• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II KAJIAN PUSTAKA

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB II KAJIAN PUSTAKA"

Copied!
38
0
0

Teks penuh

(1)

8 2.1 Persalinan Preterm

2.1.1 Definisi persalinan preterm

Menurut definisi WHO, persalinan preterm adalah persalinan yang terjadi antara umur kehamilan 20 minggu sampai dengan usia kehamilan kurang dari 37 minggu atau 259 hari dihitung dari hari pertama haid terakhir. Menurut Himpunan Kedokteran Fetomaternal (POGI) di Semarang tahun 2005 menetapkan bahwa persalinan preterm adalah persalinan yang terjadi pada usia kehamilan 22-37 minggu (Mochtar, 2009).

Berdasarkan The American Academy of Pediatrics and the Americans

College of Obstrecians, indikator yang sering dipakai untuk mengetahui awal

terjadinya persalinan adalah kontraksi uterus dengan frekuensi paling sedikit 4 kali setiap 20 menit atau 8 kali dalam 60 menit dan disertai perubahan serviks yang progressif, dilatasi serviks > 1 cm dan penipisan > 80% (Cunningham dkk, 2010). Pada penelitian ini, diagnosis persalinan preterm berdasarkan prosedur tetap (protap) tahun 2003 yang berlaku di Lab / SMF Obstetri Ginekologi Rumah Sakit Umum Sanglah Denpasar.

(2)

2.1.2 Insiden persalinan preterm

Angka kejadian persalinan preterm berbeda pada setiap Negara. Di negara berkembang angka kejadiannya masih jauh lebih tinggi dibandingkan negara maju. Di Eropa,angkanya berkisar 5-11%, USA 11,9%, Australia sekitar 7%. Di India sekitar 30%, Afrika Selatan sekitar 15%, Malaysia 10%, di Indonesia sendiri angka kejadian persalinan preterm nasional belum ada, namun angka kejadian BBLR dapat mencerminkan angka kejadian persalinan preterm secara kasar. Angka kejadian BBLR nasional rumah sakit adalah 27,9% (Widjayanegara, 2009). Sedangkan angka kejadian persalinan preterm di beberapa Rumah Sakit pemerintah pada tahun-tahun terakhir menunjukkan persentasi yang bervariasi. Di RSU Dr. Wahidin Sudirohusodo Makasar periode 1 Juli 2000 sampai 31 Juli 2003 dari 1171 persalinan didapatkan sebanyak 86 kasus persalinan preterm (7,3%) (Suhartini, 2004). Di RSU Dr. Saiful Anwar Malang pada tahun 2001 tercatat insiden persalinan preterm sebesar 6,7% (Santoso, 2002). Dan berdasarkan data persalinan yang tercatat di bagian SMF Obstetri Ginekologi RSU Sanglah Denpasar terdapat sebanyak 852 kasus persalinan preterm (9,12%) terhitung sejak tahun 2008 hingga bulan Oktober tahun 2011.

2.1.3 Klasifikasi Persalinan Preterm

Menurut kejadiannya, persalinan preterm digolongkan menjadi : (Widjayanegara, 2009 ; Moutquin, 2003)

(3)

Sekitar 50% penyebab persalinan preterm tidak diketahui, oleh karena itu digolongkan pada kelompok idiopatik atau persalinan preterm spontan. Termasuk kedalam golongan ini antara lain persalinan preterm akibat persalinan kembar, poli hidramnion atau persalinan preterm yang didasari oleh faktor psikososial dan gaya hidup. Sekitar 12,5% persalinan preterm spontan didahului oleh ketuban pecah dini (KPD), yang sebagian besar disebabkan karena faktor infeksi (korioamnionitis).

Saat ini penggolongan idiopatik dianggap berlebihan, karena ternyata setelah diketahui banyak faktor yang terlibat dalam persalinan preterm, maka sebagian besar penyebab persalinan preterm dapat digolongkan kedalamnya. Apabila faktor-faktor penyebab lain tidak ada sehingga penyebab persalinan preterm tidak dapat diterangkan, maka penyebab persalinan preterm ini disebut idiopatik.

2. Iatrogenik/Elektif

Perkembangan teknologi kedokteran dan perkembangan etika kedokteran menempatkan janin sebagai individu yang mempunyai hak atas kehidupannya (Fetus as a Patient). Maka apabila kelanjutan kehamilan diduga dapat membahayakan janin, janin akan dipindahkan kedalam lingkungan luar yang dianggap lebih baik dari rahim ibunya sebagai tempat kelangsungan hidupnya. Kondisi tersebut menyebabkan persalinan preterm buatan/iatrogenik yang disebut juga sebagai elective preterm. Sekitar 25% persalinan preterm termasuk kedalam golongan ini.

(4)

a. Keadaan ibu yang sering menyebabkan persalinan preterm adalah : - Preeklamsi berat dan eklamsi,

- Perdarahan antepartum (plasenta previa dan solution plasenta), - Korioamnionitis,

- Penyakit jantung yang berat atau penyakit paru atau ginjal yang berat. b. Keadaan janin yang dapat menyebabkan persalinan preterm adalah :

- Gawat janin, - Infeksi intrauterin,

- Pertumbuhan janin terhambat (IUGR), - Isoimunisasi Rhesus.

Menurut usia kehamilannya, maka persalinan preterm digolongkan menjadi : (Widjayanegara, 2009 ; Moutquin, 2003)

1. Persalinan preterm (preterm), yaitu usia kehamilan 32-36 minggu.

2. Persalinan sangat preterm (very preterm), yaitu usia kehamilan 28-32 minggu. 3. Persalinan ekstrim preterm (extremely preterm), yaitu usia kehamilan 20-27

minggu.

2.1.4 Faktor Risiko Persalinan Preterm

Sangat disayangkan jika hingga kini, sulit untuk menentukan secara dini dan akurat seorang wanita hamil akan mengalami persalinan preterm. Bahkan sistim skoring yang meliputi : jumlah kehamilan, status sosial ekonomi, umur wanita saat hamil dan riwayat persalinan preterm/abortus, pernah dikembangkan

(5)

untuk menentukan wanita-wanita mana saja yang perlu mendapat pemantauan lebih intensif. Tapi kenyataanya sistem ini belum dapat menurunkan insiden persalinan preterm (Arias, 1993). Meskipun demikian ada beberapa faktor risiko yang diketahui meningkatkan persalinan preterm yang dibagi dalam dua kriteria (Hole, 2001), yaitu:

1. Kriteria Mayor : a. Kehamilan ganda b. Hidramnion c. Anomali uterus

d. Pembukaan serviks ≥ 2 cm pada usia kehamilan > 32 minggu

e. Panjang serviks < 2,5 cm pada usia kehamilan > 32 minggu (dengan TVS)

f. Riwayat abortus pada trimester II > 1x g. Riwayat persalinan preterm sebelumnya h. Operasi abdominal pada kehamilan preterm i. Riwayat konisasi

j. Iritabilitas uterus

k. Penggunaan cocaine atau amfetamin 2. Kriteria Minor :

a. Penyakit-penyakit yang disertai demam

b. Riwayat perdarahan pervaginam setelah usia kehamilan 12 minggu c. Riwayat pielonefritis

(6)

d. Merokok lebih dari 10 batang per hari e. Riwayat abortus pada trimester II

f. Riwayat abortus pada trimester I lebih dari 2x

Wanita hamil tergolong mempunyai risiko tinggi untuk terjadi persalinan preterm jika dijumpai satu atau lebih faktor risiko mayor atau dua atau lebih faktor risiko minor, atau ditemukan kedua faktor risiko (mayor dan minor).

2.1.5 Dampak Persalinan Preterm

Persalinan preterm merupakan masalah serius di bidang obstetri. 70% kasus kematian perinatal/neonatal disebabkan oleh persalinan preterm (Hole dan Tressler, 2001). Di Amerika Serikat 54% kematian bayi preterm terjadi pada umur kehamilan kurang dari 32 minggu. Berbagai usaha telah dilakukan dalam mempertahankan kelangsungan hidup bayi lahir prematur, terutama difokuskan bagi bayi yang lahir setelah 28 minggu, dimana angka kelangsungan hidup akan meningkat hingga 95% pada umur kehamilan 28 minggu (perempuan) dan 30 minggu (laki-laki) atau berat badan lahir diatas 1000 g (Cunningham dkk, 2010).

Bayi yang lahir preterm sering mendapat risiko yang berkaitan dengan imaturitas sistem organnnya. Komplikasi yang sering timbul pada bayi yang lahir sangat preterm adalah sindroma gawat nafas atau respiratory distress

syndrome(RDS), perdarahan otak atau intraventricular hemorrhage (IVH), bronchopulmonary dysplasia (BPD), patent ductus arteriosus (PDA), necrotizing enterocolitis (NEC), sepsis, apnea, dan retinopathy of prematurity (ROP)

(7)

(Iam,2002). Untuk jangka panjang, bayi yang lahir preterm mempunyai risiko retardasi mental berat, cerebral palsy, kejang-kejang, kebutaan, dan tuli. Di samping itu juga sering dijumpai gangguan proses belajar, gangguan adaptasi terhadap lingkungannya, dan gangguan motoris (Iam, 2003).

Morbiditas dan mortalitas tersebut berhubungan erat dengan umur kehamilan dan berat badan lahir. Makin besar umur kehamilannya dan berat bayinya, makin menurun angka morbiditas dan mortalitasnya. Karena adanya morbiditas jangka pendek dan jangka panjang tersebut di atas, maka akan dapat menyebabkan rendahnya kualitas sumber daya manusia di masa yang akan datang. Selain itu perawatan bayi preterm juga membutuhkan tehnologi kedokrteran yang canggih dan mahal. Mengingat penyulit - penyulit yang bisa terjadi, tingginya biaya perawatan intensif bayi baru lahir dan pengelolaan penyulit jangka panjang pada bayi yang lahir preterm tersebut, tindakan pencegahan sebelum persalinan terjadi, akan memberikan hasil yang lebih bermanfaat dan lebih menghemat biaya dibanding dengan apabila telah terjadi persalinan (Iam, 2003).

2.1.6 Mekanisme Terjadinya Persalinan Preterm

Persalinan pada wanita melibatkan serangkaian peristiwa yang progresif dimulai dengan aktivasi poros Hypothalamic Pituitary Adrenal (HPA) dan peningkatan Corticotropin Releasing Hormone (CRH) plasenta. Hal ini menimbulkan penurunan fungsi progesteron dan aktivasi estrogen yang kemudian

(8)

akan mengaktivasi Contraction Assosiated Proteins (CAPs) termasuk reseptor oksitosin, oksitosin dan prostaglandin. Peristiwa biologis ini akan menyebabkan pematangan serviks, kontraksi uterus, aktivasi desidua dan membrane janin serta pada kala dua persalinan akan meningkatkan oksitosin ibu. Terdapat suatu hipotesa tentang persalinan preterm dan aterm yang memiliki persamaan dan pada persalinan patologis bisa berlangsung bersama – sama dengan proses persiapan untuk persalinan fisiologis normal, terutama pada kehamilan di atas 32 minggu. Sebelum usia 32 minggu, dibutuhkan stimulus patologis yang lebih besar untuk memulai persalinan. Perbedaan mendasar antara persalinan spontan aterm dan preterm adalah aktivasi fisiologis komponen-komponen pathway tersebut pada persalinan aterm (physiologic activation), sedangkan pada persalinan preterm berasal dari proses patologis yang mengaktivasi salah satu atau beberapa komponen pathway tersebut (pathologic activation) (Romero, 2009).

Hingga saat ini pemicu awal persalinan preterm spontan masih belum bisa dijelaskan secara pasti. Berdasarkan studi epidemiologi dan patofisiologi, terdapat 4 mekanisme yang mengatur terjadinya persalinan preterm (Handono, 2009 ; Nesin, 2007 ; Esplin, 2005), yaitu :

1) Aktivasi dari poros hipotalamus-pituitari-adrenal (HPA) fetus maternal yang dicetuskan oleh stress.

Pada janin dapat sebagai respon dari keadaan intra uterine yang tidak bersahabat seperti aliran uteroplasenta tergangggu dan hipoksia. Stres pada fetus dapat meningkatkan sekresi CRH, yang akan merangsang ekspresi

(9)

ACTH (Adrenocorticotropic hormone) pada organ pituitary janin dan produksi

kortisol serta androgen oleh organ adrenal janin. Senyawa androgen pada janin kemudian diaromatisasi menjadi estrogen oleh plasenta. Hal ini akan menyebabkan rangkaian proses biologis yang mengarah pada jalur umum terjadinya proses persalinan,yang ditandai oleh terjadinya kontraksi uterus, pematangan serviks dan aktivasi desidua janin (Challis, dkk.,2000).

2) Inflamasi dan infeksi.

Sumber infeksi yang telah dihubungkan dengan kelahiran preterm termasuk infeksi intauterin (bertanggung jawab sampai 50% kelahiran preterm pada usia kehamilan < 28 minggu), infeksi sistemik maternal, bakteriuria asimtomatik, dan periodontitis maternal. Produk-produk bakteri merangsang produksi sitokin proinflamasi ( IL-1,TNF, IL-6, dan IL-8) oleh sel- sel desidua. Sitokin- sitokin ini, kemudian merangsang produksi prostaglandin oleh amnion dan desidua. Prostaglandin bekerja melalui reseptor spesifik. Prostaglandin E2 (PGE2) menyebabkan kontraksi miometrium melalui pengikatan reseptor EP-1 dan EP-3,yang menyebabkan kontraksi miometrium melalui mekanisme peningkatan mobilisasi kalsium dan menurunkan tingkat produksi penghambat cAMP intraseluler. Prostaglandin F2α (PGF2α) mengikat reseptor FP yang menyebabkan kontaksi miometrium. Peningkatan prostaglandin pula dapat disebabkan oleh infeksi intraamniotik maupun defisiensi enzim korio-desidual yg memetabolisme prostaglandin E2 (hydroxyprostaglanin dehidrogenase). Sitokin yang diproduksi selama infeksi dapat pula mengaktifkan ekspresi dari

(10)

matriks metalloproteinase dalam serviks dan desidua yang berperan dalam degradasi matriks ekstraseluler, pecahnya selaput amnion, dan perubahan serviks uteri. Keseluruhan proses tersebut menstimulasi terjadinya persalinan preterm.

3) Trombosis uteroplasental dan perdarahan desidua.

Lesi vascular dari plasenta secara umum dikaitkan dengan kelahiran preterm. Meskipun patofisiologinya belum jelas namun trombin dicurigai memiliki peranan besar. Trombin adalah suatu protease multifaktorial yang merangsang aktivitas kontraksi dari otot polos vaskuler, intestinal dan miometrium. Trombin mengaktifkan sederetan reseptor yang unik termasuk

protease-activated receptor 1, protease-protease-activated receptor 3 dan protease-protease-activated receptor 4. Reseptor-reseptor transmembran ini adalah bagian dari superfamili

protein heptahelical-G. Interaksi dengan trombin menghasilkan perubahan konfirmasi yang menghasilkan pasangan G-protein dan aktivasi fosfolipase C. Aktivasi Fosfolipase C mengawali reaksi biokimia yang berakhir pada pelepasan kalsium intraseluler dari reticulum endoplasma. Kombinasi antara pelepasan kalsium intraseluler dan influx kalsium ekstraseluler menyebabkan osilasi sitosolik kalsium yang mengaktivasi kalmodulin, Myosin Light Chain

Kinase (MLCK), aktin dan myosin yang menghasilkan kontraksi uterus secara

fasik.

Pada perdarahan desidua, juga diasosiasikan dengan infiltrasi desidua oleh netrofil dan merupakan sumber yang kaya akan protease dan matrik

(11)

metalloproteinase. Ini dapat menjadi dasar bagi mekanisme preterm rupture of

membrane yang selanjutnya menyebabkan persalinan preterm.

4) Peregangan uterus berlebihan.

Distensi uterus berlebihan memerankan peran kunci pada onset persalinan preterm yang berhubungan dengan gestasional ganda, polihidramnion, dan makrosomia. Peregangan uterus mengakibatkan ekspresi dari celah hubungan protein, seperti Conexin-43 (CX-43) dan Conexin-26 (CX-26), seperti halnya kontraksi yang berhubungan dengan protein lain seperti reseptor oksitosin. Peregangan dari miometrium juga meningkatkan PGHS-2 dan PGE. Peregangan dari otot segmen bawah rahim telah menunjukan peningkatan dari IL-8 dan produksi kolagenase yang pada akhirnya akan memfasilitasi pematangan serviks. Hal ini selanjutnya akan menstimulasi terjadinya persalinan preterm.

(12)

Gambar 2.1 Pathway persalinan preterm dan mediator – mediatornya (Elmer, 2009)

(13)

Beberapa studi yang lain juga menambahkan faktor kelainan pada uterus atau serviks dan faktor fetus sebagai penyebab timbulnya persalinan preterm (Krisnadi, 2009). Walaupun masih jarang, adanya jalur oksidatif pada persalinan preterm mulai diteliti. Terdapat beberapa penelitian yang mengkaitkan terbentuknya ROS dengan kejadian persalinan preterm melalui suatu mekanisme yang mempengaruhi fungsi dari pompa ion kalsium yang dapat memicu terjadinya kontraksi uterus sehingga pada akhirnya menyebabkan terjadinya persalinan preterm (Warren dkk, 2005).

2.2 Radikal Bebas, Oksidan, dan Reaktif Oksigen Spesies (ROS) 2.2.1 Radikal bebas dan oksidan

Radikal bebas adalah atom atau molekul yang memiliki sebuah elektron yang tidak berpasangan di orbit luarnya (unpaired electron). Struktur yang demikian membuat radikal bebas cenderung “mencuri” atau mengekstraksi satu elektron dari molekul lain di dekatnya untuk melengkapi dan selanjutnya mencetuskan reaksi berantai yang dapat mengakibatkan cedera sel. Terdapat 2 radikal bebas yang utama, yaitu ROS (Reaktif Oksigen Spesies) dan RNS (Reaktif Nitrogen Spesies), dimana target utama dari radikal bebas itu sendiri adalah protein, asam lemak tak jenuh dan lipoprotein, serta unsur DNA termasuk karbohidrat (Agarwal dkk, 2005). Radikal bebas punya 2 sifat penting : 1). bersifat sangat reaktif dan cenderung untuk bereaksi dengan molekul lain untuk mencari pasangan elektronnya sehingga bentuk lebih stabil. 2). dapat mengubah

(14)

molekul menjadi radikal. Radikal bebas mirip dengan oksidan dalam sifatnya sebagai penerima elektron (menarik elektron). Radikal bebas lebih berbahaya daripada oksidan oleh karena reaktifitas yang tinggi dan kecenderungannya membentuk radikal bebas yang baru (Arkhaesi, 2008).

Oksidan adalah senyawa penerima elektron (electron acceptor), yaitu senyawa yang dapat menarik elektron. Sering dibaurkan pengertian antara radikal bebas dan oksidan, karena keduanya memiliki sifat-sifat yang sama yaitu kecenderungan untuk menarik elektron (penerima elektron). Aktivitas keduanya menghasilkan akibat yang sama walaupun prosesnya berbeda, oleh karena itu radikal bebas digolongkan dalam oksidan, namun tidak setiap oksidan adalah radikal bebas. Radikal bebas lebih berbahaya dibandingkan dengan oksidan yang bukan radikal bebas, dikarenakan sifat radikal bebas memiliki reaktivitas tinggi dan kecenderungan membentuk radikal yang baru sehingga terjadi reaksi rantai

(chain reaction) dan akan berhenti apabila dapat diredam (quenched) oleh

antioksidan (Arkhaesi, 2008).

2.2.2 Reaktif oksigen spesies (ROS)

Organisme aerobik memerlukan energi sebagai bahan bakar fungsi biologis. Proses ini memerlukan ATP, di mana sumber utama ATP adalah melalui proses oksidasi fosforilasi di dalam mitokondria. Selama proses ini, molekul oksigen direduksi membentuk H2O, reaksi ini dikatalisasi oleh enzim sitokrome c

(15)

dari mekanisme ini tanpa kerusakan, sedangkan 5% dari reaksi molekul oksigen hanya tereduksi partial, yang memiliki peranan penting pada produksi ROS (Slavic, dkk., 2006).

ROS merupakan produk normal yang dihasilkan pada metabolisme seluler yang terdiri dari superoksida (O2⎯), radikal bebas hidroksil (OH-), hidrogen peroksida (H2O2), serta radikal peroksil (RCOO-). ROS terus menerus dibentuk dalam jumlah besar di dalam sel melalui jalur metabolik tubuh yang merupakan proses biologis normal karena berbagai rangsangan (Kohen, dkk., 2002).

Sumber ROS dapat dibagi dua : 1) sumber endogenous misalnya dari sel (netrofil), direct-producing ROS enzymes (NO synthase), indirect-producing ROS

enzymes (xanthin oxidase), metabolisme (mitokondria), serta penyakit (kelainan

metal, proses iskemia, infeksi, maupun inflamasi). 2) sumber eksogenous misalnya iradiasi gamma, iradiasi UV, ultrasound, makanan, obat-obatan, polutan, xenobiotik dan toksin (Kohen, dkk., 2002).

ROS memiliki efek menguntungkan dan efek merugikan. Dalam jumlah yang tepat, ROS berperan sebagai tranduser signal fisiologis dan dikenal juga sebagai secondary messengers dalam proses signaling intraselular. Secara fisiologis, ROS akan mempengaruhi fungsi selular, menghentikan pertumbuhan, bahkan memicu kematian sel terprogram (apoptosis) dari sel yang memang dianggap bermasalah, seperti misalnya sel yang mengandung mikroorganisme asing. Tetapi pada kadar ROS yang terlalu tinggi dapat menyebabkan proteksi antioksidan berkurang secara cepat, berkurangnya jumlah ATP, menyebabkan

(16)

kerusakan membran sel, hilangnya homeostasis ion, perubahan pada reaksi oksidasi selular, oksidasi DNA, denaturasi protein, lisis sel-sel saraf, dan menginisiasi reaksi inflamasi, hingga menyebabkan kematian sel yang seharusnya tidak terjadi (Burton & Jauniaux, 2011).

Secara umum ROS dapat diklasifikasikan menjadi dua kelompok, yaitu radikal dan nonradikal. Kelompok radikal yang sering dikenal dengan radikal bebas mengandung satu atau lebih elektron tidak berpasangan pada orbit atomik atau molekulernya. Elektron yang tidak berpasangan ini menunjukkan tingkat reaktivitas tertentu pada radikal bebas. Kelompok nonradikal terdiri dari berbagai bahan yang beberapa diantaranya sangat reaktif walaupun secara definisi bukan radikal (Kohen & Nyska, 2002).

Tabel 2.1 Metabolit Radikal dan Nonradikal Oksigen Radikal oksigen Nama Simbol Oksigen (Bi-radikal) Ion Superoksida Hidroksil Peroksil Alkoksil Nitrit Oksida O2-. O2. OH. ROO. RO. NO.

(17)

Turunan nonradikal oksigen Nama Simbol Hidrogen Peroksida Peroksida organik Asam Hipoklorit Ozon Aldehid Singlet oksigen Peroksinitrit H2O2 ROOH HOCL O3 HCOR /O 2 ONOOH Sumber : Kohen & Nyska, 2002

Radikal bebas memiliki waktu paruh yang sangat singkat, karena setelah terbentuk, komponen ini segera bereaksi dengan molekul lain. Waktu paruh ROS dipengaruhi oleh lingkungan fisiologisnya, seperti pH dan adanya spesies lain. Toksisitasnya tidak selalu sejalan dengan reaktivitas ROS. Pada umumnya, waktu paruh yang panjang dapat mengakibatkan toksisitas yang lebih besar karena memiliki waktu yang cukup untuk berdifusi dan mencapai lokasi yang sensitif, kemudian ROS yang terbentuk akan berinteraksi dan menyebabkan kerusakan di tempat yang jauh dari tempat produksinya. Sebaliknya, ROS yang sangat reaktif dengan waktu paruh yang pendek, misalnya OH•, menyebabkan kerusakan

langsung di tempat produksinya. Jika tidak ada target biologis penting di sekitar tempat produksinya, radikal tidak akan menyebabkan kerusakan oksidatif. Untuk mencegah interaksi antara radikal dan target biologisnya, antioksidan harus ada di

(18)

lokasi produksi untuk bersaing dengan radikal dan berikatan dengan bahan biologis (Kohen & Nyska, 2002).

Molekul oksigen memiliki konfigurasi elektron yang unik dan molekul ini sendiri merupakan bi-radikal karena memiliki dua elektron tidak berpasangan pada dua orbit yang berbeda. (Kohen & Nyska, 2002). Penambahan satu elektron pada dioksigen akan membentuk radikal superoksid (O2•¯ ). Peningkatan anion

superoksida terjadi melalui proses metabolik atau setelah aktivasi oksigen oleh radiasi (ROS primer) dan dapat bereaksi dengan molekul lain untuk membentuk ROS sekunder baik secara langsung maupun melalui proses enzimatik atau katalisis metal. Radikal superoksid sendiri dihasilkan dari reaksi fosforilasi oksidatif pada pembentukan ATP di mitokondria (1-5% oksigen keluar dari jalur ini dan mengalami reduksi univalent membentuk radikal superoksid). Di samping itu juga, bisa dihasilkan melalui sistem oksidase NADPH-dependen, yang jika teraktivasi misalnya oleh bakteri, mitogen atau sitokin, akan mengkatalisis reaksi reduksi mendadak dari oksigen menjadi hidrogen peroksida dan O2- (Valko, dkk.,

2005).

Pada pH fisiologis, superoksid ditemukan dalam bentuk ion superoksid (O2•¯) sedangkan pada pH rendah ditemukan sebagai hidroperoksil (HO2).

Hidroperoksil lebih mudah berpenetrasi ke dalam membran biologis. Dalam keadaan hidrofilik, kedua substrat tersebut dapat berperan sebagai bahan pereduksi, namun kemampuan reduksi HO2 lebih tinggi. Dalam larutan organik,

(19)

Reaksi terpenting dari radikal superoksid adalah dismutasi, dimana 2 radikal superoksid akan membentuk Hidrogen peroksida (H2O2) dan O2 dengan bantuan

enzim superoksid dismutase maupun secara spontan (Kohen & Nyska, 2002). Hidrogen peroksida dapat menyebabkan kerusakan sel pada konsentrasi yang rendah (10µM), karena mudah larut dalam air dan mudah melakukan penetrasi ke dalam membran biologis. Efek buruk kimiawinya dapat dibedakan menjadi 2, yaitu efek langsung dari kemampuan oksidasinya dan efek tidak langsung, akibat bahan lain yang dihasilkan dari H2O2, seperti OH• dan HClO.

Efek langsung H2O2 seperti degradasi protein Haem, pelepasan besi, inaktivasi

enzim, oksidasi DNA, lipid, kelompok -SH dan asam keto (Kohen & Nyska, 2002).

Radikal hidroksil memiliki reaktivitas yang sangat tinggi (107-109 m-1s-1),

waktu paruh yang singkat dan daya ikat yang sangat besar terhadap molekul organik maupun anorganik, termasuk DNA, protein, lipid, asam amino, gula, dan logam (Kohen & Nyska, 2002).

Metal transisi juga merupakan radikal. Di dalam tubuh, tembaga dan besi merupakan metal transisi yang terbanyak dan ditemukan dalam konsentrasi yang tinggi. Kedua logam ini berperan penting dalam Reaksi Fenton dan Haber-Weiss. Sebenarnya semua ion logam yang terikat pada permukaan protein, DNA atau makromolekul lain dapat berpartisipasi dalam reaksi ini. Logam yang tersembunyi di dalam protein, seperti dalam catalytic sites dan sitokrom atau kompleks simpanan tidak terpapar oksigen atau tetap berada dalam keadaan oksidasi

(20)

sehingga tidak berperan dalam reaksi ini. Dalam reaksi Fenton, Ion Ferro (Fe+2)

bereaksi dengan hidrogen peroksida (H2O2) membentuk ion ferri (Fe+3) dan

radikal hidroksil (OH•). Reaksi Haber-Weiss merupakan reaksi antara radikal

superoksid (O2•¯) dengan hidrogen peroksida (H2O2) yang kemudian

menghasilkan oksigen (O2) dan radikal hidroksil (OH•). Adanya logam transisi

inilah yang dapat menerangkan mekanisme kerusakan in vivo yang ditimbulkan oleh radikal hidroksil (Kohen & Nyska, 2002).

Pada persalinan spontan pervaginam sangat erat kaitannya dengan timbulnya kontraksi uterus yang terkoordinasi untuk membantu pengeluaran fetus dari jalan lahir. Pada beberapa kasus, kontraksi dapat menyebabkan timbulnya

Gambar 2.2 Kerusakan Akibat Reaktif Oksigen Spesies. (Kohen & Nyska, 2002)

(21)

kompresi dari suplai darah ke uterus. Episode alamiah tersebut merupakan proses awal terbentuknya ROS. Di sisi lain, miometrium manusia tidak hanya membentuk ROS, namun juga menciptakan sistem pertahanan antioksidan yang dapat meminimalisir efek destruktif potensial dari ROS tersebut (Jauniaux, 2011).

2.3 Antioksidan

Antioksidan secara kimia adalah semua senyawa yang mampu memberikan elektron (electron donor). Disebut antioksidan karena zat tersebut dapat melawan proses oksidasi. Zat-zat ini melindungi bahan kimia lain dari reaksi oksidasi yang dapat merusak sel. Dalam arti biologis, antioksidan mempunyai pengertian yang luas yaitu semua senyawa yang dapat meredam dampak negatif oksidan, termasuk enzim-enzim dan protein pengikat logam. Dalam meredam efek negatif dari oksidan dilakukan dengan dua cara yaitu 1) mencegah terjadinya dan tertimbunnya senyawa oksidan secara berlebihan, 2) mencegah terjadinya reaksi rantai yang berkelanjutan. Bertitik tolak pada dua cara kerjanya tersebut, antioksidan digolongkan menjadi antioksidan pencegah dan antioksidan pemutus reaksi rantai. Pengelompokan antioksidan yang lain adalah berdasarkan mekanisme proteksi endogen terhadap radikal bebas (Kohen & Nyska, 2002), yaitu:

1. Mekanisme antioksidan enzimatik

 Superoksid dismutase (SOD), merupakan enzim yang mengkatalisis radikal superoksid (O2ˉ) menjadi hidrogen peroksida (H2O2) dan

(22)

oksigen (O2). Terdapat beberapa jenis SOD, seperti Copper-Zinc-SOD

(Cu-Zn-SOD) yang terdapat di dalam sitosol terutama di lisosom dan nukleus, mangan-SOD (Mn-SOD) yang terdapat di dalam mitokondria, ekstraseluler SOD (EC-SOD) dan besi-SOD (Fe-SOD) yang hanya ditemukan pada tumbuhan. Radikal superoksid dapat mengalami dismutasi secara spontan maupun dengan bantuan SOD membentuk H2O2. Dengan adanya SOD, kecepatan dismutasi meningkat lebih dari

1000 kali lipat dibandingkan dismutasi spontan.

Enzim SOD akan merubah superoksid menjadi H2O2 :

2O2ˉ + 2H+ SOD O2 + H2O2

 Catalase (CAT), ditemukan pada hampir seluruh organ tubuh, namun terutama terkonsentrasi di hati. Di dalam sel, catalase ditemukan di dalam peroksisom. Fungsinya untuk mengkatalisis H2O2 menjadi H2O

dan O2. Kapasitas reduksi catalase tinggi pada suasana H2O2

konsentrasi tinggi, sedangkan pada konsentrasi rendah kapasitasnya menurun (Miwa dkk, 2008). Hal ini disebabkan karena catalase memerlukan reaksi dua molekul H2O2 dalam proses reduksinya,

sehingga hal ini lebih jarang ditemukan pada konsentrasi substrat rendah. Pada konsentrasi H2O2 rendah seperti yang dihasilkan dari

proses metabolisme normal, peroxiredoksin (PRX) yang berfungsi untuk mengikat H2O2 dan mengubahnya menjadi oksigen dan air.

(23)

2 H2O2 CAT H2O + O2

 Glutathione peroxidase (GPx), merupakan seleno-enzim yang pertama kali ditemukan pada mamalia. Kadarnya tinggi pada ginjal, liver, dan darah, sedang pada lensa dan eritrosit, dan rendah pada alveoli dan plasma darah. Enzim ini memerlukan glutathione sebagai donor substrat untuk mengikat H2O2 maupun hidroperoksida organik

(ROOH) untuk menghasilkan glutathione disulphide (GSSG), air dan bentuk hidroksi dari bahan organik tersebut (ROH).

Glutation peroksidase akan merubah H2O2 menjadi air dan glutation

disulfida (GSSG) :

H2O2 + 2 GSH GPx 2 H2O + GSSG

2. Mekanisme antioksidan non enzimatik

Antioksidan nonenzimatik ada yang larut dalam lemak dan yang larut dalam air. Antioksidan nonenzimatik bekerja langsung berikatan dengan radikal bebas sehingga mengurangi reaktifitasnya. Beta karoten dan vitamin E adalah antioksidan yang larut dalam lemak sedangkan asam askorbat, asam urat dan glutation larut dalam air.

Adanya radikal bebas yang dihasilkan dalam tubuh dan terbentuknya ROS, sebenarnya merupakan proses fisiologis. Bila terjadi peningkatan radikal bebas, tubuh akan berusaha untuk mengatasi situasi ini dengan memproduksi sejumlah antioksidan untuk pertahanan yang lebih dikenal sebagai counteracting

(24)

artian oksidan atau radikal bebas diproduksi dalam jumlah yang melebihi kemampuan tubuh untuk memproduksi antioksidan maka akan terjadi suatu keadaan yang disebut sebagai stres oksidatif yang selanjutnya akan diikuti perusakan jaringan (Kohen & Nyska, 2002).

2.4 Peran Stres Oksidatif Terhadap Persalinan Preterm

Ketidakseimbangan antara prooksidan dengan antioksidan akan menimbulkan suatu keadaan yang disebut sebagai stres oksidatif (Eberhardt, 2001). Hal ini terjadi dalam sistem biologis akibat produksi ROS atau RNS yang berlebihan maupun akibat defisiensi antioksidan enzimatik dan non-enzimatik. Stres oksidatif akan menimbulkan kerusakan biologis yang dapat merusak lipid seluler, protein maupun DNA dan menghambat fungsi normal sel (Kohen & Nyska, 2002).

Pada kehamilan, stres oksidatif ditenggarai memiliki peran dalam patofisiologi berbagai komplikasi kehamilan seperti keguguran, preeklamsia, intra

uterine growth restriction (IUGR), dan premature rupture of membrane

(PPROM) (Burton & Jauniaux, 2011). Walaupun masih jarang, adanya jalur oksidatif pada persalinan preterm mulai diteliti. Disebutkan jika terdapat keseimbangan antara produksi ROS dengan antioksidan maka tidak akan terbentuk stress oksidatif, sehingga proses kehamilan dapat berjalan sebagai mestinya. Namun pada kondisi dimana terjadi peningkatan kadar ROS tanpa disertai mekanisme pertahanan antioksidan yang adekuat maka akan memicu

(25)

terjadinya stres oksidatif yang berujung pada kerusakan sel dan penyakit (Eberhardt, 2001). Dibandingkan dengan keadaan tidak hamil, pada saat kehamilan terdapat peningkatan produksi radikal bebas, dan pada persalinan preterm dikatakan produksinya lebih banyak lagi. Sumber radikal bebas dan stres oksidatif yang terbesar pada kehamilan dipercaya berasal dari stres oksidatif yang terjadi di plasenta, terutama mitokondria plasenta (Little, 2003).

Penelitian yang dilakukan oleh Cherouny,dkk (1989), ditemukan bahwa pemberian H2O2 sebagai ROS pada tikus dapat memicu kontraksi uterus akibat

meningkatnya pelepasan prostaglandin (PGE2 dan PGF2). Pada penelitian yang sama, tikus juga di beri butylated hydroxyl anisole (BHA) sebagai antioksidan dan terbukti dapat menurun kontraksi otot uterus dan kadar prostaglandin dibandingkan dengan kelompok tanpa pemberian antioksidan.

PGF-2α bertanggung jawab terhadap kontraksi miometrium sedangkan PGE-2 menurunkan resistensi jaringan servik, merupakan dua proses yang penting dalam kemajuan persalinan. PGF-2α bersama-sama estrogen bekerja pada miometrium meningkatkan pembentukan gap junction dan reseptor oksitosin. Sekali mekanisme tersebut terjadi maka akan terjadi penjalaran depolarisasi antar sel yang akan menyebabkan peningkatan kadar kalsium di dalam sel. Ion kalsium di dalam sel akan berperan pada Calmodulin membentuk Ca-Calmodulin mengaktifkan enzim Myosin Light Chain Kinase (MLCK) yang berperan pada proses fosforilasi dari myosin yang bila berinteraksi dengan actin akan

(26)

menyebabkan pemendekan dari serat otot sehingga terjadi kontraksi miometrium (Cunningham dkk, 2010).

Pada studi lainnya dari Matsumoto, dkk (1990), menemukan kaitan antara keberadaan SOD dan CAT sebagai sistem pertahanan untuk mencegah peningkatan produksi dari anion superoksida (O2-) di dalam miometrium manusia.

Anion superoksida dikatakan memiliki peran langsung dalam menyebabkan terjadinya kontraksi pada uterus manusia melalui peningkatan kalsium (Ca2+)

intraselular. kalsium ini dilepaskan dari retikulum endoplasma serta tempat penyimpanan lainnya. Konsentrasi kalsium dalam lumen Retikulum Endoplasma lebih tinggi dibandingkan dengan kadarnya dalam sitosol. Konsentrasi ini dipertahankan oleh mekanisme pompa kalsium ATPase yang terdapat pada sarko dan retikulum endoplasma. Pada saat terjadi peningkatan stres oksidatif, ROS akan memicu pelepasan kalsium dari membran reticulum endoplasma, melalui reseptor inositol-1,4,5,triphospat (IP3R) dan reseptor ryanodine (Jauniaux, 2011).

Sedangkan hidrogen peroksida (H2O2) yang merupakan salah satu ROS

non radikal yang sangat reaktif, yang dihasilkan pada metabolisme seluler pun memiliki peran dalam kontraksi miometrium. H2O2 dikatakan memiliki efek

lanjutan pada banyak sel target yang meliputi channels ion membrane. Penelitian oleh Warren, dkk (2005) menyebutkan bahwa H2O2 memicu peningkatkan influx

Ca2+ sehingga menyebabkan peningkatan kalsium intraseluler [Ca2+]i yang

kemudian akan mengaktivasi calcium calmodulin (Ca2+ CALM). Calcium

(27)

selanjutnya memodulasi terjadinya reaksi actin-myosin yang menyebabkan kontraksi otot miometrium (Cunningham dkk, 2010). Mekanisme tersebut diatas yang menjadi dasar terjadinya kontraksi miometrium pada persalinan preterm spontan yang berkaitan dengan ROS.

2.5 Peroksidasi lipid

2.5.1 Pembentukan peroksidasi lipid

Peroksidasi lipid merupakan proses yang terjadi ketika radikal bebas berinteraksi dengan polyunsaturated fatty acids (PUFA) pada membran sel dan lipoprotein pada plasma. PUFA lebih rentan terhadap reaksi radikal bebas dibandingkan asam lemak jenuh. Hal ini disebabkan karena PUFA memiliki

Gambar 2.3 Mekanisme relaksasi dan kontraksi pada jaringan miometrium (Cunningham dkk. 2010)

(28)

jembatan metilen yang mengandung hidrogen reaktif yang merupakan sasaran utama bagi radikal bebas. Peningkatan produksi radikal bebas akan menyebabkan peningkatan peroksidasi lipid (Winarsi, 2007).

Peroksidasi lipid terjadi melalui reaksi enzimatik maupun non enzimatik melibatkan spesies kimia aktif yang dikenal sebagai reactive oxygen species (ROS), yang bertanggung jawab terhadap efek toksik pada tubuh melalui berbagai kerusakan jaringan. Mekanisme yang memicu peroksidasi lipid sangat kompleks. Terdapat tiga mekanisme berbeda yang dapat memicu peroksidasi itu, yaitu (Wikipedia, 2012) :

1. Autooksidasi atau oksidasi non enzimatik termediasi radikal bebas.

Terjadi melalui mekanisme berantai, dimana satu radikal bebas dapat memicu oksidasi banyak molekul lemak. Proses ini melibatkan tiga tahapan yaitu ; inisiasi, propagasi, dan terminasi.

a. Tahap inisiasi

Pada tahap ini dimulainya produksi asam lemak radikal. Dimana terjadi reaksi radikal bebas, umumnya ROS (OH dan HO2) terhadap atom

hidrogen partikel lemak dan menghasilkan air (H2O) dan asam lemak

radikal.

b. Tahap propagasi

Asam lemak radikal yang dihasilkan dari proses inisiasi bersifat sangat tidak stabil dan mudah bereaksi dengan molekul oksigen dan akan menghasilkan suatu asam lemak radikal peroksil. Bahan ini juga ternyata

(29)

bersifat tidak stabil dan kemudian bereaksi dengan asam lemak bebas lainnya untuk menghasilkan asam lemak radikal yang baru dan lipid peroksida atau peroksida siklik bila bereaksi dengan dirinya sendiri. Siklus ini berlanjut sedemikian rupa hingga memasuki tahap terminasi.

c. Tahap terminasi

Ketika suatu radikal bereaksi dengan non radikal maka akan menghasilkan suatu radikal baru. Proses ini dinamakan dengan mekanisme reaksi rantai. Reaksi radikal akan berhenti bila terdapat dua radikal yang saling bereaksi dan menghasilkan suatu spesies non radikal. Hal ini hanya dapat terjadi ketika konsentrasi spesies radikal sudah sedemikian tingginya sehingga memungkinkan dua spesies radikal untuk saling bereaksi.

Gambar 2.4 Tahapan autooksidasi lipid (Wikipedia, 2012)

(30)

2. Foto oksidasi atau oksidasi non enzimatik tidak termediasi radikal bebas

Merupakan proses peroksidasi lipid oleh karena adanya oksigen tunggal dan ozon yang memfasilitasi pancaran energi seperti ultraviolet, dan menghasilkan perubahan yang umumnya berupa pemisahan atau pengurangan berat molekul. Proses foto oksidasi ini berlangsung hampir sama dengan oksidasi termediasi radikal bebas yang meliputi tiga tahapan; inisiasi, propagasi dan terminasi, hanya saja pada proses inisiasi didahului oleh adanya oksigen tunggal dan bukan oleh radikal bebas.

3. Oksidasi enzimatik

Proses peroksidasi lipid yang melibatkan enzym sebagai katalis dan menghasilkan produk stereo- dan regio-spesifik. Ada tiga enzim utama yang berperan yaitu lipooksigenase (LOX), siklooksigenase (SOX) dan sitokrom P450. LOX mengkatalis oksidasi asam arakhidonat dan menghasilkan produk hidroperoksida. COX mengkatalis asam lemak tak jenuh menjadi endoperoksida dan prostaglandin. Sedangkan sitokrom p450 mengkatalis oksidasi asam lemak epoksi menjadi produk epoksid, leukotrin, tromboksan, dan prostasiklin.

Peroksidasi lipid menghasilkan produk primer seperti lipid hidroperoksida dan produk sekunder seperti MDA dan lipid peroksida. Produk peroksidasi lipid ini dibentuk terutama di plasenta lalu terikat pada lipoprotein untuk kemudian disebarkan melalui aliran darah ke seluruh tubuh, sehingga dapat menyebabkan kerusakan pada tempat yang jauh (Niki dkk, 2009).

(31)

Peningkatan produksi peroksidasi lipid yang secara tipikal diinisiasi oleh spesies radikal bebas yang sangat reaktif, dapat dinilai dengan banyak metoda termasuk pengukuran baik produk primer maupun sekunder dari hasil peroksidasi tersebut. Produk primer dari peroksidasi lipid termasuk conjungated dienes dan lipid hidroperoksida, sementara produk sekundernya diantaranya ialah

Malondialdehyde (MDA), thiobarbituric acid reactive substances (TBARS), hydroxylnonenal (HNE), gaseous alkanes dan kelompok prostaglandin F2-like product yang disebut F2-isoprostanes (Niki dkk, 2009).

(32)

2.5.2 Peran Peroksidasi Lipid Terhadap Persalinan Preterm

Peroksidasi lipid merupakan fenomena normal yang terjadi secara kontinues dengan level rendah pada manusia. Kehamilan sendiri merupakan suatu kondisi stres di mana banyak fungsi fisiologis dan metabolisme yang berubah dalam batas waktu tertentu, sehingga didapatkan level peroksidasi lipid yang lebih tinggi dibandingkan keadaan tidak hamil. Selama kehamilan, level peroksidasi lipid meningkat sesuai dengan perkembangan normal kehamilan (Patil, 2006). Namun pada kondisi produksi peroksidasi lipid yang berlebihan maka kehamilan dikaitkan dengan suatu keadaan patologis (Little, 2003).

Ketika hamil, peroksidasi lipid terutama di induksi di plasenta. Jaringan plasenta mengandung banyak asam lemak tak jenuh yang merupakan sasaran dari aktifitas radikal bebas. Jaringan plasenta memiliki enzim antioksidan dalam konsentrasi rendah sehingga menjadi sangat rentan terhadap kerusakan yang dimediasi oksidatif. Lipid peroksida yang dihasilkan berasal dari trophoblast dan kompartemen inti villous. Produk ini kemudian disekresikan ke sirkulasi maternal yang selanjutnya menginisiasi kaskade peroksidasi lebih lanjut (Little, 2003).

Peroksidasi lipid bersifat sangat reaktif dan dapat menyebabkan kerusakan membran sel melalui interaksi langsung dengan membran sel maupun secara tidak langsung melalui aktifasi mediator lain oleh produk peroksidasi lipid (Eberhardt, 2001).

Efek secara langsung yaitu menyebabkan gangguan pada fungsi membran sel sehingga dapat mempengaruhi perubahan kandungan cairan (fluiditas)

(33)

membran dan mobilisasi enzim-enzim pada membran. Sebagai tambahan terhadap rusaknya fungsi membran sebagai barier tersebut, lipid peroksidasi juga mengakibatkan hilangnya homeostasis ion berupa gangguan kompartemen dan kekacauan ion utamanya yaitu terjadi influx ion Ca2+ sehingga dapat

mempengaruhi fungsi sel otot seperti halnya yang disebabkan oleh peningkatan ROS (Warren dkk, 2005 ; Connors, 2004 ; Eberhardt, 2001 ; Aruoma, 2001). Konsentrasi ion Ca2+ di dalam sel akan berperan pada Calmodulin membentuk

Ca-Calmodulin mengaktifkan enzim Myosin Light Chain Kinase (MLCK) yang

berperan pada proses fosforilasi dari myosin yang bila berinteraksi dengan actin akan menyebabkan pemendekan dari serat otot sehingga terjadi kontraksi miometrium (Cunningham dkk, 2010). Disebutkan bahwa calcium channel

blocker dapat digunakan untuk menghambat peroksidasi lipid dan mencegah

pembentukan ROS (Valco, 2006).

(34)

Sedangkan efek secara tidak langsung melalui produk-produk metabolit dari peroksidasi lipid (Eberhardt, 2001). Hidroksinoneal (HNE), yang merupakan salah satu produk metabolit dari peroksidasi lipid, pada konsentrasi tinggi dapat menyebabkan hilangnya homeostasis ion Ca2+, hambatan terhadap respirasi

mitokondria dan sintesa protein, serta mampu menarik neutrofil dan menginduksi respon inflamasi pada sel endotel (Eberhardt, 2001). Pada sebuah penelitian, pemberian HNE pada kultur jaringan miometrium manusia, dapat menginduksi ekspresi COX-2 dan produksi PGE2 dalam jaringan miometrium (Temma, 2011). COX-2 (cyclooxygenase-2) merupakan enzim yang mengkatalis pembentukan prostaglandin yang bertanggung jawab terhadap terjadinya kontraksi miometrium sedangkan PGE-2 selain dapat memicu kontraksi miometrium, berperan pula menurunkan resistensi jaringan servik. Kedua hal tersebut berperan penting dalam kemajuan persalinan sehingga dapat mencetuskan timbulnya persalinan preterm (Cunningham dkk, 2010).

Peroksidasi lipid bila terus berlanjut akan menyebabkan ketidakstabilan membran, mengubah viskositas membran dan merangsang aktivasi fosfolipase A2 (Gazali, 2002). Fosfolipase A2 adalah enzim yang menghidrolisis fosfolipid yang merupakan komponen utama pada membran sel. Fosfolipid oleh fosfolipase A2 akan dihidrolisis membentuk asam arakidonat, selanjutnya oleh enzim

lipoxygenase (LOX) akan membentuk leukotrin dan oleh enzim cyclooxygenase

(COX) 1 dan 2 akan menbentuk prostanoid (Wikipedia, 2012). PGE2 dan PGF2 merupakan salah satu produksi dari metabolisme ini bertanggung jawab terhadap

(35)

kontraksi miometrium dan pelunakan jaringan servik, sehingga keseluruhan proses ini dapat mencetuskan timbulnya persalinan preterm (Cunningham dkk, 2010).

2.5.3 Malondialdehid (MDA)

Malondialdehid (MDA) adalah produk peroksidasi lipid yang merupakan aldehid reaktif. MDA merupakan salah satu dari banyak spesies elektrofil reaktif yang dapat menyebabkan stress toksik pada sel serta membentuk produk protein kovalen yang dikenal sebagai sebutan advance lipoxidation end products (ALE). MDA dapat bereaksi dengan deoksiguanosin dan deoksiadenosin pada DNA dan membentuk substansi M1G yang bersifat mutagenik (Eberhardt,2001).

Gambar 2.7 Struktur kimia malondialdehid (MDA) (Wikipedia, 2012)

MDA dibentuk sebagai bahan dikarbonil (C3H4O2) dengan berat molekul

(36)

(pKa = 4,46), dihasilkan sebagai produk sampingan pembentukan eikosanoid

enzimatik dan produk akhir degradasi oksidatif asam lemak bebas non enzimatik. MDA telah ditemukan hampir di seluruh cairan biologis, termasuk pada plasma, urin, cairan persendian, cairan brokoalveolar, cairan empedu, cairan getah bening, cairan mikrodialisis, cairan amnion, cairan pericardial, dan cairan seminal. Namun plasma dan urin merupakan sampel yang paling umum digunakan karena paling mudah didapatkan dan paling tidak invasive. Data yang tersedia hingga saat ini juga menunjukkan pengukuran kadar MDA baik dari plasma maupun urin memberikan hasil yang sama akurat dan presisi dari indeks stres oksidatif (Janero, 2001).

Meningkatnya perhatian terhadap keberadaan peroksidasi lipid, potensinya untuk merusak dan keterlibatannya dalam berbagai patogenesis penyakit, menyebabkan peroksidasi lipid menjadi suatu marker penting yang dapat diukur untuk deteksi dini penyakit. Sejumlah Penelitian dalam satu dekade terakhir ini telah menunjukkan bahwa MDA merupakan komponen pengukuran terhadap lipid peroksidasi yang bersifat stabil dan akurat, dan telah membantu menjelaskan peranan stres oksidatif pada sejumlah penyakit (Janero, 2001).

Analisa malondialdehid merupakan analisa radikal bebas secara tidak langsung dan merupakan analisa yang cukup mudah untuk menentukan jumlah radikal bebas yang terbentuk. Analisa radikal bebas secara langsung sangat sulit dilakukan, karena radikal bebas ini sangat tidak stabil dan cenderung untuk merebut elektron senyawa lain agar lebih stabil. Reaksi ini berlangsung sangat

(37)

cepat sehingga pengukurannya sangat sulit bila dalam bentuk senyawa radikal bebas (Winarsi, 2007).

Kadar MDA diukur dengan menggunakan metode TBARS (Thiobarbituric

acid reactive substance), yang menggunakan dasar reaksi MDA terhadap asam

tiobarbiturat dan selanjutnya dinilai menggunakan spektrofotometer (Janero, 2001).

Hingga saat ini MDA merupakan marker yang paling banyak diteliti, dan dianggap sebagai marker lipid peroksidasi in vivo yang baik, baik pada manusia maupun pada binatang, lebih murah dengan bahan lebih mudah didapat yang secara signifikan akurat dan stabil daripada senyawa lainnya (Niki dkk, 2009).

MDA sangat cocok sebagai biomarker untuk stress oksidatif karena beberapa alasan, yaitu : (1) Pembentukan MDA meningkat sesuai dengan stres oksidatif, (2) Kadarnya dapat diukur secara akurat dengan pelbagai metode yang telah tersedia, (3) Bersifat stabil dalam sampel cairan tubuh yang diisolasi, (4) Pengukurannya tidak dipengaruhi oleh variasi diurnal dan tidak dipengaruhi oleh kandungan lemak dalam diet, (5) Merupakan produk spesifik dari peroksidasi lemak, (6) Terdapat dalam jumlah yang dapat dideteksi pada semua jaringan jaringan tubuh dan cairan biologis, sehingga memungkinkan untuk menetukan referensi interval (Llurba dkk, 2004).

Walaupun MDA telah diakui sebagai marker klinis lipid peroksidasi, namun peranan komponen MDA sendiri dalam patofisiologi kehamilan masih sedikit yang diketahui. Masih jarang penelitian yang menggunakan MDA untuk

(38)

meneliti hubungan antara peningkatan peroksidasi lipid dengan terjadinya persalinan preterm. Sehingga berbagai penelitian masih dikembangkan untuk mengetahui lebih dalam apakah MDA juga merupakan suatu faktor yang terlibat dalam patogenesis persalinan preterm spontan.

Gambar

Gambar 2.1 Pathway persalinan preterm dan mediator – mediatornya         (Elmer, 2009)
Tabel 2.1  Metabolit Radikal dan Nonradikal Oksigen  Radikal oksigen Nama Simbol Oksigen (Bi-radikal) Ion Superoksida  Hidroksil Peroksil Alkoksil Nitrit Oksida O 2 - .O2.OH
Gambar 2.2  Kerusakan Akibat Reaktif Oksigen Spesies.
Gambar 2.3  Mekanisme relaksasi dan kontraksi pada jaringan miometrium (Cunningham dkk
+5

Referensi

Dokumen terkait

Berdasarkan tabel 4.8 diatas dapat dilihat bahwa hasil perhitungan kualitas pelayanan PT PLN (Persero) Cabang Palembang Rayon Rivai Golongan Rumah Tangga Kecamatan Bukit

Benar, karena menurut Aminuddin pembelajaran merupakan pendekatan pembelajaran yang menghubungkan berbagai mata pelajaran yang mencerminkan dunia nyata di sekeliling dan dalam

The Guests tab displays a list of users that have connected to the guest network of the Access Point.. Search Allows you to enter text you want to

Prinsip-prinsip Aliran Filsafat Eksistensialisme ialah tidak mementingkan metafisika (Tuhan), kebenaran lebih bersifat eksistensial daripada proporsional atau

6HFDUD NXDQWLWDWLI IDNWRU NRPXQLNDVL GDQ PRWLYDVL NHUMD EHUSHQJDUXK VLJQLILNDQ WHUKDGDS NXDOLWDV SHOD\DQDQ VHUWLILNDW WDQDK GL .DQWRU 3HUWDQ DK DQ .RWD 0DG\D -DNDUWD 6HODWDQ

Tes yang digunakan pada penelitian ini adalah tes untuk mengetahui kemampuan berhitung perkalian sebelum dan sesudah diberikan intervensi dengan menggunakan metode

Direktorat Penataan Bangunan dan Lingkungan Aras Perkotaan (city wide) RTRWK Pencapaian target RTRW, terkonservasi nya KS Sosial- Budaya RDTR RTBL P3KP • Pengembangan

Kabupaten/kota yang tidak/belum mengikuti program Percepatan Pembangunan Sanitasi Permukiman (PPSP) akan berkurang peluangnya dalam mendapatkan Dana Alokasi