BAB 2
LANDASAN TEORI
2.1Pengertian Citra
Citra adalah representasi dari sebuah objek. Citra sebagai keluaran suatu sistem perekaman data yang dapat bersifat sebagai optik (foto), analog (sinyal-sinyal video seperti gambar pada monitor televisi), ataupun digital yang dapat langsung disimpan pada suatu media penyimpan.
2.1.1 Citra Analog
Citra analog adalah citra yang bersifat kontinu, seperti gambar pada monitor televisi, lukisan, pemandangan alam dan sebagainya. Citra analog tidak dapat direpresentasikan dalam komputer sehingga tidak bisa diproses secara langsung. Citra analog dihasilkan oleh alat-alat analog seperti kamera foto analog, sensor rontgen untuk foto thorax, sensor gelombang pendek pada sistem radar, dan lain-lain. Oleh sebab itu, agar citra ini dapat diproses di komputer, proses konversi analog ke digital harus dilakukan terlebih dahulu [12].
2.1.2 Citra Digital
Citra digital adalah citra yang terdiri dari sinyal-sinyal frekuensi elektromagnetis yang sudah di-sampling sehingga dapat ditentukan ukuran titik gambar tersebut yang pada umumnya disebut piksel. Untuk menyatakan citra (image) secara matematis, dapat didefinisikan fungsi f(x,y) di mana x dan y menyatakan suatu posisi dalam koordinat dua dimensi dan harga f pada titik (x,y) adalah harga yang menunjukkan warna citra pada titik tersebut [4].
digambarkan sebagai suatu matriks, di mana indeks baris dan indeks kolom dari matriks menyatakan posisi suatu titik di dalam citra dan harga dari elemen matriks menyatakan warna citra pada titik tersebut. Dalam citra digital yang dinyatakan sebagai susunan matriks seperti ini, elemen-elemen matriks tadi disebut juga dengan istilah piksel yang berasal dari kata picture element [7].
Untuk mendapatkan suatu citra digital, dapat digunakan alat yang memiliki kemampuan untuk mengubah sinyal yang diterima oleh sensor citra menjadi bentuk digital, misalnya dengan menggunakan kamera digital atau scanner. Cara yang lain adalah dengan menggunakan ADC (Analog-to-Digital Converter) untuk mengubah sinyal analog yang dihasilkan oleh keluaran sensor citra menjadi sinyal digital, misalnya dengan menggunakan perangkat keras video capture yang dapat mengubah sinyal video analog menjadi citra digital [12].
2.2Mode Warna
Menampilkan sebuah citra pada layar monitor diperlukan lebih dari sekedar informasi tentang letak dari piksel-piksel pembentuk citra. Untuk memperoleh gambar yang tepat dibutuhkan juga informasi tentang warna yang dipakai untuk menggambarkan sebuah citra digital. Beberapa mode warna yang sering digunakan adalah:
1. Bitmap mode memerlukan 1 bit data untuk menampilkan warna dan warna yang dapat ditampilkan hanya warna hitam dan putih (monokrom)
2. Indexed Color Mode, mengurutkan warna dalam jangkauan 0-255 (8 bit) 3. Grayscale Mode, menampilkan citra dalam 256 tingkat keabuan.
4. RGB Mode, menampilkan citra dalam kombinasi 3 warna dasar (Red, Green, Blue) tiap warna dasar memiliki intensitas warna 0-255 (8 bit)
5. CMYK Mode, menampilkan citra dalam kombinasi 4 warna dasar (cyan, magenta, yellow, black) tiap warna dasar memiliki intensitas warna 0-255 (8 bit).
2.2.1 Citra Warna (True Color)
penambahan, yang berarti bahwa warna primer dikombinasikan pada jumlah tertentu untuk menghasilkan warna yang diinginkan. RGB dimulai dengan warna hitam (ketiadaan semua warna) dan menambahkan merah, hijau, biru terang untuk membuat putih. Kuning diproduksi dengan mencampurkan merah, hijau; warna cyan dengan mencampurkan hijau dan biru; warna magenta dari kombinasi merah dan biru. Sensor utama dalam mata adalah sel kerucut. Manusia mempunyai 5-7 juta sel yang yang dibagi menjadi tiga kategori sensor (merah, hijau, biru). 65% sel kerucut sensitif pada warna merah, 33% hijau, dan 2% biru. Kombinasi warna RGB dapat dilihat pada Gambar 2.1.
Gambar 2.1 Kombinasi Warna RGB [12]
Warna campuran (selain dari putih) dihasilkan dengan menambahkan warna komponen RGB individual dengan berbagai tingkat saturasi, dengan tingkatan mulai dari 0.0 hingga 1.0 (0 berarti tidak menggunakan warna tersebut; 1 berarti menggunakan warna tersebut pada saturasi penuh).
Untuk mendapatkan masing-masing nilai R, G dan B setiap piksel dengan rumus sebagai berikut:
2.2.2 Citra Keabu-abuan (Grayscale)
Citra keabu-abuan hanya memiliki satu komponen warna yang besarnya berkisar antara 0 sampai 255. Citra keabu-abuan dapat dihasilkan dari citra warna dengan cara menghitung rata-rata nilai komponen warnanya.
Secara matematis penghitungannya adalah sebagai berikut.
f0 (x,y) = .…...………..…… (2.4)
f0 (x,y) = nilai keabu-abuan pada kordinat x,y. fR
= nilai komponen merah fG
= nilai komponen hijau fB
= nilai komponen biru
Dalam proses watermarking , untuk menghitung nilai biner Citra label penyisip maka akan dikonversi menjadi citra grayscale. Setelah citra grayscale didapat, maka akan dicari nilai tengah (threshold). Persamaan untuk perhitungan nilai threshold seperti berikut:
T = ( Gmin + Gmaks ) / 2 ...(2.5)
Gambar 2.2 Citra Warna dan Grayscale [12] 2.3Definisi Steganografi
Steganografi (steganography) adalah ilmu dan seni menyembunyikan pesan rahasia (hiding message) sedemikian sehingga keberadaan (eksistensi) pesan tidak terdeteksi oleh indera manusia. Kata steganorafi berasal dari bahasa Yunani yang berarti “tulisan tersembunyi” (covered writing). Steganografi membutuhkan dua properti yaitu wadah penampung dan data rahasia yang akan disembunyikan. Steganografi digital menggunakan media digital sebagai wadah penampung, misalnya citra, suara, teks, dan video. Data rahasia yang disembunyikan juga dapat berupa citra, suara, teks, atau video. Steganografi dapat dipandang sebagai kelanjutan kriptografi. Jika pada kriptografi, data yang telah disandikan (ciphertext) tetap tersedia, maka dengan steganografi cipherteks dapat disembunyikan sehingga pihak ketiga tidak mengetahui keberadaannya. Di negara-negara yang melakukan penyensoran informasi, steganografi sering digunakan untuk menyembunyikan pesan-pesan melalui gambar (images), video, atau suara (audio) [7].
Secara umum penyembunyian pesan rahasia ke dalam media penampung pasti mengubah kualitas media tersebut. Kriteria yang harus diperhatikan dalam penyembunyian pesan [6] adalah :
1. Imperceptibility.
Keberadaan pesan rahasia tidak dapat dipersepsi oleh indra manusia. Misal jika media penampung berupa citra, maka penyisipan pesan membuat stegotext sukar dibedakan oleh mata dengan citra covertext-nya.
2. Fidelity.
Mutu media penampung tidak berubah banyak akibat penyisipan. Perubahan tersebut tidak dapat dipersepsi oleh inderawi. Misal jika covertext berupa citra, maka penyisipan pesan membuat citra stegotext sukar dibedakan oleh mata dengan citra covertext-nya.
3. Recovery.
Metode Steganografi ada 2 jenis yaitu:
a. ranah waktu, yaitu memodifikasi nilai byte dari media yang akan disisipinya b. ranah frekuensi yaitu frekuensi memodifikasi langsung hasil transformasi
frekuensi sinyal.
2.4Pengertian Watermarking
Watermarking adalah bentuk dari Steganography yaitu ilmu yang mempelajarii teknik-teknik bagaimana penyimpanan suatu data (digital) ke dalam data host digital yang lain. Istilah host digunakan untuk data/sinyal digital yang ditumpangi [11].
Watermarking pada media digital disini dimaksudkan tidak akan dirasakan
kehadirannya oleh manusia tanpa alat bantu mesin pengolah digital seperti komputer, dan sejenisnya sebab watermarking berbeda dengan tanda air pada uang kertas yang masih dapat kelihatan oleh mata telanjang manusia dalam posisi kertas yang tertentu.. Dengan memanfaatkan kekurangan-kekurangan sistem indera manusia seperti mata dan telinga metoda watermarking ini dapat diterapkan pada berbagai media digital. Berdasarkan hasil keluarannya., Steganography berbeda dengan cryptography. Hasil dari cryptography biasanya berupa data yang berbeda dari bentuk aslinya dan biasanya datanya seolah-olah tek beraturan (tetapi dapat dikembalikan ke bentuk semula) sedangkan hasil keluaran dan steganography ini memiliki bentuk persepsi yang sama dengan bentuk aslinya yang tentunya persepsi disini oleh indera manusia [6].
2.4.1 Metode Watermarking
Terdapat banyak metoda watermarking untuk citra digital yang sudah diteliti. Ada yang bekerja pada domain spasial atau waktu, dan ada yang mengalami transformasi terlebih dahulu (seperti DCT, FFT, dsb) misalnya ke domain frekuensi. Bahkan ada yang menerapkan teknologi-teknologi lain seperti fraktal, spread spectrum untuk telekomunikasi dan sebagianya. Beberapa metoda yang pernah diteliti [7], diantaranya adalah:
a. LSB (Least Significant Bit) Coding;
Metoda ini merupakan metoda yang paling sederhana tetapi yang paling tidak tahan terhadap segala proses yang dapat mengubah nilai-nilai intensitas pada citra. Metoda ini akan mengubah nilai LSB (Least Significant Bit) komponen luminansi atau warna menjadi bit yang sesuai dengan bit label yang akan disembunyikan. Memang metoda ini akan menghasilkan citra rekontruksi yang sangat mirip dengan aslinya, karena hanya mengubah nilai bit terakhir dari data. Tetapi sayang tidak tahan terhadap proses-proses yang dapat mengubah data citra terutama kompresi JPEG. Metoda ini paling mudah diserang, karena bila orang lain tahu maka tinggal membalikkan nilai dari LSB-nya maka data label akan hilang seluruhnya. Proses dapat dilihat pada Gambar 2.3.
Gambar 2.3 Proses Watermarking Pada Citra Watermarking
Key
b. Patchwork; merupakan metode yang diusulkan oleh Bender. Pada metode ini dilakukan penanaman label 1 bit pada citra digital dengan menggunakan pendekatan statistik. Dalam metoda ini, sebanyak n pasang titik (ai,bi) pada citra dipilih secara acak. Brightness dari ai dinaikkan 1 (satu) dan brightness dari pasangannya bi diturunkan satu. Nilai Harapan dari jumlah perbedaan n pasang titik tersebut adalah 2n. Ketahanan metoda ini terhadap kompresi JPEG dengan parameter kualitas 75%, maka label tetap dapat dibaca dengan probabilitas kebenaran sebesar 85%.
c. Pitas & Kaskalis mengusulkan metode ini dengan membagi sebuah citra atas dua bagian (subsets) sama besar (misalnya dengan menggunakan random generator) atau dengan sebuah digital signature S yang merupakan pola biner
dengan ukuran N x M dimana jumlah biner "1" (satu) sama dengan jumlah biner "0" (nol). Kemudian salah satu subset ditambahkan dengan faktor k (bulat positif). Faktor k diperoleh dari perhitungan variansi dari kedua subset. Verifikasi dilakukan dengan menghitung perbedaan rata-rata antara kedua subset. Nilai yang diharapkan adalah k bila ada label yang ditanamkan. Metode ini tahan terhadap kompresi JPEG dengan faktor kualitas sekitar 90%.
d. Caroni mengusulkan metode penyembunyian sejumlah bit label pada komponen luminansi dari citra dengan membagi atas blok-blok, kemudian setiap pixel dari satu blok akan dinaikan dengan faktor tertentu bila ingin menanamkan bit '1', dan nilai-nilai pixel dari blok akan dibiarkan bila akan menanamkan bit '0', metoda ini dapat tahan terhadap faktor kualitas sebesar 30%.
e. Metoda Cox ini menanamkan sejumlah urutan bilangan real sepanjang n pada citra N x N dengan mentransformasikan terlebih dahulu menjadi koefisien DCT Nx N. Bilangan real tersebut ditanamkan pada n koefisien DCT yang paling besar, tidak termasuk komponen DC-nya. Verifikasi menggunakan citra asli dikurangi dengan citra terwatermark.
Berbeda dengan metode Cox, metode ini berdasarkan prinsip format citra JPEG, membagi citra menjadi blok-blok 8 x 8 dan kemudian dilakukan transforamsi DCT, kemudian menggunakan prinsip spread spectrum (metoda frequency hopped) dan RSPPMC (Randomly Sequenced Pulse Position
Modulated Code), koefisien-koefisien DCT tersebut diubah sedemikian rupa
sehingga akan mengandung informasi 1 bit dari label, seperti dipilih tiga koefisien untuk disesuaikan dengan bit label yang ingin ditanamkan. Contohnya untuk menanamkan bit '1' ke dalam suatu blok koefisien DCT 8 x 8, koefisien ketiga dari ketiga koefisien yang terpilih harus diubah sedemikian rupa sehingga lebih kecil dari kedua koefisien lainnya.
2.4.2 Aplikasi Watermarking
Berikut ini merupakan berbagai macam aplikasi watermarking yang dapat dimanfaatkan untuk berbagai tujuan [1] seperti:
a. Tamper-proofing, merupakan watermarking yang digunakan sebagai alat untuk mengidentifikasikan atau alat indikator yang menunjukkan tinta digital (host) telah mengalami perubahan dari aslinya. b. Feature location, merupakan penggunaan metoda watermarking
sebagai alat untuk identifikasikan isi dan data digital pada lokasi-lokasi tertentu, seperti contohnya penamaan objek tertentu dari beberapa objek yang lain pada suatu citra digital.
c. Annotation/caption, merupakan watermarking yang hanya digunakan sebagai keterangan tentang data digital itu sendiri.
d. Copyright-Labeling, merupakan watermarking yang dapat digunakan sebagai metoda untuk penyembunyikan label hak cipta pada data digital sebagai bukti kepemilikan karya digital yang otentik..
2.4.3 Trade-Off dalam Watermarking
1. Jumlah data (bitrate) yang akan disembunyikan.
2. Ketahanan (robustness) terhadap proses pengolahan sinyal. 3. Nilai penyembunyian data (invisibly).
Bila diinginkan ketahanan yang tinggi maka jumlah data akan menjadi rendah, sedangkan akan semakin tampak, dan sebaliknya semakin tidak tampak maka ketahanan akan menurun. Jadi harus dipilih nilai-nilai dan parameter tersebut agar memberikan hasil yang sesuai dengan kita inginkan.
2.4.4 Berbagai Domain untuk Penerapan Watermarking
Penerapan watermarking terhadap data digital dapat diterapkan pada berbagai domain. Maksudnya penerapan watermarking pada data digital seperti text, citra, video dan audio, dilakukan langsung pada jenis data digital tersebut (Misalnya untuk citra dan video pada domain spasial, dan audio pada domain waktu) atau terlebih dahulu dilakukan transformasi ke dalam domain yang lain.
Berbagai transformasi yang dikenal dalam pemrosesan sinyal digital seperti Fast Fourier Transform (FFT), DCT (Discrete Cosine Transform), Discrete
Wavelet Transform (DWT) dan sebagainya. Penerapan watermarking pada berbagai
domain dengan berbagai transformasi turut berbagai mempengaruhi parameter penting dalam watermarking bitrate invisible, dan robustness [9].
2.4.5 DCT (Discrete Cosine Transform)
Discrete Cosine Transform (DCT) adalah sebuah fungsi dua arah yang memetakan
Amplitudo fungsi basis dinyatakan sebagai koefisien dalam himpunan hasil transformasi DCT. DCT satu dimensi didefenisikan pada persamaan berikut:
... (2.6)
untuk 0
C(u) menyatakan koefisien ke-u dari himpunan hasil transformasi DCT. menyatakan anggota ke- dari himpunan asal. menyatakan banyaknya suku himpunan asal dan himpunan hasil transformasi. dinyatakan oleh persamaan berikut:
Untuk
... (2.7)
... (2.8)
Transformasi balikan yang memetakan himpunan hasil transformasi DCT ke himpunan bilangan semula disebut juga inverse DCT (IDCT).
IDCT didefinisikan oleh persamaan dibawah ini:
... (2.9)
untuk
DCT dua dimensi dapat dipandang sebagai komposisi dari DCT pada masing-masing dimensi. Sebagai contoh, jika himpunan bilangan real disajikan dalam array dua dimensi terhadap masing-masing baris dan kemudian melakukan DCT satu dimensi terhadap masing-masing kolom dari hasil DCT tersebut. DCT dua dimensi dapat dinyatakan sebagai berikut dengan persamaan:
Sedangkan transformasi balikannya (invers) dinyatakan dengan persamaan:
... (2.11)
Fungsi basis DCT satu dimensi untuk N=8 dapat dilihat pada Gambar 2.4. Koefisien DCT ke-n menyatakan amplitudo dari fungsi basis untuk u=n-1. Pada DCT dua dimensi, fungsi basisnya adalah hasil perkalian antara fungsi basis yang berorientasi horizontal dengan fungsi basis yang berorientasi vertikal, sehingga koefisien-koefisien DCT dua dimensi biasa disajikan dalam bentuk matriks.
Gambar 2.4 Fungsi Basis DCT Satu Dimensi untuk N=8 [2]
Koefisien pertama, yaitu C(0) pada DCT satu dimensi atau C(0,0) pada DCT dua dimensi disebut koefisien DC. Koefisien lainnya disebut koefisen AC. Dapat dilihat bahwa fungsi basis yang berkorespondensi dengan koefisien DC memiliki nilai tetap, sedangkan koefisien AC berkorespondensi dengan fungsi basis yang berbentuk gelombang.
pembagian koefisien menurut frekuensinya pada DCT dua dimensi dengan ukuran blok 8 x 8 ditunjukkan pada Gambar 2.5.
Gambar 2.5 Pembagian koefisien DCT untuk blok 8 x 8 [2]
Transformasi DCT dua dimensi sering digunakan dalam pemrosesan citra digital. Ukuran blok yang banyak digunakan pada pemrosesan citra adalah ukuran blok kecil, misalnya 8 x 8 seperti pada kompresi JPEG. Untuk citra digital, fungsi basis dari DCT adalah sekumpulan citra yang disebut citra basis.
Dalam watermarking juga digunakan persamaan untuk memodifikasi koefisien DCT. Persamaan untuk modifikasi koefisien DC pada domain DCT :
KoeDC = KoeDC + (1 + (2 * Nbiner)) ……….(2.12) Persamaan untuk modifikasi koefisien DCT dengan frekuensi tertinggi setiap baris :
KoeDCT = KoeDCT + (3.14 * (2 * Nbiner)) ……….(2.13) Dimana, Nbiner = nilai biner citra label yang telah di convert. Nilai 1 dan 0 di rubah menjadi 1 dan -1.
2.4.6 Watermarking untuk Pelabelan Hak Cipta
cara yang pernah dilakukan oleh orang-orang untuk mengatasi masalah pelabelan hak cipta pada data digital, antara lain:
1. Hearder Marking; dengan memberikan keterangan atau informasi hak cipta pada header dari suatu data digital.
2. Visible Marking; merupakan cara dengan memberikan tanda hak cipta pada data digital secara eksplisit.
3. Encryption; mengkodekan data digital ke dalam representasi lain yang berbeda dengan representasi aslinya (tetapi dapat dikembalikan ke bentuk semula) dan memerlukan sebuah kunci dari pemegang hak cipta untuk mengembalikan ke representasi aslinya.
4. Copy Protection; memberikan proteksi pada data digital dengan membatasi atau dengan memberikan proteksi sedemikian rupa sehingga data digital tersebut tidak dapat diduplikasi.
Cara-cara tersebut diatas memiliki kelemahan tersendiri, sehingga tidak dapat banyak diharapkan sebagai metoda untuk mengatasi masalah pelabelan hak citpa ini.
Contohnya:
1. Header Marking; Dengan menggunakan software sejenis Hex Editor, orang lain dengan mudah membuka file yang berisi data digital tersebut, dan menghapus informasi yang berkaitan dengan hak cipta dan sejenisnya yang terdapat di dalam header file tersebut.
2. Visible Marking; Penandaan secara eksplisit pada data digital, memang memberikan sejenis tanda semi-permanen, tetapi dengan tersedianya software atau metoda untuk pengolahan, maka dengan sedikit ketrampilan dan kesabaran, tanda yang semipermanen tersebut dapat dihilangkan dari data digitalnya.
4. Copy Protection; Proteksi jenis ini biasanya dilakukan secara hardware, seperti halnya saat ini proteksi hardware DVD, tetapi kita ketahui banyak data digital saat ini tidak dapat diproteksi secara hardware (seperti dengan adanya Internet) atau dengan kata lain tidak memungkinkan dengan adanya proteksi
secara hardware.
Gambar 2.6 Gambar asli (atas) dan Gambar (bawah) yang telah dihapus tulisannya
Dengan demikian, kita memerlukan suatu cara untuk mengatasi hal yang berkaitan dengan pelanggaran hak cipta ini, yang memiliki sifat-sifat seperti:
1. Invisible atau inaudible; Tidak tampak (untuk data digital seperti citra, video, text) atau tidak kedengaran (untuk jenis audio) oleh pihak lain dengan menggunakan panca indera kita (dalam hal ini terutama mata dan telinga manusia).
2. Robustness; Tidak mudah dihapus/diubah secara langsung oleh pihak yang tidak bertanggung jawab, dan tidak mudah terhapus/terubah dengan adanya proses pengolahan sinyal digital, seperti kompresi, filter, pemotongan dan sebagainya.
3. Trackable; Tidak menghambat proses penduplikasian tetapi penyebaran data digital tersebut tetap dapat dikendalikan dan diketahui.
diduplikasi seperti layaknya data digital. Watermarking sebagai metoda untuk pelabelan hak cipta dituntut memiliki berbagai kriteria (ideal) sebagai berikut agar memberikan unjuk kerja yang bagus:
1. Label Hak Cipta yang unik mengandung informasi.
2. pembuatan, seperti nama, tanggal, dst, atau sebuah kode hak cipta.
3. Data ter-label tidak dapat diubah atau dihapus (robustness) secara langsung oleh orang lain atau dengan menggunakan software pengolahan sinyal sampai tingkatan tertentu.
4. Pelabelan yang lebih dari satu kali dapat merusak data digital aslinya, supaya orang lain tidak dapat melakukan pelabelan berulang terhadap data yang telah dilabel.
Berbagai pengolahan sinyal digital yang mungkin dilakukan terhadap berbagai tipe data digital, antara lain untuk citra adalah : Filter (seperti blur), konversi DA/AD, crop (Pemotongan), Scaling, Rotasi, Translasi, kompresi loosy (contohnya JPEG), konversi format, perubahan tabel warna. Untuk video, kompresi loosy (contohnya MPEG), konversi format, konversi DA/AD. Dan untuk audio
adalah : crop, filter, equalisasi, kompresi loosy (contohnya MP3), konversi sample rate, format, konversi DA/AD, pengaruh echo, noise, dan sinyal lain [9].
2.4.7 Proses Watermarking
Proses-proses yang secara umum dilakukan pada penyisipan label pada file data asli (data original) dengan pemasukan sebuah kunci (key) adalah seperti Gambar 2.7.
Pada Gambar 2.7, proses watermarking, terdapat komponen key atau lebih populer dengan password, key ini digunakan untuk mencegah penghapusan secara langsung oleh pihak tak bertanggung jawab dengan menggunakan metoda enkripsi yang sudah ada. Sedangkan ketahanan terhadap proses-proses pengolahan lainnya, itu tergantung pada metoda watermarking yang digunakan. Tetapi dari berbagai penelitian yang sudah dilakukan belum ada suatu metoda watermarking yang ideal bisa tahan terhadap semua proses pengolahan digital. Biasanya masing-masing penelitian menfokuskan pada hal–hal tertentu yang dianggap penting. Penelitian dibidang watermarking ini masih terbuka luas dan semakin menarik, salah satunya karena belum ada suatu standar yang digunakan sebagai alat penanganan masalah hak cipta ini.
Sistem watermarking terdapat 3 sub-bagian yang membentuknya yaitu: a. Penghasil Label Watermark
b. Proses penyembunyian Label
c. Menghasilkan kembali Label Watermark dari data yang ter-watermark.
Terdapat kontraversi antara beberapa penelitian mengenai masalah:
1. Label Watermark harus panjang atau hanya memberitahu ada tidaknya
watermark pada data digital yang ter-watermark. Maksudnya bila label yang
panjang, maka kita dapat mendapatkan informasi tambahan dari data yang ter-watermark tersebut, sedangkan sebaliknya hanya diperoleh ada tidaknya (ada
atau tidak ada) watermark dalam data ter-watermark.
Gambar 2.8 Proses Ekstrak dengan data asli
Gambar 2.9 Proses Ekstrak tanpa data asli
Gambar 2.8 proses ekstraksi data ter-label (hasil proses watermarking) dibandingkan dengan data asli berupa teks maupun citra yang menghasilkan data label berupa data yang disisipkan (label). Sedang Gambar 2.9 proses ekstraksi data ter-label (hasil proses watermarking) dibandingkan tanpa data asli berupa teks maupun citra yang menghasilkan data label berupa data yang disisipkan (label).
Label watermark adalah sesuatu data/informasi yang akan kita masukkan ke dalam data digital yang ingin di-watermark. Ada 2 jenis label yang dapat digunakan:
1. Label text yaitu label watermark dari teks biasanya menggunakan nilai-nilai ASCII dari masing-masing karakter dalam text yang kemudian dipecahkan atas bit-per-bit, kelemahan dari label ini adalah, kesalah pada satu bit saja akan menghasilkan
hasil yang berbeda dengan text sebenarnya.
Teks dan non teks
Gambar 2.10 Jenis label pada saat Pelabelan [9]
2.5 Teknik Watermarking dengan Metode RSPPMC pada Citra Digital
Pada metode ini dilakukan watermarking pada citra digital. Metoda watermarking yang dicoba pada dasarnya menerapkan metoda RSPPMC, yakni watermarking dilakukan pada domain frekuensi (DCT) dengan dilakukan sedikit perubahan. Perubahan yang dilakukan sebagai perbandingan dengan RSPPMC yang asli, yakni verifikasi label watermarking melibatkan citra asli, dimana pada RSPPMC proses verifikasi tidak menggunakan citra asli.
Metoda RSPPMC seperti berikut:
1. Pembagian citra atas blok-blok 8 x 8, dan pemilihan blok secara pseudo random.
2. Blok terpilih ditransformasikan dengan DCT.
Pemilihan 2 nilai koefisien DCT untuk dikodekan sebagai bit 1(high) atau bit 0 ( low).
Contohnya:
Koefisien pertama = koefisien kedua + nilai konstan untuk bit 1 (high).
Sebaliknya untuk bit 0, dilakukan pengurangan Inverse DCT terhadap blok yang telah di-encode.
3. Ulangi proses yang sama untuk seluruh bit label.
adalah pengkodean bit 1 dan bit 0 tidak dilakukan dengan membandingkan kedua nilai koefisien DCT tersebut, tetapi dengan menambahkan kedua nilai tersebut dengan satu koefisien tertentu yang sama, dan pada waktu verifikasi, dibandingkan dengan citra aslinya [11].
Proses verifikasi dengan melibatkan citra asli memberikan hasil yang lebih baik dibandingkan dengan proses verifikasi tanpa melibatkan citra asli. Selain itu, keuntungan lain dengan terlibatnya citra asli adalah dapat digunakan untuk mengatasi masalah proses pengolahan citra seperti rotasi, croping, translasi dan sebagainya. Dengan adanya citra asli tersebut, maka citra asli tersebut dapat digunakan sebagai referensi untuk dilakukan preprocessing (proses awal) sebelum proses verifikasi, misalnya bagian yang hilang dari citra yang terpotong dapat disisipi dengan bagian dari citra asli.
Pengolahan digital dan masih terbuka suatu kesempatan besar untuk perkembangan-perkembangan lebih lanjut. Diatas telah dibicarakan aplikasi watermarking pada data digital seperti citra, video dan audio, sebenarnya masih ada
penelitian pada data seperti text digital, maupun pada fax [11].
Agar watermarking sebagai proses pelabelan hak cipta pada data digital dapat berfungsi dengan baik, juga diperlukan adanya suatu badan internasional yang mencatat semua hasil karya yang terdaftar. Badan internasional tersebut sebagai suatu badan hukum yang berkuasa untuk menentukan siapa yang memang merupakan pemilik aslinya berdasarkan terdaftar tidaknya sebuah hasil karya atas nama seseorang. Tanpa adanya suatu badan internasional tersebut, sebaik apapun metoda watermarking yang ada, masalah hak cipta ini tidak dapat diatasi sepenuhnya. Karena
kepada siapa kita harus menuntut, dan menjadi penengah dalam persoalan ini, serta apa bukti bahwa data tersebut memang milik orang ini dan bukan milik orang lain [8].
2.6 Penelitian Terkait
(Discrete Cosinus Transform) dilakukan penghitungan semua koefisien DCT citra untuk proses kuantisasi terhadap nilai konstan. Kuantisasi ini dimaksud untuk mengantisipasi proses kompresi JPEG. Dengan adanya kuantisasi ini memberikan hasil yang lebih baik dibandingkan tanpa kuantisasi, tetapi menimbulkan efek kotak-kotak pada citra.
Cara melakukan penyisipan bit adalah setelah dilakukan DCT 2 dimensi terhadap matriks citra, nilai koefisien DCT yang diperoleh dikuantisasi sehingga akan memiliki suatu matriks dalam domain frekuensi. Kelebihan dari domain frekuensi adalah dapat mengganti data dengan lebih sedikit resiko, karena secara garis besar citra aslinya tidak akan mengalami perbedaan yang besar. Pengubahan komponen frekuensi rendah memiliki pengaruh yang sangat besar terhadap citra. Tetapi tidak harus mengubah ke frekuensi tinggi, karena ada pertimbangan teknis yang menyebabkan hal ini sulit dilakukan. Semakin ke arah frekuensi tinggi, nilai koefisien matriks akan semakin menuju nol. Karena itu pengubahan pada frekuensi tinggi sulit dilakukan. Solusinya adalah menggunakan frekuensi tengah sebagai tempat meletakkan informasi. Pada matriks hasil kuantisasi, frekuensi tengah biasanya berada daerah dengan nomor baris antara 2 sampai 5 atau nomor kolom antara 2 sampai 5 [9].
Pada jurnal Winarso, 2007, Selama proses DCT, sebuah gambar dipecah-pecah menjadi blok-blok yang kecil-kecil yang tiap bloknya memuat 8x8 piksel (titik-titik elemen gambar), yang bertindak sebagai masukan bagi suatu DCT. Operasi matematik yang rumit dikenakan pada setiap blok tersebut untuk memperoleh nilai-nilai yang menyatakan karakter penting dari setiap bloknya seperti bagian sisi-sisi atau konturnya yang nantinya harus dapat direpresentasikan.
Penelitian Rakhmatulloh, (2006) etal, dilakukan watermarking untuk memecahkan kasus penggandaan ilegal produk digital. Pada penelitian ini watermarking citra digital ditransformasikan menggunakan Discrete Cosine Transform (DCT). Pada proses penanaman watermark, citra ditransformasikan menggunakan DCT menjadi domain frekuensi yang menghasilkan tiga area yaitu Low Frequency (FL), Medium Frequency (FM), dan High Frequency (FH). Bit-bit watermark ditanam pada area FM dengan menggunakan nilai Koefisien Selisih (K).
Kualitas citra ter-watermark diukur dengan Peak Signal of Noise Ratio (PSNR). Semakin besar nilai K diperoleh nilai PSNR yang semakin kecil [8].
2.7 Flowchart
Flowchart adalah bagan alir yang menggambarkan arus data dari program. Fungsi dari
bagan alir ini adalah untuk memudahkan programmer di dalam perancangan program aplikasi. Simbol-simbol yang digunakan pada bagan flowchart ini antara lain seperti pada Tabel 2.1.
Tabel 2.1 Simbol Flowchart Program [5]
Simbol Fungsi
Terminator
Menunjukkan awal dan akhir suatu proses. Data
Digunakan untuk mewakili data input/output. Process
Digunakan untuk mewakili proses. Decision
Digunakan untuk suatu seleksi kondisi didalam program.
Predefined Process
Menunjukkan suatu operasi yang rinciannya ditunjukkan di tempat lain.
Preparation
Flow Lines Symbol
Menunjukkan arah dari proses. Connector
Menunjukkan penghubung ke halaman yang sama. Menunjukkan penghubung ke halaman yang baru. .
2.8 Unified Modeling Language (UML)
Unified Modeling Language adalah keluarga notasi grafis yang didukung oleh
meta-model tunggal, yang membantu pendeskripsian dan desain sistem perangkat lunak, khususnya sistem yang dibangun menggunakan pemrograman berorientasi objek [3].
Saat ini UML telah menyediakan diagram-diagram yang merepresentasikan secara grafis bagaimana setiap objek saling berinteraksi. Salah satu diagram yang dimaksud adalah Use Case Diagram.
2.8.1 Use Case Diagram
Use case diagram memberikan gambaran menurut perspektif pengguna perangkat
lunak. Sebuah use-case diagram mengandung actor, use-case dan interaksi antara actor dengan use-case [10].
2.8.1.1Actor
Actor adalah suatu elemen yang berinteraksi dengan sistem untuk melakukan komunikasi. Actor memberikan suatu gambaran jelas tentang apa yang harus dilakukan perangkat lunak.
2.8.1.2Use Case
Use case menggambarkan fungsi – fungsi sistem yang dilakukan oleh sebuah sistem perangkat lunak. Sebuah use case merepresentasikan satu tujuan tunggal dari sistem dan menggambarkan satu rangkaian kegiatan dan interaksi pengguna untuk mencapai tujuan.