• Tidak ada hasil yang ditemukan

VERBA LOKATIF DALAM KALIMAT TUNGGAL BAHASA JAWA (Kajian Struktur Sintaksis)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "VERBA LOKATIF DALAM KALIMAT TUNGGAL BAHASA JAWA (Kajian Struktur Sintaksis)"

Copied!
14
0
0

Teks penuh

(1)

(Kajian Struktur Sintaksis)

Bayu Indrayanto*

Abstrak:Verba lokatif dalam kalimat tunggal bahasa Jawa (kajian struktur sintaksis) dapat dianalisis dari sisi  bentuk,  fungsi,  dan  peran.  Bentuk  verba  lokatif  dalam  kalimat  tunggal  bahasa  Jawa  dapat  berupa monomorfemis dan polymorfemis. Verba lokatif bahwa sifat nomina lokatif yang mengikuti verba lokatif inheren, bersifat intrinsik; nomina lokatif yang mengikuti verba lokatif takinheren, bersifat takintrinsik. Kata kunci : verba, verba lokatif, kalimat tunggal. PENGANTAR Verba lokatif dalam bahasa Jawa mempunyai pengertian yang sama dengan dalam bahasa Inggris, seperti yang diungkapkan oleh Chafe dalam bukunya Meaning The Structure of Language (1970). Bahwa verba lokatif adalah verba yang mampu menghadirkan unsur nomina tempat/lokasi di dalam suatu kalimat. Kemampuan verba lokatif untuk menghadirkan nomina  lokatif  bersifat  inheren  dan  tak  inheren/ eksternal.  Kemampuan  inheren,  artinya  verba  itu sudah  otomatis  menghadirkan  nomina  lokatif. Kemampuan  takinheren/eksternal,  artinya  verba  itu harus diderivasikan dahulu untuk dapat menghadirkan nomina lokatif (Chafe, 1970 : 156).

Diungkapkan  pula  oleh  Chafe  bahwa  sifat nomina lokatif yang mengikuti verba lokatif inheren, bersifat intrinsik; nomina lokatif yang mengikuti verba lokatif  takinheren,  bersifat  takintrinsik.  Namun demikian, ada juga nomina lokatif yang mengikuti verba lokatif inheren, bersifat takintrinsik. Nomina lokatif intrinsik, artinya nomina tersebut bersifat ketat, jelas, dan  sudah  secara  eksplisit  terkandung  dalam  verba lokatifnya. Nomina lokatif tak intrensik, artinya nomina tersebut bersifat longgar, umum (general).

Kejelasan  tentang  verba  lokatif  dan  nomina lokatif yang mengikutinya dapat dilihat pada contoh-contoh berikut.

(1)Ibu  masak  sayur. ‘Ibu  memasak  sayur’ (2)Adhik  lagi  adus.

‘Adik baru mandi’

Verba lokatif masak ‘memasak’ pada kalimat (1)  bersifat  inheren,  a rtinya  verba  itu  sudah mengandung nomina lokatif, yaitu di dapur. Dengan demikian, verba tersebut tanpa diikuti nomina lokatif pun tetap eksis sebagai verba lokatif. Selain itu, verba tersebut  membangun  relasi  lokatif  secara  intrinsik, artinya arah relasi ke dalam verba itu.

Verba adus  ‘mandi’  mengandung  nomina instrumen,  sesuatu  tempat  yang  digunakan  untuk mandi yaitu di kamar mandi. Dengan itu, verba lokatif tersebut bersifat inheren (jenis nomina lokatif sudah tercermin  di  dalam  verbanya). Akan  tetapi,  nomina yang  mengikutinya  bersifat  takintrinsik,  artinya, nomina  itu  bersifa t  longgar  (tidak  ket at). Ketidakketatan nomina itu ditandai dengan dapatnya bermacam-macam jenis lokatif yang mampu mengikuti verbanya.  Namun  demikian,  meskipun  nomina  itu

(2)

bermacam-macam, jenis nomina itu  masih di dalam satu wadah kehiponiman. Dengan demikian, nomina lokatif pada kalimat (2) bersifat takintrinsik.

Keketatan nomina lokatif yang telah tercermin (hadir)  di  dalam  verba  lokatif  dapat  dilihat  dengan kurang berterimanya kalimat berikut.

(1a) Ibu  masak  sayur  ing  pawon. ‘Ibu memasak sayur di dapur’

Kehadiran satuan lingual ing pawon ‘di dapur’ justru  membuat  kalimat  tersebut  menjadi  kaku  dan kurang efektif. Memang, konstituen itu sebagai nomina lokatif, tetapi kehadirannya tidak dibutuhkan karena nomina  lokatif  itu  sudah  terkandung  dalam  verba lokatifnya.

Kehadiran  satuan  lingual ing  pawon  ‘di dapur’ justru membuat kalimat tersebut menjadi kaku dan  kurang  efektif. Memang,  konstituen  itu sebagai nomina lokatif, tetapi kehadirannya tidak dibutuhkan karena  nomina  lokatif  itu  sudah  terkandung  dalam verba lokatifnya.

LANDASAN TEORI 1. Pengertian Sintaksis

  Sintaksis  berasal  dari  kata sun  yang  berarti ‘dengan’  dan  kat a    tassein  yang  bera rti ‘menempatkan’.  Jadi  secara  etimologi,  sintaksis adalah ‘menempatkan secara bersama-sama kata-kata menjadi kelompok kata atau kalimat’ (Abdul Chaer, 1994: 206). Istilah sintaksis secara langsung terambil  dari  bahasa  Belanda  syntaxis,  dalam bahasa Inggris digunakan istilah syntax. Sintaksis adalah  salah  satu  cabang  dari  tata  bahasa  yang membicarakan  struktur-struktur  kalimat,  klausa, dan frasa (Tarigan1985:4).

Menurut  Harimurti  Kridalaksana yang dimaksud  sintaksis  adalah:  (1)  pengaturan

hubungan  antara  kata  dengan  kata,  atau  dengan satuan bahasa yang lebih besar itu dalam bahasa, (2) subsistem bahasa yang menyangkut hal tersebut sering dianggap bagian dari gramatikal; bagian lain ialah  morfologi,  (3)  cabang  linguistik  yang mempelajari hal tersebut (2001 : 199). Pengertian sintaksis menurut Chomsky dalam Paina Partana, dkk  adalah  telaah  mengenai  prinsip-prinsip  dan proses-proses  yang  dipergunakan  untuk membangun kalimat-kalimat dalam bahasa tertentu (1990  :  2),  sedangkan  menurut  Abdul  Chaer, sintaksis adalah ilmu bahasa yang membicarakan kata  dalam  hubungannya  dengan  kata  lain  atau unsur-unsur lain sebagai satuan ujaran (1994 : 206). Berdasarkan  beberapa  pendapat  di  atas, sintaksis adalah salah satu cabang linguistik yang mempelajari  pangaturan  hubungan  antara  kata dengan  kata,  atau  satuan  yang  lebih  besar  yang membentuk  kalimat  dasar  dan  jenis-jenisnya. Sintaksis merupakan studi tentang perangkaian dan tentang timbal balik antara kata-kata menjadi frasa atau  klausa  untuk  membentuk  kalimat.  Dapat dikatakan bahwa sintaksis adalah ilmu bahasa yang mempelajari  tata  kalimat.  Satuan  yang  terdapat dalam sintaksis terdiri dari kata, frasa, klausa, dan kalimat.

Di dalam satuan sintaksis,  kalimat itu sendiri memiliki  beberapa  pengertian  antara  lain keseluruhan pemakaian kata yang berlagu, disusun menurut sistem bahasa yang bersangkutan (Slamet Mulyono  dalam  Paina  Partana,  dkk,  1990:  40). Kalimat adalah konstruksi gramatikal yang terdiri atas  satu  atau  lebih  klausa  yang  ditata  menurut pola  tertentu,  dan  dapat  berdiri  sendiri  sebagai satuan  (Harimurti  Kridalaksana,  2001:  71). Menurut  Anton  Moeliono  dan  Dardjowidjojo,

(3)

kalimat  merupakan  bagian  terkecil  teks  yang mengungkapka n  pikir an  yang  utuh  secara ketatabahasaan (1988 : 254). Pengertian kalimat menurut Abdul Chaer adalah satuan sintaksis yang disusun  dari  konstituen  dasar,  yang  biasanya berupa  klausa,  dilengkapi  dengan  konjungsi  bila diperlukan, serta disertai dengan intonasi final (1994 : 240).

Berdasarkan  pengertian-pengertian  di  atas, dapat  disimpulkan  bahwa  yang  menjadi  dasar kalimat adalah konstituen dasar dan intonasi final. Konstituen  dasar  berupa  klausa,  frasa,  dan  kata sedangkan intonasi final dibagi menjadi tiga macam, yaitu  (1)  intonasi  deklaratif,  dalam  bahasa  tulis dilambangkan  dengan  tanda  titik;  (2)  intonasi interogatif, ditandai dengan tanda tanya; (3) intonasi seru,  ditandai  dengan  tanda  seru  (Abdul  Chaer, 1994: 241).

2. Klasifikasi Kalimat

Kalimat  dalam  bahasa  Jawa  menurut Sudaryanto (1992 : 70-179) diklasifikasikan menjadi tiga macam, yaitu:

a. Kalimat Tunggal

Kalimat tunggal adalah kalimat yang terdiri atas S-P atau S-P-O saja  (Sudaryanto,1992 : 68).  Menurut  Gorys  Keraf    kalimat  tunggal adalah kalimat yang hanya terdiri dari dua unsur inti dan boleh diperluas dengan satu atau lebih unsur tambahan, namun unsur-unsur tambahan itu  tidak  boleh  membentuk  pola  baru  (1984: 152). Menurut Harimurti Kridalaksana, kalimat tunggal  adalah  kalimat  yang  terjadi  dari  satu klausa  bebas  (2001  :  95).  Kalimat  tunggal menurut  Ramlan  adalah  kalimat  yang  terdiri atas satu subjek dan satu predikat saja (2001 :

43).  Contoh  kalimat  tunggal  : Adi  tuku  buku ‘Adi membeli buku’.

 b. Kalimat Majemuk

Menurut  Sudaryanto  kalimat  majemuk adalah kalimat yang terdiri atas dua klausa atau lebih  (1992  :  159).  Menurut  Ramlan  kalimat majemuk adalah kalimat yang terdiri lebih dari satu  klausa.  Kalimat  majemuk  terdiri  dari kalimat majemuk setara dan kalimat majemuk bertingkat (2001 : 29)

c. Kalimat  Beruas

Menurut Sudaryanto kalimat beruas adalah kalimat  yang merupakan  hasil  penggabungan dua  klausa  atau  lebih  namun  belum  dapat disebut sebagai kalimat majemuk (1992 : 180). Kalimat  beruas  dibedakan  menjadi  beberapa jenis, yaitu :

i. Kalimat beruas lengkap

Kalimat beruas lengkap adalah kalimat beruas  yang  unsurnya  berupa  klausa lengkap.  Kelengkapan  itu  tampak  sebagai struktur S-P.

ii. Kalimat beruas tak lengkap

Kalimat  beruas  tak  lengkap  adalah kalimat beruas yang klausa-klausa unsurnya berupa  kla usa  tak  lengka p.  Kalimat berstruktur P-O + P-O dan P + P.

iii. Kalimat beruas puntung

Kalimat beruas puntung adalah kalimat beruas  yang  salah  satu  unsurnya  berupa klausa  puntung.  Klausa  puntung  adalah penggalan  dari  konstituen  sebuah  klausa yang ditempatkan secara terpisah di bagian awal kalimat dan menjadi ruas tersendiri.

(4)

Ramlan  (2001  :  130-136)  membagi  kalimat berdasarkan  jenis  verba  yang  menduduki  fungsi predikat, terdiri atas :

a. Kalimat verbal adjektif

Kalimat  ini  predikatnya  terdiri  dari  kata golongan verbal yang termasuk golongan kata sifat,  atau  frase  yang  unsur  pusatnya  berupa kata  sifat  (2001  :  132).  Contoh: Dheweke pinter banget  ‘  Dia  sangat  pintar’.

b. Kalimat verbal intransitif

Kalimat  ini  predikatnya  terdiri  dari  kata golongan verbal yang termasuk golongan kata kerja  yang  intransitif,  atau  terdiri  dari  frase verbal yang unsur pusatnya berupa kata kerja intransitif (2001 : 133). Contoh: Ani turu ‘Ani tidur’.

c. Kalimat verbal aktif

Kalimat  ini  predikatnya  terdiri  dari  kata golongan verbal yang termasuk golongan kata kerja yang transitif, atau terdiri dari frase verbal yang unsur pusatnya berupa kata kerja transitif (2001 : 133). Contoh: Reni mangan roti ‘Reni makan roti’.

d. Kalimat verbal pasif

Kalimat  ini  predikatnya  terdiri  dari  kata golongan verbal yang termasuk golongan kata kerja yang pasif, atau terdiri dari frase verbal yang  unsur  pusatnya  berupa  kata  kerja  pasif (2001  :  133).  Contoh: Bukune  daktulisi ‘Bukunya saya tulisi’.

e. Kalimat verbal yang refleksif

Kalimat  ini  predikatnya  terdiri  dari  kata golongan verbal yang termasuk golongan kata kerja yang refleksif (2001 : 136). Contoh: Dedi lungguh  ‘Dedi  duduk’.

f. Kalimat verbal yang resiprok

Kalimat  ini  predikatnya  terdiri  dari  kata golongan verbal yang termasuk golongan kata kerja  yang  resiprok  (2001  :  136).  Contoh: Bocah  loro  balang-balangan  watu ‘Dua anak saling melempar batu’.

Berdasarkan klasifikasi kalimat di atas, maka dalam penelitian ini akan difokuskan pada kalimat verbal  dan  kalimat  tunggal.  Hal ini  berdasarkan bentuk verba pengisi predikat yang terdapat pada kalimat  serta  banyaknya  klausa  yang  terdapat dalam suatu kalimat.

3. Struktur Sintaksis

Struktur adalah pengaturan pola-pola secara sintagmatis  atau  dapat  juga  diartikan  sebagai perangkat unsur yang di antaranya ada hubungan yang bersifat ekstrinsik (Harimurti Kridalaksana, 2001: 203). Menurut Sudaryanto struktur sintaksis meliputi bentuk, fungsi, kategori, dan peran (1983: 13-14).  a. Bentuk Bentuk adalah penampakan satuan bahasa atau rupa/wujud dari satuan gramatikal. Bentuk dibedakan  menjadi  lima  yaitu:  bentuk  asal, bentuk dasar, bentuk kata, bentuk bebas, dan bentuk terikat (Harimurti Kridalaksana, 2001: 28-20).  Bentuk  asal  atau underlying  form adalah  satuan  dasar  yang  dianggap  sebagai dasar  untuk  membentuk  atau  menurunkan seperangkat satuan/variasi dari sebuah satuan yang lebih besar. Bentuk dasar atau base form merupakan  bentuk  satuan  morfemis/morfem yang paling umum dan tidak terbatas. Bentuk kata  atau word  form  merupakan  ujud  kata tertentu  yang  mengisi  fungsi  tertentu  dalam paradigma. Bentuk bebas atau free form yaitu

(5)

bentuk bahasa  yang dapat berdiri  sendiri dan bermakna jelas, serta bentuk terikat atau bound form  merupakan  bentuk  bahasa  yang  harus bergabung  dengan  unsur  lain  dengan  makna jelas.  Di  dalam  penelitian  ini  akan  dibahas mengenai  bentuk  kata  berupa  bentuk  dasar, bentuk bebas, dan  bentuk terikat  yang secara morfologis  digolongkan  ke  dalam  bentuk monomorfemis dan polimorfemis. Suatu bentuk dikatakan monomorfemis apabila dalam sebuah kata terdiri atas satu morfem saja, berasal dari kata  Yunani monos  ‘sendiri’. Apabila  dalam suatu kata terdiri atas lebih dari satu morfem disebut polimorfemis, berasal dari kata Yunani polys ‘banyak’ (Verhaar, 1992: 54).

b. Fungsi

Fungsi  secara  sintaktis  diartikan  sebagai hubungan antara unsur-unsur bahasa dilihat dari sudut  pandang  penyajiannya  dalam  ujaran (Harimurti Kridalaksana,  2001: 62).  Ciri-ciri fungsi sintaksis adalah urutan kata/frase dalam kalimat,  mengacu  ke  tugas  unsur  sintaksis, peran sebuah unsur dalam satuan sintaksis yang lebih luas yaitu struktur kalimat. Fungsi bersifat rela sional,   adanya   fungsi  yang  satu berhubungan dengan fungsi yang lain. Bagian fungsi terdiri atas subjek, predikat, objek, dan keterangan.  Di  dalam  bahasa  Jawa  subjek disebut jejer,  predikat  disebut wasesa,  objek disebut  lesan,  da n  ketera ngan  disebut panerang (Sry Satriya Tjatur Wisnu Sasangka, 2008: 143-149).

i. Subjek/jejer adalah bagian klausa berwujud nomina  atau  frase  nomina  yang  menandai apa yang dikatakan oleh pembicara. Contoh dalam  klausa Bapak  tindak  kantor.  Di

dalam  klausa  tersebut, Bapak  berfungsi sebagai subjek/jejer. Ciri-ciri subjek adalah biasa di depan P, tidak  berupa kata tanya, dapat diuji dengan kata tanya “siapa”, bagian klausa berwujud nomina.

ii. Predikat/wasesa adalah bagian klausa yang mena ndai  apa   yang  dikatakan  oleh pembicara  tentang  subjek,  contoh  dalam klausa Bapak tindak kantor. Bagian yang berfungsi  sebagai  predikat/wasesa  dalam klausa tersebut adalah kata tindak. Ciri-ciri predikat yaitu: predikat harus mengandung unsur  verba,  unsur  inti  dalam  satuan gramatikal, lebih bersifat wajib dalam pola kalimat dasar, dibatasi jeda longgar. iii. Objek/lesan adalah nomina atau kelompok

nomina  yang  melengkapi  verba-verba tertentu  dalam  klausa,  contoh: Bapak tindak kantor.  Bagian  yang  berfungsi sebagai objek/lesan dalam kalimat tersebut adalah  kata kantor  yang  berupa  nomina. Adapun ciri-ciri objek  yaitu: dilihat dari P-nya aktif atau transitif dengan afiks {- ke, -ake, -i, pa-}, objek bisa jadi S pada kalimat pasif  dengan  P  berimbuhan  {dak-,  kok-, di-,  -a,  -na,  -ana}.

iv.  Keterangan/panerang  adalah  kata  atau kelompok  yang  dipakai  untuk  meluaskan atau membatasi makna subjek atau predikat dalam klausa, contoh: Aku lunga neng toko. Bagian yang berfungsi sebagai keterangan dalam  kalimat  tersebut  adalah neng toko yang  berupa  nomina.  Ciri-ciri  keterangan adalah (1) keberadaannya bebas dan tidak harus  ada  dalam  kalimat,  (2)  apabila keberadaan keterangan dalam suatu kalimat

(6)

dihilangkan maka tidak akan mempengaruhi kegramatikalan kalimat, (3) di dalam suatu kalimat, keterangan dapat menempati awal kalimat, akhir kalimat, atau diantara subjek dan predikat. c. Kategori Kategori secara umum diartikan sebagai: (1) bagian  dari  suatu  sistem  klasifikasi;  (2) golongan  satuan  bahasa  yang  anggotanya mempunyai perilaku sintaksis dan memiliki sifat hubungan yang sama. Jenis kategori dibedakan menjadi 3 macam yaitu: (1) kategori gramatikal yaitu  golongan  satuan  bahasa  yang  dibeda-bedakan  atas  bentuk,  fungsi,  dan  makna;  (2) kategori leksikal yaitu golongan satuan bahasa yang diungkapkan  dengan  morfem  bebas; (3) kategori sintaksis yaitu golongan yang diperoleh suatu satuan bahasa sebagai akibat hubungan dengan  kata  lain  dalam  konstruksi  sintaksis (Harimurti Kridalaksana, 2001: 101). Kategori bersifat  sistemik,  artinya  verba  tidak  harus dihubungkan dengan kategori. Kategori dalam bahasa Jawa terdiri atas: nomina/kata benda, verba/kat a  kerja, adjektiva/ka ta  sifat, numeralia/kata  bilangan, pronomina/kata ganti, interjeksi/kata  seru, adverbia/kata tambah, dan kata tugas (Sudaryanto, 1992: 70-73). Berikut ini penjelasannya.

i.  Nomina/kata benda adalah kelas kata yang biasanya  dapat  berfungsi  sebagai  subjek atau objek dari klausa, kelas kata ini sering berpadanan dengan orang, benda, atau hal lain  yang  dibedakan.  Contoh: Adhik  tuku buku  ‘Adik  membeli  buku’.  Bagian  yang berkategori sebagai nomina dalam kalimat tersebut adalah kata adhik dan buku . Ciri-ciri  kelas  nomina/ kata  benda  secara

morfologis dapat dilihat apabila suatu kata dapat digabung dengan morfem terikat:  ka-,  ka-anka-,  pa-ka-,  pi-ka-,  pa  N-ka-,  pa-anka-,  pa  N-an, -an.  Ciri-ciri  sintaksis  kelas  kata  benda yaitu: (1) dalam bentuk ingkar/negatif kata tersebut dapat didahului oleh dudu ‘bukan’, misalnya dudu  kursi  dan  sebagainya  ;  (2) dalam  suatu  sintaksis  kata  tersebut  dapat menduduki  urutan  pertama  dalam  sebuah kalimat  inti  dan  berfungsi  sebagai  subjek (Soepomo Poedjosoedarmo, 1979: 77). ii.   Verba/kata  kerja  adalah  kata  yang  bisa

mengikuti  gatra  yang  diisi  dengan  L  atau lingga. Contoh: Bapak nandur pari ‘Ayah menanam  padi’.  Bagian  yang  berkategori sebagai verba dalam kalimat tersebut adalah kat a  nandur  ‘menanam’.  Menurut Soepomo  Poedjosoedarmo  dalam  Sujono dan  Sumarla m  verba /kata  kerja menunjukkan  ciri-ciri  fraseologis  atau sintaksis yaitu: (1) kata kerja dapat diikuti kelompok  kata  tugas  yang  didahului  kata karo, (2) untuk membentuk kalimat ingkar/ negatif digunakan kata ora, (3)  kata kerja menduduki urutan kedua dalam pola dasar kalimat inti (1996 : 57).  Ciri-ciri kelas verba/ kata  kerja  secara  morfologis  dapat  dilihat apabila suatu kata dapat digabung dengan morfem  terikat  : -i,  -ake,  -a,  -ana,  -na, tak-,  di-,  -en.

iii.   Adjektiva/kata  sifat  adalah  kata  yang menerangkan  kata  benda.  Contoh: Andi bocah males ‘Andi  anak  malas’.  Bagian yang  berkategori  sebagai  adjektiva  dalam kalimat  tersebut  adalah males  ‘malas’. Adapun  ciri-ciri  morfologis  menurut Soepomo  Poedjosoedarmo  dalam  Sujono

(7)

dan Sumarlam (1996 : 57) yaitu: (1) bentuk ke-D-en  seperti  pa da kegampangen, kepinteren,  (2)  kata  sifat  selalu  dapat mengalami  proses  pergantian  suara  untuk menyatakan intensifikasi sifat kata tersebut , (3) kata sifat dapat diketahui berdasarkan ciri sintaksis, seperti nampak jelas pada slot-slot berikut. Kata benda  + ...  + banget Kata benda  + ...  + dhewe Kata benda + luwih + .... Kata benda + rada + ...

iv. Numeralia/kata bilangan adalah kata yang menunjukkan  bilangan  atau  kuantitas. Contoh: Telu  pitik  ireng  ‘tiga  ekor  ayam hitam’. Di dalam frasa tersebut, bagian yang menujukkan numeralia  adalah  kata telu ‘tiga’.  Ciri-ciri  sintaksis numeralia  (kata bilangan)  yaitu:  (1)  menunjukkan  suatu jumlah, tingkatan, atau urutan dan jika ditulis secara grafis dapat dipergunakan angka, (2) memodifikasi kata benda dalam hal jumlah, tingkatan atau urutannya, (3) dapat terletak di depan atau di belakang kata benda yang dimodifikasi  (Soepomo  Poedjosoedarmo, 1979: 145). Ciri-ciri morfologis numeralia (kata bilangan) dapat dilihat apabila suatu kata menunjukkan jumlah atau urutan dapat bergabung  dengan  morfem: -ng,  -q,  -las-, likur, ka- (Soepomo Poedjosoedarmo, 1979: 145).

v.   Pronomina/kata  ganti  adalah  kata  yang menggantikan nomina  atau  frase nomina. Contoh  : Bocah  enom  kuwi  dadi  direktur perusahaan  iki, dheweke  sregep  banget ‘Anak muda itu menjadi direktur perusahaan

ini,  ia  sangat  aktif.’  Kata dheweke ‘ia’ dalam kalimat tersebut berkategori sebagai pronomina.

vi.   Interjeksi/kata  seru  adalah  bentuk  yang tak  dapat  diberi  afiks  dan  yang  tidak mempunyai  dukungan  sintaksis  dengan bentuk  lain,  dan  yang  dipakai  untuk mengungkapkan  perasaan.  Contoh: Ah  ! Angel  banget  soal  iki  ‘Ah  !  Sulit  sekali soal  ini’.  Kata ah  dalam  kalimat  tersebut berkategori  sebagai interjeksi.

vii.   Adverbia/kata  tambah  adalah  kata  yang dipakai untuk memerikan verbaadjektiva, misalnya: sangat, tidak, lebih, dan lain-lain. Di dalam bahasa Jawa sejajar dengan kata banget,  ora,  luwih.  Penanda  morfologis adverbia antara lain: L, DL/DL semu-an, DP-anDL-anke-an,  -ike-enke-DL, N-.  Ciri  sintaksis adverbia  yaitu  (1) adverbia  dapat  mengikuti  kata  kerja  dan kata sifat, (2) dapat diberi modifikasi oleh adverbia  lain  seperti rada  ‘agak’, luwih ‘lebih’, banget ‘sekali’, dhewe ‘sendiri’. viii.    Kata  tugas  adalah  kata  yang  terutama

menyatakan  hubungan  gramatikal  yang tidak  dapat  bergabung  dengan  afiks  dan tidak mengandung makna leksikal, misalnya preposisikonjungsi,  dan pronomina.

d. Peran

Peran  secara  sintaktis  diartikan  sebagai hubungan  antara  predikator  dengan  sebuah nomina  dalam  proposisi  (Harimurti Kridalaksana,  2001:  168).  Peran  bersifat relasional  dan  struktural.  Selain  itu,  peran berkaitan dengan  bentuk dan  makna. Macam peran dibagi  atas  peran  konstituen pusat  dan

(8)

peran konstituen pendamping. Peran konstituen pusat terdiri dari peran aktif, peran pasif, peran resiprokal,  da n  pera n  refleksif.  Peran konstituen  pendamping  terdiri  atas  peran agentif,  objektif,  reseptifbenefaktiffaktor, targetlokatifkompanional,  dan instrumental  (Sudaryanto,  1992:  142-153). Berikut ini penjelasannya.

i. Peran aktif adalah peran yang menyatakan tindakan aktif. Contoh: Adhik nyapu latar ‘adik    menyapu  halaman’.  Kata nyapu ‘menyapu’  da lam  kalimat  tersebut menunjukkan tindakan aktif.

ii. Peran pasif  adalah  peran  menyatakan tindakan  pasif.  Contoh: Latar disapu adhik ‘halaman disapu adik’. Kata disapu ‘disapu’  dalam  kalimat  tersebut menunjukkan tindakan pasif.

iii.  Peran resiprokal adalah  peran  yang menyatakan  ketimbal-balikan  tindakan atau  kesalingan. Contoh: Dheweke  jiwit-jiwitan  karo  kancane  ‘Dia  cubit-cubitan dengan  temannya’.  Kata jiwit-jiwitan ‘cubit-cubita n’  menunjukkan  peran resiprokal.

iv.  Peran  refleksif  adalah  peran  yang menyatakan tindakan yang mengenai atau dinikmati  oleh  yang  bertindak  sendiri. Contoh: Ani adus  neng  kali  ‘Ani  mandi di  sungai’.  Kata  adu s ‘mandi’ menunjukkan  peran refleksif.

v.  Peran  agentif  adalah  peran  yang mena mpilkan  perbuat an  atau  yang menyebabkan suatu kejadian. Contoh: Ali tuku buku ‘Ali membeli buku’. Di dalam

kalimat tersebut Ali berperan sebagai agen atau pelaku.

vi.  Peran  objektif  adalah  peran  yang menampilkan objek. Contoh: Ani mangan sega ‘Ani  makan nasi’.  Kata sega  ‘nasi’ dalam kalimat tersebut menunjukkan peran objektif.

vii.  Pera n reseptif    ada lah  peran  yang menyatakan  subjek  mengalami  keadaan psikologis dari P. Contoh: Aku tiba ‘Aku jatuh’.  Di  dalam  kalimat  tersebut Aku menunjukkan  peran reseptif.

viii.  Peran benefaktif  adalah  peran  yang menyatakan  perbuatan  yang  dilakukan untuk  orang  lain.   Contoh:    Aku

mbukakake  lawang kanggo adhikku

‘Aku membukakan pintu untuk adikku’. ix. Pera n  fakt or  adalah  peran  yang

menyatakan  faktor  atau  sebab.  Contoh: Rambu te nutupi   rai  ‘Rambutnya menutupi  muka’.  Ka ta  rambute ‘rambutnya  ‘dalam  kalimat  tersebut menunjukkan  peran faktor.

x. Pera n  target  adalah  peran  yang menyatakan sasaran yang ingin dicapai dari suatu perbuatan. Contoh: Dheweke golek gaweyan  ‘dia  mencari  pekerjaan’.  Kata gaweyan  ‘pekerjaan’  dalam  kalimat tersebut  menyatakan target.

xi.  Peran  lokatif  adalah  peran  yang menunjukkan tempat. Contoh: Ibu tindak pasar ‘Ibu  pergi  ke  pasar’.  Di  dalam kalimat tersebut pasar menunjukkan peran lokatif.

(9)

xii.    Peran kompanional  adalah  peran  yang menyatakan kesertaan. Contoh: Adi dolan karo kancane  ‘Adi  bermain  dengan temannya’.  Kata karo kancane  dalam kalimat  tersebut  menunjukkan  peran kompanional.

xiii.  Peran instrumental  adalah  peran  yang menyatakan alat. Contoh: Dewi gelangan karet‘Dewi bergelang karet’. Kata karet berperan instrumental.

4. Makna

Slamet  Mulyana  menuturkan  bahwa  sebagai unit terkecil dari perbendaharaan sebuah bahasa, kata mengandung dua aspek bentuk/ekspresi dan aspek isi/makna. Bentuk/ekspresi adalah segi yang dapat  diserap  pancaindra  sedangkan  aspek  isi/ makna  adalah  segi  yang  menimbulkan  reaksi karena  aspek  bentuk  tadi  (1964  :  42).  Bentuk adalah kata atau tanda bunyi filosofis, sedangkan isi  adalah  reaksi  yang  timbul  berupa  gagasan. Apabila tanda linguistik itu disamakan dengan kata maka berarti makna adalah pengertian atau konsep yang dimiliki oleh setiap kata. Menurut Harimurti Kridalaksana  makna  memiliki  pengertian:  1) maksud pembicaraan; 2) pengaruh satuan bahasa dalam pemahaman persepsi atau perilaku manusia; 3)  hubungan  dalam  arti  kesepadanan  atau ketidaksepadanan antara bahasa dan alam di luar bahasa,  atau  antara  ujaran  dan  semua  hal  yang ditunjuknya;  4)  cara  menggunakan  lambang-lambang bahasa (2001 : 132).

Berdasarkan pengertian  makna di  atas, dapat disimpulkan  bahwa  makna  adalah  cara menggunakan lambang bahasa yakni pengeluaran gagasan  berupa  pengertian  yang  dimiliki  oleh lambang  bahasa  tersebut.  Pengertian  yang  telah

dikeluarkan  dapat  digunakan  untuk  mengetahui maksud  pembicara.

Guna  menunjang  keperluan  analisis,  ada  dua macam jenis makna yang diperlukan yaitu makna leksikal  dan  makna  gramatikal.  Pengertian  dari kedua makna itu sebagai berikut:

a. Makna Leksikal

Makna leksikal adalah makna unsur-unsur bahasa sebagai lambang benda, peristiwa, dan lain-lain.  Makna  leksikal  ini  dipunyai  unsur-unsur  bahasa  lepas  dari  penggunaannya  atau konteksnya  (Harimurti  Kridalaksana,  2001: 133).  Menurut Abdul  Chaer  makna  leksikal adalah  makna  yang  dimiliki  atau  ada  pada leksem meski tanpa konteks apa pun, dapat juga dikatakan bahwa makna leksikal adalah makna yang  sebenarnya,  makna  yang  sesuai  dengan hasil observasi  indra atau makna  apa adanya (1994 : 189). Makna lesikal menurut Sry Satriya Tjatur Wisnu Sasangka adalah makna sebuah kata ketika kata itu masih berdiri sendiri atau ketika kata itu masih bebas (2001 : 199). Makna leksikal tidak tergantung dengan kalimat sebab makna leksikal sebuah kata dapat dilihat dalam kamus. Berdasarkan pengertian tersebut dapat disimpulkan  bahwa  makna  leksikal  adalah makna sebenarnya dari suatu kata ketika kata tersebut masih berdiri sendiri dan belum terikat dengan unsur yang lain. b. Makna Gramatikal Makna gramatikal adalah hubungan antara unsur-unsur bahasa dalam satuan-satuan yang lebih  besar  (Harimurti  Kridalaksana,  2001  : 132).  Menurut  Sry  Satriya  Tjatur  Wisnu Sasangka,  makna  gramatikal  adalah  makna suatu  kata  dalam  sebuah  kalimat.  Artinya

(10)

makna suatu kata  harus dihubungkan dengan kalimatnya  (2008  :  200),  sedangkan  makna gramatikal  menurut Abdul Chaer adalah makna suatu kata yang timbul karena adanya proses gramatikal  seperti  afiksasi,  reduplikasi, komposisi atau pengulangan kata. Komposisi berupa  penggabungan  kata,  dan  kalimatisasi berupa pemakaian kata dengan kata, frase atau klausa  menjadi  sebuah  kalimat  (1994  :  290). Berdasarkan  pengert ian  ter sebut  dapat disimpulkan bahwa makna  gramatikal adalah makna  suatu  kata  yang  sudah  mengalami proses gramatikal dan terangkai dalam sebuah kalimat.

5. Verba

Verba  adalah  semua  kata  yang  menyatakan perbuatan atau laku (Gorys Keraf, 1984: 64). Verba menurut Harimurti Kridalaksana adalah kelas kata yang  biasanya  berfungsi  sebagai  predikat  yang tidak mungkin berpotensi untuk diawali dengan kata ‘lebih’  (2001  :  226).  Verba  menurut  Soepomo Poedjosudarmo  dkk.  adalah  jenis  kata  yang menunjukkan  tindakan  atau  perbuatan  suatu makhluk  (1979  :  22).  Wedhawati,  dkk. mendefinisikan verba sebagai kategori kata yang menyatakan  perbuatan,  peristiwa  atau  keadaan yang secara  dominan  menduduki fungsi predikat (1990  :  7).  Verba  menurut  Ramlan  adalah  kata-kata   pada  ta taran  klausa  ya ng  cenderung menduduki predikat dan pada tataran frasa dapat dinegatifkan dengan kata ‘tidak’ (2001 : 49). Berdasarkan beberapa pengertian di atas, dapat disimpulkan bahwa verba termasuk kelas kata yang menyatakan perbuatan, berfungsi sebagai predikat dalam kalimat, tidak berpotensi diawali dengan kata

‘lebih’ atau “luwih” dalam bahasa Jawa, dan dapat dinegatifkan dengan kata ‘tidak’atau “ora” dalam bahasa  Jawa.

Seca ra  sinta ktis  verba  ada lah  kategori keterangan  gramatikal  yang  mempunyai  ciri-ciri sebagai berikut.

a Verba  dapat  diingkarkan  dengan  kata  ’tidak’ yang sejajar dengan kata “ora dalam bahasa Jawa,  tetapi  tidak  dapat  diingkarkan  dengan kata   ’bukan’  yang  sejajar  dengan  kata “dudu”dalam  bahasa  Jawa.

b Verba  tidak  dapat  berangkai  dengan  kata ’paling’  yang  sejajar  dengan  kata  “dhewe” dalam bahasa Jawa sebagai makna superlatif. Jadi tidak ada bentuk seperti: ngimpi dhewe. c Verba memiliki fungsi utama sebagai predikat

atau  inti  predikat  di  dalam  kalimat  meskipun pula mempunyai fungsi lain.

d Verba  aksi/verba  yang  mengandung  makna perbuatan atau tindakan tidak dapat berangkai denga n  kata  yang  menyatakan  makna ‘kesangatan’  yang  sejajar  dengan  kata “banget”  dalam  bahasa  Jawa.  Jadi  tidak  ada bentuk  seperti: mulih  banget.

e Verba  aksi  dapat  diikuti  fungsi  sintaksis keterangan yang didahului kata ‘dengan’ yang sejajar  dengan  kata  “karo”  atau  “kanthi” dalam  bahasa  Jawa.

f Verba  aksi  dapat  dijadikan  bentuk  perintah, sedangkan  verba  proses  dan  keadaan  tidak, misalnya: sinau !  tetapi  tidak  ada  bentuk ngimpi ! (Ramlan, 2001: 67).

(11)

Secara  morfologis  verba  mencakup  kategori-kategori sebagai berikut.

a Kategori D dengan kemungkinan duplikasinya. b Kategori N-D (baik berpasangan dengan di-D maupun  tidak), N-D-i,  N-D-ake,  masing-masing dengan kemungkinan duplikasinya. c Kategori  di-D,  di-D-ake,  di-D-i,  dan

kemungkinan duplikasinya.

d Kategori tak-D,  i,  ake,  tak-D-e,  tak-D-antak-D-e,  tak-D-ntak-D-e,  i,  kok-D-ake.

e Kategori ka-D,  ka-D-an,  K-D-ake,  D,  in-D-ake, dan kemungkinan duplikasinya. f Kategori  D-en,   D-ana,  D-na,  dan

kemungkinan duplikasinya  (Edi Subroto,  dkk 1994: 20).

Pada   umumnya  verba  bahasa  Jawa diklasifikasikan menjadi dua kelas, yaitu:

a. Verba kelas  I

Verba  kelas  I  adalah  verba  yang  terdapat dalam  kategori N-D  yang  diperkirakan  dapat berpasangan  dengan di-D.  Contoh  : mangan berpasangan  dengan dipangan.

b. Verba Kelas  II

Verba  kelas  II  yaitu  verba  yang  terdapat dala m  kategori  N-D  yang  tidak  dapat berpasangan  dengan di-D.  Contoh: mbadhut tidak dapat berpasangan dengan *dibadhut (Edi Subroto dkk., 1994: 22).

Berdasarkan  dua  klasifikasi  verba  tersebut, secara  umum  verba  antipasif  dapat  dimasukkan ke dalam golongan verba kelas II.

PEMBAHASAN

Pembahasan  mengenai  bentuk,  fungsi  dan peran verba lokatif dalam kalimat tunggal bahasa Jawa akan dibahas secara besamaan. Bentuk verba lokatif berkaitan dengan bidang morfologis yang digolongkan ke  dalam  bentuk  monomorfemis  dan  polimorfemis. Fungsi dan peran verba lokatif ada kaitannya dengan argumen  yang  mendampingi  dalam  satu  bentuk kalimat. Fungsi merupakan hubungan antara unsur-unsur  bahasa  dalam  ujaran,  sedangkan  peran merupakan  hubungan  predikator  dengan  sebuah nomina. Pada data berikut ini akan dibahas mengenai bentuk, fungsi dan peran yang mampu ditempati verba lokatif dalam kalimat sebagai berikut.

(3) Simbah  nembe  sare.      ‘Simbah baru tidur.’

Verba sare  ‘tidur ’  mengandung  nomina instrumen, sesuatu tempat yang digunakan untuk tidur yaitu di kamar tidur. Dengan itu, verba lokatif tersebut bersifat inheren (jenis nomina lokatif sudah tercermin di  dalam  verbanya).  Akan  tetapi,  nomina  yang mengikutinya bersifat takintrinsik, artinya, nomina itu bersifat longgar (tidak ketat). Ketidakketatan nomina itu ditandai dengan dapatnya bermacam-macam jenis lokatif  yang  mampu  mengikuti  verbanya.  Namun demikian,  meskipun  nomina  itu  bermacam-macam, jenis  nomina  itu  masih  di  dalam  satu  wadah kehiponiman. Dengan demikian, nomina lokatif pada kalimat  (3)  bersifat  takintrinsik.  Verba sare  ‘tidur’ pada   data  (3)  secara   morfologi  berbentuk monomorfemis.

Data  (3)  merupakan  kalimat  tunggal  yang mengandung verba lokatif monomorfrmis berupa kata sare ‘tidur,’ dengan struktur kalimat:

Simbah/Nom  +   nembe sare/FV.       S      P

(12)

Kata simbah dalam kalimat tersebut menempati fungsi  S,  dan nembe  sare      ‘baru  tidur’  menempati fungsi  P. Adapun  kategori  yang  menempati  kalimat (3)  adalah simbah sebagai  nomina, dan nembe  sare ‘baru tidur’ berupa frase  verba.  Peran verba lokatif kalimat  (3)  adalah  refleksif.  peran  argumen pendamping  adalah  kata simbah  sebagai  agentif. Makna gramatikal Simbah nembe sare adalah suatu tindakan  kondisional  (keadaan)  yang  mengenai  dan atau dimanfaatkan atau dinikmati oleh pelaku (agen).

(4) Budhe  nembe  tandur.

     ‘Budhe baru menanam (padi).’

Verba lokatif tandur ‘menanam’ pada kalimat (4)  bersifat  inheren,  a rtinya  verba  itu  sudah mengandung nomina lokatif, yaitu di sawah. Dengan demikian, verba tersebut tanpa diikuti nomina lokatif pun tetap eksis sebagai verba lokatif. Selain itu, verba tersebut  membangun  relasi  lokatif  secara  intrinsik, artinya arah relasi ke dalam verba itu. Verba tandur ‘menanam’ pada data (4) secara morfologi berbentuk monomorfemis.

Data  (4)  merupakan  kalimat  tunggal  yang mengandung verba lokatif monomorfrmis berupa kata tandur ‘menanam,’ dengan struktur kalimat:

Budhe/N     +    nembe tandur/Frase Verba.      S      P

Kata Budhe dalam kalimat tersebut menempati fungsi  S,  dan nembe  tandur    ‘baru  menanam’ menempati fungsi P. Adapun kategori yang menempati kalimat (3) adalah Budhe sebagai nomina, dan  nembe tandur   ‘baru  menanam’  berupa  frase verba.  Peran verba lokatif kalimat (4) adalah aktif. Peran argumen pendamping  adalah  kata Budhe  sebagai  agentif. Makna  gramatikal Budhe  nembe  tandur   adalah suatu tindakan aktif yang dilakukan oleh pelaku (agen).

(5) Saiki  dheweke  wis  kuliyah.

     ‘Sekarang dia sudah bersekolah (di perguruan tinggi).’

Verba kuliyah  ‘bersekolah’  mengandung nomina  instrumen,  sesuatu  tempat  yang  digunakan untuk  bersekolah  yaitu  di  sebuah  perguruan  tinggi. Dengan  itu,  verba  lokatif  tersebut  bersifat  inheren (jenis  nomina  lokatif  sudah  tercermin  di  dalam verbanya). Akan  tetapi,  nomina  yang  mengikutinya bersifat takintrinsik, artinya, nomina itu bersifat longgar (tidak  ketat).  Ketidakketatan  nomina  itu  ditandai dengan dapatnya bermacam-macam jenis lokatif yang mampu  mengikuti  verbanya.  Namun  demikian, meskipun nomina itu bermacam-macam, jenis nomina itu masih di dalam satu wadah kehiponiman. Dengan demikian,  nomina  lokatif  pada  kalimat  (5)  bersifat takintrinsik. Verba kuliyah ‘bersekolah’ pada data (5) secara morfologi berbentuk monomorfemis.

Data  (5)  merupakan  kalimat  tunggal  yang mengandung verba lokatif monomorfrmis berupa kata kuliyah ‘bersekolah,’ dengan struktur kalimat:

Saiki/Adv   +     dheweke/Nom  +   wis kuliyah/FV.       Ket       S      P

Kat a  dheweke  dalam  kalimat  tersebut menempati  fungsi  S,  dan kuliyah  ‘bersekolah’ menempati  fungsi  P,  dan  kata saiki  ‘sekarang’ menempati fungsi keterangan. Adapun kategori yang menempati  kalimat  (5)  adalah dheweke  sebagai nomina, kuliyah ‘bersekolah’ berupa verba, dan saiki ‘sekarang  berupa  adverbia.  Peran  verba  lokatif kalimat  (5)  adalah  refleksif.  peran  argumen pendamping  adalah  kata dheweke  sebagai  agentif. Makna gramatikal saiki dheweke wis kuliyah adalah suatu tindakan kondisional (keadaan) yang mengenai dan  atau  dimanfaatkan  atau  dinikmati  oleh  pelaku (agen).

(13)

SIMPULAN

Verba  lokatif  dalam  kalimat  tunggal  bahasa Jawa (kajian struktur sintaksis) dapat dianalisis dari sisi bentuk,  fungsi, dan peran. Bentuk  verba lokatif dalam  kalimat  tunggal  bahasa  Jawa  dapat  berupa monomorfemis  dan  polymorfemis.  Verba  lokatif bahwa  sifat  nomina  lokatif  yang  mengikuti  verba lokatif inheren, bersifat intrinsik; nomina lokatif yang mengikuti verba lokatif takinheren, bersifat takintrinsik. Namun  demikian,  ada  juga  nomina  lokatif  yang mengikuti verba lokatif inheren, bersifat takintrinsik. Nomina  lokatif  intrinsik,  artinya  nomina  tersebut bersifat  ketat,  jelas,  dan  sudah  secara  eksplisit terkandung  dalam  verba  lokatifnya.  Kalimat  yang terdapat  verba lokatif  kebanyakan berpola  S dan  P, dengan fungsi sintaksis verba lokatif berupa predikat dengan  kategori  verba/frase  verba.

DAFTAR PUSTAKA

Abdul  Chaer.  1994. Linguistik  Umum.  Jakarta: Rineka Cipta.

Anton M.  Moeliono.  dkk.  1988. Tata Bahasa  Baku Bahasa  Indonesia.  Jakarta:  Balai  Pustaka. D. Edi Subroto. 1992. Pengantar Metode Penelitian

Linguistik Struktural. Surakarta : Sebelas Maret University  Pers.

Gorys  Keraf.  1984. Tata  Bahasa  Indonesia.  Ende Flores: Nusa Indah.

Harimurti  Kridalaksana.  1990. Kelas  Kata  Dalam Bahasa  Indonesia.  Jakarta:  PT  Gramedia. ...2001. Kamus  Linguistik.  Jakarta :  PT

Gramedia.

Henry Guntur Tarigan. 1984. Prinsip-prinsip Dasar Sintaksis.  Bandung: Angkasa.

Maryono Dwiraharjo. 2004. Kata Kerja  Pasif {di-} dalam Bahasa  Jawa. Jakarta:  WYNT Grafika. M.  Ramlan.  2001. Sintaksis.  Yogyakarta :  CV.

Karyono.

Padmosoekotjo.S.  1987. Paramasastra  Jawa. Surabaya: PT Citra Jaya Murti.

Paina  Part ana.  dkk.  1990.  Sint aksis  Jawa. Surakarta : Universitas Sebelas Maret.

Slamet Mulyana. 1964. Semantik. Jakarta: Mutiara. Sry  Satriya  Tjatur  Wisnu  Sasangka.  2001. Paramasastra  Gagrag  Anyar  Basa  Jawa. Jakarta: Yayasan Paramalingua.

…………..  2008. Paramasastra  Gagrag  Anyar Basa  Jawa.  Jakarta: Yayasan  Paramalingua. Sudaryanto. 1983. Predikat – Objek Dalam Bahasa

Indonesia.  Jakarta:  Djambatan.

...1992. Tata  Bahasa  Baku  Bahasa Jawa.  Yogyakarta :  Duta  Wacana  University Press.

(14)

……… 1992. Metode Linguistik. Yogyakarta : Gadjah Mada University Press.

…………...  1993. Metode  Dan  Aneka  Teknik Analisis  Bahasa.  Yogyakarta:  Duta  Wacana University  Press.

Soepomo  Poedjosudarmo.  dkk.  1979. Morfologi Bahasa  Jawa.    Yogyakarta  :  Pusat  Penelitian Bahasa.

Sujono  dan  Sumarlam.  1996. Morfologi  Bahasa Jawa.  Surakarta:  Sebelas  Maret  University Press.

Verhaar.  J.W.M  1992. Pengantar  Linguistik. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press. Wedhawati.  dkk.  1990. Tipe-tipe  Semantik  Verba

Bahasa Jawa. Jakarta : Departemen Pendidikan dan  Kebudayan.

Referensi

Dokumen terkait

PROGRAM STUDI TEKNIK SIPIL FAKULTAS TEKNIK UNIVERSITAS SEBELAS MARET.. SURAKARTA 2016..

beberapa gejala yang merupakan indikator konsep diri negatif yang banyak muncul pada diri siswa dengan adalah indikator peka terhadap kritik/ mudah marah ketika dikritik,

Hasil Penelitian ini sejalan dengan penelitian Kusumawardhani dan Nugroho (2010) yang menemukan bahwa profitabilitas berpengaruh positif signifikan terhadap earnings

Penulis mempersembahkan tugas akhir dengan judul “ Kemampuan Fraksi Terlarut dan Tidak Terlarut Buah Apel Fuji dan Rome Beauty dalam Pengikatan Kadmium Secara In.. Vitro

Dari perencanaan kebutuhan tersebut dapat digambarkan secara umum sistem yang akan dibuat dengan menggunakan UML, UML yang digunakan adalah UML versi 1.1 dimana

Dalam Kalimat tuturan yang disampaikan oleh penutur berupa kalimat pernyataan yang secara tidak langsung memberi efek kepada mitra tutur untuk melakukan tindakan

Dengan metode yang digunakan dalam proses pembuatan alat yaitu: menentukan/memilih tipe peralatan perkakas yang sesuai untuk digunakan, menentukan proses pembuatan mesin dan

Ilustrasi kecepatan rata-rata seorang siswa yang mengendarai motor dari rumah ke sekolah yang berjarak 10 km dalam waktu 15 menit tersebut diperlihatkan pada grafik