• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB IV. SITUASI UMUM KEPEMIMPINAN RELIGIUS INDONESIA

A. Pengertian Kepemimpinan

2. Kepemimpinan Religius

Kepemimpinan dalam hidup religius pada hakikatnya mengacu pada tujuan hidup religius itu sendiri, yakni mencapai kesempurnaan hidup Injili. Dasar dari setiap pelayanan seorang pemimpin adalah melayani Allah dan sesama, dengan kata lain pelayanan pemimpin religius didasarkan pada kecintaannya terhadap Allah menurut Francino (2005: 148). Dengan demikian pelayanannya dalam tugas perutusan akan semakin manusiawi. Pemimpin religius yang manusiawi akan terbuka dan berempati terhadap kepentingan dan kebutuhan para anggotanya juga orang-orang yang berada di sekitarnya, sekaligus juga ia memberi ruang bagi mereka untuk bertumbuh dan berkembang menuju kematangan hidup.

Hidup, karya dan pewartaan Kristus yang selalu ada di tengah-tengah kaum miskin, berdosa dan tersingkir kiranya menjadi inspirasi dan semangat bagi para

pemimpin untuk masuk dalam suatu keprihatinan Kristus yang demikian demi keselamatan umat manusia. Sebab fungsi kepemimpinan yang dilaksanakannya merupakan kepemimpinan untuk melayani sesamanya terlebih bagi mereka yang lemah dan menderita.

a. Menurut KHK Kanon 618.

Kitab Hukum Kanonik, Bab II, tentang kepemimpinan tarekat khususnya dalam kanon 618 mengungkapkan gambaran tentang kepemimpinan religius sebagai berikut:

Para pemimpin hendaknya melaksanakan kuasa yang diterima dari Allah lewat pelayan Gereja dalam semangat pengabdian. Maka dalam melaksanakan tugasnya hendaklah peka terhadap kehendak Allah, memimpin bawahannya selaku putera-putera Allah, serta mengusahakan ketaatan sukarela mereka dengan menghargai kepribadian manusiawi mereka, dengan senang hati mendengarkan mereka serta mengajukan peran serta mereka demi kebaikan tarekat dan Gereja, tetapi dengan tetap memelihara wewenang mereka sendiri untuk memutuskan serta memerintahkan apa-apa yang harus dilaksanakan (KHK, no. 618, 1999: 193).

Sebagaimana Kristus yang datang demi melaksanakan kehendak Bapa demikian pula pemimpin religius dalam tugasnya sudah selayaknya menyerahkan seluruh hidup dan karyanya dalam penyelenggaraan Ilahi karena ia menyadari bahwa kuasa yang diembannya itu adalah kuasa dari Allah sendiri melalui pelayanan atau pengabdian seutuhnya terhadap Gereja dan tarekat demi kemuliaan kerajaan Allah. Kepemimpinan religius yang mengemban kuasa dari Allah merupakan amanat suci dari Allah sehingga semua yang dilakukan dalam kepemimpinannya harus bermuara pada kesucian menurut Sardi (2005: 96). Apabila seorang pemimpin religius dalam tugasnya sudah mulai menyimpang dari

hidup religius dan tidak lagi menampakkan unsur kesucian tetapi lebih mengutamakan hal-hal duniawi maka ia telah keliru dan berlawanan dengan kehendak Allah.

Seorang pemimpin yang melayani hendaknya memiliki kepekaan hati untuk melihat dan menemukan kehendak Tuhan “Dalam memimpin bawahannya (anggota-anggotanya) selaku putera-putera Allah”. Tuntutan ini harus dilaksanakan oleh pemimpin religius sebab kekhasan dari kepemimpinan religius adalah mengarah pada kehendak Allah. Peka terhadap kehendak Allah berarti “mampu membaca tanda-tanda zaman dan bisa mengartikannya dalam terang cahaya Tuhan” (Sardi, 2005: 97).

Berhadapan dengan para anggotanya pemimpin religius harus “mengusahakan ketaatan sukarela mereka dengan menghargai kepribadian manusiawi mereka, dengan senang hati mendengarkan mereka serta mengajukan peranserta mereka demi kebaikan tarekat dan Gereja, tetapi dengan tetap memelihara wewenang mereka sendiri untuk memutuskan serta memerintahkan apa-apa yang harus dilaksanakan”. Konteks zaman sekarang khususnya dalam hidup membiara ketaatan sedikit banyak telah mengalami perubahan bukan lagi ketaatan buta terhadap pemimpin melainkan suatu ketaatan yang dipenuhi dengan unsur dialog, kesetaraan, partisipasi, dan demokrasi serta kesadaran akan hak asasi (Oscar, 2004: 6-7) dan lebih dari itu ditopang oleh unsur descretio untuk menemukan kehendak Tuhan.

Salah satu contoh ketaatan yang sering kali terjadi adalah ketaatan yang menyangkut penerimaan atas sebuah tugas perutusan. Di sini baik dari pihak pemimpin maupun anggota perlu mengadakan dialog. Dalam dialog pemimpin

memberi kesempatan kepada anggota untuk memberikan pertimbangan, ide-ide, ataupun curahan hatinya secara jujur dan terbuka sedangkan pemimpin dengan senang hati dan penuh rasa empati mendengarkan dan kemudian memberi “pertimbangan dari berbagai segi dengan bijaksana dan adil kepada anggotanya”, (Oscar, 2004: 6). Melalui dialog ini pula kedua belah pihak diberi ruang untuk berdiskresi demi mencari dan menemukan kehendak Tuhan dan kemudian melaksanakannya dalam hidup. Keduanya menghayati ketaatan religius yang mau meneladani Kristus dan berpartisipasi dalam perutusanNya.

Para anggota diharapkan untuk berani menerima dan menanggung segala konsekuensinya secara Bertanggung jawab. Dan hal ini butuh sebuah pengorbanan, kerendahan hati dan kerelaan untuk melepaskan keinginan dan rencana pribadi demi melaksanakan apa yang dikehendaki oleh Tuhan sendiri. Demikianlah dalam

Perfaecta Caritatis No. 14 yang dinyatakan bahwa “ketaatan sukarela tidak menjadikan seorang religius berkurang martabat pribadinya, melainkan membawanya kepada kematangan hidup karena dikembangkannya kebebasan putera-puteri Allah”.

b. Kanon 619 dalam KHK secara tegas menyatakan apa yang menjadi tugas pelayanan para pemimpin religius:

Para pemimpin hendaknya menunaikan tugas mereka dengan tekun dan bersama dengan anggota yang dipercayakan kepada dirinya berusaha membentuk komunitas persaudaraan dalam Kristus, di mana Allah dicari dan dicintai melebihi segala sesuatu. Maka mereka hendaknya kerapkali memberi santapan rohani kepada para anggota dengan sabda Allah dan mengajak mereka merayakan ibadat suci. Hendaknya memberi teladan kepada mereka dalam membina keutamaan-keutamaan serta dalam menaati peraturan-peraturan dan tradisi tarekatnya sendiri; membantu secara layak dalam hal kebutuhan-kebutuhan pribadi mereka, memperhatikan dan

mengunjungi yang sakit, menegur yang rewel, menghibur yang kecil hati, sabar terhadap semuanya (KHK, no. 619, 1991: 194).

Pemimpin religius adalah orang yang dipercaya oleh tarekat untuk mengemban tugas suci dari Allah, karena itu pemimpin hendaknya melaksanakan tugasnya dengan sungguh-sungguh, tekun dan penuh tanggung jawab. Dalam menjalankan tugas kepemimpinannya, ia tidak seorang diri melainkan “Bersama dengan para anggota yang dipercayakan kepada dirinya membentuk komunitas persaudaraan dalam Kristus, di mana Allah dicari dan dicintai melebihi segala sesuatu”. Sardi (2005: 102) mengungkapkan bahwa pemimpin selain sebagai tali pemersatu hidup religius, juga diharapkan mampu membangun suatu komunitas persekutuan beriman yang berpusatkan pada Kristus. Ia menjadi satu-satunya jalan, kebenaran dan hidup yang dituju oleh setiap orang. Bila Kristus menjadi satu-satunya yang dicari dan menjadi andalan maka hidup berkomunitas akan menjadi suatu komunitas yang hidup, komunitas kasih dimana para anggotanya merasakan “kesatuan hati, pikiran dan jiwa, ada pengampunan dan cinta kasih” (Hasil Kapitel Umum RVM ke-17, 2001: 12).

Salah satu tugas penting dari seorang pemimpin religius adalah mengarahkan dan mendorong anggotanya untuk menjalin relasi yang intim dengan Allah. Dalam rangka itu pemimpin hendaknya “kerapkali memberi santapan rohani kepada para anggota dengan Sabda Allah dan mengajak mereka merayakan Ibdat Suci”. Dalam menumbuhkan dan menyuburkan iman atau kerohanian para anggotanya tugas ini harus dilaksanakan dengan baik. Bila suatu komunitas mau mencapai kekudusan dan kesempurnaan hidup maka Sabda Allah haruslah dikumandangkan dan dihayati pertama-tama oleh pemimpin sendiri. Selanjutnya

pemimpin mengajak anggotanya untuk mendengarkan dan menghidupi Sabda Tuhan di dalam komunitas-komunitas di mana ia berada, selain itu anggota diperkaya oleh ibadat suci yang dilaksanakan setiap hari sebagai ungkapan syukur atas hidup yang dianugerahkan Tuhan kepada komunitas (Sardi, 2005: 104).

Kitab Hukum Kanonik dalam kanon 619, menganjurkan agar para pemimpin hendaknya mampu memberi teladan kepada mereka dalam membina keutamaan-keutamaan serta dalam menaati peraturan-peraturan dan tradisi tarekatnya sendiri. Pemimpin religius haruslah menjadi teladan keutamaan dan kebijaksanaan, serta ketaatan dalam menghayati tradisi warisan tarekat. Tuntutan yang demikian ini menjadi suatu tantangan tersendiri dalam hidup religius karena kerapkali masih ada pemimpin religius yang dari cara hidup, sikap dan tutur katanya kurang menunjukkan keutamaan-keutamaan dan teladan hidup spiritualitasnya sehingga para anggota kurang menaruh penghargaan dan hormat kepada pemimpinnya karena antara perkataan dan perbuatan tidak sejalan dan menimbulkan pertanyaan bagi anggotanya.

Seorang pemimpin religius ibaratnya sebagai seorang ibu atau ayah dalam keluarga yang sungguh-sungguh: membantu secara layak dalam hal kebutuhan-kebutuhan pribadi mereka, menegur yang rewel, menghibur yang kecil hati, sabar terhadap semuanya. Perhatian dan empati yang dalam terhadap segi kemanusiaan yang menyentuh hati dan menyemangati ini sangat penting untuk diperhatikan oleh pemimpin religius, untuk itu seorang pemimpin perlu “mencintai seperti hati Kristus sendiri” yang mencintai dengan lembut dan penuh kasih terhadap setiap orang terlebih mereka yang sangat menderita dan membutuhkan pertolongannya. Pelaksanaan tugas “ini memberi arah pedoman yang jelas bahwa hidup religius

sangat penting untuk mengejar kesempurnaan Injili dalam pengabdian demi kerajaan Allah” (Sardi, 2005: 104-105).