGANTAR

Assalammu’alaikum wr.wb.

Segala puji bagi Allah SWT, yang telah melimpahkan rahmat, taufik, hidayah, dan inayah-Nya kepada kita semua. Sehingga penulis bisa menjalani kehidupan ini sesuai dengan ridho-Nya. Sholawat dan salam semoga tercurahkan kepada nabi besar kita Nabi Muhammad SAW. Atas limpahan rahmat dan hidayah-Nya penulis dapat menyelesaikan skripsi hasil analisis ini yang berjudul “Konsep Kepribadian Pendidik (Telaah Qs. Al-Muddatstsir)” sesuai dengan rencana.

Selanjutnya penulis mengucapkan banyak terima kasih kepada berbagai pihak yang telah membantu pembuatan skripsi ini, kepada yang terhormat:

1. Bapak Dr. Rahmat Hariyadi, M.Pd. selaku Rektor Intitut Agama Islam Negeri

Salatiga yang telah memberikan kesempatan untuk menuntut ilmu di IAIN Salatiga.

2. Bapak Suwardi, M.Pd. selaku Dekan Fakultas Tarbiyah dan Ilmu Keguruan

IAIN Salatiga.

3. Ibu Siti Rukhayati, M.Ag. selaku Ketua Jurusan Pendidikan Agama Islam

IAIN Salatiga yang telah memberikan ijin untuk melaksanakan penelitian dan kemudahan sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini.

4. Bapak Dr. Miftahuddin, M.Ag. selaku Dosen Pembimbing Skripsi yang telah

dengan sabarnya memberikan bimbingan dan arahan kepada penulis dalam penyususnan skripsi ini.

(9)
(10)

ABSTRAK

Aini, Nur. 2016. Konsep Kepribadian Pendidik (Telaah Qs. Al-Muddatstsir).

Skripsi. Tarbiyah dan Ilmu Keguruan. Pendidikan Agama Islam. Institut Agama Islam Negeri Salatiga. Dr. Miftahuddin, M.Ag.

Kata Kunci : Konsep Kepribadian Pendidik

Penelitian ini dilatarbelakangi oleh sikap-sikap guru yang mulai

melenceng. Beberapa pendidik kurang mengetahui akan tugas dan kewajiban

mereka sehingga sangat berpengaruh dalam perkembangan kualitas peserta didik. Di Negara kita, bukan rahasia lagi bahwa masyarakat mempunyai harapan yang berlebih terhadap guru. Keberhasilan atau kegagalan sekolah sering dialamatkan kepada guru.

Berdasarkan permasalahan di atas, maka dilakukan Penelitian mengenai konsep kepribadian pendidik telaah qs al-Muddatstsir. Yang membahas mengenai bagaimana konsep kepribadian pendidik yang terdapat dalam qs al-Muddatstsir serta implikasi dalam dunia pendidikan kontemporer. Dalam mengkaji hal ini peneliti menggunakan penelitian literatur. Sumber data yang digunakan adalah buku-buku tafsir diantaranya: tafsir al-Azhar, al-Maraghi, an-Nuur, Depag, Muyassar, tafsir al-Misbah dan data-data yang diperoleh dari penafsiran para ahli tafsir didukung dengan hadis serta buku-buku yang relevan kemudian dijadikan sebagai alat bantu dalam menganalisis masalah yang muncul. Adapun metode

yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode maudhu‟i (tematik) yaitu

menafsirkan ayat-ayat al-Qur‟an berdasarkan tema atau topik permasalahan.

(11)

DAFTAR ISI

SAMPUL ... i

JUDUL ... ii

LEMBAR BERLOGO ... iii

PERSETUJUAN PEMBIMBINNG ... iv

PENGESAHAN KELULUSAN ... v

PERNYATAAN KEASLIAN TULISAN ... vi

MOTTO DAN PERSEMBAHAN ... vii

KATA PENGANTAR ... viii

ABSTRAK ... x

DAFTAR ISI ... xi

BAB I PENDAHULUAN ... 1

A. Latar Belakang ... 1

B. Rumusan Masalah ... 4

C. Tujuan Penelitian ... 4

D. Manfaat Penelitian ... 5

E. Metode Penelitian... 6

F. Penegasan Istilah ... 8

G. Sistematika Penulisan ... 10

BAB II KONSEP KEPRIBADIAN PENDIDIK ... 12

A. Pengertian Konsep Kepribadian Pendidik ... 12

(12)

2. Pengertian Pendidik ... 14

3. Arti Penting Kepribadian bagi Seorang Pendidik ... 16

B. Karakteristik Kepribadian Pendidik Dalam Islam ... 18

BAB III KEPRIBADIAN PENDIDIK DALAM QS. AL-MUDDATSTSIR AYAT: 1-7 ... 23

A. Kajian Tentang Qs. Al-Muddatstsir ... 23

1. Telaah Mufrodat ... 23

2. Isi Pokok Kandungan Ayat ... 24

3. Asbabun Nuzul ... 31

B. Kepribadian Pendidik Dalam Qs. Al-Muddatstsir: 1-7 ... 35

1. Berani Menyampaikan Kebenaran ... 35

2. Beriman ... 41

3. Rapi dan Bersih ... 44

4. Meninggalkan Perbuatan Dosa dan Maksiat ... 49

5. Ikhlas ... 53

6. Sabar ... 58

BAB IV IMPLIKASI KONSEP KEPRIBADIAN PENDIDIK DALAM QS. AL-MUDDATSTSIR: 1-7 DENGAN KONTEKS PENDIDIKAN KONTEMPORER ... 62

A. Nilai-Nilai Kepribadian Pendidik Dalam Qs. Al-Muddatstsir ayat 1-7 Yang Relevan Dengan Dunia Modern ... 62

(13)

BAB IV PENUTUP ... 73

A. Kesimpulan ... 73 B. Saran ... 74

(14)

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Pendidikan adalah suatu aktivitas untuk mengembangkan semua aspek kepribadian manusia yang berjalan seumur hidup. Secara umum pendidikan dapat diartikan sebagai usaha manusia untuk membina kepribadiannya sesuai dengan nilai-nilai di dalam masyarakat dan kebudayaan (Zuhairini, 1995: 149). Sedangkan menurut Suwarno (2006:

23), “Pendidikan adalah proses sepanjang hayat sebagai perwujudan

pembentukan diri secara utuh. Maksudnya, pengembangan segenap potensi dalam rangka penentuan semua komitmen manusia sebagai individu,

sekaligus sebagai makhluk sosial dan makhluk Tuhan”.

Dari pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa pendidikan adalah faktor utama dalam pembentukan kepribadian peserta didik. Pendidikan berperan dalam membentuk baiknya pribadi peserta didik, untuk itu pendidikan dituntut agar mampu mengembangkan seluruh potensi yang dimiliki peserta didik secara optimal agar merain kehidupan yang sejahtera dalam kehidupan dunia maupun akhirat. Sebagaimana firman Allah:

….

ُساَّنلا اَىُدوُقَو اًراَن ْمُكيِلْىَأَو ْمُكَسُفْ نَأ اوُق اوُنَمآ َنيِذَّلا اَهُّ يَأ اَي

(15)

“Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu

dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu….” (QS. al

-Tahrim, 66: 6)

Ayat tersebut berarti perintah untuk berbuat sesuatu yang dapat menjadi penghalang datangnya siksaan api neraka dengan cara menjauhkan perbuatan maksiat, memperkuat diri agar tidak mengikuti hawa nafsu, dan senantiasa taat menjalankan perintah Allah. Selanjutnya keluarga yang terdiri dari istri, anak, pembantu dan budak, diperintahkan agar menjaga dengan cara memberikan bimbingan, nasehat dan pendidikan kepada mereka. Maksudnya adalah berikanlah pendidikan dan pengetahuan mengenai kebaikan terhadap diri dan keluarga (Nata, 2012: 198).

Proses pendidikan tentunya tidak terlepas dari faktor pendidik atau guru yang mempunyai peranan penting dalam pembentukan kepribadian anak. Pendidik adalah seorang yang memberi atau melaksanakan tugas mendidik, yaitu secara sadar bertanggung jawab dalam membimbing anak untuk mencapai kedewasaannya (Achmadi, 1983: 37). dalam proses pendidikan di sekolah, guru memegang tugas ganda yaitu sebagai pengajar dan pendidik. Sebagai pengajar guru bertugas mentrasferkan ilmu pengetahuan kepada peserta didik, sedang sebagai pendidik guru bertugas membimbing dan membina peserta didik agar menjadi manusia yang berkepribadian sesuai dengan ajaran agama Islam.

Menurut Raqib dan Nurfuadi (2009: 185), “secara umum tugas

(16)

juga yang lebih tinggi dari itu adalah mentransfer pengetahuan sekaligus

nilai-nilai (transfer of knowledge and values) di antaranya yang terpenting

adalah nilai ajaran Islam”.

Orang yang berilmu dan pendidik mempunyai kedudukan yang sangat terhormat, karena tanggung jawabnya yang berat dan mulia, sebagai pendidik dapat menentukan atau paling tidak mempengaruhi kepribadian subyek didik. Bahkan guru yang baik bukan hanya mempengaruhi individu, melainkan juga dapat mengangkat dan meluhurkan martabat suatu umat. Allah memerintahkan agar sebagian di antara umatnya ada yang berkenan memperdalam ilmu dan menjadi guru, untuk meningkatkan derajat diri dan peradaban dunia, tidak semua bergerak ke medan perang (Raqib dan Nurfuadi, 2009: 186).

Sebagaimana firman Allah:

يِف اوُهَّقَفَ تَيِل ٌةَفِئاَط ْمُهْ نِم ٍةَقْرِف ِّلُك ْنِم َرَفَ ن َلَْوَلَ ف ًةَّفاَك اوُرِفْنَ يِل َنوُنِمْؤُمْلا َناَك اَمَو

ِنيِّدلا

“Tidak sepatutnya bagi orang-orang yang mu‟min pergi semuanya

(ke medan perang), mengapa tidak pergi dari tiap-tiap golongan di antara mereka beberapa orang untuk memperdalam pengetahuan mereka tentang

agama….” (Qs. al-Taubah, 9:122)

(17)

masyarakat mempunyai harapan yang berlebih terhadap guru. Keberhasilan atau kegagalan sekolah sering dialamatkan kepada guru.

Mengingat begitu besarnya peran pendidik dalam sebuah keberhasilan pendidikan, kandungan pokok yang terkandung dalam qs. al-Muddatstsir yang berisi perintah untuk mulai berdakwah mengagungkan Allah, membersihkan pakaian, menjauhi dosa, memberikan sesuatu dengan ikhlas dan bersabar sesuai untuk dijadikan pedoman atau pegangan bagi seorang pendidik dalam melaksanakan tugasnya agar tidak mudah terombang ambing oleh arus globalisai. Untuk itu penulis tertarik untuk

mengkaji tentang “KONSEP KEPRIBADIAN PENDIDIK (TELAAH QS.

AL-MUDDATSTSIR 1-7).”

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan paparan latar belakang masalah di atas, maka permasalahan yang akan dikaji dalam bahasan ini adalah:

1. Bagaimana konsep kepribadian pendidik yang terdapat dalam Qs.

al-Muddatstsir: 1-7?

2. Bagaimana implikasi konsep kepribadian pendidik yang terdapat

dalam Qs. al-Muddatstsir: 1-7 dalam konteks dunia pendidikan Kontemporer?

C. Tujuan Penelitian

(18)

1. Untuk mengetahui bagaimana konsep kepribadian pendidik yang terdapat dalam Qs. al-Muddatstsir: 1-7?

2. Untuk mengetahui bagaimana implikasi konsep kepribadian

pendidik dalam Qs. al-Muddatstsir: 1-7 dalam konteks dunia pendidikan kontemporer?

D. Manfaat Penelitian 1. Manfaat Teoritis

Secara akademik penelitian ini dapat digunakan untuk memperkaya kajian bidang pendidikan Agama Islam khususnya bagi pendidik bagaimana seharusnya mereka bersikap agar mampu menjadi teladan yang baik bagi peserta didik dan lingkungannya serta tetap dalam koridor Islam, sebagaimana yang terkandung dalam Qs. al-Muddatstsir.

2. Manfaat Praktis

a. Bagi pendidik, hasil penelitian ini diharapkan mampu

memberikan kontribusi pada pendidik agar selalu berpegang teguh dengan ajaran agama Islam dan memelihara serta mengembangkan kepribadiannya sesuai

dengan syari‟at Islam.

b. Bagi peserta didik, hasil penelitian ini diharapkan dapat

(19)

menentukan perilaku atau kepribadian seorang pendidik yang pantas untuk ditiru dan yang tidak pantas untuk ditiru.

E. Metode Penelitian 1. Jenis Penelitian

Jenis penelitian yang penulis gunakan adalah penelitian pustaka yaitu penelitian yang difokuskan pada penelusuran dan telaah literatur serta bahan pustaka lainnya. Literature juga merupakan cara untuk menyelesaikan persoalan dengan menelusuri sumber-sumber tulisan yang pernah dibuat sebelumnya.

Penelitian kepustakaan adalah penelitian dengan mencari dan mengumpulkan kepustakaan atau bahan-bahan bacaan untuk mencari dan membandingkan naskah atau pendapat para ahli tafsir dan ahli pendidikan tentang metode pendidikan Islam, kemudian dianalisis untuk mencapai tujuan penelitian. Penelitian kepustakaan menghasilkan suatu kesimpulan tentang gaya bahasa buku, kecenderungan isi buku, tata tulis, lay-out, ilustrasi dan sebagainya (Arikunto, 1998: 11).

2. Sumber Data

(20)

„Aidh al-Qarni. Sumber sekunder adalah berupa buku-buku bacaan literature yang ada hubungannya dengan penelitian ini, di luar sumber primer.

3. Teknik Pengumpulan Data

Teknik pengumpulan data yang penulis lakukan dalam penelitian ini adalah dengan mencari dan mengumpulkan buku

yang menjadi sumber primer yaitu al-Qur‟an dan terjemahnya,

kitab-kitab tafsir antara lain: kitab tafsir Misbah, kitab tafsir al-Azhar, kitab tafsir Muyassar dan sumber data sekunder yaitu buku-buku yang sesuai dengan penelitian ini. Setelah data terkumpul maka dilakukan penelaahan secara sistematis dalam hubungannya dengan masalah yang diteliti, sehingga diperoleh data atau informasi untuk bahan penelitian.

4. Teknik Analisis Data

Metode yang digunakan oleh penulis antara lain:

a. Deduktif

Cara berfikir seseorang dengan meneliti persoalan-persoalan khusus dari segi dasar-dasar umum (Hadi, 1981: 42). Teknik ini digambarkan sebagai pengambilan kesimpulan dari sesuatu yang umum menjadi khusus,

Berdasarkan data yang telah diperoleh, penulis

(21)

menggolongkannya secara khusus sesuai Qs. al-Muddatstsir.

b. Induktif

Cara berfikir dengan berlandaskan pada fakta yang khusus dan kemudian ditarik menjadi pemecahan yang bersifat umum (Hadi, 1981: 42). Teknik ini digambarkan sebagai pengambilan kesimpulan dari khusus menjadi umum. Dari hasil analisis Qs. al-Muddatstsir, kemudian ditarik kesimpulan dari surat tersebut dan keterkaitannya dengan kepribadian pendidik secara umum.

c. Maudhu‟i (Tematik)

Metode maudhu‟i menurut istilah adalah

menafsirkan ayat-ayat al-Qur‟an dengan menghimpun ayat

-ayat al-Qur‟an yang mempunyai maksud yang sama dalam

(22)

F. Penegasan Istilah

1. Kepribadian Pendidik

Kepribadian dapat didefinisikan dengan pola perilaku dan cara berfikir yang khas, yang menentukan penyesuaian diri seseorang terhadap lingkungannya. Kepribadian menurut Thoedore M. Newcomb yang dikutip oleh Roqib dan Nurfuadi (2009: 14), diartikan sebagai organisasi sikap-sikap (predispositions) yang dimiliki seseorang sebagai latar belakang terhadap perilaku. Kepribadian mencakup kebiasaan-kebiasaan, sikap dan sifat yang khas dimiliki seseorang yang berkembang apabila orang tersebut berhubungan dengan orang lain.

Pendidik merupakan tenaga profesional yang bertugas merencanakan dan melaksanakan proses pembelajaran, menilai hasil pembelajaran, melakukan pembimbingan dan pelatihan, serta melakukan penelitian dan pengabdian kepada masyarakat, terutama bagi pendidik dan perguruan tinggi (Suparlan, 2005: 15).

Sementara guru dalam bahasa Jawa adalah menunjuk pada

seorang yang harus digugu dan ditiru oleh semua murid dan

bahkan masyarakatnya. Harus digugu artinya segala sesuatu yang

disampaikan olehnya senantiasa dipercaya dan diyakini sebagai

kebenaran oleh semua murid. Seorang guru harus ditiru artinya

(23)

2. Qs. al-Muddatstsir

Qs. al-Muddatstsir atau orang yang berkemul, termasuk surat Makkiyah dan terdiri dari 56 ayat. Kandungan pokok dari Qs.

al-Muddatstsir yaitu perintah untuk mulai berdakwah

mengagunkan Allah, membersihkan pakaian, meninggalkan perbuatan dosa, memberi tanpa mengharapkan imbalan, bersabar dan perintah agar tidak bermalas-malasan dalam menyeru dan saling mengingatkan dengan ayat-ayat Allah (El-Qurtuby, 2012: 575).

G. Sistematika Penulisan

Sistematika penulisan skripsi merupakan suatu cara menyusun dan

mengolah hasil penelitian dari data serta bahan-bahan yang disusun menurut susunan tertentu, sehingga menghasilkan kerangka skripsi yang sistematis dan mudah dipahami. Sistematuka penulisan penelitian ini sebagai berikut:

BAB I: PENDAHULUAN

Bab ini mencakup latar belakang masalah, rumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, metode penelitian, penegasan istilah dan sistematika penulisan.

BAB II: KONSEP KEPRIBADIAN PENDIDIK

(24)

seorang pendidik dan karakteristik kepribadian pendidik dalam Islam.

BAB III: KEPRIBADIAN PENDIDIK DALAM QS.

AL-MUDDATSTSIR: 1-7

Bab ini mencakup kajian tentang Qs. al-Muddatstsir, meliputi: Telaah mufrodat, isi pokok kandungan ayat dan asbabun nuzul. Serta kepribadian pendidik dalam Qs. al-Muddatstsir meliputi: Mulai berdakwah dan berani memberi peringatan kepada jalan kebenaran, mengagungkan Allah, bersih, tidak berbuat dosa, ikhlas dalam mengajar, dan memiliki sifat sabar.

BAB IV: IMPLIKASI KONSEP KEPRIBADIAN PENDIDIK QS.

AL-MUDDATSTSIR: 1-7 DALAM KONTEKS

PENDIDIKAN KONTEMPORER

Bab ini mencakup tentang nilai-nilai kepribadian pendidik dalam Qs. al-Muddatstsir: 1-7 yang relevan dengan dunia modern dan implementasi nilai-nilai kepribadian pendidik dengan pembelajaran di sekolah.

BAB V: PENUTUP

(25)

BAB II

KONSEP KEPRIBADIAN PENDIDIK

A. Pengertian Konsep Kepribadian Pendidik

Kepribadian pendidik merupakan satu sisi yang selalu menjadi sorotan karena pendidik menjadi teladan baik bagi anak didik atau bagi masyarakat, untuk itu guru harus bisa menjaga diri dengan tetap mengedepankan profesionalismenya dengan penuh amanah, arif, dan bijaksana sehingga masyarakat dan peserta didik lebih mudah meneladani guru. Saat ini banyak orang yang pandai dan cerdas tetapi tidak memiliki kepribadian yang baik, sehingga ia tidak mampu memanfaatkan kelebihannya dengan baik untuk diri sendiri dan sesamanya. Guru yang memiliki kepribadian akan menjadi tenaga profesional yang bertugas merencanakan dan melaksanakan proses pembelajaran, melakukan bimbingan dan pelatihan serta melakukan penelitian dan pengabdian kepada masyarakat, terutama pada pendidik yang diperlukan pada masa sekarang.

1. Pengertian Kepribadian

Kepribadian adalah suatu organisasi yang dinamis dari

sistem psikofisik dalam individu yang menentukan keunikan

(26)

tertentu mempengaruhi kepribadian tersebut, faktor tersebut antara lain: kemampuan, kebudayaan, keluarga, dan sikap orang tua. Organisasi sistem itu menentukan penyesuaian diri yang unik terhadap lingkungan. Hal ini berarti penyesuaian diri itu khas, berbeda dengan orang lain. Kebanyakan definisi tentang

kepribadian mencakup faktor social skill dan keefektifannya

berhubungan dengan berbagai keadaan (Pasaribu dan

Simandjuntak, 1984: 95).

Menurut Sullivan sebagaimana dikutip dari Pasaribu dan Simandjuntak (1984: 102), kepribadian adalah pola yang relatif dari situasi hubungan antara person yang ditandai kehidupan manusia. Kepribadian tidak dapat dipisahkan dari situasi hubungan antara seseorang dengan orang lain, sedangkan tingkah laku yang bersifat interpersonal dapat diamati sebagai kepribadian.

Kepribadian menurut Thoedore M. Newcomb sebagaimana dikutip dari Roqib dan Nurfuadi (2009: 15), diartikan sebagai organisasi sikap-sikap (predispositions) yang dimiliki seseorang sebagai latar belakang terhadap perilaku. Kepribadian mencakup kebiasaan-kebiasaan, sikap dan sifat yang khas dimiliki seseorang yang berkembang apabila orang tersebut berhubungan dengan orang lain.

(27)

menjalin hubungan dengan orang lain. Dan akan selalu berubah-ubah sesuai dengan tingkat sosialisasi atau seberapa sering orang tersebut berhubungan dengan orang lain, maka dari itu setiap orang memiliki sikap atau karakter yang berbeda-beda dan khas. Mereka yang mampu membentuk karakter yang baik dan kepribadian yang baik tentunya akan mendapatkan keberhasilan dan kebahagiaan dalam hidupnya.

2. Pengertian Pendidik

Pendidik dalam Islam ialah siapa saja yang bertanggung jawab terhadap perkembangan anak didik (Tafsir, 2008: 74).

Pendidik merupakan tenaga profesional yang bertugas

merencanakan dan melaksanakan proses pembelajaran, menilai hasil pembelajaran, melakukan pembimbingan dan pelatihan, serta melakukan penelitian dan pengabdian kepada masyarakat, terutama bagi pendidik dan perguruan tinggi (Suparlan, 2005: 15).

Pendidik adalah seorang yang memberi atau melaksanakan tugas mendidik, yaitu secara sadar bertanggung jawab dalam membimbing anak untuk mencapai kedewasaannya (Achmadi,

1983: 37). Sedangkan menurut al-Abrasyi (1993: 136), “Guru

adalah spiritual father atau bapak rohani bagi seorang murid, ialah

(28)

berkembang, sekiranya setiap guru itu menunaikan tugas dengan sebaiknya.

Guru adalah sosok yang memiliki rasa tanggung jawab sebagai seorang pendidik ddalam menjalankan tugas dan fungsinya sebagai seorang guru secara profesional yang pantas menjadi figur atau teladan bagi peserta didik (Roqib dan Nurfuadi, 2009: 23).

Guru adalah salah satu di antara faktor pendidikan yang memiliki peranan yang paling strategis, sebab gurulah sebetulnya

“pemain” yang paling menentukan di dalam terjadinya proses

belajar mengajar. Di tangan guru yang cekatan fasilitas dan sarana yang kurang memadai dapat diatasi, tetapi sebaliknya ditangan guru yang kurang cakap, sarana dan fasilitas yang canggih tidak banyak memberi manfaat (Daulay, 2007: 75). Selain itu, menurut Ibn Khaldun yang dikutip oleh Kosim (2012: 108), guru ialah profesi, untuk itu berhak mendapat upah. Mengenai hal ini beliau memandang bahwa mengajar ialah salah satu keahlian dan dikelompokkan ke dalam keahlian. Karena bersifat keahlian, maka semakin orang butuh kepadanya maka semakin besar pula upah yang diberikan kepadanya.

(29)

3. Arti Penting Kepribadian bagi Seorang Pendidik

Menurut Roqib dan Nurfuadi (2009: 24), dalam usaha untuk menyempurnakan kepribadian guru diperlukan kebiasaan sikap kelapangan hati dalam menerima segala masukan sehingga lambat laun kepribadian guru menjadi lebih dewasa dan matang. Kepribadian guru yang mantap dikarenakan proses yang terus-menerus antara sang guru itu dengan lingkungan material, social, dan spiritualnya.

Membentuk kepribadian ideal adalah tujuan mempelajari

kepribadian pendidik karena upaya dalam proses mencapai tujuan harus ada dasar landasan yang kuat agar jalannya proses tersebut tidak mudah goyah atau terombang-ambing oleh suasana dan berbagai pergolakan. Tujuan adalah merupakan salah satu faktor yang harus ada dalam setiap aktivitas pendidikan termasuk tujuan dalam mempelajari kepribadian pendidik. Dalam hal ini tujuan dari mempelajari kepribadian pendidik salah satunya yaitu ingin memiliki pemahaman tentang profesi guru, figur guru, profil guru ideal, kualifikasi dan kompetensi jabatan guru seperti apa yang

patut atau pantas digugu dan ditiru khususnya yang berkaitan

(30)

Kepribadian guru ini dipahami dengan baik oleh berbagai pihak dalam rangka untuk mendapatkan pemahaman dan potret yang jelas tentang sosok guru yang diidealkan dan diidamkan oleh semua komponen. Bagi guru kejelasan tentang sosok guru ini akan mempermudah dirinya untuk mengembangkan potensi kepribadian positifnya lewat berbagai stategi dan pendekatan, bagi pimpinan lembaga pendidikan potret guru ideal ini dapat bermanfaat untuk membuat kebijakan lembaga dan penyusunan program kerja di antaranya program untuk pengembangan kepribadian guru.

Pengertian dan pemahaman yang benar tentang kepribadian pendidik dan bagaimana kepribadian tersebut dikembangkan agar sejurus dengan kepribadian yang sehat perlu dipahami oleh berbagai pihak termasuk masyarakat secara bersama-sama. Kesamaan persepsi dan strategi ini akan mempermudah untuk membuat desain kebijakan dan langkah-langkah teknis operasional bagaimana ada keberpihakan sekaligus upaya kongkrit untuk kepentingan guru. Kebijakan dan upaya yang kontra terhadap yang seharusnya dilakukan terhadap guru akan mengakibatkan

kehadiran sosok “kepribadian guru” yang lain dalam arti

kepribadian guru bergerak berbalik ke arah kepribadian negatif, jauh dari yang diharapkan.

Kejadian “aneh” di seputar kehidupan guru adalah bukti

(31)

kepribadian guru berfungsi sebagai pengawal perbaikan kehidupan guru agar lebih baik, berkualitas, dan kemudian kesejahteraannya terus meningkat.

B. Karakteristik Kepribadian Pendidik Dalam Islam

Menurut al-Abrasyi (1993: 136), sifat-sifat yang harus dimiliki oleh guru dalam pendidikan Islam yaitu:

1. Zuhud tidak mengutamakan materi dan mengajar karena mencari

keridhaan Allah semata.

2. Kebersihan guru. Seorang guru harus bersih tubuhnya, jauh dari

dosa dan kesalahan, bersih jiwa, terhindar dari dosa besar, sifat

riya‟, dengki, permusuhan, perselisihan, dan sifat-sifat tercela

lainnya.

3. Ikhlas dalam pekerjaan.

4. Suka pemaaf.

5. Seorang guru merupakan seorang bapak sebelum ia seorang guru.

Seorang guru harus mencintai murid-muridnya seperti cintanya terhadap anak-anaknya sendiri dan memikirkan keadaan mereka seperti ia memikirkan keadaan anak-anaknya sendiri.

6. Harus mengetahui tabi‟at murid. Guru harus mengetahui tabiat

pembawaan, adat kebiasaan, rasa dan pemikiran murid agar ia tidak kesasar di dalam mendidik anak-anak.

(32)

Pokok-pokok pemikiran Ibnu Miskawaih sebagaimana dikutip dari Rahmaniyah (2010: 142), dalam menanamkan pendidikan karakter Islam antara lain terlihat dalam pemikirannya. Karakter-karakter tersebut antara lain:

1. Berani. Pemberani adalah orang yang memandang remeh apa yang

oleh orang awam dipandang berat sampai mati sekalipun karena semata-mata mencari yang paling utama.

2. Menjaga kesucian dan menahan diri.

3. Adil. Adil adalah menyeimbangkan semua potensi, perbuatan dan

hal ihwalnya, kemudian ditujukan kepada mencari keutamaan keadilan semata.

Sedangkan menurut penjelasan Az-Zarnuji (Tt: 13) dalam kitab

Ta‟lim Muta‟allim, adapun cara memilih guru yaitu:

1. (

َمَلْعَلَْاَراَتْخَي ْنَا

) Carilah orang yang alim (orang muslim yang

menguasai ilmu agama dan syari‟at islam sesuai dengan al-Qur‟an

dan sunnah).

2. (

َعَرْوَلَْاَو

) Memiliki sifat wira’i (meningalkan perkara yan haram dan

syubhat atau belum jelas halal dan haramnya).

(33)

Etika atau akhlak guru terhadap diri sendiri menurut KH. Hasyim

Asy‟ari sebagaimana dikutip dari Roqib dan Nurfuadi (2009: 187),

meliputi:

1. Selalu istiqomah dalaam mendekatkan diri kepada Allah.

2. Menjaga hati agar selalu khauf (takut) kepada Allah.

3. Senantiasa bersikap tenang yang mrnunjukkan kedewasaan diri.

4. Menjaga kehormatan (wira’i) diri, menjaga diri dari hal-hal yang

haram dan syubhat (belum jelas halal dan haramnya).

5. Bersikap tawadhu’ (rendah hati dan tidak sombong).

6. Khusyu‟ atau konsentrasi beribadah kepada Allah.

7. Meminta pertolongan hanya kepada Allah semata.

8. Tidak membisniskan dan mempolitiskan ilmu dalam arti menjual

ilmu untuk kepentingan meraih harta dan kekuasaan semata.

9. Bersikap zuhud yaitu memposisikan dunia untuk kepentingan

akhirat atau mengabdi kepada Allah, bersikap sederhana, dan qana’ah (menerima dengan tulus rizki yang diberikan Allah).

10. Menjauhkan diri dari lingkungan negatif dan yang dibenci oleh

Islam.

11. Menjaga syiar-syiar islam seperti shalat berjamaah, menyebarkan

(34)

12. Mentradisikan merangkum, menyusun dan meng-update keilmuannya dengan melakukan penelitian atau membaca berbagai referensi.

Hal penting yang mesti diperhatikan pendidik berdasarkan pemikiran Ibnu Khaldun sebagaimana dikutip dari Kosim (2012: 107), antara lain sebagai berikut:

1. Seorang guru mesti menjadi teladan bagi anak didiknya karena

keteladanan dari seorang guru akan sangat mempengaruhi terbentuknya kepribadian anak didik.

2. Seorang guru mesti menguasai metode yang relevan dalam

mendidik anak didik.

3. Guru mesti memiliki kompetensi di bidang keilmuannya sehingga

ia mampu mengajar kepada anak didiknya.

4. Guru diharapkan mendidik anak didiknya dengan penuh kasih

sayang.

5. Guru harus memperhatikan psikologi anak didik dan

memperlakukan mereka sesuai dengan kondisi psikisnya sehingga

proses pembelajaran tidak membosankan, melainkan

menggairahkan dan menyenangkan bagi anak didik.

6. Hendaklah guru memberikan motivasi kepada anak didiknya dalam

(35)

Menurut Imam Ghazali (Tt: 14) dalam kitab Ayyuhal Walad, syarat seorang guru yang patut mengganti Rasulullah dalam dunia tasawuf yaitu:

1. (اًمِلاَع َنْوُكَي ْنَا) seorang yang alim atau orang yang berilmu.

2. (

ِهاَجْلا ِّبُحَواَيْ نُّدلا ِّبُح ْنَع ُضِرْعُ ي ْنَم

) barang siapa yang berpaling

dari cinta dunia dan pangkat.

3.

ِوْيَلَع ُللها ىَلَص َنْيِلَسْرُمْلاِدِّيَس ى

َلِا ُوُتَعَ باَتُم ُلَسْلَسَتَ تٍرْيِصَب ٍصْخَشِل َعَباَتْدَق

َمَّلَسَو

telah mengikuti seseorang yang bashir (memiliki penglihatan

hati) yang tasalsul (menyambung) sampai Rasulullah SAW.

4. (

اًنِسْحُم

) berperilaku bagus.

5. (

ِمْوَّ نلا

َو ِلْوَقْلاَو ِلْكَلَْاِةَّلِقِب ِوِسْفَ نَةَضاَيِر

) riyadhoh atau melatih diri

dengan menyedikitkan makan, ucapan dan tidur. Dan diganti dengan

(

ِمْوَّصلاَوِةَقَدَّصلاَو ِتاَوَلَّصلاِةَرْ ثَكَو

) memperbanyak melakukan

(36)

BAB III

KEPRIBADIN PENDIDIK DALAM QS. AL-MUDDATSTSIR AYAT 1-7

A. Kajian Tentang Qs. Al-Muddatstsir

1. Telaah Mufrodat (Kosa Kata)

َاي

“Wahai orang yang berkemul (berselimut). Bangunlah, lalu

berilah peringatan! Dan agungkanlah Tuhanmu, dan bersihkanlah pakaianmu, dan tinggalkanlah segala (perbuatan) yang keji, dan janganlah engkau (Muhammad) memberi (dengan maksud) memperoleh (balasan) yang lebih banyak. Dan karena Tuhanmu,

bersabarlah.” (Qs. al-Muddatstsir, 74: 1-7)

Mufrodat Arti Mufrodat Arti

(37)

ْرِّ بَكَف

Maka

2. Isi Pokok Kandungan Ayat

Pada ayat 1:

“Wahai orang yang berkemul (berselimut).”

Wahai orang yang berkemul dengan kainnya (yaitu Nabi Muhammad SAW. Setelah kembali dari Gua Hira karena ketakutan, lantas para anggota keluarganya menyelimuti beliau dengan pakaian-pakaian).

(38)

serta berilah mereka peringatan akan azab yang pedih jika mereka menentangmu dan melanggar perintahmu (al-Qarni. 2008: 457).

Dua ayat pembuka menyatakan, mengenai turunnya surat al-Muddatstsir. Ketika Nabi Muhammad SAW. Berselimut karena merasa gemetar bertemu malaikat jibril pada waktu permulaan wahyu diturunkan. Kemudian Nabi diperintahkan untuk bangkit, membuka selimut dan menyingsingkan lengan baju dan berilah peringatan kepada penduduk Makkah. Serulah (ajaklah) mereka untuk menjalankan kebenaran, supaya mereka terpelihara dari hura-hura hari kiamat (ash-Shiddieqy, 2000: 4399). Setelah turun surat ini, Rasul tidak pernah berhenti melakukan tugas dakwah. Sepanjang hidup beliau digunakan untuk melaksanakan berbagai macam kegiatan yang berguna bagi kepentingan umat dan penyiaran agama Islam.

Kemudian pada ayat selanjutnya, Allah memberikan pembinaan kepada diri pribadi Rasulullah dalam melaksanakan tugas-tugas tabligh. Yaitu pada:

Ayat 3:

(39)

Nya, tanpa tuhan-tuhan dan serikat-serikat lainnya. Ayat lain yang semakna dengan ayat ini yaitu:

ِنْوُقَّ تاَفاَنَاَّلَِا َوَلِاَلَ ُوَّنَااْوُرِذْنَا ْنَا

﴿

ٕ

“Peringatka oleh kalian, bahwasannya tidak ada Tuhan

melainkan Aku, maka hendaklah kamu bertakwa kepada-Ku.” (An

-Nahl, 16: 2)

Sedang dalam tafsir Departemen Agama RI (1986:466), dijelaskan bahwa ayat ini memerintahkan agar Nabi Muhammad mengagungkan Allah dengan bertakbir dan menyerahkan segala urusannya kepada kehendak-Nya saja, jangan mencari pertolongan selain kepada-Nya. Membesarkan Allah dengan segenap jiwa dan raga tentu menumbuhkan kepribadian yang tangguh dan tidak mudah tergoyahkan. Sebab manusia yang beriman tidak akan merasa takut kecuali kepada Allah.

(40)

Ringkasnya membesarkan Allah berarti mengagungkan-Nya dalam ucapan dan perbuatan. Menyerahkan segala urusan hanya kepada-Nya, beribadah dan membersihkan zat-Nya dari segala yang mempersekutukan-Nya, dan kepada-Nya lah tempat menggantungkan harapan. Kalau dipenuhi unsur-unsur yang

demikian dalam membesarkan Allah, barulah sempurna

penghayatan iman bagi seorang mukmin. Ayat 4:

Dalam tafsir an-Nuur (ash-Shiddieqy, 2000: 4400), dijelaskan bahwa ayat ini memerintahkan untuk mensucikan (bersihkanlah) jiwamu dari semua perbuatan yang tercela. Bebaskanlah dirimu dari perangai atau sifat yang buruk dan adat yang keji. Hendaklah kamu menjadi orang yang sabar, yang kuat himmah (cita-cita), berjiwa besar, mempunyai keinginan yang tinggi, dan budi pekerti yang utama. Demikian takwil ayat ini. Menurut lahiriah ayat, Nabi diperintah untuk mensucikan pakaian dari najis dengan air.

(41)

a. Membersihkan pakaian dari segala najis dan kotoran, karena bersuci dengan maksud beribadah wajib hukumnya, dan selain beribadah sunnah hukumnya. Ketika sahabat Ibnu Abbas ditanya orang tentang maksud ayat ini, beliau menjawab bahwa, firman Allah tersebut berarti larangan memakai pakaian untuk perbuatan dosa dan penipuan.

Jadi mensucikan pakaian yaitu membersihkannya dari najis dan kotoran. Dan pengertian yang lebih luas lagi, yakni membersihkan tempat tinggal dan lingkungan hidup dari segala bentuk kotoran, sampah, dan lain-lain, sebab dalam pakaian dan tubuh serta lingkungan yang kotor banyak terdapat dosa. Sebaliknya dengan membersihkan badan, tempat tinggal dan lain-lain berarti berusaha menjauhkan diri dari dosa. Begitulah Islam mengharuskan para pengikutnya selalu hidup bersih, karena kebersihan jasmani mengangkat manusia kepada akhlak yang mulia.

b. Membersihkan pakaian berarti membersihkan rohani dari

(42)

Ringkasnya ayat ini memerintahkan agar membersihkan diri, pakaian, dan lingkungan dari segala najis, kotoran, sampah, dan lain-lain. Di samping itu juga berarti perintah memelihara kesucian dan kehormatan pribadi dari segala perangai yang tercela.

Ayat 5:

Tinggalkanlah semua kemusyrikan, seperti menyembah berhala dan segala sesuatu yang disembah selain Allah, dan murnikanlah tauhidmu bagi Allah yang Maha Esa (al-Qarni. 2008: 458). Dalam tafsir an-Nuur (ash-Shiddieqy, 2000: 4400), dijelaskan bahwa ayat ini memerintahkan untuk meninggalkan semua perbuatan maksiat dan perbuatan dosa yang menyebabkan

kamu mengalami siksaan. Bebaskanlah anggota-anggota

keluargamu dari perbuatan yang menimbulkan amarah Allah. Ini adalah pokok-pokok keutamaan membebaskan akal dari belenggu syirik, meluruskan budi pekerti dan memperbaiki anggota badan dengan meninggalkan dosa dan semua hal yang diharamkan.

Ayat 6:

ُرِثْكَتْسَت ْنُنْمَت لََو

﴿

ٙ

“Dan janganlah kamu memberi (dengan maksud) memper

(43)

Jangan memberi sesuatu supaya kamu diberi lebih banyak dari itu. Jangan pula memberikan sesuatu lalu kamu menyakiti perasaan penerimanya, memamerkan banyaknya pemberianmu dan kedermawananmu di hadapan orang-orang (al-Qarni. 2008: 458). Dalam tafsir al-Mishbah (Shihab, 2009: 458), dijelaskan bahwa ayat di atas melarang mengaitkan dakwah dengan tujuan memperoleh imbalan duniawi.

Dalam tafsir Depag RI (1986: 468), dijelaskan bahwa Nabi Muhammad dilarang memberi dengan maksud memperoleh yang lebih banyak. Artinya janganlah mengharap dengan usaha dan ikhtiar megajak manusia ke jalan Allah, dengan ilmu dan risalah yang beliau sampaikan kepada mereka dengan maksud memperoleh ganjaran atau upah yang lebih besar dari mereka. Tegasnya jangan menjadikan dakwah sebagai obyek bisnis yang mendatangkan keuntungan duniawi.

“Dan untuk (memenuhi perintah) Tuhanmu, bersabarlah.”

(44)

yaitu ketika sangkakala ditiup. Pada saat itulah engkau akan memperoleh balasan yang baik dan nikmat yang abadi (Al-Maraghi, 1993: 217).

Dalam tafsir al-Azhar (Hamka, 1983: 204), dijelaskan bahwa Ayat ini memerintahkan Nabi Muhammad untuk bersabar, karena pangkal dari kemenangan adalah sabar. Di dalam ayat ini diperingatkan benar-benar bahwa Muhammad perlu sabar. Sabar buakn untuk krpentingan pribadinya sendiri, melainkan untuk terlaksananya kehendak Tuhan. Ketika kesabaran nyaris hilang, ingatlah bahwa engkau adalah utusan Allah. Yang engkau laksanakan ini adalah kehendak Allah dan umat yang engkau datangi adalah hamba Allah.

3. Asbabun Nuzul

Pada permulaan masa menerima wahyu, Rasulullah merasakan adanya tekanan-tekanan yang berat. Beliau berselimut dan memakai baju luar. Setelah beberapa saat lamanya wahyu terhenti, maka ketika wahyu dating lagi, Nabi dipanggil dengan

panggilan-panggilan “Wahai orang yang berselimut” dan “Wahai

orang yang membalut badannya dengan baju luar.” Ada yang

(45)

Maka datanglah wahyu yang mendorong (memotivasi) Nabi untuk menghadapi masyarakat ramai dan menyampaikan dakwah Ilahi.

Mengenai sebab turunnya surat al-Muddatstsir ini, Jabir

ibn Abdullah menjelaskan bahwa Nabi bersabda: “Ketika saya

berada di atas bukit Hira, saya mendengar suara memanggil. Orang

itu berseru, “Hai Muhammad, engkau adalah Rasul Allah.” Saya

melihat ke kanan ke kiri, saya tidak melihat apa-apa. Kemudian saya melongok ke atas, melihat ada malaikat duduk di kursi di antara langit dan bumi, karena itu saya pun merasa takut dan

kembali kepada Khadijah, seraya berkata: “Tutuplah badanku,

tutuplah badanku.” Maka tuangkanlah air dingin untukku, dan pada

saat itulah turun ayat-ayat ini. Dalam ayat-ayat ini Allah memerintahkan Rasul Muhammad untuk bangun memberikan peringatan kepada manusia dan mensucikan diri mereka dari tabiat-tabiat keji. Nabi juga diperintah bersabar menghadapi gangguan orang-orang musyrik (ash-Shiddieqy, 2000: 4400).

Asy Syaikhain telah mengetengahkan sebuah hadits melalui Jabir ra. yang telah menceritakan, bahwa Rasulullah saw. Telah

bersabda: “Aku telah menyepi di dalam gua hira selama satu bulan.

(46)

telah mendatangiku di dalam gua hira menampakkan dirinya. Lalu

aku kembali kerumah, dan langsung mengatakan,”selimutilah

aku”. Maka Allah menurunkan firman-Nya:

َاي

“Hai orang-orang yang berselimut, bangunlah, lalu berilah

peringatan.” (Qs. al-Muddatstsir, 74: 1-2)

Imam at-Thabrani meriwayatkan dengan sanad yang lemah dari Ibnu Abbas bahwa suatu hari, Walid ibnul Mughiroh membuat jamuan untuk orang-orang Quraisy. Tatkala mereka tengah makan

Walid berkata, “Apa pendapat kalian tentang laki-laki ini

(Muhammad)?” sebagian lalu berkata, “Tukang sihir!” akan tetapi

yang lain membantah, “Ia bukan tukang sihir!” sebagian lagi berkata, “Seorang dukun!” akan tetapi yang lain membantah, “Ia bukan dukun!” sebagian berkata, “Seorang penyair!” tetapi la

gi-lagi yang lain menyangkal, “Ia bukan seorang penyair!” sebagian

yang lain lalu berkata, “Apa yang dibawanya itu (Al-Qur‟an)

adalah sihir yang dipelajari dari orang lain (dari orang-orang

terdahulu).” Tatkala Nabi Muhammad SAW. mendengar

(47)

َاي

“Wahai orang yang berkemul (berselimut). Bangunlah, lalu

berilah peringatan! Dan agungkanlah Tuhanmu, dan bersihkanlah pakaianmu, dan tinggalkanlah segala (perbuatan) yang keji, dan janganlah engkau (Muhammad) memberi (dengan maksud) memperoleh (balasan) yang lebih banyak. Dan karena Tuhanmu,

bersabarlah.” (Qs. al-Muddatstsir, 74: 1-7)

Peristiwa turunnya surat ini diterangkan Rasulullah SAW.

Yaitu setelah sebulan lamanya Rasulullah berada di gua Hira‟

(untuk bertahannus mencari kebenaran) dan beliau bermaksud

hendak meninggalkannya, tiba-tiba terdengar suara memanggil. Beliau melihat ke kiri dan ke kana, namun tidak melihat apa-apa. Kemudian ke belakang tetapi tidak aku lihat sesuatu pun. Lalu beliau menengadahkan kepalanya ke atas, tiba-tiba aku menangkap bayangan dari malaikat (Jibril) yang sedang duduk di kursi antara langit dan bumi. Malaikat itu sedang berdoa kepada Allah. Beliau

begitu takut dan segera meninggalkan gua Hira‟. Karena itu beliau

buru-buru pulang dan segera menemui Khadijah dan mengatakan

(48)

Dalam terjemah tafsir Al-Maraghi (al-Maraghi, 1993: 213), dijelaskan bahwa Jabir bin Abdillah meriwayatkan bahwa Nabi

SAW. Bersabda, “Aku pernah berada di gunung Hira‟, lalu aku

diseru, „Wahai Muhammad, sesungguhnya engkau adalah Rasul

Allah.‟ Aku melihat ke kanan dan ke kiri tapi aku tiak melihat apa

-apa. Kemudian aku melihat ke atasku, maka kulihat seorang malaikat duduk diatas mahligai antara langit dan bumi, lalu aku merasa takut dan segera kembali pulang kepada Khadijah, lalu

kukatakan (kepadanya), „Selimuti aku, selimuti aku.‟ Mereka

(keluargaku) menuangkan air dingin. Maka turunlah surat

al-Muddatstsir ini.” Allah telah memerintahkan Rasul-Nya agar

memberi kabar takut (kepada kaumnya) dan membersihkan diri dari akhlak yang rendah, berbuat dosa dan bersabar terhadap

gangguan kaum musyrikin. Mereka sesungguhnya akan

mendapatkan balasan pada hari ditiup sangkakala, yaitu hari yang

sangat menggoncangkan kaum kuffar tak ada kemudahan bagi

mereka.

B. KEPRIBADIAN PENDIDIK DALAM QS. AL-MUDDATSTSIR: 1-7

1. Mulai Berdakwah dan Berani Memberi Peringatan Kepada Jalan

Kebenaran

(49)

َاي

“Wahai orang yang berkemul (berselimut), Bangunlah, lalu

berilah peringatan!”

Ayat diatas memerintahkan Nabi Muhammad yang sedang berselubung dengan selimut karena diliputi perasaan takut melihat rupa malaikat jibril turunlah wahyu yang pertama kali, yang memerintahkan agar segera bangun dan memperingatkan umat yang masih sesat itu supaya mereka mengenal jalan yang benar.

Perkataan )ْمُق( qum (bangunlah) menunjukkan bahwa

seorang Rasul harus rajin, ulet, dan tidak mengenal putus asa karena ejekan orang yang tidak senang menerima seruannya. Rasul tidak boleh malas dan berpangku tangan. Begitulah beliau setelah turun ayat ini tidak pernah berhenti melakukan tugas dakwah. Sepanjang hidup beliau penuh dengan berbagai macam kegiatan yang berguna bagi kepentingan umat dan penyiaran agama Islam. Adapun peringatan-peringatan yang disampaikan beliau kepada penduduk Makkah yang masih musyrik pada waktu itu, berupa peringatan betapa kerasnya siksaan Allah di hari kiamat kelak. Demi menyelamatkan diri dari azab tersebut hendaklah manusia mengenal Allah dan patuh mengikuti perintah Rasul-Nya (Depag RI, 1986: 465).

(50)

iddatsara. Kata ini, hanya ditemukan sekali, yaitu pada ayat pertama surat ini. )زثّدا( Iddatsara berarti mengenakan )راثد( datsar, yaitu sejenis kain yang diletakkan di atas baju yang dipakai dengan tujuan menghangatkan atau dipakai sewaktu berbaring tidur (selimut). Disepakati oleh ulama tafsir bahwa yang dimaksud dengan yang berselimut adalah Nabi Muhammad SAW. Menyelimuti diri atau diselimuti tujuannya adalah untuk menghilangkan rasa takut yang meliputi jiwa Nabi Muhammad beberapa saat sebelum turunnya ayat-ayat ini.

Kata ( ْمُق) Qum terambil dari kata (موق) qawama yang mempunyai banyak bentuk. Secara umum diartikan sebagai

“Melaksanakan sesuatu secara sempurna dalam berbagai seginya.”

Karena itu, perintah di atas menuntut kebangkitan yang sempurna, penuh semangat, dan percaya diri. Kata ( ْرِذْوَأ) andzir berasal dari

kata (رذو) nadzara yang mempunyai arti “peringatkanlah atau

penyampaian yang mengandung unsur menakut-nakuti.”

Dalam tafsir al-Azhar (Hamka, 1983: 201), kata berselimut diartikan bahwa ketika ayat ini turun, Nabi menyelubungi tubuhnya dengan selimut, namun bisa juga diartikan dengan jabatan yang mulia. Menjadi Nabi Allah adalah sebuah jabatan yang mulia. Setelah beliau diberi gelar kehormatan itu, maka

datanglah perintah kepada beliau yaitu: “Bangunlah, lalu

(51)

melaksanakannya. Nabi harus menyampaikan peringatan kepada manusia mengenai apa yang harus mereka ketahui.

Menurut al-Qarni (2008: 457) dalam kitab tafsir Muyassar,

dijelaskan “Wahai orang yang berkemul dengan kainnya (yaitu

Nabi Muhammad SAW. Setelah kembali dari Gua Hira karena ketakutan, lantas para anggota keluarganya menyelimuti beliau

dengan pakaian-pakaian). Bangunlah dari tempat tidurmu, berilah

peringatan kepada kaummu akan azab Tuhanmu dan ajaklah mereka untuk bertauhid serta berilah mereka peringatan akan azab yang pedih jika mereka menentangmu dan melanggar perintahmu.

Ketika Nabi Muhammad SAW. Berselimut karena merasa gemetar bertemu malaikat jibril pada waktu permulaan wahyu diturunkan. Kemudian Nabi diperintahkan untuk bangkit, membuka selimut dan menyingsingkan lengan baju dan berilah peringatan kepada penduduk Makkah. Serulah (ajaklah) mereka untuk menjalankan kebenaran, supaya mereka terpelihara dari hura-hura hari kiamat (ash-Shiddieqy, 2000: 4399).

Menurut al-Maraghi (1993: 213) dalam kitab terjemah

tafsir al-Azhar, dijelaskan “Wahai orang yang berselimut

(52)

selamat dari kengerian hari yang karenanya setiap yang menyusui meninggalkan susuannya. Seorang Dai yang mengajak orang kepada Tuhannya Yang Maha Besar lagi Maha Tinggi tidak akan dapat melakukan yang demikian kecuali jika dia berakhlak mulia dan mempunyai sifat-sifat yang terpuji.

Berdasarkan dari beberapa tafsir mengenai ayat ini penulis condong pada tafsir Departemen Agama RI yang menjelaskan bahwa, Ayat di atas memerintahkan Nabi Muhammad agar segera bangun dan memperingatkan umat yang masih sesat itu supaya mereka mengenal jalan yang benar. Bangun disini menunjukkan bahwa seorang Rasul harus rajin, ulet, dan tidak mengenal putus asa karena ejekan orang yang tidak senang menerima seruannya. Rasul tidak boleh malas dan berpangku tangan. Setelah turun ayat Nabi mengabdikan sepanjang hidupnya hanya untuk berdakwah dan kemaslahatan umatnya. Beliau memberikan peringatan kepada penduduk Makkah betapa kerasnya siksaan Allah di hari kiamat kelak, untuk itu Nabi mengajak pada mengenal Allah dan patuh mengikuti perintah Rasul-Nya.

(53)

memperoleh kebahagiaan hidup di dunia maupun di akhirat. Sebagaimana firman Allah yang memerintahkan untuk berdakwah:

نَيَو ِفورعَملاِب َنورُمأَيَو ِريَخلا ىَلِإ َنوعدَي ٌةَّمُأ مُكنِم نُكَتلَو

“Dan hendaklah di antara kamu ada segolongan orang yang

menyeru yang makruf, dan mencegah dari yang mungkar. Dan

mereka itulah orang-orang yang beruntung.”(Qs. ali-Imran, 3: 104)

Dalam sebuah hadis, Rasulullah bahkan menyeru umatnya untuk senantiasa mendakwahkan Islam, sekalipun mereka hanya bermodalkan satu ayat dari firman-firman-Nya. Sabda beliau yaitu:

ًةَيآ ْوَلَو ىِّنَع اوُغِّلَ ب

“Sampaikan apa saja dariku sekalipun hanya satu ayat.”

(54)

menghadapi banyak tantangan, namun seberat apapun tantangan yang dihadapi, pendidik harus berani dan mampu membangkitkan semangat anak-anak didiknya. Tidak boleh ada kata menyerah, karena Allah akan selalu menyayangi hambanya yang bersungguh-sungguh dijalan-Nya dan berjanji memberikan jalan mencapai kesuksesannya (Asmani, 2009: 46).

Sebagaimana tafsir ayat di atas, dapat disimpulkan bahwa Nabi harus menyampaikan peringatan kepada manusia mengenai apa yang harus mereka ketahui. Oleh karena itu sebagai penyampai kebenaran, seorang guru memiliki tugas utama membebaskan anak didik dari kebodohan, ketidaktahuan, keterbelakangan, kelemahan, ketakutan, dan dari segala hal yang membuat mereka tertinggal demi mewujudkan kehidupan yang lebih baik.

2. Mengagungkan Allah

Sifat yang harus dimiliki guru selanjutnya yaitu, mengagungkan Allah. Sebagaimana dijelaskan dalam Qs. al-Muddatstsir ayat 3:

(55)

untuk mengagungkan Allah dengan selalu bertakbir, menyerahkan segala urusan kepada Allah.

Kata ( َكَّبَر) Rabbaka atau Tuhanmu pada ayat di atas disebutkan mendahului kata (زّبك) kabbir atau agungkan. Selain untuk menyesuaikan bunyi akhir ayat, juga untuk menggambarkan bahwa perintah takbir (mengagungkan) hanya ditujukan kepada Allah. Mengagungkan Tuhan dapat berbentuk ucapan, perbuatan, atau sikap batin.

Ketika seseorang mengucapkan takbir, dua hal yang haris ia capai. Pertama, pernyataan yang keluar mengenai sikap batinnya. Kedua, mengatur sikap lahirnya agar selalu berada dalam kerangka makna dari kalimat takbir tersebut. Apabila dua hal itu telah tercapai, maka akan tertanam kesadaran bahwa betapa kecil dan remehnya segala hal selain Allah, meskipun ia dianggap besar atau agung. Pada saat yang sama orang yang mengucapkan takbir akan merasa kuat dan mampu untuk menghadapi segala tantangan, karena ia telah menyerahkan jiwa raganya kepada Allah, sehingga ia tidak akan meminta perlindungan selain kepada-Nya.

(56)

Dalam tafsir Muyassar (al-Qarni, 2008: 458) dijelaskan,

agungkanlah Tuhanmu semata dengan mengesakan dan

mensucikan-Nya dari segala tuhan-tuhan palsu. Senantiasa berdzikir menyebut nama-Nya dan sifatilah Dia dengan semua sifat yang Dia sematkan pada diri-Nya sendiri serta merendahkan di hadapan-Nya.

Dalam tafsir al-Azhar (Hamka, 1983:202) dijelaskan, sebelum Nabi meneruskan langkah dalam memberi peringatan, hendaknya terlebih dahulu ia mengingat dan mengagungkan Tuhannya, karena berhasil atau tidaknya usaha dakwah tersebut tergantung pada pertolongan Tuhan.

Menurut Al-Maraghi (1993: 214) dalam kitab terjemah tafsir Al-Maraghi, ayat ini menjelaskan tentang perintah untuk mengagungkan Tuhanmu dan pemilik segala urusanmu dengan beribadah kepada-Nya, tanpa tuhan-tuhan dan serikat-serikat lainnya.

(57)

Berdasarkan penjelasan di atas Dalam memberi peringatan pasti banyak tantangan yang akan dihadapi, sehingga ayat ini memerintahkan Nabi Muhammad untuk mengagungkan Allah dengan selalu bertakbir, menyerahkan segala urusan kepada Allah, mengagungkan Tuhan dapat berbentuk ucapan, perbuatan, atau sikap batin. Ketika seseorang mengagungkan Allah, pada hakikatnya seseorang tersebut harus menyerasikan antara sikap lahir dan batinnya.

Begitu juga dengan pendidik yang harus selalu mengagungkan Allah dalam setiap perjalanannya. Apabila setiap langkah seorang pendidik disertai dengan mengagungkan dan mengingat Allah maka setiap tugasnya akan dilaksanakan dengan baik karena merasa bahwa segala apa yang dilakukannya selalu diawasi oleh Allah serta tidak akan berlaku sombong sebab Allah lah yang maha agung dan lebih dari segala-galanya.

3. Bersih

(58)

Kata ( ْزِّهَط) thahhir adalah bentuk perintah dari kata (زّهط) thahhara yang berarti membersihkan dari kotoran. Kata ini dapat juga dipahami dalam arti majaz, yaitu mensucikan diri dari dosa atau pelanggaran. Gabungan kedua kata tersebut dengan kedua kemungkinan makna hakiki atau majaz itu mengakibatkan beragamnya pendapat ulama yang dapat dikelompokkan menjadi 4 kelompok:

1. Memahami kedua kosa kata tersebut dalam arti majaz,

yakni perintah untuk mensucikan hati, jiwa, usaha, budi pekerti dari segala macam pelanggaran serta mendidik keluarga agar tidak terjerumus di dalm dosa dan atau tidak memilih untuk dijadikan istri kecuali wanita-wanita yang terhormat serta bertaqwa.

2. Memahami keduanya dalam arti hakiki, yakni

membersihkan pakaian dari segala macam kotoran dan tidak mengenakannya kecuali apabila ia bersih sehingga nyaman dipakai dan dipandang.

3. Memahami ( ْباَيِث) tsiyab atau pakaian dalam arti majaz dan

thahhir dalam arti hakiki sehingga ia bermakna:

“Bersihkanlah jiwa (hati) mu dari kotoran-kotoran.”

4. Memahami ( ْباَيِث) tsiyab atau pakaian dalam arti hakiki dan

(59)

ketentuan-ketentuan agama serta untuk mendapatkannya menggunakan cara-cara yang halal. Atau dalam arti lain

“Pakailah pakaian yang tidak menyentuh tanah supaya

pakaian tersebut tidak kotor.” (Shihab, 2009: 447).

Dalam tafsir Muyassar (al-Qarni, 2008: 458) dijelaskan, sucikanlah pakaianmu dari najis, bersihkanlah agamamu dari maksiat dan pelanggaran dan sterilkan tauhidmu dari kemusyrikan agar bebas dari dosa dan aib.

Dalam tafsir al-Maraghi (al-Maraghi, 1993: 214)

dijelaskan, ketika Ibnu Abbas pernah ditanya tentang hal

berpakaian, maka jawabannya, “Janganlah engkau mengenakannya

untuk maksiat dan ingkar janji.” Orang-orang arab mengatakan

tentang seseorang yang ingkar janji dan tidak menepatinya, bahwa dia kotor pakaiannya. Tetapi apabila dia menepati janji dan tidak ingkar, maka mereka mengatakan bahwa dia bersih pakaiaannya.

Sejumlah Imam berpendapat bahwa yang dimaksud dengan taharatus siyab adalah memcuci pakaian dengan itu dngan air, apabila pakaian tersebut kena najis. Pendapat yang demikian

diriwayatkan dari banyak sahabat dan tabi‟in. Dan pendapat itu

pula yang dipilih oleh Imam Syafi‟i, sehingga ia mewajibkan untuk

mencuci najis dari pakaian musalli atau orang yang akan

(60)

Sedang dalam tafsir an-Nuur dijelaskan, sucikanlah (bersihkanlah) jiwamu dari semua perbuatan yang tercela. Bebaskanlah dirimu dari perangai atau sifat yang buruk dan adat yang keji. Hendaklah kamu menjadi orang yang sabar, yang kuat himmah (cita-cita), berjiwa besar, mempunyai keinginan yang tinggi, dan budi pekerti yang utama. Demikian takwil ayat ini. Menurut lahiriah ayat, Nabi diperintah untuk mensucikan pakaian dari najis dengan air (ash-Siddieqy, 2000: 4400).

Dalam tafsir Depag RI (1986: 466), ayat ini Allah memerintahkan Nabi Muhammad supaya membersihkan pakaian.

Makna membersihkan pakaian dapat diartikan sebagai

membersihkan diri, pakaian, dan lingkungan dari segala najis, kotoran, sampah, dan lain-lain. Di samping itu juga berarti perintah memelihara kesucian dan kehormatan pribadi dari segala perangai yang tercela.

Dalam penjelasan tafsir pada ayat ini, penulis lebih condong pada tafsir yang diungkapkan oleh al-Qarni. Yang

menafsirkan bahwa „„Dan pakaianmu bersihkanla‟‟, dengan

(61)

dibandingkan dengan tafsir-tafsir yang lain, meskipun pada intinya maksud dari para ahli tafsir tersebut hampir sama.

Ayat di atas juga diperkuat dengan firman Allah dan hadis Rasulullah, yaitu:

orang yang mensucikan diri.”(Qs. al-Baqarah, 2: 222)

َا

َنِمُةَفاَظَّنل

ِناَمْيِلَْا

“Kebersihan sebagian dari Iman.” (Riwayat Imam Ahmad

dan Tirmidzi)

Untuk itu dapat diambil kesimpulan bahwa, sebagai orang yang beriman kita diperintahkan untuk menjaga kerapian dan kebersihan dalam arti luas yaitu menjaga kebersihan dan kerapian berpakaian, lingkungan, agama serta lahir maupun batin atau ketakwaan kita kepada Allah. Islam juga menjelaskan mengenai adab berpakaian salah satunya yaitu: untuk menutup aurat, menjaga kehormatan, dan berhias. Sebagaimana firman Allah:

(62)

“Wahai anak cucu Adam, sesungguhnya kami telah

menyediakan pakaian untuk menutupi auratmu dan untuk perhiasan bagimu. Tetapi pakaian takwa, itulah yang lebih baik. Demikianlah sebagian tanda-tanda kekuasaan Allah,

mudah-mudahan mereka ingat.” (Qs. al-A‟raaf, 7:26)

Berdasarkan tafsiran ayat-ayat di atas, mendorong seorang pendidik, agar selalu menjaga kebersihan, kerapian pakaian, lingkungan, agama, dan lahir maupun batinnya atau ketakwaannya.

Karena seorang pendidik membawa amanah ilahiyah untuk

mencerdaskan kehidupan umat dan membawanya taat beribadah dan berakhlak mulia. Hal ini perlu dilakukan untuk menjaga kehormatan pendidik dihadapan peserta didik dan masyarakat. Namun dalam hal berpakaian ini, seorang pendidik hendaknya mencontohkan kesederhanaan dalam kehidupan sehari-harinya kepada peresta didiknya maupun masyarakat, karena sesuatu yang berlebihan itu tentunya akan menjadi tidak baik. Selain itu menjaga kebersihan juga sangat penting untuk kesehatan.

4. Meninggalkan Perbuatan Dosa

(63)

yang digunakan untuk menggambarkan “sikap meninggalkan

sesuatu karena kebencian kepadanya”. Dengan demikian ayat ini

berarti perintah untuk meninggalkan atas kebencian dan ketidak senangan terhadap dosa, siksa, atau berhala (Shihab, 2009: 451).

Ayat di atas menjelaskan tentang, tinggalkanlah segala perbuatan dosa dan maksiat yang menyebabkan kamu mendapat siksa serta bebaskanlah anggota-anggota keluargamu dari perbuatan yang menimbulkan amarah Allah. Ini adalah pokok-pokok utama untuk membebaskan akal dari belenggu syirik, meluruskan budi pekerti dan memperbaiki anggota badan dengan meninggalkan perbuatan dosa serta segala hal-hal yang diharamkan (ash-Shiddieqy, 2000: 4400).

Dalam tafsir Depag RI (1986: 467) dijelaskan bahwa, Nabi Muhammad diperintahkan supaya meninggalkan perbuatan dosa

seperti menyembah berhala atau patung. Rujza sendiri berarti

siksaan, dan dalam hal ini yang dimaksudkan ialah perintah menjauhkan segala sebab yang mendatangkan siksaan itu, yakni perbuatan maksiat termasuk yang dilarang oleh ayat ini ialah mengerjakan segala macam perbuatan yang menyebabkan perbuatan maksiat.

(64)

458). Sedang menurut al-Maraghi (1993: 215) dalam kitab terjemah tafsir al-Maraghi, dijelaskan Jauhilah maksiat dan doa yang dapat menyampaikan kepada azab di dunia dan akhirat. Karena jiwa itu jika bersih dari maksiat dan dosa akan siap untuk berlapang kepada yang lain dan mau mendengar dan rindu kepada apa yang diserukan oleh juru dakwah.

Dalam tafsir ayat ini penulis condong pada tafsir an-Nuur yang menjelaskan bahwa, Ayat di atas memerintahkan kita untuk meninggalkan segala perbuatan dosa dan maksiat yang menyebabkan mendapat siksa Allah, membebaskan anggota-anggota keluarga dari perbuatan yang menimbulkan amarah Allah, membebaskan akal dari belenggu syirik, meluruskan budi pekerti dan memperbaiki lahiriyah dengan meninggalkan dosa dan segala hal yang diharamkan. Dalam hadisnya, Nabi Muhammad SAW. juga memerintahkan kita untuk melakukan apa yang diperintah dan meninggalkan apa yang dilarangnya:

َنْيِذَّلا َكَلْىَااَمَّنِءاَف ْمُتْعَطَتْسااَم ُوْنِماوُتْءاَف ِوِب ْمُكُتْرَمَااَمَو ُهوُبِنَتْخاَف ُوْنَع ْمُكُتْيَهَ ناَم

kerjakanlah semampumu. Sesungguhnya orang-orang sebelum kamu dibinasakan disebabkan mereka banyak bertanya dan

menentang Nabi-Nabi mereka (tidak taat dan patuh).” (HR Imam

(65)

Ayat di atas juga merupakan larangan terhadap Nabi Muhammad SAW. untuk mendekati berhala ataupun melakukan perbuatan dosa. Begitu juga seorang guru, ia harus menyadari kedudukannya sebagai pendidik tidak hanya ketika ia berada di sekolah. Namun, di manapun ia berada ia tetap seorang guru. Inilah keistimewaan profesi seorang guru. Jika seorang guru telah menyadari hal tersebut, ia akan berhati-hati dalam membawa diri (Azzet, 2011: 58). Seorang pendidik tidak dapat berpandangan bahwa tugasnya sebagai pendidik hanya ketika berada di sekolah saja, dan ketika berada di luar sekolah ia bebas melakukan apa saja sesuka hatinya. Profesi sebagai seorang pendidik adalah profesi yang melekat pada diri seseorang. Oleh karena itu, ketika berada di luar sekolah sekalipun, seorang pendidik harus tetap menjaga perkataan dan perbuatannya.

Begitu juga dengan penjelasan KH. Hasyim Asy‟ari yang

dikutip oleh Asmani (2009: 35), seorang pendidik harus menjauhkan diri dari tempat-tempat kotor dan maksiat walaupun jauh dari keramaian. Jangan melakukan sesuatu yang bisa

mengurangi sifat muru’ah (menjaga diri dari perbuatan yang tidak

(66)

Selain itu, untuk menghindarkan diri dari perbuatan keji dan mungkar seorang pendidik hendaknya senantiasa membaca

al-Qur‟an dan mendirikan shalat. Sebagaiman firman Allah:

ُا

kepadamu (Muhammad) dan laksanakanlah shalat. Sesungguhnya shalat itu mencegah dari (perbuatan) keji dan mungkar. Dan (ketahuilah) mengingat Allah (shalat) itu lebih besar (keutamaanya dari ibadah yang lain). Allah mengetahui apa yang kamu kerjakan.”(Qs. al-„Ankabut, 29: 45)

5. Ikhlas

Sebagaimana dijelaskan dalam Qs. al-Muddatstsir ayat 6:

ُرِثْكَتْسَت ْنُنْمَت لََو

﴿

ٙ

“Dan janganlah kamu memberi (dengan maksud) memper

-oleh (balasan) yang lebih banyak.”

Beraneka ragam pendapat ulama tentang maksud ayat di atas, al-Qurtubi menyimpulkan paling tidak empat pendapat ulama tafsir tentang ayat ini:

1. Jangan merasa lemah atau pesimis untuk memperoleh

kebaikan yang banyak. Pendapat ini berdasarkan qira’at

(67)

membaca ayat tersebut dengan menambahkan kata (زيخلا ىف) fi al-khoir.

2. Jangan memberikan sesuatu dengan tujuan mendapatkan

yang lebih banyak darinya. Pendapat ini berdasarkan

pengertian kata ( ّهم) manna yang biasa diterjemahkan

dengan memberi.

3. Jangan memberi sesuatu dan menganggap bahwa apa yang

engkau berikan itu banyak. Pemahaman ini berdasarkan kenyataan saat seseorang yang menganggap pemberiannya merupakan sesuatu yang banyak pada hakikatnya ingin menguranginya, dan hal tersebut menunjukkan bahwa ia memiliki sifat kikir.

4. Jangan menganggap usahamu (berdakwah) sebagai

anugerah kepada manusia karena dengan demikian, engkau akan memperoleh yang banyak. Perolehan yang banyak ini bukan bersumber dari manusia, tetapi berupa ganjaraan dari Allah (Shihab, 2009: 455).

(68)

saja. Firman ini mendorong kita untuk bermurah tangan (suka bersedekah).

Dalam tafsir al-Maraghi (al-Maraghi, 1993: 216), dijelaskan bahwa janganlah engkau memberikan kepada sahabat-sahabatmu wahyu yang engkau beritahukan dan sampaikan kepada mereka dengan mengharap engkau akan banyak memberikan hal

itu kepada mereka. Dan maknanya mungkin juga, “Janganlah

engkau merasa lemah.” Ini berasal dari ucapan mereka mannahus

sair, yaitu ia menjadi lemah karena perjalanan. Maka maksudnya

ialah, “Janganlah engkau merasa lemah untuk memperbanyak

ketaatan yang diperintahkan kepadamu sebelum ayat ini. Mungkin pula maksudnya seperti dikatakan oleh Ibnu Kisan:

َلَ

ٌوّنِم َكُلَمَعاَمَّنِا َكِسْفَ ن ْنِم ُهاَرَ تَ فًلاَمَعْرِثْكَتْسَت

َكَل َلَعَجْذِا َكْيَلَع ِللها َنِم

ِوِتَداَبِع ىَلِاًلاْيِبَس

“Janganlah engkau banyak menginginkan amal, sehingga

engkau memandangnya dari dirimu. Akaan tetapi amalmu adalah

pemberian dari Allahkepadamu, karena Dia telah menjadikan amal

itu sebagai jalan untuk beribadah kepada-Nya.”

Referensi

Dokumen terkait

Tugas Akhir merupakan salah satu syarat yang harus dilakukan setiap mahasiswa Ilmu Komputer untuk dapat menyelesaikan pendidikan di Program D3 Teknik Informatika

Penelitian ini bertujuan untuk menguji dan menganalisis pengaruh perceived ease to use dan subjective norm terhadap intention to use dengan perceived usefulness

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui perbedaan tingkat kebersihan pada 3 segmen saluran akar pasca preparasi menggunakan instrumen putar nikel titanium (NiTi) Mtwo single

NURUL ILMI. Kesesakan, Iritabilitas, Agresivitas dan Kesejahteraan Subjektif Keluarga yang Tinggal di Rumah Susun Jatinegara Barat. Dibimbing oleh EUIS

Jenis unit penangkapan pilihan untuk pemanfaatan komoditi unggulan di perairan Provinsi Riau berdasarkan pendekatan aspek teknis dan sosial adalah jaring atom

[r]

c) Foto copy surat keterangan akreditasi progftrm studi dari Perguruan Tinggi (bagi ijasah yang tidak mencantumkan jenis dan nomor ketetapan akreditasi)... d) Khusus

Hasil uji-F menunjukkan bahwa kedua variabel Pengetahuan Ekonomi Islam dan Locus of Control berpengaruh positif terhadap Kinerja Karyawan BMT UGT Sidogiri di