• Tidak ada hasil yang ditemukan

Bab I Pendahuluan. Kebangkitan Bangsa) dari Era Kepemimpinan Gus Dur ( ) ke Era

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Bab I Pendahuluan. Kebangkitan Bangsa) dari Era Kepemimpinan Gus Dur ( ) ke Era"

Copied!
48
0
0

Teks penuh

(1)

1 Bab I Pendahuluan

A. Latar Belakang

Studi ini mencoba menjelaskan proses pelembagaan PKB (Partai Kebangkitan Bangsa) dari Era Kepemimpinan Gus Dur (1998-2008) ke Era Kepemimpinan Muhaimin Iskandar (2009-2014) serta dampaknya terhadap perolehan suara dalam periodesasi pemilu. Tujuannya adalah untuk mengungkap proses transformasi pelembagaan partai politik di Indonesia. Penelitian ini juga akan mengungkap bagaimana proses pelembagaan partai dalam kasus PKB menujukkan proses perubahan kualitas pelembagaan dari periode kepemimpinan Gus Dur ke periode kepemimpinan Muhaimin Iskandar. Proses pelembagaan ini juga menujukkan adanya pengaruh kuat terhadap perolehan suara PKB dalam periodesasi pemilu dari Tahun 1999 hingga Tahun 2014.

Pelembagaan partai sering kali fokus pada upaya untuk mengukur baik dan buruknya pelembagaan sebuah partai politik. Dalam literatur tentang pelembagaan partai politik, perdebatan yang selalu muncul adalah mengenai aspek pelembagaan partai politik. Huntington misalnya, mendefiniskan pelembagaan partai sebagai proses dimana organisasi dan prosedur mencapai nilai dan stabilitas (Huntington, 1965). Sedangkan untuk mengukur seberapa derajat pelembagaan sebuah partai politik, ia memberikan identifikasi melalui empat dimensi, yaitu : adabtibility (adabtibilitas atau kemampuan untuk beradaptasi), complexity (kompleksitas), autonomy (otonomi atau kemandirian), dan coherency (koherensi atau keterpaduan). Sedangkan, panebianco (1998) menyebutkan bahwa

(2)

2 pelembagaan partai merupakan upaya untuk mencapai “solidifies” atau soliditas (Shapiro, 1988 pp.316-317). Oleh karena itu, untuk mencapai sebuah partai yang solid, maka menurut Panebianco (1988) membutuhkan dua aspek, yaitu derajat autonomy (otonomi) dan derajat systemness (kesisteman). Dari kedua ilmuan ini saja, banyak terjadi overlap atau tumpang tindih mengenai kriteria pelembagaan. Gagasan kriteria tentang systemness milik Panebianco mirip dengan kriteria Huntington tentang kompleksitas dan koherensi. Belum lagi cara pendefinisian pelembagaan partai sebagaimana yang diungkapkan oleh Levitsky (1998) bahwa pelembagaan partai terjadi ketika berhasil dalam melakukan value infusion atau infusi nilai. Selain itu, Kanneth Janda (1980) cenderung melihat bukan dari sektor internal sebagaimana yang telah diungkapkan oleh ilmuan lainnya, akan tetapi cenderung fokus pada aspek eksternal, yaitu pelembagaan partai terjadi ketika berhasil ditangkap oleh publik akan eksistensi partai tersebut.

Seluruh gagasan tentang pelembagaan diatas ketika dibenturkan dengan konteks demokratisasi di negara berkembang sebagaimana di Indonesia pasti akan banyak ditemukan anomali. Dari semua aspek pelembagaan yang telah diperdebatkan oleh para ilmuan diatas, tentu tidak bisa ditemukan seluruh aspek tersebut mampu terlembaga dengan baik dalam diri partai-partai yang ada di Indonesia. Sebagaimana yang diungkapkan oleh Randal dan Svasand (2002) bahwa pelembagaan partai politik pasti akan mengalami karakter dan corak tersendiri tergantung dimana konteks sosial dan politik itu berada. Oleh karena itu, tidak mudah untuk melakukan assessment atau pengukuran pelembagaan partai dalam konteks negara berkembang, dimana masih terjadi proses perubahan

(3)

3 politik. Hal inilah yang terjadi didalam proses pelembagaan PKB. Dalam suatu periode waktu tertentu, PKB mampu menujukkan tingkat pelembagaan yang tinggi melalui Pemilu Tahun 1999 dengan perolehan suara terbesar ketiga setelah PDIP dan Golkar. Namun, pada Pemilu 2009, suaranya justru terjun bebas dibandingkan dengan perolehan pemilu sebelumnya. Namun, pada pemilu selanjutnya, yaitu pada Pemilu 2014, PKB mampu meraih kembali perolehan suaranya hingga dua kali lipat dari Pemilu 2009. Hal ini mengacu pada pelembagaan yang diungkapkan oleh Janda (1980), bahwa tingginya perolehan suara dalam pemilu menujukkan tingginya tingkat penerimaan publik atau reification.

Naik turunnya suara PKB dalam periodesasi pemilu tidak bisa dilepaskan dari konteks internal organisasi partai. Pada awal keikutsertaan dalam pemilu Tahun 1999, dinamika internal PKB cukup solid. Namun, setelah lengsernya Gus Dur dari kursi kepresidenan, PKB dilanda konflik internal hingga akhir masa kepemimpinan Gus Dur di internal PKB. Hal ini terkait dengan respon para kadernya terhadap konteks politik saat itu, yaitu antara masuk kedalam pemerintahan atau berada diluar pemerintahan. Dari sinilah kemudian muncul faksionalisasi di interal PKB antara kelompok Gus Dur yang menginginkan keluar dari pemerintahan dengan kelompok lain seperti Matori Abdul Jalil, Alwi Shihab, dan Muhaimin Iskandar yang masih ingin masuk dalam pemerintahan.

Konflik kepentingan diatas kemudian menyebabkan konflik internal yang terus berlanjut hingga menjelang Pemilu 2009. Rentetatan konflik tersebut telah berhasil memecah belah PKB kedalam beberapa partai sempalan seperti PKD

(4)

4 (Partai Keadilan Demokrasi) yang dibentuk oleh Matori Abdul Jalil dan PKNU (Partai Kebangkitan Nasional Ulama) yang dibentuk oleh Alwi Shihab. Dalam skala ini, pelembagaan PKB tentu bisa dikatakan lemah karena tidak mampu mengelola kesisteman dan soliditas partai. Selain itu, periode ini yaitu (1998-2008) adalah periode dimana PKB berada didalam dominasi kekuasaan Gus Dur.

Namun, pada periode 2009-2014, wajah PKB berubah drastis sejak dipimpin oleh Muhaimin Iskandar. Pada periode ini tidak ada lagi konflik internal sehingga tidak ada lagi partai sempalan PKB pada Pemilu 2014. Dalam skala ini, pelembagaan internal PKB menujukkan derajat yang tinggi karena berhasil mengelola kesisteman internal partai. Namun, secara otonomi, PKB mengalami perubahan yang signifikan dari masa kepemimpinan Gus Dur. Di Era Muhaimin Iskandar, PKB tidak lagi mampu mandiri secara kebijakan dan finansial melalui keikut sertaannya dalam kartelisasi pemerintahan SBY (2009-2014). Tentu berbeda dengan PKB di masa kepemimpinan Gus Dur yang kritis terhadap rezim pemerintah dan tidak ikut serta ambil bagian dalam pemerintahan. Dalam titik ini, secara otonomi pelembagaan PKB di Era Gus Dur lebih baik daripada di Era Muhaimin Iskandar.

Perubahan beberapa aspek pelembagaan diatas dari satu periode ke periode lainnya menujukkan betapa pelembagaan partai sebagaimana yang dikonseptualisasikan oleh beberapa ilmuan diatas sulit untuk dijadikan sebagai alat utuk mengukur tingkat pelembagaan PKB yang terus berubah dari satu periode satu ke periode lainnya. Dalam satu periode, apa yang diungkapkan oleh Huntington (1965) dan Panebianco (1998) tentang complexity, coherency, dan

(5)

5 systemness dalam mengukur tingkat pelembagaan partai mampu dipenuhi oleh PKB di Era Muhaimin Iskandar. Namun, dalam suatu periode hal itu tidak terjadi pada wajah PKB di Era Gus Dur. Sebaliknya, sebagaimana yang diungkapkan oleh Huntington (1965) tentang autonomy dan Janda (1980) tentang reification, justru mampu ditunjukkan oleh PKB di Era Gus Dur.

Tentu proses pelembagaan PKB diatas yang mengalami perubahan kualitas pelembagaannya dari satu periode ke periode lainnya tidak lepas dari konteks sosial politik yang telah berkembang di Indonesia. Arus demokratisasi yang sedang berlangsung pasca reformasi Tahun 1998 memberikan corak perubahan sistem politik dan pemerintahan yang jauh berbeda dengan era orde baru. Diawali dengan munculnya sistem multipartai ekstrem pasca pemilu Tahun 1999 dengan sistem presidensialisme yang belum kuat atau belum adanya pilpres sebagai legitimasi kekuasaan presiden, menjadi awal kemunculan kartelisasi pemerintahan (Slatter, 2006). Naik dan turunnya Gus Dur sebagai presiden pertama pasca reformasi menjadi awal dari sistem kartelisasi pemerintahan. Kemudian, adanya sistem pilpres dan pilkada langsung juga memberikan pengaruh terhadap perkembangan partai politik. Tidak adanya partai dominan di parlemen membuat siapapun yang menjadi presiden haruslah berkoalisi dengan partai-partai lainnya. Pada titik ini, negosiasi dan kompromi antar partai politik di parlemen tidak bisa hindarkan (Ambardi, 2008). Dengan demikian, proses pelembagaan partai di Indonesia tidak lepas dari konteks politik yang sedang berkembang.

(6)

6 Oleh karana itu, studi ini mencoba ingin melihat bagaimana proses pelembagaan PKB dari satu periode ke periode lainya serta dampaknya terhadap kualitas elektoral. Dalam hal ini, akan mengungkap transformasi pelembagaan PKB dari Era Gus Dur (1998-2008) ke Era Muhaimin Iskandar (2009-2014). Mengingat studi tentang proses pelembagaan PKB ini dilakukan dalam konteks demokratisasi di negara berkembang, maka dalam studi ini akan menggunakan teori pelembagaan partai milik Randal dan Svasand (2002) yang berhasil mengkonsepsikan seluruh aspek pelembagaan partai meliputi eksternal dan internal, serta struktural dan attitudinal.

B. Rumusan Masalah dan Tujuan Penelitian

Berdasarkan uraian latar belakang diatas, penelitian ini akan mengajukan pertanyaan sebagai sebagai berikut : “Bagaimana Tranformasi Pelembagaan PKB Dari Era Gus Dur (1998-2008) ke Era Muhaimin Iskandar (2009-2014) ? Sedangkan pertanyaan lanjutan dari rumusan masalah tersebut adalah :

1. Bagaimana Proses Pelembagaan PKB Dibawah Kepemimpinan Gus Dur (1998-2008) ?

2. Bagaimana Proses Pelembagaan PKB Dibawah Kepemimpinan Muhaimin Iskandar (2009-2014) ?

3. Bagaimana Proses Pelembagaan PKB Dari Era Gus Dur ke Era Muhaimin Iskandar Berpengaruh Terhadap Perolehan Suara Dalam Periodesasi Pemilu?

(7)

7 Berdasarkan pertanyaan diatas, penelitian ini mengemban dua misi utama, yaitu (1) untuk mengungkap proses pelembagaan partai di Indonesia menujukkan proses transformasi dari satu periode ke periode lainnya. (2) untuk mengungkap bahwa proses pelembagaan partai berpengaruh kuat terhadap perolehan suara dalam periodesasi pemilu.

C. Literature Review : Studi Tentang Pelembagaan Partai di Indonesia

Studi tentang kepartaian di Indonesia sering kali menunjukkan anomali teoritik. Kontekstualisasi teori-teori kepartaian dengan kondisi sosial dan politik di Indonesia sering kali tidak bisa dibaca dengan frame work teori yang utuh. Studi kepartaian di Indonesia lebih banyak fokus pada pelembagaan sistem kepartaian. Sedangkan tipologi partai untuk membedakan antar partai satu dengan lainnya lebih didasarkan pada platform idiologi dari pada berdasarkan relasi partai dengan civil society dan state – sebagaimana yang dikonseptualisasi oleh Katz and Mair (1995) – yang membagi partai kedalam empat tipe, yaitu partai elite, partai massa, partai catch all, dan partai kartel. Tentu penggunaan tipologi partai berdasarkan platform idiologi lebih mudah untuk menjelaskan sistem kepartaian di Indonesia, dimana pembentukan partai lebih didasarkan atas pembilahan sosial pasca kemerdekaan sehingga menghasilkan politik aliran di Indonesia. Namun, model tipologi partai berdasarkan platform idiologi tidak terjelaskan dalam teori pelembagaan partai. Hal inilah yang menyebabkan studi tentang pelembagaan partai tidak berkembang karena terjebak oleh cara melihat tipologi partai yang didasarkan atas platform idiologi.

(8)

8 Studi tentang tipologi model partai di Indonesia kebanyakan didasarkan pada pembilahan sosial dan platform idiologi partai. Hal ini karena digunakan untuk memudahkan membedakan satu partai dengan lainnya dalam membahas sistem kepartaian di Indonesia. Sebagaiaman yang dilakukan oleh Feith (1965) dalam memberikan gambaran tipologi partai berdasarkan idiologi, yaitu nasionalisme radikal, tradisionalisme jawa, islam, sosialisme demokratis, dan komunisme. Pada masa itu, dengan banyaknya partai yang muncul dimana terdapat lebih dari tiga partai dengan kekuatan yang berimbang, sistem kepartaiannya dibaca – meminjam istilah Sartori (1976) – sebagai atomized multiparty system. Sedangkan perbedaan platform idiologi partai yang mengarah pada centrifugal disebut dengan sistem kepartaian extreme pluralist system. Kemudian, pada masa orde baru, khususnya setelah tahun 1973, Gaffar (1992) membacanya dengan dengan munggunakan perspektif hegemonic party system, dimana terdapat partai yang secara hegemonik terus menerus mendominasi kekuasaan, sementara partai-partai politik lain hanya secara formal ada, namun tanpa kemampuan untuk menandingi kekuatan partai hegemonik tersebut. Namun, dalam konteks ini, tipologi partai yang didasarkan atas platform idiologi menjadi tidak lagi relevan, karena adanya kebijakan asas tunggal Pancasila.

Model partai yang didasarkan atas platform idiologi kembali muncul lagi pasca keruntuhan rezim orde baru pada tahun 1998. Sejumlah kajian tentang sistem kepartaian pasca transisi demokrasi kembali muncul. Salah satunya adalah studi Mietzner (2008) dalam membandingkan sistem kepartaian pada tahun 1950-an deng1950-an era post soeharto. Studinya menujukk1950-an bahwa sistem kepartai1950-an pada

(9)

9 era post Soeharto yaitu, pemilu 1999 dan 2004 menunjukkan ada kesamaan dengan kembalinya sistem multi partai. Namun, yang membedakan adalah pada tahun 1950-an arah kompetisi antar partai menuju arah sentrifugal yang ditandai dengan perbedaan idiologi yang saling berkonfrontasi antar satu dengan lainnya. Hal inilah yang menyebabkan instabilitas sistem kepartaian yang ada sehingga muncul demokrasi terpimpin. Sementara, pada masa post Soeharto, arah kompetisi antar partai cenderung menuju arah sentripetal (menju ketengah) dimana pemilih lebih mengarah ke tengah dalam skala pembilahan idiologi sehingga pembilahan idiologinya tidak terlalu tajam. Tidak ada lagi ektrimis kiri seperti partai komunis maupun ektrimis islam yang mengusung negara islam sebagaimana Masyumi. Lagi-lagi dalam studi Mitezner, partai politik dibaca dengan tipologi yang didasarkan atas platform idiologi, yaitu partai sekuler, partai sekuler moderat, partai islam, dan partai islam moderat.

Membaca tipologi partai berdasarkan platform idiologi pada perkembangnya justru akan menyulitkan dalam melihat pelembagaan sistem kepartaaian. Sedangkan keberhasilan pelembagaan sistem kepartaian bergantung pada sejauh mana partai mampu melembagakan diri. Hal ini dibuktikan dengan semakin menguatnya pengakaran partai di masyarakat dari pemilu ke pemilu berikutnya. Sementara itu, semakin memudarnya platform idiologi partai pada post Soeharto sehingga mengarah pada centripetal sebagaimana dalam tulisan Mietzner (2008), justru menurut Johnson Tan (2008) menyisakan masalah bagi pelembagaan sistem kepartaian di Indonsia. Studinya tentang pelembagaan sistem kepartaian di Indoensia tujuh tahun setelah keruntuhan Soeharto, dengan tidak

(10)

10 menajamnya platform idiologi sebagaimana tahun 1950-an, ternyata menjadi masalah besar bagi pelembagaan sistem kepartaian di Indonesia. Dengan adanya data yang didapatkan melalui pemilu 1999 dan 2004, menujukkan bahwa pelembagaan partai politik justru lebih lemah jika dibandingkan dengan tahun 1950-an. Hal ini dibuktikan dengan adanya kecenderungan semakin melemahnya pengakaran partai di masyarakat yang menyebabkan perubahan prefensi politik dari satu partai ke partai lainnya secara signifikan.

Studi tentang kepartaian di Indonesia yang banyak lebih banyak memberikan porsi lebih besar terhadap pelembagaan sistem kepartaian, daripada studi tentang pelembagaan partai sendiri menyebabakan kurangnya penjelasan tentang pelembagaan partai di Indonesia. Hanya beberapa studi tentang pelembagaan partai yang terpublikasi dengan baik. Salah satunya adalah tulisan hasil disertasi Dirk Tomsa (2008) dalam menjelaskan kemenangan kembali partai Golkar pada pemilu 2004 yang dinilai berhasil melakukan pelembagaan partai. Namun, asumsi naik turunnya suara partai dengan keberhasilan atau kegagalan pelembagaan partai pada kenyataannya tidak mampu menjelaskan pelembagaan partai politik di Indonesia. Hal ini dibuktikan dengan naik turunnya suara partai secara drastis dari satu pemilu ke pemilu selanjutnya.

Selain Dirk Tomsa, Andreas Ufen (2007) juga pernah melakukan studi tentang pelembagaan partai di Indonesia dalam skala yang lebih luas, atau tidak terkhusus pada satu partai. Studi Ufen (2007) dalam menilai pelembagaan partai di Indonesia berdasarkan dua pemilu Tahun 1999 dan 2004, sampai pada kesimpulan bahwa sebagaian besar pelembagaan partai di Indonesia masih sangat

(11)

11 lemah. Hal ini ditandai dengan adanya kekuatan dominan oleh salah seorang tokoh sentral di internal partai. Ufen (2007) mencontohkan bagaimana dominasi seorang pimpinan partai sering kali mengambil kebijakan tanpa melalui proses kebijakan di internal partai. Bahkan, dalam beberapa kasus tertentu, seorang pimpinan partai berkuasa dalam menentukan siapa yang berhak, atau yang tidak berhak menduduki jabatan strtegis di internal partai. Semua itu menjelaskan bahwa eksistensi partai sangat bergantung pada eksistensi pimpinan partai sebagai tokoh sentral didalamnya.

Meskipun begitu, Ufen (2007) memberikan sebuah kesimpulan yang menarik bahwa meskipun sebagian besar partai di Indonesia tidak terlembaga dengan baik, namun ada dua partai yang menurutnya telah berhasil melakukan pelembagaan ekternal dengan adanya pengakaran partai di masyarakat, yaitu PKB dan PAN. Kedua partai ini memiliki relasi yang sangat kuat dengan organisasi massa yaitu NU dan Muhammadiyah. Keberhasilan itu dibuktikan dengan pengakaran identitas PKB sebagai partai bentukan NU dan PAN sebagai partai bentukan Muhammadiyah. Kedua partai tersebut juga telah berhasil membangun party id di akar rumput, dimana konstituen PKB adalah kelompok islam tradisionalis yang ada di NU (nahdliyyin), sedangkan konstituen PAN juga merupakan warga muhammadiyah.

Studi tentang pelambagaan partai yang dilakukan oleh Tomsa (2008) dan Ufen (2007) pada kenyataannya tidak bisa menjelaskan perubahan politik yang sangat signifikan pada pemilu Tahun 2009 dan 2014. Tesis Tomsa (2008) yang mangatakan bahwa kemenangan Golkar pada pemilu 2004 adalah hasil dari upaya

(12)

12 keberhasilan pelembagaan partai, ternyata pada pemilu 2009 Golkar turun drastis dari 24% menjadi 14%. Demikian halnya dengan catatan Ufen (2007) terhadap PKB sebagai partai islam yang memiliki pengakaran kuat didalam NU ternyata juga turun drastis dari 11% pada pemilu 2004 menjadi 5% pada pemilu 2009. Namun, pada pemilu tahun 2014, PKB kembali naik hampir 10%. Dengan demikian, baik dan tidaknya pelembagaan partai tidak bisa dilihat dengan perolehan suara, akan tetapi, proses naik turunnya sebuah partai tidak lepas dari proses pelembagaan partai dari satu periode ke periode selanjutnya.

Studi ini ingin keluar dari cara melihat pelembagaan partai yang fokus pada derajat pelembagaan organisasi sering kali sampai pada kesimpulan kuat dan lemahnya pelembagaan partai politik, melainkan mencoba melihat proses tanformasi pelembagaan partai dari satu periode ke periode lainnya. Dalam hal ini, studi ini menggunakan pendekatan pelembagaan partai politik yang tidak hanya fokus pada pelembagaan internal struktural akan tetapi juga pelembagaan eksternal non struktural (attitudinal). Melalui pendekatan model pelembagaan yang dikonspetualisasi oleh Randal dan Svasand (2002), penelitian ini berasumsi bahwa setiap partai politik memiliki kualitas pelembagaan yang berbeda-beda dalam suatu periode waktu tertentu sehingga tidak ada partai yang benar-benar kuat atau benar-benar lemah. Bisa jadi sebuah partai dalam satu waktu memiliki pelembagaan yang kuat secara internal, namun dalam waktu berikutnya lemah secara eksternal. Begitu juga sebalikanya. Oleh karena itu, penelitian ini tidak sedang menakar kuat dan lemahnya pelembagaan partai, melainkan bagaimana

(13)

13 proses pelembagaan partai yang sedang terjadi dari suatu periode ke periode lainnya.

D. Kerangka Teoritik : Mengurai Teori Pelembagaan Partai Politik

Pelembagaan atau institusionalisasi partai politik sering kali ditempatkan didalam konteks institusionalisasi demokrasi dimana mensyaratkan adanya institusioanalisasi system kepartaian (Randal and Svasand, 2002). Sedangkan institusionalisasi sistem kepartaian pada dasarnya adalah institusionalisasi partai politik itu sendiri (Mainwairing, 1998). Oleh karena itu, pelembagaan partai menjadi prasyarat bagi pelembagaan demokrasi. Sedangkan dalam konteks pelembagaan demokrasi di negara berkembang seperti di Indonesia, pelembagaan partai tidak bisa lepas dari arus demokratisasi yang sedang berlangsung sebagai konteks sosial dan politik. Oleh karena itu, proses pelembagaan demokrasi akan selalu berjalan beriringan dengan proses pelembagaan partai politik.

Studi ini akan mencoba mengurai bagaimana proses pelembagaan partai di Indonesia adalah proses tanformasi pelembagaan. Untuk melihat beberapa aspek pelembagaan tersebut, dalam penelitian ini akan menggunakan konsep pelembagaan milik Randal dan Svasand (2002). Dalam hal ini, akan dibagi menjadi dua bagian, yaitu Pertama, tentang aspek pelembagaan partai politik. Kedua, dampak pelembagaan partai terhadap perolehan suara dalam periodesasi pemilu.

(14)

14 Teori tentang pelembagaan partai pada dasarnya diletakkan dalam komparasi ilmu politik dimana tidak ada satu teori secara utuh yang benar-benar independent jarang ditemukan (Randal and Savsand, 2002: 6). Dalam hal ini, konseptualisasi tentang pelembagaan partai politik yang digagas oleh Randal dan Svasand (2002) sebenarnya merupakan elaborasi teori pelembagaan partai yang pernah digagas oleh para ilmuan sebelumnya seperti Huntington (1968), Panebianco (1988), Levitsky (1998), dan Janda (1980). Meskipun begitu, Randal dan Svasand mencoba untuk keluar dari fokus kajian pelembagaan partai yang meyakini bahwa pelembagaan partai politik merupakan bagian integral dari sistem pelembagaan partai politik. Sebagaiamana yang diungkapkan oleh Mainwairing (1998) bahwa pelembagaan sistem partai selalu ada interdepensi atau saling ketergantungan dengan pelembagaan partai itu sendiri dalam konteks pelembagaan demokrasi. Tesis ini menurut hemat Randal dan Svasand menjadi problematik, karena tidak selalu pelembagaan partai secara otomatis memunculkan interdepedensi antara pelembagaan partai dan pelembagaan system kepartaian. Menurutnya, pelembagaan system kepartaian tidak hanya dipengaruhi oleh pelembagaan partai, namun juga dipengaruhi oleh kondisi lingkungan struktur politik yang ada.

Dalam konteks demokrasi baru di negara-negara berkembang, menurut Randal dan Svasand (2002) sering kali terdapat pelembagaan partai yang tidak merata. Kondisi ini tentu sulit membuat kesimpulan bahwa pelembagaan system kepartaian tergantung pada pelembagaan partai. Oleh karena itu, Randal dan Svasand mencoba fokus pada pelembagaan partai secara individu dari pada

(15)

15 meletakkan kedalam bagian dari pelembagaan sistem partai. Gagasan pelembagaan partai politik Randal dan Svasand (2002) pertama kali diambil dari tulisan Samuel Huntington (1968) dalam Political Order in Changing Societies yang mendefinisakan pelembagaan politik sebagai proses dimana organisasi dan prosedur telah mecapai nilai dan stabilitas. Huntington mengidentifikasi empat dimensi pelembagaan, yaitu adabtibility (kemampuan menyesuaikan diri), complexity (kompleksitas), autonomy (autonomi), dan coherence (keterpaduan). Adaptibility dapat diartikan sebagai kemampuan kemapuan oraganisasi untuk bertahan dari satu generasi ke generasi selanjutnya. Sedangkan kompleksitas (complexity) organisasi dapat diukur dari jumlah sub unit dalam suatu organisasi. Sedangkan autonomy digunakan untuk mengukur derajat perbedaan dengan organisasi sosial lainnya. Dan Coherence dapat dilacak melalui derajat konsensus didalam organisasi dalam mengelola batasan fungsi dan prosedur. Meskipun secara teoritik, autonomy dan coherence adalah memiliki karakter yang tidak saling behubungan (independent), akan tetapi dalam prakteknya kedua saling berhubungan satu sama lain.

Randal dan Svasand juga mereview teori pelembagaan partai politik yang diambil dari potongan tulisan Panebianco (1988, dikutib dalam Randal and Svasand, 2002) yang melihat bahwa pelembagaan partai dilihat dari dua kriteria, yaitu derajat ekternal atau otonomi dengan lingkungan (autonomy vis a vis its environment) dan derajat internal atau kesisteman (systemness). Dari kedua teori yang ditulis oleh Huntington dan Panebianco, menurut Randal dan Svasand ada semacam tumpang tindih kriteria. Apa yang disebutkan oleh Panebianco kriteria

(16)

16 systemness adalah kominasi kriteria complexity dan coherence yang diteorisasikan oleh Huntington. Bahkan, Panebianco tidak mensyaratkan adanya adanya adabtibility karena semakin tinggi derajat pelembagaan maka akan dengan sendirinya terbentuknya adabtibility maupun flexibility.

Selain itu, Randal dan Svasand juga mereview teori pelembagaan partai dari Levitsky (1998, dalam Randal and Svasand, 2002) yang memiliki kriteria berbeda dengan apa yang telah disebutkan sebelumnya, yaitu value infusion. Secara sederhana, value infusion dapat diartikan sebagai upaya organisasi untuk memiliki “nilai” yang tertanam didalam struktur organisasi. Kriteria pelembagaan patai yang diungkapkan oleh Levitsky ini pada dasarnya memfokuskan pada upaya partai politik dalam membentuk rutinisasi didalam tingkah laku dan orientasi setiap setiap individu yang ada didalam oragnisasi. Menurut hemat Randal dan Svasand, kriteria ini lebih melihat pelembagaan internal dari sudut pandang prilaku individu partai, yaitu sejauh mana “nilai” tertanam didalam tingkah laku anggota yang ada didalamnya.

Gagasan tentang dimensi pelembagaan partai yang terakhir dikonseptualisasikan oleh Kennent Janda (1980) yang lebih banyak menyoroti pada aspek relasi eksternal partai (Randal and Svasand, 2002). Menurutnya, Pelembagaan partai dapat ditakar ketika partai berhasil melakukan reifikasi didalam akar rumput. Secara sederhana, reifikasi dapat dipahami sebagai “pengakaran” partai diakar rumput. Hal ini ditandai dengan seberapa kuat partai mampu membentuk party id dengan adanya pengakuan identitas keanggotaan di

(17)

17 akar rumput. Istilah ini dalam bahasa Janda disebut dengan “reified in the public mind”, yaitu penerimaan partai secara tanpa disadari dibenak publik.

Dari review keempat teori pelembagaan partai diatas, Randal dan Svasand (2002) membuat semacam formula teori pelembagaan secara sistematis berdasarkan empat dimensi, yaitu adaptibilty, systemness (coherence/compelxity), value infusion, external institusionalization (reification), dan autonomy. Dari keempat dimensi tersebut, Randal dan Svasand membuat dua klasifikasi, yaitu dilihat dari pelembagaan internal dan eksternal, serta pelembagaan struktural dan attitudinal.

Table 1. Dimensi Institusionalisasi Partai

Dimensi Internal Eksternal

Struktural (formal) Systemness Decisional autonomy Attitudinal (informal) Value Infusion Reification

Aspek internal mengacu pada pengembangan didalam internal partai itu sendiri, dan aspek eksternal dalam melihat hubungan partai (party relationship) dengan masyarakat (society) di akar rumput, maupun terhadap institusi lain. Sedangkan aspek struktural bermaksud pada pelembagaan di sektor organisasi yang secara intens berhubungan dengan aturan formal. Sedangkan aspek attitudinal lebih mengacu pada pola integrasi tingkah laku (behaviors), sikap (attitudee) dan budaya (culture).

(18)

18 Salah satu aspek penting dalam pelembagaan partai politik adalah apa yang disebut oleh Panebianco sebagai systemness, yaitu mengacu pada infrastruktur organisasi dan dinamika internal partai (Panebianco, 1988) . Tentu pelembagaan dimensi ini tidak hanya ditentukan oleh genetic model atau asal usul model partai, namun juga ditopang oleh rutinisasi yang dilakukan dengan baik dan dapat diterima sebagai aturan maupun prosedur di internal partai (O’donnel 1996). Sebagaiamana cara neo-institusionalis memaknai instutusi (Lowndes, 2002), aturan dan prosedur itu bisa berupa formal seperti konstitusi partai atau AD/ART maupun informal seperti faksionalisme, klientalisme, dan prinsip senioritas. Oleh karena itu, dalam melihat lebih jauh aspek-aspek penting dalam systemness dapat dianalisis meliputi, (1) internal structure power (struktur kekuasaan internal), (2) succession regulation (regulasi suksesi), (3) decision making proses (proses pembuatan keputusan), (4) relation between the central leadhership and regional branches (relasi hubungan kepemimpinan pengurus pusat dan daerah), dan (5) regularization of access to financial resources (Regulasi akses sumber keuangaan) (Randal and Svasand, 2002; 11).

a.1. Struktur Kekuasaan Internal

Indikator pertama dalam melihat Systemness adalah bagaiamana struktur kekuasaan itu dikelolaa di internal partai atau internal structure power. Pengelolaan kekuasaan di internal partai tidak lepas dari origins atau asal usul bagaimana partai tersebut dilahirkan (Randal dan Svasand, 2002 : 18). Sebuah model partai, atau proses formasi dan konsolidasi organsiasi dalam suatu partai akan memainkan peran penting didalam proses pelembagaan selanjutnya. Dalam

(19)

19 hal ini, Panebianco (1988:53) dalam studinya tentang partai-partai di negara berkembang, mengklaim bahwa partai yang dibentuk dari daerah pusat atau centre terlebih dahulu, kemudian secara gradual menyebar daerah-daerah atau regions sehingga struktur kepartaiannya terbentuk dari atas kemudian kebawah, akan lebih baik didalam perkembangan pelembagaanya, daripada yang terbentuk dari urat akar arus massa yang ada di daerah kemudian terbentuk partai di pusat. Hal ini disebabkan karena menggejalannya rezim autoritarian didalam negara berkembang menyebabkan partai yang berkembang secara spontan di daerah-daerah akan terhalangi oleh undang-undang kepartaian atau system pemilu.

Dalam pengelolaan struktur kekuasaan didalam internal partai, ada dua karakter pengelolaanya, yaitu apakah dengan memusatkan kekuasaan ditangan salah satu aktor atau didistrubusikan kebanyak aktor (Randal dan Svasand, 2002). Meskipun begitu, kecenderungan adanya sentralisme aktor di internal partai dalam proses awal pendirian partai meupakah hal yang tidak dapat dihindari, sekalipun dalam partai berbasis massa (Michels, 1984). Tesis Michels tentang menggejalanya oligarki atau kekuasaan yang memusat hanya pada salah satu aktor atau beberapa elite adalah hal yang tidak mungkin dihindari. Dalam perkembangan partai di Eropa, pada mulanya partai elite atau kaukus tampak adalah partai yang dibangun dan didominasi oleh wajah partai di tingkat pusat yang hanya dimiliki oleh beberapa elite. Namun, partai massa yang pada awalnya adalah inisiatif massa yang diikat bukan atas dasar kepentingan elite, akan tetapi berdasarkan basis idiologi dan kelompok, pada akhirnya juga terbentuk lapisan diinternal organisasi partai, antara elite dan non elite (Michels, 1984;99).

(20)

20 Secara lebih spesifik, patologi pengelolaan kekuasaan oligarkis yang berkembang di negara-negara dunia ketiga atau yang baru melakukan demokrasi adalah pengaruh fenomena klientalisme di internal partai(Randal dan Svasand, 2002:22). Partai di negara berkembang cenderung melahirkan sekelompok elite yang secara visioner memiliki kemampuan persuasif dalam mengkampanyekan idiologi sesuai platform partai. Kondisi inilah yang menciptakan menggejalannya sistem klientalisme didalam partai-partai baru yang ada di negara berkembang. Dalam sistem klientalisme melibatkan dua kelompok, yaitu patron sebagai pemilik sumber daya sehingga digunakan untuk membangun loyalitas diinternal partai dengan klien, yaitu pihak yang menikmati sumber daya patron dan sebagai gantinya dia memberikan loyalitasnya kepada patron. Sistem ini sering kali melahirkan partai kharismtik, dimana struktur kekuasaan didalam sebuah partai berpusat pada seorang tokoh figur, sehingga menjadikan partai sebagai alat untuk mewujudkan tujuannya kekuasaanya.

a.2. Suksesi Kepemimpinan

Gejala klientalisme sangat berpangaruh banyak terhadap sistem regulasi suksesi kepemimpinan didalam partai politik atau succession regulation. Secara spesifik, Huntington (1968) menyoroti suksesi kepemimpinan sebagai alat untuk mengukur adaptibilitas didalam proses rutinisasi partai. Adaptibililtas terkait erat dengan seberapa jauh partai mampu beradabtasi didalam perubahan atau pergantian generasi. Semakin lamanya usianya partai maka menunjukkan kemampuan adaptibilitas partai didalam proses regenerasi. Proses regenerasi adalah proses suksesi kepemimpina dari era generasi angkatan pertama ke

(21)

21 generasi angkatan kedua, dan begitu seterusnya. Kemampuan partai dalam menyelenggarakan suksesi kepememimpinan dari generasi pertama ke generasi kedua inilah yang dijadikan sebagai salah satu alat ukur pelembagaan struktural internal partai. Semakin tinggi tingkat pelembagaannya, maka penyelenggaraan suksesi kepemimpinan akan semakin demokratis tanpa disertai oleh gejala faksionalisasi partai yang sering kali menjadi penyebab polarisasi partai menjadi partai semapalan.

Gejala faksionalisasi sering kali menjadi persoalan dalam pelembagaan partai di negara negara berkembang. Hal ini terjadi karena bangunan kekuatan klientalisme di internal partai sering kali terbelah sehingga muncul dualisme sistem klientalisme dengan dua patron dan dua klien sehingga faksionalisasi yang terbentuk sering kali faksi-faksi yang berkarakter personal (Sugiarto, 2006). Pengelompokan atau grouping di internal partai yang diikat secara personal menyebabkan tumbuhnya polarisasi partai dalam proses suksesi kepemimpinan. Dampaknya adalah ketika salah satu faksi atau kubu diinternal partai tidak berhasil menang, maka sering kali ada pembilahan partai sehingga muncul partai baru. Dalam kondisi yang lebih ekstrim, proses suksesi kepemimpinan bisa jadi akan gagal dan terbentuk dualisme partai dengan versi struktur kepemimpinan masing-masing.

a.3. Proses Pembuatan Keputusan dan hubungan pusat dan daerah Gejala klientalisme juga berpengaruh terhadap proses pembuatan keputusan di internal partai, termasuk hubungan antara partai ditingkat pusat dan partai ditingkat daerah. Sebagaimana yang dijelaskan didalam struktur kekuasaan partai

(22)

22 diatas, gejala klientalisme sering kali menyebabkan munculnya penguasa dominan diinternal partai sehingga proses kebijakan cenderung top-down (Krouwel, 2006). Proses pembuatan keputusan diinternal partai ini adalah penegasan dari struktur kekuasaan di internal partai. Semakin terpusatnya kekuasaaan partai berada ditangan salah satu aktor atau elite, maka proses pembuatan keputusan cenderung tidak demokratis. Begitu juga dalam hubungan antara pusat dan daerah, sering kali kebijakan di tingkat pusat haruslah dipatuhi oleh partai di tingkat daerah. Dalam hal ini, partai ditingkat daerah tidak memiliki otonomi sehingga kebijakan yang dihasilkan menyesuaikan dengan keputusan pusat. Bahkan, dominasi pusat terhadap daerah tidak hanya dalam pembuatan keputusan, namun juga dalam proses suksesi kepemimpinan pengurus partai di tingkat daerah. Pengurus partai di tingkat pusat bisa jadi dengan leluasa melakukan bongkar pasang struktur pengurus partai di daerah sehingga control pusat didaerah bisa dipastikan berjalan dengan baik.

a.4. Regulasi Akses Finasial

Isu lain yang erat kaitannya dengan pelembagaan struktural internal partai adalah masalah sistem akses sumber daya finansial (Randal and Svasand, 2002). Sumber daya finansial ini sangat dibutuhkan dalam membiayai segala aktivitas partai seperti kampanye saat proses pemilu berlangsung, operasionalisasi serta pembangnan kantor partai secara permanen, riset partai dalam membahas kebijakan, serta aktivitas pendidikan politik dalam kaderisasi partai. Terkait dengan sumber pendanaan partai, hampir semua partai yang ada di negara-negara dunia ketiga, sistem iuaran partai berdasarkaan keanggotaan (membership) sering

(23)

23 kali tidak berlaku. Sering kali partai-partai yang muncul di luar Eropa, atau di negara-negara yang baru dalam proses demokratisasi, pendanaan partai lebih mengandalkan pada sumber daya finansial yang dimiliki oleh beberapa elite partai. Dalam konteks Eropa, model partai yang pendanaannya berasal dari elite atau kaum bangsawan yang saat itu terlebih dahulu berada di parlemen disebut dengan partai elite (Macridis, 1967). Hal inilah yang membedakan dengan partai massa di Eropa yang kemunculannya berasal dari luar elite parlemen sehingga proses pendanaan partai didasarkan atas iuran keanggotaanya partainya yang berasal dari serikat buruh.

b. Decisional Autonomy

Decision autonomy sebagai salah satu dimensi pelembagaan partai yang dikonseptualisasi oleh Randal dan Svasand (2002) sebenarnya masih dipedebatkan dikalangan ilmuan patai politik. Hal ini disebabkan karena kecenderungan dari para ilmuan sebelumnya seperti Huntington (1968) dan Panebianco (1988) yang terlalu fokus pada pelembagaan srtruktural internal sehingga meletakkan autonomy bukan sebagai kebutuhan dalam pelembagaan partai. Dimensi decisional autonomy lebih memfokuskan pada derajat otonomi partai politik terhadap institusi lainnya. Dalam hal ini, bisa bermakna dua hal, yaitu : Pertama, sejauh mana partai politik otonom dalam proses pembiayaan partai tidak bergantung terhadap institusi atau aktor lainnya diluar partai tersebut. Kedua, sejauh mana partai politik otonom didalam proses kebijakan tidak dipengaruhi oleh institusi atau aktor diluar partai tersebut. Secara sederhana, Randal dan Svasand (2002) memberikan penilaian terhadap tingginya

(24)

24 pelembagaan decision autonomy, jika suatu partai politik ketika menjalin hubungan dengan aktor atau institusi eksternal, bebas dari interfensi didalam menentukan strategi dan kebijakan partai. Dengan demikian, sejauh partai politik didalam membangun relasi dengan institusi atau aktor eksternal tetap mampu menjaga supaya dominan atas relasi tersebut, maka derajat pelembagaan decision autonomy suatu partai politik itu bisa dikatakan tinggi.

Terkait dengan pelembagaan dimensi decision autonomy setidaknya dua hal yang sering kali mempengaruhi otonomi keputusan didalam negara dunia ketiga (Tomsa, 2006). Pertama, adanya ikatan idiologi yang kuat suatu partai di negara berkembang dengan federasi serikat buruh dinegara-negara di Eropa sehingga turut mensupport, baik secara materi maupun sumber daya manusia. Dalam konteks Indonesia, kemunculan PKI (Partai Komunis Indonesia) sebagai kekuatan politik di Tahun 1960-an juga setidaknya ada hubungan serta difasilitasi oleh federasi serikat buruh dari negara-negara yang lebih kuat. Kedua, organsisasi keagamaan yang telah berkembang terlebih dahulu sebelum berkembangnya partai politik sering kali memfasilitas terbentuknya partai politik, sebagaimana di India Partai Baratiya Janava didirikan oleh organsiasi hindu Rashtriya Sevak Sangh. Demikian halnya dengan konteks di Indoensia, berdirinya PKB (Partai Kebangkitan Bangsa) juga difasilitas dan didirikan secara resmi oleh organisasi islam NU (Nahdlotul Ulama).

(25)

25 Value infusion sebagai dimensi internal informal attitudinal secara umum corcern terhadap basis populer partai dan identifikasi keanggotaan partai. Term value infusion diperkenalkan oleh Levitsky (2001) dalam melihat institusionalisasi partai ketika sebuah organisasi menjadi terinfusi (infuse) atau tertanam sebuah value (nilai) melampai persyaratan teknis secara formal. Berdasarkan pengalaman Partai Paronist di Argentina dimana terdapat skor tinggi didalam mengukur penanaman nilai (value infusion), namun aturan (rules) dan procedur justru diabaikan, dimanipulasi, dan dikontestasikan. Dimensi ini ditangkap oleh Randal dan Svasand sebagai bagian dari dimensi institusionalisasi partai yang secara terpisah dengan dimensi lainnya dalam melihat sejauh mana partai mampu melakukan penananam nilai (value infusion) didalam keanggotaan partai. Bisa jadi sebuah partai memiliki derajat value infusion yang tinggi, namun memiliki derajat rutinisasi organisasi yang rendah sebagaimana dalam kasus Partai Peronist di Argentina. Begitu juga sebaliknya sebagaimana yang ditunjukkan Levitsky (2001) dalam kasus Green party di Eropa.

Untuk mengukur seberapa tinggi derajat value infusin dalam partai politik, hanya ada satu instrumen dalam melihatnya, yaitu sejauh mana keanggotaan partai telah tertanam sebuah nilai yang didasarkan atas idiologi atau pembilahan sosial tertentu. Nilai yang telah tertanam diantara para kader itu ditandai oleh seberapa jauh para kader partai dalam menjalankan nilai perjuangan partai melebihi dari hasrat kepentingan individu kader. Sumber penanaman nilai bisa bermacam-macam tergantung pada identifikasi yang mencerminkan representasi bagi gerakan sosial. Dalam kasus Eropa Barat, sumber identifikasi sosial

(26)

26 sebagaimana yang digambarkan oleh Lipset dan Rokkan (1967) yang mengidentifikasi menjadi empat pembilahan masyarakat klasik sebagai basis pembentukan partai massa, yaitu berdasarkan kelas (class), agama (religion), kedaerahan (region), dan pemisahan rural dan urban.

Rendahnya pelembagaan dimensi value infuion sering kali menyebakan timbulnya faksionalisasi yang bukan paradigmatik. Faksionalisasi partai yang terjadi karena dorongan kepentingan individu menurut hemat Kollner dan Basedau (2005) merupakan tipe faksionalisasi yang terbentuk atas dasar kepentingan (factions of interest). Selain itu, faksionalisasi yang terjadi tidak jarang terbentuka berdasarkan kepentingan personal. Tipikal faksi personal (factions of personalizedi) sering kali terjadi didalam proses kristalisasi faksi sehingga terjadi pembilahan partai (Kollner dan Basedau, 2005:15). Dengan demikian, value infusion terkait dengan seberapa jauh partai mampu mengelola faksionalisasi di internal partai, sehingga kepentingan individu tidak berpengaruh terhadap pembilahan partai.

d. Reification

Dimensi institusionalisasi partai yang terakhir yaitu reification, secara sederhana merefleksikan kemampuan partai didalam membangun diskursus politik (political discourse) atas jati diri partainya di sebuah negara. Istilah reification diperkenalkan oleh Janda (1980) yang mengacu pada penerimaan public mind (benak publik) atau imaginasi publik terhadap eksistensi “partai” sebagai organisasi sosial, bukan sebagai pelembagaan seorang pemimpin (leader).

(27)

27 Definisi ini tampak diambil dari gagasan value infusion, namun dalam skala yang lebih luas, yaitu hubungan antara partai dengan para konsituennya di masyarakat. Oleh karena itu, untuk membangun sebuah “imaginasi publik”, sebuah partai harus membuat dan mengembangkan mekanisme interaksi antara partai dengan publik.

Dimensi reification ini dapat diukur melalui sejauh mana imaginasi publik terhadap sebuah partai tertentu terkait dengan karakteristik partai meliputi platform, program, dan kebijakan partai sehingga menjadi berbeda antara satu partai dengan partai lainnya. Dalam hal ini, partai politik perlu memiliki sebuah media tersendiri dimana partai mampu memberikan pesan politik terhadap mesyarakat terhadap karakteristik partainya dibanding dengan partai lainnya. Tentu untuk memiliki refication yang bagus diperlukan sebuah perjalanan panjang partai politik dikancah perpolitikan nasional sehingga tertangkap oleh imaginasi publik tentang karakteristik partai tersebut.

Randal dan Svasand (2002) menempatkan dimensi reification sebagai pelembagaan attitudinal eksternal yang berkaitan langsung dengan elektoral atau pemilu. Sebagaimana yang diungkapkan oleh Mainwairing (1999), bahwa partai yang betarung di Pemilu haruslah memiliki identitas dan karakter sebagai bentuk labelling atas sebuah partai politik sehingga membedakan dengan partai lainnya. Karena hanya sedikit pemilih voters yang memiliki akses pengetahuan untuk mengetahui program dan kebijakan partai secara spesifik, maka dibutuhkan “simbol” yang mampu merepresentasikan sebuah kelompok masyarakat tertentu. Oleh karena itu, tingkat pelembagaan dimensi reification terakait erat dengan

(28)

28 tingkat kualitas dan perolehan suara dari periodesasi tahapan pemilu. Sejauh partai mampu mengikat para konsituennya untuk bertahan menunjukkan tingginya tingkat pelembagaan reification sebuah partai politik.

Table.2. Karakteristik Dimensi Pelembagaan Partai

Dimensi Karakter Tinggi Rendah

Internal Struktural (Systemness)  Pengelolaan struktur kekuasaan internal.  Regulesi suksesi kepemimpinan internal.  Relasi hubungan kepemimpinan central leadership (DPP) dan

ragional branches (DPW dan DPC).

 Regulasi akses sumber finansial partai..  Demokratis  Mekanisme pemilihan  Desentralisasi dari pusat ke daerah  Iuran anggota  Oligarkis, elitis  Elitis  Sentalisasi pusat terhadap daerah  Kekayaan personal, subsidi negara, bantuan kelompok kepentigan

(29)

29 Internal Attitudinal

(Value Infusion)

 Sejauh mana anggota internal partai dalam menjalankan prosedur dan aturan partai.

 Sejauh mana prilaku politik anggota internal partai mencerminkan tata nilai perjuangan partai melebihi kepentingan politik pribadi.

 Prosedur dan aturan partai diberlakukan secara keta  Kader lebih mementingkan kepentingan partai daripada kepentingan pribadi, dibuktikan dengan soliditas kader intra partai  Perosedur dan aturan partai dimanipulasi  Keder mendahulukan kepentingan pribadi daripada kepentingkan partai, dibuktikan dengan adanya faksionalisasi intra partai Stuctural Eksternal (Decisional Autonomy)

 Sejauh mana hubungan antar partai dengan dengan institusi diluar partai tidak

mempengaruhi independensi partai dalam proses kebijakan.

 Partai independent dalam proses kebijakan publik, dibuktikan dengan aksi  Partai tergantung dengan institusi diluarnya dalam proses kebijakan, dibuktikan

(30)

30  Sejauh mana partai tidak

bergantung pada instutusi eksternal dalam proses pembiayaan politik partai.

kritis terhadap kebijakan peemrintah  Partai tidak membangun kompromi politis dengan kompensasi pertukaran sumber daya, baik dengan negara maupun kelompok kepentingan dengan manuver partai yang selalu mewakili kepentingan institusi diluar partai  Partai membangun kompromi politis dengan kompensasi pertukaran sumber daya, baik dengan negara maupun kelompok kepentingan Attitudinal Eksternal (Reification)

 Sejauh mana imaginasi publik terhadap partai sebagai sebuah entitas organisasi, bukan entitas personal.  Perjuangan atas kelompok sosial tertentu, basis organisasi  Perjungan atas berbagai kelompok sosial, basis

(31)

31  Sejauh mana penerimaan

publik atas identitas dan idiologi sebuah partai sehingga berbeda dengan partai lainnya. daripada peronal  Memiliki party id sehingga kekuatan elektoral stabil personal daripada basis organisasi  Tidak memiliki party id sehingga kekuatan elektoral tidak stabil

II. Transformasi Model Pelembagaan dan Dampak Elektoral

a. Trasnformasi Model Pelembagaan

Pelembagaan partai sebagaimana yang dikonseptualisasikan oleh Randal dan Svasand berbeda dengan cara pendefenisian ilmuan lainnya yang cenderung melihat sejauh mana tingkat pelembagaan sebuah partai politik tanpa melihat proses pelembagaanya. Hal ini karena pelembagaan partai menurutnya cederung sebagai proses partai dalam membentuk pola prilaku baik secara strktural maupun kultural. Dalam ungkapannya, Randal dan Svasand menyebutkan “the process by wich the party becomes established in terms of both integrated patterns on behavior and of attitudes and culture”. Jadi, pelembagaan partai politik adalah proses pemantapan partai politik baik secara struktural dalam rangka mempolakan prilaku, maupun secara kultural dalam mempolakan sikap atau budaya. Tentu pola

(32)

32 pelembagaan partai tidak bisa dilepaskan dari konteks dimana pelembagaan itu berada. Dalam hal ini, konteks demokratisasi di Indonesia akan mempengaruhi corak pelembagaan partai yang ada didalamnya.

Konteks demokratisasi di Indonesia pada dasarnya tidak jauh berbeda dengan konteks demokratisasi di negara berkembang, dimana sering kali demokratisasi diawali oleh transisi dari rezim autoritarian ke rezim yang lebih demokratis. Randal dan Svasand (2002) adalah salah satu dari ilmuan yang mengkaji pelembagaan partai, namun cenderung melihat konteks pelembagaan itu berada. Frameworknya tentang empat pelembagaan diatas tentu sangat cocok untuk dijadikan sebagai acuan didalam melihat pelembagaan partai di negara berkembang yang konteks sosial dan politiknya selalu berubah mengikuti arus demokratisasi. Perubahan konteks sosial dan politik inilah yang mengakibatkan proses pelembagaan partai mengalami perubahan dari satu model ke model lainnya. Dalam hal ini, model pelembagaan partai menurut Randal dan Svasand (2002) adalah model pelembagaan partai yang tidak merata, dimana dalam dimensi tertentu memiliki pelembagaan yang baik, namun pada dimensi lainnya kurang memiliki pelembagaan yang baik. Proses perubahan model pelembagaan partai tersebut adalah proses transformasi pelembagaan partai.

Sebagaimana yang diungkapkan oleh Randal dan Svadand (2002) bahwa ketidak merataan pelembagaan sering kali terjadi didalam proses pelembagaan partai di negara berkembang, maka ada tiga kemungkinan diantara model-model pelembagaan yang ada. Pertama, model pelembagaan dengan hanya satu dimensi yang tingkat pelembagaannya tinggi, sedangkan lainnya rendah. Kedua, model

(33)

33 pelembagaan dengan dua dimensi tinggi, namun dua dimensi lainnya rendah. Ketiga, model pelembagaan dengan tiga dimensi tinggi, namun satu dimensi rendah. Dalam kajian Randal dan Svasand, tidak ada satupun partai yang tidak memiliki tingkat pelembagaan yang tinggi dari salah satu dimensi yang ada. Begitu juga sebaliknya, sulit ditemukan ada partai yang dalam satu waktu memiliki tingkat pelembagaan yang tinggi dari keempat dimensi yang ada. Terkait dengan dimensi apa yang ada didalamnya, tentu dari keempat dimensi yang ada memiliki peluang yang sama. Table dibawah ini akan menujukkan ketidak merataaan (uneven) model pelembagaan Randal dan Svasand (2002).

Model Pelembagaan Partai Politik

Model 1 Model 2 Model 3

 Systemness  Decision Autonom  Value Infusion  Reification  Syestemness dan Decision Autonomy  Systemness dan Value Invusion  Systemness dan Reification  Decision Autonomy dan Value Infusion  Decision  Systemness, Decision Autonomy, dan Value Infusion  Systemness, Decision Autonomy, dan Reification  Decision Autonomy, Value Infusion, dan

(34)

34 Autonomy dan dan Reification  Reification dan Decision Autonomy  Reification dan Value Infusion Reification

B. Relasi Pelembagaan dan Perolehan Suara Pemilu

Perolehan suara partai di pemilu tidak bisa dilepaskan dari pelembagaan partai itu sendiri. Terkait relasi antara pelembagaan partai dan perolehan suara, Huntington (1968) mengatakan bahwa partai politik untuk bisa survive dalam periodesasi pemilu harus memiliki pelembagaan yang baik. Naik turunnya suara partai tidak lepas dari kualitas pelembagaan partai itu sendiri. Secara lebh spesifik, dimensi pelembagaan yang memiliki hubungan kuat dengan pemilu menurut Randal dan Svasand (2002) adalah dimensi value infusion sebaga pelembagaan internal dan reification sebagai pelembagaan eksternal. Oleh karena itu, hal ini akan dibagi menjadi dua faktor, yaitu: faktor internal dan ekternal. Faktor internal berkaitan erat dengan pelembagaan internal partai dalam aspek pelembagaan value infusion. Karena kegagalan dalam melakukan pelembagaan value infusion akan berakibat pada lahirnya konflik intra partai atau fakisonalisasi sehingga suara partai akan terpecah melalui kemunculan partai sempalan. Sedangkan faktor eksternal berkaitan erat dengan aspek pelembagaan reification.

(35)

35 Kegagalan pelembagaan reification akan berakibat pada lemahnya pembentukan party id sehingga tidak memiliki basis konsituen tetap.

1. Faktor Internal : Value Infusion dan Faksioalisasi

Sebagaimana yang dijelaskan diatas, bahwa kendala bagi pelembagaan value infusion adalah kemunculan fakisionalisasi atau konflik intra partai. Meskipun motif faksionalisasi tidak selalu berdasarkan kepentingan personal, namun sejumlah studi selalu mengasumsikan bahwa faksionalisasi intra partai sebagai bagian dari patologi politik. Sebuah ilustrasi yang menggambarkan internal groupings (pengelompakan internal) didalam partai politik sering kali dianggap sebagai hambatan dalam perkembangan institusionalisasi partai. Sebagaimana yang digambarkan oleh Huntington (1968) bahwa tumbuhnya faksi-faksi didalam partai politik merupakan antitesis kohesifitas partai politik dalam melembagakan diri. Beberapa ilmuan politik mengganggap faksi sering kali menghasilkan kecurangan, ketidakfektifan, dan sejumlah konsekuensi disfungsional yang lainnya. Studi Fukui dan Aronof (1978) dan Mitchel (1978) menyimpulkan bahwa faksionalisasi politik memperlemah dan memperburuk otoritas dan legitimasi partai.

Meskipun begitu, tidak sedikit dari ilmuan politik yang memaknai faksionalisasi sebagai dengan sense yang lebih netral dari pada asumsi negatif. Nicholas (1977) cenderung memaknai faksionalisasi didalam politik sebagai bagian dari model pengorganisasian relasi politik dibawah kondisi perubahan sosial yang cepat, dari pada mengganggap faksionalisasi sebagai breakdown

(36)

36 (kerusakan) dari institusi sosial. Selain, sejumlah ilmuan politik yang lain justru berargumen bahwa faksionalisasi membawa konsekuensi positif. Emmerson (1989) menkritik Huntington yang mengklaim bahwa koherensi (keterpaduan) adalah antonim dari disunity (perpecahan). Emmerson percaya bahwa perbedaan didalam stuktur institusional dibutuhkan bagi masyarakat yang beraneka ragam untuk mengartikulasikan dan memperjuangkan perbedaan kepentingan kelompok-kelompok yang ada.

Begitu juga dengan Beller dan Belloni (1978) yang mengklaim bahwa faksionalisasi memfasilitasi representasi dan artikulasi bermacam-macam kepentingan didalam partai. Beller dan Belloni bahkan menggangap bahwa kompetisi antar faksi-faksi didalam partai akan memfasilitasi mekanisme proses pembuatan keputusan didalam proses kebijakan, idiologi dan pemeilihan pemimpin. Berbagai kasus faksionalisasi seperti yang ada didalam partai LDP di Jepang dan Partai Christian Democrat di Italy, eksistensi faksi-faksi di internal partai tersebut justru meningkatkan adaptibilitas partai. Meskipun begitu, faksionalisasi yang tidak terlembaga dengan baik akan menyebabkan munculnya polarisasi faksi sehingga akan meyebabkan pembilahan partai. Dalam derajat ini, pembilahan partai tentu menyebabkan pembilahan konsituen dari sumber satu partai yang sama sehingga menimbulkan penurunan suara partai secara drastis (Kollner and Basedau, 2005).

2. Faktor Ekternal : Reification dan Prilaku Memilih

Tentang studi perolehan suara partai politik pada pemilu (pemilihan umum), teori sikap dan prilaku memilih (voting behavior) masih menjadi pisau

(37)

37 analisis yang paling dominan saat ini. Meskipun begitu, perkembangan pendekatan teori prilaku memilih yang sering kali terbagi menjadi tiga model prilaku memilih, yaitu (1) model sosiologis atu yang dikenal dengan madzhab Colombia, (2) model psikologis yang dikenal dengan madzhab Michigan, dan (3) model rasional yang dikenal sebagai pendekatan ekonomi atau rational choice, tentu tidak lepas dari perkembangan pelembagaan partai politik itu sendiri. Kemunculan tiga pendekatan prilaku memilih tersebut merupakan bagian dari perkembangan partai politik yang adi di Eropa dan Amerika. Oleh karena itu, ada beberapa alasan yang menyebabkan teori prilaku memilih berkaitan erat dengan aspek dan karaker pelembagaan reification sebagaimana yang dijelaskan sebelumnya.

Pertama, model sosiologis adalah studi pertama tentang prilaku memilih yang berkembang di Eropa dan di Amerika pada tahun 1950-an. Model ini berasumsi bahwa prilaku memilih ditentukan oleh karakteristik sosiologis para pemilih, terutama kelas sosial, agama, dan kelompok etnik/kedaerahan/bahasa (Gaffar, 1992). Model ini tidak bisa dilepaskan dari perkembangan partai politik, dimana mulai muncul partai massa yang dibentuk berdasarkan kelompok sosial, baik berdasarkan basis kelas sosial, agama, buruh, pengusaha, dan sebagainya. Kemunculan partai massa dengan mengusung jargon memperjuangkan kepentingan kelompok sosial tertentu telah mempengaruhi corak prilaku memilih sehingga muncul model sosiologis. Dalam hal ini, corak aspek pelembagaan reification partai massa berperan besar didalam menentukan prilaku memilih masyarakat berdasarkan asumsi sosiologis. Meskipun begitu, corak model

(38)

38 sosiologis ini terjadi ketika partai belum secara intens melakukan proses pelembagaan reification sehingga belum terbentuk partay id sebagaimana dalam model psikologis.

Kedua, karena model sosiologis ini tidak mampu menjelaskan prilaku memilih yang hanya secara simbolisasi terikat oleh kepentingan kelompok sosial, melainkan lebih jauh lagi, ada keterikatan psikologis antara pemilih dengan partai politik melalui partisipasi secara aktif dalam proses pemilu, maka muncullah model psikologis. Model psikologis ini sebetulnya proses perkembangan prilaku memilih dari model sosiologis yang hanya menekankan asumsi representatif atas partai politik yang dianggap mewakili kepentingan kelompok sosial tertentu, ke model prilaku memilih yang didasarkan atas proses sosiliasasi politik sehingga secara psikologis berhasil membentuk sentimen dan identitas partai politik (party id) (Liddle, 2011). Munculnya party id sehingga masyarakat mampu mengidentifikasi dirinya sebagai anggota partai A atau munculnya ketertarikan politik (political interest) terhadap partai A tidak lepas dari keberhasilan partai massa dalam membangun reification atau “imaginasi publik” terhadap partainya.

Ketiga, munculnya model rational choice (pilihan rasional) sebagai pendekatan prilaku memilih berdasarkan adanya fenomena perubahan party id sehingga tidak mampu terjelaskan melalui model psikologis. Hal ini tidak lepas dari perkembangan sosial politik dimana basis ekonomi telah berhasil menggantikan basis idiologis sehingga ikatan party id tidak lagi kuat. Masyarakat tidak lagi berpartisipasi dalam pemilu karena faktor sosiologis maupun psikologis, akan tetapi terikat dengan hukum ekonomi “untung rugi”. Dalam konteks ini,

(39)

39 partai politik mulai banyak kehilangan konsituennya akibat dari kecenderungan model prilaku rational choice sehingga memaksa untuk tidak lagi terikat secara fundamental dengan idiologi partai yang terlalu kaku, dan menggantinya dengan issu-issu populis yang berkaitan erat dengan basis ekonomi. Dari sinilah kemudian muncul model partai catch all dimana dalam aspek pelembagan reification tidak lagi terikat dengan idiologi atau kelompok sosial tertentu, melainkan cenderung menggunakan issu populis.

E. Kerangka Berfikir

Penelitian ini secara garis besar ingin mengungkap proses pelembagaan PKB dari Era Gus Dur (1998-2007) ke Era Muhaimin Iskandar (2008-2014). Tesis yang dibangun dari penelitian ini adalah dalam proses pelembagaan tersebut terjadi proses pelembagaan. Sebagaimana yang diungkapkan oleh Randal dan Svasand (2002) bahwa pelembagaan partai dalam konteks negara berkembang cenderung memiliki pelembagaan yang tidak merata, maka pola transformasi model pelembagaan disini adalah proses perubahan dari dimensi pelembagaan satu ke dimensi pelembagaan yang lain. Asumsi yang dibangun adalah proses pelembagaan PKB di Era Gus Dur cenderung memiliki beberapa dimensi pelembagaan yang baik dibeberapa dimensi, namun tidak baik di dimensi yang lainnya. Begitu hanya dengan proses pelembagaan PKB di Era Muhaimin Iskandar yang memiliki beberapa dimensi lebih baik dibandingkan di Era Gus Dur, namun juga ada dimensi yang tidak lebih baik dari pada di Era Gus Dur. Hal ini adalah proses pelembagaan partai dalam mencari pola bentuk pelembagaan

(40)

40 diantara beberapa dimensi yang ada. Tentu transformasi model pelembagaan ini tidak lepas dari konteks demokratisasi yang sedang berkembang di Indonesia. Oleh karena itu, konteks demokratisasi menjadi salah satu bagian yang tidak terpisahkan dalam proses transformasi model pelembagaan tersebut.

Gambar. 1. Alur Kerangka Berfikir Transformasi Pelembagaan PKB

PKB Era Gus Dur (1998-2007) PKB Era Muhaimin Iskandar (2007-2014) Proses Pelembagaan Berdasarkan 4 dimensi pelembagaan : 1. Systemness 2. Decision Autonomy 3. Value Infusion 4. Reification Model Pelembagan Partai? Model Pelembagaan Partai? Transformasi Pelembagaan Dampak Perolehan Suara

(41)

41 F. Definisi Konseptual

1. Partai politik adalah kelompok yang terdiri dari orang-orang berpandangan sama yang berjuang untuk memperoleh kekuasaan dan pengaruh dalam pemerintahan, untuk dapat mempengaruhi opini publik dan mewujudkan pandangan politiknya (Schroder, 2010).

2. Pelembagaan Partai Politik adalah proses pemantapan partai politik baik secara struktural dalam rangka mempolakan prilaku, maupun secara kultural dalam mempolakan sikap atau budaya (Randal dan Svasand, 2002).

3. Transformasi Model Pelembagaan adalah perubahan model pelembagaan dari satu model ke model lainnya berdasarkan kualitas pelembagaan yang didsarkan atas empat dimensi pelembagaan.

4. Dimensi Systemness adalah salah satu dimensi dalam melihat aspek pelembagaan internal struktural yang memuat tentang pengelolaan kekuasaan, regulasi kepemimpinan, hubungan pusat dan daerah, dan regulasi akses finansial.

5. Dimensi Decision Autonomy adalah salah satu dimensi dalam melihat aspek pelembagaan eksternal struktural yang memuat hubungan partai dengan institusi lainnya dan kemandirian finansial partai dengan institusi lainnya.

6. Dimensi Value Infusion adalah salah satu dimensi dalam melihat aspek pelembagaan internal attitudinal yang memuat ketaatan kader terhadap

(42)

42 prosedur dan aturan partai, serta bagaimana infusi idiologi mampu mengalahkan kepentingan pribadi.

7. Dimensi Reification adalah salah satu dimenasi dalam melihat pelembagaan ekstenal attitudional yang memuat seberapa kuat imaginasi publik terhadap partai sebagai entitas organisasi serta karakter idiologi.

G. Metode Penelitian

1. Jenis dan Strategi Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk mengungkap proses tranformasi model pelembagaan PKB dari Era Gus Dur (1998-2007) ke Era Muhaimin Iskandar (2008-2014). Oleh karena itu, penelitian ini akan menggunakan metode penelitian studi kasus (case study) yang merupakan salah satu jenis metode kualitatif. Metode ini digunakan karena cocok untuk menjelaskan tema-tema tentang studi pelembagaan (institusionalisasi) partai. Sebagaimana yang dijelaskan oleh Berg (2001) bahwa studi kasus merupakan metode pengumpulan informasi yang secara sistematis membahas tentang orang tertentu, pengaturan sosial, peristiwa, atau kelompok.

Partai sebagai sebuah entitas kelompok organisasi tentu menjadi bagian dari bahasan penelitian yang cocok untuk menggunakan studi kasus. Didalam metode studi kasus, perlu kiranya untuk mengidentifikasi sebuah penelitian apakah sebuah kasus atau bukan. Menurut Louis Smith (1978) kasus adalah suatu “sistem yang terbatas” atau a bounded system (Stake, 2008). Dalam Hal ini,

(43)

43 fenomena transformasi pelembagaan PKB (Partai Kebangkitan Bangsa) dari Era Gus Dur (1998-2007) ke Era Muhaimin Iskandar (2008-1014) merupakan sebuah studi pelembagaan partai sebagai sebuah sistem organsiasi yang dibatasi oleh ruang, yaitu organisasi partai politik, dan waktu, yaitu periode dari 1998-2014.

Metode penelitian studi kasus menurut K Yin (1987) merupakan sebuah strategi penelitian yang memiliki beragam karakteristik tergantung pada tujuan penelitian. Salah satu karakter studi kasus adalah menjawab rumusan pertanyaan penelitian how atau why (K Yin, 1987). Hal ini sesuai dengan rumusan pertanyaan dalam penelitian yang ingin menjawab bagaimana tranformasi pelembagaan PKB dari Era Gus Dur (1998-2007) ke Era Muhaimin Iskandar (2007-2014). Secara khusus, tipe studi kasus dalam penelitian ini adalah strategi deskriptif karena berkaitan dengan kaitan-kaitan operasional yang menuntuk pelacakan waktu tersendiri. Menurut Whitney (1960), tipe metode deskriptif digunakan dalam penelitian yang berkaitan erat dengan pencarian fakta dengan interpretasi yang tepat. Salah satunya adalah terkait dengan pencarian fakta tentang sebuah proses peristiwa yang sedang berlangsung. Oleh karena itu, untuk melihat proses pelembagaan PKB, tentu tidak lepas dari periodesasi PKB dari Era Gus Dur (1998-2007) ke Era Muhaimin Iskadar (2008-2014). Dengan demikian, metode penelitian ini menggunakan studi kasus dengan tipe deskriptif.

2. Teknik Pengumpulan Data

Untuk mengungkap proses tranformasi pelembagaan PKB, penelitian ini memerluakan data yang dijadikan sebagai bahan analisis. Sedangkan sumber data

(44)

44 dalam penelitian ini meliputi data primer dan data sekunder. Data Primer dalam penelitian ini adalah data lapangan yang berasal dari sekumpulan wawancara. Sedangkan data sekunder meliputi arsip, dokumen, dan pemberitaan media. Sedangkan teknik dalam mengumpulkan data dilakukan dengan dua cara. Pertama, melalui field study (studi lapangan), yaitu peneliti berinteraksi secara langsung dengan realita yang sedang ditelitinya sehingga dapat diperoleh data primer, yaitu data yang berasal langsung dari informan berupa hasil hasil pengamatan beserta berupa hasil wawancara mendalam (indepth interview). Kedua, melalui pengumpulan arsip dan dokumen-dokumen penting partai yang berhubungan dengan pelembagaan PKB (Partai Kebangkitan Bangsa).

a. Wawancara mendalam (indepth interview)

Untuk mendapatkan penjelasan tentang pelembagaan partai PKB, maka penelitian ini akan fokus pada struktur formal PKB. Hal ini dibagi berdasarkan tiga wajah partai PKB, yaitu di tingkat central office (DPP), di tingkat public office (jabatan publik ex DPR), dan di tingkat ground (DPW/DPC). Karena penelitian ini tidak fokus pada aktor, akan tetapi pada pelembagaan, maka subjek wawancara tidak secara spesifik pada orang-orang tertentu, akan tetapi dilakukan pada beberapa informan yang mewakili dari tiap struktur wajah partai.

Pertama, ditingkat central office akan dilakukan wawancara dengan sejumlah tokoh PKB ditingkat pusat. Hal ini meliputi struktur PKB ditingkat dewan tanfidz (dewan harian) maupun ditingkat dewan syuro’ (dewan permusyawaratan) di DPP (Dewan Pengurus Pusat) PKB. Kedua, ditingkat public

Gambar

Table 1. Dimensi Institusionalisasi Partai

Referensi

Dokumen terkait

5ormansi pada benih dapat disebabkan oleh keadaan (isik dari kulit biji' keadaan (isiologis dari embrio atau kombinasi dari kedua tersebut.. 5ormansi pada beberapa

Dari data yang diperoleh tersebut penulis dapat mendiskripsikan praktek penentuan nisbah bagi hasil pembiayaan mudharabah dalam perspektif ekonomi Islam di BMT Bintoro

Penerapan context atau penggunaan bahasa dalam penyampaian pesan dan informasi yang diberikan di instagram merupakan salah satu faktor penting dalam kegiatan

Berdasarkan hasil penelitian, dapat disimpulkan bahwa kompos yang terbuat dari sampah kulit pisang kepok dan tanaman Mucuna bracteata telah memenuhi syarat kompos

Hal ini dapat diartikan bahwa para mahasiswa Fakultas Keperawatan Unpad angkatan 2011 mampu mengelola diri dengan strategi – strategi belajar terkait 8 aspek academic

Dari beberapa kompetensi yang dipersyaratkan oleh peraturan menteri pendidikan nasional di atas maka dapat dilihat bahwa kompetensi atau kemampuan yang terkait langsung

Di antara delapan kabupaten/kota tersebut yang paling banyak guru SD golongan IVa namun paling sedikit dapat naik pangkat ke golongan IVb ke atas (hanya dua orang) adalah

Prinsip: di dalam getah pankreas terdapat enzim lipase yang berfungsi memecah lem ak menjadi asam lemak dan gliserol, enzim lipase aktif pada kondisi basa dan pada suhu tubuh...