• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB IV. SITUASI UMUM KEPEMIMPINAN RELIGIUS INDONESIA

C. Situasi dan Tantangan Kepemimpinan Religius

3. Tantangan yang berkaitan dengan Pemimpin Religius

Kata otoritas dalam bahasa Latin, yaitu, auctor (yang menumbuhkan, dari kata augere: menumbuhkan). Dengan demikian pemimpin dengan otoritas berarti pemimpin yang menumbuhkan baik dirinya maupun orang lain yang dipimpinnya (Samosir, 2004: 14).

Gereja dan hidup religius pada zaman dahulu (pra konsili vatikan II) memiliki kecenderungan kuat akan sosok dan gaya kepemimpinan pada suasana sentralisasi dan hirarkis dimana gaya kepemimpinannya lebih menekankan pemerintahan dengan relasi atasan-bawahan bahkan bersifat otoriter. Namun menurut Darminta (2005: 22-23) mulai awal abad dua puluh setelah konsili vatikan II, penghayatan kepemimpinan dalam Gereja khususnya dalam hidup religius mulai berubah yakni peralihan dari kepemimpinan otoritas yang otoritarian menuju ke

otoritas yang oritatif, artinya bahwa kuasa yang ada menuntut adanya wibawa yang tidak melulu karena jabatan tetapi terutama karena kuasa (kepemimpinan) dilandaskan pada iman kristiani dan religius yang diharapkan tetap setia kepada tugas pokok yakni pembawa otoritas Kristus “…Dan segala sesuatu yang kamu lakukan dengan perkataan dan perbuatan lakukanlah semua itu dalam nama Tuhan Yesus” (Kol. 3: 13).

Pemimpin sebagai pembawa otoritas Kristus di zaman sekarang harus melihat bahkan menghayati otoritasnya sebagai suatu pelayanan bukan sebagai jabatan yang berada di puncak menara gading yang tidak tersentuh. Otoritas seorang pemimpin harus berdasarkan pada otoritas Kristus yang datang untuk melayani bukan untuk dilayani (Mat. 20: 28), karena Aku berada di antara kamu sebagai pelayan (Luk. 22: 27). Dalam konteks ini bukan berarti lalu membuat seorang pemimpin menjadi budak dalam komunitasnya karena mau melayani anggotanya dengan sebaik-baiknya ia melaksanakan semuanya sampai ke hal-hal yang kecil. Namun yang dimaksudkan otoritas sebagai pelayan di sini lebih menekankan pada sebuah relasi yang tidak melulu vertikal tetapi kepemimpinan dihayati dalam kerangka relasi horisontal yang memberi tempat pada nilai kesetaraan, partisipasi, demokrasi dan berbagi tanggung jawab (Samosir, 2004: 14).

Kepemimpinan horisontal berarti pemimpin tidak menggunakan otoritasnya pertama-tama sebagai kuasa atas orang lain melainkan sebagai kekuatan bersama orang lain. Pemimpin mengakui bahwa orang yang dipimpinnya juga memiliki otoritas, ini tidak berarti bahwa pemimpin membuang otoritasnya sebagai seorang pemimpin. Sebaliknya ia mengintegrasikan otoritas jabatannya dengan otoritas setiap pribadi yang dipimpinnya. Demi mencapai otoritas semacam

itu baik pemimpin maupun anggota harus menghayati semangat kepemimpinan dalam Kristus yaitu “pengosongan diri” dalam wujud pelayanan satu sama lain, sebagaimana yang terdapat dalam surat St. Paulus kepada umat di Filipi 2:13 :

…Dan janganlah tiap-tiap orang dari kamu hanya memperhatikan kepentingannya sendiri-sendiri, melainkan kepentingan orang lain juga. Hendaklah kamu dalam hidupmu bersama, menaruh pikiran dan perasaan yang terdapat juga dalam Kristus Yesus, yang walaupun dalam rupa Allah tidak menganggap kesetaraan dengan Allah itu sebagai pemilik yang harus dipertahankan melainkan mengosongkan diriNya sendiri, dan mengambil rupa seorang hamba dan menjadi sama dengan manusia. Dan dalam keadaan sebagai manusia, Ia telah merendahkan diriNya dan taat sampai mati, bahkan mati di kayu salib.

Otoritas atau kekuatan bersama orang lain (power with), menegaskan sebuah relasi yang dinamis sehingga baik pemimpin maupun yang dipimpin dapat memberikan kontribusi bagi pertumbuhan dan perkembangan hidup orang lain sesuai dengan perannya, juga kemampuannya masing-masing. Sehingga nampak adanya relasi yang saling menghargai otoritas masing-masing yang memungkinkan lahirnya sebuah kesadaran akan ketaatan yang bebas namun Bertanggung jawab. Selain itu dalam konsep ini pemimpin tidak menganggap dirinya berada di atas komunitasnya tetapi di dalam komunitasnya. Ia tidak menganggap dirinya sebagai pribadi yang independen dari komunitas tetapi ia menempatkan dirinya sebagai bagian integral dari seluruh proses yang menghidupkan dan mencapai konsensus dalam kebersamaan (Samosir, 2004: 15).

Demikianlah tantangan kepemimpinan zaman sekarang adalah bagaimana mewujudkan otoritas Kristus sebagai pelayan dalam sebuah komunitas untuk saling mengisi sehingga bersama-sama dapat menemukan kehendak Allah dan dapat tumbuh dan berkembang menjadi pribadi yang dewasa.

b. Unsur Keteladanan Pemimpin

Tantangan lain yang dirasakan cukup besar saat ini adalah soal keteladanan hidup atau kesaksian hidup. Tugas kepemimpinan menjadi sulit dilaksanakan ketika para anggota menyaksikan dengan mata kepala sendiri bahwa nilai-nilai dan sikap serta gaya hidup yang diajarkan oleh pemimpinnya kepada mereka ternyata tidak dihayati atau dilanggar. Hal ini justru akan memperlemah semangat para anggota yang masih muda dan dalam tahap pembinaan. Mereka bisa saja kehilangan daya dorong dan teladan yang memberi semangat untuk berjuang menghayati panggilan hidup ini. Akibatnya terkadang muncul apa yang oleh Darminta (2003: 243) disebut tunnel syindrome atau sindrom selokan bawah tanah, yakni sikap mematuhi aturan selama masih dalam masa pembinaan tetapi setelah lepas masa pembinaan ia merasa bebas melakukan apa saja. Dengan demikian bisa dikatakan bahwa seluruh proses pembinaan hanya berhenti pada kulit luarnya saja tidak sampai terjadi proses internalisasi nilai dan pembentukan sikap batin yang mendalam karena hanya sekedar melakukan sesuatu yang nampak baik di luar dan membuat dirinya selamat atau tidak dinilai jelek oleh pimpinannya.

Berdasarkan gambaran di atas ternyata unsur keteladanan dari pemimpin sangat diperlukan dalam hidup religius pada masa sekarang. Sebagaimana halnya komunitas para rasul yang semakin didewasakan oleh Yesus berkat keteladananNya, demikian halnya para pemimpin religius hendaknya menjadi teladan hidup bagi para anggotanya dalam menghayati panggilannya.

Yesus dalam peristiwa pembasuhan kaki para murid (Yoh.1-20) telah memberikan keteladanan bagaimana menjadi seorang pemimpin yang sejati. Seorang pemimpin religius diharapkan selalu siap untuk melepaskan diri dari

kemapanan, serta kenyamanan sebagai seorang pemimpin, dan sebaliknya ia berani mengenakan sabuk kerendahan hati untuk melayani para anggota komunitasnya dengan tulus hati. Selain itu para pemimpin juga harus belajar dari Yesus soal membangun “relasi hati”, relasi persaudaraan yang sampai pada sikap empati. Ketika Ia menampakkan diri kepada para muridNya di pantai danau Tiberias (Yoh. 21: 1-14). Yesus datang tepat pada saat murid-muriNya putus asa, kelelahan, dan membutuhkan bantuan. Di sini Yesus melihat kebutuhan dasar manusia di dalam komunitasnya; dan perbuatan yang manusiawi ini memampukan Yohanes sanggup untuk melihat dan mengenal Yesus. Keteladanan dapat menggugah seseorang sampai pada sumber kebaikan, yakni Tuhan sendiri. Dalam menghayati tugas kepemimpinan, sentuhan-sentuhan kemanusiaan berupa perhatian, sapaan, dukungan, senyuman ataupun kehadiran dari seorang pemimpin dapat memberi daya dan semangat hidup tersendiri bagi anggota komunitas dan dapat menghangatkan relasi persaudaraan di antara mereka.