• Tidak ada hasil yang ditemukan

HASIL DAN PEMBAHASAN

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "HASIL DAN PEMBAHASAN"

Copied!
20
0
0

Teks penuh

(1)

HASIL DAN PEMBAHASAN

Penentuan Dosis Infeksi MDV

Pengamatan histopatologi dilakukan terhadap lima kelompok perlakuan, yaitu

kontrol (A), 1 x 10

3

EID

50

(B), 0.5 x 10

3

EID

50

(C), 0.25 x 10

3

EID

50

(D) dan 0.125 x 10

3

EID

50

(E). Evaluasi dilakukan secara kualitatif dengan tujuan untuk memperoleh dosis

yang tepat untuk uji tantang yang akan digunakan pada tahap penelitian selanjutnya.

Adapun waktu pengamatan adalah 20 dan 40 hari pascainfeksi (p.i.), dan organ yang

dievaluasi di antaranya hati, limpa, proventrikulus, bursa Fabricius dan paru-paru.

Pengamatan khusus dilakukan dengan menghitung jumlah sel-sel neoplasma (limfoblast

dan limfosit) dengan memberikan nilai sebagai berikut :

+

: jumlah sel-sel limfoid kurang dari 50 dalam satu kelompok

++

: jumlah sel-sel limfoid 51 - 100 dalam satu kelompok

+++

: jumlah sel-sel limfoid lebih dari 100 dalam satu kelompok.

Infeksi MDV pada organ hati menyebabkan lesio berupa dilatasi sinusoid,

peningkatan jumlah sel Kupffer, degenerasi sel-sel hati serta infiltrasi sel-sel limfoid

sebagai indikasi kejadian infeksi. Kelompok D dan E menunjukkan perubahan yang

sangat minimal pada infiltrasi sel-sel limfoid pada 20 dan 40 hari p.i. Hasil evaluasi

infiltrasi sel-sel limfoid pada kelompok C adalah positif 1 (+) pada 40 hari p.i., sedangkan

B menunjukkan reaksi yang lebih banyak, yaitu positif 2 (++). Sel-sel tersebut

ditemukan pada sinusoid yang mengalami dilatasi, dan jumlah sel yang terus bertambah

akan menyebabkan hemoragi regional. Daerah infiltrasi sel-sel limfoid ditemukan di

daerah portal atau di dekat vena sentralis.

(2)

Gambar 7 Fotomikrograf hati ayam yang diinfeksi virus Marek (MDV) dosis 0.125 x 103 EID50 pewarnaan Hematoksilin-Eosin (HE).

Perubahan histopatologi organ hati menunjukkan adanya dilatasi sinusoid dan infiltrasi limfosit dan limfoblast ( )

Gambar 8 Fotomikrograf hati ayam yang diinfeksi virus Marek (MDV) dosis 1 x 103 EID50 pewarnaan Hematoksilin-Eosin (HE).

Menunjukkan adanya infiltrasi sel-sel mononuklear ( ) di antara segitiga Kiernen di daerah lobulus.

Pemeriksaan organ limpa menunjukkan bahwa pada tahap awal infeksi

ditemukan infiltrasi sel-sel makrofag dan limfosit yang minimal pada pulpa putih. Pada

(3)

beberapa pulpa putih maupun pulpa merah ditemukan sel-sel limfoid yang mengalami

karioreksis, yaitu inti terpecah menjadi fragmen-fragmen kecil. Jumlah sel-sel tumor

sangat jelas pada kelompok B terutama pada 40 hari p.i., yaitu positif 3 (+++) dan

keberadaan sel-sel tersebut dapat ditemukan pada pulpa putih, pulpa merah, dan

daerah sinus. Pengamatan yang lebih intensif pada pulpa putih menunjukkan reaksi

degenerasi dan nekrosis pada sel-sel mononuklear pada bagian sentral.

Pengamatan pada proventrikulus, bursa Fabricius, dan paru-paru menunjukkan

reaksi yang sama, yaitu infiltrasi sel-sel limfoid ditemukan secara dominan pada dosis

infeksi MDV 1 x 10

3

EID50 (B). Hasil yang diperoleh pada tahapan uji ini dapat

ditentukan bahwa untuk penelitian selanjutnya akan digunakan dosis 1 x 10

3

EID

50

.

Bobot Relatif Organ Bursa Fabricius, Timus, dan Limpa

Kinerja sistem imun juga dapat diukur dari bobot relatif organ limfoid. Bursa

Fabricius berperan pada pematangan limfosit B dan timus berperan pada pematangan

limfosit T, yang merupakan organ limfoid primer. Infeksi MDV pada ayam diawali dengan

periode infeksi sitolisis produktif, MDV menginfeksi limfosit B pada bursa Fabricius

maupun limfosit T pada timus, dan terjadi replikasi DNA, sintesis protein, dan

perbanyakan partikel virus. Pada puncak infeksi terjadi sitolisis dan kematian sel, atropi

pada bursa Fabricius dan timus sehingga terjadi imunosupresi, penurunan bobot relatif

organ limfoid bursa Fabricius, dan timus yang dapat dijadikan sebagai indikator

imunosupresi sebagai akibat dari infeksi MDV.

Periode infeksi MDV meliputi 3 bentuk, yaitu infeksi akut (produktif) yang

menimbulkan lisis sel, dilanjutkan infeksi laten yang bersifat nonproduktif, dan infeksi

transforming. Pada infeksi produktif terjadi replikasi DNA virus, sintesis protein, dan

menghasilkan partikel virus. Virus menginfeksi dan merusak limfosit B maupun limfosit

T. Selama infeksi terjadi sitolisis pada puncak replikasi virus sehingga menyebabkan

imunosupresi, dan meningkat kepekaan terhadap infeksi, bersamaan dengan turunnya

bobot relatif bursa Fabricius dan timus (Davison 1997, Calnek et al 1998, Payne dan

Venagupol 2000, dan Islam et al. 2002). Replikasi virus herpes pada bursa Fabricius

dan timus menimbulkan imunosupresi transien, perubahan sitolitik akut pada organ ini

ditandai dengan atropi. Pada infeksi eksperimental terjadi lesi bursa Fabricius

mengalami degenerasi folikuler, nekrosis limfoid sehingga mengalami atrofi, dan

pembentukan kista. Timus mengalami atrofi, limfosit hilang baik pada korteks maupun

medula. Benda inklusi intranuklear dapat muncul pada sel yang mengalami degenerasi

(4)

(Fadly 2000). Rataan bobot relatif organ bursa Fabricius pada berbagai kelompok

perlakuan benalu teh dan infeksi MDV disajikan pada Tabel 1.

Tabel 1 Rataan bobot relatif bursa Fabricius, timus, dan limpa 20 hari p.i.

Peubah Perlakuan A B C D Bursa Faricius 0,0037 ± 0,0003a 0,0031 ± 0,0002ab 0,0022 ± 0,0008b 0,0021 ± 0,0009b Timus 0,0054 ± 0,0007a 0,0053 ± 0,0003a 0,0033 ±0,0025ab 0,0019 ± 0,0003b Limpa 0,0039 ± 0,0007a 0,0034 ± 0,0004a 0,0042 ± 0,0011a 0,0029 ± 0,0010a

Keterangan : Superskrip dengan huruf yang berbeda pada baris yang sama menunjukkan perbedaan yang nyata (p<0.05).

A = diberi ekstrak S. oortiana tanpa diinfeksi MDV B = tanpa diberi ekstrak S. oortiana tanpa diinfeksi MDV C = diberi ekstrak S. oortiana dan diinfeksi MDV

D = tanpa diberi ekstrak S. oortiana diinfeksi MDV

Hasil analisis statistik bobot relatif bursa Fabricius menunjukkan adanya

perbedaan yang signifikan (p<0.05) di antara fraksi kelompok perlakuan pada hari ke 20

p.i. Kelompok perlakuan dengan pemberian benalu teh tanpa infeksi MDV (A) memiliki

nilai tertinggi sebesar 0,0037 dan berbeda dari kelompok dari pemberian benalu dan

infeksi MDV (C) yang memiliki nilai 0,0022, dan juga berbeda dari perlakuan yang tanpa

diberi benalu teh dan diinfeksi MDV (D), yaitu 0,0021. Tingginya ratio bobot bursa

Fabricius disebabkan oleh pengaruh imunomodulator dari ekstrak S. oortiana 10 mg/kg

bobot badan. Rendahnya bobot relatif bursa Fabricius pada kelompok perlakuan C dan

D disebabkan oleh infeksi produktif yang menimbulkan sitolisis MDV pada 20 p.i.

Adanya imunomodulasi pemberian ekstrak S. oortiana pada kelompok ayam

tanpa infeksi MDV perlakuan A ditandai dengan perbaikan performan bursa Fabricius

berdasarkan bobot relatif organ tersebut, dan terjadinya imunosupresi pada kelompok

ayam yang diinfeksi MDV baik yang diberi ekstrak S. oortiana maupun tanpa diberi

ekstrak S. oortiana. Kelompok perlakuan B, yaitu tanpa diberi benalu dan tanpa infeksi

MDV adalah 0,031 tidak berbeda dengan semua kelompok perlakuan.

Hasil analisis statistik bobot relatif timus menunjukkan adanya perbedaan yang

signifikan (p<0.05) di antara kelompok perlakuan pada hari ke 20 p.i. Kelompok

perlakuan yang diberi benalu teh tanpa infeksi MDV (A) memiliki nilai tertinggi sebesar

0,0054 yang tidak berbeda dari kelompok yang diberi perlakuan tanpa diberi benalu dan

tanpa infeksi MDV (B) sebesar 0,0053. Kelompok A dan B berbeda dari perlakuan D,

yaitu tanpa diberi benalu teh diinfeksi MDV (0,0019). Hal ini menunjukkan bahwa

(5)

perlakuan infeksi MDV menimbulkan imunosupresi dilihat dari turunnya bobot relatif

timus.

Imunodefisiensi mungkin disebabkan oleh cacat pada pendewasaan limfosit atau

aktivasinya atau gangguan pada mekanisme efektor imunitas alami maupun imunitas

perolehan. Proses pendewasaan limfosit dari sel stem ke komponen sel fungsional

limfosit dewasa termasuk proliferasi, ekspresi reseptor antigen, seleksi sel sehingga

memiliki spesifitas, dan perubahan pada ekspresi sejumlah gen (Abbas et al. 2000).

Kriteria dari imunosupresif meliputi 1) kejadian awal infeksi sitolisis, 2) atropi

bursa Fabricius dan timus yang diukur dari persentase bobot organ limfoid terhadap

bobot tubuh pada 8-14 pascainfeksi (p.i), 3) perubahan histopatologi, yaitu nekrosis dan

atropi organ limfoid. Disimpulkan bahwa tingkat imunosupresi adalah berhubungan

dengan virulensi dan ukuran organ yang mengalami perubahan atropi bursa Fabricius

dan timus dapat digunakan sebagai pengukuran patotipe pada isolat baru MDV

(Calneck et al. 1998).

Kelompok dengan pemberian benalu teh dan diinfeksi MDV (C) memiliki nilai

0,0033 yang tidak berbeda dari semua kelompok perlakuan baik A, B, maupun D. Hal

ini menunjukkan bahwa perlakuan pemberian ekstrak benalu teh mampu menghambat

proses terjadinya sitolisis pada timus akibat infeksi sitolitik MDV. Perlakuan C tidak

terpengaruh oleh adanya imunosupresi yang disebabkan oleh MDV yang diimbangi oleh

pengaruh imunomodulasi oleh ekstrak benalu teh (S. oortiana).

Adanya imunomodulator berdasarkan bobot relatif bursa Fabricius pada

pemberian ekstrak benalu teh tanpa infeksi MDV dan imunomodulator berdasarkan

bobot relatif timus pada kombinasi pemberian benalu teh dan disertai infeksi.MDV.

Dengan demikian ekstrak benalu teh (S. oortiana) mampu memperbaiki performan

sistem imun organ limfoid primer baik pada bursa Fabricius maupun timus pada 20 hari

p.i.

Hasil pengukuran bobot relatif limpa pada 20 p.i. tidak menunjukkan perbedaan

yang signifikan di antara keempat kelompok perlakuan. Kondisi tersebut menjelaskan

tidak ada pengaruh perlakuan yang diberikan pada bobot relatif organ atau tidak terjadi

imunosupresi.

Pada akhir masa perlakuan, yaitu pada 40 p.i., bobot relatif organ bursa

Fabricius, timus, maupun limpa tidak berbeda di antara keempat kelompok perlakuan

(Tabel 2). Hal ini dimungkinkan sudah berakhirnya masa imunosupresi sebagai tahapan

awal infeksi MDV yang bersifat transien, yaitu bersifat sementara. Ayam komersial

(6)

mengandung antibodi maternal MDV dan kejadian imunosupresi sebagai akibat infeksi

MDV bergantung pada variabel yang diukur, efek supresi pada sistem imun dapat terjadi

dari awal infeksi, yaitu hari ketiga sampai dengan 35 pascainfeksi (Islam 2002, dan

Fadly 2000). Replikasi virus herpes yang produktif pada bursa Fabricius dan timus yang

menimbulkan transien imunosupresi, perubahan sitolitik akut pada organ ini ditandai

dengan atropi.

Tabel 2 Rataan bobot relatif bursa Fabricius, timus, dan limpa 40 hari p.i.

Perlakuan Peubah A B C D Bursa Fabricius 0,0009 ± 0,0003a 0,0009 ± 0,0001a 0,0011 ± 0,0002a 0,0010 ± 0,0002a Timus 0,0059 ± 0,0016a 0,0058 ± 0,0027a 0,0047 ± 0,0001a 0,0063 ± 0,0008a Limpa 0,0031 ± 0,0005a 0,0029 ± 0,0004a 0,0027 ± 0,0009a 0,0028 ± 0,0013a

Keterangan : Superskrip dengan huruf yang berbeda pada baris yang sama menunjukkan perbedaan yang nyata (p<0.05).

A = diberi ekstrak S. oortiana tanpa diinfeksi MDV

B = tanpa diberi ekstrak S. oortiana tanpa diinfeksi MDV C = diberi ekstrak S. oortiana dan diinfeksi MDV D = tanpa diberi ekstrak S. oortiana diinfeksi MDV

Ukuran Diameter Folikel Bursa Fabricius

Rataan ukuran folikel organ bursa Fabricius pada berbagai kelompok perlakuan

benalu teh dan infeksi MDV disajikan pada Tabel 4. Hasil analisis statistik pada hari ke

20 p.i menunjukkan adanya perbedaan yang signifikan (p<0.05) di antara fraksi

kelompok perlakuan pada hari ke 20 p.i. Kelompok yang diberi benalu teh tanpa infeksi

MDV (A) memiliki ukuran 392,694 µm, yang tidak berbeda dari perlakuan B, yaitu

memiliki ukuran 393,666 µm. Perlakuan A dan B berbeda dengan perlakuan dengan

pemberian benalu teh dan infeksi MDV (C) yang memiliki ukuran 252,580 µm, juga

berbeda dari perlakuan tanpa diberi benalu teh dan diinfeksi MDV (D) yang memiliki

ukuran 214,207 µm. Rendahnya ukuran diameter folikel bursa Fabricius sebagai akibat

perlakuan infeksi baik yang diberi ekstrak S. oortiana maupun tidak. Hal tersebut

menimbulkan dugaan bahwa ekstrak S. oortiana belum mampu berperan sebagi

imunomodulator mencegah infeksi produktif MDV yang menimbulkan sitolisis pada hari

ke 20 p.i berdasarkan ukuran diameter folikel bursa Fabricius dengan cara mencegah

imunosupresi pada 20 hari p.i. Sesuai dengan Fadly (2000) bahwa replikasi virus herpes

yang produktif pada bursa Fabricius menyebabkan perubahan sitolitik akut pada organ

ini yang ditandai dengan atropi. Infeksi eksperimental menyebabkan lesi bursa Fabricius

(7)

mengalami degenerasi folikuler, nekrosis limfoid sehingga bursa mengalami atropi, dan

terjadi pembentukan kista.

Tabel 3 Rataan diameter folikel bursa Fabricius (µm) ayam 20 dan 40 hari pascainfeksi (p.i.)

Pascainfeksi Rataan diameter folikel bursa Fabricius (µm)

(hari) A B C D

20 hari p.i 392,69 ± 15,48a 393,67 ± 15,34a 252,58 ± 34,58b 214,283 ± 17,29b

40 hari p.i 187,13 ± 10,64b 201,47 ± 5,94b 258,33 ± 27,89a 224,367 ± 22,30ab

Keterangan : Superskrip dengan huruf yang berbeda pada baris yang sama menunjukkan perbedaan yang nyata (p<0.05).

A = diberi ekstrak S. oortiana tanpa diinfeksi MDV B = tanpa diberi ekstrak S. oortiana tanpa diinfeksi MDV C = diberi ekstrak S. oortiana dan diinfeksi MDV D = tanpa diberi ekstrak S. oortiana diinfeksi MDV

Hasil analisis ukuran diameter folikel bursa Fabricius pada 40 hari p.i.

menunjukkan adanya perbedaan yang signifikan antarkelompok perlakuan (p<0.05).

Kelompok perlakuan A memilki ukuran 187,133 µm yang tidak berbeda dari perlakuan B

yang memiliki ukuran 201,466 µm. Kelompok perlakuan C yang memiliki ukuran

258,333 µm berbeda dari perlakuan A, perlakuan B, maupun perlakuan D. Kelompok

perlakuan D memiliki ukuran 217,825 µm yang tidak berbeda dari semua kelompok

perlakuan baik A, B, maupun C.

Rendahnya diameter folikel bursa Fabricius pada kelompok perlakuan tanpa

infeksi (A dan B) adalah akibat involusi organ bursa Fabricius sesuai dengan

bertambahnya umur. Pembesaran folikel bursa Fabricius 40 hari p.i pada kelompok

perlakuan C disebabkan telah terlewatinya masa infeksi produktif yang menyebabkan

imunosupresi dan adanya pengaruh imunomodulator dari efeki kombinasi antara ekstrak

S. oortiana 10 mg/kg bobot badan dengan imunostimulator akibat infeksi MDV.

Pemeriksaan Imunohistokimia Enzim Inducible Nitric Oxyde Synthase (iNOS) pada

Jaringan

Pada saat fagositosis, makrofag dan neutrofil juga memproduksi oksigen toksik

yang bertugas membantu membunuh dan menelan mikroorganisme. Nitrit oksida (NO)

yang diproduksi oleh enzim Inducible Nitric Oxyde Synthase (iNOS), secara langsung

toksik terhadap bakteri. Kemampuan aktivitas makrofag untuk mengeluarkan mediator

toksik adalah pada pertahanan inang karena kemampuannya melawan ekstra seluler

patogen yang tidak tertelan (Janeway et al. 2001). Imunoreaktivitas terhadap iNOS pada

jaringan hati dapat dilihat pada Gambar 7.

(8)

Pengamatan hasil pewarnaan imunohistokimia iNOS menunjukkan bahwa

pemberian ekstrak S. oortiana dan uji tantang dengan MDV onkogen menyebabkan

peningkatan (p<0.05) pembentukan iNOS dalam jaringan hati. Keberadaan iNOS

berdasarkan reaksi positif dengan pewarnaan imunohistokimia pada jaringan hati diduga

terkait dengan aktivitas sel-sel makrofag dalam hati yang diekspresikan oleh sel-sel

sinusoid. Kelompok ayam yang diberi ekstrak S. oortiana tanpa infeksi MDV (A = 3,464)

memicu peningkatan (p<0.05) pembentukan iNOS lebih banyak jika dibandingkan

dengan perlakuan tanpa diberi ekstrak S. oortiana tanpa infeksi MDV (B = 1,227 ).

Ekstrak benalu teh mampu meningkatkan produksi iNOS setelah pemberian 20 hari p.i

pada ayam. Pengaruh tindakan pemberian ekstrak S. oortiana terjadi pada ayam tanpa

infeksi.

Daun dan batang benalu teh mengandung alkaloid, flavonoid, glikosida, triterpen,

saponin, dan tanin yang berperan sebagi antioksidan. Di Eropa dan Amerika ada jenis

benalu yang digunakan untuk mengobati tumor atau kanker, yaitu ada beberapa

tanaman misalnya benalu teh (Viscum album L) yang dalam percobaan bersifat

imunomodulator melalui pengaktifan sel granulosit dan makrofag yang memberi sifat

antitumor (Windardi dan Rahajoe. 1998, Achi 2000).

A

B

(9)

Gambar 9 Fotomikrograf hati ayam yang diwarnai secara imunohistokimia terhadap iNOS metode SAB dan counterstain Hematoksilin. Imunoreaktivitas positif terhadap iNOS ( ) pada organ ha ditemukan pada endotel (E) dan makrofag (M), 20 hari p.i.

(A) Kelompok ekstrak benalu teh, (B) Kelompok kontrol,

(C) Kelompok ekstrak benalu teh dan infeksi MDV, (D) infeksi MDV. Bar = 30 µm.

Saat fagositosis, makrofag dan neutrofil sebagai sel efektor juga memproduksi

oksigen toksik gabungan fagosom dan lisosom menjadi fagololisosom yang bertugas

membantu membunuh dan menelan mikroorganisme. Kejadian yang penting di

antaranya adalah kerja hidrogen peroksida (H

2

O

2

), superoksida anion (O

2-

), dan

Nitrogen oksida (NO), secara langsung toksik terhadap bakteri (Abbas et al. 2000,

Janeway et al. 2001).

Tabel 4 Rataan jumlah reaksi positif terhadap iNOS pada hati ayam 20 hari

pascainfeksi (p.i.)

Perlakuan

Rataan jumlah iNOS per lapang pandang

A

B

C

D

3,464 ± 0,208

b

1,227 ± 0,271

c

6,633 ± 0,305

a

6,400 ± 0,265

a

Keterangan : Superskrip dengan huruf yang berbeda pada baris yang sama menunjukkan perbedaan yang nyata (p<0.05).

A = diberi ekstrak S. oortiana tanpa diinfeksi MDV

C

D

E

E

M

M

M

(10)

B = tanpa diberi ekstrak S. oortiana tanpa diinfeksi MDV C = diberi ekstrak S. oortiana dan diinfeksi MDV

D = tanpa diberi ekstrak S. oortiana diinfeksi MDV

Pemberian ekstrak S. oortiana pada ayam yang mengalami infeksi MDV (C =

6,633) tidak mengalami peningkatan jika dibanding kelompok ayam yang diberi

perlakuan tanpa diberi ekstrak S. oortiana dan diinfeksi MDV (D) sebesar 6,400.

Kedua kelompok ayam perlakuan baik kelompok C maupun D mengalami peningkatan

(p<0.05) pembentukan iNOS lebih banyak jika dibanding dengan kelompok perlakuan A

maupun perlakuan B.

Penelitian terahir menggambarkan bahwa inducible nitric oxyde synthase (iNOS) terlibat

dalam kelainan metabolik yang dihubungkan dengan inflamasi kronis tingkat ringan,

aterosklerosis, dan peningkatan tumor necrosis factor (TNF) (Muntalib 2003). Infeksi MDV

memiliki pengaruh lebih kuat meningkatkan jumlah sel yang menghasilkan iNOS jika

dibandingkan dengan pengaruh pemberian ekstrak S. oortiana. Namun jika tindakan infeksi

MDV dikombinasikan dengan pemberian ekstrak S. oortiana tidak terjadi peningkatan produksi

iNOS akibat perlakuan kombinasi tersebut.

Uji Tingkat Imunitas pada MDV dengan Metode ELISA

Untuk mengetahui seberapa jauh kemampuan ekstrak benalu teh dalam mempengaruhi

respons imun humoral terhadap MDV, dilakukan pengamatan terhadap titer antibodi Marek’s

secara kuantitatif dengan cara membandingkan tingginya titer antibodi antarperlakuan. Respons

peningkatan maupun penurunan titer antibodi terhadap penyakit Marek pada penelitian ini

dipengaruhi oleh pemberian ekstrak S. oortiana maupun uji tantang infeksi MDV. Pengambilan

serum darah dilakukan secara bertahap, yaitu pada 10, 20, dan 30 hari p.i., titer antibodi diukur

secara kuantitatif berdasarkan tinggi rendahnya antibodi terhadap MDV menggunakan metoda

enzyme linkage immuno sorbant assay

(ELISA). Teknik ELISA memungkinkan pengujian secara

kuantitatif kemampuan aktivitas netralisasi antibodi spesifik antigen pada MDV.

Pada penelitian ini digunakan ayam ras petelur betina yang tidak divaksin MDV, antibodi

yang terdapat pada ayam percobaan yang tidak diuji tantang dengan MDV (A dan B) berasal dari

induk berupa antibodi maternal. Rendahnya titer antibodi ayam perlakuan uji tantang

menggunakan MDV pada 10 hari p.i. merupakan akibat dari imunosupresi. Islam (2002) dan

Fadly (2000) menyatakan bahwa ayam komersial mengandung antibodi maternal MDV dan

kejadian imunosupresi sebagai akibat infeksi MDV bergantung pada variabel yang diukur, efek

supresi pada sistem imun dapat terjadi dari awal infeksi.

(11)

Tabel 5 Rataan nilai absorbansi uji ELISA berdasarkan perbedaan perlakuan

Perlakuan Pascainfeksi (hari) A B C D 10 0,587 ± 0,032a 0,562 ± 0,063a 0,549 ± 0,039a 0,487 ± 0,077a 20 0,530 ± 0,035ab 0,485 ± 0,044b 1,156 ± 0,540a 0,890 ± 0,069ab 30 0,656 ± 0,077a 0,577 ± 0,116a 0,660 ± 0,069a 0,714 ± 0,106a

Keterangan : Superskrip dengan huruf yang berbeda pada baris yang sama menunjukkan perbedaan yang nyata (p<0.05).

A = diberi ekstrak S. oortiana tanpa diinfeksi MDV

B = tanpa diberi ekstrak S. oortiana tanpa diinfeksi MDV C = diberi ekstrak S. oortiana dan diinfeksi MDV D = tanpa diberi ekstrak S. oortiana diinfeksi MDV

Hasil analisis statistik menunjukkan adanya perbedaan yang signifikan (p<0.05)

di antara fraksi kelompok perlakuan. Nilai absorban pada 10 p.i. tidak menunjukkan

perbedaan nyata di antara keempat kelompok perlakuan. Hal ini disebabkan tidak

adanya pengaruh imunosupresi yang terlihat pada waktu tersebut, walaupun ada

kecenderungan rendahnya titer antibodi pada kelompok perlakuan uji tantang MDV,

yaitu kelompok C dan D.

Pada hari ke 20 p.i. kelompok perlakuan, A, yaitu pemberian benalu teh tanpa

infeksi MDV memiliki nilai sebesar 0,530, tidak berbeda dari semua kelompok perlakuan.

Kelompok perlakuan B, yaitu tanpa pemberian ekstrak benalu teh tanpa uji tantang

MDV memiliki nilai terendah sebesar 0,485 yang berbeda (p<0.05) dari kelompok

perlakuan C, yaitu yang diberi ekstrak benalu teh dan diuji tantang MDV memiliki nilai

tertinggi sebesar 1,156, dan kelompok perlakuan D, yaitu tanpa pemberian benalu dan

diuji tantang MDV menunjukkan tidak adanya perbedaan dan semua kelompok

perlakuan dengan nilai 0,890.

Tingginya titer antibodi pada 20 hari pada kelompok perlakuan C adalah

disebabkan adanya kombinasi pengaruh imunomodulasi ekstrak S. oortiana dengan

faktor imunostimulasi sebagai respons imun akibat tindakan uji tantang. Tizard (2000)

menyatakan bahwa antibodi menjaga sel dari infeksi virus

(12)

0

0.2

0.4

0.6

0.8

1

1.2

1.4

0

5

10

15

20

25

30

35

Pascainfeksi (hari)

A

B

C

D

Gambar 10 Grafik rataan nilai absorbansi titer antibodi MDV uji ELISA

10, 20, dan 30 hari pascainfeksi

Keterangan : A = diberi ekstrak S. oortiana tanpa diinfeksi MDV B = tanpa diberi ekstrak S. oortiana tanpa diinfeksi MDV C = diberi ekstrak S. oortiana dan diinfeksi MDV D = tanpa diberi ekstrak S. oortiana diinfeksi MDV

dengan cara memblok pelekatan virus pada sel target, pada infeksi virus antibodi

sebagai mediator penghancuran virus. Antibodi diproduksi oleh sistem imun spesifik

primer pada rekaveri pada infeksi virus dan pertahanan terhadap serangan infeksi virus

(Mayer 2003). Kandungan Mistletoe (benalu teh) yang sebagian besar kandungannya

adalah lektin, yaitu karbohidrat pengikat protein, yang memiliki profil farmakologik

dengan dua sifat, yaitu pada dosis rendah benalu teh bekerja sebagai imunomodulator

dan pada dosis tinggi sebagai antitumor (Achi 2005).

Tabel 6 Rataan nilai absorbansi berdasarkan waktu pascainfeksi (p.i) MDV

Pascainfeksi

(hari) Absorbansi 10 20 30 0,546 ± 0,066b 0,765 ± 0,460a 0,651 ± 0,095ab

Keterangan : Superskrip dengan huruf yang berbeda pada kolom yang sama menunjukkan perbedaan yang nyata (p<0.05).

Terjadi perbedaan yang nyata (p<0.05) titer antibodi pada MDV berdasarkan

waktu pascainfeksi, yaitu pada hari ke 10 dan 20 hari p.i., pada 10 hari p.i. mengalami

N

il

a

i

A

b

s

o

rb

a

n

s

i

(4

1

5

n

m

)

(13)

penurunan atau imunosupresi akibat infeksi MDV dan kenaikan antibodi pada 20 hari

pascainfeksi merupakan respons imun spesifik pada tubuh ayam sebagai reaksi tubuh

inang untuk infeksi virus tersebut. Joklik (2000) menyatakan bahwa tubuh inang

melakukan eliminasi infeksi virus dengan melakukan serangan balik, virus

mengekspresikan gen asing, pada saat virus melakukan replikasi, pada saat yang sama

tubuh melakukan netralisasi sebagai mekanisme pertahanan tubuh. Menurut Ada (2000)

antibodi secara spesifik dapat memberikan kontribusi untuk mengendalikan infeksi

ekstraseluler, memiliki kemampuan netralisasi infektivitas agen infeksi secara spesifik.

Pengaruh Ekstrak S. oortiana pada Total Leukosit dan Persentase Limfosit

Leukosit adalah sel yang yang berperan pada ketahanan tubuh yang diproduksi

pada sumsum tulang kemudian melakukan pendewasaan pada bursa Fabricius dan timus.

Tabel 7 Rataan jumlah leukosit per mililiter dan persentase limfosit (%) pada ayam 20 hari pascainfeksi

Perlakuan 20 hari pascainfeksi A B C D Total Leukosit (per ml) 16.757± 9,122 a 20,300 ± 20,224a 19,900 ± 8,150a 45,817 ± 21,355a Persentase limfosit (%) 40,67 ± 25,007 b 46,67 ± 15,044b 65,333 ± 87,666ab 87,666 ± 25,516a

Keterangan : Superskrip dengan huruf yang berbeda pada baris yang sama menunjukkan perbedaan yang nyata (p<0.05).

A = diberi ekstrak S. oortiana tanpa diinfeksi MDV B = tanpa diberi ekstrak S. oortiana tanpa diinfeksi MDV C = diberi ekstrak S. oortiana dan diinfeksi MDV

D = tanpa diberi ekstrak S. oortiana diinfeksi MDV

Hasil uji laboratorium yang disajikan pada Tabel 7 dapat dilihat jumlah leukosit

per mililiter pada kelompok perlakuan yang berbeda tidak menunjukkan perbedaan yang

nyata, persentase limfosit menunjukkan adanya perbedaan yang signifikan (p<0,05) di

antara fraksi pada kelompok perlakuan pada ke 20 p.i. Kelompok perlakuan A, yaitu

yaitu ayam yang diberi benalu teh tanpa infeksi MDV memiliki nilai terendah sebesar

40,67% dan perlakuan B yaitu ayam tanpa pemberian benalu teh tanpa infeksi MDV

memiliki nilai sebesar 46,67%, keduanya berbeda dari kelompok D, yaitu ayam tanpa

pemberian benalu teh dan infeksi MDV yang memiliki nilai sebesar 87,666%. Ayam yang

diberi benalu teh dan infeksi MDV memiliki nilai sebesar 65,333% tidak berbeda dari

semua kelompok perlakuan. Tingginya jumlah limfosit pada kelompok ayam yang diberi

perlakuan D disebabkan oleh kelanjutan dari infeksi MDV produktif menuju infeksi

transforming yang menimbulkan limfoma yang ditandai dengan peningkatan jumlah

limfosit pada 20 hari p.i.

(14)

Tabel 8 Rataan jumlah leukosit per mililiter dan persentase limfosit (%)

pada ayam 40 pascainfeksi (p.i.)

40 hari Perlakuan Pasca infeksi A B C D Total Leukosit (per ml) 27,067 ± 9,738 a 23,067 ± 5,900a 34,433 ± 10,110a 29,633 ± 9,767a Persentase limfosit (%) 63,000 ± 7,816 a 42,667 ± 13,051a 64,000 ± 27,221a 68,667 ± 8,717a

Keterangan : Superskrip dengan huruf yang berbeda pada baris yang sama menunjukkan perbedaan yang nyata (p<0.05).

A = diberi ekstrak S. oortiana tanpa diinfeksi MDV B = tanpa diberi ekstrak S. oortiana tanpa diinfeksi MDV C = diberi ekstrak S. oortiana dan diinfeksi MDV

D = tanpa diberi ekstrak S. oortiana diinfeksi MDV

Pada Tabel 8 dapat dilihat bahwa jumlah leukosit per ml pada semua kelompok

ayam

perlakuan

tidak

menunjukkan

perbedaan

nyata,

walaupun

terdapat

kecenderungan meningkat secara numerik pada kelompok ayam yang mendapat uji

tantang dengan MDV dan diberi ekstrak benalu teh S. oortiana. Persentase limfosit pada

semua kelompok perlakuan tidak menunjukkan perbedaan nyata, walaupun terdapat

kecenderungan meningkat secara numerik pada kelompok ayam yang diuji tantang

dengan MDV dan tanpa diberi ekstrak benalu teh S. oortiana.

Rataan jumlah leukosit pada kelompok ayam yang diuji tantang MDV tanpa diberi

ekstrak S. oortiana (D) selalu menunjukkan angka yang paling tinggi, selanjutnya diikuti

oleh kelompok perlakuan C, B, dan A, baik pada 20 hari maupun 40 hari p.i, pada 40 hari

p.i persentase limfosit secara numerik mengalami peningkatan dibanding dengan pada 20

pasca infeksi pada semua kelompok perlakuan.

Pengaruh Ekstrak S. oortiana pada Keberadaan MDV pada Bursa Fabricius

Hasil pemeriksaan imunohistokimia keberadaan MDV pada bursa Fabricius

menunjukkan bahwa pada ayam yang diinfeksi dengan MDV tanpa diberi ekstrak S.

oortiana

jumlah virusnya lebih banyak terutama pada daerah korteks folikel limfoid dan

daerah intrafolikuler kelompok ayam yang diinfeksi dengan MDV dan diberi ekstrak S.

oortiana.

Hal ini menunjukkan bahwa pemberian ekstrak 10 mg/kg bb mampu menekan

perkembangan virus MDV pada 20 hari p.i.

Kejadian pada kelompok ayam resisten dan peka terhadap MDV, terjadi

pertambahan virus sampai hari ke -10 paskainfeksi (pi), setelah itu terjadi penambahan

virus pada kelompok ayam peka dan terjadi penurunan pada ayam resisten (Kaiser et al.

(15)

2003). Flavonoid telah diketahui sebagai antibakteri, antiviral, antiinflamasi, antialergi,

antimutagenik, antitrombotik, dan aktivitas vasodilatasi (Miller 1996).

(16)

Gambar 11 Fotomikrograf bursa Fabricius ayam yang diwarnai secara imunohistokimia terhadap MDV, metode SAB dan counterstain Hematoksilin.

(C) kelompok yang diberikan ekstrak benalu teh dan infeksi MDV menunjukkan reaksi positif minimal terhadap keberadaan virus ( ).

(D) Reaksi positif ditunjukkan juga pada kelompok tanpa diberi ekstrak benalu teh dan infeksi MDV menunjukkan jumlah yang

lebih banyak. Bar = 16 µm.

Pengaruh Ekstrak S. oortiana pada Jumlah Limfosit Proventrikulus

Untuk mengamati seberapa jauh kemampuan ekstrak S. oortiana menurunkan

risiko neoplasma berdasarkan peubah jumlah limfosit pada submukosa proventrikulus,

dilakukan pengamatan dengan membandingkan jumlah limfosit pada submukosa

proventrikulus pada berbagai kelompok perlakuan pada 20 dan 40 hari p.i. Dalam hal ini

kasus penyakit Marek, ditandai dengan lesi limfomatus dan infiltrasi limfosit pada

proventrikulus, sel limfoblas dan sel retikuler pada sel-sel kelenjar (Larbier dan Leclerco

1992).

Hasil analisis statistik menunjukkan adanya perbedaan yang signifikan (p<0.05) di antara

fraksi kelompok ayam perlakuan pada hari ke 20 p.i. Kelompok perlakuan, A, yaitu ayam yang

dibenalu teh tanpa infeksi MDV memiliki nilai terendah sebesar 42,40 yang berbeda dari

kelompok D, yaitu ayam tanpa pemberian benalu dan infeksi MDV yang memiliki nilai sebesar

59,53. Rendahnya jumlah limfosit pada kelompok perlakuan A ada kecenderungan sebagi efek

dari ekstrak S. oortiana menurunkan jumlah limfosit. Tingginya jumlah limfosit pada kelompok

perlakuan D disebabkan oleh kelanjutan dari infeksi MDV produktif menuju infeksi transforming

yang menimbulkan limfoma yang ditandai dengan peningkatan jumlah limfosit pada 20 hari p.i.

Kelompok perlakuan B, yaitu ayam tanpa pemberian ekstrak benalu teh tanpa

uji tantang MDV memiliki nilai 44,67 tidak berbeda dengan kelompok perlakuan C, yaitu

ayam yang diberi ekstrak benalu teh dan diuji tantang yang meiliki nilai 56,33. Kedua

kelompok perlakuan B dan C tidak berbeda baik dari kelompok A maupun D. Hasil ini

menunjukkan bahwa gejala infeksi tranforming yang menimbulkan limfoma pada

proventrikulus dan pengaruh pemberian ekstrak S. oortiana belum mampu

mempengaruhi risiko neoplasma yang disebabkan oleh tindakan uji tantang MDV

onkogenik pada 20 hari p.i.

Tabel 9 Rataan jumlah limfosit submukosa proventrikulus 20 hari dan 40 hari pascainfeksi (p.i)

(17)

Perlakuan Jumlah limfosit

A B C D

20 hari p.i 42,40 ± 9,974a 44,333 ± 7,204ab 56,333 ± 6,986ab 59,533 ± 9,752b

40 hari p.i 53,400 ± 2,107a 59,800 ± 8,108a 67,000± 11,152a 93,800± 22,303b Keterangan : Superskrip dengan huruf yang berbeda pada baris yang sama menunjukkan perbedaan yang nyata (p<0.05).

A = diberi ekstrak S. oortiana tanpa diinfeksi MDV B = tanpa diberi ekstrak S. oortiana tanpa diinfeksi MDV C = diberi ekstrak S. oortiana dan diinfeksi MDV D = tanpa diberi ekstrak S. oortiana diinfeksi MDV

Hasil analisis statistik menunjukkan adanya perbedaan yang signifikan (p<0.05)

di antara fraksi kelompok perlakuan pada hari ke 40 p.i. Kelompok perlakuan, A, yaitu

pemberian benalu teh tanpa infeksi MDV memiliki nilai terendah sebesar 53,40, tidak

berbeda dengan kelompok perlakuan B, yaitu tanpa pemberian ekstrak benalu teh

tanpa uji tantang MDV memiliki nilai 59,80 yang tidak berbeda dari kelompok perlakuan

C, yaitu ayam yang diberi ekstrak benalu teh dan diuji tantang memiliki nilai 67,00.

Kelompok ayam perlakuan A, B, dan C berbeda dari kelompok D (p<0.05), yaitu tanpa

pemberian benalu dan diuji tantang MDV, memiliki nilai 59,53.

Terjadi peningkatan jumlah limfosit pada kelompok ayam perlakuan D sebagai

penanda peningkatan patogenesis neoplasma pada penyakit Marek yaitu berupa

limfositosis yang disebabkan oleh uji tantang menggunakan MDV onkogenik pada 40

hari p.i. Tingginya jumlah limfosit pada submukosa proventrikulus pada tindakan infeksi

MDV onkogenik tanpa diberi ekstrak S. oortiana. Infeksi MDV onkogen diawali infeksi

akut produktif, infeksi laten, kemudian dilanjutkan infeksi tranforming berupa

limfomatosis pada organ limfoid maupun diluar organ limfoid.

Pemberian ekstrak S. oortiana pada ayam yang diuji tantang dengan MDV

onkogenik mampu menurunkan risiko neoplasma, yang ditandai dengan menurunnya

jumlah limfosit submukosa proventrikulus pada kelompok ayam perlakuan C yang

berbeda dengan kelompok perlakuan D. Infus benalu teh ternyata mampu menghambat

proliferasi sel tumor kelenjar susu (Mus musculus L) galur C3H. Daya hambat infus

benalu teh tersebut kemungkinan diberikan oleh steroida, glikosida, triterpenoid, dan

saponin yang terdapat dalam ekstrak tersebut (Nugroho et al. 2000).

Pengaruh Ekstrak S. oortiana dan Infeksi MDV pada Hati 40 hari p.i

Hati merupakan salah satu organ viseral yang sangat spesifik dan sering

digunakan di dalam melakukan diagnosis secara makroskopik terhadap infeksi MDV.

Perubahan yang khas ditandai oleh nodul-nodul tumor yang berwarna putih dan

berbentuk seperti kancing dengan permukaan yang cembung pada lobus hati. Pada

(18)

penelitian ini perubahan tersebut tidak dapat ditemukan secara makroskopik, karena

belum terjadi pembentukan tumor. Hal kedua adalah pelaksanaan penelitian untuk

menciptakan tumor dengan infeksi MDV ini dilakukan pada periode yang sangat singkat.

Pemeriksaan hati secara histologik menunjukkan hasil bahwa pemberian ekstrak benalu

teh saja akan meningkatkan jumlah sel Kupfer atau dapat bertindak sebagai

imunostimulator. Namun temuan secara histologi ini masih perlu dikonfirmasi dengan

penelitian lanjut dengan lebih mendalam atau diperlukan dukungan dari data yang lain.

Perubahan yang terjadi akibat infeksi MDV adalah infiltrasi sel-sel limfoid dan

makrofag pada organ hati. Pada kelompok C, yaitu ayam yang diberi ekstrak benalu

teh, ternyata mampu menekan pertumbuhan sel-sel limfoid atau sel tumor, yang

ditunjukkan dengan jumlah sel limfoid yang lebih sedikit dibandingkan dengan hati pada

kelompok D (infeksi MDV). Sebagai ilustrasi hasil-hasil tersebut dijelaskan pada

Gambar 10.

Infus benalu teh ternyata mampu menghambat proliferasi sel tumor kelenjar susu

(Mus musculus L) galur C3H. Daya hambat infus benalu teh tersebut kemungkinan

diberikan oleh steroida, glikosida, triterpenoid, dan saponin yang terdapat dalam ekstrak

tersebut (Nugroho et al. 2000).

(19)

Gambar 12 Fotomikrograf hati ayam dengan pewarnaan Hematoksilin-Eosin (HE).

(A) kelompok yang diberikan ekstrak benalu teh terjadi peningkatan jumlah sel-sel Kupfer dan sel limfoid ( ),

(B) kelompok kontrol,

(C) diberikan ekstrak benalu teh dan infeksi MDV terjadi penekanan pada pertumbuhan sel tumor,

(D) infeksi MDV menyebabkan infiltrasi sel-sel limfosit dalam jumlah yang melimpah (+++) di daerah portal. Bar = 30 µm.

(20)

Gambar

Gambar 7 Fotomikrograf hati ayam yang diinfeksi virus Marek (MDV)                       dosis 0.125 x 10 3  EID 50  pewarnaan Hematoksilin-Eosin (HE)
Tabel 1 Rataan bobot relatif bursa Fabricius, timus, dan limpa 20 hari p.i.
Tabel 2   Rataan bobot relatif bursa Fabricius, timus, dan limpa 40 hari p.i.
Tabel  4    Rataan  jumlah  reaksi  positif  terhadap  iNOS  pada  hati  ayam  20  hari                                                                                 pascainfeksi (p.i.)
+4

Referensi

Dokumen terkait

oortiana sebagai imunomodulator ditandai dengan peningkatan bobot relatif bursa Fabricius pada kelompok ayam yang diberi ekstrak benalu teh tanpa infeksi dan bobot relatif timus

oortiana sebagai imunomodulator ditandai dengan peningkatan bobot relatif bursa Fabricius pada kelompok ayam yang diberi ekstrak benalu teh tanpa infeksi dan bobot relatif timus

oortiana sebagai imunomodulator ditandai dengan peningkatan bobot relatif bursa Fabricius pada kelompok ayam yang diberi ekstrak benalu teh tanpa infeksi dan bobot relatif timus

oortiana sebagai imunomodulator ditandai dengan peningkatan bobot relatif bursa Fabricius pada kelompok ayam yang diberi ekstrak benalu teh tanpa infeksi dan bobot relatif timus

Berdasarkan uji lanjut dengan metode Duncan (Lampiran 5), perlakuan jenis dan kondisi kemasan menunjukkan bahwa penurunan kandungan asam terendah adalah

Hasil uji ANOVA total fenol ekstrak buah takokak berbeda nyata (p&lt;0.05) pada taraf signifikansi 5% terhadap jenis pelarutnya, namun untuk perlakuan buah dan

Grafik kelangsungan hidup ikan setelah diuji tantang dengan virus KHV Dari Gambar 25 terlihat bahwa ikan kontrol positif dan perlakuan A (vaksinasi dosis 2,5µg)

Pada kondisi DO terendah yaitu 0.13mg/L (Gambar 6) terlihat pada perlakuan PA5 (perlakuan tanpa aerasi dan penambahan pakan) terjadi pada hari kelima setelah pemberian