• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB IV HASIL ANALISIS DAN PEMBAHASAN. Analisis komparatif atau perbandingan puisi Aku karya Chairil Anwar

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB IV HASIL ANALISIS DAN PEMBAHASAN. Analisis komparatif atau perbandingan puisi Aku karya Chairil Anwar"

Copied!
37
0
0

Teks penuh

(1)

45 BAB IV

HASIL ANALISIS DAN PEMBAHASAN

Analisis komparatif atau perbandingan puisi ”Aku” karya Chairil Anwar dan puisi terjemahan “Moi (Exaltation)” dalam penelitian ini ditinjau dari segi struktur puisi dan struktur kalimat. Struktur puisi keduanya akan dianalisis dengan menguraikan unsur intrinsik puisi. Sedangkan analisis struktur kalimat akan dianalisis dan dibandingkan dengan menggunakan teori terjemahan. Secara rinci, analisis struktural dan analisis terjemahan kedua puisi tersebut akan diuraikan sebagai berikut.

4.1. Analisis Struktural Puisi “Aku” Karya Chairil Anwar dan Puisi Terjemahan ”Moi (Exaltation)” oleh Louis-Charles Damais

Analisis struktural berarti analisis mengenai unsur-unsur intrinsik puisi (Abrams dalam Nurgiyantoro, 2010 : 36) dan kontribusinya sebagai sebuah kesatuan. Oleh karena itu, untuk melakukan analisis strukural perlu dipaparkan unsur-unsur intrinsik puisi tersebut. Berikut ini adalah uraian mengenai unsur intrinsik puisi “Aku” karya Chairil Anwar yang dipaparkan secara bersamaan agar tidak mengurangi fungsi unsur instrinsik lainnya dalam membentuk sebuah puisi yang utuh. Sama halnya dengan puisi “Aku”, pada subbab berikutnya akan dibahas mengenai unsur intrinsik puisi terjemahan “Moi (Exaltation)”.

(2)

4.1.1. Struktur Puisi “Aku” Karya Chairil Anwar Aku

Kalau sampai waktuku

`Ku mau tak seorang `kan merayu Tidak juga kau

Tak perlu sedu sedan itu Aku ini binatang jalang Dari kumpulannya terbuang Biar peluru menembus kulitku Aku tetap meradang menerjang Luka dan bisa kubawa berlari Berlari

Hingga hilang pedih peri Dan aku lebih tidak perduli Aku mau hidup seribu tahun lagi

Maret 1943

(Aku ini Binatang Jalang, Ed. Pamusuk Erneste) Puisi di atas merupakan puisi terkemuka karya seorang penyair besar bernama Chairil Anwar. Puisi ini mengalami beberapa perubahan judul dan pemilihan kata (diksi). Zainal Hakim (1996) dalam bukunya yang bejudul Edisi Kritis Puisi Chairil Anwar memberikan informasi yang cukup lengkap mengenai perbedaan teks puisi “Aku” dalam beberapa media cetak. Misalnya yang tertera pada kumpulan puisi Kerikil Tajam dan Yang Terampas dan Yang Putus (KT)(Hakim, 1996:25), puisi di atas berjudul Semangat dengan bunyi `kutahu tak seorangpun `kan merayu pada larik kedua.

Namun, peneliti mengambil naskah puisi pada kumpulan puisi Chairil Anwar dengan judul Aku ini Binatang Jalang oleh editor Pamusuk Eneste. Hal ini didasarkan pada penilaian yang dilakukan oleh Rahmat Djoko Pradopo (2009:

(3)

171) bahwa judul “Aku” lebih tepat untuk menyatakan sikap kepribadian dari pada judul Semangat. Selain itu, kata kutahu dalam larik kedua versi KT memberikan efek pesimisme dan melankolik yang justru berlawanan dengan judul Semangat, berbeda dengan kata kumau yang menunjukkan sikap tidak bersedih dan penuh semangat. Oleh karena itu, judul “Aku” secara strukural sangat tepat karena terdapat kesesuaian dengan seluruh larik sajak, kesuaian semangat, sikap dan suasananya.

Judul puisi di atas berupa kata ganti orang pertama tunggal : “Aku”. Dengan judul tersebut, pembaca dapat mengetahui persoalan apa yang hendak disampaikan oleh penyair. Kata aku sekilas menunjukkan seorang sosok dengan segala sifat dan sikapnya terhadap persoalan. Kata aku menunjukkan seseorang yang memanggil bahkan membicarakan dirinya sendiri. Dengan demikian, puisi di atas tidak membicarakan hal-hal di luar aku, sehingga menunjukkan efek indiviualis, eksis dan ekspresif.

Hal tersebut terbukti dengan pilihan-pilihan kata (diksi) pada puisi di atas. Diksi yang merupakan kata kunci puisi di atas adalah meradang menerjang dan kata aku yang diulang-ulang. Hampir pada setiap baris terdapat kata aku atau ku. Kata aku diulangi beberapa kali untuk mempertajam ketegasan dan semangat puisi tersebut.

Selain itu, gaya berpuisi dalam puisi “Aku” berbeda dengan puisi-puisi sebelum zamannya. Kata-kata yang digunakan adalah kata-kata yang dekat dengan kehidupan sehari-hari. Penyampaian yang cenderung bebas atau terkenal dengan istilah ceplas ceplos juga mewarnai bentuk puisi tersebut. Namun,

(4)

perbedaan-perbedaan tersebut justru memberi warna baru di dunia perpuisian sehingga penyairnya disebut-sebut sebagai pelopor pada zamannya dan diminati banyak orang pada zaman setelahnya. Berikut ini adalah uraiannya.

Penyair menulis kalau sampai waktuku, `ku mau tak seorang `kan merayu di awal puisinya. Penyair menggunakan kata-kata yang ambigu atau bisa ditafsirkan dalam beberapa arti. Hal ini disebabkan karena terjadi penyimpangan arti (distorting) (Pradopo, 2009:173). Kalau sampai waktuku, si “Aku” dengan sengaja ingin menyampaikan bahwa jika tiba masanya, entah masa berpisah atau pergi, atau bahkan meninggal dunia. `Ku mau tak seorang kan merayu, ia tak ingin ada seorangpun yang merayunya, membujuknya, atau meratapinya.

Pada larik pertama terdapat penyimpangan struktur sintaksis yakni untuk inversi dari subjek predikat menjadi predikat subjek. Larik kalau sampai waktuku seharusnya kalau waktuku sampai. Penyimpangan struktur sintaksis ini dimaksudkan agar bunyi rima yang dihasilkan sama dengan bunyi rima pada larik-larik berikutnya. Sedangkan pada larik kedua, penyimpangan tata bahasa yang terjadi adalah pemendekan kata, yakni kata `kumau seharusnya aku mau dan `kan merayu seharusnya akan merayu. Akan tetapi karena pengaruh bahasa lisan, maka munculah bunyi larik tersebut. Penggunaan strukur bahasa lisan ini menimbulkan kesan realistis dan tidak formal sehingga seolah penyair langsung berbicara dengan pembaca.

Larik berikutnya berbunyi, tidak juga kau, tak perlu sedu sedan itu. Larik yang padat makna ini ingin menegaskan pada “kau” secara langsung bahwa

(5)

termasuk “kau” pun yang entah siapa, tidak usah bersedih dengan keadaan atau kepergian “Aku”.

Larik berikutnya, penyair ingin menegaskan mengapa si “Aku” tak ingin seorangpun bersedih karenanya. Adalah karena Aku ini binatang jalang, dari kumpulannya terbuang. Pada larik ini penyair melakukan penggantian arti (displacing) (Pradopo, 2009: 173), yakni aku sebagai manusia disebut sebagai binatang jalang. Susunan kata yang mengandung majas metafora dan hiperbola ini menunjukkan pengakuan yang tegas dan apa adanya dari si “Aku” bahwa ia serupa binatang jalang, binatang liar dari sebuah kumpulan binatang yang terbuang, yang tersisihkan. Sedangkan karakter seekor binatang liar adalah selalu bebas, tidak ingin diperbudak, dan tidak menghamba. Ia hidup merdeka, berbuat sesuai kehendaknya, pikiran dan keinginannya. Ia tidak perduli dan tidak ingin ada yang perduli padanya.

Biar peluru menembus kulitku, aku tetap meradang menerjang begitu larik-larik berikutnya. Larik-larik ini ingin memperjelas kejalangan si “Aku” bahwa jikapun peluru mengenainya, ia akan tetap berbuat sekehendaknya, berjuang melakukan hal yang diinginkannya. Penyair ingin mempertajam imaji rasa (sentuhan) pada larik ini sehingga menggunakan majas pleonasme, yakni penegasan yang mempergunakan kata yang sebenarnya tidak perlu dikatakan lagi karena maknanya sudah tersirat pada kata sebelumnya. Seperti pada kata menembus kulitku, sudah tentu anggota badan yang terkena peluru pasti menembus kulit.

(6)

Kejalangan lain ditunjukkan juga pada larik Luka dan bisa kubawa berlari, berlari hingga hilang pedih peri. Si “Aku” yang jalang lebih berani dan percaya diri dengan kata-katanya bahwa luka dan racun yang dirasakannya akan ia bawa berlari sampai tak terasa rasa pedih dan peri. Luka dan bisa merupakan majas metafora, yang bisa berarti penderitaan dan kesengsaraan. Pengulangan kata berlari menunjukkan keseriusan dan ketegasannya akan sikapnya.

Di akhir puisi ini, si “Aku” menegaskan kebebasan, keinginan dan ketidaperduliannya dengan larik Dan aku lebih tidak perduli, aku mau hidup seribu tahun lagi. Si “Aku” yang jalang justru sangat berani dan percaya diri akan sikapnya untuk benar-benar tidak perduli dengan apa yang menghalanginya sekalipun itu maut. Itulah mengapa cita-citanya adalah hidup seribu tahun lagi. Klimaks yang tepat dan mengena serta sangat menunjukkan eksistensi si “Aku” dan perumpaannya sebagai binatang jalang.

Berdasarkan kata-kata yang dipilih penyair di atas menunjukkan bahwa penyair hanya ingin menunjukkan Aku dan sikapnya yang tegas dan bergelora. Penyair tidak terkesan menggurui atau menasehati pembaca dalam menyampaikan pesan atau amanat yang ingin disampaikannya. Penyair menyampaikannya dengan penuh ketegasan dan semangat.

Adapun dari segi tipografi, puisi “Aku” ini terdiri dari 13 larik yang terbagi menjadi tujuh bait yang tidak merata jumlah lariknya. Bait 1 dan 5 terdiri dari 3 larik, bait 2, 6 dan 7 terdiri dari 1 larik dan bait 3 dan 4 terdiri dari 2 larik. Pola rimanyapun berbeda-beda. Bait 1 dan 5 mempunyai pola rima yang sama dengan bunyi yang berbeda, yakni a-a-a. Pada bait 1 bunyinya u, sedangkan pada

(7)

bait 5 bunyinya i. Bait 3 berpola a-a dengan bunyi ang. Bait lain yang hanya terdiri dari 1 baris mempunyai bunyi rima yang sama, yakni i. Adapun bait 4 mempunyai bunyi rima yang berbeda, yakni u dan ang. Untuk lebih memperjelas uraian di atas, perhatikan gambaran puisi “Aku” berikut ini.

Kalau sampai waktuku

`Kumau tak seorang `kan merayu Tidak juga kau

Tak perlu sedu sedan itu Aku ini binatang jalang Dari kumpulannya terbuang Biar peluru menembus kulitku Aku tetap meradang menerjang Luka dan bisa kubawa berlari Berlari

Hingga hilang pedih peri Dan aku lebih tidak perduli Aku mau hidup seribu tahun lagi

Ritme yang berarti pengulangan bunyi untuk menimbulkan efek tertentu tergambar pada bunyi akhir setiap larik. Bunyi u yang berulang-ulang pada akhir bait pertama dan kedua menimbulkan efek tegas. Begitu pula bunyi ang pada rima bait kedua menimbulkan efek liar. Sedangkan bunyi yang berulang-ulang pada akhir bait kelima sampai ketujuh menimbulkan efek keseriusan dan keinginan yang kuat.

Adapun imaji yang tergambar pada puisi “Aku” di atas, adalah imaji pendengaran (auditory imagery), imaji rasa dan imaji perasaan. Pada bait pertama dan kedua penyair menggunakan imaji pendengaran, yakni pada kata merayu dan

(8)

sedu sedan. Sedangkan imaji rasa terdapat pada bait keempat dan kelima, yakni pada kata menembus kulitku, luka dan bisa, pedih peri. Sedangkan imaji perasaan terdapat pada bait ketiga, keenam dan ketujuh, yakni pada kata jalang, meradang menerjang, tidak perduli dan mau hidup.

Penjelasan panjang di atas menunjukkan perasaan penyair bahwa ia sedang bersemangat, bergelora, liar, mempunyai keseriusan akan keinginan kuat. Walaupun banyak rintangan yang menghadang ia tidak perduli karena ia mempunyai cita-cita dan keinginan yang kuat. Jika dilihat dari aspek historis, puisi “Aku” ini ditulis pada bulan Maret 1943. Tahun 1943 adalah tahun penjajahan Jepang yang sangat menekan bangsa Indonesia dari segala bidang. Puisi yang berlatar penjajahan dan penindasan ini semakin memperkuat makna semangat yang telah dibahas sebelumnya, yakni semangat memperjuangkan kemerdekaan, semangat melepaskan diri dari penjajahan.

Seolah penyair ingin berkata bahwa jika waktu meninggalnya telah tiba, ia tidak ingin ada seorangpun yang meratapinya sekalipun orang-orang yang dekat dengannya. Ia tidak ingin mereka bersedih karena ia adalah seorang pejuang dari sekelompok manusia yang terjajah. Ia menegaskan bahwa biarpun para penjajah menghalanginya bahkan melukainya, ia akan tetap berjuang. Ia akan tetap berjuang walaupun ia masih terluka bahkan sampai ia tak merasakan kembali rasa perih lukanya. Iapun semakin tidak perduli dengan sekitarnya, yang ia inginkan adalah hidup dengan kemerdekaan.

Secara tidak langsung, amanat yang ingin disampaikan penyair kepada pembaca adalah setiap manusia harus mempunyai semangat yang tinggi, prinsip

(9)

yang kuat dan cita-cita yang tinggi. Kedua hal tersebut dapat membuat seseorang bertanggung jawab terhadap sikapnya dan tidak lemah dalam melewati semua rintangan dan halangan yang dihadapi. Oleh karena itu, tema puisi ini adalah semangat berjuang yang tinggi. Untuk lebih mempermudah memahami struktur puisi “Aku” dengan cara memahami unsur-unsur instrinsiknya, berikut ini tabel 4.1 mengenai unsur-unsur intrinsik puisi “Aku” yang dibuat peneliti berdasarkan uraian di atas. Tabel 4.1 di bawah ini merangkum 12 unsur intrinsik puisi ”Aku” karya Chairil Anwar.

Tabel 4.1

Unsur Intrinsik Puisi “Aku” karya Chairil Anwar

No Unsur Intrinsik Keterangan

1 Tema Ketegasan dan semangat berjuang yang tinggi 2 Judul Aku (versi Aku ini Binatang Jalang, ed. Pamusuk

Eneste)

3 Diksi Diksi kunci : meradang menerjang 4 Imaji Pendengaran, rasa dan perasaan

5 Majas Metafora pada larik aku ini binatang jalang dan luka dan bisa, sedangkan pleonasme terdapat pada larik biar peluru menembus kulitku

6 Rima Pola rima berbeda pada setiap bait, a-a-a, a, b-b, a-b, c-c-c, c, c

7 Ritme Bunyi berulang yang berurutan pada rima: u-u-u-u menimbulkan efek tegas, ang-ang menimbulkan efek liar dan i-i-i-i-i menimbulkan efek serius dan

keinginan yang kuat.

8 Aspek tata bahasa Penyimpangan struktur sintaksis pada larik pertama dan kesebelas dan pemendekan kata pada larik kedua. 9 Tipografi Terdiri dari 7 bait dengan jumlah larik yang berbeda.

Bait 1 dan 5 terdiri dari 3 larik, bait 2, 6 dan 7 terdiri dari 1 larik, bait 3 dan 4 terdiri dari 2 larik.

10 Nada Penuh ketegasan dan semangat yang tinggi 11 Perasaan Penyair bersemangat, bergelora, serius dan

mempunyai keinginan kuat.

12 Amanat Hendaknya setiap manusia mempunyai prinsip hidup, semangat dan cita-cita yang tinggi supaya

bertanggung jawab terhadap sikapnya dan tidak lemah dalam melewati rintangan dan halangan.

(10)

4.1.2. Struktur Puisi Terjemahan “Moi (Exaltation)” oleh Louis-Charles Damais

Moi (Exaltation)

Lorsque mon heure sera venue Je veux que personne ne me regrette Pas même toi

Bien inutiles seraient de tels sanglots Me voici, animal traqué

De son troupeau rejeté

Qu`une balle me transperce, je n`en ai cure Sans répit, exaspéré, je me débattrai

Blessure et poison dans ma course emportant Dans ma course emportant

Jusqu`à ce qu`aient disparu peine et tourment Et tout me sera encore plus indifférent

Car je veux vivre mille années encore Mars 1943

(Cent deux poèmes Indonésiens, 1965:91)

Puisi di atas adalah puisi terjemahan dari puisi “Aku” karya Chairil Anwar yang diterjemahkan oleh Louis-Charles Damais. Ia adalah seorang profesor bahasa berkebangsaan Prancis dan pernah bertempat tinggal di Indonesia dan menulis beberapa buku tentang bahasa khususnya terjemahan dan buku lainnya. Louis juga membuat LIF (Lycée International Français) atau Sekolah Internasional Prancis di Jakarta.

Judul puisi terjemahan di atas adalah “Moi (Exaltation)” yang berarti “Aku” (Semangat). Dengan judul tersebut, pembaca dapat menangkap sekilas persoalan apa yang hendak disampaikan penyair. Moi merupakan kata ganti orang pertama tunggal yang berfungsi sebagai penegas atau disebut pronom tonique.

(11)

Sedangkan exaltation merupakan kata benda feminin. Penerjemah sengaja mencantumkan kedua kata tersebut karena telah terjadi perbedaan judul puisi tersebut. Pada kumpulan puisi Kerikil Tajam dan Yang Terampas dan Yang Putus (Hakim, 1996 : 25), puisi tersebut berjudul Semangat, sedangkan pada beberapa kumpulan puisi lain seperti Deru Campur Debu dan Aku ini Binatang Jalang, puisi tersebut berjudul “Aku”.

Pada dasarnya, penerjemah memilih kata-kata yang hampir sama dengan kata-kata yang muncul di permukaan puisi tersebut sehingga dari segi makna puisi terjemahan tersebut sama dengan puisi aslinya. Pada larik pertama, penerjemah memilih susunan kata lorsque mon heure sera venue. Pada larik ini tidak terdapat penyimpangan struktur sintaksis, dalam artian struktur sintaksis larik pertama ini merupakan struktur kalimat formal dengan pola konjungsi+subjek+predikat. Penerjemah menggunakan kata heure sebagai pengganti kata waktu yang bermakna waktu yang pasti dan venue dari kata venir sebagai pengganti kata sampai atau tiba. Merayu diganti secara harfiah menjadi regrette. Keambiguan yang ditimbulkan dari maknanya puisi “Aku” pun masih bisa dialihbahasakan dengan keambiguannya dalam puisi terjemahannya.

Begitu pula dengan larik berikutnya, penerjemah merangkai larik dengan susunan kata pas même toi, bien inutiles seraient de tels sanglots! Sebagai pengganti tidak juga kau, tak perlu sedu sedan itu. Larik kedua yang padat makna ini ingin menegaskan kepada “toi” secara langsung bahwa termasuk “toi”pun yang entah siapa, tidak usah bersedih dengan keadaan atau kepergian “moi”. Makna ini secara sempurna dipindahkan ke dalam TSa dengan padanan

(12)

yang pas. Walaupun jika diterjemahkan secara harfiah susunan terjemahannya adalah tidak juga kau, benar-benar tidak kesedihan yang tak terperi itu. Dari terjemahan tersebut menunjukkan majas hiperbola atau berlebihan karena menggunakan kata bien inutiles yang berarti benar-benar tidak berguna.

Pada larik berikutnya, penerjemah menerapkan sifat jalang dengan sebutan binatang buruan atau liar. Sedangkan karakter seekor binatang liar adalah selalu bebas, tidak ingin diperbudak, dan tidak menghamba. Ia hidup merdeka, berbuat sesuai kehendaknya, pikiran dan keinginannya. Ia tidak perduli dan tidak ingin ada yang perduli padanya. Larik penegasan eksistensi si “Moi” ini dengan indah diterjemahkan menjadi Me voici, animal traqué de son troupeau rejeté. Penerjemah menggunakan susunan kata Me voici sebagai konsekuensi dari sebuah pengakuan yang tegas sehingga tidak menggunakan padanan C`est moi yang biasa diucapkan dalam percakapan sehari-hari.

Animal traqué sebagai pengganti susunan kata binatang jalang. Traqué yang berarti diburu atau dikepung sangatlah cocok digunakan dalam padanan animal traqué, kecocokan ini diperjelas dalam larik-larik berikutnya. De son troupeau rejeté sudah secara eksplisit bermakna kumpulan yang terbuang. Frase animal traqué mengandung majas metafora karena sesungguhnya me atau moi tidak benar-benar binatang buruan, tetapi hanya perumpamaan yang ingin menunjukkan sifat dari perumpamaan tersebut.

Selanjutnya, penerjemah menerjemahkan larik berikutnya menjadi Qu`une balle me transperce, je n`en ai cure Sans répit, exaspéré, je me débattrai. Secara harfiah larik tersebut bermakna walaupun peluru

(13)

menembusku, aku tidak perduli, tak henti-hentinya, aku akan lebih melawan. Makna dalam puisi Aku tersebut senada dengan makna dalam puisi terjemahannya. Larik-larik ini juga menunjukkan bahwa sesuatu yang ingin dikenai peluru sudah tentu sebuah buruan atau seekor buruan. Makna tersebut memperkuat kecocokan penggunaan padanan kata animal traqué. Pada larik sans répit, exaspéré, je me débattrai terjadi penyimpangan struktur sintaksis yakni mendahulukan frase keterangan sebelum frase utamanya. Seharusnya larik tersebut berbunyi je me débattrai sans répit et exaspéré.

Pada puisi terjemahan, penerjemah menyusun untaian makna berikutnya dengan larik Blessure et poison dans ma course emportant, dans ma course, jusqu‘à ce qu`aient disparu peine et tourment. Penerjemah menggunakan kata ma course emportant sebagai terjemahan dari ku bawa berlari dan menyesuaikan pola larik hingga hilang pedih peri dalam susunan jusqu‘à ce qu`aient disparu peine et tourment. Dans ma course emportant mempunyai makna dalam lariku yang sambil membawa sesuatu, yakni luka dan bisa. Blessure et poison mengandung majas metafora implisit karena bisa saja arti sebenarnya adalah penderitaan dan kesengsaraan. Hal ini mengacu pada makna dalam puisi aslinya. Selain itu, pada larik jusqu‘à ce qu`aient disparu peine et tourment terdapat penyimpangan struktur sintaksis, seharusnya jusqu‘à peine et tourment aient disparu. Penyimpangan struktur sintaksis ini terjadi karena penerjemah ingin menghasilkan rima dengan bunyi yang sama dengan larik sebelumnya.

(14)

Penerjemah menggunakan susunan kata Et tout me sera encore plus indifférent, car je veux vivre mille années encore. Susunan kata di atas telah mewakili makna yang sama dengan makna pada puisi “Aku”. Pada puisi terjemahan dimunculkan kembali dengan penambahan konjungsi car yang berarti karena, menunjukkan hubungan sebab akibat, yakni si “Moi” tidak perduli dengan apapun yang menghalanginya karena ia ingin hidup seribu tahun lagi.

Jika dilihat dari tipografinya, puisi terjemahan yang berjudul “Moi (Exaltation)” ini terdiri dari 7 bait. Bait pertama terdiri dari 3 larik, bait kedua terdiri dari 1 larik, bait ketiga dan keempat terdiri dari 2 larik, bait kelima terdiri dari 3 larik, bait keenam dan ketujuh terdiri dari 1 larik. Adapun pola rima yang dihasilkan dari untaian kata penuh makna ini tidak semuanya sama. Hanya pada bait ketiga dan kelima yang mempunyai pola rima dengan bunyi yang berbeda. Pada bait ketiga bunyi rima yang sama, yakni [e], sedangkan pada bait kelima bunyi rima ketiga lariknya adalah sengau [ã]. Bait-bait lainnya mempunyai bunyi rima yang berbeda-beda pada setiap lariknya sehingga ritme pada puisi terjemahan inipun tidak terlalu terlihat. Berikut ini adalah bait-bait yang mempunyai pola rima dengan bunyi yang sama.

Me voici, animal traqué De son troupeau rejeté

Blessure et poison dans ma course emportant Dans ma course emportant

Jusqu`à ce qu`aient disparu peine et tourment

Imaji yang terdapat dalam puisi terjemahan berjudul Moi (Excaltation) ini adalah imaji pendengaran, perasaan dan rasa (sentuhan). Imaji pendengaran

(15)

terdapat pada pada bait pertama dan kedua seperti pada kata regrette dan sanglot. Imaji perasaan terdapat pada bait ketiga, keenam dan ketujuh, yakni pada kata traqué, débattrai, indifférent dan veux vivre. Adapun imaji rasa terdapat pada bait keempat dan kelima, yaitu pada kata transperce, blessure et poison dan peine et tourment.

Uraian di atas menunjukkan bahwa penyair seolah sedang mengumumkan kepada orang lain tentang ketegasan dirinya, semangat perjuangan dan cita-citanya yang tinggi. Ia tidak sedang menggurui atau menasehati siapapun. Namun secara tidak langsung, ia menyampaikan sebuah pesan bahwa setiap orang haruslah mempunyai prinsip yang dapat membuat dirinya teguh pendirian dan bertanggung jawab teradap sikapnya. Selain itu, semangat yang membara dan cita-cita yang tinggi dapat membuat seseorang mampu menghalau segala rintangan. Berikut ini adalah tabel 4.2 hasil uraian analisis struktur puisi terjemahan “Moi (Exaltation)” yang diuraikan beradasarkan unsur-unsur intrinsiknya.

Tabel 4.2

Unsur Intrinsik Puisi Terjemahan “Moi (Exaltation)” oleh Louis-Charles Damais

No Unsur Intrinsik Keterangan

1 Tema Ketegasan dan Semangat yang menggelora 2 Judul “Moi (Exaltation)” atau Aku (Semangat) 3 Diksi Diksi kunci : je me débattrai

4 Imaji Imaji pendengaran, perasaan dan rasa

5 Majas Metafora pada larik Me voice, animal traqué dan blessure et poison. Hiperbola pada larik bien inutiles de tels sanglots !

6 Rima Tidak semua bait mempunyai pola rima yang sama. Pola rima hanya pada bait ketiga dan kelima, yakni a-a da-an a-a-a-a-a-a denga-an bunyi ya-ang berbeda-a. Ba-ait ketiga-a bunyi rimanya [e], sedangkan bait kelima bunyi

(16)

rimanya [ã].

7 Ritme Tidak terdapat banyak pengulangan bunyi yang sama, kecuali pada bait ketiga dan kelima, yakni

pengulangan bunyi [e] yang menimbulkan efek ketegasan dan bunyi [ã] yang menimbulkan efek keseriusan.

8 Aspek tata bahasa Terdapat penyimpangan struktur sintaksis pada larik kedelapan dan kesebelas.

9 Tipografi Terdiri dari 7 bait dengan jumlah larik yang berbeda. Bait 1 dan 5 terdiri dari 3 larik, bait 2, 6 dan 7 terdiri dari 1 larik, bait 3 dan 4 terdiri dari 2 larik.

10 Nada Tegas dan penuh semangat, tetapi tidak menggurui 11 Perasaan Penyair bersemangat, serius dan mempunyai cita-cita

yang kuat.

12 Amanat Hendaknya setiap manusia mempunyai prinsip hidup, semangat dan cita-cita yang tinggi supaya mampu bertanggung jawab terhadap sikapnya dan tidak lemah dalam melewati rintangan dan halangan.

4.1.3. Perbandingan Struktur Puisi “Aku” karya Chairil Anwar dan Puisi Terjemahan “Moi (Exaltation)”oleh Louis-Charles Damais

Setelah peneliti melakukan analisis struktural terhadap puisi “Aku” dan puisi terjemahan “Moi (Exaltation)”, selanjutnya peneliti membandingkan struktur kedua puisi tersebut. Hal ini dimaksudkan untuk mengetahui sejauh mana persamaan dan perbedaan struktur kedua puisi tersebut. Berikut ini adalah tabel 4.3 yang menunjukkan hasil perbandingan struktur puisi “Aku” karya Chairil Anwar dan puisi terjemahan “Moi (Exaltation)” oleh Louis-Charles Damais yang diuraikan berdasarkan unsur-unsur intrinsik kedua puisi tersebut.

(17)

Tabel 4.3

Perbandingan Unsur Intrinsik Puisi “Aku” Karya Chairil Anwar dan Puisi Terjemahan “Moi (Exaltation)” oleh Louis-Charles Damais

No Unsur

Intrinsik Puisi “Aku”

Puisi Terjemahan

“Moi (Exaltation)” Keterangan 1 Tema Ketegasan, semangat

berjuang yang tinggi dan keinginan yang kuat

Ketegasan, Semangat yang menggelora dan cita-cita yang tinggi

Sama

2 Judul Aku (versi Aku ini Binatang Jalang, ed. Pamusuk Eneste)

“Moi (Exaltation)” atau Aku (Semangat)

Beda

3 Diksi Diksi kunci :

meradang menerjang

Diksi kunci : je me débattrai

Sama 4 Imaji Pendengaran, rasa

dan perasaan

Pendengaran, perasaan dan rasa

Sama 5 Majas Metafora pada larik

aku ini binatang jalang dan luka dan bisa, sedangkan pleonasme terdapat pada larik biar peluru menembus kulitku

Metafora pada larik Me voice, animal traqué dan blessure et poison. Hiperbola pada larik bien inutiles de tels sanglots !

Beda

6 Rima Pola rima berbeda pada setiap bait, a-a-a, a-a-a, b-b, a-b, c-c-c, c, c

Tidak semua bait mempunyai pola rima yang sama. Pola rima hanya pada bait ketiga dan kelima, yakni a-a dan a-a-a dengan bunyi yang berbeda.

Beda

7 Ritme Bunyi berulang yang berurutan pada rima: u-u-u-u

menimbulkan efek tegas, ang-ang menimbulkan efek liar dan i-i-i-i-i menimbulkan efek serius dan keinginan yang kuat.

Tidak terdapat banyak pengulangan bunyi yang sama, kecuali pada bait ketiga dan kelima, yakni

pengulangan bunyi [e] yang menimbulkan efek ketegasan dan bunyi [ã] yang menimbulkan efek keseriusan. Beda 8 Aspek tata bahasa Penyimpangan struktur sintaksis Penyimpangan

struktur sintaksis pada

(18)

pada larik pertama dan kesebelas dan pemendekan kata pada larik kedua.

larik kedelapan dan kesebelas.

9 Tipografi Terdiri dari 7 bait dengan jumlah larik yang berbeda. Bait 1 dan 5 terdiri dari 3 larik, bait 2, 6 dan 7 terdiri dari 1 larik, bait 3 dan 4 terdiri dari 2 larik.

Terdiri dari 7 bait dengan jumlah larik yang berbeda. Bait 1 dan 5 terdiri dari 3 larik, bait 2, 6 dan 7 terdiri dari 1 larik, bait 3 dan 4 terdiri dari 2 larik.

Sama

10 Nada Penuh ketegasan, semangat yang tinggi dan tidak menggurui

Tegas dan penuh semangat, tetapi tidak menggurui

Sama

11 Perasaan Penyair bersemangat,

bergelora, serius dan mempunyai

keinginan kuat.

Penyair bersemangat, serius dan mempunyai cita-cita yang kuat.

Sama

12 Amanat Hendaknya setiap manusia mempunyai prinsip hidup, semangat dan cita-cita yang tinggi supaya bertanggung jawab terhadap sikapnya dan tidak lemah dalam melewati rintangan dan halangan. Hendaknya setiap manusia mempunyai prinsip hidup,

semangat dan cita-cita yang tinggi supaya mampu bertanggung jawab terhadap sikapnya dan tidak lemah dalam melewati rintangan dan

halangan.

Sama

Tabel 4.3 di atas menunjukkan bahwa dengan membandingkan puisi ”Aku” dan puisi terjemahan “Moi (Exaltation)” yang diuraikan berdasarkan unsur-unsur instrinsiknya dapat dilihat persamaan dan perbedaan di antara keduanya. Persamaan dan perbedaan tersebut menunjukkan sejauh mana hubungan antara keduanya. Secara rinci, persamaan dan perbedaaan unsur intrinsik kedua puisi tersebut akan dijelaskan berikut ini.

(19)

4.1.3.1. Persamaan Struktur Puisi “Aku” Karya Chairil Anwar dan Puisi Terjemahan “Moi (Exaltation)” oleh Louis-Charles Damais

Pada tabel 4.3 terlihat beberapa persamaan struktur puisi “Aku” dan puisi terjemahan “Moi (Exaltation)” yang diuraikan berdasarkan unsur-unsur intrinsiknya. Persamaan tersebut terletak pada unsur-unsur tertentu saja, berikut ini adalah uraiannya.

1. Tema

Puisi “Aku” karya Chairil Anwar dan puisi terjemahan “Moi (Exaltation)” oleh Louis-Charles Damais mempunyai tema yang sama, yakni ketegasan seorang pribadi terhadap prinsip, semangat berjuang yang menggelora dan cita-cita yang tinggi.

2. Diksi kunci

Diksi kunci puisi “Aku” karya Chairil Anwar dan puisi terjemahan “Moi (Exaltation)” oleh Louis-Charles Damais adalah kata meradang menerjang atau je me débattrai yang berarti aku berjuang. Dari kata tersebut tergambar ketegasan, semangat dan keinginan yang kuat. Persamaan diksi kunci ini terjadi karena persamaan tema kedua puisi tersebut.

3. Imaji

Imaji yang merupakan gambaran yang ingin disampaikan penyair sehingga dapat ditangkap indera pembaca mengharuskan penerjemah untuk mengikuti aturan tersebut walaupun dalam bahasa yang berbeda. Oleh karena itu, wajib apabila terdapat persamaan antara imaji dalam puisi

(20)

“Aku” karya Chairil Anwar dengan puisi terjemahan “Moi (Exaltation)” oleh Louis-Charles Damais. Imaji tersebut adalah imaji pendengaran, rasa (sentuhan) dan perasaan.

4. Tipografi

Tipografi puisi “Aku” karya Chairil Anwar dan puisi terjemahan “Moi (Exaltation)” oleh Louis-Charles Damais mempunyai kesamaan, yakni terdiri dari 7 bait. Bait pertama dan kelima terdiri dari 3 larik, bait kedua, keenam dan ketujuh terdiri dari 1 larik, dan bait ketiga dan keempat terdiri dari 2 larik.

5. Nada

Nada dalam puisi “Aku” karya Chairil Anwar dan puisi terjemahan “Moi (Exaltation)” oleh Louis-Charles Damais adalah nada ketegasan dan semangat yang tinggi. Persamaan ini disebabkan oleh persamaan diksi kunci sehingga mempenagruhi diksi-diksi lainnya.

6. Perasaan

Oleh karena diksi kunci dan nada yang sama di antara puisi “Aku” karya Chairil Anwar dan puisi terjemahan “Moi (Exaltation)” oleh Louis-Charles Damais, maka dapat disimpulkan terdapat persamaan perasaan penyair dari kedua puisi tersebut. Perasaan penyair yang tergambar adalah bahwa aku sedang bergelora, penuh semangat, penuh ketegasan dan mempunyai keinginan yang kuat.

(21)

7. Amanat

Amanat merupakan pesan yang ingin disampaikan penyair kepada pembaca dengan memberikan gambaran-gambaran pada setiap unsur puisinya. Berdasarkan persamaan unsur-unsur puisi “Aku” karya Chairil Anwar dan puisi terjemahan “Moi (Exaltation)” oleh Louis-Charles sebelumnya menunjukkan persamaan amanat pada kedua puisi tersebut, yakni hendaknya setiap manusia mempunyai prinsip hidup, semangat dan cita-cita yang tinggi supaya mampu bertanggung jawab terhadap sikapnya dan tidak lemah dalam melewati rintangan dan halangan.

Penjelasan di atas menunjukkan bahwa terdapat 7 persamaan unsur intrinsik antara puisi “Aku” karya Chairil Anwar dan puisi terjemahan “Moi (Exaltation)” oleh Louis-Charles. Ketujuh unsur tersebut adalah unsur tema, diksi kunci, imaji, tipografi, nada, perasaan, dan amanat. Dari ketujuh persamaan unsur intrinsik tersebut dapat disimpulkan bahwa persamaan-persamaan tersebut terjadi pada esensi atau intisari makna kedua puisi tersebut. Oleh karena itu, dapat pula disebutkan bahwa persamaan kedua puisi tersebut adalah persamaan makna dan tipografi.

4.1.3.2. Perbedaan Struktur Puisi “Aku” Karya Chairil Anwar dan Puisi Terjemahan Moi oleh Louis-Charles Damais

Berikut ini perbedaan puisi “Aku” karya Chairil Anwar dan puisi terjemahan “Moi (Exaltation)” oleh Louis-Charles Damais yang diuraikan berdasarkan unsur-unsur intrinsiknya.

(22)

1. Judul

Judul merupakan kepala puisi. Perbedaan judul dari puisi “Aku” karya Chairil Anwar dan puisi terjemahan “Moi (Exaltation)” oleh Louis-Charles tidak menyebabkan perbedaan isi. Penerjemah memilih judul “Moi (Exaltation)” yang berarti “Aku” (Semangat). Pemilihan judul puisi terjemahan yang berbeda dikarenakan terdapat perbedaan judul puisi dalam bahasa sumbernya pada beberapa media cetak.

Pada kumpulan puisi Chairil Anwar yang berjudul Kerikil Tajam dan Yang Terampas dan Yang Putus, judul puisi tersebut adalah Semangat (Hakim, 1996 :25). Sedangkan pada beberapa media cetak lainnya seperti kumpulan puisi dengan judul “Aku” ini Binatang Jalang dan majalah Kompas NO.4 Th.III (1953) hlm.24, puisi tersebut berjudul “Aku” (Hakim, 1996 :102).

2. Majas

Majas pada “Aku” karya Chairil Anwar berbeda dengan majas yang tergambar pada puisi terjemahan “Moi (Exaltation)” oleh Louis-Charles. Pada puisi “Aku” terdapat terdapat majas metafora dan pleonasme. Sedangkan pada puisi terjemahan “Moi (Exaltation)” terdapat majas metafora dan hiperbola. Perbedaan ini dikarenakan penyesuaian dengan tata bahasa masing-masing.

(23)

3. Rima

Sama halnya dengan majas, pola rima pada puisi “Aku” karya Chairil Anwar berbeda dengan pola rima pada puisi terjemahan “Moi (Exaltation)” oleh Louis-Charles. Perbedaan ini disebabkan bunyi akhir dari setiap kata tidak dapat dipaksakan untuk membentuk sebuah larik tepat makna terutama dalam bahasa yang berbeda. Jikapun dipaksakan maka hasilnya tidak alamiah dan terkesan dipaksakan. Oleh karena itu, perbedaan pola rima adalah hal yang wajar bagi puisi dalam bahasa yang berbeda.

4. Ritme

Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya bahwa ritme merupakan pengulangan bunyi yang sama sehingga menimbulkan efek tertentu. Sudah pasti, dalam bahasa yang berbeda akan menghasilkan bunyi yang berbeda. Hampir pada setiap bait dalam puisi “Aku” memiliki pola rima sehingga akan terjadi ritme mulai dari bait pertama sampai akhir. Sedangkan pada puisi terjemahan “Moi (Exaltation)”, pola rima hanya terdapat pada bait ketiga dan kelima sehingga ritme yang dihasilkannyapun tidak banyak. 5. Aspek tata bahasa

Tata bahasa yang berbeda antara bahasa Indonesia dan bahasa Prancis menyebabkan perbedaan penyimpangan tata bahasa yang terjadi dalam puisi “Aku” karya Chairil Anwar dan pada puisi terjemahan “Moi (Exaltation)” oleh Louis-Charles. Penyimpangan yang terjadi pada puisi “Aku” adalah penyimpangan struktur sintaksis dan pemendekan kata,

(24)

sedangkan pada puisi terjemahan “Moi (Exaltation)” hanya terjadi penyimpangan struktur sintaksis.

Uraian di atas memaparkan perbedaan yang terdapat pada struktur puisi “Aku” karya Chairil Anwar dan pada puisi terjemahan “Moi (Exaltation)” oleh Louis-Charles yang diuraikan berdasarkan unsur-unsur intrinsiknya. Perbedaan tersebut terletak pada unsur judul, majas, rima, ritme dan aspek tata bahasa. Berdasarkan perbedaan struktur berdasarkan kelima unsur tersebut, dapat disimpulkan bahwa perbedaan yang terjadi terletak pada gaya. Perbedaan-perbedaan tersebut terjadi karena Perbedaan-perbedaan tata bahasa.

4.2. Analisis Terjemahan

Bab II sebelumnya menyebutkan bahwa keberhasilan sebuah puisi terjemahan terletak pada makna dan keindahan puisi yang dapat dimunculkan kembali dalam bahasa sasaran dengan menggunakan padanan yang tepat. Kesepadanan (equivalence) diukur dari kesepadanan secara menyeluruh, artinya perubahan atau pergeseran yang bersifat lokal, yakni pada kata, frasa dan kalimat harus dilihat dari fungsinya yang lebih tinggi. Selama perubahan-perubahan tersebut tidak merubah fungsi teks, maka teks dalam bahasa sasaran tersebut sepadan dengan teks aslinya. Berikut ini adalah uraian rinci mengenai perubahan atau pergeseran bentuk dan makna setiap larik puisi “Aku” karya Chairil Anwar dan “Moi (Exaltation)” oleh Louis-Charles Damais. Puisi “Aku” merupakan teks sumber (TSu) dan puisi terjemahan “Moi (Exaltation)” merupakan teks sasaran (TSa).

(25)

Aku Kalau sampai waktuku

`Ku mau tak seorang `kan merayu Tidak juga kau

Tak perlu sedu sedan itu Aku ini binatang jalang Dari kumpulannya terbuang Biar peluru menembus kulitku Aku tetap meradang menerjang Luka dan bisa kubawa berlari Berlari

Hingga hilang pedih peri Dan aku lebih tidak perduli Aku mau hidup seribu tahun lagi

Maret 1943

(Aku ini Binatang Jalang, Ed. Pamusuk Erneste)

Moi (Exaltation) Lorsque mon heure sera venue Je veux que personne ne me regrette Pas même toi

Bien inutiles seraient de tels sanglots Me voici, animal traqué

De son troupeau rejeté

Qu`une balle me transperce, je n`en ai cure

Sans répit, exaspéré, je me débattrai Blessure et poison dans ma course emportant

Dans ma course emportant

Jusqu`à ce qu`aient disparu peine et tourment

Et tout me sera encore plus indifférent Car je veux vivre mille années encore

Mars 1943 (Cent Deux Poèmes Indonésiens, 1965 :91)

4.2.1. Larik ke-1

TSu : Kalau sampai waktuku

TSa : Lorsque mon heure sera venue

Teknik yang digunakan dalam menerjemahkan larik ini adalah teknik penambahan (addition) kata dalam struktur, yakni kata sera, yang tidak ada dalam TSu. Adapula perubahan susunan larik, yakni pola P-S (Predikat-Subjek) dalam TSu pada susunan sampai waktuku menjadi S-P (Subjek-Predikat) dalam TSa pada susunan kata mon heure sera venue. Perubahan susunan juga terjadi pada kata ganti kepunyaan.

(26)

Dalam TSu, kata ganti kepunyaan –ku dalam kata waktuku ditempatkan sesudah kata benda “waktu”. Sedangkan dalam TSa, ditempatkan sebelum kata benda (maskulin) heure menjadi mon heure. Kata ganti kepunyaan –ku berjenis kata benda sedangkan mon berjenis kata sifat yang menunjukkan kepunyaan terhadap kata benda maskulin (adjective possessive). Pergeseran jenis kata ini disebut transposisi.

4.2.2. Larik ke-2

TSu : `Ku mau tak seorang `kan merayu TSa : Je veux que personne ne me regrette

Larik di atas dalam TSu termasuk jenis kalimat majemuk karena terdiri dari lebih satu pola, yakni `Ku mau sebagai induk kalimat dan tak seorang `kan merayu sebagai anak kalimat. Kalimat majemuk ini tetap dipertahankan dalam TSa dengan Je veux sebagai induk kalimat atau proposition principale dan que personne ne me regrette sebagai anak kalimat atau proposition subordonnée.

Teknik penerjemahan ini termasuk terjemahan harfiah yang dimodifikasi (modified literal translation) (Larson dalam Suryawinata dan Hariyanto, 2007 : 40) atau menerjemahkan kata per-kata tetapi dimodifikasi untuk membentuk padanan yang sesuai dalam TSa. Modifikasi yang dilakukan adalah penambahan (addition) kata que yang berarti ”bahwa” dan me yang berarti ”aku” sebagai objek. Kedua kata ini secara implisit terkandung dalam TSu. Jika kedua kata ini tidak ditimbulkan pada TSa maka struktur kalimatnya akan rancu. Oleh karena itu, penerjemah melakukan penambahan (addition).

(27)

4.2.3. Larik ke-3

TSu : Tidak juga kau TSa: Pas même toi

Larik tidak juga kau dalam TSu diterjemahkan ke dalam TSa menjadi pas même toi yang tetap mempertahankan iramanya dengan penekanan di akhir larik. Walupun demikian, maknanya tetap sesuai dan berterima dalam TSa. Terjemahan jenis ini termasuk terjemahan irama. Pada larik ini, tidak terjadi perubahan bentuk ataupun makna.

4.2.4. Larik ke-4

TSu : Tak perlu sedu sedan itu

TSa : Bien inutiles seraient de tels sanglots

Susunan kata dalam puisi bisa saja bebas sesuai dengan kehendak penyairnya. Biasanya susunanya tidak seperti susunan bahasa yang dipakai sehari-hari. Dalam TSu, larik ”Tak perlu sedu sedan itu” yang bermakna jangan bersedih tersebut diterjemahkan ke dalam TSa dengan Bien inutiles seraient de tels sanglots. Makna kata bien yang berarti sangat, amat atau benar-benar. Adapun secara harfiah, larik TSa tersebut bermakna “Sangat tidak berguna kesedihan-kesedihan itu. Dalam terjemahan tersebut terjadi teknik perluasan makna dari makna tidak perlu menjadi sangat tidak berguna. Selain itu, terjadi perubahan bentuk tunggal menjadi jamak, yang terdapat pada kata sedu sedan dengan bentuk tunggal menjadi sanglots dengan bentuk jamak bertanda penambahan s di akhir kata benda sanglot.

4.2.5. Larik ke-5

(28)

TSa : Me voici, animal traqué

Teknik penerjemahan yang digunakan untuk menerjemahkan larik ini adalah terjemahan irama dan perluasan makna. Disebut terjemahan irama karena penerjemah menekankan pada iramanya sehingga penjedaan dan penekanan dalam larik TSa pada kata ”ini” dan ”jalang” persis sama dengan larik TSu pada kata voici dan traqué. Adapun disebut perluasan makna adalah karena dari segi makna, kata jalang diartikan sebagai traqué. Traqué merupakan participe passé dari infinitif traquer yang tergolong kata sifat bermakna buruan. Sedangkan jalang adalah hanya salah satu sifat dari binatang buruan.

4.2.6. Larik ke-6

TSu : Dari kumpulannya terbuang TSa : De son troupeau rejeté

Untuk menerjemahkan larik TSu di atas, penerjemah menggunakan teknik pengubahan susunan dan transposisi. Pengubahan susunan terjadi pada kata ganti nya yang terletak setelah kata benda kumpulan menjadi son yang terletak sebelum kata benda troupeau. Adapun transposisi terjadi pada perubahan jenis kata, yakni kata –nya yang tergolong kata benda menjadi son yang tergolong kata sifat kepunyaan (adjective possessive).

4.2.7. Larik ke-7

TSu : Biar peluru menembus kulitku

TSa : Qu`une balle me transperce, je n`en ai cure

Terdapat perbedaan yang sangat mencolok antara larik TSu dan larik TSa di atas dari segi bentuknya. Penerjemah memilih untuk membagi satu larik menjadi dua bagian yang terpisah oleh koma. Selain itu, terjadi penghapusan

(29)

makna (deleting) yang terkandung dalam susunan kata menembus kulitku. Pada susunan tersebut mengandung majas pleonasme, yakni penegasan yang mempergunakan kata yang sebenarnya tidak perlu dikatakan lagi karena maknanya sudah tersirat pada kata sebelumnya. Penerjemah memilih untuk memperjelas makna kata “biar” dalam TSu dengan susunana kata Je n`en ai cure yang berarti “aku tidak perduli”. Dalam hal ini penerjemah menggunakan padanan deskriptif.

4.2.8. Larik ke-8

TSu : Aku tetap meradang menerjang TSa : Sans répit, exaspéré, je me débattrai

Pola S-P (Subjek-Predikat) adalah pola pada larik TSu di atas, dengan subjek ”aku” dan predikatnya ”tetap meradang menerjang”. Pola ini tidak dipertahankan dalam TSa, sehingga yang terjadi adalah perubahan susunan dan jenis kata. Larik TSa diawali oleh kata keterangan sans répit, exaspéré yang tergolong kata benda dan participe passé untuk memperjelas makna tetap yang berjenis adverbia frekuentatif.

Sans répit, exaspéré bermakna tanpa berhenti dan dengan penuh kekesalan yang sangat. Perubahan ini terjadi agar makna dalam TSu bisa muncul dalam TSa dengan alami. Dari uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa penerjemah menggunakan padanan deskriptif untuk memunculkan kembali makna TSa ke dalam TSa dengan padanan yang berterima.

4.2.9. Larik ke-9

TSu : Luka dan bisa kubawa berlarI

(30)

Larik TSu termasuk ke dalam kalimat majemuk rapatan, yaitu kalimat 1 adalah luka kubawa berlari dan kalimat 2 adalah bisa kubawa berlari. Adapun pola lariknya adalah pola kalimat pasif S-O-P, yakni luka dan bisa berfungsi sebagai subjek yang dikenai, ku berfungsi sebagai objek pelaku dan bawa berlari berfungsi sebagai predikat. Kemudian diterjemahkan ke dalam TSa dengan jenis kalimat yang sama tetapi dengan pola kalimat yang berbeda. Perbedaan tersebut hanya terdapat pada predikatnya, yakni pada susunan kata kubawa berlari dengan dans ma course emportant. Larik TSu adalah kalimat berpredikat kata kerja sedangkan larik TSa adalah kalimat berpredikat frasa preposisional. Perubahan ini adalah perubahan bentuk kata sehingga disebut teknik transposisi.

4.2.10. Larik ke-10

TSu : Berlari

TSa : Dans ma course

Kata berlari dalam TSu tergolong kata kerja yang berarti melakukan lari. Namun diterjemahkan ke dalam TSa menjadi dans ma course yang bermakna dalam lariku dengan dans tergolong kata keterangan, ma tergolong adjectif possessif untuk kata kerja maskulin dan course adalah kata benda maskulin. Selain itu fungsinyapun berubah dari predikat menjadi kata keterangan. Pergeseran bentuk dan fungsi ini disebut transposisi.

4.2.11. Larik ke-11

TSu : Hingga hilang pedih peri

TSa : Jusqu`à ce qu`aient disparu peine et tourment

Pada larik TSa di atas, terjadi penambahan kata ce `qu`aient yang sebenarnya tidak ada padanannya pada larik TSu. Namun hal ini justru

(31)

dimaksudkan agar makna tersampaikan pada TSa dengan tata bahasa yang benar. Oleh karena itu penambahan (addition) menjadi wajib dalam TSa.

4.2.12. Larik ke-12

TSu : Dan aku akan lebih tidak perduli TSa : Et tout me sera encore plus indifférent

Jika dilihat dari maknanya, larik TSu secara ekplisit mengungkapkan bahwa si aku akan lebih tidak perduli terhadap segala rintangan yang dihadapinya. Aku berfungsi sebagai subjek yang melakukan kegiatan, yakni lebih tidak perduli. Lain halnya dalam larik TSa, me yang berarti aku berfungsi sebagai objek. Sehingga jika diartikan secara harfiah, makna larik TSa adalah ”dan semuanya membuatku lebih tidak perduli”. Pergeseran yang terjadi adalah pergeseran bentuk dan fungsi atau disebut sebagai transposisi. Transposisi dari fungsi kata aku sebagai subjek menjadi objek.

4.2.13. Larik ke-13

TSu : Aku mau hidup seribu tahun lagi TSa : Car je eux vivre milles années encore

Larik TSu di atas merupakan kalimat tunggal yang berpola S-P-O-K (Subjek-Predikat-Objek-Keterangan waktu) dengan aku sebagai subjek, mau sebagai predikat, hidup sebagai objek, seribu tahun lagi sebagai kata keterangan jumlah. Namun dalam larik TSa, penerjemah menambah kata car yang artinya karena menunjukkan hubungan sebab.

Jenis kalimat ini menjadi anak kalimat dari kalimat majemuk dengan induk kalimat pada larik sebelumnya, yaitu et tout me sera encore plus indifférent.

(32)

Sehingga pola kalimatnya adalah prep.-S-P-O-K dengan preposisi car, subjek je, predikat veux, objek vivre dan keteranganjumlah mille années encore. Dari uraian di atas, dapat dilihat bahwa teknik yang digunakan adalah penambahan (addition) kata tertentu untuk mempertajam makna dan transposisi, yakni pergeseran bentuk atau jenis kalimat dari kalimat tunggal menjadi anak kalimat.

4.2.14. Hasil Analisis Terjemahan

Analisis terjemahan ketiga belas larik/ baris puisi di atas menunjukkan adanya beberapa perubahan atau pergeseran yang terjadi dari TSu kedalam TSa. Perubahan-perubahan tersebut dikarenakan perbedaan tata bahasa yang dimiliki oleh bahasa Indonesia dan bahasa Prancis. Oleh karena itu, hal ini menjadi wajar agar mendapatkan padanan yang tepat dan alami dalam BSa. Berikut ini adalah tabel 4.4 dan tabel 4.5 mengenai perubahan atau pergeseran bentuk (struktural) dan makna (semantis) yang terjadi dalam penerjemahan puisi “Aku” karya Chairil Anwar ke dalam puisi terjemahan “Moi (Exaltation)” oleh Louis-Charles Damais.

Tabel 4.4 memaparkan teknik struktural yang terdapat pada penerjemahan puisi “Aku” karya Chairil Anwar. Teknik struktural mengindikasikan perubahan bentuk kata atau kalimat pada larik-larik puisi tersebut. Tabel 4.4 di bawah ini menunjukkan beberapa perubahan bentuk, yakni penambahan kata sebanyak 4 kali dan transposisi atau pergeseran jenis kata dan kalimat sebanyak 7 kali.

(33)

Tabel 4.4

Teknik Struktural pada Penerjemahan Puisi “Aku” karya Chairil Anwar Larik

ke-

Teknik Struktural

Penambahan Pengurangan Transposisi 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 4 - 7

Tabel 4.5 menunjukkan teknik semantis yang terdapat pada penerjemahan puisi “Aku” karya Chairil Anwar. Teknik semantis mengindikasikan perubahan makna. Berdasarkan tabel 4.5 di bawah ini, perubahan makna yang terjadi, yakni padanan deskripsif sebanyak 2 kali, penghapusan makna sebanyak 2 kali dan perluasan makna sebanyak 1 kali.

Tabel 4.5

Teknik Semantis pada Penerjemahan Puisi “Aku” karya Chairil Anwar

L a ri k k e-Teknik Semantis M o d u la si P em u n g u ta n P a d a n a n B u d a y a P a d a n a n D es k ri p ti f S in o n im T er je m a h a n re sm i P en y u su ta n P er lu a sa sa n P en a m b a h a n P en g h a p u sa n P em a d a n a n b er k o n te k s P em a d a n a n B er ca ta ta n 1 2 3 4 5

(34)

6 7 8 9 10 11 12 13 - - - 2 - - 2 1 - -

4.3. La Fiche Pédagogique Materi Analisis Puisi Terjemahan

Manfaat analisis puisi terjemahan dalam pembelajaran bahasa Prancis telah dijelaskan di Bab II, yakni dapat dijadikan salah satu materi dalam pembelajaran mata kuliah Traduction atau Terjemahan. Mata kuliah Traduction biasanya dikontrak mahasiswa Jurusan Pendidikan Bahasa Prancis pada tahun ketiga atau keempat. Secara konkrit, peneliti mengusulkan la fiche pédagogique atau rencana pelaksanaan pembelajaran untuk dosen berikut ini.

FICHE PÉDAGOGIQUE

NIVEAU B1 – FICHE DE PROFESSEUR

«Découvrir les techniques de traduction dans le poème de traduction» Niveau des apprenants

B1

Type de public

Étudiants suivant le cours de Traduction au semestre 7 Objectifs du cours

» Identifier des changements de mots ou des phrases de poème originale au poème de traduction.

» Faire l`analyse de traduction par les techniques structurale et sémantiques.

Matériel

» feuille photocopiée le poème : le poème « Aku » de Chairil Anwar et le poème de traduction « Moi

(Exaltation) » par Louis-Charles Damais

(35)

» Découvrir les sens de poème. » feuille de carte de donnée Durée de la séquence

2 fois 45 minutes de travail en classe

Méthode de travail Travail collectif

Déroulement Introduction

Le professeur pose des questions aux étudiants sur Chairil Anwar, telles que : les ouvres, la biographie ; son avis sur lui, etc.

Le professeur pose des questions aux étudiants sur des théories de traduction de poème.

Mise en route

Le professeur demande aux étudiants de se regrouper par quatre.

Le professeur leur distribue les feuilles photocopiées de poème « Aku » de Chairil Anwar et le poème de traduction « Moi (Exaltation) » par Louis-Charles Damais. Parcours

Étape 1

Le professeur explique sur la théorie de traduction de poème. Étape 2

Le professeur demande aux groupes de lire le poème « Aku » de Chairil Anwar et le poème de traduction « Moi (Exaltation) » par Louis-Charles Damais dans leurs feuilles photocopiées. Il leur demande aussi d`analyser des changements de mots ou des phrases de deux poèmes : changement du structure et de sens.

Exemple d`activité :

(36)

Étape 3

1. Expliquer la façon de remplir la carte de donnée :

2. Les étudiants remplissent la carte de donnée en citant du poème pour justifier leur identification sur des changements de mots ou des phrases.

3. Les étudiants analysent les sens de deux poèmes. Exemple d`activité :

Les étudiants remplissent le tableau respect aux éléments décrits dans le deux poème:

Table 4.6

Les techniques structurales dans la traduction de poème “Aku” de Chairil Anwar

Ver Les techniques structurales

Addition Substruction Transposition 1ère 2em 3em 4em 5em 6em 7em 8em 9em 10em 11em 12em 13em Étape 4

Le professeur demande à un groupe de présenter leurs analyses devant la classe. Étape 5

Le professeur demande aux autres groupes de commenter la présentation de groupe devant la classe et de leur poser des questions.

(37)

Étape 6

Le professeur aide à répondre aux questions des étudiants pour résoudre leurs difficultés pendant le processus d’analyse.

Étape 7

Le professeur conclut le sujet abordé lors de la séance. Évaluation

Une tâche d’analyser de technique structurale de traduction est du poème « Aku » de Chairil Anwar au poème de traduction « Moi (Exaltation) » par Louis-Charles Damais.

Prolongements

Travailler d`analyser de technique sémantique de traduction du poème « Aku » de Chairil Anwar au poème de traduction « Moi (Exaltation) » par Louis-Charles Damais.

Gambar

Tabel  4.3  di  atas  menunjukkan  bahwa  dengan  membandingkan  puisi
Tabel  4.4  memaparkan  teknik  struktural  yang  terdapat  pada  penerjemahan  puisi  “Aku”  karya  Chairil  Anwar

Referensi

Dokumen terkait

Masalah yang diangkat dalam penelitian ini adalah kemampuan siswa mengapresiasikan tema, nada, rasa, dan amanat dari puisi “ Kepada Peminta- minta” karya Chairil

“Aku” karya Chairil Anwar dalam buku Aku Ini Binatang Jalang. Tujuan dari penelitian ini yaitu untuk mengetahui pemikiran Chairil Anwar,lingkup budaya saat teks

Adapun manfaat tulisan ini adalah: (1) Memberikan informasi mengenai intertekstulitas puisi “Padamu Jua” karya Amir Hamzah yang tercipta terdahulu dengan puisi “Doa” karya

Dalam hal kemampuan siswa menganalisis hubungan intertekstual puisi “Padamu Jua” karya Amir Hamzah dan puisi “ Doa ” karya Chairil Anwar, diperoleh data sebanyak

Langkah-langkah dalam penelitian diawali dengan (1) membaca puisi Chairil Anwar yang berjudul “Senja Di Pelabuhan Kecil”, kemudian (2) menganalisis puisi tersebut

Penelitian ini bertujuan untuk pendeskripsian penggunaan bahasa figuratif dalam kumpulan puisi Deru Campur Debu karya Chairil Anwar. Adapun tujuan khusus dari penelitian

puisi “ Cintaku Jauh Di Pulau “ karya Chairil Anwar dengan pendekatan strata norma dapat diketahui bahwa Lapis suara (sound stratum) memiliki asonansi. a dan

Nilai pendidikan karakter terkandung di dalam buku Kumpulan puisi Kerikil Tajam dan Yang Terampas dan Yang Terampas dan Yang Putus Karya Chairil Anwar ,Nilai