BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1Tinjauan Teoritis
2.1.1 Tanggung Jawab Sosial Perusahaan
Keraf (1998), mengartikan CSR sebagai komitmen perusahaan untuk
mempertanggungjawabkan dampak operasinya dalam dimensi sosial, ekonomi,
dan lingkungan, serta terus menerus menjaga agar dampak tersebut menyumbang
manfaat kepada masyarakat dan lingkungan hidupnya. The World Business
Council for Sustainable Development (WBCSD) mendefinisikan CSR sebagai
“business’ commitment to contribute to sustainable economic development,
working with employees, their families, the local community, and society at large
to improve their quality of life.” Yaitu komitmen perusahaan dalam
pengembangan ekonomi yang berkesinambungan dalam kaitannya dengan
karyawan beserta keluarganya, masyarakat sekitar dan masyarakat luas pada
umumnya, dengan tujuan peningkatan kualitas hidup mereka (Solihin, 2010 :
186).
Sejalan dengan definisi di atas, Maignan dan Farrel (2004) mendefenisikan
CSR sebagai “ A business acts in socially responsible manner when its decision
and actions for balance diverse when its decision and actinons for and balance
diverse stakeholder interest”. Defenisi ini menekankan perlunya memberikan
beragam dalam setiap keputusan dan tindakan yang diambil oleh para pelaku
bisnis melalui perilaku yang secara sosial bertanggung jawab.
Berdasarkan definisi-definisi di atas, maka tanggung jawab sosial
perusahaan (Corporate Social Responsibility) dapat diartikan sebagai suatu
konsep bahwa organisasi khususnya (namun bukan hanya) perusahaan adalah
memiliki suatu tanggung jawab terhadap konsumen, karyawan, pemegang saham,
komunitas, dan lingkungan dalam aspek operasional perusahaan. Tanggung jawab
sosial berhubungan erat dengan dengan ‘pembangunan berkelanjutan’, dimana ada
argumentasi bahwa suatu perusahaan dalam melaksanakan aktivitasnya harus
mendasarkan keputusannya tidak semata berdasarkan faktor keuangan, misalnya
keuntungan atau dividen melainkan juga harus berdasarkan konsekuensi sosial
dan lingkungan untuk saat ini maupun untuk jangka panjang.
Sebagai bagian dari lingkungan masyarakat, maka perusahaan perlu
memiliki tanggung jawab bahwa kegiatan yang dilakukannya membawa ke arah
perbaikan lingkungan masyarakat pada umumnya, dan bukan sebaliknya. Dengan
demikian, sudah semestinya perusahaan perlu menyadari bahwa dirinya memiliki
apa yang dinamakan dengan tanggung jawab sosial.
Namun kenyataannya masih banyak perusahaan tidak mau menjalankan
program-program CSR karena melihat hal tersebut hanya sebagai pengeluaran
biaya (cost center). CSR memang tidak memberikan hasil keuangan dalam jangka
pendek, namun CSR akan memberikan hasil baik langsung maupun tidak
langsung pada keuangan perusahaan di masa mendatang. Dengan demikian
perusahaan akan terjamin dengan baik. Oleh karena itu, program-program CSR
lebih tepat apabila digolongkan sebagai investasi dan harus menjadi strategi bisnis
dari suatu perusahaan.
Kreitner (1992) mengemukakan empat bentuk strategi pelaksanaan
program yang dilakukan oleh perusahaan dalam konteks tanggung jawab
sosialnya, di antaranya:
a. Strategi Reaktif ( Reactive Social Responsibility Strategy )
Kegiatan bisnis yang melakukan strategi reaktif dalam tanggung jawab sosial cenderung menolak atau menghindarkan diri dari tanggung jawab sosial.
b. Strategi Defensif ( Defensive Social Responsibility Strategy )
Strategi defensif dalam tanggung jawab sosial yang dilakukan oleh perusahaan terkait dengan penggunaan pendekatan legal atau jalur hukum untuk menghindarkan diri atau menolak tanggung jawab sosial .
c. Strategi Akomodatif ( Acomodative Social Responsibility Strategy )
Strategi Akomodatif merupakan tanggung jawab sosial berupa pelayanan kesehatan, kebersihan, dan lain sebagainya, yang dijalankan perusahaan dikarenakan adanya tuntutan dari masyarakat dan lingkungan sekitar akan hal tersebut, bukan dikarenakan perusahaan menyadari perlunya tanggung jawab sosial.
d. Strategi Proaktif ( Proaktive Social Responsibility Strategy)
Perusahaan memandang bahwa tanggung jawab sosial adalah bagian dari tanggung jawab untuk memuaskan stakeholders. Jika stakeholders terpuaskan, maka citra positif terhadap perusahaan akan terbangun.
Dauman dan Hargreaves (1992) dalam Hasibuan (2001) menyatakan
bahwa tanggung jawab perusahaan dapat dibagi menjadi tiga level sebagai
berikut:
1. Basic responsibility (BR)
2. Organization responsibility (OR)
Pada level kedua ini menunjukan tanggung jawab perusahaan untuk memenuhi perubahan kebutuhan ”Stakeholder” seperti pekerja, pemegang saham, dan masyarakat di sekitarnya.
3. Sociental responses (SR)
Pada level ketiga, menunjukan tahapan ketika interaksi antara bisnis dan kekuatan lain dalam masyarakat yang demikian kuat sehingga perusahaan dapat tumbuh dan berkembang secara berkesinambungan, terlibat dengan apa yang terjadi dalam lingkungannya secara keseluruhan.
Penerapan CSR dalam perusahaan-perusahaan diharapkan selain memiliki
komitmen finansial kepada pemilik atau pemegang saham, tapi juga memiliki
komitmen sosial terhadap para pihak lain yang berkepentingan, karena CSR
merupakan salah satu bagian dari strategi bisnis perusahaan dalam jangka
panjang. Adapun tujuan dari corporate social responsibility ( CSR ), (Saputri,
2011):
1. Untuk meningkatkan citra perusahaan dan mempertahankan, biasanya secara implisit, asumsi bahwa perilaku perusahaan secara fundamental adalah baik.
2. Untuk membebaskan akuntabilitas organisasi atas dasar asumsi adanya kontrak sosial di antara organisasi dan masyarakat. Keberadaan kontrak sosial ini menuntut dibebaskannya akuntabilitas sosial.
3. Sebagai perpanjangan dari pelaporan keuangan tradisional dan tujuannya adalah untuk memberikan informasi kepada investor.
Untuk itulah maka pertanggungjawaban sosial perusahaan (CSR) perlu
diungkapkan dalam perusahaan sebagai wujud pelaporan tanggung jawab sosial
kepada masyarakat.
2.1.2 Pengungkapan Tanggung Jawab Sosial Perusahaan
Pengungkapan didefenisikan sebagai suatu usaha perusahaan untuk
menyeimbangkan komitmen-komitmennya terhadap kelompok dan individual
jenis pengungkapan dalam pelaporan keuangan yang telah ditetapkan oleh badan
yang memiliki otoritas di pasar modal. Pertama adalah ungkapan wajib
(mandatory disclosure), yaitu informasi yang harus di ungkapkan oleh emiten
yang diatur oleh peraturan pasar modal di suatu Negara. Kedua adalah ungkapan
sukarela (voluntary disclosure), yaitu ungkapan yang dilakukan secara sukarela
oleh perusahaan tanpa diharuskan oleh standar yang ada. Pengungkapan sosial
yang diungkapkan perusahaan merupakan informasi yang sifatnya sukarela.
Pengungkapan tanggung jawab sosial perusahaan merupakan proses
pengkomunikasian dampak sosial dan lingkungan dari kegiatan ekonomi
organisasi terhadap kelompok khusus yang berkepentingan dan terhadap
masyarakat secara keseluruhan. Alasan-alasan perusahaan mengungkapkan
kinerja sosial secara sukarela menurut Murtanto (2006) adalah:
1. Internal Decision Making
Manajemen membutuhkan informasi untuk menentukan efektivitas informasi sosial tertentu dalam mencapai tujuan sosial perusahaan. Walaupun hal ini sulit diidentifikasi dan diukur, namun analissis secara sederhana lebih baik daripada tidak sama sekali.
2. Product Differentiation
Manajer perusahaan memiliki insentif untuk membedakan diri dari pesaing yang tidak bertanggung jawab secara sosial kepada masyarakat. Akuntansi kontemporer tidak memisahkan pencatatan biaya dan manfaat aktivitas sosial perusahaan dalam laporan keuangan, sehingga perusahaan yang tidak peduli sosial akan terlihat lebih sukses daripada perusahaan yang peduli. Hal ini mendorong perusahaan yang peduli sosial untuk mengungkapkan informasi tersebut sehingga masyarakat dapat membedakan mereka dari perusahaan lain.
3. Enlightened Self Interest
Perusahaan melakukan pengungkapan untuk menjaga keselarasan sosialnya dengan para stakeholder karena mereka dapat mempengaruhi pendapatan penjualan dan harga saham perusahaan.
Ada dua pendekatan yang secara signifikan berbeda dalam melakukan
pengungkapan tanggung jawab sosial perusahaan mungkin diperlakukan sebagai
suatu suplemen dari aktivitas akuntansi konvensional. Pendekatan ini secara
umum akan menganggap masyarakat keuangan sebagai pemakai utama
pengungkapan tanggung jawab sosial perusahaan dan cenderung membatasi
persepsi tentang tanggung jawab sosial yang dilaporkan. Pendekatan alternatif
kedua dengan meletakkan pengungkapan tanggung jawab sosial perusahaan pada
suatu pengujian peran informasi dalam hubungan masyarakat dan organisasi.
Pandangan yang lebih luas ini telah menjadi sumber utama kemajuan dalam
pemahaman tentang pengungkapan tanggung jawab sosial perusahaan dan
sekaligus merupakan sumber kritik yang utama terhadap pengungkapan tanggung
jawab sosial perusahaan (Saputri, 2011).
Dalam menyusun dan mengungkapkan informasi tentang aktivitas
pertanggungjawaban sosial perusahaan, Zhegal & Ahmed dalam Rosmasita
(2007), mengidentifikasi hal-hal yang berkaitan dengan pelaporan sosial
perusahaan, yaitu sebagai berikut:
1. Lingkungan
Bidang ini meliputi aktivitas pengendalian pencemaran dan pelestarian lingkungan hidup yang meliputi : pengendalian terhadap polusi, pencegahan atau perbaikan terhadap kerusakan lingkungan, konservasi alam, dan pengungkapan lain yang berkaitan dengan lingkungan.
2. Energi
Bidang ini meliputi aktivitas dalam pengaturan penggunaan energi dalam hubungannya dengan operasi perusahaan dan peningkatan efisiensi terhadap produk perusahaan. Meliputi, konservasi energi, efisien energi, dan lain-lain.
3. Praktik bisnis yang wajar
Bidang ini meliputi pemberdayaan terhadap minoritas dan perempuan, dukungan terhadap usaha minoritas, tanggung jawab sosial.
4. Sumber daya manusia
Aktivitas tersebut antara lain, program pelatihan dan peningkatan ketrampilan, perbaikan kondisi kerja, upah dan gaji serta tunjangan yang memadai, pemberian beberapa fasilitas, jaminan keselamatan kerja, pelayanan kesehatan, pendidikan, seni, dan lain-lain.
5. Produk
Bidang ini meliputi keamanan, pengurangan polusi demi menjaga lingkungan dan kebutuhan dan harapan masyarakat yang semakin berubah.
Standar pelaporan pengungkapan sosial masih belum memiliki standar
yang baku, sehingga jumlah dan cara pengungkapan informasi sosial bergantung
kepada kebijakan dari pihak manajemen perusahaan. Hal ini mengakibatkan
timbulnya variasi luas pengungkapan informasi sosial dalam laporan tahunan
masing-masing perusahaan.
2.1.3 Karakteristik yang Mempengaruhi Pengungkapan Sosial
Karakteristik perusahaan dapat menjelaskan variasi luas pengungkapan sosial
perusahaan dalam laporan tahunan. Karakteristik perusahaan merupakan prediktor
kualitas pengungkapan sosial perusahaan (Lang and Lundhom, 1993). Dalam
penelitian ini, karakteristik perusahaan yang mempengaruhi pengungkapan sosial
perusahaan diproksikan kedalam ukuran perusahaan, ukuran dewan komisaris,
leverage, profitabilitas, kepemilikan manajemen dan umur perusahaan.
a. Ukuran perusahaan (size)
Ukuran perusahaan menunjukkan besar kecilnya perusahaan, pengalaman
yang dimiliki perusahaan, kemampuan perusahaan dan kebutuhan perusahaan.
Ukuran perusahaan dibagi tiga (3) kelompok, yaitu perusahaan kecil, perusahaan
menengah dan perusahaan besar. Berdasarkan Undang Undang No. 9 tahun 1995,
1. perusahaan kecil, aset kurang dari Rp 200.000.000 diluar tanah dan
bangunan,
2. perusahaan menengah, aset lebih besar dari Rp. 200.000.000 dan lebih
kecil dari Rp 5.000.000.000 diluar tanah dan bangunan,
3. perusahaan besar, aset lebih dari Rp. 5.000.000.000 diluar tanah dan
bangunan. (Faliando, 2010)
Perusahaan besar cenderung akan mengungkapkan informasi sosialnya
lebih luas dibandingkan perusahaan kecil. Dikaitkan dengan teori agensi seperti
yang dinyatakan Sembiring (2005), bahwa semakin besar suatu perusahaan maka
biaya keagenan yang muncul juga semakin besar, untuk mengurangi biaya
keagenan tersebut, perusahaan cenderung mengungkapkan informasi yang lebih
luas. Di samping itu perusahaan besar merupakan emiten yang banyak disoroti,
pengungkapan yang lebih besar merupakan pengurangan biaya politis sebagai
wujud tanggung jawab sosial perusahaan. Pandangan di atas didukung oleh
Cowen et. al., (1987) yang menyatakan “the larger companies tend to receive
more attention from the general public and, therefore, to be under greater public
pressure to exhibit social responsibility.” Hal ini berarti perusahaan besar
cenderung mendapat sorotan dari publik, sehingga lebih dituntut untuk
bertanggung jawab dalam kepentingan sosialnya, terkhusus di sekitar lingkungan
perusahaan yang bersangkutan.
Menurut Buzby (1975),” smaller firms may not acquire the required for
congregation and persenting the wide array of information. Smaller firms may
competitive oppositions with respect to other larger firms in their industry, i.e.
reluctance of small firm to inform their competitors.” Dalam hal ini, Buzby
menduga bahwa perusahaan kecil akan mengungkapkan lebih rendah kualitasnya
dibanding perusahaan besar dikarenakan ketiadaan sumber daya dan dana yang
cukup besar dalam Laporan Tahunan. Dalam hal ini, manajemen khawatir dengan
mengungkapkan lebih banyak akan membahayakan posisi perusahaan terhadap
kompetitor lain.
b. Ukuran Dewan Komisaris
Dewan komisaris merupakan mekanisme pengendalian intern tertinggi
yang bertanggung jawab untuk memonitor tindakan manajemen puncak, seperti
mempunyai wewenang untuk merekrut, memecat, dan memberikan kompensasi
terhadap keputusan dari pihak manajer, dan berwenang untuk meratifikasi serta
mengontrol keputusan-keputusan penting. Hal ini diungkapkan oleh Fama dan
Jesen, 1983, yang menyatakan bahwa:
“The common apex of the decision control sys-tems of organizations, large and small, in which decision agents do not bear a major share of the wealth effects of their decisions is some form of board of directors. Such boards always have the power to hire, fire, and compensate the top-level decision managers and to ratify and monitor important decisions. Exercise of these top-level decision control rights by a group (the board) helps to ensure separation of decision management and control (that is, the absence of an entrepreneurial decision maker) even at the top of the organization.”
Dewan komisaris terdiri dari inside dan outside directur yang akan
memiliki akses informasi khusus yang berharga dan sangat membatu dewan
komisaris serta menjadikannya sebagai alat efektif dalam keputusan pengendalian.
perusahaan yang dilaksanakan oleh manajemen (direksi) dan bertanggung jawab
untuk menentukan apakah manajemen memenuhi tanggung jawab mereka dalam
mengembangkan dan menyelenggarakan pengendalian intern perusahaan
(Mulyadi, 2002).
Coller dan Gregory (1999) menyatakan bahwa,” the greater the number of
commissioners,the easier to control Chief Executive Officer (CEO) and the
supervision will be more effective.” Artinya semakin banyak jumlah anggota
dewan komisaris maka akan semakin mudah untuk mengendalikan CEO dan
memonitoring, sehingga yang dilakukan akan semakin efektif. Dikaitkan dengan
pengungkapan tanggung jawab sosial, maka tekanan terhadap manajemen akan
semakin besar untuk mengungkapkannya.
c. Rasio Leverage
Rasio leverage merupakan rasio yang digunakan untuk mengukur sejauh
mana aktiva perusahaan dibiayai dengan utang. Artinya, berapa besar beban utang
yang ditanggung perusahaan dibandingkan dengan aktivanya. Dalam arti luas
dikatakan bahwa rasio solvabilitas digunakan untuk mengukur kemampuan
perusahaan untuk membayar seluruh kewajibannya, baik jangka pendek maupun
jangka panjang apabila perusahaan dibubarkan (dilikuidasi).
Semakin tinggi leverage suatu perusahaan, maka perusahaan memiliki
risiko keuangan yang tinggi sehingga menjadi sorotan dari para debtholders.
Perusahaan dengan tingkat leverage yang tinggi cenderung ingin melaporkan laba
perjanjian utang. Adapun jenis-jenis rasio yang ada dalam rasio leverage antara
lain:
1. Debt to Asset Ratio (DAR), yaitu rasio utang yang mengukur
perbandingan total utang dengan total aktiva.
2. Debt to Equity Ratio (DER), rasio utang yang mengukur perbandingan
total utang dengan total ekuitas.
3. Long Term Debt to Equity Ratio (LTDtER), rasio utang yang mengukur
perbandingan utang jangka panjang dengan modal sendiri.
4. Times Interest Earned, rasio utang yang mengukur perbandingan laba
sebelum bunga dan pajak dengan biaya bunga yang dikeluarkan.
Belkaoui dan Karpik (1989) menyatakan bahwa, “firms with a high
leverage must adhere to strict debt convenants. This reduces their ability to spend
resources on CSR and disclose information about CSR.” Hal ini berarti semakin
tinggi tingkat leverage maka semakin besar kemungkinan perusahaan akan
melanggar perjanjian kredit sehingga perusahaan akan mengurangi biaya-biaya
termasuk biaya untuk mengungkapkan informasi sosial. Dikaitkan dengan teori
agensi, perusahaan dengan tingkat leverage yang tinggi memiliki biaya keagenan
tinggi sehingga perusahaan akan mengurangi biaya berkaitan dengan Corporate
Social Responsibility Disclosure.
d. Profitabilitas
Rasio profitabilitas merupakan rasio untuk menilai kemampuan
perusahaan dalam mencari keuntungan. Rasio ini juga memberikan ukuran tingkat
dihasilkan dari penjualan dan pendapatan investasi. Intinya adalah penggunaan
rasio ini menunjukkan efisiensi perusahaan. Dalam praktiknya, jenis-jenis rasio
profitabilitas yang dapat digunakan adalah:
1. Profit Margin on Sales, yaitu rasio yang membandingkan laba bersih
setelah pajak dengan penjualan bersih.
2. Return on Investment (ROI), rasio yang membandingkan laba bersih
setelah bunga dan pajak dengan jumlah aktiva yang digunakan perusahaan.
3. Return on Equity (ROE), rasio yang membandingkan laba bersih setelah
pajak dengan modal sendiri.
4. Return on Assets (ROA), rasio yang membandingkan laba bersih setelah
pajak dengan jumlah ativa.
5. Earning per Share of Common Stock, yaitu rasio yang membandingkan
laba saham biasa dengan saham biasa yang beredar.
Hubungan kinerja keuangan dengan tanggung jawab sosial perusahaan
paling baik diekspresikan dengan profitabilitas dikarenakan pandangan bahwa
tanggapan sosial yang diminta dari manajemen sama dengan kemampuan yang
diminta untuk membuat suatu perusahaan memperoleh laba. Selain itu tingkat
profitabilitas dapat menunjukkan seberapa baik pengelolaan manajemen
perusahaan, oleh sebab itu semakin tinggi profitabilitas suatu perusahaan maka
cenderung semakin luas Corporate Social Responsibility Disclosure. Pernyataan
tersebut sesuai dengan yang dinyatakan Belkaoui dan Karpik (1989), yaitu,”
knowledge and understanding of social responsibility, which leads to more social
and environmental disclosures.”
Dikaitkan dengan teori agensi, perolehan laba yang semakin besar akan
membuat perusahaan mengungkapkan informasi sosial yang lebih luas. Itu
dilakukan untuk mengurangi biaya keagenan yang muncul. Hal ini berarti,
semakin tinggi tingkat profitabilitas perusahaan maka semakin besar
pengungkapan informasi sosialnya. Pendapat di atas sesuai dengan yang
diungkapkan oleh Preston (1978) dan Bowman & Haire (1976), yang
menemukan adanya hubungan positif antara profitabilitas dan pengungkapan
tanggung jawab sosial: “there is a positive relationship between profitability and
social responsibility disclosures. Their arguments based on the premise that
corporate social disclosures induce an adaptive management approach in
companies and help them develop ability to operate in a dynamic
multidimensional environtment. Pernyataan ini juga sesuai dengan penelitian yang
dilakukan oleh Hackston & Milne (1996).
e. Kepemilikan Manajemen
Mehran (1992) dalam Rosmasita (2007) mengartikan kepemilikan
manajemen sebagai proporsi saham biasa yang dimiliki oleh manajemen.
Manajemen yang memiliki saham perusahaan tentunya akan menselaraskan
kepentingannya dengan kepentingan sebagai pemegang saham. Sementara
manajer yang tidak memiliki saham perusahaan, ada kemungkinan hanya
dalam penelitian ini adalah saham yang dimiliki oleh Dewan Komisaris dan
Direktur.
Semakin besar kepemilikan manajemen didalam perusahaan maka
semakin produktif tindakan manajer dalam memaksimalkan nilai perusahaan.
Manajer perusahaan akan mengungkapkan informasi sosial dalam rangka
meningkatkan image perusahaan, meskipun perusahaan harus mengorbankan
sumber daya untuk aktifitas tersebut (Gray, et. al., (1998)).
f. Umur Perusahaan
Umur perusahaan diperkirakan memiliki hubungan positif dengan kualitas
pengungkapan sosial perusahaan. Alasan yang mendasari adalah bahwa
perusahaan yang berumur lebih tua memiliki pengalaman yang lebih banyak
dalam mempublikasikan laporan keuangan perusahaan.
2.2 Tinjauan Penelitian Terdahulu
Penelitian terdahulu yang mendukung penelitian ini disajikan pada Tabel
TABEL 2.1
Tinjauan Penelitian Terdahulu
NO Nama
Peneliti Judul Penelitian Variabel Penelitian Hasil Penelitian
1 telah go public
Variabel independen:
Secara simultan semua variabel independen berpengaruh signifikan terhadap pengungkapan sosial tetapi secara parsial hanya variable profitabilitas yang tidak berpengaruh terhadap pengungkapan sosial
Faktor – faktor yang terdaftar di Bursa Efek Jakarta
Secara parsial hanya variabel dewan komisaris dan
profitabilitas yang memiliki pengaruh signifikan terhadap pengungkapan sosial
perusahaan. Ukuran dewan komisaris, ukuran perusahaan dan profitabilitas secara simultan memiliki kemampuan mempengaruhi jumlah
informasi sosial yang diungkapkan dalam laporan tahunan perusahaan
manufaktur yang terdaftar
3 terdaftar di BEI
Variabel independen:
profitabilitas, ukuran dewan komisaris, kepemilikan manajemen, leverage secara simultan memiliki pengaruh yang signifikan terhadap pengungkapan sosial perusahaan. Secara parsial hanya variabel dewan komisaris yang memiliki pengaruh signifikan terhadap pengungkapan sosial Terdaftar di BEI
Variabel independen: leverage , ukuran perusahaan,
profitabilitas dan usia perusahaan
Variabel dependen: pengungkapan sosial
Variabel kepemilikan
manajemen, tingkat leverage, ukuran perusahaan,
profitabilitas, dan umur perusahaan tidak berpengaruh signifikan terhadap
2.3 Kerangka Konseptual dan Hipotesis
2.3.1 Kerangka Konseptual
Kerangka konseptual adalah suatu hubungan atau kaitan antara konsep
satu terhadap konsep yang lainya dari masalah yang ingin diteliti. Kerangka
konseptual diharapkan akan memberikan gambaran dan mengarahkan asumsi
mengenai variabel-variabel yang akan diteliti (Widayat, 2002:28). Kerangka
konseptual dari penelitian ini dapat dilihat pada Gambar 2.2.
Variabel independen terdiri dari ukuran perusahaan, ukuran dewan
komisaris, leverage, profitabilitas, kepemilikan manajemen dan umur perusahaan.
Sedangkan variabel independennya adalah pengungkapan tanggung jawab sosial
perusahaan. Berikut ini akan dijelaskan hubungan masing-masing variabel
independen tersebut terhadap pengungkapan CSR.
a. Hubungan Ukuran Perusahaan dengan Pengungkapan CSR
Ukuran perusahaan dapat dinyatakan dalam total aktiva, penjualan dan
kapitalisasi pasar. Semakin besar total aktiva, penjualan dan kapitalisasi pasar
semakin besar pula ukuran perusahaan tersebut. Penelitian ini menggunakan total
aset untuk menganalisis pengaruh ukuran perusahaan (size) terhadap Corporate
Social Responsibility Disclosure.
Dikaitkan dengan teori agensi seperti yang dinyatakan Sembiring (2005),
bahwa semakin besar suatu perusahaan maka biaya keagenan yang muncul juga
semakin besar, untuk mengurangi biaya keagenan tersebut, perusahaan cenderung
Menurut Cowen et. al., (1987),” the larger companies tend to receive more
attention from the general public and, therefore, to be under greater public
pressure to exhibit social responsibility. Artinya, secara teoritis perusahaan besar
tidak akan lepas dari tekanan, dan perusahaan yang lebih besar dengan aktivitas
operasi dan pengaruh yang lebih besar terhadap masyarakat mungkin akan
memiliki pemegang saham yang memperhatikan program sosial yang dibuat
perusahaan sehingga pengungkapan tanggung jawab sosial perusahaan akan
semakin luas.
Berdasarkan analisis dan kajian di atas, maka ukuran perusahaan
berpengaruh positif terhadap pengungkapan tanggung jawab sosial perusahaan.
Pendapat ini juga didukung oleh Gray et. al., (2001), yang menyatakan bahwa
kebanyakan penelitian yang dilakukan mendukung hubungan positif antara size
perusahaan dengan tanggung jawab sosial perusahaan.
b. Hubungan Ukuran Dewan Komisaris dengan Pengungkapan CSR
Ukuran dewan komisaris dihitung dengan melihat jumlah anggota dewan
komisaris dalam perusahaan. Berkaitan dengan ukuran dewan komisaris, Coller
dan Gregory (1999) menyatakan bahwa,” the greater the number of
commissioners,the easier to control Chief Executive Officer (CEO) and the
supervision will be more effective.” Artinya semakin besar jumlah anggota dewan
komisaris, maka akan semakin mudah untuk mengendalikan CEO dan monitoring
yang dilakukan akan semakin efektif. Dikaitkan dengan pengungkapan tanggung
mengungkapkannya. Oleh karena itu, sejalan dengan pendapat Coller dan Gregory
(1999), maka ukuran dewan komisaris berpengaruh positif terhadap
pengungkapan tanggung jawab sosial perusahaan.
c. Hubungan Leverage dengan Pengungkapan CSR
Belkaoui dan Karpik (1989) menyatakan bahwa, “firms with a high
leverage must adhere to strict debt convenants. This reduces their ability to spend
resources on CSR and disclose information about CSR. Pernyataan tersebut
berarti bahwa semakin tinggi tingkat leverage (rasio utang/ekuitas) semakin besar
kemungkinan perusahaan akan melanggar perjanjian kredit sehingga perusahaan
akan melaporkan laba sekarang lebih tinggi. Perusahaan akan mengurangi
biaya-biaya termasuk biaya-biaya untuk mengungkapkan informasi sosial. Dikaitkan dengan
teori agensi, perusahaan dengan tingkat leverage yang tinggi memiliki biaya
keagenan tinggi sehingga perusahaan akan mengurangi biaya berkaitan dengan
Corporate Social Responsibility Disclosure. Berdasarkan analisis dan kajian di
atas, maka Leverage perusahaan berpengaruh negatif terhadap pengungkapan
tanggung jawab sosial perusahaan. Leverage pada penelitian ini ditunjukkan
melalui Debt to Equity Ratio (DER).
d. Hubungan Profitabilitas dengan Pengungkapan CSR
Hubungan kinerja keuangan dengan tanggung jawab sosial perusahaan
menurut Belkaoui dan Karpik (1989) dalam Angling (2010) paling baik
diekspresikan dengan profitabilitas, hal itu disebabkan karena pandangan bahwa
tanggapan sosial yang diminta dari manajemen sama dengan kemampuan yang
profitabilitas dapat menunjukkan seberapa baik pengelolaan manajemen
perusahaan, oleh sebab itu semakin tinggi profitabilitas suatu perusahaan maka
cenderung semakin luas Corporate Social Responsibility Disclosure. Dikaitkan
dengan teori agensi, perolehan laba yang semakin besar akan membuat
perusahaan mengungkapkan informasi sosial yang lebih luas.
Berdasarkan analisis di atas, maka profitabilitas perusahaan berpengaruh
negatif terhadap pengungkapan tanggung jawab sosial perusahaan. Profitabilitas
pada penelitian ini diukur dengan Return On Asset (ROA). Return On Asset
adalah rasio profitabilitas yang mengukur kemampuan perusahaan dalam
menghasilkan laba bersih pada tingkat penjualan tertentu.
e. Hubungan Kepemilikan Manajemen dengan Pengungkapan CSR
Menurut Gray, et. al., (1998), semakin besar kepemilikan manajemen
didalam perusahaan maka semakin produktif tindakan manajer dalam
memaksimalkan nilai perusahaan. Manajer perusahaan akan mengungkapkan
informasi sosial dalam rangka meningkatkan image perusahaan, meskipun
perusahaan harus mengorbankan sumber daya untuk aktifitas tersebut.
Sejalan dengan analisis di atas, maka variabel kepemilikan manajemen
berpengaruh secara positif terhadap pengungkapan tanggung jawab sosial
perusahaan. Kepemilikan Manajemen pada penelitian ini diukur melalui
persentase kepemilikan manajemen dalam perusahaan.
f. Hubungan Umur Perusahaan dengan Pengungkapan CSR
Umur perusahaan diperkirakan memiliki hubungan positif dengan kualitas
yang berumur lebih tua memiliki pengalaman yang lebih banyak dalam
mempublikasikan laporan keuangan. Perusahaan yang memiliki pengalaman lebih
banyak akan lebih mengetahui kebutuhan konstituennya akan informasi tentang
perusahaan. Variabel umur perusahaan pada penelitian ini diukur berdasarkan
selisih antara tahun penelitian dengan tahun first issue di Bursa Efek Indonesia.
Maka hubungan ukuran perusahaan, ukuran dewan komisaris, leverage,
profitabilitas, kepemilikan manajemen, umur perusahaan, dan pengungkapan
tanggung jawab sosial dapat digambarkan pada kerangka konseptual berikut ini.
Gambar 2.1 Kerangka Konseptual
Ukuran Dewan Komisaris Ukuran Perusahaan
Leverage
Profitabilitas
Kepemilikan Manajemen
Umur Perusahaan
Pengungkapan
Tanggung
2.3.2 Hipotesis
Menurut Sugiyono (2003:30), hipotesis adalah pernyataan dugaan tentang
hubungan antara dua variabel atau lebih, atau dengan kata lain hipotesis
merupakan jawaban sementara terhadap rumusan masalah penelitian. Berdasarkan
kerangka kunseptual yang telah diuraikan, maka dapat dirumuskan hipotesis
penelitian dirumuskan sebagai berikut:
Hipotesis: Karakteristik perusahaan yang diproksikan kedalam ukuran
perusahaan, ukuran dewan komisaris, leverage, profitabilitas,
kepemilikan manajemen dan umur perusahaan berpengaruh
signifikan secara parsial dan simultan terhadap pengungkapan