• Tidak ada hasil yang ditemukan

PEMILIHAN KEPALA DAERAH SECARA TIDAK LANGSUNG DALAM PERSPEKTIF PEGIAT DAN PELAKSANA PEMILU DI KOTA SALATIGA - Test Repository

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2019

Membagikan "PEMILIHAN KEPALA DAERAH SECARA TIDAK LANGSUNG DALAM PERSPEKTIF PEGIAT DAN PELAKSANA PEMILU DI KOTA SALATIGA - Test Repository"

Copied!
99
0
0

Teks penuh

(1)

i

PEMILIHAN KEPALA DAERAH SECARA TIDAK LANGSUNG DALAM PERSPEKTIF PEGIAT DAN

PELAKSANA PEMILU DI KOTA SALATIGA

Disusun Oleh; Farkhani, S.HI., S.H., M.H NIP.: 19760524 200604 1 002

LEMBAGA PENELITIAN DAN PENGABDIAN PADA MASYARAKAT INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI (IAIN) SALATIGA

(2)

ii

KEMENTERIAN AGAMA

INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI (STAIN) SALATIGA LEMBAGA PENELITIAN DAN PENGABDIAN

MASYARAKAT (LP2M)

Jln. Lingkar Salatiga Km. 2 Pulutan Sidorejo Kota Salatiga Telp. (0298) 323706

PENGESAHAN

Judul :

PEMILIHAN KEPALA DAERAH SECARA TIDAK LANGSUNG DALAM PERSPEKTIF PEGIAT DAN

PELAKSANA PEMILU DI KOTA SALATIGA

Peneliti: Farkhani, S.HI., S.H., M.H

Tema Penelitian: 1. Pendidikan 2. Hukum 3. Ekonomi 4. Budaya 5. Sosial

Salatiga, 30 September 2018 Kepala LP2M

(3)

iii ABSTRAK

Secara garis besar, sistem pemilihan (pemilu dan pilkada) terbagi dua; secara langsung dan secara tidak langsung atau perwakilan melalui lembaga legislatif. Indonesia sebagai negara demokrasi dan menjunjung kedaulataan rakyat pun menerapkan sistem pemilihan. Dalam hal pemilihan kepala daerah, Indonesia pernah melaksanakan beberapa sistem, pada awal tahun 2018, muncul keinginan dari para elit politik untuk melaksanakan pilkada dengan sistem pemilihan tidak langsung. Untuk kepentingan ini, mengetahui pandangan dan argumentasi pegiat dan pelaksana pemilu daerah (Kota Salatiga) penting untuk diketahui untuk mengukur sebarapa kebernerimaan pada sistem pemilihan yang akan dilakukan.

Penelitian ini termasuk dalam kategori penelitian lapangan (field research) dengan menggunakan metode kualitatif dengan teknik pengambilan data melalui wawancara mendalam (indept interview) dan observasi lapangan. Obyek yang diteliti adalah para pegiat dan pelaksana pemilu di Kota Salatiga.

(4)

iv

c. anggaran negara yang sangat terkuras untuk pembiayaan pemilihan kepala daerah langsung di seluruh Indonesia serta pertimbangan untung rugi dalam pelaksanaan pemilihan kepala daerah secara langsung dan tidak langsung.

(5)

v

KATA PENGANTAR

Segala puji bagi Allah swt dan shalawat serta salam semoga tetap tercurah kepada Nabi Muhammad saw, keluarga, sahabat dan pengikutnya sampai akhir zaman

Penelitian ini mengangkat tema tentang pandangan pegiat dan pelaksana pemilu di Kotas Salatiga terhadap pemilihan kepala daerah secara tidak langsung. Oleh karenanya memahami makna demokrasi dan kedaulatan rakyat dari awal muunculnya ide dan teori itu serta aplikasinya dalam sistem ketatanegaraan harus utuh. Utuh dalam artian tidak sebatas pada makna etimologi kebahasaan tetapi juga pada perkembangan pemaknaanya serta aplikasinya dalam sistem dan bentuk negara modern. Keengganan untuk memahaminya secara baik dan “pemaksaan” paham bahwa demokrasi itu harus sesuai dengan apa yang telah dilaksanakan pada zaman lama dan telah berlalu akan mempersempit cara pandangan dan menutup kontektualitas atas aplikasi ide dan teori pada zaman yang telah berubah.

Pegiat dan pelaksana pemilu wajib memiliki pengetahuan yang holistik terhadap ide dan teori demokrasi dan kedaulatan rakyat, sehingga ia akan dapat memahami dinamika dan variasi penerapannya di berbagai sistem ketatanegaraan yang ada, termasuk di Indonesia.

(6)

vi

Heru dan kawan-kawan) dan semoga penelitian ini bermanfaat.

Peneliti

(7)

vii DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ….………. i

PENGESAHAN PENELITIAN ...……….. ii

ABSTRAK ………. iii

KATA PENGANTAR ……… iv

DAFTAR ISI .……… v

BAB I PENDAHULUAN ……….... 1

A. Latar Belakang Masalah ………. 1

B. Rumusan Masalah ……… 8

C. Tujuan Penelitian……….... 8

D. Signifikansi Penelitian……….... 9

E. Kerangka Teoritik ... 11

F. Tinjauan Pustaka ……….... 13

G. Metodologi Penelitian …… .………. 15

1. Jenis Penelitian ….……….. 15

2. Metode Pengumpulan Data ... 16

3. Teknik Analisis ...….……….. 16

H. Sistematika Pembahasan………...……….. 16

BAB II PEMILIHAN UMUM DAN PEMILIHAN KEPALA DAERAH DI INDONESIA... 18

A. Negara dan Demokrasi ………... 18

B. Pemilihan Umum di Indonesia ...… …………. 29

1. Pemilihan Umum ... 31

2. Pemilukada ... 32

C. Pemilihan Kepala Daerah di Indonesia ... 34

1. Sejarah pemilihan kepala daerah ... 35

(8)

viii

BAB III PEGIAT DAN PELAKSANA PEMILU DI KOTA

SALATIGA DAN PANDANGANNYA

TERHADAP PEMILIHAN KEPALA DAERAH

SECARA TIDAK LANGSUNG……….. . 45

A. Pegiat dan Pelaksana Pemilu di Kota Salatiga ... 45

1. JPPR Kota Salatiga ... 47

2. Komisi Pemilihan Umum Daerah (KPUD) Kota Salatiga ... 48

3. Badan Pengawas Pemilu Daerah (bawaslu) Kota Salatiga ... 53

B. Pandangan Pegiat dan Pelaksana Pemilu Kota Salatiga terhadap Pemilihan Kepala Daerah Secara Tidak Langsung ... 59

BAB IV ANALISIS PANDANGAN PEGIAT DAN PELAKSANA PEMILU KOTA SALATIGA TERHADAP PEMILIHAN KEPALA DAERAH SECARA TIDAK LANGSUNG ... 67

A. Praktik Demokrasi di Indonesia dan Teori Kedaulatan Rakyat... 67

1. Praktik demokrasi di Indonesia ... 67

2. Teori kedaulatan rakyat ... 69

B. Analisi Pandangan Pegiat dan Pelaksana Pemilu di Kota Salatiga Terhadap Pemilihan Kepala Daerah Tidak Langsung ... 72

1. Pemilihan kepala daerah langsung dianggap sebagai manifestasi makna demokrasi dan kedaulatan rakyat ... 73

2. Kekhawatiran terhadap pemilihan perwakilan ... 82

3. Traumatik pemilihan perwakilan semu ... 84

BAB V PENUTUP……… 85

A. Kesimpulan ... 85

B. Saran ... 86

(9)

ix BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Secara adi kodrati, manusia disamping sebagai makhluk individu juga mahluk sosial. Manusia sebagai mahluk individu memiliki unsur jasmani dan rohani, unsur fisik dan psikis, unsur jiwa dan raga. Unsur-unsur tersebut menyatu dalam dirinya. Jika unsur tersebut sudah tidak menyatu lagi maka seseorang tidak disebut lagi sebagai individu yang hidup. Sebagai makhluk individu memiliki kebebasan yang tidak terbatas pada untuk mengekspresikan kehendak pribadinya dan segala apa yang melakat secara inhern dalam lahiriyah dan batiniyahnya. Sebagai makhluk sosial seseorang individu harus hidup berdampingan dengan orang lain, bahkan makhluk hidup lainnya (Ni Wayan Suarmini, Ni Gusti Made Rai, Marsudi, 2016).

Sebab sebagai makhluk sosial, yang menjadikan individu manusia menjadi bagian dari sebuah sistem sosial. Setiap individu manusia harus menata dirinya, melepaskan atau mengambil, membuang atau menerima dan lain sebagainya dalam tingkah tutur dan tingkah laku dalam komunitas manusia dimana ia menjadi bagiannya.

(10)

x

hewan hanya bagaimana tetap survive dan berkembang dengan cara mempergunakan kekuatan yang ada pada dirinya. Siapa yang kuat, dia yang berkuasa atas segalanya.

Manusia bukanlah hewan, manusia adalah makhluk termulia yang diciptakan Tuhan untuk memakmurkan bumi (QS. al-Tin: 5 dan al- Baqarah: 30). Bekal akal yang dianugerahkan Tuhan Yang Maha Esa, digunakan untuk memikirkan bagaimana menyeimbangkan antara manusia sebagai makhluk individu dan sebagai makhluk sosial.

Agar terjadi keharmonisan dalam melakukan interaksi antar manusia sebagai makhluk sosial, tingkah laku manusia perlu diatur sedemikian rupa dalam kehidupan sosialnya. Hukum adalah pranata terbaik itu kepentingan itu. Karena hukum adalah aturan-aturan kongkret yang membatasi pola-tingkah individu dalam masyarakat. Awal keberadaan hukum memang tidak dapat diprediksi, namun jika ungkapan klasik ubi societes ibi ius, hukum itu ada sejak masyarakat ada (Peter Mahmud Marzuki, 2009: 41). Dalam al-Qur’an pun menyebutkan bahwa hukum itu untuk manusia ketika manusia (Adam) berdampingan dengan manusia lainnya (Hawa) (QS. al-Baqarah: 35).

(11)

xi

pemimpinnya. Pempimpin dari mereka biasanya yang paling besar atau paling kuat, paling cantik, paling produktif atau karena sebab-sebab lain yang sesuai dengan/dalam kebiasaan koloni binatang tersebut.

Apalagi manusia, sebagai makhluk Tuhan yang paling sempurna dalam penciptaannya, dari awal penciptaannya sudah dilengkapi berbagai perangkat hidup pada dirinya guna menjalankan misinya sebagai pemakmur bumi. Menjadi pemakmur bumi yang begitu luas tidak dapat dilakukan sendiri, butuh kawan, ada menejerial dan yang lebih penting dari itu adalah perlu adanya pemimpin, yang bekerja, mengorganisir dan memenej individu dan masyarakat untuk bekerja, berbuat dalam rangka memakmurkan bumi.

Lain dari pada itu, pada saat kita memperbincangkan sejarah peradaban manusia, bercerita tentang kemajuan budaya, teknologi, ilmu pengetahuan, kekuasaan dan kejayaan sebuah kaum, dinasti, kerajaan, bangsa dan negara atau kegemilangan ekspedisi dan invasi ataupun kolonialisasi, tidak akan pernah lengkap kisah sejarah itu tanpa menyertakan nama-nama pemimpinya. Bila berbicara berkenaan dengan pemimpin maka akan berbicara pula dengan kepemimpinan, cara pemilihannya bahkan sampai berakhir kekuasaannya dan terpilih pemimpin yang baru.

(12)

xii

menjaga berbagai kepentingannya. Bermula dari hanya sebuah kelompok, berkembang hingga menjadi suatu bangsa. (Farkhani: 2016).

Indonesia sebagai negara bangsa (nation-state), semenjak kelahirannya mamandang penting keberadaan pemimpin negara. Oleh karena setelah Proklamasi Kemerdekaan Negara Indonesia, pada hari berikutnya saat sidang BPUPKI, selain berisi pengesahan konstitusi negara (UUD 1945) juga ikut ditunjuk Soekarno dan Hatta sebagai Presiden dan Wakil Presiden atas usulan Otto Iskandardinata.

Indonesia sebagai negara hukum dan negara demokrasi berasaskan Pancasila dan UUD 1945, mengatur sedemikian rupa sistem dan teknis pemilihan pemimpin negara dan pemimpin daerah. Pada masa-masa awal terbentuknya negara digunakan mekanisme penunjukan sebagai upaya untuk menghindari kondisi facum of power dan untuk memperteguh Indonesia sebagai sebuah negara juga agar roda pemerintahan berjalan dari pusat sampai ke daerah-daerah. Pada fase berikutnya, pemilihan pemimpin negara dan daerah dilakukan dengan cara perwakilan dalam sidang-sidang parlemen, pada masa reformasi pemilihan kepala negara (presiden dan wakil presiden) dilakukan dengan cara langsung atas amanat Amandemen UUD 1945 dan terealisasi dalam pemilu tahun 2004 (Farkhani, 2011: 31). Sedangkan untuk pemilihan kepala daerah baru dapat direalisasikan pada bulan Juni 2005.

(13)

xiii

dipilih langsung oleh rakyat, melalui proses pemilihan kepala daerah yang sering disingkat dengan pilkada langsung. Untuk kepentingan ini, pemerintah telah mensahkan UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah sebagai pengganti UU No. 22 Tahun 1999 (Muhammad Asfar: 2005).

Dalam negara demokrasi, sistem pemilihan kepala negara, kepala pemerintahan, senator (wakil rakyat), lembaga atau institusi pemerintahan yang merepresentasikan rakyatnya hanya dikenal dengan dua sistem; pertama sistem pemilihan lewat perwakilan dan kedua, sistem pemilihan langsung.

(14)

xiv

Model pemilukada yang baru ini, menjadi suhu politik di daerah bergairah, dinamis dalam dimensi positif dan negatif perpolitikan di daerah di seluruh wilayah kedaulatan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Tidak hanya suhu politik yang bergairah, sektor ekonomi yang berkaitan dengan penyelenggaraan pilkada juga ikut terkerek naik, warna dan corak politik pun bermunculan, baik sektarian maupun idelogis sampai pada politik transaksional.

Setelah lebih dari satu dasawarsa penyelenggaraan pilkada langsung dengan ragam gegap gempita, keterlibatan langsung masyarakat pemilih dan para penggembiranya, budaya politik lokal yang bergairah dan berubah, hasil yang diperoleh dari produk pilkada langsung berupa pemimpin daerah yang beragam kapasitas, kapabilitas, dan integritasnya serta hasil pengelolaan otonomi daerah oleh pemimpin kepala daerah hasil pilkada langsung, kini tiba-tiba muncul wacana, diskursus tentang pembelokan kembali pada sistem pemilukada tidak langsung yang telah terkubur 14 tahun yang lalu.

Sistem pemilukada tidak langsung yang diangkat lagi walau baru sebatas wacana ini bukan tanpa sebab. Pengalaman 14 tahun penyelenggaraan pemilukada langsung dengan hasil yang diperolah dari perhelatan tersebut di pandang tidak equivalen dengan “energi’ yang dikeluarkan oleh para penyelenggara negara, partai politik dan masyarakat pemilih. Ongkos, ekonomi, ongkos politik, dan ongkos sosial (budaya) nya terlalu tinggi bila dibandingkan dengan hasil yang didapatkan dari pagelaran pilkada langsung.

(15)

xv

menggeser sistem pemilihan kepala daerah langsung kepada sistem lama yang pernah dilakukan pada masa Orde Baru dan awal masa Orde Reformasi, sebagai berikut; pertama, dari sisi penyelenggaraan negara; negara menciptan lembaga-lembaga baru yang berkaiatan dengan penyelenggaraan pemilu dari hulu sampai hilir, seperti KPU Daerah, Bawaslu Daerah, Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP) sampai pada Pantarlih dan lain-lain. Keberadaan lembaga-lembaga baru ini jelas membutuhkan energi baik sumber daya manusianya sampai pada sumber daya keuangan yang jelas memberi beban cukup signifikan bagi APBN. Kedua bagi partai politik, pilkada langsung menguras banyak “energi”; pencarian kader yang mumpuni dan memiliki eletablitas tinggi yang tidak mudah, merancang koalisi, merancang kampanye dan lain sebagainya yang membutuhkan banyak waktu, biaya, pikiran, tenaga dan sumber daya lainnya. Ketiga, bagi masyarakat pemilih ikut terkuras “energinya”; terbuang waktu, terganggung oleh hingar bingar kampanye, perbedaan pilihan dalam satu keluarga atau komunitas, terkuras emosi dan bahkan dimanfaatkan oleh partai politik atau kontestan untuk bersitegang dengan lembaga negara penyelenggara pemilu bahkan dengan kawan sedaerah dan lain-lain.

Wacana perubahan sistem pemilihan pemilu dari langsung menjadi tidak langsung, pasti akan berimbas kepada keberadaan para pegiat pemilu, terutama yang berada di daerah-daerah, seperti KPU Daerah, Bawaslu Daerah dan lembaga swadaya masyarakat pengawas dan pemantau pemilu daerah yang independen.

(16)

xvi

pengembalian sistem pemilu kada dari secara langsung menjadi tidak langsung.

B. Rumusan Masalah

Berdasar pada latar belakang masalah yang disampaikan tersebut di atas, muncul beberapa pertanyaan yang dapat dijadikan rumusan masalah untuk kepentingan penelitian ini, yaitu;

1. Apakah yang mendorong wacana perubahan sistem pemilihan kepala daerah dari sistem secara langsung menjadi kembali pada sistem pemilihan secara tidak langsung?

2. Bagaimanakah pandangan para pegiat dan pelaksana pemilukada di Kota Salatiga terhadap wacana perubahan sistem pemilukada dari pemilihan secara langsung mengjadi secara tidak langsung?

C. Tujuan Penelitian

Tujuan yang hendak dicapai dari penelitian ini adalah;

1. Untuk mengetahui indikasi atau argumentasi apakah yang mendorong wacana perubahan sistem pemilihan kepala daerah dari sistem secara langsung menjadi kembali pada sistem pemilihan secara tidak langsung?

(17)

xvii D. Signifikansi

Signifikansi dari penelitian ini adalah: 1. Teoritik

Secara teoritik penelitian ini mengetahui tentang segala hal yang berkaitan dengan pemilihan umum secara umum dan secara khusus tentang pemilihan kepala daerah di Indonesia. Pengetahuan tentang hal ini dapat bermula dari pengetahuan tentang negara hukum dan demokrasi model Indonesia, pemilihan umum yang menjadi sebuah keharusan dalam negara demokrasi, pemilihan sistem yang digunakan dalam pemilihan serta perubahan bolak-balik yang mungkin terjadi dalam pemilihan sebuah sistem dalam penyelenggaran pemilihan kepala daerah khususnya.

Dalam penelitian ini juga kita bisa mengetahui bagaimana sesungguhnya kedudukan sistem pemilihan kepala daerah secara tidak langsung berhadapan secara biner dengan makna demokrasi, terutama dalam tataran etimologis, serta melihat sejarah dan pemilihan kepala daerah yang pernah berlaku di Indonesia.

Dalam penelitian ini pula, kita bisa melihat ragam argumentasi ilmiah dan/atau unsur-unsur pendorong apa saja yang membuat satu sistem pemilihan dapat berganti-ganti dalam sebuah negara demokrasi seperti Indonesia.

2. Praktis:

a. Bagi IAIN Salatiga

(18)

xviii

tanggung jawab tri darma perguruan tinggi, yakni di bidang penelitian dan pengembangan ilmu pengetahuan.

Penelian ini diharapkan akan menjadi pemicu untuk lahirnya karya-karya baru yang sejenis atau bahkan muncul variasi lain yang akan memperkaya khazanah keilmuan di IAIN Salatiga, memunculkan sifat kritis dalam bentuk falsifikasi, negasi atau bentuk penguatan dari penelitian ini.

Hasil dari penelitian ini bisa juga dijadikan bukti tertulis dan dipublish dalam jurnal hukum yang terakreditasi, sehingga menjadi bukti bahwa di IAIN Salatiga ada dosen yang cukup konsen dan kompeten dalam bidang hukum. Show of force kompetensi keilmuan dari para dosen ini diharapkan dapat dijadikan entry point sebagai pendulang banyaknya masyarakat Salatiga dan sekitarnya atau bahkan seluruh Indonesia tertarik untuk kuliah di IAIN Salatiga.

b. Bagi Masyarakat

(19)

xix

pilihan sistem pemilihan kepala daerah yang berubah-ubah.

E. Kerangka Teoritik

Sejak keberhasilan Pemilu tahun 2004 yang berjalan lancar dan dan damai serta tingkat partisipasinya yang sangat tinggi, dunia internasional menyebut Indonesia sebagai negara demokrasi terbesar di dunia. Puja-puji datang dari seluruh penjuru dunia dan ada keingin belajar demokrasi dengan Indonesia dengan penduduk yang sangat besar dan sangat heterogen dari segi bahasa, adat-istiadat, dan agamanya.

Adanya penyelenggaan pemilu seperti itu sebenarnya sebuah konsekuensi dari deklarasi Indonesia sebagai negara demokrasi dan sekaligus perintah konstitusi Undang-Undang Dasar 1945. Para founding fathers negara banyak yang tahu bahwa konsep demokrasi ini selalu diperdebatkan dan perdebatannya tak kunjung berhenti. Walaupun demikian mereka memilih konsep ini sebagai upaya untuk menjadi negara yang baik dan mencapai cita dan tujuan negara. Contoh konsep demokrasi selalu diperdebatkan baik dalam konsep maupun praktik adalah sebagaimana yang pernah dikatakan oleh W.B. Gallie;

(20)

xx

pengakuan tentang pemanfaatan yang berbeda-beda... (John L. Esposito dan John O. Voll, 1999: 14-15).

Begitu pula dalam memberikan kriteria negara demokrasi, tidak ada yang tunggal dan sama, masing-masing ahli berbeda. Amien Rais memberikan 10 kriteria negara demokratis; (1) partisipasi dalam pembuatan keputusan, (2) persamaan di depan hukum, (3) distribusi pendapat secara adil, (4) kesempatan pendidikan yang sama, (5) empat macam kebebasan, yaitu kebebasan mengeluarkan pendapat, kebebasan persuratkabaran, kebebasan berkumpul dan kebebasan beragama, (6) ketersediaan dan keterbukaan informasi, (7) mengindahkan fatsoen atau tata krama politik, (8) kebebasan individu, (9) semangat kerja sama dan (10) hak untuk protes (Mahfud MD, 1999: 183-185). Kriteria negara demokrasi yang paling singkat disampaikan oleh John Waterbury, yaitu negara yang menjamin kesetaraan dalam bernegoisasi (a bargained aquilibrium) (Ghassan Salame [Ed.], 1996).

Dari semua sarjana yang memperbincangkan negara demokrasi, semua tak ada yang menolak mempersyaratkan adanya pemilihan umum yang digelar untuk mendapatkan pemimpin negara.

Indonesia dalam perjalanan evolusi demokratisasi, dari mulai edisi demokrasi liberal (1945-1949) sampai Orde Reformasi (Farkhani, 2011) penyelenggaraan pemilu diakui dan dilaksanakan, pelaksanaan pemilu pertama kali pada tahun 1955.

(21)

xxi

dilasnakan dengan sistem pemilihan secara langsung dan secara tidak langsung akhirnya diakhiri dengan lahirnya UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. Pada pasal 24 ayat (5) disebutkan; “kepala daerah dan wakil kepala daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan ayat (3) dipilih dalam satu pasangan secara langsung oleh rakyat di daerah yang bersangkutan”. Akhirnya pilkada pada tahun 2005 dimulai dengan sistem langsung, setelah pada zaman Orde Baru sampai pada awal Orde Reformasi dilaksanakan dengan sistem perwakilan (tidak langsung), di pilih dalam rapat paripurna DPRD.

Kini wacana untuk kembali pada sistem perwakilan (pemilihan tidak langsung) sedang digulirkan dengan ragam argumentasi yang diberikan. Sebab negara Indonesia adalah negara hukum, maka problem hukum seharusnya diselesaikan terlebih dahulu jika secara hukum ada hambatan-hambatan. Misalanya merubah Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 khusus pada pasal yang berbicara tentang pemilihan kepala daerah.

F. Tinjauan Pustaka

Berkenaan dengan sistem pemilu secara umum ataupun yang berbicara tentang pemilihan kepala daerah cukup banyak dilakukan, diantaranya;

(22)

xxii

sistem yang lain dari satu model ke model lainnya, dan produk legislasi tentang pemilu dari satu rezim bisa mencapai lebih dari 500 produk.

Disertasi ini juga memberikan tawaran sistem baru yang disebut Four Sieve Election System (Sistem Pemilu Empat Saringan). Yaitu tawaran sistem pemilu efektif yang terbangun sebagai upaya pemetaan kelemahan sistem pemilu proporsional tertutup dan proporsional terbuka, yang keduanya dapat dikatakan belum sebagai sistem yang baik. Sebab sistem pemilu yang baik adalah sistem pemilu yang terselenggara secara demokratis dan menghasilkan anggota legislatif yang berkualitas. Four Sieve Election System (Sistem Pemilu Empat Saringan) adalah integrasi dari sistem distrik, sistem proporsional, dan sistem transverable vote, kemudian dipadu-padankan untuk menutupi kelemahan-kelemahan yang ada pada masing-masing sistem. 2. Tesis Farkhani (1999) dengan judul Model

(23)

xxiii

Penilitian yang dilakukan peneliti ini berbeda dengan penelitian-penelitian dimuka, titik tekannya lebih khusus pada pandangan atau pendapat dari para pegiat pemilu di Kota Salatiga atas kembali menguatnya wacana pengembalian sistem pemilukada pada sistem perwakilan, dipilih oleh para anggota ligislator di DPRD Provinsi dan DPRD Kabupaten/Kota.

G. Metodologi 1. Jenis Penelitian

Penelitian ini termasuk dalam kategori penelitian lapangan (field research), atau penelitian hukum non-doktrinal. Dalam penelitian non doktrinal ini ada dua kemungkinan yang diambil, masuk dalam genre sociolgy of law (sosiologi hukum), basic keilmuannya ilmu sosiologi dan hukum menjadi kajiannya atau sociological jurisprudence (sosiologi jurisprudensi), basic keilmuannya hukum dan obyek yang dikaji adalah masyarakat.

(24)

xxiv 2. Metode Pengumpulan Data

Metode pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode dokumentasi. Pengumpulan data dilakukan melalui metode wawancara, yaitu dengan jalan menjalin komunikasi melalui kontak atau hubungan pribadi antara pengumpul data (pewawancara) dengan sumber data (responden). Komunikasi ini dapat dilakukan secara langsung maupun tidak langsung dengan menggunakan ragam media yang mungkin dapat digunakan untuk terkumpulnya data yang diinginkan (Rianto Adi, 2005: 72).

3. Teknik Analisis

Teknik analisis yang digunakan dalam penelitian ini adalah teknik analisis kualitatif dengan model deskriptif-analitis, yaitu data yang diperoleh akan diuraikan dalam penelitian ini dengan memberikan gambaran tentang sistem pemilukada yang berlaku dengan landasan hukum yang menyertainya dan wacana yang sedang tren diperbincangkan kemudian mempertemukannya dengan ragam reaksi, tanggapan atau umpan balik dari para pegiat pemilu di Kota Salatiga (model induktif).

H. Sistematika Pembahasan

Laporan penelitian yang akan disampaikan adalah menurut sistematika sebagai berikut:

(25)

xxv

yang mendorong penulis untuk melakukan penelitian tentang hal ini. Selanjutnya rumusan masalah yang ada yang menjadi obyek eksplorasi yang urgen untuk dijawab dalam pembahasan penelitian selanjutnya yang harus dijawab, tujuan dan manfaat dari penelitian, kajian pustaka, kerangka penelitian, metodologi penelitian dan sistematika penulisan.

Bab dua, pada bab ini akan di bahas mengenai pemilihan umum dalam negara demokrasi Indonesia, sistem pemilukada yang berlaku di Indonesia.

Bab tiga, pada bab ini akan dibahas tentang para pegiat pemilu yang ada di Kota Salatiga seperti para komisoner KPU Daerah, Bawaslu Daerah.

Bab empat, berisi tentang hasil penelitian, pengkajian dan analisis terhadap cara pandang (persepektif) para pegiat pemilu di Kota Salatiga terhadap wacana pemilukada secara langsung, apa akibatnya dan landasan yuridis apa yang mungkin dapat dijadikan pijakan untuk perubahan tersebut.

Bab lima adalah penutup yang berisi kesimpulan dan saran penulis berdasar ada hasil penelitian.

(26)

xxvi BAB II

PEMILIHAN UMUM DAN PEMILIHAN KEPALA DAERAH

DI INDONESIA

A. Negara dan Demokrasi

Para ahli memberikan gambaran lembaga negara dengan berbagai macam tamsil. Pertama; Plato, sebagai ahli yang diyakini pertama kali memperkenalkan konsep negara dalam kehidupan komunal manusia, menjelakan bahwa organisasi negara tidak berbeda jauh dalam tujuan filosofisnya dengan manusia (naturlijke person), yaitu mengedepankan dan menjunjung tinggi moralitas. Karena moral menjadi sesuatu yang paling hakiki dalam negara, maka menurut Plato, para penguasa negara dan rakyatnya pun harus berada pada posisi menunjung nilai moral dalam bernegara. Nilai moral yang paling dikedapankan Plato adalah kebajikan. Kebajikan akan diperoleh bila para penguasa negaranya mengerti betul tentang nilai-nilai kebajikan. Pengertian tersebut hanya akan diperoleh apabila penguasa itu memiliki ilmu yang luas. Untuk menjembatani ketersedian calon penguasa yang berwawasan luas adalah tersedia lembaga pendidikan yang memadai (Farkhani, 2017: 21-22).

(27)

xxvii

wanita, atau ayah atau ibu, atau seorang putra atau putri...., karena itu negara tidak terlalu kecil dan tidak terlalu luas.” (J.H. Rapar, 2001: 54-55). Artinya pergaualan dalam menjalankan negara harus dijalan dengan kesadaran etik (moralitas) yang tinggi, baik pemimpin maupun warga negaranya. Dalam keluarga tangung jawab pemimpin keluarga dijalankan dengan kesadaran etik bahwa ia harus dapat menjamin dan memenuhi semua kebutuhan anggota keluarga dengan keadilan sesuai porsinya, yang dipimpin menghormati dan saling menjaga keadaran etik pula agar kondisi keluarga dalam tenteram dan damai serta bahagia bersama.

Kiranya pandangan Plato tentang negara etik ini, dipengaruhi oleh ajaran luhur gurunya, Socrates. Buktinya adalah cuplikan pembelaan Socrates pada saat ia disidang oleh 500 Juri di Pengadilan Athena yang ditulis sangat baik oleh Plato dalam bukunya yang berjudul Apologia;

(28)

xxviii

kebajikan itulah — harta dan segala hal yang baik dari diri manusia akan muncul, baik di sisi publik maupun individu. Inilah yang aku ajarkan” (www.islampos.com, diunduh pada tanggal 3 Juni 2014).

Setelah selesai seluruh proses peradilan terhadap Socrates, ia dihukum mati dengan tuduhan meracuni pemikiran kaum muda Yunani. Bila memperhatikan cuplikan pembelaan Socrates tersebut, maka kesadaran etik yang dimaksud Plato adalah berdasar ajaran-ajaran ke-Tuhan-an atau moralitas transendental yang dielaborasi sedemikian rupa kemudian diejawantahkan dalam segala sendi kehidupan bernegara. Jadi bagi Plato, moralitas transendental harus melingkupi setiap relung kehidupan bernegara, baik negara itu kecil ataupun besar.

(29)

xxix

Dari pandangan guru-murid ini terlihat ada pergeseran, dari nilai luhur yang dikedepankan menuju pembentukan birokrasi dari struktur yang terendah sampai yang tertinggi. Walaupun tidak mengatakan bahwa moralitas transendental tersingkir dalam cara pandang Aristoteles dalam memaknai negara.

Ilmuan Islam, al-Farabi memberikan tamsil negara bagaikan tubuh manusia. Tubuh manusia memiliki sistem kerja yang unik yang satu bagian dengan bagian lainnya saling bekerjasama sesuai dengan tugasnya masing-masing, dan jantung menjadi pusat dari segala organ yang ada.

Jantung bertugas menyuplai kebutuhan darah keseluruh anggota tubuh yang ada. Jantung menjadi ibarat sebagai pemimpin sebuah negara, pelayan rakyat yang menjamin kesejahteraan seluruh warga negara. Warga negara sesuai dengan kapasitas dan kapabilitasnya menjalankan fungsinya masing-masing, bekerja untuk menjaga keutuhan negara dan agar keadilan tercipta dalam negara itu. Konsep negara utama al-Farabi ini sangat jelas dipengaruhi oleh pandangan Plato, yang membagi warga negara dalam tiga kelas; kepala negara, militer dan rakyat (Farkhani, 2017: 57). Oleh karenanya yang dibutuhkan adalah yang sehat karena pertumbuhan dan perkembangannya teratur di antara satu unsur dengan unsur lainnya, sedangkan negara yang buruk adalah ibarat orang yang sakit karena kurangnya pertumbuhan dan perkembangan yang teratur di negara itu.

(30)

xxx

yang penduduknya memperoleh minuman dari kebutuhan hidup, makan, minum, pakaian, dan tempat tinggal. Kedua, negeri kapitalis (baddalah), yaitu negara yang penduduknya mementingkan kekayaan harta dan benda. Ketiga, negeri gila hormat (kurama), yaitub negara yang penduduknya mementingkan kehormatan saja. Ketiga, negeri hawa nafsu (khissah wa syahwah), yaitu negara yang penduduknya mementingkan kekejian dan berfoya-foya. Keempat, negeri anarkis (jami’iah), yaitu negara yang setiap penduduknya ingin merdeka melakukan keinginan masing-masing (Al-Farabi, tt: 84).

(31)

xxxi

oleh kesatuan visi, misi, sejarah, tanah air, dan bahasa (Khaldun, 1986:128-31).

Karena negara dimaknai sebagai pertalian nashab atau keluarga, maka psikologi dan sosiologi keluarga terbawa menjadi unsur-unsur yang harus ada dalam sebuah negara, baik dalam bentuk lembaga maupun nilai yang dihormati secara bersama. Sebagaimana keluarga yang memerlukan kepala keluarga, maka negara pun memerlukan pemimpin negara. Gambaran semacam ini dijelaskan secara baik oleh Sayuti Pulungan (1997:278), menurut Khaldun eksistensi al-mulk (kepala negara) diperlukan. Hal ini diwujudkan sebagai konsekuensi terhadap tuntutan masyarakat yang menghendaki adanya perlindungan, keamanan, dan terpeliharanya berbagai kepentingan masyarakat lainnya. Untuk mewujudkan tuntutan kolektivitas tersebut, seorang kepala negara dituntut untuk memiliki superioritas intelektual dan kepribadian (al-taghalluf) yang lebih dari rakyatnya. Dengnan sikap ini, seorang kepala negara akan mampu melaksanakan tugas dan fungsinya secara efektif, efisien, objektif, adil (dengan melaksanakan supremasi hukum), dan amanah. Jika sikap ini justeru terabaikan pada seorang pemimpin, maka eksistensinya akan menjadi bumerang bagi terlaksananya roda pemerintahan yang seyogyanya mengayomi masyarakat luas.

(32)

xxxii

ini adalah wujudnya negara polis, negara kota yang tidak terlalu besar tapi tidak terlalu kecil, Athena.

Gagasan demokrasi ini sempat terhenti dalam kurun yang lama, dimulai ketika Romawi melakukan pendudukan terhadap Yunani, tepatnya pada abad 1 SM. Tidak lama dari kurun itu, Romawi yang terwarnai oleh ajaran Nasrani memiliki pandangan tersendiri mengenai pengelolaan negara dan pemerintahan. Mulai dari saat itu demokrasi yang berporos pada pemerintahan yang dikelola atas partisipasi rakyat yang dianggap cukup rumit dalam implementasinya pada zaman itu, digantikan oleh pemikiran spiritualisme yang mengharuskan kehidupan sosial harus tunduk pada dominasi gereja dan kehidupan politik rakyat tunduk di bawah kuasa raja.

Masa itu diyakini sebagai awal mula kegelapan di dunia Eropa secara keseluruhan. Gereja dan raja menjadi pemegang otoritas tertinggi dalam kehidupan sosial dan politik masyarakat, para penentang dua otoritas itu tidak memiliki kekuatan untuk melawan bahkan dalam pengembangan ilmu pengetahuan dikontrol sepenuhnya oleh kuasa itu. Kasus Copernicus (1551), Giordano Bruno (1600), dan Galilio Galilei (1642) adalah contoh nyata betapa berkuasanya gereja dan raja. Galilio Galilei dihukum mati setelah dipaksa mengingkari teorinya yang sejalan dengan teori Copernicus di bawah pengadilan iman gereja Roma, atau seperti yang dialami Nicuel Superto (Michael Serfev) penemu peredaran darah dengan menukil dari Abu Hasan Ali ibn an-Nafis (wafat 1288), yang dibakar pada tahun 1553 di bawah reformator Jinkalfin (Poeradisatra, 1986: 13).

(33)

xxxiii

dan budaya Yunani Kuno (Mahfudz MD, 1999: 269). Kebangkitan Eropa (Barat) tidak murni berasal dari dalam dirinya, tetapi ada sumbangsih dari perseteruan dunia Barat dan dunia Islam dalam Perang Salib yang sangat panjang dan legendaris, perang berlangsung selama 2 abad (1099-1299).

Terjadinya Perang Salib yang berkepanjangan memaksa Barat bersinggungan dengan Islam yang saat itu sedang pada puncak pencapaian dan kejayaannya di bidang pengembangan ilmu pengetahuan. Hal ini merujuk pada apa yang ditulis oleh Harun Nasution (1975: 13-14), beliau membagi sejarah peradaban Islam kepada tiga periode. Pertama, Periode Klasik (650-1250) di mana umat Islam mulai membina dan mencapai kemajuan dan kegemilangan peradabannya, Periode Pertengahan (1250-1800) di mana peradaban umat Islam mulai mengalami kemunduran, bahkan sampai pada titik nadir dan Periode Modern (1800- sekarang) di mana umat Islam mulai sadar dan bangkit dari keterpurukan.

(34)

xxxiv

Berawal dari itu muncul gagasan-gagasan baru yang terinspirasi dari cara hidup dan berfikir dunia Islam cepat tersebar di kalangan para pemikir di Eropa (Barat), membuka alam berfikir mereka, menuntut pendobrakan dan pemerdekaan pikiran rakyat dari pembatasan-pembatasan dan hegemoni pikiran dan keyakinan gereja. Pada masa itu pula muncul pemikiran di bidang politik bahwa setiap manusia memiliki hak yang tidak boleh dikangkangi dan diselewengkan oleh pemerintah, dan absolutisme pemerintahan harus segera diakhiri. Perlawanan dan rasionalitas dari kaum tengah (para sarjana) yang mendasari dari perkembangan Barat terlepas dari belenggu kegelapannya yang dalam itu adalah teori social contract (perjanjian masyarakat) yang intinya menyatakan bahwa kekuasaan pemerintah itu ada sebab perjanjian masyarakat yang memberikan wewenang dan kekuasaan kepada sekelompok orang yang dipercaya dan rakyat akan mematuhinya selama hak-hak rakyat dijaga dan tidak disalahgunakan.

(35)

xxxv

Setelah abad pertengahan, rupanya pengertian demokrasi yang dikembangkan berbeda maksud dari para pemikir awalnya. Makna demokrasi yang diutarakan oleh Plato, Aristoteles dan ilmuan yang sezaman dengannya, dalam terminologi Polybius adalah okhlokrasi, yaitu pemerintahan yang dikelola oleh rakyat yang tidak mengerti bagaimana menjalankan pemerintahan dan mengelola negara untuk kepentingan mereka sendiri, dalam bahasa Plato dan kawan-kawan adalah pemerintahan orang-orang dungu.

Demokrasi sekarang dimaknai sebagai bentuk pemerintahan dari suatu kesatuan hidup yang memerintah diri sendiri, yang sebagian besar anggotanya turut mengambil bagian baik secara langsung maupun tidak langsung, terjamin kemerdekaan rohani dan persamaan bagi hukum dan anggota-anggota telah tersliputi oleh semangatnya (W.A. Bonger dalam Edy Purnama, 2007: 41). Lipset mengatakan bahwa demokrasi adalah sistem politik yang memasok kesempatan konstitusional reguler untuk mengubah pemerintahan pejabat (Nahla Shahrouri, 2010). Atribut utama dari demokrasi adalah kedaulatan rakyat (sovereignity), dan ia pula menjadi atribut hukum dari negara. Sebagai atribut negara berarti sovereignity lebih awal keberadaannya dari konsep negara itu sendiri (Fred Isywara, 1964: 92).

(36)

xxxvi

kondisi yang ada pada saat Plato dan Aristoteles mengemukakan ide tentang negara hukum, yaitu merupakan reaksi atas kekuasaan yang absolut, sewenang-wenang (Romli Librayanto, 2008: 11). Demokrasi, kedaulatan rakyat dan negara hukum pada kontennya berprinsip sama, yaitu pendobrakakan atas absolotisme negara dan penekanan pada pentingnya pembatasan kekuasaan pemerintah, seluruh kekuasaan di dalam negara haruslah di pisah dan dibagi ke dalam kekuasaan yang mengenai bidang tertentu.

Kesamaan muatan dari konsep demokrasi dan negara hukum yang terkandung didalamnya kedaulatan rakyat terlihat nyata dari pendapat para ahli, diantaranya Lyman Tower Sargent (1984) yang menyatakan bahwa kunci atau unsur-unsur yang harus terkandung dalam (negara) demokrasi adalah; 1) keterlibatan warga negara dalam pembuatan putusan politik (kebijakan), 2) kesamaan hak bagi setiap warga negara, 3) jaminan kebebasan dan penguatan warga negara, 4) adanya sistem perwakilan dan 5) adanya pemilihan umum.

Senada dengan Sargent, Hendry B. Mayo (1960: 70) pun menjelaskan demokrasi sebagai sistem politik, “a democratie political system is one in wich public politicies are made in a majority basis, by representatve subject ti effective polpular control at periode elections which are conducted on the principle of political freedom”.

Konsep negara hukum hasil rumusan dari international commission of jurist pada tahun 1965 di Bangkok –Thailand, mencirikan negara hukum secara dinamis sebagai berikut;

(37)

xxxvii

menentukan cara prosedural untuk memperoleh cara perlindungan atas hak-hak yang dijamin. 2. Adanya badan kehakiman yang bebas dan tidak

memihak.

3. Adanya pemilihan umum yang bebas. 4. Adanya kebebasan menyatakan pendapat.

5. Adanya kebebasan berserikat/berorganisasi dan beroposisi.

6. Adanya pendidikan kewarganegaraan (Moh. Mahmud MD, 1999: 131-132).

Berkenaan dengan konsep negara hukum Indonesia, Azhary (1995: 144) menyebutkan unsur-unsurnya sebagai berikut;

1. Hukum bersumber pada Pancasila. 2. Kedaulatan rakyat.

3. Pemerintahan berdasar atas sistem konstitusi. 4. Persamaan kedudukan dalam hukum dan

pemerintahan.

5. Kekuasaan kehakiman yang bebas dari kekuasaan lainnya.

6. Pembentuk undang-undang Presiden bersama-sama dengan DPR.

7. Sistem MPR.

Dari semua pernyataan tentang demokrasi dan negara hukum, ada kesepahaman bahwa untuk mencirikan suatu negara bersistem demokrasi dan negara hukum adalah keharusan adanya pemilihan umum secara berkala.

B. Pemilihan Umum di Indonesia

(38)

xxxviii

konstitusi itu dicantumkan pengaturan tentang pemilihan umum sebagai jaminan bahwa Indonesia adalah negara demokrasi dan negara hukum. Samuel P. Hutington (1991: 5-6) menyatakan bahwa satu sistem politik dapat dikatakan demokratis apabila para pembuat keputusan kolektif yang paling kuat dalam sistem itu dipilih melalui suatu pemilihan umum yang berkala, jujur dan adil, serta dalam sistem tersebut para calon atau kandidat bebas bersaing untuk memperoleh suara dan hampir semua penduduk dewasa berhak memberikan suaranya. Maka pemilihan umum dapat dikatakan sebagai wadah ekspresi kedaulatan rakyat dalam rangka menyalurkan aspirasinya dalam rangka memilih kandidat pemimpinya ataupun wakil-wakilnya dalam sebuah sistem pemerintahan yang akan menjalankan negara untuk kepentingan seluruh warga negara.

(39)

xxxix

kedaulatan rakyat yang bermaksud membentuk pemerintahan yang absah serta sarana mengartikulasikan aspirasi dan kepentingan rakyat.

Dalam sistem pemilihan umum di Indonesia, ada pemilihan yang lain yang memiliki kesamaan sistem, yang membedakan hanya lingkup atau wilayah pemilihannya dan tujuan yang hendak dicapai dari pemilihan tersebut; Pemilihan Umum disingkat Pemilu dan Pemilihan Kepala Daerah disingkat Pilkada ada pula yang menyebutnya Pemilihan Umum Kepala Daerah disingkat Pemilukada.

1. Pemilihan Umum

Dalam konstitusi Undang-Undang Dasar 1945, yang dimaksud dengan pemilihan umum adalah pemilihan untuk memilih presiden dan wakil presiden serta wakil-wakil rakyat baik ditingkat Nasional maupun Daerah (pemilihan eksekutif di tingkat pusat dan anggota legislatif pusat dan daerah). Ketentuan pengaturan mengenai pemilu diatur dalam UUD 1945 pada pasal 6A, 18 ayat 4 dan pasal 22E. Model pemilihan umum semacam ini, selepas reformasi telah dijalankan dengan sangat baik oleh penyelenggara pemilu pada tahun 1999, 2004, 2009 dan 2014. Sedangkan sejarah awal pemilu setelah Indonesia merdeka terlaksana dengan baik pada tahun 1955.

Adapun tujuan Pemilihan Umum di adakan menurut Prihatmoko (2003:19) pemilu dalam pelaksanaanya memiliki tiga tujuan yakni:

(40)

xl

2) Pemilu sebagai pemindahan konflik kepentingan dari masyarakat kepada badan badan perwakilan rakyat melalui wakil wakil yang terpilihatau partai yang memenangkan kursi sehingga integrasi masyarakat tetap terjamin.

3) Pemilu sebagai sarana memobilisasi, menggerakan atau menggalang dukungan rakyat terhadap negara dan pemerintahan dengan jalan ikut serta dalam proses politik.

Sejarah dari satu pemilu ke pemilu berikutnya kontestasi hampir selalu berbeda kecuali pada masa Orde Baru yang hanya diikuti oleh tiga kontestan, 2 (dua) partai politik (PPP dan PDI) serta 1 (satu) Golongan Karya. Sebelum dan setelah masa itu kontestasi selalu di ikuti belasan bahkan puluhan partai politik.

Adapun sistem yang digunakan dalam setiap pemilu hampir selalu berubah dan bolak balik dari satu sistem berganti dan kembali pada sistem yang pernah dilakukan, belum lagi ada variasi-variasi dan bahkan perbedaan yang sama sekali lain yang terjadi pada daerah-daerah tertentu. Namun secara keseluruhan seluruh penyelenggaraan pemilu dapat dikatakan baik dan berjalan lancar, bahkan pasca reformasi (pemilu pada awal reformasi) mendapat pujian internasional dan menjadikan Indonesia sebagai negara demokrasi terbesar dan menjadi rujukan bagi pelaksanaan pemilu di beberapa negara.

2. Pemilukada

(41)

xli

membawa angin kencang perubahan dalam sistem politik, pemerintahan dan tata negara, juga mengerek keberanian rakyat untuk berserikat dan berpendapat serta cara berfikir untuk mengembangkan pembangunan bagi kesejahteraan masyarakat sampai ke daerah-daerah.

Setelah Pemilu 1999, terbentuknya DPR dan MPR dengan anggotanya hasil pemilu terbaru, terpilihnya Presiden dan Wakil Presiden yang baru, wacana dan tuntutan agar perubahan sistem yang sentralistik menuju desentralistik di dorong lebih ke depan dengan disertai kebijakan-kebijakan politik, pembangunan dan pijakan hukum sebagai jaminan bagi masyarakat bahwa sistem yang lama telah berubah menuju sistem yang baru (Farkhani, 2011: 38), maka lahirlah UU No. 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah.

Dalam konteks pemilukada, lahirnya UU No. 22 Tahun 1999 memberikan kekuasaan yang lebih besar kepada parlemen lokal (DPRD), termasuk kekuasaan dalam pemilihan kepala daerah (Pemilukada). Dengan dikeluarkannya UU No. 22 Tahun 1999 merupakan sebuah terobosan yang sangat progresif, desentralisasi yang terjadi sangat signifikan. Namun, desentralisasi berhenti pada tingkatan pemerintahan paling bawah, dan bukan berakhir pada masyarakat. Ini jelas berbeda dengan demokratisasi yang secara substansial mengembalikan kekuasaan negara kepada masyarakat. Dengan kata lain UU No. 22 Tahun 1999

(42)

xlii

Hutapea, 2015). Menurut Tommi A. Legowo 2006: 54-55), desentralisasi tanpa demokratisasi cenderung untuk menghasilkan otonomi pemerintahan, dan bukan otonomi masyarakat di daerah. Pada perkembanganya UU No. 22 Tahun 1999 dianggap mempunyai banyak kelemahan dan perlu direvisi.

Disempurnakannya Pasal 18 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD 1945) pada amandemen kedua tahun 2000, semakin mendorong untuk dilakukan pula revisi UU No. 22 Tahun 1999, khususnya mengenai Pilkada secara langsung. Di dalam proses pembahasan. Pasal 18 khususnya ayat (4) UUD 1945 tersebut MPR sepakat membuka ruang kebebasan bagi daerah dalam proses pemilihan kepala daerah, dengan klausul interpretatif : ”Gubernur, Bupati, dan Walikota masing-masing sebagai kepala pemerintah daerah provinsi, kabupaten, dan kota dipilih secara demokratis”. Menurut Jimly Asshiddiqie (2002: 22) perkataan ”dipilih secara demokratis” itu bersifat luwes, sehingga mencakup pengertian Pilkada langsung ataupun Pilkada secara tidak langsung yang dilakukan oleh DPRD.

C. Pemilihan Kepala Daerah di Indonesia

(43)

xliii

demokrasi liberal, demokrasi parlementer, demokrasi terpimpin, demokrasi Pancasila dan demokrasi reformasi.

Gerak roda demokrasi yang berubah dalam tiap episode keindonesiaan tidak menghapus ciri negara demokrasi yang digariskan oleh banyak ilmuan, yaitu adanya pemilihan umum. Pemilihan umum di Indoenesia memiliki sejarah panjang, demikian pula pemilihan kepala daerah yang disingkat pilkada ataupun pemilukada.

1. Sejarah pemilihan kepala daerah

Sejarah pemilihan kepala daerah di Republik ini sepanjang tahun 1955 sampai 2004 tidak ada peraturan perundang-undangan yang memberikan legalisasi pemilihan kepala daerah secara langsung. Kondisi demikian dapat dipahami karena tipikal penguasa dan sistemnya dirancang sedemikian rupa untuk melanggengkan kekuasaannya.

Structural effeciency model dalam menentukan pemimpin-pemimpin lokal lebih disukai oleh penguasa, disamping karena faktor efesiensi dan efektifitas juga menjadi jalan yang sangat mudah bagi penguasa untuk melakukan intervensi, menentukan dan menjamin loyalitas pemimpin-pemimpin daerah pada pemimpin-pemimpin pusat (Farkhani, 2011: 40).

a. Masa penjajahan

(44)

xliv

gewesten, onderafdelingan dan afdelingan yang dipimpin oleh Gubernur, Residen, Asisten Residen, Wedana, Asisten Wedana yang dipilih secara penunjukan oleh Gubernur Jenderal dengan kewajiban pribumi yang menduduki jabatan memberikan upeti.

Rezim pemerintahan Belanda berganti oleh pemerintahan Jepang. Pada Pemerintahan Jepang di Indonesia telah dikeluarkan 3 (tiga) undang-undang yang mengatur tentang penyelenggaraan pemerintahan yang disebut dengan 3 (tiga) osamu sirei 1942/27 yaitu Undang-Undang Nomor 27 tentang perubahan sistem pemerintahan (tertanggal 6-8-2602), Undang-Undang Nomor 28 tentang perubahan syuu (tertanggal 7-8-2602) dan Undang-Undang Nomor 30 tentang mengubah nama negeri dan nama daerah (tertanggal 1-9-2602). Pemerintahan Jepang membagi daerah menjadi karesidenan yang disebut syuu dan residennya disebut syuutyoo. Setelah karisidenan terdapat dua pembagian daerah yang disebut ken dan si yang dikepalai oleh Kentyoo dan Sityoo. Di tingkat kawedanan, keasistenan dan desa dikenal dengan nama Gunson dan Ko sedangkan kepala daerahnya disebut Guntyoo, Sotyoo dan Kutyoo dimana pengangkatannya ditunjuk oleh Pemerintah Jepang (Bungasan Hutapea, 2015). Pada masa ini semua kepala daerah ditunjuk langsung oleh pemerintah penjajah.

(45)

xlv

Pada masa awal kemerdekaan, pemimpin-pemimpin daerah atau kepala daerah masih menggunakan cara yang pernah dijalankan pada masa penjajahan, yakni penunjukan atau pengangkatan langsung oleh pemerintah pusat. Mempertahankan model ini untuk menjaga kepentingan negara yang baru merdeka karena situasi politik, keamanan dan hukum yang belum stabil. Kepentingannya adalah membangun kesatuan dan integrasi seluruh masyarakat Indonesia (Farkhani, 2011: 32).

Ciri utama dari model penunjukkan langsung adalah;

1. Mekanisme pilkada sangat tertutup dan rakyat tidak memiliki akses informasi dan partisipasi.

2. Kekuasaan dan kewenangan pejabat pusat sangat besar, sebaliknya kekuasaan dan kewenangan kepala daerah sangat kecil dan tergantung.

3. Kepala daerah lebih sebagai alat pemerintah pusat daripada pemerintah daerah.

4. Peranan DPRD sangat kecil bahkan dinafikan.

5. DPRD tidak dapat meminta pertanggungjawaban kepala daerah atau sebaliknya kepala daerah bertanggung jawab kepada pemerintah pusat (Joko J. Prihatmoko, 2005: 72).

c. Masa Orde Baru

(46)

xlvi

perwakilan semu, kepala daerah seolah-olah dipilih oleh DPRD akan tetapi penentunya adalah pemerintah pusat. Pada sistem ini seringkali kandidat hanya satu pasang (kontestan tunggal).

Ciri utama dari sistem perwakilan semu adalah;

1. Mekanisme yang digunakan seolah-oleh demokratis atau bahkan tidak ada mekanisme.

2. Kekuasaan atau wewenang pusat menentukan kepala daerah sangat besar. 3. Kepala daerah bertanggungjawab kepada

pemerintah pusat.

4. Peran DPRD sangat terbatas.

5. Partisipasi masyarakat sangat terbatas atau formalitas saja (Joko J. Prihatmoko, 2005: 73).

Sistem perwakilan semu ini berjalan sepanjang berkuasanya rezim Orde Baru. Pada masa ini sangat banyak kepala daerah diduduki oleh anggota ABRI baik yang masih aktif maupun yang telah purnawirawan (Dwi fungsi ABRI).

d. Masa awal reformasi

(47)

xlvii

oleh anggota DPRD sesuai dengan amanat UU No. 22 Tahun 1999.

Ciri utama dari sistem perwakilan ini adalah;

1. Mekanisme pemilihan (di DPRD) terbuka. 2. Akses masyarakat untuk berpartisipasi dan

melakukan kontrol terbuka walau terbatas. 3. Partai politik berperan penting, terutama

dalam penjaringan calon.

4. DPRD melakukan pemilihan dan dapat meminta pertanggungjawaban kepala daerah.

5. Pejabat pusat hanya mengesahkan (Joko J. Prihatmoko, 2005: 75).

e. Masa setelah lahirnya UU No. 32 Tahun 2004 UU No. 32 Tahun 2004 adalah pengganti UU No. 22 Tahun 1999. UU No. 32 Tahun 2004 merupakan interpretasi resmi dari bunyi pasal 18 ayat 4 UUD 1945, bahwa yang dimaksud dari klausul “dipilih secara demokratis” adalah dipilih langsung oleh rakyat dalam mekanisme pemilihan kepala daerah.

Atas amanat UU No. 32 Tahun 2004, pemilihan kepala dearah secara langsung dapat dilaksanakan pada bulan Juni 2005. Sejak tahun itu sampai 2018, rakyat Indonesia sering kali disajikan berita tentang perhelatan pemilihan kepala daerah di seluruh negeri dengan berbagai dinamika plus minus yang menyertainya.

(48)

xlviii

1. Kepala daerah dipilih langsung oleh rakyat. 2. Calon kepala daerah tidak tunggal.

3. Akses masyarakat untuk partisipasi dan melakukan kontrol sangat terbuka.

4. Peran partai politik cukup dominan terutama dalam penjaringan calon kepala daerah.

5. Kriteria calon kepala daerah lebih terperinci (Farkhani, 2011: 35).

6. Kekuatan figur calon kepala daerah lebih diperhitungkan daripada parti pengusungnya (dengan ada beberapa kasus calon independen menjadi pemenang pilkada).

(49)

xlix

prinsip efektifitas dan efesiensi (Muharam, 2015).

Model pemilihannya secara langsung, namun ciri utama sebagaimana tertulis dalam point e terjadi pergeseran yang merubah ciri utama, seperti dalam pilkada serentak tersebut terdapat kasus pasangan calon tunggal dihadapkan dengan kotak kosong (kotak kosong sebagai pemenang) dan figur calon tidak dilihat sebagai faktor dominan penjatuhan pilihan pemilih, tetapi melihat juga partai atau koalisi partai pengusungnya karena sentimen-sentimen tertentu.

2. Sistem pemilihan kepala daerah

Secara umum pemilihan mengenal 2 sistem, langsung dan tidak langsung (perwakilan dan penunjukkan). Dua sistem/model inilah yang menjadi pengalaman Indonesia dalam pemilihan kepala daerah setelah reformasi 1998. Sebelum lahir UU No. 32 tahun 2004, kepala daerah dipilih secara tidak langsung atau dipilih melalui mekanisme perwakilan oleh anggota legislatif di DPRD, setelah Undang-Undang itu lahir kepala daerah dipilih secara langsung dalam sebuah pesta demokrasi berupa pilkada sampai sekarang.

(50)

l

a. Masih ada sisa-sia traumatik pada sistem pemilihan perwakilan semu yang terjadi pada masa Orde Baru dan

b. Arah perubahan pemahaman makna demokrasi dan kedaulatan rakyat untuk diaplikasikan sedekat-dekatnya dengan daulat rakyat, “suara rakyat suara Tuhan”.

Merujuk pada peristiwa amandemen UUD 1945 yang memberikan tambahan klausul pada pasal 18, pada ayat 4 tertulis kalausul “Gubernur, Bupati dan Walikota masing-masing sebagai kepala pemerintahan provisni, kabupaten dan kota dipilih secara demokratis”. Klausul “dipilih secara demokratis” menurut Abdul Mukhtie Fajar (2006: 102) dapat dimaknai dipilih secara langsung maupun dipilih secara tidak langsung. Namun menurut Aidul Fitriciada Azhari (2008: 2) yang saat itu sebagai staf ahli dan mengikuti jalannya persidangan di MPR, klausul itu muncul disebabkan karena belum ada kata sepakat pada sistem pemerintahan yang akan dianut, apakah presidensial murni ataukah semi presidensial sebagaimana naskah asli UUD 1945. Disamping itu untuk mengakomodir beberapa daerah yang karena status kedaerahannya, kepala daerah tidak dipilih secara langsung.

(51)

li

(wacana) kembali untuk kembali pada sistem lama, pemilihan secara tidak langsung.

Memang ada manfaat dari sistem pemilihan langsung, terutama dari aspek demokrasi prosedural dan lebih dekat pada makna demokrasi secara terminologis. Namun harapan lain di luar itu justru tidak menjadi kenyataan, bahkan menjadi beban bagi negara dan masyarakat; politik transaksional menjadi lebih massif, mahar politik dianggap suatu hal yang wajar, hingar bingar kampanye, beaya politik, sosial, ekonomi bahkan psikologi yang cukup berpengaruh (tinggi) bagi negara dan masyarakat pemilih.

Mempertimbangkan banyak hal negatif, terutama efesiensi dana penyelenggaraan pilkada yang menguras APBN, aspek sosiologis dan psikologis masyarakat, wacana pengembalian pada sistem lama (pilkada tidak langsung) kembali ditawarkan.

(52)

lii

Bagi oposisi, lahirnya UU No. 22 Tahun 2014 merupakan koreksi atas kekurangan pelaksanaan pilkada yang dilaksanakan secara langsung. Berdasarkan evaluasi atas penyelanggaran pemilihan gubernur/wakil gubernur, bupati/wakil bupati, walikota/wakil walikota secara langsung sejauh ini menunjukkan fakta bahwa biaya yang dikeluarkan oleh negara dan oleh pasangan calon untuk menyelenggarakan dan mengikuti pemilihan gubernur/wakil gubernur, bupati/wakil bupati dan walikota/wakil walikota secara langsung sangat besar dan berpotensi pada peningkatan korupsi. Kementerian Dalam Negeri mencatat sekitar 330 atau sekitar 86,22% kepala daerah tersangkut kasus korupsi (Bungasan Hutapea, 2015).

Undang-undang yang baru disahkan tersebut segera mendapatkan penolakan yang cukup luas yang sejalan dengan pikiran pemerintah, akhirnya pemerintah mengeluarkan Perppu No. 1 Tahun 2014 yang pada tahun berikutnya menjadi Undang-Undang No. 1 Tahun 2015.

(53)

liii BAB III

PEGIAT DAN PELAKSANA PEMILU DI KOTA SALATIGA DAN PANDANGANNYA TERHADAP

WACANA PEMILIHAN KEPALA DAERAH SECARA TIDAK LANGSUNG

A. Pegiat dan Pelaksana Pemilu di Kota Salatiga

Salatiga sejak zaman dahulu terkenal dengan sebutan kota Swapraja terindah dan ternyaman di masa penjajahan Belanda, karena udaranya sejuk dan pemandangan alam yang cukup indah. Belanda menjadikannya destinasi wisata dan tempat peristirahatan bagi keluarga pejabat Hindia Belanda. Pada zaman penjajahan Belanda telah cukup jelas menentukan batas dan status Kota Salatiga, berdasarkan Staatblad 1917 No. 266 mulai 1 Juli 1917 didirikan Stood Gemente Salatiga yang daerahnya terdiri dari 8 desa.

Kota Salatiga adalah Staat Gemente yang dibentuk berdasarkan Staatblad 1923 No. 393 yang kemudian dicabut dengan Undang-Undang No. 17 tahun 1995 tentang Pembentukan Daerah-Daerah Kecil dalam Lingkungan Provinsi Jawa Timur, Jawa Tengah dan Jawa Barat. Ditinjau dari segi administratif pemerintah dikaitkan dengan kondisi fisik dan fungsi Kotamadya Daerah Tingkat II, keberadaan Daerah Tingkat II Salatiga yang memiliki luas 17,82 km dengan 75% luasnya merupakan wilayah terbangun adalah tidak efektif.

(54)

liv

dengan terbitnya Peraturan Pemerintah No. 69 tahun 1992 yang menetapkan luas wilayah Salatiga menjadi 5.898 Ha dengan 4 Kecamatan yang terdiri dari 22 Kelurahan. Berdasarkan amanat Undang-Undang No. 22 tahun 1999 Tentang Pemerintahan Daerah, Kotamadya Daerah Tingkat II Salatiga berubah penyebutannya menjadi Kota Salatiga (www.kotasalatiga.go.id).

Salatiga mendapat jurulukan kota paling tolerans se-Indonesia setelah Pematang Siantar oleh Setara Institute, sebuah organisasi non geverment yang mempromosikan pluralisme, kemanusiaan, demokrasi dan Hak Asasi Manusia. Setelah mendapatkan predikat kota paling toleran, Pemerintah Kota Salatiga membuat tagline “the city of harmony”.

Historisitas dan prestasi kontemporer yang demikian, memberikan gambaran bahwa masyarakat Kota salatiga termasuk masyarakat “bersumbu panjang” kasus-kasus bentrokan antar kelompok massa, demonstrasi yang berujung anarki serta perilaku destruktif yang menghasilkan keributan kelompok dapat dikatakan tidak ada di kota ini. Begitu pula dalam melaksanakan hajat demokrasi baik pemilihan umum maupun pemilihan kepala daerah, belum ada kasus anarkhisme atau kegaduhan lain yang menyertainya.

(55)

lv

Berkaitan dengan tema penelitian ini, di Kota Salatiga dalam pencarian peneliti hanya ada satu organisasi tempat berkumpulnya pegiat pemilu adalah JPPR (Jaringan Pendidikan Pemilih untuk Rakyat) sebuah konsorsium lembaga yang memiliki konsen dan kapasitas pada pendidikan pemilih dalam rangka penguatan politik masyarakat sipil dan sendi-sendi demokrasi di Indonesia (www.jjpr.or.id). Konsorsium JPPR di Kota Salatiga berkumpul di Kampung Percik.

Sementara itu, yang dimaksud dengan pelaksana pemilu adalah adalah organ negara yang dibentuk secara independen dalam bekerjanya untuk menjalankan pemilu, baik secara teknis maupun regulasinya demi terjaminnya pelaksanaan pemilu sesuai denga prinsip-prinsip pemilu secara umum. Pelaksana pemilu di Kota Salatiga adalah KPUD Kota Salatiga dan lembaga idependen yang dibentuk untuk mengawasi pelaksanaan pemilu adalah Bawaslu Derah Kota Salatiga.

1. JPPR Kota Salatiga

Sebab JPPR (Jaringan Pendidikan Pemilih untuk Rakyat) adalah konsorsium lembaga, maka keterlibatan secara inten dengan lembaga-lembaga (aktivis) pemilu akan berjalan ketika pemilu akan dilaksanakan dan selesai setelah pemilu usai dilaksanakan mereka kembali disibukkan melaksanakan kegiatan mereka sendiri-sendiri secara kelembagaan.

(56)

lvi

dengan menjalankan program-program kerja yang telah dirancang menurut konsen dan kapasitas lembaga.

2. Komisi Pemilihan Umum Daerah (KPUD) Kota Salatiga

Komisi Pemilihan Umum adalah lembaga negara yang dibentuk berdasarkan undang-undang dengan tugas utama sebagai penyelenggara pemilihan umum di semua tingkatan di seluruh Indonesia. Karena daerah-daerah berbentuk provinsi dan kabupaten/kota, maka dibentuklah KPUD-KPUD sejumlah provinsi dan kabuputan/kota.

Kota Salatiga salah satu daerah yang memiliki KPUD. KPUD Kota Salatiga memiliki visi dan misi sebagai berikut;

Visi; Terwujudnya Komisi Pemilihan Umum sebagai penyelenggara Pemilihan Umum yang memiliki integritas, profesional, mandiri, transparan, dan akuntabel, demi terciptanya demokrasi Indonesia yang berkualitas berdasarkan Pancasila dan UUD 1945 dalam wadah Negara Kesatuan Republik Indonesia. Misi:

1. Membangun lembaga penyelenggara Pemilihan Umum yang memiliki kompetensi, kredibilitas dan kapabilitas dalam menyelenggarakan Pemilihan Umum;

(57)

lvii

langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, adil, akuntabel, edukatif dan beradab;

3. Meningkatkan kualitas penyelenggaraan Pemilihan Umum yang bersih, efisien dan efektif; 4. Melayani dan memperlakukan setiap peserta

Pemilihan Umum secara adil dan setara, serta menegakkan peraturan Pemilihan Umum secara konsisten sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku;

5. Meningkatkan kesadaran politik rakyat untuk berpartisipasi aktif dalam Pemilihan Umum demi terwujudnya cita-cita masyarakat Indonesia yang demokratis.

Adapun tugas dan wewenang KPUD dalam melaksanakan pemilihan kepala daerah ditentukan sesuai dengan UU No. 32 Tahun 2007 sebagai berikut;

1. merencanakan program, anggaran, dan jadwal Pemilu Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah Kabupaten/Kota;

2. menyusun dan menetapkan tata kerja KPU Kabupaten/Kota, PPK, PPS, dan KPPS dalam Pemilu Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah Kabupaten/Kota dengan memperhatikan pedoman dari KPU dan/atau KPU Provinsi;

3. menyusun dan menetapkan pedoman yang bersifat teknis untuk tiap-tiap tahapan penyelenggaraan Pemilu Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah Kabupaten/Kota berdasarkan peraturan perundang-undangan; 4. membentuk PPK, PPS dan KPPS dalam pemilu

(58)

lviii

serta Pemilu Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah Kabupaten/Kota dalam wilayah kerjanya; 5. mengoordinasikan, menyelenggarakan, dan

mengendalikan semua tahapan penyelenggaraan Pemilu Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah Kabupaten/Kota berdasarkan peraturan perundang-undangan dengan memperhatikan pedoman dari KPU dan/atau KPU Provinsi;

6. memutakhirkan data pemilih berdasarkan data kependudukan dan menetapkan data pemilih sebagai daftar pemilih;

7. menerima daftar pemilih dari PPK dalam penyelenggaraan Pemilu Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah Kabupaten/Kota;

8. menerima daftar pemilih dari PPK dalam penyelenggaraan Pemilu Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah Provinsi dan menyampaikannya kepada KPU Provinsi;

9. menetapkan pasangan calon kepala daerah dan wakil kepala daerah kabupaten/kota yang telah memenuhi persyaratan;

10. menetapkan dan mengumumkan hasil rekapitulasi penghitungan suara Pemilu Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah Kabupaten/Kota berdasarkan rekapitulasi hasil penghitungan suara dari seluruh PPK di wilayah kabupaten/kota yang bersangkutan dengan membuat berita acara penghitungan suara dan sertifikat hasil penghitungan suara;

(59)

lix

menyerahkannya kepada saksi peserta Pemilu, Panwaslu Kabupaten/Kota, dan KPU Provinsi; 12. menerbitkan keputusan KPU Kabupaten/Kota

untuk mengesahkan hasil Pemilu Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah Kabupaten/Kota dan mengumumkannya;

13. mengumumkan pasangan calon kepala daerah dan wakil kepala daerah kabupaten/kota terpilih dan membuat berita acaranya;

14. melaporkan hasil Pemilu Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah Kabupaten/Kota kepada KPU melalui KPU Provinsi;

15. memeriksa pengaduan dan/atau laporan adanya pelanggaran kode etik yang dilakukan oleh PPK, PPS, dan KPPS;

16. menindaklanjuti dengan segera temuan dan laporan yang disampaikan oleh Panwaslu Kabupaten/Kota;

17. menonaktifkan sementara dan/atau mengenakan sanksi administratif kepada anggota PPK, PPS, sekretaris KPU Kabupaten/Kota, dan pegawai sekretariat KPU Kabupaten/Kota yang terbukti melakukan tindakan yang mengakibatkan terganggunya tahapan penyelenggaraan Pemilu yang sedang berlangsung berdasarkan rekomendasi Panwaslu Kabupaten/Kota dan ketentuan peraturan perundang-undangan;

(60)

lx

19. melaksanakan tugas dan wewenang yang berkaitan dengan Pemilu Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah Provinsi berdasarkan peraturan perundang-undangan dan pedoman KPU dan/atau KPU Provinsi;

20. melakukan evaluasi dan membuat laporan penyelenggaraan Pemilu Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah Kabupaten/Kota;

21. menyampaikan hasil Pemilu Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah Kabupaten/Kota kepada Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi, Menteri Dalam Negeri, bupati/walikota, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten/Kota; dan

(61)

lxi

3. Badan Pengawas Pemilu Daerah (Bawaslu) Kota Salatiga

Badan Pengawas Pemilu atau Bawaslu dibentuk berdasarkan perintah Undang - Undang no 22 Tahun 2007 tentang Penyelenggara Pemilu. Sebelumnya, Pengawas Pemilu merupakan lembaga adhoc yaitu Panitia Pengawas Pemilu atau Panwaslu.

(62)

lxii

Kewenangan utama Pengawas Pemilu adalah mengawasi pelaksanaan tahapan Pemilu, menerima pengaduan, serta menangani kasus-kasus pelanggaran administrasi, pidana Pemilu dan kode etik (www.bawaslu.go.id).

Tugas, Wewenang, Pengawas Pemilu berdasarkan amanat Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum adalah sebagai berikut :

Bawaslu bertugas:

a. Menyusun standar tata laksana pengawasan Penyelenggaraan Pemilu untuk pengawas Pemilu di setiap tingkatan;

b. Melakukan pencegahan dan penindakan terhadap: 1. Pelanggaran Pemilu; dan

2. Sengketa proses Pemilu;

c. Mengawasi persiapan Penyelenggaraan Pemilu, yang terdiri atas:

1. Perencanaan dan penetapan jadwal tahapan Pemilu;

2. Perencanaan pengadaan logistik oleh KPU; 3. Sosialisasi Penyelenggaraan Pemilu; dan

4. Pelaksanaan persiapan lainnya dalam Penyelenggaraan Pemilu sesuai dengan ketentuan peraturan perundangundangan. d. Mengawasi pelaksanaan tahapan Penyelenggaraan

Pemilu, yang terdiri atas:

(63)

lxiii

2. Penataan dan penetapan daerah pemilihan DPRD kabupaten/kota;

3. Penetapan Peserta Pemilu;

4. Pencalonan sampai dengan penetapan Pasangan Calon, calon anggota DPR, calon anggota DPD, dan calon anggota DPRD sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan;

5. Pelaksanaan dan dana kampanye;

6. Pengadaan logistik Pemilu dan pendistribusiannya;

7. Pelaksanaan pemungutan suara dan penghitungan suara hasil Pemilu di TPS;

8. Pergerakan surat suara, berita acara penghitungan suara, dan sertifikat hasil penghitungan suara dari tingkat TPS sampai ke PPK;

9. Rekapitulasi hasil penghitungan perolehan suara di PPK, KPU Kabupaten/Kota, KPU Provinsi, dan KPU;

10. Pelaksanaan penghitungan dan pemungutan suara ulang, Pemilu lanjutan, dan Pemilu susulan; dan

11. Penetapan hasil Pemilu;

e. Mencegah terjadinya praktik politik uang;

f. Mengawasi netralitas aparatur sipil negara, netralitas anggota Tentara Nasional Indonesia, dan netralitas anggota Kepolisian Republik Indonesia; g. Mengawasi pelaksanaan putusan/keputusan, yang

terdiri atas:

Referensi

Dokumen terkait

Perwakilan daerah dalam DPD mencerminkan prinsip representasi territorial atau regional (regional representasi) dari daerah, dalam hal ini provinsi.Dengan demikian, keberadaan

2006, merupakan suatu produk yang diproses dari ikan segar yang mengalami perlakuan : penerimaan bahan baku, penyortiran, pencucian, penimbangan, penyusunan dalam pan,

MatriksP adalah matriks peluang transisi yang berisi berukuran n berisi peluang-peluang transisi seorang pelanggan yang berpindah dari satu status ke status lainnya

Otonomi daerah adalah hak, wewenang dan kewajiban daerah untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan dan kepenting an masyarakat setempat sesuai dengan

Hasil ini juga menunjukkan bahwa sediaan salep ekstrak n-heksan daun majapahit konsentrasi 2% memiliki potensi yang sama kuat dengan kontrol positif (Neomisin

Dan yang terjadi setelah itu adalah, sang suami bersama istri berbelok untuk pulang ke rumah tanpa pengetahuaan kedua anaknya.. Selang beberapa jam kemudian, Kopong menyuruh

Setelah perintah muncul, pasang kabel USB ke porta USB di belakang HP All-in-One, kemudian pasang ujung lain dari kabel tersebut ke.. porta USB pada

Menjadikan kegiatan sukan dan kokurikulum Bola Sepak sebagai satu kegiatan yang Menjadikan kegiatan sukan dan kokurikulum Bola Sepak sebagai satu kegiatan