• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB V USULAN MODEL KEPEMIMPINAN YANG DICITA-CITAKAN

C. Kepemimpinan Transformatif dalam Praksis di Kongregasi

2. Pemilihan Shared Christian Praxis sebagai Model Berkatekese

a. Alasan Pemilihan Shared Christian Praxis sebagai Model Berkatekese

Shared Christian Praxis (SCP) merupakan salah model berkatekese. Model ini menggunakan pendekatan dasar teologis yang kuat, menggunakan model pendidikan yang progresif serta bertolak dari keprihatinan pelayanan pastoral yang aktual. Selain itu model ini juga menekankan proses berkatekese yang bersifat dialogis partisipatif yaitu proses katekese yang menekankan relasi subyek dengan subyek. Suatu relasi yang menuntut adanya kebersamaan dan kesederajatan. Peserta tidak hanya diam dan mendengarkan pemandu yang berbicara menyampaikan informasi tetapi sebaliknya dalam proses katekese ini baik peserta maupun pendamping dapat menjadi nara sumber, artinya setiap pribadi sesuai dengan gayanya, pengalaman hidupnya dan kepentingannya saling memberikan

sumbangan yang khas dan berarti bagi peserta lain. Masing-masing pribadi dihargai, dihormati keberadaan dan perannya sebagai subyek yang unik, bebas, dan Bertanggung jawab. Setiap peserta harus mengembangkan sikap mendengarkan dengan empati tidak hanya dengan telinga tetapi mendengarkan dengan hati apa yang disharingkan oleh peserta lain (Heryatno, 1997: 4).

Hubungan antar subyek yang sederajat dalam perjumpaan tersebut akan memunculkan suatu kesadaran baru tentang pentingnya rasa solidaritas dan kesetiakawanan karena peserta merasa “sehati sejiwa” memiliki perjuangan dan visi yang sama. Semua peserta menjadi partner atau saudara dan saudari dalam Kristus yang dengan segala daya dan kemampuannya aktif terlibat dan secara kritis mengolah pengalaman konkret mereka dan pengalaman dalam masyarakat kemudian mempertemukannya dengan tradisi kristiani. Selanjutnya dengan kesadaran yang kritis-reflektif dan didukung oleh suasana dialogis peserta tergerak untuk membuat suatu penegasan, penilaian, serta mengambil keputusan yang tepat yang mendorong peserta pada keterlibatan baru yakni mewujudkan nilai-nilai Kerajaan Allah di dunia ini (Heryatno, 1997: 4).

Perwujudan nilai-nilai kerajaan Allah dalam kehidupan pribadi, masyarakat dan Gereja merupakan orientasi utama dari model ini. Sebab dengan keterlibatan yang konkret dalam menghadirkan kerajaan Allah di dunia ini jemaat menghayati imannya kepada Allah yang telah mewahyukan dirinya kepada manusia. Selain itu mereka juga terbantu untuk semakin dekat dan bersatu dengan Allah, mengenal kehendakNya, semakin mencintaiNya serta semakin merasakan kehadiran dan campur tangan Allah dalam hidupnya. Keterlibatan dalam mewujudkan kerajaan Allah mengandaikan bahwa jemaat beriman (peserta) baik pribadi maupun bersama

mengalami proses metanoia atau pertobatan yang terus menerus. Pertobatan ini menghantar peserta pada integritas pribadi sebagai subyek dan mendorong mereka untuk selalu penuh perhatian atau peka pada apa yang terjadi dalam dirinya sendiri juga dalam kehidupan masyarakatnya sehingga dengan tegas mengambil keputusan yang tepat demi terwujudnya kerajaan Allah (Heryatno, 1997: 36).

Berangkat dari pokok-pokok pendekatan model SCP di atas maka penulis tertarik untuk memilih SCP sebagai model berkatekese dalam skripsi ini, dimana katekese dapat memberikan sumbangan bagi upaya terwujudnya pola kepemimpinan yang transformatif bagi kongregasi RVM. Model ini diharapkan membantu para pemimpin untuk sampai pada penemuan sikap dan kesadaran baru yang mendorong terwujudnya pola kepemimpinan yang transformatif yang mendukung keterlibatan para suster menghadirkan kerajaan Allah dalam hidup karya dan pelayanan tarekat.

Katekese dengan pendekatan Shared Christian Praxis ini menjadi sarana untuk para suster dapat berjumpa dan mengolah pengalaman konkretnya juga pengalaman dalam masyarakat yang direfleksikan secara kritis, dikonfrontasikan dengan tradisi dan visi kristiani lalu dikomunikasikan kepada peserta yang lain sehingga para suster dapat menemukan suatu praksis baru yang mendorong para suster untuk hadir sebagai pemimpin yang mampu melayani dengan rendah hati, memimpin dengan bijaksana dan adil, mencintai dengan tulus serta berkorban demi kepentingan banyak orang terutama melakukan segala sesuatu demi kemuliaan nama Tuhan bukannya untuk mencari popularitas atau ketenaran diri.

Melalui refleksi kritis, perjumpaan dengan tradisi dan visi kristiani yang tidak lain adalah perjumpaan dengan pribadi dan hidup Yesus sampai pada

membuat keputusan demi keterlibatan baru kiranya membantu proses transformasi kepemimpinan yang meliputi semangat, sikap dan tindakan baru demi terwujudnya nilai-nilai kerajaan Allah. Dalam hal ini muncul suatu kesadaran baru dalam diri suster untuk tampil sebagai pemimpin yang mampu menolong, memberdayakan dan mendampingi anggotanya dengan penuh kasih dan tanpa pamrih sehingga pemimpin dan anggotanya dapat bergerak menuju kedewasaan iman dan terlebih mengalami kepenuhan hidup dalam Kristus Yesus. Kepenuhan hidup kristiani menurut Heryatno (2005: 6) meliputi tiga hal yaitu visi Allah, keutamaan dalam Yesus Kristus dan panggilan Roh kudus.

1) Visi Allah

Berkembang dalam visi Allah yang hidup artinya memandang realitas hidup berdasarkan mata Ilahi. Peserta katekese mampu melihat dan merasakan dengan penuh belaskasih, penuh hormat, dengan kemurahan hati dan solider terhadap mereka yang lemah miskin dan menderita. Dengan kata lain hidup menurut visi Allah dapat menghantar para suster masuk dalam misteri Ilahi yang senantiasa mengasihi manusia dan berpihak pada kehidupan.

2) Keutamaan Kristus

Hidup dalam keutaman Kristus berarti para suster dipanggil untuk semakin mengarahkan hidup menjadi alter Kristus (Kristus yang lain). Ini berarti bahwa setiap pribadi berusaha secara terus menerus mengenakan cara, sikap dan semangat Yesus dalam menjalin relasi dengan Bapa dan dalam pelayanannya kepada sesama. Relasi yang terjalin di sini adalah berdasarkan ikatan batin, sikap dan cinta yang terpancar dari kedalaman hati sehingga apa yang keluar dari hati menunjukkan

ketulusan dan kemurahan hati untuk melayani Allah dan manusia. Singkatnya transformasi yang mau dicapai adalah bahwa baik pemimpin dan anggota semakin berkembang menjadi pribadi yang lebih manusiawi yang memiliki hati yang lembut seperti hati Kristus sendiri dalam pelayanan, perilaku dan tutur kata.

3) Panggilan Roh Kudus

Berkembang dalam panggilan Roh Kudus berarti para suster semakin setia dan terbuka untuk mengambil bagian dalam karya penyelamatan Allah yang membebaskan dan menyejahterakan hidupnya juga hidup sesamanya. Panggilan yang dimaksud adalah panggilan untuk mengabdi Allah melalui cinta terhadap sesama dan menghormati dan menghargai makluk ciptaan Allah yang lain.

Konteks dari katekese transformatif ini adalah hidup peserta yang memiliki hati dan kesadaran mendalam bahwa panggilan mereka sebagai religius pada hakikatnya adalah demi mengusahakan kebudayaan baru, yaitu persekutuan kasih sebagai murid-murid Tuhan. Dan apa yang kiranya telah ditemukan dalam refleksi maupun praksis baru diharapkan menjadi nilai yang terinternalisasi dalam diri sehingga menjadi suatu pola hidup yang tetap bertahan sampai kapan pun dan di mana saja para suster berada.

b. Tiga Komponen Pokok Shared Christian Praxis

Berikut ini penulis memaparkan 3 komponen dasar Shared Christian Praxis

yang disadur oleh Heryatno dari tulisan Groome “Sharing Faith: Comprehensive Approach to Religius Education and Pastoral Ministry” (1997: 2-7), sebagai berikut:

1) Praxis

Praxis mengacu pada tindakan manusia demi tercapainya suatu transformasi kehidupan yang di dalamnya terkandung proses kesatuan dialektis antara antara praktik dan teori yang nantinya akan menghasilkan kreativitas, serta antara pengalaman hidup dan refleksi kritis yang membangkitkan suatu semangat dasar yaitu keterlibatan baru dalam praxis hidup setiap hari. Ada tiga komponen dalam

praxis yaitu :

(a) Aktivitas Manusia

Aktivitas ini berkaitan dengan kegiatan mental dan fisik, kesadaran, tindakan personal dan sosial, hidup pribadi dan kegiatan publik yang semuanya merupakan medan dimana terjadi perwujudan diri manusia tersebut sebagai subyek agar keberadaan dirinya dapat bermakna bagi diri sendiri juga orang lain.

(b) Refleksi Kritis

Demi mencapai suatu transformasi hidup, maka refleksi kritis terhadap pengalaman pribadi juga sosial masyarakat serta tradisi dan visi iman kristiani sangat diperlukan, sebab dengan refleksi kritis peserta dapat menganalisa dan memahami tempat juga peran mereka dalam masyarakat dan Gereja serta menghantar mereka untuk berjumpa dan berdialog dengan kekayaan iman kristiani serta menghayatinya di dalam kehidupan setiap hari.

(c) Kreativitas

Kreativitas merupakan perpaduan antara aktivitas dan refleksi manusia. Pengolahan batin dalam terang sabda atas kegiatan hidup sehari-hari akan menghasilkan suatu pengalaman hidup baru yang tentunya akan semakin memperkaya hidup serta menambah kedewasaan iman peserta juga orang lain.

2) Kristiani

Katekese dengan pendekatan Shared Christian Praxis mengusahakan agar kekayaan iman kristiani dan visinya dapat terjangkau dan semakin relevan dalam kehidupan umat beriman pada zaman sekarang. Kekayaan iman kristiani memiliki dua unsur pokok yaitu pengalaman hidup iman kristiani (tradisi) dan visi kristiani.

Tradisi kristiani menyangkut pengalaman iman jemaat yang sungguh dihayati dalam kehidupan setiap hari. Inilah tanggapan manusia atas pewahyuan diri Allah yang terlaksana dalam diri Kristus di tengah-tengah hidup manusia. Dalam konteks ini tradisi dipahami sebagai medan perjumpaan antara rahmat Allah yang nyata dalam diri Kristus dan tanggapan manusia atas rahmat Allah tersebut. Tradisi kristiani berupa Kitab Suci, spiritualitas, refleksi teologis, sakramen, liturgi, nyanyian rohani, kepemimpinan jemaat dan sebagainya.

Visi kristiani menggarisbawahi adanya tanggung jawab dan pengutusan orang kristiani sebagai jalan untuk menghidupi sikap dan semangat kemuridan Kristus. Visi kristiani yang paling mendasar adalah tanggung jawab untuk mewujudkan nilai-nilai kerajaan Allah dalam praksis hidup konkret. Visi kristiani menunjuk pada proses sejarah kehidupan manusia yang berkesinambungan dan dinamis, mengundang penilaian, penegasan, membuat pilihan, dan keputusan yang tepat.

Dengan demikian antara tradisi dan visi kristiani keduanya tidak terpisahkan dalam sejarah hidup jemaat beriman. Keduanya mengusahakan adanya penyingkapan nilai-nilai kerajaan Allah di tengah realitas hidup manusia. Oleh karena itu keduanya harus diinterpretasikan berdasarkan kepentingan, nilai dan budaya umat setempat. Keduanya harus menjadi sarana untuk berdialog,

menumbuhkan rasa “memiliki” dan kesatuan sebagai jemaat beriman, sekaligus meneguhkan identitas kristiani mereka.

3) Shared

Shared menunjuk pada pengertian komunikasi timbal balik antara peserta dan pendamping maupun antar peserta juga menunjuk pada partisipasi aktif peserta, adanya sikap egalitarian, terbuka terhadap diri sendiri, orang lain maupun terhadap rahmat Tuhan. Istilah ini juga menekankan aspek dialog dalam proses katekese, persaudaraan, keterlibatan, dan solidaritas dari setiap peserta. Selanjutnya dalam

sharing semua peserta diharapkan dapat terbuka mengungkapkan pengalaman imannya dan siap pula mendengar dengan empati kesaksian iman peserta lain. Selanjutnya sharing juga terkandung hubungan dialektis antara pengalaman hidup faktual peserta dengan tradisi dan visi kristiani.

c. Langkah-langkah dalam Shared Christian Praxis

Ada lima langkah dalam proses pelaksanaan katekese model Shared Christian Praxis. Kelima langkah tersebut dimaksudkan untuk menghantar peserta mengungkapkan pengalaman suka cita, pergulatan dan perjuangan hidup dan merefleksikannya dalam terang Injil sampai pada akhirnya menemukan suatu prakis baru yang mendorong jemaat beriman terlibat dalam mewujudkan nilai-nilai kerajaan Allah di tengah-tengah kehidupan bersama. Kelima langkah SCP dalam prosesnya bisa mengalami penggabungan sesuai dengan kebutuhan atau kreativitas dari pendamping yang memandu jalannya kegiatan katekese.

Lima langkah dalam SCP menurut Heryatno (1997:8) diawali dengan sebuah langkah pendahuluan atau disebut langkah nol yaitu pemusatan aktivitas dalam proses Shared Christian Praxis. Dalam langkah nol ini pendamping mengajak peserta untuk bertolak dari pengalaman konkrit baik secara pribadi maupun pengalaman masyarakat saat itu yang menjadi sumber utama untuk mentukan topik atau pokok-pokok berkatekese. Maksud dari tahap ini adalah membangun kesadaran dan minat bersama, serta visi bersama sebagai medan perjumpaan, kebersamaan dan komunikasi antar sejajar subjek.

Berikut ini uraian dari kelima langkah model SCP (Heryatno, 1997: 9-35): 1) Langkah Pertama : Pengungkapan Pengalaman Faktual

Langkah pertama ini mengajak peserta untuk mengungkapkan pengalaman hidup dan keterlibatan mereka melalui cerita, puisi, tarian, nyanyian, drama singkat, simbol dan sebagainya menurut kreativitas mereka. Dalam proses ini peserta dapat menggunakan perasaan, menjelaskan nilai, sikap dan kepercayaan, yang melatarbelakanginya, sehingga diharapkan peserta dapat menjadi semakin sadar dan bersikap kritis terhadap pengalaman hidupnya sendiri juga pengalaman orang lain atau keadaan masyarakatnya. Melalui pengungkapan pengalaman konkret ini diharapkan dapat memunculkan tema-tema dasar yang akan direfleksikan secara kritis pada langkah berikutnya. Langkah pertama ini sifatnya obyektif, yaitu mengungkapkan apa yang sesungguhnya terjadi.

2) Langkah Kedua: Refleksi Kritis Terhadap Praksis Faktual

Langkah kedua ini membantu peserta untuk lebih aktif, kritis dan kreatif dalam memahami serta mengolah keterlibatan hidup mereka sendiri juga masyarakat.

Tujuan dari langkah ini adalah memperdalam refleksi, dan mengantar peserta sampai pada kesadaran kritis akan keterlibatan mereka, akan asumsi dan alasan (pemahaman), motivasi, sumber historis (pengenangan), kepentingan dan konsekuensi baik pribadi maupun sosial yang hendak diwujudkan dalam praksis hidup (imajinasi). Dengan refleksi kritis terhadap pengalaman konkret peserta semakin sampai pada nilai dan visinya yang pada langkah keempat akan dikonfrontasikan dengan pengalaman iman Gereja sepanjang sejarah (tradisi) dan visi kristiani. Langkah kedua ini bersifat analitis yang kritis.

3) Langkah Ketiga: Mengusahakan Tradisi Dan Visi Kristiani Terjangkau

Orientasi dari langkah ini adalah mengusahakan supaya tradisi dan visi kristiani menjadi terjangkau; lebih dekat dan relevan bagi hidup peserta di zaman sekarang. Pada langkah ini peran pendamping mendapatkan tempatnya. Ia memberi kesempatan seluas-luasnya kepada peserta, menghilangkan segala macam hambatan sehingga semua peserta mendapat peluang yang besar untuk menemukan nilai-nilai dari tradisi dan visi kristiani.

Tradisi adalah iman kristiani yang sungguh dihidupi dan diperkembangkan Gereja dalam sejarahnya. Tradisi kristiani hadir dalam Kitab Suci, liturgi, doa, devosi, kepemimpinan, spiritualitas, dll. Sedangkan visi kristiani merefleksikan harapan dan janji, tugas dan tanggung jawab yang muncul dari tradisi suci yang

bertujuan untuk mendorong dan meneguhkan iman peserta dalam keterlibatannya untuk mewujudkan nilai-nilai kerajaan Allah. Agar hal ini dapat terwujud maka tradisidisi dan visi kristiani perlu dijelaskan dan diinterpretasikan. Untuk membantu penerapan langkah ini maka pendamping dapat menggunakan salah satu bentuk interpretasi baik yang bersifat meneguhkan, mempertanyakan atau yang mengundang keterlibatan kreatif.

4) Langkah Keempat : Interpretasi Dialektis Antara Praksis dan Visi Peserta dengan Tradisi dan Visi Kristiani

Langkah ini mengajak peserta supaya dapat saling meneguhkan, mempertanyakan dan memperkembangkan pokok-pokok penting yang telah ditemukan peserta pada langkah pertama dan kedua. Selanjutnya pada langkah keempat pokok-pokok tersebut dikonfrontasikan dengan buah-buah interpretasi terhadap tradisi dan visi kristiani yang ditemukan dalam langkah ketiga, sehingga diharapkan peserta dapat meneguhkan sikapnya yang sudah positip, mempertanyakan praksisnya yang negatif dan terutama peserta dapat menemukan sikap-sikap baru yang menghantar peserta untuk mengambil keputusan dan mewujudkan iman secara konkrit supaya nilai-nilai kerajaan Allah semakin dirasakan di tengah-tengah kehidupan bersama.

Interpretasi dialektis ini memampukan peserta menginternalisasikan dan mensosialisasi nilai dari tradisi dan visi kristiani sehingga menjadi bagian dari hidup peserta. Hidup dan praksis faktual peserta diintegrasikan ke dalam tradisi kristiani dan sebaliknya peserta mempersonalisasi tradisi dan visi kristiani menjadi milik peserta sendiri. Yang menjadi tujuan pada langkah ini adalah munculnya

kesadaran iman yang baru yakni hidup iman peserta yang aktif, dewasa dan semakin misioner.

5) Langkah Kelima: Keterlibatan Baru Demi Makin Terwujudnya Kerajaan Allah Keprihatinan utama model Shared Christian Praxis adalah keterlibatan baru dalam rangka mewujudkan nilai-nilai kerjaan Allah, maka langkah kelima ini bertujuan mendorong peserta agar sampai pada keputusan konkret baik secara pribadi maupun bersama bagaimana mewujudkan iman kristiani pada konteks hidup yang telah dianalisa dan dipahami, direfleksi secara kritis, dinilai secara kreatif dan Bertanggung jawab.

Secara teologis langkah ini mengungkapkan suatu harapan bahwa berkat rahmat Allah dan iman manusia pada Allah maka segala sesuatu akan berlangsung lebih baik. Selain itu langkah ini bertujuan membantu peserta untuk mengambil keputusan secara moral, konseptual, sosial, dan politis yang sesuai dengan iman kristiani demi mewujudkan imannya yang hidup.

3. Usulan Kegiatan Katekese