• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB VI PENUTUP

A. Kesimpulan

1. Dalam tata kehidupan kaum religius, ada orang yang diberi kepercayaan atau tanggung jawab oleh tarekatnya untuk menjadi pemimpin yang bertugas menjalankan kepemimpinan. Kepemimpinan religius pada hakikatnya menjalankan fungsi pengabdian atau pelayanan yang dilandasi oleh cinta kasih kepada Tuhan dan sesama manusia khususnya kepada para anggota yang dipercayakan kepadanya.

Bagi kongregasi RVM kepemimpinan itu sendiri harus dilaksanakan dalam semangat pelayanan sejati dan penuh kerendahan hati, sebagaimana yang diteladankan oleh Kristus sendiri yang datang untuk melayani. Namun kadang kenyataan sering berbicara lain, bahwa kepemimpinan yang dikemukakan di atas dalam pelaksanaannya sering menyimpang dari apa yang menjadi tujuan sebenarnya, bahwa masih ada suster yang dalam kepemimpinannya cenderung masih mencari popularitas diri sendiri, masih ada unsur kelekatan terhadap tugas, mengabaikan unsur partisipatif, kurangnya disermen komunitas serta

kurangnya sikap mendengarkan. Berangkat dari keprihatinan yang ada, maka para suster RVM perlu melihat kembali Roh atau semangat kepemimpinan sejati dari sang Guru “Yesus Kristus” yang merupakan mentor terbaik dalam hal kepemimpinan pelayan. Yesus meskipun putra Allah yang memiliki kuasa atas dunia ini, tetapi Ia rela menjadi seorang hamba yang melayani manusia dengan penuh kerendahan hati. Dalam pelayananNya, Yesus menjalankan misi Bapa yaitu menghadirkan dan mewartakan kerajaan Allah di tengah-tengah umat manusia, sampai pada akhirnya Ia harus menderita, sengsara dan mati di kayu salib demi menyelamatkan manusia dari dosa dan kematian kekal.

2. Pada peristiwa pembasuhan kaki para murid sebelum hari raya Paskah Yahudi (Yoh. 13:1-20) Yesus menunjukkan sebuah teladan hidup tentang bagaimana mencintai sampai sehabis-habisnya, sekaligus Ia juga menunjukkan makna kepemimpinan yang sejati, bahwa menjadi pemimpin itu bukan hanya memberi perintah, menjadi mandor atau menunggu untuk dilayani, dihormati, dan dihargai tetapi sebaliknya menjadi pemimpin yang sejati berarti “lebih dahulu memberi diri untuk melayani orang bukan hanya dengan kata-kata tetapi terutama dengan melakukan tindakan yang penuh kasih dan ketulusan, dijiwai semangat kerendahan hati serta kejujuran dan kebijaksanaan” sebagaimana Yesus yang bersedia menunduk dan membasuh kaki para muridNya.

3. Perkembangan arus zaman ini yang ditandai dengan berkembangnya budaya konsumerisme, hedonisme, sekuralisme, budaya instant dan sebagainya merupakan tantangan bagi penghayatan hidup religius dewasa ini khususnya dalam hal kepemimpinan. Tantangan yang pertama dari para anggota sebagai calon atau yunior muda yang kebanyakan sebagai generasi yang hidup di zaman

ini. Mereka hidup di alam budaya yang penuh dengan tawaran-tawaran yang menarik seperti hal-hal yang bersifat instant, hedonis, konsumeris, free sex, dan sebagainya. Berkembangnya budaya seperti di atas dirasa sangat mempengaruhi gaya hidup, perilaku, atau pola pikir kaum muda sekarang termasuk mereka yang menjadi calon atau pun para yunior muda dalam kehidupan membiara. Oleh karena itu menjadi tantangan yang besar bagi para pemimpin dan para formator dalam rumah-rumah pembinaan, untuk bagaimana mendampingi dan mempersiapkan hidup para religius muda ini, agar mereka tidak terlena dan terseret ke dalam arus zaman ini. Tetapi sebaliknya, melalui kepemimpinan yang baik, serta pola pembinaaan yang matang dan kontekstual dapat meneguhkan dan menguatkan hidup mereka untuk bertahan dan teguh menghadapi berbagai macam tantangan dan tawaran yang menarik di zaman ini. Tantangan yang kedua datangnya dalam diri pemimpin sendiri, yaitu bahwa di zaman sekarang keteladanan atau kesaksian hidup yang baik dari seorang pemimpin sangat penting untuk dihayati. Namun terkadang hal itu tidak terwujud karena ada pemimpin yang antara perkataan, apa yang diajarkan berbeda dengan sikap dan perilaku seorang pemimpin. Unsur keteladanan atau kesaksian menjadi kabur ketika hidup religius hanya sebatas kata dan ajaran saja, tidak diaktualisasikan dalam tindakan dan perilaku yang baik. Kesaksian hidup religius menjadi tawar ketika anggotanya tidak dapat menemukan teladan hidup yang baik yang dapat mendorong dan memotivasi para anggota untuk terus maju dan berjuang mengikuti panggilanNya.

4. Kepemimpinan transformatif sebagai salah satu model kepemimpinan yang mau dihidupi oleh para suster RVM di zaman sekarang merupakan model

kepemimpinan yang mengutamakan unsur pelayanan yang murah hati dari seorang pemimpin. Seorang pemimpin yang transformatif selalu berusaha menjadi penggerak bagi orang-orang yang dilayaninya untuk mengalami suatu perubahan dan pembaharuan hidup ke arah yang lebih baik. Sebagai pemimpin yang menghendaki adanya “kelahiran baru” atau pertumbuhan yang terus menerus, perlu mengembangkan sikap sehati sejiwa dengan anggotanya. Ia selalu peka akan apa yang menjadi kebutuhan orang-orang yang dilayaninya juga a yang menjadi kebutuhan tarekat di zaman sekarang. Seorang pemimpin yang transformatif dalam hidupnya menghayati suatu spiritualitas kepemimpinan Injili, artinya pusat dan tujuan pelayanannya hanya untuk Tuhan dan sesamanya.

5. Katekese sebagai pembinaan iman membantu para suster RVM dalam usahanya mewujudkan pola kepemimpinan yang transformatif. Melalui refleksi kritis, perjumpaan dengan tradisi dan visi kristiani yang tidak lain adalah perjumpaan dengan pribadi dan hidup Yesus sampai pada membuat keputusan demi keterlibatan baru kiranya membantu proses transformasi kepemimpinan yang meliputi semangat, sikap dan tindakan baru demi terwujudnya nilai-nilai kerajaan Allah. Dengan kata lain katekese sebagai pembinaan iman bertujuan membangkitkan kesadaran baru dalam diri para suster untuk tampil sebagai pemimpin yang mampu menolong, memberdayakan dan mendampingi anggotanya dengan penuh kasih dan tanpa pamrih sehingga pemimpin dan anggotanya dapat bergerak menuju kedewasaan iman dan terlebih mengalami kepenuhan hidup dalam Kristus Yesus.