• Tidak ada hasil yang ditemukan

Model kepemimpinan pelayanan Yesus dalam Injil Yohanes 13:1-20 sebagai teladan kepemimpinan para suster congregation religious of the virgin mary di zaman sekarang - USD Repository

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2019

Membagikan "Model kepemimpinan pelayanan Yesus dalam Injil Yohanes 13:1-20 sebagai teladan kepemimpinan para suster congregation religious of the virgin mary di zaman sekarang - USD Repository"

Copied!
154
0
0

Teks penuh

(1)

i

YOHANES 13: 1-20 SEBAGAI TELADAN KEPEMIMPINAN

PARA SUSTER

CONGREGATION RELIGIOUS OF THE VIRGIN

MARY

DI ZAMAN SEKARANG

SKRIPSI

Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Pendidikan

Program Studi Ilmu Pendidikan Kekhususan Pendidikan Agama Katolik

Oleh:

Maria Monika Seran NIM: 021124002

PROGRAM STUDI ILMU PENDIDIKAN

KEKHUSUSAN PENDIDIKAN AGAMA KATOLIK

JURUSAN ILMU PENDIDIKAN

FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN

UNIVERSITAS SANATA DHARMA

(2)
(3)
(4)

iv

Sripsi ini kupersembahkan kepada :

Para suster terkasih dalam Kongregasi Religious of the Virgin Mary

atas cinta dan doa serta dukungan materil maupun moril kepada saya. Khusus buat rekan-rekan Suster komunitas Trimargo, Yogyakarta.

(5)

v

“Cukuplah kasih karuniaKu bagimu sebab justru dalam kelemahanmulah

kasihKu menjadi sempurna.”

(6)
(7)

vii

Skripsi ini berjudul: MODEL KEPEMIMPINAN PELAYANAN YESUS DALAM INJIL YOHANES 13:1-20 SEBAGAI TELADAN KEPEMIMPINAN PARA SUSTER CONGREGATION RELIGIOUS OF THE VIRGIN MARY DI ZAMAN SEKARANG.

Tujuan penulisan skripsi ini adalah memberikan sumbangan pemikiran kepada para suster RVM khususnya bagi mereka yang menjalankan fungsi kepemimpinan dalam tarekat agar semakin memahami dan menghayati makna kepemimpinan yang sejati seturut teladan Yesus Kristus. Permasalahan pokok yang diangkat penulis dalam skripsi adalah: kepemimpinan Yesus yang bagaimanakah yang mau dihayati para suster RVM di zaman sekarang. Bertolak dari kepemimpinan Yesus, model kepemimpinan macam apa yang dicita-citakan suster RVM di zaman sekarang.

Penulis menggunakan pendekatan studi pustaka dengan mengkaji dari berbagai sumber referensi untuk menemukan jawaban atas permasalahan yang ada, yaitu bahwa kedatangan Yesus ke dunia ini adalah mengemban misi Bapa mewartakan dan menghadirkan kerajaan Allah di tengah-tengah manusia. Kuasa yang diterimanya adalah kuasa untuk melayani manusia. Ia menjalankan kepemimpinanNya sebagai hamba dalam semangat kerendahan hati dan lewat keteladanan hidupNya sendiri.

(8)

viii

The thesis entitled THE LEADERSHIP MODEL OF THE JESUS’ SERVING IN JOHN 13: 1-20 AS LEADERSHIP MODEL FOR ALL SISTERS IN THE CONGREGATION OF THE VIRGIN MARY IN THE PRESENT DAY

The purpose of this thesis writing to give opinion contribution to all Virgin Mary’s sisters. Especially for those who take the responsibility the leadership functional in the congregation in order to understand to comprehend fully the meaning of true leadership from Jesus Christ.

The mean matter which is lifted by the writer is which kind of leadership from Jesus will be experiencing for Virgin Mary’ sister in present day. Based on the leadership of Jesus, which kind of leadership model that Virgin Mary’s sister want in the present day. Writer used the approach of books study with studying from various reference source to find the answer for the existing problems, that in present of Jesus in this world is carry on the mission of God and proclaim His Kingdom among His people. The power that He had is a power to serve all man kind. He took the leadership responsibility as a servant in spirit of humility and through His own way of life.

(9)

ix

Syukur dan terima kasih yang dalam kepada Bapa dan PutraNya Yesus Kristus serta Roh Kudus atas berkat dan kasih setiaNya yang berlimpah kepada penulis mulai dari awal perencanaan, penulisan hingga selesainya penyusunan skripsi dengan judul “MODEL KEPEMIMPINAN PELAYANAN YESUS DALAM INJIL YOHANES 13:1-20 SEBAGAI TELADAN KEPEMIMPINAN PARA SUSTER CONGREGATION RELIGIOUS OF THE VIRGIN MARY DI ZAMAN SEKARANG” . Skripsi ini diajukan untuk memberikan sumbangan pemikiran atau gagasan untuk memperkaya wawasan dan pemahaman kepada para suster yang diberi kepercayaan menjalankan fungsi kepemimpinan dalam kongregasi RVM khususnya yang ada di Indonesia.

Selama dalam proses penulisan skripsi ini, dari awal hingga selesai, penulis banyak menerima bantuan, dukungan, doa dan perhatian yang meneguhkan dan membangun dari berbagai pihak baik secara langsung maupun tidak langsung. Untuk itu penulis ingin menyampaikan ungkapan terima kasih yang tulus kepada :

1. Dr. Antonius Hari Kustono, Pr., sebagai dosen pembimbing yang telah membimbing, mengarahkan, dan mengoreksi penyusunan skrispsi ini.

2. Fransiskus Xaverius Heryatno Wono Wulung, SJ., M.Ed., sebagai panitia penguji. 3. Yoseph Kristianto, SFK., selaku dosen wali sekaligus sebagai panitia penguji. 4. Para dosen Program Studi Ilmu Pendidikan Kekhususan Pendidikan Agama

Katolik, Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Sanata Dharma, Yogyakarta yang telah memberikan banyak pengetahuan, ketrampilan, perhatian dan cinta serta pelayanan kepada penulis selama menjalani masa studi sampai selesai.

5. Para karyawan/ti di kampus IPPAK yang telah memberi perhatian dan dukungan dengan caranya masing-masing.

(10)

x

persaudaraan yang baik selama menjalani tugas studi.

8. Teman-teman seperjuangan angkatan 2002, untuk segala persahabatan dan kebersamaan yang penuh suka dan duka.

9. Mama dan saudara-saudara terkasih yang turut mendukung dan mendoakan penulis.

10.Akhirnya kepada siapa saja yang tidak sempat penulis sebutkan namanya di sini satu per satu yang telah membantu, mendukung dan berbagi pengalaman hidup dengan penulis selama menjalani studi. Dan tidak lupa penulis menghaturkan maaf kepada semua saja atas segala kekhilafan dan kelemahan penulis baik lewat tutur kata, sikap maupun tindakan.

Penulis menyadari bahwa skripsi ini tidak sempurna oleh karena itu penulis terbuka menerima kritikan, masukan atau saran yang membangun dari para pembaca. Selanjutnya penulis berharap semoga skripsi ini dapat bermanfaat dan memberikan sumbangan ide atau gagasan baru bagi peningkatan kualitas kepemimpinan pelayan para suster RVM di Indonesia.

Yogyakarta, 23 Februari 2007 Penulis

(11)

xi

HALAMAN JUDUL... i

HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING... ii

HALAMAN PENGESAHAN ... iii

HALAMAN PERSEMBAHAN ... iv

HALAMAN MOTTO ... v

HALAMAN PERNYATAAN KEASLIAN KARYA ... vi

ABSTRAK ... vii

ABSTRACT ... viii

KATA PENGANTAR... ix

DAFTAR ISI ... xi

DAFTAR SINGKATAN... xiv

BAB I. PENDAHULUAN ... 1

A. Latar Belakang Permasalahan... 1

B. Rumusan Permasalahan ... 5

C. Tujuan Penulisan... 5

D. Manfaat Penulisan... 6

E. Metode Penulisan... 7

F. Sistematika Penulisan ... 7

BAB II. SEKILAS TENTANG CONGREGATION RELIGIOUS OF THE VIRGIN MARY (RVM) ... 8

A. Sejarah Berdirinya Kongregasi RVM ... 8

B. Spiritualitas Kongregasi RVM ... 16

C. Kekuatan dan kelemahan Kepemimpinan ... 19

1. Kualitas kepemimpinan Mother Ignacia ... 20

2. Kekuatan dan Kelemahan Kepemimpinan RVM ... 21

BAB III. TAFSIR INJIL YOHANES 13 : 1-20 ... 24

A. Konteks Injil Yohanes 13:1-20 ... 26

B. Struktur Injil Yohanes 13:1-2 ... 29

(12)

xii

Kongregasi RVM ... 34

BAB IV. SITUASI UMUM KEPEMIMPINAN RELIGIUS INDONESIA DI ZAMAN SEKARANG ... 40

A. Pengertian Kepemimpinan... 41

1. Kepemimpinan Menurut para Ahli ... 41

2. Kepemimpinan Religius... 42

a. Menurut KHK No. 618... 43

b. Menurut KHK No. 619... 45

3. Kepemimpinan dalam Kongregasi RVM... 48

a. Menurut Semangat Mother Ignacia... 48

b. Menurut Konstitusi RVM ... 50

B. Karakteristik kepemimpinan ... 53

C. Situasi dan Tantangan Kepemimpinan Religius ... 59

1.Tantangan Arus Besar zaman ini ... 59

2.Tantangan dari Anggota sebagai Anak Zaman ... 60

3.Tantangan yang berkaitan dengan Pemimpin Religius Masa Kini ... 62

4.Tantangan dalam Kongregasi RVM... 67

D. Yesus Kristus Teladan Utama Kepemimpinan di Zaman Sekarang ... 68

BAB V USULAN MODEL KEPEMIMPINAN YANG DICITA-CITAKAN KONGREGASI RVM DI ZAMAN SEKARANG ... 73

A. Model-model Kepemimpinan ... 74

B. Kepemimpinan Transformatif sebagai Model Kepemimpinan Kongregasi RVM... 76

1.Kepemimpinan Transformatif ... 76

2.Kemampuan Dasar Kepemimpinan Transformatif ... 79

3.Spiritualitas Kepemimpinan Transformatif... 81

C. Kepemimpinan Transformatif dalam Praksis di Kongregasi RVM Indonesia... 85

a. Transformasi Diri dari Sisi Gelap Kepemimpinan... 85

b. Transformasi dalam Komunitas ... 87

(13)

xiii

1.Hakikat-Tujuan dan Alasan Pemilihan Katekese sebagai Upaya Perwujudan Pola Kepemimpinan Transformatif para Suster

RVM... 90

a. Hakikat Katekese dan Tujuan... 90

b. Alasan Pemilihan Katekese... 94

2.Pemilihan Shared Christian Praxis sebagai Model Berkatekese.... 99

a.Alasan Pemilihan Shared Christian Praxis sebagai Model Berkatekese ... 99

b.Tiga Komponen Shared Christian Praxis... 103

c.Langkah-langkah dalam Shared Christian Praxis... 106

3.Usulan Kegiatan Katekese ... 110

a.Latar belakang ... 110

b.Tema dan Sub Tema Katekese ... 112

c.Bentuk Kegiatan Katekese ... 114

4.Contoh Persiapan Katekese... 115

a.Identitas Katekese ... 115

b.Pemikiran Dasar ... 116

c.Pengembangan Lima Langkah Shared Christian Praxis... 118

BAB VI PENUTUP ... 129

A. Kesimpulan... 129

B. Saran... 133

DAFTAR PUSTAKA ... 135

LAMPIRAN ... 137

1.Lampiran 1: Matriks Kegiatan Katekese... (1)

2.Lampiran 2: Jadwal Rekoleksi ... (4)

(14)

xiv A. Singkatan Kitab Suci

Singkatan-singkatan Kitab Suci dalam Direktorat Jenderal Bimas Katolik Departemen Agama Republik Indonesia, edisi khusus Kitab Suci Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru dengan pengantar dan catatan singkat (Ende: Arnoldus 1995/1996, hal. 8).

B. Singkatan Resmi Dokumen Gereja CT : Catechesi Tradendae

PC : Perfectae Caritatis

VC : Vita Concecrata

KHK : Kitab Hukum Kanonik C. Singkatan Lain

OP : Ordo Dominikan

RVM : Religious of the Virgin Mary

SJ : Societas Jesu

SCP : Shared Christian Praxis

PKKI : Pertemuan Kateketik antar Keuskupan se-Indonesia KWI : Konferensi Wali Gereja Indonesia

VCD : Video Compact Disk

LR : Latihan Rohani NO : Nomor

(15)

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Permasalahan

Dalam beberapa dekade terakhir ini bangsa Indonesia mengalami berbagai macam krisis yang berkepanjangan, salah satunya adalah masalah krisis kepemimpinan. Kenyataan menunjukkan bahwa kinerja dari sebagian pemimpin, para pejabat politik bangsa ini tidak serius dalam menegakkan hukum dan keadilan, bahkan justru mereka ada yang terlibat dalam praktik korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN). Perbuatan para pemimpin publik ini telah menimbulkan “luka” bagi masyarakat Indonesia, penderitaan yang tak kunjung berakhir tanpa penyelesaian yang berarti dan akibatnya para pejabat pemerintahan semakin kehilangan kepercayaan dan simpati dari masyarakat Indonesia.

(16)

kuasanya dengan keras atas mereka. Tidaklah demikian di antara kamu. Barangsiapa yang ingin menjadi yang terbesar hendaklah ia menjadi pelayanmu” (Mat.20: 25-26). Melalui ajaran ini Yesus mau menunjukkan kepada para muridNya bahwa untuk menjadi seorang pemimpin yang berhasil bukan sebagai diktator yang haus akan kekuasaan melainkan berperan sebagai seorang pelayan yang rendah hati, mendahulukan kepentingan dan kesejahteraan orang banyak. Ia harus rela meninggalkan semua ambisi dan keinginannya sendiri demi melayani Tuhan dan sesama dengan sepenuh hati dan tanpa pamrih (Manz, 2004: 109-110).

Kata pelayan dan pelayanan telah menjadi klise di zaman ini. Istilah tersebut hanya menjadi ungkapan yang kosong, tanpa taring, ompong melompong apabila pelaksanaannya tidak dijiwai oleh roh kerelaan untuk mengosongkan diri, merendahkan diri bahkan sampai mati demi orang yang dilayani. Makna pelayanan yang sesungguhnya seperti yang digambarkan di atas juga telah hilang di lingkungan Gereja, komunitas, bangsa dan di tempat kita bekerja (Martasudjita, 2003: 42). Pernyataan ini mengusik batin penulis untuk lebih jauh bertanya apakah makna pelayanan yang sejati ini juga telah hilang dalam lingkungan kehidupan religius yang pada hakikatnya menjadi “pelayan Allah”.

(17)

pemimpin menjadi sumber masalah karena cara ia memimpin yang tidak bermutu, tidak mampu berkomunikasi dengan anggotanya dan tidak mampu membuat komunitas menjadi tempat yang aman dan nyaman bagi seluruh anggotanya (Mulyono, 2005: 14).

Kepemimpinan dalam kongregasi RVM sejauh pengamatan penulis dan sesuai hasil kapitel umum kongregasi RVM ke-17 di Manila, tahun 2001 ditegaskan bahwa ada keprihatinan dalam penghayatan kepemimpinan sebagai hamba Tuhan di zaman ini, masih ada suster yang memiliki sikap kelekatan terhadap kemapanan baik itu terhadap lingkungan, jabatan, maupun kelekatan terhadap materi (Hasil Kapitel Umum Kongregasi RVM, 200: 10). Kelekatan ini bisa menyebabkan orang menjadi susah untuk melayani dengan bebas bahkan sulit untuk berkarya di tempat lain.

Sementara itu di lain pihak gaya hidup materialisme, sekularisme, hedonisme, instan dan sebagainya telah menjadi sesuatu yang memprihatinkan kehidupan masyarakat kita zaman ini. Penawaran gaya hidup materialisme, hedonis dan konsumerisme juga merasuk dalam kehidupan kaum religius. Dalam realitasnya masih ada religius yang belum berani mengatakan “cukup” untuk membatasi diri dari kecenderungan atau keinginannya memiliki barang atau materi yang bukan menjadi kebutuhan pokoknya (Hasil Kapitel Umum RVM, ke-17 2001: 10). Kecenderungan ini menyebabkan penghayatan akan kaul kemiskinan menjadi kabur.

(18)

sejati yakni pemimpin yang melayani, maka perlu adanya suatu model atau gaya kepemimpinan yang sungguh-sungguh murah hati dan menjadikan orang-orang yang dilayaninya dapat bertumbuh dengan “sehat, bebas dan bijaksana” (Manz, 2004: 106), dan tokoh yang patut diteladani adalah Yesus dan segala keteladananNya. Ia berada di tengah-tengah manusia sebagai pemimpin yang melayani bukannya dilayani. Dalam amanat perpisahanNya dengan para murid sebelum sengsaraNya Yesus menunjukkan keagunganNya lewat pelayananNya membasuh kaki para murid. Peristiwa ini menunjukkan keseluruhan pelayanan Yesus di dunia ini adalah pelayanan bagi Bapa di surga, dan bukannya berupaya mencari posisi atau jabatan. Pelayanan misiNya adalah pelayanan bagi para pengikutNya dan kepada semua orang yang Ia cintai (Wilkes, 2005: 126).

Teladan kepemimpinan pelayan Yesus harus menjadi “roh” yang menggerakkan setiap pemimpin membantu para anggotanya mencapai kedewasaan iman dan cinta pada Tuhan dan sesamaya serta mengalami transformasi hidup ke arah yang positip. Dalam kepemimpinannya pemimpin tidak mengukur segala sesuatu dengan kacamatanya sendiri tetapi ia menempatkan diri sebagai bagian integral dari dari seluruh proses yang menghidupkan dan mengembangkan anggotanya. Sebaliknya para anggota pun mau terbuka dan membantu pemimpinnya dalam menjalankan tugas kepemimpinannya dengan menciptakan suatu dialog yang sehat antar pemimpin dan anggota, dan di antara anggota sendiri saling terbuka sehingga semangat saling melayani tumbuh dan berkembang dalam komunitas.

(19)

kepemimpinan tarekat maka penulis memilih judul skripsi “Model Kepemimpinan Pelayanan Yesus dalam Injil Yohanes 13:1-20 sebagai Teladan Kepemimpinan para Suster Congregation Religious of the Virgin Mary di Zaman Sekarang”.

B. Rumusan Permasalahan

Dari latar belakang pemilihan tema di atas maka dapat dirumuskan pokok permasalahan sebagai berikut :

1. Model Kepemimpinan Pelayanan Yesus yang bagaimanakah yang dapat menjadi teladan kepemimpinan bagi para Suster RVM Distrik Indonesia dewasa ini ?

2. Gambaran atau profil pemimpin religius seperti apa yang diharapkan oleh para suster RVM di zaman sekarang ?

3. Bagaimanakah seharusnya kepemimpinan pelayanan itu dihayati oleh para suster RVM pada zaman ini ?

C. Tujuan Penulisan

Yang menjadi tujuan penulisan skripsi ini adalah :

1. Membantu pembaca agar semakin mengetahui dan memahami secara mendalam model kepemimpinan pelayanan Yesus Kristus yang terdapat dalam Yohanes 13:1-18 dan relevansinya bagi kepemimpinan Religius di zaman ini. 2. Membantu para suster RVM mewujudkan nilai-nilai kepemimpinan pelayanan

(20)

3. Memotivasi para pembaca khususnya para suster RVM untuk mengusahakan pembaharuan hidup pribadi, komunitas dan kongregasi ke arah yang lebih baik sesuai dengan visi misi tarekat.

4. Penulisan skripsi dalam rangka untuk memenuhi salah satu syarat kelulusan Sarjana Strata 1 Program Studi Ilmu Pendidikan Kekhususan Pendidikan Agama Katolik, Fakultas Keguruan dan Pendidikan Universitas Sanata Dharma, Yogyakarta.

D. Manfaat Penulisan

Adapun manfaat dari penulisan skripsi ini adalah :

1. Memperkaya pemahaman penulis akan teladan kepemimpinan Pelayanan Yesus.

2. Memberikan sumbangan pemikiran bagi para pembaca secara khusus bagi para pemimpin dalam tarekat RVM agar menjadikan kepemimpinan pelayanan Yesus sebagai teladan dalam menghayati tugas-tugas kepemimpinannya di zaman sekarang.

(21)

E. Metode Penulisan

Dalam penyusunan skripsi ini, penulis menggunakan metode deskriptif-analitis atas sebuah studi pustaka dari berbagai buku referensi, karangan ilmiah yang berkaitan dengan tema yang diangkat penulis.

F. Sistematika Penulisan

Sistematika penulisan skripsi ini sebagai berikut BAB I merupakan bagian Pendahuluan yang meliputi latar belakang, perumusan masalah, tujuan penulisan, manfaat penulisan, metode penulisan dan sistematika penulisan. BAB II membahas tentang sejarah singkat, spiritualitas Kongregasi RVM, dan kekuatan serta kelemahan kepemimpinan dalam Kongregasi RVM.

BAB III membahas tentang konteks Injil Yohanes 13:1-20, struktur Injil Yohanes 13:1-20 serta tafsir Injil Yohanes 13:1-20, dan pesan Injil Yohnes 13: 1-20 bagi para suster RVM.

BAB IV tentang situasi umum kepemimpinan religius di zaman sekarang. Bab ini lebih jauh akan menggali tentang pengertian kepemimpinan religius, tantangan dan keprihatinan kepemimpinan religius zaman sekarang, karakteristik kepemimpinan religius dan Yesus Kristus sebagai teladan utama kepemimpinan .

(22)

BAB II

SEKILAS TENTANG

CONGREGATION RELIGIOUS OF THE VIRGIN MARY (RVM)

A. Sejarah Berdirinya Kongregasi RVM

Ignacia del Espiritu Santo dilahirkan di Binondo, Filipina pada tanggal 1 Februari 1663. Ia dibaptis pada tanggal 4 Maret 1663 oleh seorang misionaris Dominikan, yakni P. Alberto Collares, OP, di Gereja Holy Kings Parian. Ayahnya bernama Jusepe Iuco, seorang pengusaha kain yang kaya berasal dari Amoy, Cina. Ibunya bernama Maria Jeronima asli Filipina. Ignacia memiliki tiga orang adik yakni Rafael, Santiago dan Juana de la Conseption, namun ketiga orang saudaranya ini kemudian meninggal ketika masih berusia balita.

Sebagai pengikut Kristus yang setia, Ignacia dididik dalam iman kristiani, dan orang yang berperan dalam membina pertumbuhan iman Ignacia adalah Maria Jeronima, ibunya. Ignacia belajar tentang dasar-dasar iman, doa dan keutamaan-keutamaan kristiani yang terdapat dalam buku katekismus yang diterjemahkan dalam bahasa China dan Tagalog. Selain belajar tentang pengetahuan iman kristiani, Ignacia juga selalu diajak orang tuanya untuk mengikuti kegiatan doa bersama, misalnya doa rosario, devosi kepada orang kudus, menjadi misdinar dalam perayaan ekaristi, selalu menerima komunio kudus dan menerima sakramen pengakuan dosa (Anicia Co, 1998:12 ).

(23)

tahun 1662 ketika Ia masih dalam kandungan Ibunya, para pembajak dari China yang dipimpin oleh Koxinga menyerang Manila. Peristiwa itu menimbulkan dampak buruk bagi orang-orang China yang berada di Manila. Di mana-mana muncul kerusuhan anti China dan akibatnya banyak orang China yang mati terbunuh. Gubernur Jenderal Spanyol mengeluarkan perintah untuk mengusir orang-orang China. Hal ini membuat keluarga Jusepe mengalami penderitaan, karena mereka termasuk yang dicari. Sebagai warga keturunan, keluarga mereka mengalami diskriminasi rasial, dikejar-kejar dan terus diancam. Namun Tuhan memberikan penolong, lewat para imam Jesuit mereka dilindungi dari kejaran tentara Spanyol, dan diberi kenyamanan sehingga tetap bertahan di Manila (Anicia Co, 1998: 8-9).

Pada tahun 1682, ketika Ignacia berusia sembilan belas tahun, Pater Paul Klein, SJ tiba di Manila. Ia adalah seorang imam misionaris Yesuit, ahli bahasa dan ekonom. Kehadirannya membawa angin segar bagi warga China khususnya keluarga Jusepe. Pater Paul menjalin kerjasama dengan mereka untuk mengembangkan perekonomian di daerah itu. Melalui Pater Paul, Ignacia belajar tentang pengetahuan iman Kristiani terlebih ia mulai mengenal Serikat Yesus.

(24)

Bunda Maria, ia mendapat kekuatan dan peneguhan agar kehendak Tuhanlah yang terjadi dalam hidupnya

Di tengah kemelut yang ada dalam dirinya, Ignacia memutuskan untuk menemui Pater Paul Klein, SJ pembimbing rohaninya untuk mengungkapkan segala keresahan hatinya antara memilih perjodohan orang tuanya ataukah menjawab panggilan Tuhan. Akhirnya Pater Paul Klein, SJ menganjurkan agar Ignacia mengadakan retret dengan menggunakan latihan rohani St. Ignatius dari Loyola, agar ia mampu mengambil keputusan yang tepat sesuai dengan kehendak Tuhan sendiri (Anicia Co, 1998: 26)

Melalui retret selama delapan hari, Ignacia kemudian mendapatkan suatu pencerahan, yaitu keputusan untuk mengabdikan diri sepenuhnya kepada “Sang Raja Kemuliaan Kekal”. Hidupnya hanya untuk kemuliaan Allah yang lebih besar (Ad Maiorem Dei Gloriam). Dengan demikian Ignacia menolak keinginan orang tuanya dan semua harta warisan yang diberikan oleh ayahnya. Ignacia kemudian pergi meninggalkan rumahnya hanya berbekal gunting, jarum dan benang sebagai simbol dari solidaritasnya dengan kaum miskin dan menderita. Dalam kemiskinannya ia mau melayani mereka dengan usahanya sendiri meskipun ia tahu bahwa orang tuanya dapat memenuhi segala kebutuhannya dan memberikan bantuan tetapi hal itu tidak dikehendakinya (Anicia Co, 1998: 14). Di sini nampak bahwa ia adalah pribadi yang tidak tergantung pada materi tetapi justru ia mengandalkan kasih dan kemurahan Tuhan yang akan membuka jalan baginya untuk bisa memenuhi kebutuhan hidupnya.

(25)

tersebut merupakan rumah kosong milik para suster “Mother of Congregation”

dari Jepang yang diasingkan ke Manila pada tahun 1614 (Anicia Co, 1998: 14). Pada awal ia tinggal di rumah tersebut ia mengalami tantangan, ada orang yang menaruh curiga dan prasangka atas cara hidup yang ia pilih ini. Tetapi Ignacia hanya bisa berpasrah pada Tuhan dan semakin tekun berdoa dalam menghadapi kesulitan hidupnya itu. Satelah beberapa saat hidup dalam kesendirian dan keheningan dan berkat iman dan kesalehannya, misinya mulai membuahkan hasil. Beberapa perempuan mulai tertarik akan cara hidup Ignacia. Orang pertama yang bergabung dengannya adalah Christina Gonzalez, kemenakannya. Selanjutnya jumlah anggota komunitas Ignacia ini semakin bertambah menjadi empat orang, sembilan dan kemudian menjadi tiga puluh tiga orang sampai pada akhirnya pada tahun 1685 komunitas ini dibentuk dan diberi nama “The Beatas de la Compañía de Jesùs” dengan Ignacia sebagai pemimpinnya. Namun demikian komunitas ini belum dinyatakan sebagai sebuah institusi komunitas religius yang resmi karena belum disahkan oleh takhta Suci di Roma.

(26)

untuk mengerjakan pekerjaan harian di rumah, pengetahuan tentang membangun hidup berkeluarga, mengajar pengetahuan iman kristiani dan memberikan latihan-latihan rohani (LR. St.Ignatius Loyola) bagi kaum perempuan yang membutuhkan pendampingan rohani (Anicia Co, 1998: 16,18). Usaha Ignacia dan para beatanya ini didukung dan dibimbing oleh para imam Yesuit yang merupakan pembimbing rohani mereka pada waktu itu.

Tahun 1697, Uskup Diego Camacho datang ke Manila dalam rangka mengadakan visitasi kanonikal bagi komunitas-komunitas religius yang ada di Manila. Dalam visitasi itu Uskup Diego menemukan bahwa Ignacia dan

Beaterionya belum resmi menjadi sebuah institusi yang sah, dan ia memberi peringatan bahwa akan menggabungkan Beaterio dengan komunitas St. Potenciana dari ordo Dominikan. Hal ini menimbulkan kebingungan bagi Ignacia dan komunitasnya. Di satu sisi mereka bukan di bawah kuasa Jesuit tapi di di sisi lain mereka selalu dilayani oleh Yesuit dalam hal bimbingan rohani dan sakramen pengakuan. Di sini mereka diajak untuk berpikir mengenai masa depan komunitas, yakni sebuah Beaterio yang independen dan punya kekhasan sebagai komunitas religius perempuan yang sah (Anicia Co, 1998: 18-19).

(27)

Pada tahun 1723 Ignacia mulai menulis peraturan-peraturan yang mengatur cara hidup dan kebiasaan Beaterionya. Dalam upaya penulisan ini Ignacia dibantu oleh Pater Pedro Murillo Velarde, SJ sejarawan dan ahli hukum kanonik. Akhirnya pada tahun 1726 konstitusi ini selesai dibuat dan disahkan oleh Uskup setempat dan selanjutnya Beaterio ini sah menjadi sebuah institusi komunitas religius lokal.

Setelah sekian tahun memimpin komunitas Beaterio (1684-1737), pada tahun 1737, Ignacia meletakkan jabatannya sebagai superior kepada salah satu anggotanya. Ia memilih untuk hidup sebagai anggota biasa sampai meninggal pada tanggal 10 September 1748 setelah menerima komuni kudus dalam perayaan ekaristi.

Beaterio ini mengalami beberapa kali pergantian nama mulai dari “Beaterio de la Compañía de Jesùs” pada tahun 1685, kemudian pada tahun 1902 sampai dengan 1932 menjadi “Compañía de Beatas de la Virgen Maria” dan selanjutnya menjadi “Congregacion de Religiosas de la Virgen Maria” yang dalam bahasa Inggris disebut “Congregation of the Religious of the Virgin Mary” (Anicia Co, 1998: 120). Nama terakhir inilah yang digunakan hingga saat ini sebagai nama kongregasi RVM. Pada tanggal 17 Maret tahun 1907 Paus Pius X, menetapkan secara defenitif bahwa kongregasi RVM adalah kongregasi di bawah wewenang Serikat Kepausan sekaligus mengesahkan konstitusinya (Ferraris, 2004: 41).

1. Pribadi Ignacia Del Espiritu Santo

(28)

terkaya di kotanya (Binondo), yang tentunya hidup berkecukupan dan berkelimpahan materi. Ignacia tidak silau oleh harta yang dimilikinya, justru sebaliknya dengan sikap imannya yang dewasa dan didukung oleh keberaniannya ia menunjukkan rasa solider dan empatinya yang besar kepada orang miskin dengan meninggalkan keinginan dan semua harta warisan orang tuanya. Ia rela menjadi seorang hamba hina Tuhan yang berjuang untuk mengangkat derajat kaum wanita pribumi Filipina pada waktu itu.

Pribadi Ignacia yang bersahaja ini sungguh berakar dari kehidupan relasinya yang mendalam dengan Tuhan melalui doa-doanya yang tak kunjung putus. Di tengah kehidupannya yang sulit dan berkekurangan serta penuh tekanan dari pemerintahan kolonial Spanyol, ia dan para susternya tetap setia melakukan mati raga dan terus menerus berdoa dengan tiarap dan merentangkan tangan di atas tanah untuk memohon rahmat Allah bagi penyilihan dosa-dosa umat manusia (Anicia Co, 1998: 17)

(29)

a. Terbuka terhadap Roh Kudus (Opennes to the Holy Spirit)

Salah satu aspek dasar dari pribadinya adalah keterbukaannya terhadap Roh Kudus. Ia perlahan-lahan tumbuh dalam keberanian dan kepekaan hati sehingga ia dapat melihat dan menemukan kelemahannya. Pemberian dirinya untuk dipimpin oleh Roh Kudus membuat ia mampu menemukan makna terdalam dari setiap pengalaman suka dan duka, pergulatan dan perjuanggan hidupnya, perjumpaannya dengan orang lain dan alam ciptaan yang lain. Selain itu hidup dalam Roh Kudus membuat ia semakin bertumbuh dalam iman akan Kristus dan mampu menemukan kehendak Tuhan dalam hidupnya .

b. Merenungkan dalam Hati seperti Maria (Pondering Heart of Mary)

Ignacia sering mengalami keresahan dalam hatinya salah satunya karena ia melihat masa depan kehidupan sosial yang tidak adil dan semena-mena. Ia mengalami kesulitan untuk keluar dari kemelut ini, untuk itu ia berusaha meminta saran dari seseorang yang dapat membantunya menemukan jalan keluar dari persoalan yang sedang dihadapinya. Ia menemukan sosok yang tepat yaitu Bunda Maria. Ignacia terinspirasi dari teladan Maria yang menyimpan segala sesuatu dalam hatinya dan merenungkannya (Luk. 2:19, 51), dengan meneladan sikap Maria ini, Ignacia menemukan jawaban atas segala keresahan hatinya. Ia menjadi lebih sadar akan perasaannya dan suasana hatinya. Ignacia memupuk sikap

dicernmen sebagai usahanya memelihara semangat Maria tersebut. c. Relasi yang Intim dengan Yesus Kristus (Intimacy With Christ)

(30)

ia memberi seluruh dirinya untuk orang lain. Ia tidak menunggu untuk dicintai tetapi ia keluar untuk berbagi cinta dan perhatian kepada orang lain. Lebih dari itu berkat keintimannya dengan Kristus membuat ia semakin menyatu denganNya, dan lebih bersikap reflektif dalam tingkah laku dan gerak-geriknya. Kemurnian hatinya diungkapkan dalam tutur kata yang santun dan dalam pelayanan kasihnya.

B. Spiritualitas Kongregasi RVM

Kongregasi Religious Of the Virgin Mary (RVM) berakar dari kharisma pendiri “pelayanan yang total demi kerajaan Allah” dan spiritualitas “Hamba hina” yang diwariskan kepada para pengikutnya turun temurun. Panggilan hidup Ignacia berciri khas Maria dan berkarakter St. Ignatius Loyola. Ignacia menjawab panggilan Tuhan berkat inspirasi dari pribadi Maria yang terbuka dan rendah hati pada sapaan Allah untuk menjadi Bunda PutraNya, ia juga didorong oleh semangat pelayanan St. Ignatius yang melakukan segala hal demi kemuliaan Allah. Dua aspek ini dinyatakan dalam satu kesatuan yang tak terpisahkan yakni kontemplasi dalam aksi. Dalam semangat dicernmen setiap RVM mencari dan menemukan kehendak Allah dan menanggapiNya dengan penuh iman melalui suatu keterlibatan yang mendalam yang berdaya kreasi dalam misi Kristus di dunia ini (Hasil Kapitel Umum Biasa, 2001, hal.2).

(31)

1998: 26). Roh pembeda yaitu latihan rohani St. Ignatius inilah yang kemudian menjadi bagian dari hidup kongregasi RVM hingga saat ini.

Sifat apostolik dari kongregasi yang “melakukan segala sesuatu demi kemuliaan Tuhan” adalah bukti bahwa pengaruh semangat santo Ignatius dalam perjalanan hidup panggilan Ignacia sangat besar. Dalam karya apostoliknya Ignacia terus bekerja sama dengan para imam Yesuit dalam membangun dan memajukan orang-orang pribumi khususnya kaum perempuan Filipina. Dalam pelayanan Ignacia dan para susternya selalu mencari dan menemukan kehendak Tuhan. Mereka melayani dengan tulus dan memberikan pendidikan iman serta ketrampilan bagi orang-orang pribumi yang pada saat itu mengalami penderitaan akibat penjajahan dari bangsa asing.

Bunda Maria adalah sosok pribadi yang begitu dekat dan lekat dengan kehidupan Ignacia dan teristimewa jawaban Ignacia terhadap panggilan Tuhan terinspirasi dari sikap keterbukaan Maria yang radikal. Keberanian Ignacia yang secara tegas menjawab panggilan Tuhan merupakan suatu pancaran keberanian dari Bunda Maria yang menjawab “ya” atas panggilan Allah untuk menjadi Ibu Tuhan (Constitution of the RVM Revised, 2002, no.1)

(32)

Spiritualitas sebagai hamba Tuhan ini lalu diwariskan Ignacia kepada pengikutnya sebagaimana tercantum dalam Constitution of the RVM Revised 2002, No. 4, yakni :

Dijiwai oleh fiat Maria “aku ini hamba Tuhan”, setiap suster RVM mampu mewujudnyatakan sikap-sikap dasar dari BundaNya menurut perkembangan zaman. Seperti Bunda Maria setiap suster harus memiliki iman yang mendalam, kerendahan hati, dan taat pada Kristus sang Mempelai Ilahi Usaha dalam mengejawantahkan spritualitas Maria ini menjadi sebuah komitmen yang harus menjadi milik setiap suster RVM dalam kehidupannya setiap hari, karena itu para suster perlu menyadari beberapa hal sebagaimana yang tercantum dalam konstitusi kongregasi RVM (2002: 2-3) yaitu: Pertama,menyadari keberadaannya sebagai pribadi yang diciptakan Allah secara unik dan yang dipilih oleh Allah untuk menjadi instrumen cinta kasihNya. Kesadaran ini menghantar para suster untuk membuka diri secara utuh terhadap cinta Ilahi dan kemudian dengan bebas dan rela berbagi cinta kepada sesama.

Kedua, mempunyai sumbangan kepada dunia sebagai seorang wanita melalui kontemplasi, doa, kelembutan, kemurnian, kepekaan, kesabaran, belas kasih dan penghormatan atas hidup. Cinta penuh pengorbanan, kesetiaan dan melayani dengan semangat yang besar demi kerajaan Allah menjadi dasar hidup panggilan para suster.

(33)

mempersembahkan dirinya bagi orang-orang pada zamannya (bdk. Luk.1: 56). Kelembutan dan kepekaan hati Maria serta kesetiaannya di kaki salib Yesus Puteranya menjadi dasar bagi setiap suster RVM dalam membangun hidup pribadi, komunitas dan karya kerasulan.

Keempat, mampu melakukan disermen dalam mencari dan menemukan kehendak Allah serta berani melaksanakannnya. Selanjutnya secara pribadi maupun bersama membangun persahabatan yang otentik dengan Bunda Maria sebagai pribadi yang hidup.

C. Kekuatan dan Kelemahan Kepemimpinan RVM

Pada tanggal 3 April-20 Mei 2001 diadakan kapitel umum biasa RVM yang ke-17 di Tagaytay, Filipina. Dalam kapitel ini para peserta mengadakan evaluasi dan refleksi atas penghayatan hidup bakti dan perkembangan kongregasi selama lima tahun. Salah satu pokok penting yang dibahas adalah tentang sejauh mana para pemimpin dalam tarekat RVM telah bertumbuh dalam pemahaman, pengungkapan dan perwujudan makna kepemimpinan yang sesuai dengan kepemimpinan Yesus dan semangat Ignacia, yakni kepemimpinan sebagai hamba Tuhan.

(34)

1. Kualitas Kepemimpinan Mother Ignacia

Ignacia adalah perempuan yang memiliki kedalaman iman dan menaruh kepercayaan penuh pada penyelenggaraan Ilahi. Dalam kepemimpinannya ia tidak mengandalkan kekuatannya semata, ia mengandalkan kekuatan Kristus. Mother

Ignacia menyadari bahwa segala yang dimilikinya, bakat, talenta, hidup bahkan seluruh dirinya adalah anugerah Tuhan yang diberikan secara cuma-cuma. Oleh karena itu dalam rangka menjalankan tugas kepemimpinannya Ignacia menghayatinya sebagai suatu bentuk pengabdian pada Allah dan sesama. Semua yang dimilikinya dikembalikan kepada Allah lewat doa, pujian dan pelayanan apostolisnya.

Cintanya akan salib Kristus dan demi keselamatan jiwa-jiwa, membuat ia rela berbagi dan memilih hidup miskin dan sederhana dalam kesetiakawanan dengan yang menderita. Dia teguh dan berani dalam menjawab kebutuhan zamannya berjuang mengangkat derajat kaum perempuan yang tertindas.

(35)

tetapi dengan kerendahan hati, kelembutan dan keberadaan dirinya yang hanya sebagai alat di tanganNya.

Popularitas dan jabatan bukan menjadi tujuan kepemimpinannya, meskipun ia masih diharapkan oleh anggotanya untuk memimpin ia malah meletakkan jabatannya kepada anggota yang lain. Ignacia memilih untuk memberikan kesempatan kepada para anggotanya untuk mengalami pengalaman baru lewat kepemimpinan orang lain. Ia memilih menjadi anggota biasa sampai akhir hidupnya. Ia bersikap lepas bebas terhadap jabatan sebagai pemimpin, karena ia sadar bahwa semua yang ada padanya saat ini adalah anugerah Tuhan semata, jadi ia tidak berhak untuk menguasai semuanya itu termasuk kedudukannya sebagai pemimpin.

2. Kekuatan dan Kelemahan Kepemimpinan para Suster RVM berdasarkan Hasil Kapitel Umum Biasa RVM ke-17 tahun 2001.

(36)

mendengarkan, memberi gagasan-gagasan atau pandangan yang berharga demi menemukan keputusan yang sesuai dengan kehendak Allah.

Para pemimpin sering mengadakan kunjungan-kunjungan ke setiap komunitas, mengadakan pertemuan-pertemuan, seminar-seminar, rekoleksi, retret dan pembagian sirkular demi membangun persekutuan kasih dalam komunitas. Kehadiran para pemimpin di tengah-tengah anggotanya ini dirasakan oleh setiap suster sebagai berkat, dukungan dan kekuatan yang membangkitkan semangat untuk semakin setia padaNya. Namun demikian dalam kunjungan tersebut dirasakan waktunya terlalu singkat bagi pemimpin untuk mengenal lebih dalam setiap pribadi dan mendengarkan sharing perjuangan dan pergulatan para anggotanya.

Para pemimpin telah berusaha menghayati hidup sederhana dan mau melayani sesama dengan tulus. Meskipun demikian masih ada pemimpin yang tidak berani lepas bebas dari kelekatannya, dari rasa aman, dan kemapanannya entah itu lingkungan yang menyenangkan, jabatan, atau orang-orang di sekitarnya. Di tengah-tengah gaya hidup materialisme, konsumerisme dan hedonisme ini ada yang tidak mampu mengatakan “cukup” untuk membatasi keinginannya (Hasil Kapitel Umum Biasa ke-17, 2001, no.6)

(37)

keinginan kuat untuk berkuasa (Hasil Kapitel Umum Biasa RVM ke-17, 2001, no.3).

(38)

BAB III

TAFSIR INJIL YOHANES 13:1-20

Yohanes 13 hingga 20 lebih memusatkan perhatian pada bagaimana Yesus akan kembali kepada BapaNya dan dampaknya bagi para murid. Bila pada bab-bab sebelumnya Yesus sudah mengisyaratkan datangnya “saat”, kini saat itu sudah dekat dan membawa penentuan bagi Yesus dan para muridNya. “Saat” itu didahului dengan peristiwa perpisahan antara Yesus dengan para muridNya dan dalam peristiwa tersebut Yesus mewariskan sebuah teladan kasih lewat pembasuhan kaki para muridNya. Untuk lebih memahaminya maka pada Bab III ini akan dibahas mengenai konteks, struktur, tafsir dan pesan Injil Yohanes 13:1-20. Selanjutnya di bawah ini dikutip kisah lengkap teks tentang “Yesus Membasuh Kaki Para MuridNya” (Yoh. 13:1-20) berdasarkan Kitab Suci Perjanjian Baru, terbitan Lembaga Alkitab Indonesia, tahun 1995.

Teks Injil Yohanes 13:1-20 sebagai berikut :

Yesus Membasuh Kaki Para MuridNya (Yohanes 13:1-20)

1

(39)

mulai membasuh kaki murid-muridNya lalu menyekanya dengan kain yang terikat pada pinggangNya itu.6Maka sampailah Ia kepada Simon Petrus. Kata Petrus kepadaNya: “Tuhan, Engkau hendak membasuh kakiku?”

7

Jawab Yesus kepadanya: “apa yang Kuperbuat, engkau tidak tahu sekarang, tetapi engkau akan mengertinya kelak.” 8Kata Petrus kepadaNya: “Engkau tidak akan membasuh kakiku sampai selama-lamanya.” Jawab Yesus: “ jikalau Aku tidak membasuh engkau, engaku tidak mendapat bagian dalam Aku.” 9Kata Simon Petrus kepadaNya: “Tuhan jangan hanya kakiku saja, tetapi juga tangan dan kepalaku!” 10Kata Yesus kepadanya: “barangsiapa telah mandi, ia tidak usah membasuh diri lagi selain membasuh kakinya, karena ia sudah bersih seluruhnya. Juga kamu sudah bersih, hanya tidak semua.” 11Sebab Ia tahu, siapa yang akan menyerahkan Dia. Karena itu Ia berkata: ‘tidak semua kamu bersih.” 12Sesudah Ia membasuh kaki mereka, Ia mengenakan pakaianNya dan kembali ke tempatNya. Lalu Ia berkata kepada mereka: “mengertikah apa yang telah Kuperbuat kepadamu? 13Kamu menyebut Aku Guru dan Tuhan, dan katamu itu tepat, sebab memang Akulah Guru dan Tuhan. 14Jadi jikalau Aku membasuh kakimu, Aku yang adalah Tuhan dan Gurumu, maka kamupun wajib saling membasuh kakimu; 15sebab Aku telah memberikan suatu teladan kepada kamu, supaya kamu juga berbuat sama seperti yang telah kuperbuat kepadamu. 16Aku berkata kepadamu: sesungguhnya seorang hamba tidaklah lebih tinggi daripada tuannya, ataupun seorang utusan daripada dia yang mengutusnya. 17Jikalau kamu tahu semua ini, maka berbahagialah kamu, jika kamu melakukannya. 18Bukan tentang kamu semua Aku berkata. Aku tahu siapa yang telah Kupilih. Tetapi haruslah genap nas ini: “orang yang makan roti-Ku, telah mengangkat tumitnya terhadap Aku. 19

Aku mengatakannya kepadamu sekarang juga sebelum hal itu terjadi, supaya jika hal itu terjadi, kamu percaya, bahwa Akulah Dia. 20

(40)

A. Konteks Injil Yohanes 13:1-20

Penginjil Yohanes melukiskan kisah pembasuhan kaki para murid terjadi sebelum hari raya paskah Yahudi (13:1). Menurut Yohanes hari raya Paskah Yahudi jatuh pada hari kelima belas bulan Nisan, dimulai sejak Jumat malam pada saat matahari terbenam; karena itu perjamuan pada hari Kamis malam dan kisah Jumat Agung terjadi pada tanggal empat belas bulan Nisan (Brown, 1960: 66).

Tindakan yang cukup penting menyangkut pewahyuan diriNya ditempatkan dalam latar belakang hari raya Paskah Yahudi. Pada saat hari raya tersebut, suasana kota menjadi ramai, kegembiraan meluap-luap, kenangan akan peristiwa pembebasan bangsa Israel pada zaman dulu dan pengharapan pada saat ini tentang pengorbanan dan devosi yang tinggi begitu memenuhi pikiran dan hati orang-orang Yahudi. Di tengah kesibukan orang-orang Yahudi tersebut, Yesus sang Anak Domba Allah, mempersiapkan dengan tenang segala sesuatu untuk memenuhi suatu perjamuan yang lain (White, 1993:115), sebuah perjamuan kasih bersama dengan sahabat-sahabat yang dikasihiNya.

Pewahyuan diriNya ditempatkan berhadapan dengan saat-saat terakhir kehidupanNya di dunia (12:23; 13:1). Seluruh kehidupan Yesus dan misi yang diembanNya dari Bapa hampir selesai, dan sekarang, saat yang ditetapkan bagiNya perlahan tapi pasti mendekati puncaknya. Yesus sadar sepenuhnya bahwa Ia akan segera kembali kepada Bapa yang mengutusNya dan tentang ini bukanlah kehendak manusia yang mengaturNya, melainkan kehendak Bapa sendiri yang terjadi, dan Yesus telah siap untuk menghadapi dan menjalani rencana Bapa itu.

(41)

mencintai miliknya (15:19), tetapi yang tak tergantikan ialah betapa Ia tidak mengutamakan diriNya sendiri, sampai kapan pun, sampai kepenuhanNya. Hubungan pribadi tersebut, yang dipenuhi oleh suasana kesedihan, semakin menambah ketegangan dalam kisah malam itu. Tentu saja ada sebuah pengecualian di sana: rencana pengkhianatan Yudas (ayat 2) yang sangat mengejutkan para murid. Kesetiaan yang diimplikasikan dalam makan bersama rupanya tidak mampu mengikat kesatuan di antara mereka semua. Setan menawarkan pikiran jahat, dan berhasil memenangkan Yudas untuk menyetujui tindakan pengkhianatan terhadap Sang Guru dan Tuhan yang selama ini selalu bersamanya.

Latar belakang kosmis tersebut (kontradiksi antara yang baik dan jahat (ayat 2)), bertentangan dengan penyingkapan diri Kristus. Seraya mengelilingi meja perjamuan di Yerusalem, beberapa isu mulai dipersoalkan. Yudas mungkin saja menjadi agen yang memainkan peran kecil; sumber asli tentang oposisi/perlawanan terhadap maksud Allah ialah konflik yang amat lama antara Allah dan “lawan atau musuhNya” (satan dalam bahasa Ibrani), konflik antara terang dan gelap (1:5), antara yang baik dan yang jahat. Dan sekarang, dalam perjamuan malam terakhir ini, pertempuran antara dua hal tersebut berlangsung: “pemerintah” (setan/kejahatan) dunia melawan Penyelamat dunia, dan ini tentang penghakiman (12:31). Ia (penguasa dunia) datang dan melawan Yesus, tetapi tak berkuasa apapun atas Yesus (14:30) (White, 1993: 115).

(42)

pewartaanNya adalah sesuai dengan kehendak Bapa. Ketika pada perjamuan malam terakhir bersama murid-muridNya Yesus mengetahui bahwa kuasa yang diberikan Bapa kepadaNya sebagai penyelamat dunia hampir usai. Ia telah datang dari Bapa dan akan kembali kepada Bapa. Dan untuk mengakhiri semuanya itu Ia akan melewatinya dengan penderitaan dan pengorbanan yang besar namun Ia tidak gentar dan mundur sebab Bapa telah mengaruniakan kepadaNya kemampuan untuk menghadapi semuanya itu.

Akhirnya, dan sungguh mengagumkan, pengungkapan diri Yesus pada malam perjamuan ini ditempatkan dalam latar belakang seluruh peristiwa penebusan yang dibawa oleh Kristus dari kemuliaan yang Ia miliki bersama Allah sendiri sebelum dunia dijadikan. Ia masuk ke dunia dengan seluruh penghinaan, kerendahan, penolakan dan berpuncak pada kematian (White, 1993: 116) dan pada hari ketiga Ia bangkit dari maut. KebangkitanNya mengalahkan kuasa setan atas manusia dan menghantar manusia kembali kepada Bapa. Dengan demikian membawaNya kembali menuju kemuliaan bersama Bapa di surga.

(43)

B. Struktur Injil Yohanes 13:1-20

Injil Yohanes 13:1-20 dibagi dalam susunan sebagai berikut:

Ayat 1 dan 3 : Pengantar yang menunjukkan apa yang terjadi padaYesus.

Ayat 2 : Kisah pengkhianatan Yudas Iskariot yang juga menjadi bagian dari kesadaran Yesus.

Ayat 4-5 : Kisah pembasuhan kaki para murid oleh Yesus.

Ayat 6-10a : Tafsiran atas kisah pembasuhan kaki serta para tokoh dalam kisah tersebut. Soal yang diumumkan adalah soal “bersih”. Ayat 10b-11 : Siapa yang “tidak bersih”.

Ayat 12-15 : Tafsiran dan penerapan bagi para murid (para murid harus mengikuti teladan Yesus).

Ayat 16 : Sabda Yesus yang mirip dengan Matius 10:24; Lukas 6:40 dan Yohanes 15:20.

Ayat 17 : Lanjutan tafsiran dengan nada ajakan.

Ayat 18 : Yesus menunjukkan pada Yudas yang “tidak melakukan”. Ayat 19-20 : Pesan Yesus kepada para murid dan ditutup dengan sabda yang

mirip pada Matius 10:40; Markus 9:37; Lukas 9:48, 10:16

C. Tafsir Injil Yohanes 13:1-20

(44)

Yesus (pembasuhan kaki) yang dramatis yang memang mengungkapkan seluruh makna dari perkataan dalam Injil Lukas tersebut.

Tindakan Yesus selama pembasuhan kaki menyimbolkan kesengsaraan dan kematianNya kelak yang menyelamatkan dunia. Penanggalan jubahNya (13:4) merefleksikan penanggalan seluruh hidupNya, penanggalan atas kemuliaanNya dengan mengambil rupa seorang hamba dan yang memberikan hidupNya sendiri demi sahabat-sahabatNya (Yoh.10:17; 15:13). Pembasuhan kaki (13:5) menunjuk pada pembasuhan dengan air yang membuat seseorang menjadi anak Allah (Yoh. 3:5; 13:10). Bahkan lebih dari itu tindakanNya ini menjadi isyarat dari sikap patuh dan setia pada kehendak BapaNya dan memang untuk itulah Ia datang ke dunia. Perlu diketahui bahwa, sistem hukum Yahudi tidak menghargai seorang budak sebagai harta milik dari seorang Yahudi, sampai sang budak menunjukkan beberapa tindakan pelayanan pribadi bagi tuannya. Dengan demikian melalui pembasuhan kaki para murid, Yesus menjadikan diriNya sendiri sebagai hamba mereka yang sesungguhnya. Ia menjadi hamba mereka bukan sebagai seseorang yang merasa rendah diri, melainkan sebagai seseorang yang berbagi kasih dengan orang yang dilayani, dengan bebas Ia menerima semua tuntutan dan konsekuensi dari pelayanan itu. PelayananNya itu bukanlah sebuah tindakan penghindaran diri dari berbagai kesusahan, melainkan lahir dari komitmen serta kesadaran sebagai seorang Mesias yang menderita demi menyelamatkan manusia dari belenggu dosa (Wijngaards, 1986: 236).

(45)

memperoleh keselamatan dan kemerdekaan sejati sebagai anak-anak Allah. Mengambil bagian dalam karya keselamatan Kristus tidak serta merta terjadi begitu saja namun melalui suatu proses dan perjuangan yang besar yakni melalui suatu jalan “pertobatan atau metanoia” yang terus menerus (Darmawijaya, 988: 95). Proses ini dapat ditemukan dalam pribadi Petrus yang terlibat dalam kisah pembasuhan kaki pada malam perjamuan itu. Ketika tiba giliran Yesus membasuh kakinya. Petrus mempertanyakan tindakan Yesus tersebut “Tuhan, Engkau hendak membasuh kakiku?” (ay.6). Petrus tidak ingin Yesus melakukan pekerjaan yang hanya boleh dilakukan oleh seorang budak pada tuannya. Yesus tidak terpengaruh oleh reaksi Petrus, Ia mengatakan bahwa apa yang dilakukanNya saat ini tidak dipahaminya sekarang tetapi kelak mereka akan mengerti. Jawaban Yesus ini mengingatkan para pembaca Yohanes pada kisah lainnya, yakni perkataan Yesus tentang kenisah ataupun perjalananNya masuk Yerusalem, para murid tidak mengerti sampai mereka “mengingat kembali” semuanya setelah kematian dan kebangkitanNya (2:22; 12:16) (Brown, Cs, 2000: 973).

(46)

Petrus bahwa “sudah mandi” (ay.10) tidak perlu lagi dibasuh seluruhnya menunjuk pada baptisan itu sendiri. Selanjutnya Penginjil Yohanes juga tidak begitu saja mengabaikan kata “bersih” dari para murid. Menurut Darmawijaya (1988: 95) para murid memang belum dibaptis, tetapi bagi Yesus mereka sudah bersih karena iman akan sabda Yesus yang mereka dengar (Yoh. 15:3). Melalui perlawananNya atas dosa, memikul dosa dan mati karena dosa umat manusia, Yesus telah membasuh sampai bersih semua yang berdosa.

Baptisan yang dilambangkan dengan pembasuhan memiliki makna yang sangat penting sebab melalui baptisan para murid mengambil bagian dalam tugas “pengabdian” Yesus (bdk.13:8), yakni tugas pelayanan kepada sesama. Mengambil bagian dalam misi Kristus itu, Yesus memberi catatan tersendiri bagi Yudas “kamu sudah bersih, namun tidak semua” (ay. 10d-11). Yudas memang menjadi bilangan dari kedua belas murid Yesus yang setiap saat selalu berada di dekat Yesus, mendengarkan sabda Yesus, melihat karya-karya Yesus, tetapi Ia sendiri tidak mau terlibat dalam karya Yesus bahkan ia bersekutu dengan pikiran jahat iblis dan melakukan pengkhianatan terhadap Gurunya sendiri. Yudas memutuskan tali persaudaraannya dengan Yesus dan para murid yang lain, ia lebih memilih berada di pihak setan, dan menolak pewahyuan kasih Allah dalam diri Yesus Kristus (Yoh. 6:70-71).

(47)

maksudnya? Yesus perlahan-lahan membuka hati dan pikiran para murid akan tugas dan misi yang akan mereka emban sesudah kematianNya, bahwa yang pertama-tama adalah mereka harus saling melayani satu sama lain dalam kasih (ayat 13-14). Ia telah menunjukkan teladan kasih yang sempurna sebagai seorang pemimpin dan inilah pola tingkah laku Kristiani yang sejati yang harus dihayati yakni melayani dalam kasih dan penuh kerendahan hati. Melalui pembasuhan ini juga Yesus mendidik para murid bahwa yang terutama bukanlah sekedar mengikuti Yesus secara moral, melainkan lebih dari itu mampu menerima Dia sebagai pribadi Ilahi (bdk. 13:38) yang bersatu dengan Bapa. Mengikuti Kristus bukanlah terbatas pada sikap dan hal-hal lahiriah tetapi lebih berlandaskan pada motivasi untuk mengalami persatuan batiniah yang dalam dengan Allah dan ketaatan yang penuh pada Bapa sebagaimana telah diteladankan oleh Yesus sendiri.

(48)

Yesus secara jujur dan terbuka, berbicara di hadapan murid-murid bahwa Ia sudah tahu apa yang akan menimpa diriNya pada keesokan hari (dalam jalan salibNya). Yesus mengungkapkan bahwa pengkhianatan atas diriNya dilakukan oleh orang terdekatNya (ayat 18, 21). Ia memilih mereka semua (ayat 18; 6:70), dan Ia begitu mengenal mereka (2:25). Dalam memilih Yudas, Ia tidaklah membuat suatu kesalahan, dan tentunya tidak menempatkan Yudas dalam posisi yang salah. Yudas memang memiliki kualitas yang mungkin bisa membuatnya menjadi seorang murid, dan kepadanya diberikan kesempatan dan keistimewaan yang sama sebagaimana kepada para pengikutNya yang lain. Namun penyesalannya yang terakhir setelah peristiwa pengkhianatan itu menunjukkan apakah ia layak menjadi murid atau tidak! (White, 1993: 120).

Yudas pergi ke jalan yang salah. Ia memilih menjadi agen dari kekuatan yang lebih hebat dari dirinya sendiri yakni terjerat dalam kuasa iblis (Mrk 14:10-11), semua itu terjadi dengan kemauannya juga; ia merencanakan, menerima pembayaran tiga puluh keping perak, dan ia berkhianat hanya dengan sebuah ciuman! Kisah ini menjadi peringatan bagi mereka semua (ayat 20), bahwa untuk menerima atau menolak Yesus sama saja dengan menerima atau menolak Allah. Dan Yudas telah membuktikan itu bahwa penyesalannya dengan mengakhiri hidupnya sendiri menunjukkan ia telah menolak cinta kasih Allah.

D. Pesan Injil Yohanes 13:1-20 bagi Para Suster Pemimpin dalam Kongregasi RVM

(49)

lazim hanya dilakukan oleh seorang hamba kepada tuannya, dengan rendah hati dan penuh kasih dilakukan oleh Yesus kepada para muridNya. Ia yang adalah seorang Mesias, Guru dan Tuhan rela berlutut, dan membasuh kaki para murid yang kotor penuh debu mungkin juga aromanya tidak sedap. Tapi mengapa Yesus mau melakukan pekerjaan yang hina itu? Yesus memang tidak sedang melakukan sebuah sandiwara di hadapan para muridNya, melainkan Yesus menunjukkan sebuah teladan hidup bagaimana mencintai sampai sehabis-habisnya dan sekaligus memberi teladan bagaimana seharusnya menjadi seorang pemimpin yang sejati (13:14-15). Peristiwa pembasuhan kaki merupakan suatu teladan sekaligus pendidikan kepemimpinan para murid yang sangat mulia dan menyentuh hati para murid. Yesus mau menunjukkan bahwa menjadi pemimpin yang sejati berarti “melayani dengan penuh kasih dan ketulusan hati, kejujuran dan penuh kebijaksanaan” (Sardi, 2005: 223).

(50)

Misi Yesus adalah melaksanakan kehendak Bapa dan menjadi hamba yang melayani. Dalam Injil banyak ditemukan kisah yang menunjukkan bahwa Yesus mengoreksi dan meluruskan berbagai persepsi pengikutNya mengenai siapakah Dia. Lima ribu orang yang setelah mengalami mukjizat pergandaan roti menginginkan Dia menjadi raja mereka (bdk. Yoh. 6:14-15). Sedangkan murid yang lainnya Yakobus dan Yohanes menginginkan Dia menjadi Mesias yang akan membangun sebuah kerajaan duniawi dan mereka diperbolehkan mengambil bagian di dalamnya (Mark.10:35-40). Simon orang Zelot dan para murid yang lain bahkan menginginkan Yesus menjadi Mesias yang mampu menghalau para penindas Romawi (Wilkes, 2005: 186). Demikianlah gambaran para pengikut Yesus yang menginginkan Ia hadir sebagai pemimpin yang memiliki kuasa untuk membangun sebuah pemerintahan duniawi demi memenuhi sebuah tujuan politis tertentu. Namun Yesus secara tegas menolak ide atau keinginan banyak orang untuk menjadikan Dia sebagai raja atau pemimpin publik.

(51)

belenggu dosa melalui pengorbananNya di salib serta menghantar manusia kembali ke dalam kesatuan dengan Bapa di surga.

Kenyataan menunjukkan bahwa seringkali para pemimpin entah itu pemimpin pemerintahan, maupun pemimpin religius termasuk dalam kongregasi RVM tidak sempurna dalam menjalankan misi Kristus melalui tugas yang diembannya dari tarekat. Misi itu terkadang gagal tidak sesuai harapan banyak orang dan tujuan tarekat karena masih ada kecenderungan berorientasi pada fungsi dan ambisi untuk berhasil daripada mengutamakan Kristus dan nilai-nilai Kerajaan Allah, kurang melibatkan unsur disermen komunal dalam membuat keputusan (Hasil Kapitel Umum Biasa RVM ke-17, 2001, no.3).

Yesus adalah pribadi yang konsisten, apa yang dikatakan atau diajarkan itulah yang dilaksanakanNya dalam hidup, dengan kata lain antara perkataan dan perbuatan sejalan. Maka ketika Ia berkata “Aku datang untuk melayani” benar-benar Ia tunjukkan dalam pembasuhan kaki para murid. Yesus tidak merasa terbebani dengan pekerjaan itu karena Ia melakukannya dengan sukarela, penuh ketulusan hati dan karena kasihNya yang besar kepada Bapa dan para murid yang dikasihiNya, “…jangan dengan terpaksa, tetapi dengan sukarela sesuai dengan kehendak Allah” (1 Ptr. 5:2).

(52)

ia tidak akan merasa sombong dan berkuasa atau sebaliknya ia merasa rendah diri, menghindar, merasa tidak mampu, dan sebagainya. Ada dua unsur penting sebagai jalan tengah agar kedua hal tersebut tidak terjadi dalam diri pemimpin, yaitu pertama pengosongan diri. Pemimpin harus sadar bahwa dirinya tidak berarti apa-apa bila tanpa campur tangan Allah. Ia harus terbuka mengakui kelemahan dan kerapuhan dirinya dan mengundang Allah untuk menopang dirinya (Soenarja, 1984: 29), hal ini senada dengan apa yang dialami oleh Paulus dalam pewartaannya “Cukuplah kasih karuniaKu bagimu, sebab justru dalam kelemahanlah kuasaKu menjadi sempurna” (2 Kor. 12:9). Ketika seorang pemimpin membiarkan Allah menyempurnakan kelemahannya maka ia akan semakin bergantung pada penyelenggaraan Allah semata dan pelayanannya akan bermakna bagi para anggotanya juga orang lain.

Unsur yang kedua adalah sikap rendah hati. Pemimpin yang rendah hati, berarti ia akan tampil apa adanya, bersikap wajar atau tidak dibuat-buat untuk mendapat simpati dari orang lain atau anggotanya. Ia sadar bahwa semua bakat dan kemampuan yang ada padanya merupakan anugerah dari Tuhan secara cuma-cuma sehingga tidak alasan apapun untuk menyombongkan dirinya (Syukur, 2005: 58-59). Apa yang menjadi kelebihan pada dirinya diberikan dengan senang hati demi kemajuan orang lain sedangkan apa yang menjadi kelemahannya diperbaiki sehingga kelemahannya tidak menghambat pelayanannya atau menjadi batu sandungan bagi orang lain.

(53)

mereka, “Aku memberikan suatu teladan kepadamu, supaya kamu pun berbuat sama seperti yang telah Kuperbuat kepadamu” (Yoh.13:15). Pembasuhan kaki merupakan teladan hidup yang agung dan mulia. Melalui teladan hidupNya itu Yesus mengubah pola pikir, cara pandang yang lama dan keliru tentang seorang pemimpin (Mesias) yang dinanti-nantikan untuk membebaskan mereka dari penjajahan bangsa asing, melainkan mereka dibentuk oleh Yesus untuk menjadi murid yang dewasa dan saling berbagi kasih satu sama lain melalui pelayanan yang tulus dan membebaskan bukannya menunggu untuk dilayani.

(54)

BAB IV

SITUASI UMUM KEPEMIMPINAN RELIGIUS INDONESIA DI ZAMAN SEKARANG

Situasi dan kondisi zaman sekarang ini banyak mengalami perubahan dan perkembangan yang pesat. Hal ini ditandai dengan perubahan sosial yang cepat yang diakibatkan oleh kemajuan teknologi, dan informasi serta transportasi yang penyebarannya ditunjang oleh derasnya arus globalisasi di berbagai aspek kehidupan manusia menurut Darminta (2003: 233). Arus perubahan sosial ini juga mempengaruhi gaya kepemimpinan dewasa ini. Dalam dunia bisnis berbagai macam tuntutan harus dipenuhi oleh seorang pemimpin profan agar organisasi atau lembaga yang dipimpinnya tetap eksis dan berkembang di tengah arus gelombang zaman ini. Sudiarja, (2004: 2) mengungkapkan bahwa seorang pemimpin harus berwibawa namun tetap dicintai, mampu mengelola sumber daya yang dimiliki oleh organisasinya. Mampu mengendalikan dan mengarahkan anggotanya, ia juga dituntut memiliki kecerdasan baik personal maupun sosial yang matang dan ketrampilan yang mendukung, punya visi-misi yang jelas, optimistik serta mampu menyatukan seluruh organisasinya dalam satu semangat yang besar.

(55)

tantangan dan keprihatinan kepemimpinan religius di zaman sekarang ini? Apakah yang harus dilakukan oleh seorang pemimpin agar lembaga hidup bakti tetap berkembang dan memenuhi tuntutan zaman ini?

Pada BAB IV ini akan diuraikan tentang arti kepemimpinan secara umum dan arti kepemimpinan religius. Selanjutnya akan dipaparkan tentang situasi dan keprihatinan kepemimpinan religius dewasa ini. Dan beberapa karakteristik atau ciri-ciri kepemimpinan religius yang perlu dimiliki oleh seorang pemimpin. Pada bagian akhir membahas tentang kepemimpinan Yesus yang merupakan perintis dan teladan kepemimpinan (religius) di zaman modern ini.

A. Pengertian Kepemimpinan 1. Kepemimpinan menurut para Ahli

Kata pemimpin dalam bahasa Inggris, yaitu Leader. Akar katanya To Lead

yang berarti: bergerak lebih awal, berjalan ke depan, mengambil langkah pertama, memelopori, membimbing, menuntun, dan menggerakkan orang lain melalui pengaruhnya. Dengan demikian arti dari pemimpin adalah:

Orang yang bergerak lebih awal, berjalan di depan, mengambil langkah pertama, mengarahkan pikiran, pendapat dan tindakan orang lain. Ia membimbing, menuntun, dan menggerakkan orang lain, melalui pengaruhnya (Mangun Hardjana, 1991: 11).

(56)

teori kepemimpinan yang dikutip oleh Sudarwan (2004: 55-56) sebagai berikut: Kepemimpinan menurut Pfiffner adalah “suatu proses seni mengkoordinasi dan memberi arah kepada individu atau kelompok untuk mencapai tujuan yang diinginkan bersama”. Farland mengemukakan bahwa Kepemimpinan adalah: “suatu proses di mana pemimpin dilukiskan akan memberi perintah atau pengaruh, bimbingan atau proses mempengaruhi pekerjaan orang lain dalam memilih dan mencapai tujuan yang telah ditetapkan. Sedangkan arti kepemimpinan menurut Oteng Sutisna, “Kemampuan mengambil inisiatif dalam situasi sosial untuk menciptakan bentuk dan prosedur baru, merancang dan mengatur perbuatan, dengan berbuat begitu pemimpin membangkitkan kerjasama ke arah tercapainya tujuan”.

2. Kepemimpinan Religius

Kepemimpinan dalam hidup religius pada hakikatnya mengacu pada tujuan hidup religius itu sendiri, yakni mencapai kesempurnaan hidup Injili. Dasar dari setiap pelayanan seorang pemimpin adalah melayani Allah dan sesama, dengan kata lain pelayanan pemimpin religius didasarkan pada kecintaannya terhadap Allah menurut Francino (2005: 148). Dengan demikian pelayanannya dalam tugas perutusan akan semakin manusiawi. Pemimpin religius yang manusiawi akan terbuka dan berempati terhadap kepentingan dan kebutuhan para anggotanya juga orang-orang yang berada di sekitarnya, sekaligus juga ia memberi ruang bagi mereka untuk bertumbuh dan berkembang menuju kematangan hidup.

(57)

pemimpin untuk masuk dalam suatu keprihatinan Kristus yang demikian demi keselamatan umat manusia. Sebab fungsi kepemimpinan yang dilaksanakannya merupakan kepemimpinan untuk melayani sesamanya terlebih bagi mereka yang lemah dan menderita.

a. Menurut KHK Kanon 618.

Kitab Hukum Kanonik, Bab II, tentang kepemimpinan tarekat khususnya dalam kanon 618 mengungkapkan gambaran tentang kepemimpinan religius sebagai berikut:

Para pemimpin hendaknya melaksanakan kuasa yang diterima dari Allah lewat pelayan Gereja dalam semangat pengabdian. Maka dalam melaksanakan tugasnya hendaklah peka terhadap kehendak Allah, memimpin bawahannya selaku putera-putera Allah, serta mengusahakan ketaatan sukarela mereka dengan menghargai kepribadian manusiawi mereka, dengan senang hati mendengarkan mereka serta mengajukan peran serta mereka demi kebaikan tarekat dan Gereja, tetapi dengan tetap memelihara wewenang mereka sendiri untuk memutuskan serta memerintahkan apa-apa yang harus dilaksanakan (KHK, no. 618, 1999: 193).

(58)

hidup religius dan tidak lagi menampakkan unsur kesucian tetapi lebih mengutamakan hal-hal duniawi maka ia telah keliru dan berlawanan dengan kehendak Allah.

Seorang pemimpin yang melayani hendaknya memiliki kepekaan hati untuk melihat dan menemukan kehendak Tuhan “Dalam memimpin bawahannya (anggota-anggotanya) selaku putera-putera Allah”. Tuntutan ini harus dilaksanakan oleh pemimpin religius sebab kekhasan dari kepemimpinan religius adalah mengarah pada kehendak Allah. Peka terhadap kehendak Allah berarti “mampu membaca tanda-tanda zaman dan bisa mengartikannya dalam terang cahaya Tuhan” (Sardi, 2005: 97).

Berhadapan dengan para anggotanya pemimpin religius harus “mengusahakan ketaatan sukarela mereka dengan menghargai kepribadian manusiawi mereka, dengan senang hati mendengarkan mereka serta mengajukan peranserta mereka demi kebaikan tarekat dan Gereja, tetapi dengan tetap memelihara wewenang mereka sendiri untuk memutuskan serta memerintahkan apa-apa yang harus dilaksanakan”. Konteks zaman sekarang khususnya dalam hidup membiara ketaatan sedikit banyak telah mengalami perubahan bukan lagi ketaatan buta terhadap pemimpin melainkan suatu ketaatan yang dipenuhi dengan unsur dialog, kesetaraan, partisipasi, dan demokrasi serta kesadaran akan hak asasi (Oscar, 2004: 6-7) dan lebih dari itu ditopang oleh unsur descretio untuk menemukan kehendak Tuhan.

(59)

memberi kesempatan kepada anggota untuk memberikan pertimbangan, ide-ide, ataupun curahan hatinya secara jujur dan terbuka sedangkan pemimpin dengan senang hati dan penuh rasa empati mendengarkan dan kemudian memberi “pertimbangan dari berbagai segi dengan bijaksana dan adil kepada anggotanya”, (Oscar, 2004: 6). Melalui dialog ini pula kedua belah pihak diberi ruang untuk berdiskresi demi mencari dan menemukan kehendak Tuhan dan kemudian melaksanakannya dalam hidup. Keduanya menghayati ketaatan religius yang mau meneladani Kristus dan berpartisipasi dalam perutusanNya.

Para anggota diharapkan untuk berani menerima dan menanggung segala konsekuensinya secara Bertanggung jawab. Dan hal ini butuh sebuah pengorbanan, kerendahan hati dan kerelaan untuk melepaskan keinginan dan rencana pribadi demi melaksanakan apa yang dikehendaki oleh Tuhan sendiri. Demikianlah dalam

Perfaecta Caritatis No. 14 yang dinyatakan bahwa “ketaatan sukarela tidak menjadikan seorang religius berkurang martabat pribadinya, melainkan membawanya kepada kematangan hidup karena dikembangkannya kebebasan putera-puteri Allah”.

b. Kanon 619 dalam KHK secara tegas menyatakan apa yang menjadi tugas pelayanan para pemimpin religius:

(60)

mengunjungi yang sakit, menegur yang rewel, menghibur yang kecil hati, sabar terhadap semuanya (KHK, no. 619, 1991: 194).

Pemimpin religius adalah orang yang dipercaya oleh tarekat untuk mengemban tugas suci dari Allah, karena itu pemimpin hendaknya melaksanakan tugasnya dengan sungguh-sungguh, tekun dan penuh tanggung jawab. Dalam menjalankan tugas kepemimpinannya, ia tidak seorang diri melainkan “Bersama dengan para anggota yang dipercayakan kepada dirinya membentuk komunitas persaudaraan dalam Kristus, di mana Allah dicari dan dicintai melebihi segala sesuatu”. Sardi (2005: 102) mengungkapkan bahwa pemimpin selain sebagai tali pemersatu hidup religius, juga diharapkan mampu membangun suatu komunitas persekutuan beriman yang berpusatkan pada Kristus. Ia menjadi satu-satunya jalan, kebenaran dan hidup yang dituju oleh setiap orang. Bila Kristus menjadi satu-satunya yang dicari dan menjadi andalan maka hidup berkomunitas akan menjadi suatu komunitas yang hidup, komunitas kasih dimana para anggotanya merasakan “kesatuan hati, pikiran dan jiwa, ada pengampunan dan cinta kasih” (Hasil Kapitel Umum RVM ke-17, 2001: 12).

(61)

pemimpin mengajak anggotanya untuk mendengarkan dan menghidupi Sabda Tuhan di dalam komunitas-komunitas di mana ia berada, selain itu anggota diperkaya oleh ibadat suci yang dilaksanakan setiap hari sebagai ungkapan syukur atas hidup yang dianugerahkan Tuhan kepada komunitas (Sardi, 2005: 104).

Kitab Hukum Kanonik dalam kanon 619, menganjurkan agar para pemimpin hendaknya mampu memberi teladan kepada mereka dalam membina keutamaan-keutamaan serta dalam menaati peraturan-peraturan dan tradisi tarekatnya sendiri. Pemimpin religius haruslah menjadi teladan keutamaan dan kebijaksanaan, serta ketaatan dalam menghayati tradisi warisan tarekat. Tuntutan yang demikian ini menjadi suatu tantangan tersendiri dalam hidup religius karena kerapkali masih ada pemimpin religius yang dari cara hidup, sikap dan tutur katanya kurang menunjukkan keutamaan-keutamaan dan teladan hidup spiritualitasnya sehingga para anggota kurang menaruh penghargaan dan hormat kepada pemimpinnya karena antara perkataan dan perbuatan tidak sejalan dan menimbulkan pertanyaan bagi anggotanya.

(62)

sangat penting untuk mengejar kesempurnaan Injili dalam pengabdian demi kerajaan Allah” (Sardi, 2005: 104-105).

3. Kepemimpinan dalam Kongregasi RVM

a. Menurut Semangat Mother Ignacia del Espiritu Santo

Murillo Velarde, SJ, seorang sejarawan Yesuit dalam salah satu tulisannya tentang kepemimpinan Mother Ignacia, melukiskan bahwa Ignacia adalah seorang pribadi yang sangat kuat yang mampu menghadapi dan mengatasi berbagai macam tantangan dan kesulitan dalam usahanya membangun kongregasi RVM. Dikatakan bahwa pengabdian dalam kepemimpinannya adalah tanda kerendahan hatinya yang besar akan tugas pelayanan. Ia tidak memiliki keinginan untuk melekat pada kekuasaan, atau keinginan untuk memerintah atau mengontrol anggotanya, sebab keinginan yang demikian hanya akan menimbulkan penderitaan pada orang lain, seperti “penyakit kanker yang perlahan-lahan menggerogoti tubuh manusia dan merusak organ-organnya sehingga manusia tidak dapat berkembang dengan baik” (Anicia Co, 1998: 23.)

(63)

mendorong mereka untuk bersikap spontan dan jujur dalam memberikan pandangan, ide, gagasan, serta pendapat mereka demi kebaikan bersama. Ignacia menghayati kepemimpinannya sebagai hamba yang mengabdi kepada Allah dan kepada sesamanya.

Berdasarkan inspirasi dari kharisma kepemimpinan yang melayani dan kehambaan yang hina dari Mother Ignacia maka hasil kapitel umum kongregasi RVM ke-17, tahun 2001 menegaskan kembali tugas para pemimpin dalam kongregasi, yaitu para pemimpin dipanggil untuk menjadi wanita-wanita yang memiliki visi, berani memimpin kongregasi menuju sebuah komunitas profetis di zaman ini. Dalam milenium ketiga ini para pemimpin harus menunjukkan secara jelas wajah Kristus yang baru dan berani menghadapi setiap tantangan, syukur bisa memberikan solusi baru sebagai pemecahannya sehingga membantu perkembangan Gereja dan dunia khususnya dalam mewujudkan visi-misi kongregasi (Hasil Kapitel Umum RVM ke-17, tahun 2001: 62).

(64)

Kesaksian kenabian memerlukan usaha dan perjuangan yang terus menerus dan penuh semangat mencari kehendak Allah, menyerahkan diri sepenuhnya pada kehendak Allah, hidup dalam persekutuan dalam Gereja, melakukan penegasan rohani, mencintai kebenaran (VC. No. 84), mengikuti dan meneladani Kristus yang murni, miskin dan taat, yang sepenuhnya dikuduskan demi kemuliaan Allah yang lebih besar dan demi cintakasih terhadap sesama. Hidup persaudaraan dalam komunitas bersifat kenabian dalam masyarakat yang mempunyai kerinduan mendalam akan persaudaraan yang sejati. Selanjutnya para suster tampil membawa wajah Kristus harus memberikan kesaksian di mana pun juga dengan keberanian seorang nabi yang tidak takut menghadapi resiko-resiko dan tantangan dalam hidupnya (VC. No. 85).

b. Menurut Konstitusi RVM

Kepemimpinan menurut konstitusi RVM no. 94 (Constitution of RVM Revised, 2002: 49) tentang kekuasaan atau kepemimpinan adalah sebagai berikut:

Kekuasaan di semua tingkatan dalam kongregasi kita jalani dalam semangat pelayanan yang sejati dan kerendahan hati seturut teladan Yesus Kristus yang datang untuk melayani dan bukan untuk dilayani. Mereka yang memegang kekuasaan dalam kongregasi kita harus menjalani tugasnya dalam semangat ini, memperhatikan prinsip-prinsip subsidiaritas, tanggung jawab, dan kepercayaan, selalu mencari dan melaksanakan kehendak Tuhan dalam segala hal. Para pemimpin hendaknya melakukan dicernmen bersama dengan para suster demi kesejahteraan bersama, kebaikan kongregasi, dan demi membangun kerajaan Allah.

(65)

sendirian dalam tugasnya tetapi hendaknya melibatkan para suster yang lain sehingga tidak terkesan ia adalah pemimpin yang single fighter segala sesuatu dikerjakan sendiri. Namun sebaliknya mengedepankan unsur partisipasi dan prinsip subsidiaritas yang melibatkan anggotanya dalam mengambil keputusan untuk kepentingan bersama.

(1) Pemimpin Umum

Konstitusi RVM, no.100 (2002: 52) tentang pemimpin umum menegaskan tugas seorang pemimpin umum, sebagai berikut:

Pemimpin Umum memimpin kongregasi sesuai dengan hukum Gereja universal, konstitusi RVM, dan keputusan-keputusan kapitel umum. Sebagai seorang pemimpin yang setia kepada semangat pendiri, ia menyemangati, membimbing, dan mempersatukan seluruh anggota kongregasi. Ia terbuka terhadap Roh Kudus, ia berpikir bersama Gereja, ia melakukan dicernmen, dan tanggap terhadap tanda-tanda zaman dan berani menghadapi tantangan zaman”.

(66)

(2) Pemimpin Distrik

Konstitusi RVM no. 121 mengungkapkan bagaimana tugas pelayanan seorang pemimpin

Referensi

Dokumen terkait