• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB V USULAN MODEL KEPEMIMPINAN YANG DICITA-CITAKAN

B. Kepemimpinan Transformatif sebagai Model Kepemimpinan

3. Spiritualitas Kepemimpinan Transformatif

Selain mengerti dan menguasai ketrampilan kepemimpinan transformatif seorang pemimpin dalam tarekat RVM juga sangat penting memperdalam spritualitas kepemimpinan transformatif yang menyangkut inti batin atau roh yang menggerakkan sang pemimpin menghayati tugas kepemimpinannya. Martasudjita (2001: 45) menguraikan bahwa kepemimpinan yang transformatif menghayati spiritualitas kepemimpinan Injili artinya, “suatu kepemimpinan yang tidak pernah mengganti posisi sentral Tuhan dengan dirinya sendiri”. Pemimpin rela untuk tidak menjadi pusat perhatian tetapi dengan tulus membiarkan anggota atau orang lain tetap hanya memiliki satu fokus perhatian yakni Tuhan sendiri. Seorang pemimpin transfomatif menurut semangat Injil akan rela dilupakan, diabaikan tidak dianggap penting. Yang penting baginya adalah bahwa Tuhanlah yang harus diabdi dan dilayani. Kiranya hal ini menjadi semangat santo Yohanes Pembaptis yang berkata, “Ia harus semakin besar, tetapi aku harus semakin kecil” (Yoh.3:30).

Ada tiga spritualitas kepemimpinan transformatif yang ditawarkan dalam Injil menurut Martasudjita (2001: 45) yang kiranya perlu dihayati dan dimiliki para suster RVM dalam usahanya menghayati kepemimpinan transformatif yaitu sebagai berikut :

a. Spiritualitas sebagai Gembala

Dalam perumpamaanNya tentang gembala yang baik Yesus mengungkapkan tentang ciri-ciri gembala yang baik di antaranya gembala yang baik selalu mengenal domba-dombanya (Yoh. 10 :14). Gembala yang baik juga berani menyerahkan nyawanya bagi domba-dombanya (Yoh.10:11). Dan akhirnya gembala yang baik selalu mencari dombaNya yang tersesat; ia meninggalkan yang

sembilan puluh sembilan ekor untuk mencari domba yang tersesat (bdk. Luk. 15: 4-7). Mengenal domba-dombanya dalam arti biblis berarti berkaitan dengan “mempunyai relasi atau hubungan yang personal dan mendalam”.

Semangat kegembalaan seorang pemimpin transformatif dalam praksisnya nampak dalam bagaimana seorang suster pemimpin menjalin hubungan yang mendalam dan personal serta saling meneguhkan dengan para anggotanya. Segala suka-duka anggotanya ada dalam doa dan hati pemimpin. Hal ini tentunya mengandaikan bahwa suster tersebut telah memiliki relasi yang mendalam juga dengan Allah sendiri sehingga memampukan ia sendiri untuk terbuka menjalin relasi yang baik dengan sesamanya. Lalu seorang gembala juga berani menyerahkan nyawanya bagi domba-dombanya. Pemimpin harus berani memberikan hidupnya untuk melayani anggotanya. Seluruh tenaga, pikiran kemampuan, bakat-bakat dicurahkan untuk memperkembangkan hidup mereka yang dilayaninya. Sedangkan seorang gembala meninggalkan yang sembilan puluh sembilan ekor dan mencari satu yang hilang, artinya seorang suster sebagai pemimpin harus mencintai setiap anggotanya dengan segala kelebihan dan kekurangannya. Ia juga mencintai anggota yang kadang menyakiti hatinya, yang memberontak dan menentang dirinya, sebab baginya setiap anggota adalah harta bernilai dan berharga yang dipercayakan Tuhan kepadanya yang harus dipelihara dan dijaganya seperti biji mata (Ul. 32:10).

b. Spiritualitas Kepemimpinan sebagai Pelayan

Hamba dalam pengertian biblis ialah mereka yang menjadi budak. Budak itu tanpa hak, statusnya rendah di mata masyarakat. Ia harus melayani majikannya,

ia siap sedia setiap saat bila dibutuhkan. Seorang budak tidak mempunyai kuasa apa-apa atas hidupnya sendiri. Ia hanya sebagai pelayan yang melaksanakan perintah tuannya. Inti spritualitas hamba ada pada hidup dan pribadi Yesus, “…yang mengosongkan diri, menjadi hamba dan bahkan mati di salib…” (bdk. 2:5-11). Kerelaan untuk mengosongkan diri, dan merendahkan diri menjadi serupa dengan manusia dan kemudian mati di kayu salib, inilah yang penting dalam spiritualitas kepemimpinan seorang pelayan.

Setiap pemimpin memiliki majikan atau tuan yang utama yakni Tuhan sendiri. Namun Tuhan juga hadir dan harus dilayani melalui diri para anggotanya. Oleh karena itu hidup dan pengabdiannya diarahkan bagi mereka yang dilayaninya. Sukacita, kecemasan ataupun harapan anggotanya menjadi miliknya juga, dalam arti ia merasa hati dan sejiwa dengan apa yang dirasakan dan dialami oleh anggota komunitasnya. Singkatnya semangat kepemimpinan pelayanan seorang pemimpin ada dalam hatinya yang terbuka, rendah hati dalam pelayanan, dan mencintai tugasnya, anggotanya serta tidak mencari ketenaran diri atau keuntungan diri dalam pelayanannya.

c. Spiritualitas Kepemimpinan sebagai Pengurus Rumah Tangga

Spiritualitas kepemimpinan sebagai pengurus rumah tangga ini sangat inspiratif dan menantang. Semangat pengurus rumah tangga ini memadukan unsur kekuasaan dan pelayanan, wewenang dan ketergantungan. Pengurus rumah tangga adalah orang yang mengawasi tata tertib rumah tangga, adat istiadat, aturan, dan kesepakatan bersama. Dalam Injil Perjanjian Baru kata pengurus rumah tangga muncul hanya dua kali yakni dalam Lukas 12:42 tentang “… jadi siapakah

pengurus rumah tangga yang setia dan bijaksana yang diangkat oleh tuannya menjadi kepala atas ...” dan Lukas 16:1-2 tentang “bendahara yang tidak jujur” dalam kedua teks ini ditampilkan dua ciri atau sifat pengurus rumah tangga, yaitu:

1) Pengurus rumah tangga bertindak sebagai pelayan bukan pemilik atau majikan.

Seorang pemimpin sebagai pengurus rumah tangga perlu menyadari bahwa dirinya bukanlah pemilik komunitas atau karya. Sebab semuanya itu adalah milik Tuhan, milik kongregsi. Ia menyadari bahwa tugas ini adalah anugerah dari Tuhan untuk itu ia sudah sepantasnya mempertanggung jawabkan kepada Tuhan sang pemilik segalanya. Tugas itu hanya sementara dan suatu saat pasti akan diambil alih atau dipercayakan kepada orang lain. Oleh karena itu kelekatan pada jabatan atau posisi tertentu dalam tarekat tidak boleh ada dalam hidupnya, sebaliknya sikap lepas bebas menjadi prinsip hidup seorang pemimpin. Ia siap sedia diganti dan dipindah ke tempat yang lain kapan saja.

2) Kekuatan dan keutamaan pengurus rumah tangga ada pada perpaduan antara sifat bijaksana dan bisa dipercaya, antara bisa diandalkan dan berpengalaman.

Seorang pemimpin sebagai pengurus rumah tangga memiliki kemampuan atau kompetensi di bidangnya sekaligus ia bisa dipercaya karena kepribadian, kejujuran dan komitmennya. Komitmen ini menjadi api dan penggerak seluruh aktivitas dalam hidupnya yang merupakan dorongan dari Roh Kudus sendiri.

3) Konteks kepemimpinan rumah tangga adalah ketidakhadiran majikan

Tuhan memberikan wewenang kepada pemimpin untuk mengambil bagian dalam wewenangnya atas diri para anggota. Tetapi wewenang itu hanya pinzaman dan pemberian Tuhan. Dan lagi wewenang itu menuntut tanggung jawab sang pemimpin kepada “majikan” yaitu Tuhan sendiri, apakah tugas yang diberikan itu dilaksanakan sesuai dengan kehendakNya atau malah dalam pelaksanaannya menyimpang dari jalan Tuhan.

C. Kepemimpinan Transformatif dalam Praksis di Kongregasi RVM