• Tidak ada hasil yang ditemukan

Dr. Rohidin, S.H., M.Ag.

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Dr. Rohidin, S.H., M.Ag."

Copied!
239
0
0

Teks penuh

(1)
(2)
(3)
(4)

Dr. Rohidin, S.H., M.Ag.

(5)

Konstruksi Baru

Kebebasan Beragama

Menghadirkan Nilai Kemanusiaan yang Adil dan Beradab di Negara Hukum Indoneisa

Dr. Rohidin, S.H., M.Ag.

Cetakan Pertama, Maret 2015

Cetakan Kedua, Edisi Revisi September 2019

Cover: -

Layout: M. Hasbi Ashshidiki

x + 228 hlm

Penerbit:

FH UII Press

Jl. Tamansiswa No. 158 Yogyakarta

Phone/Fac.: 0274-379178/377043

penerbitan.fh@uii.ac.id

(6)

Kata Pengantar

Dengan nama Allah Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang, buku berjudul Rekonstruksi Konsep Kebebasan Beragama di Negara Hukum Indonesia dapat diselesaikan sekalipun masih terdapat banyak kekurangan. Buku ini merupakan refleksi penulis atas fenomena munculnya ragam persepsi di kalangan intelektual Muslim terhadap fatwa MUI terkait dengan aliran sesat keagamaan di Indonesia.

Salah satu ragam persepsi menunjukan bahwa fatwa tersebut sudah berada di jalur yang benar hingga harus dikawal sedemikian ketat meskipun sebagiannya berimplikasi pada tindakan anarkis, persekusi dan intoleransi. Persepsi demikian didasarkan kepada UU PNPS No. 1 Tahun 1965 tentang Pencegahan dan/atau Penodaan Agama. Sebagian persepsi masyarakat yang lain menunjukan bahwa fatwa tersebut sudah berada di jalur yang benar tetapi tidak perlu dikawal sedemikian ketat, karena fatwa hanya sebatas legal opinion yang eksistensinya perlu menghargai dissenting opinion. Persepsi demikian didasarkan pada kenyataan bahwa Negara Hukum Indonesia bukan negara agama tetapi juga bukan negara sekuler. Terakhir, persepsi masyarakat yang menyatakan bahwa fatwa tersebut sudah melanggar basis-basis nilai universal HAM. Persepsi demikian didasarkan pada UU No. 12 Tahun 2005 tentang ICCPR, khususnya Pasal 18.

(7)

Berangkat dari fakta-fakta tersebut, maka upaya untuk merekontruksi konsep kebebasan beragama terkait dengan persepsi intelektual Muslim terhadap fatwa MUI tentang aliran sesat keagamaan di Indonesia berbasis nilai kemanusiaan yang adil dan beradab, sila kedua Pancasila menjadi sebuah keniscayaan.

Sebab, sebagai masyarakat yang hidup di Negara Hukum Indonesia, Pancasila harus dijadikan rechtsidee yang mendasari seperangkat ide, nilai, dan kaidah terpadu dalam menuntun kehidupan berbangsa dan bernegara. Kaidah-kaidah tersebut harus bertujuan untuk menjamin integritas bangsa, membangun demokrasi dalam bingkai nomokrasi, mewujudkan keadilan sosial, dan menciptakan toleransi beragama yang berkeadaban.

Penulis menyadari atas keterbatasan diri dalam menguasai ilmu hukum, teori hukum, dan filsafat hukum yang berkembang sedemikian pesat, serta ilmu-ilmu sosial dan agama yang semakin kompleks. Tanpa pertolongan dari Allah SWT., dan bimbingan dari banyak pihak besar kemungkinan buku ini tidak akan terwujud.

Penulis berharap buku ini menjadi sumbangsih pemikiran bagi perbaikan kehidupan bernegara dan bermasyarakat, utamanya dalam menjaga perdamaian dan saling pemahaman antar pemeluk agama. Karena beragama adalah fitrah, dan kedamaian juga adalah fitrah yang harus diperjuangkan. Kepada siding pembaca, saya haturkan selamat membaca.

Yogyakarta, September 2019 Rohidin

(8)

Daftar Isi

Kata Pengantar ~ v Daftar Isi ~ vii

Bab I : Pendahuluan

A.Potret HAM dalam Lintasan Sejarah dan Pemikiran ~ 2

B. HAM dalam Konstitusi Negara Hukum Indonesia ~ 20

1. HAM dalam Periode UUD 1945 (Pemberlakuan I [1945-1949]) ~ 22

2. HAM dalam Konstitusi RIS 1949 (1949-1950) ~ 29

3. HAM Dalam UUDS 1950 (1950-1959) ~ 32 4. HAM Dalam UUD 1945 (Pemberlakuan II

[1959-Sekarang]) ~ 35

C. Hak Kebebasan Beragama dalam Konstruksi Regulasi di Negara Hukum Indonesia ~ 37

(9)

Bab II : Konsep Dasar Kebebasan Beragama

A. Konsep Kebebasan Beragama di Negara

Hukum Indonesia ~ 47

1. Arti dan Cakupan Konsep Kebebasan Beragama ~ 47

2. Konsep Negara Hukum Pancasila sebagai Pola Prismatik Berkaitan dengan Kebebasan Beragama ~ 53

B. Kebebasan Beragama dalam Tinjauan

Kemanusiaan yang Adil dan Beradab ~ 66 1. Arti dan Cakupan Konsep Kemanusiaan ~

66

2. Konsep Kebebasan Beragama Berbasis Kemanusiaan yang Adil dan Beradab ~ 70 3. Membumikan Civil Society: Menuju

Masyarakat Berkeadilan dan Berkeadaban ~ 73

Bab III : Rentang Basis Ideologi Kebebasan

Beragama

A.Ideologi Partikular-Absolut Basis Pembentukan Persepsi Eksklusif ~ 90

B. Ideologi Universal-Absolut Basis Pembentukan Persepsi Inklusif-Liberal ~ 95 C.Ideologi Pancasila Sebagai Solusi atas

Disharmoni Persepsi dalam Bingkai Kebebasan Beragama ~ 100

(10)

Bab IV : Konstruksi Baru Kebebasan Beragama

A. Potret Intoleransi Keagamaan di Indonesia ~ 107

B. Relasi Agama dan Negara Perspektif Pancasila Berkaitan dengan Konsep Kebebasan Beragama ~ 144

C. Signifikansi Rekonstruksi atas Problematika Konsep Kebebasan Beragama Berbasis Kemanusiaan yang Adil dan Beradab dalam Bingkai Hukum ~ 149

1. Ambiguitas Produk Regulasi Jaminan Kebebasan Beragama: Problem Substansi Hukum ~ 156

2. Kerapuhan Aparatur Penegak Hukum dalam Mengawal Jaminan Kebebasan Beragama: Problem Struktur Hukum ~ 170 3. Krisis Kepercayaan dan Minimnya

Kesadaran Masyarakat terhadap Hukum Kebebasan Beragama: Problematika Budaya Hukum ~ 173

D. Proses dan Konstruksi Baru Konsep Kebebasan Beragama di Negara Hukum Indonesia Berbasis Nilai Kemanusiaan yang Adil dan Beradab ~ 181

Bab V : Penutup ~ 193

Daftar Pustaka ~ 215

(11)

Indeks ~ 223

(12)

Pendahuluan

Sebagai sebuah konsep, HAM telah memiliki akar sejarah yang panjang, termasuk dalam hal ini adalah ideologi1

universalisme dan partikularisme berkaitan dengan budaya dan ________________________

1 Terma ideologi berasal dari kata ideas dan logos. Idea berarti gagasan atau konsep, sedangkan logos berarti ilmu. Pengertian ideologi secara umum adalah sekumpulan ide, gagasan, keyakinan, atau kepercayaan yang menyeluruh dan sistematis dalam bidang politik, ekonomi, sosial, budaya, dan keagamaan. Secara prinsipil terdapat tiga arti utama dari istilah ideologi. Pertama, ideologi sebagai kesadaran palsu. Dalam arti ini, ideologi biasanya dipergunakan oleh kalangan filosof dan ilmuan sosial. Ideologi adalah teori-teori yang tidak berorientasi pada kebenaran, melainkan pada kepentingan pihak yang mempropagandakannya.

Kedua, ideologi dalam arti netral. Dalam pengertian ini, ideologi dipahami sebagai

keseluruhan sistem berpikir, nilai-nilai, dan sikap dasar suatu kelompok sosial atau kebudayaan tertentu. Arti kedua ini terutama ditemukan dalam negara-negara yang menganggap penting adanya suatu “ideologi negara”. Ketiga, ideologi dalam arti keyakinan yang tidak ilmiah. Dalam pengertian ini, ideologi umumnya digunakan dalam filsafat dan ilmu-ilmu sosial yang positivistik. Segala pemikiran yang tidak dapat dibuktikan secara logis-matematis atau empiris adalah suatu ideologi. Termasuk dalam kategori ini adalah persoalan-persoalan moral-etis, asumsi-asumsi normatif, dan pemikiran-pemikiran metafisis. Lihat, Jimly Asshiddiqie, “Ideologi, Pancasila, dan Konstitusi”, Makalah, Mahkamah Konstitusi, Jakarta, hlm. 1-2. Telusuri lebih lanjut dalam, Franz Magnis Suseno, Filsafat Sebagai Ilmu Kritis, Kanisius, Jakarta, 1992, hlm. 230. Bandingkan dengan, Martin Hewitt, Welfare,

Ideology, and Need: Developing Perspectives on the Welfare State, Harvester Wheatsheaf,

Maryland, 1992, hlm. 1 dan 8. Sementara yang dimaksud dengan ideologi dalam buku ini adalah dalam bingkai pengertian pertama, yakni sebagai kesadaran palsu.

(13)

kemanusiaan itu sendiri. Perdebatan dalam rentang pemikiran HAM ini merupakan salah satu akar perdebatan yang cukup panjang terkait kebebasan beragama. Oleh karena itu, agar mendapatkan gambaran yang lebih utuh dan radikal, dalam bab awal ini penulis mengajak pembaca untuk menelisik akar sejarah HAM berkaitan dengan konsep kebebasan beragama. Bab ini akan dimulai dengan sejarah HAM, HAM di berbagai konstitusi yang pernah kita gunakan sampai HAM, spesifiknya hak kebebasan beragama dalam berbagai peraturan yang pernah ada.

A.Potret HAM dalam Lintasan Sejarah dan Pemikiran

HAM merupakan terjemahan dari istilah menselijkegrondrechten dalam bahasa Belanda dan fundamental human rights dalam bahasa Inggris.2 Pengertian mengenai istilah

HAM sangat beragam. Wolhof menjelaskan, ”Manusia mempunyai hak-hak yang sifatnya kodrat. Hak-hak ini tidak dapat dicabut oleh siapa pun juga, dan tidak dapat dipindahtangankan dari manusia satu ke manusia lain.”3

Selanjutnya ia juga menyatakan bahwa hak asasi ini adalah sejumlah hak yang mengakar dalam tabiat kodrati setiap pribadi manusia, justru karena kemanusiaannya yang tidak dapat dicabut oleh siapa pun, karena jika dicabut hilanglah kemanusiaannya itu.4

Selain Wolhof, definisi tentang istilah HAM juga dikemukakan oleh beberapa pakar sebagai berikut:

________________________

2 Jazim Hamidi dan M. Husnu Abadi, Intervensi Negara terhadap Agama: Studi

Konvergensi atas Politik Aliran Keagamaan dan Reposisi Peradilan Agama di Indonesia,UII

Press, Yogyakarta, 2001, hlm. 15. 3 Ibid, hlm. 16.

4 Harum Pudjiarto, Hak Asasi Manusia: Kajian Filosofis dan Implementasinya

(14)

a. Soetandyo Wignyosoebroto: “HAM adalah hak-hak yang melekat secara kodrati pada setiap makhluk yang bersosok biologis sebagai manusia yang memberikan jaminan moral dan legal kepada setiap manusia itu untuk kebebasan dari setiap bentuk penghambaan, penindasan, perampasan, penganiayaan atau perlakuan apa pun lainnya yang menyebabkan manusia itu tidak dapat hidup secara layak sebagai manusia yang dimuliakan Allah.”5

b. Arief Budiman: “HAM adalah hak kodrati manusia, begitu manusia dilahirkan langsung hak asasi itu melekat pada dirinya sebagai manusia, dalam hal ini HAM berdiri di luar undang-undang yang ada, jadi harus dipisahkan antara hak warga negara dan HAM.”6

c. Majda El Muhtaj: “HAM merupakan hak kodrati yang melekat pada diri manusia dan melambangkan kemanunggalan hidup manusia dengan dimensi intrinsiknya.”7

d. Donelly: “Hak-hak asasi manusia adalah hak-hak yang universal, bukan keuntungan, tanggungjawab, keistimewaan, atau beberapa bentuk pemberian lainnya tetapi diberikan sebagai akibat dari martabat seseorang sebagai manusia.”8

e. Franz-Magnis Suseno: “Hak asasi adalah hak yang dimiliki manusia karena ia manusia, berdasarkan harkat yang diterimanya dari Sang Pencipta, bukan karena diberikan oleh masyarakat atau negara.”9

________________________

5 Dikutip dari Jazim Hamidi dan M. Husnu Abadi, loc.cit. 6 Harum Pudjiarto, Op. Cit., hlm. 25.

7 7Majda El Muhtaj, Dimensi-dimensi HAM:Mengurai Hak Ekonomi, Sosial,

dan Budaya, Rajawali Press, Jakarta, 2008, hlm. 14.

8 Jack Donnelly, “Human Right and Human Dignity: An Anallytic Critique of Non-Western Conceptions of Human Right”, The American Political Science

Review, Vol. 76, No. 2., dalam http://links.jstor.org, (Diakses pada tanggal 20

Desember 2010).

9 Franz Magniz-Suseno, Rechtsstaat, Bukan Machsstaat, dalam Mencari Makna

(15)

Mengacu kepada definisi-definisi di atas, Anton Baker, sebagaimana dikutip Harum Pudjiarto, memberi batasan HAM sebagai berikut:

“Hak itu ditemukan dalam hakikat manusia, demi kemanusiaannya semua orang satu persatu memilikinya, tidak dapat dicabut oleh siapa pun, bahkan tidak dapat dilepaskan oleh individu itu sendiri, karena hak itu bukan sekadar hak milik saja, tetapi lebih luas dari itu manusia memiliki kesadaran (berkehendak bebas berkesadaran moral). Manusia makhluk ciptaan Tuhan merupakan makhluk ciptaan tertinggi daripada makhluk ciptaan lainnya, yang di dalam hidupnya manusia dikaruniai Tuhan berupa hak hidup yang merupakan hak asasi paling pokok yang dibawa sejak lahir sebagai anugerah Tuhan.”10

Konsep HAM secara alamiah bisa berasal dari berbagai sumber baik berupa ajaran agama, budaya, atau sifat dasar suatu masyarakat tertentu. Jika merujuk kepada sejarahnya, dapat kita lihat bahwa HAM internasional banyak dipengaruhi oleh budaya masyarakat di negara-negara Barat yang lebih mengedepankan hak-hak sipil dan politik dari individu-individu di dalam suatu negara. Hak-hak tersebut cenderung membatasi kekuasaan negara terhadap masyarakatnya; hak individu untuk berekspresi, beragama, berserikat atau berkumpul, untuk berafiliasi dengan partai politik tertentu atau ikut serta di dalam sistem pemerintah, misalnya. Penggunaan kata “asasi” dalam istilah HAM, sebagaimana diungkapkan oleh Padmo Wahjono, menimbulkan kesan bahwa hak-hak tersebut termasuk (kewajiban-kewajiban) bersifat mutlak adanya. Adanya hak-hak tersebut merupakan identitas yang tidak terpisahkan dari keberadaan dirinya sebagai manusia.11

________________________

10 Harum Pudjiarto, Op. Cit., hlm. 26.

11 Padmo Wahjono, Indonesia Negara Berdasarkan atas Hukum, Ghalia Indonesia, Jakarta, 1983, hlm. 33.

(16)

Pada akhirnya, karena sifat HAM adalah universal, maka hak tersebut tidak saja harus diberikan kepada semua individu, melainkan juga ada kewajiban universal bagi seluruh individu untuk memperlakukan dengan baik individu-individu yang kehilangan haknya. Kewajiban tersebut tidak berdasarkan kondisi maupun syarat materi lainnya seperti melihat latar belakang atau ciri fisik seseorang, melainkan harus dilaksanakan dengan persamaan hak bagi sesama manusia.12

Pemikiran tentang HAM pada dasarnya telah ada sejak era Yunani kuno. Hal ini tidak bisa dilepaskan dari peran Solon sebagai pencetus “konsepsi hak” yang kemudian diadopsi oleh hukum modern.13 Konsepsi tersebut telah mengakhiri era

aristokratis dengan diserahkannya kekuasaan kepada sekelompok kecil orang yang kira-kira terdiri dari seribu orang laki-laki kaya. Solon juga memperkenalkan hak untuk banding kepada pertemuan Majelis (Ekklesia). Dalam sistem ini, semua warga negara yang dipandang baik dan hadir di Phonyx berhak untuk memberikan suaranya, tetapi praktik demokrasi ini belum memasukkan kelompok perempuan, budak, orang asing, dan orang-orang yang tidak bisa membuktikan dirinya anak warga negara. Bahkan, perempuan tidak diperbolehkan untuk pergi ke tempat-tempat umum. Oleh karena itu, keadaan sosio-politik masyarakat Yunani masa itu belum bisa dikatakan telah memenuhi standar “demokrasi modern”.14

________________________

12 Al Khanif, Hukum dan Kebebasan Beragama di Indonesia, Laksbang Mediatama, Yogyakarta, 2010. hlm. 80.

13 Pranoto Iskandar, Hukum HAM Internasional: Sebuah Pengantar Kontekstual, IMR Press, Cianjur, 2010, hlm. 98.

14 Seiring dengan menguatnya individualisme, peran perempuan dan budak juga membaik. Ajaran kaum Stoik menolak pandangan inferioritas moral dan intelektual kaum perempuan. Kaum Stoik merupakan salah satu kelompok aliran filsafat di era Yunani. Mereka disebut juga dengan Stoicin atau Stoa. Disebut demikian karena pelajaran diberikan di lorong bertonggak dan bertembok (stoa) yang disampaikan oleh Zeno (336-264 SM). Zeno memberi gambaran cukup luas tentang hukum alam yang bersifat universal. Akal merupakan pusat kendali untuk

(17)

Dalam tradisi Yunani, pasca-Alexander the Great, kaitannya dengan persoalan HAM setidaknya masih ada dua aliran utama, Stoik dan Epikurean. Kelompok Stoik menekankan pentingnya kemuliaan (virtue), sebagai tandingan dari kenikmatan duniawi (hedonis). Ajaran Stoik dapat dipandang sebagai ajaran yang paling kosmopolitan yang dapat diterima oleh masyarakat pada masa itu. Zeno sebagai perintisnya merangkul persaudaraan umat manusia sebagai ajaran dasarnya. Maka dalam ajaran Stoik semua manusia dipandang sederajat. Tidak ada batas-batas yang berupa budak, status sosial, ataupun hal-hal lainnya yang dijadikan sebagai dasar superioritas satu bangsa terhadap yang lainnya, sehingga dalam pandangannya manusia dimungkinkan untuk membentuk kerajaan dunia.15 Menurut aliran filsafat Stoa atau

kelompok Stoik ini, alam semesta diatur oleh logika/ilmu tentang berpikir (logos/ prinsip rasional), di mana umat manusia memilikinya. Karena itu, manusia akan menaati hukum alam dan tidak mungkin melanggarnya, selama ia melakukan tindakan-tindakan di bawah kontrol akal atau nalar yang berarti mengikuti kehendak alami.16 Sementara dalam pandangan

kelompok Epikurean berlaku hal sebaliknya. Ajaran kelompok ini menyatakan bahwa kenikmatan badaniah merupakan tujuan utama untuk dicapai dalam menjalani kehidupan, kebaikan bagi masyarakat tidak mendapatkan tempat yang penting, tetapi kepentingan individu yang harus menjadi prioritas. Dalam bermasyarakat kepentingan individu dibatasi oleh undang-undang. Penyusunan undang-undang harus mendapat ________________________

mengungkapkan dan mengetahui segala hal termasuk hukum alam. Lihat, A. Masyhur Effendi dan Taufani S. Evandri, HAM dalam Dimensi/Dinamika Yuridis,

Sosial, Politik, dan Proses Penyusunan/ Aplikasi Hukum (Hak Asasi Manusia) dalam Masyarakat, Ghalia Indonesia, Bogor, 2007, hlm. 2.

15 Lihat, Ibid., hlm. 102-103.

(18)

persetujuan tiap individu, sehingga tidak merugikan kepentingan individu itu sendiri. Konsep persetujuan dan kesepakatan warga masyarakat yang dikembangkan oleh Epicurus (341-271 SM) menjadi embrio teori perjanjian masyarakat selanjutnya.17

Pada era selanjutnya, Romawi sebagai pewaris kebudayaan Helenisme secara langsung juga menerima konsep hukum alam sebagai bagian peradabannya. Konsep philantropia/philantropus Yunani terbawa pula menjadi konsep humanitas Romana. Konsep humanitas ini kemudian menjadi payung bagi nilai moral, termasuk aequitas, lenitas, manseutudo, moderatio, iustitia, fides,dan pietas. Karena hal tersebut bangsa Romawi dapat menerima moralitas universalisme, selaku cikal bakal HAM.

Pengaruh tradisi hukum alam ini sangat memengaruhi konsepsi hukum yang diterapkan di Romawi. Marcus Tullius Cicero dalam the Laws menyatakan bahwa “Hukum adalah budi tertinggi, termuat dalam alam, yang memerintah apa yang harus dilakukan dan yang dilarang. Budi ini, yang tertanam kuat dan berkembang penuh dalam pikiran manusia, adalah hukum”. Dalam buku tersebut ia mendasarkan argumennya pada hukum alam dan hak-hak alamiah manusia. Lebih jauh ia mendukung akan ide “kesatuan warga negara selayaknya sebuah kota”. Sumbangan yang cukup menarik berkaitan dengan konsep HAM diberikan oleh Cicero dalam karyanya de Legibus. Dalam karya tersebut Cicero berbicara mengenai hubungan antara hukum alam dan hukum positif, ia berkesimpulan hukum positif harus ________________________

17 Embrio perjanjian masyarakat tersebut dikembangkan lebih lanjut oleh Marsillius (1270-1340), yang menekankan pentingnya peran individu. Kemudian teori ini dikaji dan dikembangkan lagi oleh dua orang filsuf pasca-Renaisans, Thomas Hobbes (1588-1679) dan J.J. Rousseau (1712-1778). Lihat, A. Masyhur Effendi dan Taufani S. Evandri, Op. Cit., hlm. 3-4. Bandingkan dengan Pranoto Iskandar, Op. Cit., hlm. 102-103.

(19)

didasarkan pada hukum alam. Jadi, ketika hukum positif bertentangan dengan hukum alam maka yang pertama haruslah batal. Argumentasi ini memberikan sumbangan yang cukup besar bagi HAM mengingat pada masa itu HAM identik dengan hak-hak alamiah.18

Pasca-runtuhnya imperium Romawi Barat, Gereja Kristen mulai memegang kendali. Meskipun begitu pengaruh dari Romawi masih berlanjut, seperti dipertahankannya bahasa Latin. Hal tersebut, secara langsung atau tidak, memberi jalan bagi diadopsinya tradisi hukum Romawi oleh para rohaniawan Gereja.19 Dalam tataran praktis penerapan hukum Romawi

dalam bidang perdata, perkawinan, dan pewarisan masih dipertahankan oleh gereja.

Konversi kepada agama Kristen oleh para penduduk Romawi memberikan konsekuensi yang cukup luas. Pengaruh utamanya adalah dikedepankannya konsep moralitas dalam segala aspek kehidupan. Keyakinan atas moralitas pun mendapat sambutan dari masyarakat umum yang telah putus asa terhadap pejabat-pejabat yang dikenal korup. Atas dasar ini pula Augustinus mendorong pemerintah supaya campur tangan secara langsung dalam persoalan pemberian sumbangan bagi kaum miskin karena hanya mendasarkan rasa kasihan dianggap tidak cukup. Ia juga berpandangan praktik perbudakan adalah hal yang salah. Gereja kuno juga mengutuk hukuman mati dan ________________________

18 Ibid., hlm. 106-107.

19 Misal St. Augustine yang melakukan “Kristenisasi” terhadap pemikiran Plato dalam Republic. Di samping itu, ia juga mengembangkan doktrin “perang adil”, di mana dalam doktrin tersebut dapat dijumpai penekanan terhadap nilai-nilai kemanusiaan universal. Sementara Thomas Aquinas berpendapat bahwa perang yang didasarkan pada nafsu pribadi semata adalah dosa. Di berbagai daerah Jerman, seperti Kerajaan Visigoth dan Burgundi, hukum Romawi masih diterapkan bagi warga non-Jerman. Bahkan Alaric II, Raja Visigoth, mengadopsi Lex Romana

Wisighothorum, yang memuat ringkasan dan komentar atas Codex Theodosianus dan

berbagai sumber hukum Romawi lainnya. Hal tersebut oleh Zwiegert dan Kort dipandang sebagai sumbangan bagi keberlangsungan hukum Romawi.

(20)

tindak penyiksaan dalam proses hukum. Ini sangat tegas didukung oleh Paus Innocent I.20

Pada abad ke-11 dalam bidang pemikiran hukum terdapat pertentangan antara kaum Legist dan Kanonist. Kaum Legist sangat mengagumi hukum-hukum peninggalan Romawi, sedangkan kaum Kanonist merupakan kelompok yang condong pada ajaran-ajaran Paus. Pertentangan dua kelompok ini meliputi masalah besar yakni hubungan antara kekuasaan duniawi dan Ilahi.21

Pada masa Pemerintahan Papal, bangunan kenegaraan di Eropa yang didasarkan pada Reformasi Gregorian, khususnya Diktat Gregori 1075, menjadikan kekuasaan pemerintahan ada di Gereja. Paus adalah kepala gereja; orang-orang Kristen lainnya adalah Gereja. Paus memiliki kewenangan penuh (plenitudo auctoritatis) dan kekuasaan penuh (plenitudo potestatis). Meskipun pada awalnya kewenangan Paus bersifat terbatas tetapi sejak Gregori VII, Paus menjadi pembuat hukum tertinggi, administrator tertinggi, dan hakim tertinggi. Ia dapat membuat hukum, menerapkan pajak dan menghukum pelaku kejahatan.22

Pada abad dua belas dan tiga belas mulai terdapat kecenderungan baru untuk mengganti majelis dengan dewan. Para anggota dipilih untuk masa tugas beberapa tahun, tetapi kemudian terjadi kooptasi yang mengubahnya menjadi ________________________

20 Ibid., hlm. 111. 21 Ibid., hlm. 114-115.

22 Konstruksi kenegaraan di atas tidak berlaku bagi bangsa Germania. Bangsa ini memiliki keyakinan bahwa kemerdekaan pribadi adalah hal yang penting. Ini dibuktikan dengan menjadikan individu sebagai satuan, bukan komunitas. Walaupun kekuasaan negara terpusat sebagai akibat dari pengaruh dari Romawi, mereka memiliki badan-badan perwakilan. Badan-badan perwakilan inilah yang kemudian menjadi inspirasi bagi parlemen Inggris. Raja merupakan hasil dari proses pemilihan dan hukum dipandang sebagai pernyataan kesadaran mereka. Ibid., hlm. 115.

(21)

pemerintahan aristokrat.23 Pada masa ini terdapat pemikir yang

sangat berpengaruh Thomas Aquinas. Dalam teori hukum kodratinya, Aquinas berpijak pada pandangan thomistik yang mempotulasi hukum kodrati sebagai bagian dari hukum Tuhan yang sempurna dan dapat diketahui melalui penggunaan nalar manusia.24 Aquinas menyatakan bahwa pada dasarnya manusia

adalah makhluk sosial yang membutuhkan masyarakat agar dapat memperkembangkan kepribadiannya dengan mempergunakan rasio yang diberikan oleh alam kepadanya. Sebagai konsekuensi logis, maka diperlukan kestabilan dalam masyarakat agar tidak terjadi kekacauan, karena itulah diperlukan penguasa. Manusia sebagai makhluk sosial harus hidup bermasyarakat untuk mencapai keinginannya, untuk itu dibutuhkan pemimpin. Jika pemimpin tersebut tidak mengejar kepentingan umum maka ia digolongkan zalim. Karena kezaliman dapat merusak masyarakat, maka rakyat memiliki hak untuk menurunkannya bersama-sama. Agar tidak menjadi ________________________

23 Menurut Berman pada akhir abad kesebelas, kedua belas, dan ketiga belas terdapat sebuah komunitas politik yang memiliki delapan karakteristik.

Pertama, Raja tidak lagi sebagai pemimpin spiritual tertinggi, tetapi sebatas

sebagai pemimpin sekuler, dalam bidang spiritual ia merupakan bawahan dari Gereja Roma, yang dikepalai oleh Paus. Kedua, Raja tidak lagi hanya sebagai orang pertama di antara orang-orang bijak, para ksatria dan para tuan tanah, tetapi ia memiliki kekuasaan untuk mengatur langsung semua subjeknya yang berada di wilayah kekuasaannya. Ketiga, sebagai penguasa temporal atas subjeknya tugas utama raja adalah menjaga perdamaian dan melakukan keadilan, dalam praktiknya diartikan sebagai untuk mengontrol kekerasan dan mengatur hubungan sebagai akibat dari penguasaan tanah. Keempat, tugas-tugas tersebut dilakukan oleh sekelompok pejabat kerajaan yang profesional bukan lagi berdasarkan keturunan. Kelima, Raja mendapatkan ketegasan akan hak dan kewajibannya untuk membentuk hukum yang dianggap perlu. Keenam, negara-negara kerajaan memiliki hukumnya sendiri sebagaimana negara-negara-negara-negara kota yang dikepalai walikota atau negara eklesiatik yang dikepalai Paus. Ketujuh, secara teori kekuasaan raja dibatasi oleh berbagai komunitas yang ada di kerajaannya.

Kedelapan, kerajaan terdiri dari profesional elit bersifat internasional yang pada

umumnya memiliki hubungan darah. Ibid., hlm. 116-117.

24 Rhona K. M. Smith (dkk.), Hukum Hak Asasi Manusia, PUSHAM UII, Yogyakarta, 2010, hlm. 12.

(22)

penguasa zalim, maka ia harus seorang hamba Tuhan yang selalu mengharap anugerah-Nya.25 Sejalan dengan kaum Stoik,

Aquinas percaya bahwa hukum manusia (human law), yang bertentangan dengan hukum alam (nature law) bukanlah hukum yang benar.26

Sepanjang sejarah, terutama pada abad ke-17 dan 18, berbagai pemikiran mengenai HAM merupakan hal yang sangat menonjol dalam kajian filsafat, namun dalam tataran praktis dibutuhkan berbagai instrumen untuk memberi kekuatan hukum. Legitimasi hukum ini berfungsi untuk menjamin keberadaan hak asasitiap individu, melindunginya dari berbagai pelanggaran yang mungkin timbul dari individu lainnya atau bahkan dari pemerintah sendiri. Bermula dari Deklarasi Hari Kemerdekaan (Declaration of Independence Day) pada tanggal 4 Juli 1776, sebagai buah keberhasilan revolusi di Amerika, HAM mendapat perhatian serius. Awal revolusi dipicu oleh tingginya pajak yang dikenakan di Amerika tanpa melibatkan pimpinan di Amerika. Reaksi tersebut disampaikan sebagai pembenaran teori kontrak sosial John Locke (1632-1704). Deklarasi yang disusun oleh Thomas Jefferson tersebut antara lain menyatakan: “...bahwa manusia diciptakan sama; bahwa penciptanya telah menganugerahi mereka hak-hak tertentu yang tidak dapat dicabut; bahwa di antara hak-hak tersebut adalah hak untuk hidup, kebebasan, dan mengejar kebahagiaan; bahwa untuk menjamin hak-hak tersebut orang-orang mendirikan pemerintahan....”. Perumusan hak asasi manusia tersebut kemudian secara resmi menjadi dasar konstitusi negara Amerika Serikat pada tanggal 4 Maret 1789.27

________________________

25 Harum Pudjiarto, Op. Cit., hlm. 29.

26 A. Masyhur Effendi dan Taufani S. Evandri, Op. Cit., hlm. 2.

27 Pranoto Iskandar, Op. Cit., hlm. 132. Lihat, A. Masyhur Effendi dan Taufani S. Evandri, Op. Cit., hlm. 40.

(23)

Keberhasilan revolusi Amerika menjadi salah satu pemicu meletusnya revolusi Prancis. Jika di Amerika revolusi bertujuan untuk memerdekakan negara dari penjajahan Inggris, di Prancis revolusi bertujuan untuk menumbangkan orde lama (ancient regime). Pikiran-pikiran John Locke, Montesqiueu, dan J.J. Rousseau mewarnai dan mempercepat revolusi tersebut. Keberhasilan revolusi Prancis tersebut ditandai dengan diikrarkannya Deklarasi Hak-hak Asasi Manusia dan Warga Negara (Declaration des Droits de l’Homme et du Citoyen) tahun 1789. Isi deklarasi tersebut antara lain menyatakan, “Kebahagiaan sejati haruslah dicari dalam kebebasan individu yang merupakan produk dari hak-hak manusia yang suci, tidak dapat dicabut dan kodrati...”. Sasaran setiap asosiasi politik adalah pelestarian hak-hak manusia yang kodrati dan tidak dapat dicabut. Hak-hak tersebut adalah kebebasan (liberty), kepemilikan harta (property), keamanan (safety), dan perlawanan terhadap penindasan (resistance to oppresion ).28

Sebagaimana tampak dalam uraian di atas, bahwa HAM pada dasarnya lebih sebagai konsep etika politik modern dengan gagasan pokok berupa penghargaan dan penghormatan terhadap manusia. Gagasan ini membawa kepada satu tuntutan moral tentang bagaimana seharusnya manusia memperlakukan sesamanya. Jika ditelusuri lebih jauh, sebenarnya tuntutan moral tersebut merupakan ajaran inti dari semua agama. Sebab, semua agama mengajarkan pentingnya penghargaan dan penghormatan terhadap manusia, tanpa ada pembedaan dan diskriminasi. Tuntutan moral itu diperlukan, terutama dalam rangka melindungi seseorang atau suatu kelompok yang lemah atau “dilemahkan” (al-mustadh`af īn) dari tindakan zalim dan semena-mena dari mereka yang kuat dan berkuasa. Karena itu, ________________________

28 A. Masyhur Effendi dan Taufani S. Evandri, Op. Cit., hlm. 41. Lihat juga, Majda El Muhtaj, Op. Cit., hlm. 9.

(24)

esensi dari konsep HAM adalah penghormatan terhadap kemanusiaan seseorang tanpa ada diskriminasi berdasarkan apapun, serta pengakuan terhadap martabat manusia sebagai makhluk termulia di muka bumi.

Konsep HAM tersebut menempatkan manusia sebagai subjek, bukan objek dan memandang manusia sebagai makhluk yang dihargai dan dihormati tanpa membedakan ras, warna kulit, jenis kelamin, jenis gender, suku bangsa, bahasa, maupun agamanya. Karenanya, sebagai makhluk yang bermartabat, manusia memiliki sejumlah hak dasar yang wajib dilindungi, seperti hak hidup, hak berpendapat, hak berkumpul, serta hak beragama, dan hak berkepercayaan. Nilai-nilai HAM mengajarkan agar hak-hak dasar yang asasi tersebut dilindungi dan dimuliakan. HAM mengajarkan prinsip kesetaraan,29

persamaan, dan kebebasan manusia sehingga tidak boleh ada diskriminasi, eksploitasi, dan kekerasan terhadap manusia dalam bentuk apa pun dan juga tidak boleh ada pembatasan dan pengekangan apa pun terhadap kebebasan dasar manusia, termasuk di dalamnya hak kebebasan beragama.

Secara umum DUHAM yang diumumkan PBB tahun 1948 mengandung empat hak pokok. Pertama, hak individual atau hak-hak yang dimiliki setiap orang. Kedua, hak kolektif atau hak masyarakat yang hanya dapat dinikmati bersama orang lain, seperti hak akan perdamaian, hak akan pembangunan dan hak akan lingkungan hidup yang bersih. Ketiga, hak sipil dan politik, antara lain memuat hak-hak seperti: hak atas penentuan nasib sendiri, hak memperoleh ganti rugi bagi mereka yang ________________________

29 Prinsip ini oleh Dworkin, sebagaimana dikutip oleh Pranoto, dinyatakan sebagai setiap manusia, semenjak ia dilahirkan, memiliki nilai-nilai yang dengan sendirinya memiliki atribut yang berbeda, terpisah dan obyektif setara. Sebagai konsekuensinya, melalui prinsip ini manusia dituntut untuk tidak menyakiti orang lain hanya demi kesenangan pribadi atau kelompoknya sendiri. Lebih lanjut telusuri dalam, Pranoto Iskandar, Op. Cit., hlm. 68.

(25)

kebebasannya dilanggar; hak atas kehidupan, hak atas kebebasan berpikir, keyakinan, dan beragama, hak yang sama bagi perempuan dan laki-laki untuk menikmati hak sipil dan politik, hak seorang untuk diberitahu alasan-alasan pada saat penangkapan, persamaan hak, dan tanggung jawab antara suami-istri, hak atas kebebasan berekspresi. Keempat, hak ekonomi, sosial dan budaya, antara lain memuat hak untuk menikmati kebebasan dari rasa ketakutan dan kemiskinan; larangan atas diskriminasi ras, wama kulit, jenis kelamin, gender, dan agama, persamaan hak antara laki-laki dan perempuan untuk menikmati hak ekonomi, sosial dan budaya; hak untuk mendapat pekerjaan; hak untuk memperoleh upah yang adil bagi buruh laki-laki dan perempuan; hak untuk membentuk serikat buruh; hak untuk mogok; hak atas pendidikan: hak untuk bebas dari kelaparan.

Berbagai instrumen hak asasi manusia (HAM) regional maupun internasional memberikan perlindungan dan pengakuan atas kebebasan beragama tanpa memberi batasan atas apa yang disebut sebagai agama itu sendiri. Ketiadaan definisi agama dalam berbagai instrumen HAM ini tidaklah aneh, karena berbagai konstitusi di negara-negara dunia, termasuk Indonesia, memuat hak beragama tetapi tiada memberi batasan pasti apa yang dimaksud dengan agama.

Di dalam hukum internasional modern, DUHAM30 adalah

instrumen internasional hak asasi manusia pertama yang mengatur tentang kebebasan beragama. Deklarasi tersebut ditetapkan oleh Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa ________________________

30 DUHAM merupakan pernyataan definitif yang pertama tentang “HAM” dan yang menyebutkan secara jelas hak- hak itu yang bersifat universal. Dokumen ini adalah kesepakatan internasional yang ditandatangani oleh para pihak (negara) yang menjadi anggota PBB. Walaupun demikian, kesepakatan tersebut tidak mengikat secara hukum (not legally binding) dan tidak menyediakan perlindungan yang dapat dipaksakan.

(26)

(PBB) melalui resolusi No. 217 A (III) pada 10 Desember 1948.31

Dalam DUHAM sendiri, terdapat empat elemen yang patut untuk dijadikan sebagai penekanan: (i) difokuskan pada hak; (ii) pembatasan hanya diberikan pada hak; (iii) keseimbangan antara hak sipil dan politik di satu pihak dan hak-hak sosial, ekonomi, dan budaya di pihak lain; (iv) letak tanggungjawab bagi implementasi ada di tingkat nasional.32

Dalam instrumen internasional, hak kebebasan beragama diatur pada Pasal 18 DUHAM, yang menyatakan bahwa:

Everyone has the right to freedom of thought, conscience and religion; this right includes freedom to change his religion or belief, and freedom, either alone or in community with others and in public or private to manifest his religion or belief in teaching, practice, worship, and observance.33

Meskipun hak kebebasan beragama telah diatur sebagaimana di atas, namun ternyata tidak mudah mengatur hak tersebut secara komprehensif karena adanya perbedaan perspektif yang sangat besar dari negara-negara yang mendukung dan menentang norma kebebasan beragama. Salah satu permasalahan yang paling krusial adalah adanya anggapan dari sebagian masyarakat bahwa konsep dasar HAM dan khususnya hak kebebasan beragama seringkali bertentangan ________________________

31 United Nations, The Universal Declaration of Human Rights (Online) dalam http://www.un.org/en/documents/udhr/, (Diakses pada 23 Desember 2010). Di dalam hierarki hak asasi manusia internasional, kedudukan Majelis Umum adalah sebagai lembaga tertinggi yang membawahi beberapa lembaga lainnya seperti Dewan HAM, dan Komite HAM. Oleh karena itu, Majelis Umum merupakan lembaga internasional yang mempunyai otoritas resmi untuk menginterpretasikan pasal-pasal yang ada dalam DUHAM. Interpretasi atau penjelasan dari lembaga tersebut juga merupakan sumber hukum di dalam hukum internasional yang harus diperhatikan oleh negara-negara di dalam mengimplementasikan norma-norma yang dikandung di dalam deklarasi tersebut. Lihat, Al-Khanif, Op. Cit., hlm. 6.

32 Pranoto Iskandar, Op. Cit., hlm. 359.

33 Tore Lindholm, et.al (ed.), Facilitating Freedom of Religion or Belief: A

(27)

dengan hukum suci agama. Tidak jarang anggapan seperti itu kemudian menjadi pemicu bagi terjadinya pelanggaran kebebasan beragama yang seringkali berujung pada radikalisme agama yang terjadi di berbagai negara.

Pro-kontra terhadap keberadaan Pasal 18 di atas, sebagaimana dilansir Paul Seighart dan dikutip oleh Al-Khanif, sebenarnya telah ada sejak awal rapat pleno Majelis Umum PBB pada saat menyusun draft pasal tersebut. Sampai pada saat ditetapkan, deklarasi tersebut disetujui oleh 48 anggota PBB dengan tidak ada satu pun negara anggota yang menolak. Akan tetapi terdapat 8 negara yang memilih abstain, di antaranya adalah Saudi Arabia. Adapun alasan Saudi Arabia mengambil opsi abstain adalah karena negara tersebut tidak menyetujui aturan yang ada dalam Pasal 18 yang mengatur tentang hak kebebasan beragama.34

Selanjutnya, sebagai upaya untuk lebih mengokohkan kembali penegakan HAM, rumusan tentang hak kebebasan beragama sebagaimana tertuang dalam instrumen DUHAM tersebut dielaborasi dalam ICCPR.35 Jaminan atas hakkebebasan

beragama tersebut ditegaskan, di antaranya dalam Pasal 18 ICCPR yang menyatakan:36

(1) Setiap orang berhak atas kebebasan berpikir, keyakinan dan beragama. Hak ini mencakup kebebasan untuk menetapkan agama atau kepercayaan atas pilihannya sendiri, dan kebebasan, baik secara sendiri maupun ________________________

34 Al-Khanif, Op. Cit.

35 ICCPR merupakan salah satu dokumen hukum internasional—bersama dengan ICESCR dan DUHAM—yang membentuk UUhukum internasional. Di samping itu, ICCPR juga merupakan elaborasi lebih lanjut atas berbagai kebebasan dan hak sipil dan politik yang sebelumnya dimuat dalam DUHAM. Bahkan ada yang berpandangan bahwa ICCPR merupakan pernyataan atas kewajiban HAM dalam Piagam. Lihat, Pranoto Iskandar, Op. Cit., hlm. 438. Lebih lanjut tentang proses perancangan ICCPR dalam Ibid., hlm. 432-437.

36 http://www2.ohchr.org/english/law/ccpr.htm#art18 (Diakses pada tanggal 27 Desember 2010).

(28)

bersama-sama dengan orang lain, baik di tempat umum atau tertutup, untuk menjalankan agama dan kepercayaannya dalam kegiatan ibadah, pentaatan, pengamalan, dan pengajaran.

(2)Tidak seorang pun dapat dipaksa sehingga terganggu kebebasannya untuk menganut atau menetapkan agama atau kepercayaannya sesuai dengan pilihannya.

(3)Kebebasan menjalankan dan menentukan agama atau kepercayaan seseorang hanya dapat dibatasi oleh ketentuan berdasarkan hukum, dan yang diperlukan untuk melindungi keamanan, ketertiban, kesehatan, atau moral masyarakat, atau hak-hak dan kebebasan mendasar orang lain.

(4)Negara Pihak dalam Kovenan ini berjanji untuk menghormati kebebasan orangtua dan apabila diakui, wali hukum yang sah, untuk memastikan bahwa pendidikan agama dan moral bagi anak-anak mereka sesuai dengan keyakinan mereka sendiri.

Ketentuan tentang hak dan kebebasan beragama, baik dalam DUHAM maupun ICCPR, telah menimbulkan beberapa reaksi. Beberapa negara Islam mengkritik DUHAM, karena dianggap telah gagal untuk mempertimbangkan konteks agama dan budaya dari negara-negara Islam. Pada tahun 1982, perwakilan Iran untuk PBB, Said Rajaie-Khorassani, mengartikulasikan posisi negaranya mengenai DUHAM, dengan mengatakan bahwa DUHAM merupakan “pemahaman sekuler tentang tradisi Yudeo-Kristen”, yang tidak dapat dilaksanakan oleh umat Islam tanpa pelanggaran terhadap hukum Islam.37

Sementara itu, upaya untuk mendefinisikan kandungan Pasal 18 ICCPR dalam kerangka Pasal 18 DUHAM dengan memasukkan ________________________

37 Littman, David. “Universal Human Rights and Human Rights in Islam”, Midstream, February/March 1999, dalam, http://web.archive.org/ web/20060501234759/http://mypage.bluewin.ch/ameland/Islam.html, (Diakses pada tanggal 11 Desember 2010).

(29)

kalimat, “hak ini mencakup kebebasan untuk berganti agama atau keyakinan”, menghadapi perbedaan pendapat terutama dari negara-negara muslim seperti Mesir, Saudi Arabia, Yaman, dan Afghanistan, yang memaksakan pencoretan tentang penafsiran atas hak kebebasan berpikir, berkeyakinan, dan beragama, yang mencakup kebebasan mengganti agama atau bahkan menganut pandangan-pandangan ateistik mencuatkan kontroversi. Perbedaan pandangan tersebut akhirnya menimbulkan suatu kompromi untuk mengubah bahasanya menjadi, “hak ini harus mencakup kebebasan untuk menganut atau menerima suatu agama atau kepercayaan atas pilihannya sendiri”, yang lantas diambil secara bulat tanpa syarat. Rumusan ini didasarkan pada usulan-usulan yang diajukan oleh perwakilan dari Brazil, Filipina, dan Inggis.38

Meskipun telah terjadi kesepakatanatas teks tentang kebebasan beragama dalam Pasal 18 ICCPR, namun penafsiran atas teks tersebut masih belum menemukan kesamaan pemahaman. Komite HAM mengindikasikan bahwa kebebasan “untuk menganut atau menerima” mencakup kebebasan “untuk mengganti agama atau kepercayaannya yang sedang dianut dengan yang lain atau menganut pandangan-pandangan ateistik, sebagaimana juga mencakup kebebasan mempertahankan agama atau kepercayaan seseorang”.39 Penafsiran Komite HAM tersebut

tentu saja, berlawanan dengan apa yang dikehendaki oleh negara-negara Muslim.

Sebagai kritik atas dominasi HAM Barat yang dianggap tidak sesuai dengan pandangan ajaran Islam, sekaligus sebagai alternatif pandangantentanghakkebebasan beragama, negara-negara Muslim yang tergabung dalam OKI pada 5 Oktober 1990 ________________________

38 Mashood A. Baderin, Hukum Internasional Hak Asasi Manusia dan Hukum

Islam,terj. Musa Kazhim dan Edwin Arifin, Komisi Nasional Hak Asasi Manusia, Jakarta, 2003, hlm. 121-122.

(30)

mengikrarkan Deklarasi Kairo, sebuah deklarasi tentang kemanusiaan yang sesuai dengan syariah Islam. Kemudian pada 30 Juni 2000, negara-negara Muslim yang menjadi anggota OKIsecara resmi memutuskan untuk mendukung Deklarasi Kairo tentang HAM dalam Islam, sebuah dokumen alternatif yang mengatakan orang memiliki “kebebasan dan hak untuk hidup yang bermartabat sesuai dengan syariah Islam”.40

Deklarasi Kairo tahun 1990 tersebut memuat 24 pasal tentang HAM yang dirumuskan berdasarkan al-Qur’an dan Sunnah. Dalam penerapan dan realitasnya, Deklarasi Kairo memiliki beberapa persamaan dengan pernyataan DUHAM yang dideklarasikan PBB pada tahun 1948.41

Kebebasan untuk mewujudkan satu agama atau kepercayaan dapat tunduk hanya pada pembatasan seperti yang ditentukan oleh hukum dan yang diperlukan untuk melindungi keselamatan masyarakat, ketertiban, kesehatan, atau moral atau hak-hak mendasar dan kebebasan orang lain. Hal tersebut sejalan dengan argumen para sarjana Muslim kontemporer dan beberapa negara Muslim, bahwa yang dilarang oleh hukum Islam bukanlah pindahnya seseorang dari agama itu semata-mata, melainkan penampakannya dalam bentuk yang mengancam keamanan publik, moral masyarakat, dan kebebasan orang lain. Hal tersebut sejalan dengan pengaturan pelaksanaan HAM sebagaimana yang tercantum dalam DUHAM Pasal 29 ayat (2) yang menyatakan:42

“In the exercise of his rights and freedoms, everyone shall be subject only to such limitations as are determined by law solely for the purpose of securing due recognition and respect for the rights and freedoms of others and of meeting the just requirements of morality, public order and the general welfare in a democratic society.”

________________________

40 http://en.wikipedia.org/wiki/UDHR, (Diakses pada tanggal 23 Desember 2010).

41 A. Masyhur Effendi dan Taufani Sukmana Evandri, Op. Cit., hlm. 261. 42 Tore Lindholm, et.al (ed.), Op. Cit., hlm. 875.

(31)

B.HAM dalam Konstitusi Negara Hukum Indonesia

Dalam memahami hakikat konstitusi terdapat dua pandangan, yaitu pandangan normatif yuridis dan pandangan sosiologis empiris. Pandangan sosiologis empiris beranggapan bahwa konstitusi tidak terbatas pada norma hukum dasar yang tertulis dalam satu kitab, melainkan juga tersebar dalam praktik atau konvensi ketatanegaraan. Sedangkan menurut pandangan normatif yuridis, konstitusi sama dengan UUD, yaitu kumpulan dari norma-norma hukum dasar yang tertulis dan terangkum dalam satu kitab.43

Dasar keberadaan konstitusi adalah kesepakatan umum atau persetujuan (consensus) di antara mayoritas rakyat mengenai bangunan yang diidealkan berkenaan dengan negara. Hal tersebut diperlukan oleh rakyat agar kepentingan mereka bersama dapat dilindungi atau dipromosikan melalui pembentukan dan penggunaan mekanisme yang disebut negara. Secara substantif, konsensus yang diwujudkan dalam konstitusi meliputi tiga hal:44

1. Kesepakatan tentang tujuan dan cita-cita bersama.

2. Kesepakatan tentang the rule of law sebagai landasan pemerintahan atau penyelenggaraan negara.

3. Kesepakatan tentang bentuk institusi-institusi dan prosedur-prosedur ketatanegaraan.

Konstitusi yang berlaku dalam Negara Hukum Indonesia saat ini adalah UUD 1945. Sebagai hukum dasar tertulis, UUD 1945 berisikan norma-norma, aturan-aturan atau ketentuan-________________________

43 B. Hestu Cipto Handoyo, Hukum Tata Negara, Kewarganegaraan dan Hak

Asasi Manusia: Memahami Proses Konsolidasi Sistem Demokrasi di Indonesia, Universitas

Atma Jaya Yogyakarta, Yogyakarta, 2003, hlm. 33.

44 Jimly Asshiddiqie, UUD 1945 Sebagai Landasan Konstitusional dalam

Pluralisme Indonesia dalam, Beragama, Berkeyakinan, dan Berkonstitusi: Tinjauan Konstitusional Praktik Kebebasan Beragama/Berkeyakinan di Indonesia, Publikasi

(32)

ketentuan yang harus dilaksanakan dan ditaati yang bersifat mengikat, baik bagi pemerintah maupun bagi setiap warga negara Indonesia di mana pun ia berada.45 Dalam perjalanan

sejarah ketatanegaraan, Republik Indonesia telah memiliki tiga UUD dengan empat kali masa berlaku, yaitu:46

(1)UUD 1945, pertama kali berlaku pada tanggal 18 Agustus 1945 sampai 27 Desember 1949,

(2)Konstitusi Republik Indonesia Serikat, mulai berlaku pada tanggal 27 Desember 1949 sampai 17 Agustus 1950, (3)UUDS 1950, mulai berlaku pada tanggal 17 Agustus 1950

sampai 5 Juli 1959, dan

(4)UUD 1945, berlaku untuk kedua kalinya sejak tanggal 5 Juli 1959 hingga sekarang.

Keempat konstitusi tersebut memiliki karakteristik yang berbeda-beda, karena kemunculannya memang dipengaruhi oleh konteks yang berbeda. Sebagai konsekuensinya, maka secara konseptual juga terjadi perbedaan rumusan materi tentang HAM yang dimuat oleh UUD 1945, Konstitusi RIS maupun UUDS 1950. Bahkan UUD 1945 yang berlaku pertama kali dengan UUD 1945 yang berlaku saat ini juga terdapat perbedaan yang disebabkan oleh adanya empat kali perubahan, terhitung sejak tahun 1999 sampai 2002.

Dalam konteks jaminan atas HAM, konstitusi memberikan arti penting bagi terciptanya paradigma negara hukum, sebagai hasil dari proses dialektika demokrasi. Konstitusi sebagai perwujudan konsensus dan penjelmaan dari kehendak rakyat harus mampu memberikan jaminan atas keberlangsungan hidup berikut HAM secara nyata. Oleh sebab itu, jaminan konstitusi

________________________

45 Subandi Al Marsudi, Pancasila dan UUD ’45 dalam Paradigma Reformasi, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2003, hlm. 130.

46 Muladi (ed.), Hak Asasi Manusia: Hakekat, Konsep, dan Implikasinya dalam

(33)

terhadap HAM merupakan bukti dari hakikat, kedudukan dan fungsi konstitusi itu sendiri bagi seluruh rakyat Indonesia.47

1. HAM dalam Periode UUD 1945 (Pemberlakuan I

[1945-1949])

Diskursus mengenai HAM dalam sejarah Indonesia telah mencuat sejak proses pembentukan negara Indonesia sedang gencar-gencarnya diperjuangkan. Perdebatan ini terekam jelas dalam sidang-sidang BPUPKI dan PPKI yang membahas draftKonstitusi Negara Indonesia yang akan dibentuk.48 UUD

1945 dirancang sejak 29 Mei 1945 sampai 16 Juni 1945 oleh BPUPKI. Badan ini kemudian menetapkan tim khusus yang bertugas menyusun konstitusi bagi Indonesia, yang kemudian dikenal dengan UUD 1945. Para tokoh perumus konstitusi tersebut adalah Radjiman Wedyodiningrat, Ki Bagus Hadi Koesoemo, Oto Iskandardinata, Pangeran Purboyo, Pangeran Suryo Hamidjojo, Soetardjo Kartomihardjo, Soepomo, Abdul Kadir, Mohammad Amir (Sumatera), Abdul Abbas (Sumatera), Ratulangi, Andi Pangerang (keduanya dari Sulawesi), Latuharhary, Pudja (Bali), A.H. Hamidan (Kalimantan), R.P. Soeroso, Abdul Wachid Hasyim, dan Mohammad Hassan (Sumatera).49

Moh. Hatta dalam pembicaraan mengenai dasar negara dalam sidang kedua BPUPKI mengusulkan supaya UUD yang ________________________

47 Majda El-Muhtaj, Hak Asasi Manusia dalam Konstitusi Indonesia: Dari UUD

1945 sampai dengan Amandemen UUD 1945 Tahun 2002, Kencana, Jakarta, 2007,

hlm. 94.

48 BPUPKI atau Dokuritzu Zyunbi Tjoosakai merupakan badan bentukan Jepang yang diketuai oleh Radjiman Wedyodiningrat yang kemudian setelah dibubarkan dibentuk kepanitiaan yang bernama PPKI atau Dokuritzu Zyunbi Iinkai dengan diketuai oleh Soekarno. Lihat, Moh. Mahfud MD, Konstitusi dan Hukum

dalam Kontroversi Isu, PT Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2009, hlm. 116-117.

49 A. Ubaidillah (dkk.), Pendidikan Kewargaan: Demokrasi, HAM dan

(34)

akan dibuat juga memuat tentang adanya jaminan terhadap perlindungan hak asasi manusia. Usul tersebut disetujui oleh Muh. Yamin. Berbeda dengan mereka, Soekarno dan Soepomo menolak usul tersebut dengan alasan bahwa anggota BPUPKI telah sepakat mengenai asas kekeluargaan yang dianut di dalam negara yang akan dibentuk. Penolakan Soekarno dan Soepomo tersebut didasarkan pada pandangan mereka tentang dasar negara—dalam istilah Soekarno disebut dengan “Philosofische Grondslag” dan Soepomo memakai istilah “Staatsidee”—yang tidak berlandaskan pada paham liberalisme dan kapitalisme. Menurut pandangan Soekarno, jaminan perlindungan hak warga negara berasal dari revolusi Prancis yang merupakan basis dari paham liberalisme dan individualisme yang telah menyebabkan lahirnya imperialisme dan peperangan antar-manusia. Pandangan ini secara tegas dinyatakan oleh Soekarno dalam sidang kedua BPUPKI pada tanggal 15 Juli 1945,50 sebagai

berikut:51

“…saya minta dan menangis kepada Tuan-tuan dan Nyonya-nyonya buanglah sama sekali paham individualisme itu. Janganlah dimasukkan dalam UUD kita yang dinamakan ‘rights of citizens’ yang sebagai dianjurkan oleh Republik Prancis itu adanya…”.

“….buat apa kita membikin grondwet. Apa gunanya grondwet yang ada berisi, ‘droits e el homme et du citoyen’, itu, tidak bisa menghilangkan kelaparannya orang miskin yang hendak mati. Maka oleh karena itu, jikalau kita betul-betul hendak mendasarkan negara kita kepada paham-paham kekeluargaan, paham tolong-menolong, paham gotong-________________________

50 Rhona K. M. Smith, (dkk.), Hukum Hak Asasi Manusia, PUSHAM UII, Yogyakarta, 2010, hlm. 238.

51 Dikutip dari Pidato Soekarno pada tanggal 15 Juli 1945 di depan BPUPKI berdasarkan naskah yang dihimpun oleh RM. AB. Kusuma dalam RM. AB. Kusuma (penghimpun), Lahirnya UUD 1945, Badan Penerbit Fak. Hukum UI, Jakarta, 2004, hlm. 352.

(35)

royong, dan keadilan sosial, nyahkan tiap pikiran, tiap-tiap paham individualisme dan liberalisme daripadanya.

Sementara itu, Soepomo dengan semangat yang sama, menolak dimasukkannya hak-hak warga negara dalam UUD dengan mendasarkan pada pandangannya mengenai ide negara integralistik (staatside integralistik), yang menurutnya sesuai dengan sifat dan corak masyarakat Indonesia.52 Menurut paham

tersebut, negara harus bersatu dengan seluruh rakyatnya, sehingga tidak ada pertentangan antara susunan hukum staat dan susunan hukum individu, karena individu tidak lain adalah bagian organik dari staat. Berdasarkan dari hal tersebut, maka hak individu menjadi tidak relevan dalam paham negara integralistik, yang justru relevan adalah kewajiban asasi kepada negara.53 Lebih lanjut Soepomo menyatakan:

“Dalam sistem kekeluargaan sikap warga negara bukan sikap yang selalu bertanya: ‘Apakah hak-hak saya, akan tetapi sikap yang menanyakan: apakah kewajiban saya sebagai anggota keluarga besar, ialah negara Indonesia ini. Bagaimanakah kedudukan saya sebagai anggota keluarga darah (familie) dan sebagai anggota kekeluargaan daerah, misalnya sebagai anggota desa, daerah, negara, Asia Timur Raya dan Dunia itu?’. Inilah pikiran yang harus diinsyafkan oleh kita semua”.

Pandangan Soekarno dan Soepomo tersebut ditentang oleh Moh. Hatta. Penolakan Hatta ini didasari oleh kekhawatiran jika tidak ada hak tersebut dalam UUD akan menjadikan negara yang baru dibentuk menjadi negara kekuasaan. Dalam sidang BPUPKI tersebut secara tegas Hatta menyatakan:

________________________

52 Subandi Al Marsudi, Op. Cit., hlm. 129. 53 Rhona K. M. Smith (dkk.), Op. Cit., hlm. 239.

(36)

“Memang kita harus menentang individualisme... Kita mendirikan negara baru di atas dasar gotong-royong dan hasil usaha bersama. Tetapi suatu hal yang saya khawatirkan, kalau tidak ada satu keyakinan atau satu pertanggungan kapada rakyat dalam UUD yang mengenai hak mengeluarkan suara...

Hendaklah kita memperhatikan syarat-syarat supaya negara yang kita bikin jangan menjadi negara kekuasaan.”

Senada dengan pendapat Moh. Hatta, Muhammad Yamin bersikukuh memperjuangkan agar hak dan kebebasan warga negara dimasukkan secara jelas dalam UUD. Dalam pendapatnya Yamin mengatakan:

“Supaya aturan kemerdekaan warga negara dimasukkan dalam UUD seluas-luasnya. Saya menolak segala alasan yang dimajukan untuk tidak memasukkannya... Saya hanya meminta perhatian betul-betul karena yang kita bicarakan ini hak rakyat. Kalau hal ini tidak terang dalam hukum dasar, ada kekhilafan daripada grondwet; grondwettelijke fout, kesalahan undang-undang hukum dasar, besar sekali dosanya buat rakyat yang menantikan hak daripada republik; misalnya mengenai yang tertuju kepada warga negara yang akan mendapat hak, juga penduduk akan diperlindungi oleh republik ini.”

Pendapat Moh. Hatta dan Muhammad Yamin tersebut juga didukung oleh anggota BPUPKI lainnya, Liem Koen Hian, yang mengusulkan perlunya dimasukkan hak kemerdekaan untuk drukpers dan onschendbaarheid van woorden (pers cetak dan kebebasan mengeluarkan pikiran dengan lisan). Mereka sangat menyadari bahaya otoritarianisme, sebagaimana yang terjadi di Jerman menjelang Perang Dunia II, apabila dalam negara yang

(37)

mau didirikan itu tidak diberikan jaminan terhadap hak warga negara.54

Perdebatan-perdebatan di antara para founding fathers Negara Indonesia di atas masih diwarnai konsepsi dikotomi budaya Barat dan Timur. Dikotomi tentang konsep negara, antara negara berdasarkan kontrak sosial dan negara berdasarkan kekeluargaan.55 Akhirnya, setelah melalui

perdebatan panjang, pada tanggal 16 Juli 1945 persidangan dalam BPUPKI menghasilkan kompromi sehingga beberapa ketentuan tentang hak diterima untuk dimasukkan dalam UUD.UUD RI yang telah dirancang oleh BPUPKI tersebut, dengan beberapa perubahan dan tambahan, akhirnya disahkan dalam sidang pertama PPKI pada tanggal 18 Agustus 1945.56

UUD 1945 yang disahkan oleh PPKI pada dasarnya hanya bersifat sementara, sebagaimana tercantum dalam ayat (2) Aturan Tambahan yang menyatakan: “Dalam enam bulan setelah Majelis Permusyaratan Rakyat dibentuk, Majelis itu bersidang untuk menetapkan UUD”. Pada waktu itu para penyusun UUD 1945 memperkirakan sebelum HUT RI Ke-1, sudah dapat tersusun UUD permanen yang dibuat oleh MPR hasil Pemilihan Umum. Namun situasi politik nasional ternyata lebih terfokus pada upaya mempertahankan kemerdekaan, maka rencana tersebut belum sempat terlaksana.57

________________________ 54 Ibid., hlm. 240.

55 B. Hestu Cipto Handoyo, Op. Cit., hlm. 276.

56 B. Hestu Cipto Handoyo, Op. Cit., hlm. 276. Lihat juga, Muhammad Alim, Demokrasi dan Hak Asasi Manusia dalam Konstitusi Madinah dan UUD 1945, UII Press, Yogyakarta, 2001, hlm. 76-77. Ketika disahkan oleh PPKI, UUD 1945 baru meliputi Pembukaan dan Batang Tubuh, sedangkan Penjelasan baru dicantumkan, setelah naskah resminya dimuat dan disiarkan dalam Berita Republik Indonesia tanggal 15 Februari 1946. Lihat, Subandi Al Marsudi, Op. Cit., hlm. 129. 57 Baca, Ramdlon Naning, Cita dan Citra Hak-Hak Asasi Manusia di Indonesia, Lembaga Kriminologi Universitas Indonesia Program Penunjang Bantuan Hukum Indonesia, Jakarta, 1983.

(38)

Dalam UUD 1945, meskipun dianggap telah memasukkan rumusan tentang hak, namun istilah HAM tidak dicantumkan secara eksplisit, baik dalam Pembukaan, Batang Tubuh maupun Penjelasannya. Menurut Mahfud MD, UUD 1945 hanya sebatas membahas mengenai hak asasi warga, padahal antara hak asasi manusia dan hak asasi warga negara jelas berbeda. HAM berdasarkan pada paham bahwa secara kodrati manusia, di manapun, mempunyai hak-hak bawaan yang tidak dapat dipindahkan, diambil, atau dialihkan, sedangkan hak asasi warga negara hanya mungkin diperoleh ketika seseorang memiliki status sebagai warga negara.58 Sejalan dengan

pandangan tersebut Bambang Sutiyoso juga menyatakan analisisnya bahwa dalam UUD 1945 hanya ditemukan pencantuman dengan tegas tentang hak dan kewajiban warga negara dan hak-hak DPR.59 Penggunaan konsep hak warga

negara (right of citizens) bukan HAM (human rights) tersebut mengandung pengertian bahwa secara implisit paham natural rights yang menyatakan bahwa HAM adalah hak yang dimiliki manusia karena ia lahir sebagai manusia tidak diakui. Sebagai konsekuensi dari konsep tersebut maka negara diposisikan sebagai regulator of rights, bukan sebagai guardian of human rights sebagaimana diposisikan oleh sistem Perlindungan HAM.60

Jaminan dan perlindungan atas hak asasi bagi warga negara ditegaskandalam UUD 1945 akhirnya tertuang pada Pasal 27, 28, 29 ayat (2), 30 ayat (1), 31 ayat (1), dan Pasal 34. Hak-hak yang dirumuskan dalam UUD 1945 tentang hak atas

________________________

58 Mahfud MD, “Undang-undang Politik, Keormasan dan Instrumentasi di Indonesia”, dalam Jurnal Hukum Ius Quia Iustum, Yogyakarta, UII Press No. 10, vol. 5. 1998.

59 Bambang Sutiyoso, “Konsepsi Hak Asasi Manusia dan Implementasinya di Indonesia”, dalam UNISIA, Yogyakarta, UII Press No. 10, vol. 5. 1998.

(39)

persamaan di muka hukum (rights of legal equality) adalah sebagai berikut:

Pasal 27 ayat (1) : “Segala warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya.”61

Pasal 27 ayat (2) : “Tiap-tiap warga negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan.”62

Pasal 28 : Kemerdekaan berserikat dan berkumpul, mengeluarkan pikiran dengan lisan dan tulisan dan sebagainya ditetapkan dengan undang-undang.

Pasal 29 ayat (2) : Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu.

Pasal 30 ayat (1) : Tiap-tiap warga negara berhak dan wajib ikut serta dalam usaha pembelaan negara. Pasal 31 ayat (1) : Tiap-tiap warga negara berhak mendapat

pengajaran.

Pasal 34 : Fakir miskin dan anak-anak yang terlantar dipelihara oleh negara.

Tidak dicantumkannya rumusan tentang HAM secara tegas dalam UUD 1945 memang telah memicu timbulnya ________________________

61 Ayat ini menunjukkan adanya pengakuan dan jaminan atas persamaan hak semua warga negara dalam hukum dan pemerintahan (right of legal equality), tanpa membedakan ras, suku, golongan, agama, atau pun bentuk diskriminasi lainnya.

62 Ayat ini menunjukkan adanya pengakuan dan jaminan terhadap martabat manusia (human dignity).

(40)

berbagai interpretasi terhadap kualitas muatan dan jaminan UUD 1945 atas HAM. Meskipun begitu, menurut Majda, ada hal yang patut untuk mendapatkan apresiasi positif, yaitu keberhasilan founding fathers Negara Indonesia dalam memformulasikan sebuah tatanan kehidupan nasional dalam jangka waktu yang sangat terbatas dikarenakan kejaran waktu agar UUD dapat selesai sebagai syarat minimal berdirinya sebuah negara. Pada masa itu, UUD 1945 telah dapat dikategorikan sebagai konstitusi modern yang di dalamnya mengatur perihal lembaga-lembaga kenegaraan berikut mekanisme ketatanegaraan, serta jaminan atas hak, jauh sebelum masyarakat internasional merumuskan HAM dalam DUHAM pada forum PBB, 10 Desember 1948.63

2. HAM dalam Konstitusi RIS 1949 (1949-1950)

Kondisi sosial politik yang belum kondusif pasca-proklamasi, dalam tataran implementatif, berakibat UUD 1945 pada masa permulaan diberlakukannya tidak berjalan efektif. Pada masa itu serangkaian perjuangan fisik maupun diplomatis menjadi fokus tindakan maupun pemikiran bangsa Indonesia sebagai upaya untuk mempertahankan eksistensi NKRI. Era 1945-1949, yang dalam istilah Arthur dikatakan sebagai establishment of a federal form government.64 Kekalahan Jepang atas Sekutu memberikan implikasi politik bagi Indonesia. Belanda dengan segala cara berupaya menancapkan kembali politik kolonialismenya di Indonesia. Bahkan ancaman atas kedaulatan negara Indonesia tersebut tidak hanya dari rongrongan Pemerintah Belanda, namun juga dari tindakan-tindakan separatis dari dalam negeri yang muncul secara sporadis.

________________________

63 Majda El-Muhtaj, Op. Cit., hlm. 100-101. 64 Ibid., hlm. 72.

(41)

Konfrontasi yang berkepanjangan antara Indonesia dan Belanda tersebut akhirnya membuat Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) turun tangan. PBB mendesak kedua belah pihak agar menyelesaikan konflik tersebut melalui jalan damai dengan melibatkan pihak ketiga yakni BFO (Byeenkomst voor Federal Overleg), sebuah ikatan negara-negara bagian bentukan Belanda. Sebagai upaya untuk mewujudkan resolusi PBB tersebut, pada tanggal 23 Agustus sampai dengan 2 November 1949 dilaksanakan konferensi di Den Haag, Belanda, yang dikenal sebagai Konferensi Meja Bundar (KMB). KMB menghasilkan tiga keputusan mendasar. Pertama, pembentukan Negara Republik Indonesia Serikat (RIS). Kedua, penyerahan kedaulatan kepada RIS. Ketiga, pembentukan UNI-RIS-Belanda.65

Sebagai dasar berdirinya RIS hasil KMB, delegasi RI bersama dengan BFO merancang sebuah UUD yang diberi nama Konstitusi RIS. Pada tanggal 27 Desember 1949 jam 10.17 pagi, di hadapan ketiga delegasi Ratu Juliana menandatangani Akta Penyerahan Kedaulatan. Peristiwa tersebut membawa konsekuensi pada berlakunya semua persetujuan hasil KMB dan berlakunya Konstitusi RIS 1949. Dengan berdirinya RIS, maka posisi RI hanya sebagai salah satu “Negara Bagian” dalam RIS, dengan wilayah kekuasaan sebagaimana yang disepakati dalam Perjanjian Renville. Demikian juga dengan berlakunya Konstitusi RIS, maka UUD 1945 hanya berlaku dalam Negara Bagian RI. Secara anatomik, Konstitusi RIS tersusun atas dua bagian, yakni Pembukaan dan Batang Tubuh yang memuat 6 bab dan 197 pasal, jauh lebih banyak jika dibandingkan dengan UUD 1945. Konstitusi tersebut sebenarnya hanya dimaksudkan untuk bersifat sementara, sebagaimana ditegaskan dalam Pasal 186 yang berbunyi, “Konstituante (Sidang Pembuat Konstitusi) ________________________

(42)

bersama-sama dengan Pemerintah selekas-lekasnya menetapkan konstitusi Republik Indonesia Serikat”.66

Menariknya, Konstitusi RIS memberi penekanan yang signifikan tentang HAM. Dalam Konstitusi RIS butir-butir HAM tidak hanya disebut secara eksplisit, tetapi cakupannya juga lebih luas jika dibandingkan dengan UUD 1945. Ada 35 pasal (Pasal 7 hingga Pasal 41) yang memberi jaminan konstitusional atas HAM. Rumusan tentang HAM dalam konstitusi tersebut diatur dalam bagian tersendiri, yakni Bab I, Bagian 5 Hak-hak dan Kebebasan-kebebasan Dasar Manusia, tercantum dalam 27 pasal. Bahkan Konstitusi RIS juga mengatur tentang kewajiban asasi negara dalam hubungannya dengan penegakan HAM, yakni pada Bab I, Bagian 6 Asas-asas Dasar, yang terbentang pada 8 pasal.67 Rumusan HAM tersebut

ditempatkan mendahului bagian-bagian lain yang mengatur lembaga negara dan kewenangannya. Hal tersebut menunjukkan bahwa dimensi HAM dalam Konstitusi RIS lebih diutamakan daripada kekuasaan negara.

Konstruk HAM dalam tubuh konstitusi RIS yang tercantum dalam bagian 5 Hak dan Kebebasan Dasar Manusia tersebut bisa digambarkan sebagai berikut:

“Penekanan terhadap penegakan dan jaminan atas HAM dalam Konstitusi RIS secara historis sangat dipengaruhi oleh DUHAM, yang diikrarkan pada 10 Desember 1948. Diseminasi HAM versi PBB tersebut dalam konteks internasional pada waktu itu sangat mempengaruhi konstitusi-konstitusi negara di dunia, termasuk Konstitusi RIS.68

________________________ 66 Lihat, Ibid., hlm. 74-75. 67 Ibid., hlm. 102. 68 Ibid., hlm. 102.

(43)

3. HAM Dalam UUDS 1950 (1950-1959)

Konstitusi RIS yang dinyatakan berlaku pada 27 Desember 1949 ternyata tidak berusia panjang. Momentum peringatan Hari Ulang Tahun Ke-5 RI, 17 Agustus 1950 menandakan sebuah era baru bagi iklim ketatanegaraan Indonesia. Pada saat itu Konstitusi RIS dengan segala konsekuensinya berubah menjadi UUDS 1950.UUDS 1950 merupakan bukti historis kembalinya Indonesia kepada bentuk NKRI. Perubahan dari Konstitusi RIS menjadi UUDS 1950 dilatarbelakangi oleh desakan rakyat yang menghendaki negara kesatuan. Bentuk negara serikat di mana wilayah-wilayah Indonesia berada dalam negara-negara bagian ternyata telah mengakibatkan disharmoni di kalangan masyarakat. Bahkan tidak jarang era Pemerintahan Federal Indonesia telah menciptakan revolusi fisik di beberapa wilayah Indonesia.69

Kembalinya bentuk negara kesatuan tersebut juga tidak lepas dari upaya golongan unitaris yang menghendaki Indonesia menjadi negara kesatuan kembali dengan menyarankan kepada negara-negara bagian agar mau bergabung dengan RI yang berkedudukan di Yogyakarta. Usaha tersebut berhasil, terbukti mulai bulan Mei 1950 anggota RIS tinggal tiga negara bagian yaitu RI, Negara Sumatera Timur, dan Negara Indonesia Timur.70

________________________

69 Ramdlon Naning, Cita dan Citra Hak-Hak Asasi Manusia di Indonesia, Lembaga Kriminologi Universitas Indonesia Program Penunjang Bantuan Hukum Indonesia Jakarta, Jakarta, 1983, hlm. 82. Bandingkan dengan, Majda El-Muhtaj,

Op. Cit., hlm. 76.

70 Upaya penggabungan negara-negara bagian tersebut sebenarnya harus dilakukan dengan UU Federal, sesuai dengan konstitusi RIS, sebagaimana yang diamanatkan dalam Pasal 44; “Perubahan daerah sesuatu daerah bagian, demikian pula

masuk ke dalam atau menggabungkan diri kepada suatu daerah bagian yang telah ada, hanya boleh dilakukan oleh sesuatu daerah ... menurut aturan-aturan yang ditetapka dengan UU Federal .... Kenyataannya, penggabungan tersebut tidak berdasarkan UU Federal.

Maka, penggabungan tersebut disahkan dengan UU Darurat No. 11 tahun 1950 yang dikeluarkan dengan berlandaskan pada Pasal 139 KRIS yang menyatakan; (1)

Referensi

Dokumen terkait

Isi tulisan harus memenuhi syarat-syarat suatu karya ilmiah yang utuh, yaitu adanya rumusan masalah yang mengandung nilai kebaruan, metodologi pemecahan masalah, dukungan data

Penilaian efikasi diri merupakan proses penarikan kesimpulan yang mempertimbangkan sumbangan faktor kemampuan dan bukan kemampuan pada keberhasilan dan kegagalan

q Penyidik Pegawai Negeri Sipil yang selanjutnya disingkat PPNS adalah pejabat pegawai negeri sipil tertentu yang diberi wewenang khusus oleh undang-undang untuk melakukan

Dalam rangka merevisi buku Sejarah Kota Cimahi ini, kami melakukan penelitian di lapangan dengan mendatangi lokasi di seputar Cimahi, baik lokasi yang telah disebut

Penelitian ini merupakan penelitian eksperimental dan bersifat komparatif dengan dua perlakuan pada 30 orang wanita berusia 20-25 tahun dengan mengukur volume

penafsir yang melakukan penafsiran berdasarkan aturan-aturan normatif, dengan senantiasa mengkaitkan tafsir dengan kemampuan memahami makna nahwu, sharaf atau alat

Berdasarkan analisis pengamalan tersebut selanjutnya dapat dikembangkan strategi pembelajaran yang dipilih antara lain dapat meliputi bagaimana melakukan pendahuluan agar

Hal ini sebagaimana disampaikan oleh Nur Mukminah berikut: Dalam melakukan penilaian terhadap mata pelajaran agama Islam, ada tiga ranah yang saya nilai, yaitu ranah kognitif yaitu