• Tidak ada hasil yang ditemukan

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Peningkatan Nilai Moralitas Siswa Melalui Pembelajaran IPS di SD Negeri Sidomukti 3 Kecamatan Bandungan T2 942008142 BAB II

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Peningkatan Nilai Moralitas Siswa Melalui Pembelajaran IPS di SD Negeri Sidomukti 3 Kecamatan Bandungan T2 942008142 BAB II"

Copied!
36
0
0

Teks penuh

(1)

BAB II

KAJIAN PUSTAKA

2.1

Ilmu Pengetahuan Sosial (IPS)

2.1.1

Hakikat IPS

Di dunia pendidikan kita, Ilmu Pengetahuan Sosial (IPS) dikenal dengan istilah “social studies”. Menurut National Concil For the Social Studies (NCSS) dalam National Caoncil For the Social Studies (NCSSI) (Martorella, 1994: 6), mendefinisikan Ilmu Pengetahuan Sosial sebagai, “Social studies is the integrated study of the social sciences and humanities

to promote civic competence”. Pendidikan sosial

(2)

kultural berbeda di dalam dunia yang saling bekerja sama.

Ilmu pengetahuan sosial haruslah bersifat nyata didalamnya dirumuskan suatu kajian perilaku manusia berkaitan dengan berbagai latar belakang yang melingkupinya secara obyektif, rasional, realistik. Menurut Ellis, (1997:1) “social studies is the study of human beings. The purpose of social studies in the school curriculum is to introduce children to the world of people. Student enter school with random knowledge

and ideas about people”, ilmu pegetahuan sosial

berkaitan dengan manusia yang menempatinya dan interaksi mereka antara yang satu dengan yang lain dan lingkungan mereka berada dan tempat. Dengan demikian IPS dapat dikatakan sebagai disiplin ilmu yang mempelajari manusia sebagai anggota masyarakat (Nursid Sumaatmadja, 1980:7).

Craib (M. Zaini Hasan & Salladin. 1996: 10) menyatakan bahwa yang dimaksud dengan ilmu sosial adalah pengetahuan yang terorganisir mengenai manusia dan masyarakat sekelilingnya. Duffy (M. Zaini Hasan & Salladin. 1996:10) lebih jauh menguraikan ciri-ciri ilmu sosial, antara lain:

1. Ilmu sosial merupakan pengetahuan yang terorganisir yang mengkaji hubungan-hubungan antar manusia.

(3)

terbuka untuk dikaji ulang dengan metoda yang sama.

3. Teori serta konsep pengetahuan ini diperoleh dari kajian ilmiah, melalui tahapan-tahapan masalah/pertanyaan, hipotesis, pengumpulan data, dan menganalisis data setelah diukur tingkat validitas maupun reliabilitasnya.

4. Muara dan kegiatan penelitian di atas dapat digunakan secara generalisasi mendapatkan teori, konsep, hukum maupun dalil dalam pengetahuan sosial.

Dengan rumusan pendapat di atas secara umum dapat disimpulkan bahwa studi sosial pada hakekatnya ialah kajian mengenai manusia dengan segala aspeknya dalam sistem hidup bermasyarakat. Kajian ini dilakukan dalam bentuk pengajaran di sekolah untuk menyiapkan anak didik menjadi warga Negara yang baik, berdasarkan nilai dan kaidah kemasyarakatan yang berlaku (Buchari, Alma. 2003 148-149).

2.1.2 Tujuan IPS

Menurut NCSS (2008: 2) tujuan dari social

studies, adalah “….to help young people make informed

and reasoned decisions for the public good as citizens of a culturally diverse, democratic society in an

interdependent world”. Dari rumusan tersebut dapat

(4)

kemampuan membuat keputusan yang berdasarkan informasi yang rasional sebagai warga Negara secara kultural beragam, dan masyarakat demokratis di dunia yang saling ketergantungan.

Menurut Etin Solihatin (2008: 15) tujuan IPS adalah untuk mendidik dan memberi bekal kemampuan dasar kepada siswa untuk megembangkan diri sesuai dengan bakat, minat, kemampuan dan lingkungannya, serta berbagai bekal bagi siswa untuk melanjutkan pendidikan kejenjang yang lebih tinggi. Sedangkan menurut Buchari Alma (2003: 149) memfokuskan tujuan IPS pada penyediaan pengalaman belajar siswa. Pendapat lain menyebutkan tujuan utama IPS adalah membantu para siswa selaku warga Negara mengembangkan kemampuan critical

thingking agar mampu mengambil keputusan secara

rasioanal dengan dasar informasi yang mencukupi, dan diformulasikan pada permasalahan sosial yang hasilnya tidak hanya bermanfaat bagi diri pribadi dan keluarga tetapi juga berguna bagi masyarakat dan bangsanya sebagai bentuk tanggungjawab seseorang warga dalam masyarakat plural dan demokratis. Menurut Saxe, (1993: 155) dijelaskan bahwa ilmu sosial merupakan “the original formulators of social studies hed in mind the when the emphasis area was intervented in the first two decades of the twentieth

century”. Critical thinking ini juga diperlukan bagi para

(5)

kritik bagi keadaan masyarakat ketika mengambil suatu kebijakan.

Dengan demikian tujuan pendidikan IPS pada hakekatnya adalah untuk mencapai tujuan pendidikan nasional yaitu megembangkan potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman,bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri dan menjadi warga negara yang demokratis dan bertanggung jawab. Serta dapat dimanfaatkan sebagai pengembangan pengetahuan dan keterampilan dasar yang berguna bagi dirinya dalam kehidupan sehari-hari.

2.1.3 Pembelajaran IPS

Menurut Barth, (1990: 28) “Social studies is the interdisciplinary integration of social science and humanities concepts for the purpose of practicing

citizenship skills on critical social issues”. Pendidikan

sosial merupakan pengintegrasian secara interdisipliner dari konsep-konsep ilmu sosial dan umat manusia untuk tujuan mempraktekkan ketrampilan-ketrampilan kewarganegaraan dan isu-isu sosial kritis lainnya.

Untuk mewujudkan konsep IPS sebagaimana tersebut di atas maka setiap guru yang mengajar IPS harus menerapkan prinsip sebagai berikut:

(6)

2. Ketepatan, Rumusannya harus tepat, sehingga tidak memberi peluang bagi penafsiran yang salah (salah konsep).

3. Mudah dipelajari, artinya harus dapat disajikan dengan mudah, fakta dan contohnya harus terdapat dilingkungan hidup siswa.

4. Kegunaan, konsep tersebut haru benar-benar berguna bagi kehidupan dalam masyarakat. (Buchari Alma, 2003: 155)

Menurut para ahli ada beberapa cara untuk mempelajari konsep, khususnya konsep IPS yaitu, dengan menggunakan strategi pembelajaran terpadu, yaitu dengan memadukan berbagai disiplin ilmu mulai dari geografi, ekonomi, antropologi, politik, psikologi sosial, dan sejarah, kedalam suatu tubuh yang dinamakan IPS.

2.1.4 Ruang Lingkup IPS

Menurut Depdiknas (2006: 575) ruang lingkup mata pelajaran IPS meliputi aspek-aspek sebagai berikut: 1) Manusia, tempat dan lingkungan.2) Waktu, keberlanjutan, dan perubahan. 3) Sistem sosial dan budaya, serta 4) Perilaku, ekonomi, dan kesejahteraan.

(7)

lingkungan dan Tuhan, membuat kajian ini sangat kaya dengan sikap, nilai, moral, etika, dan perilaku. Penyadaran nilai melalui IPS sering dihadapkan pada persoalan dinamika dan probabilitas nilai yang berubah-ubah, oleh karena itu mata pelajaran IPS dirancang untuk mengembangkan pengetahuan, pemahaman dan kemampuan analisis terhadap kondisi sosial masyarakat dalam memasuki kehidupan bermasyarakat yang dinamis (Depdiknas. 2006: 575)

Ilmu sosial merupakan disiplin ilmu yang mengkaji perilaku manusia dalam beragam bentuknya. Disiplin ilmu ini meliputi sejumlah cabang disiplin ilmu seperti: psikologi, geografi, ekonomi, politik sosiologi dan antropologi. Sedangkan ilmu pendidikan sebagai disiplin ilmu yang mengambil keunggulan (per excellence) dari enam ilmu sosial merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari kerajinan ilmu sosial itu sendiri.

2.2 Pendidikan Nilai Moralitas

(8)

bangsa dan negara yang mencerminkan urgensi pendidikan nilai bagi masyarakat dan bangsa Indonesia dalam mentransformasikan dan menanamkan nilai-nilai tersebut. Pendidikan berperan penting dalam penanaman nilai-nilai moral sebagai fondasi untuk kegiatan kemasyarakatan seperti dialog budaya dan agama dari berbagai. Kelompok. Peran dunia pendidikan dalam proses penanaman nilai bukan sekedar kerangka teoritis tetapi lebih diharapkan sebagai aktivitas praktis yang nyata. Hal ini dipandang sebagai filosofi pendidikan nilai dalam penyelenggaran pendidikan formal. Konsep pendidikan nilai tersebut teritegrasi ke dalam beberapa hal yang sebagaimana yang dikatakan oleh beberapa ahli berikut.

2.2.1 Batasan Nilai Moralitas

(9)

tidak adil”, 4) nilai agama atau nilai religius, yaitu nilai yang berkenaan dengan “sah dan absah”.

Batasan lainnya nilai juga dianggap sebagai konsepsi, keyakin atau standar tingkah laku yang berfungsi untuk mempertimbangkan semua tindakan. Menurut pandangan ini, nilai berarti value yang merupakan pedoman bagi seseorang untuk bertindak atau melakukan sesuatu perbuatan. Di mana nilai secara normatif dapat mempengaruhi manusia dalam menentukan pilihannya diantara cara-cara tindakan yang alternatf (Rohmad Mulyana, 2004: 9).

Dalam sebuah laporan yang ditulis oleh A Club

of Rome (Rohmad Mulyana, 2004: 8), nilai

(10)

secara tegas antara nilai sebagai kata benda abstrak dengan cara perolehan nilai.

Nilai ada dua jenis: nilai moral dan tidak moral. Nilai moral seperti kejujuran, tanggung jawab, dan kejujuran untuk menepati janji. Kami harus meras kewajiban untuk menepati suatu janji, membayar hutang menjaga anak-anak dan adil dalam perjanjian dengan orang lain. Nilai moral mengajarkan kita kepada tentang apa yang harus kita lakukan. Kita harus patuh dengan hal tersebut walau kita tidak merasa.

Menurut Gordon (Rohmad Mulyana, 2004: 9) nilai adalah keyakinan yang membuat seseorang bertindak atas dasar pilihannya. Definisi ini memiliki tekanan utama pada norma sebagai faktor eksternal yang mempengaruhi perilaku manusia. Gordon memandang norma sebagai salah satu bagian terpenting dari kehidupan sosial, sebab dengan penegakan norma seseorang justru dapat merasa tenang dan terbebas dari segala tuduhan masyarakat yang akan merugikan dirinya. Oleh sebab itu, salah satu bagian terpenting dalam proses pertimbangan nilai (value judgement) adalah perlibatan nilai-nilai normatif yang berlaku di masyarakat.

(11)

lebih luas. Struktul mental manusia dan kebenaran yang merupakan dua sisi unggul dalam nilai agama. Karena itu, nilai tertinggi yang dicapai adalah kesatuan (unity). Kesatuan berarti adanya keselarasan semua unsur kehidupan antara kehendak manusia dengan perintah Tuhan, antara ucapan dan tindakan, atau antara itikad dengan perbuatan dalam kesatuan filsafat hidup, diantara kelompok manusia yang memiliki orientasi kuat terhadap nilai seperti para nabi, imam, atau orang-orang yang shaleh.

Nilai yang terdapat pada nilai sosial adalah kasih sayang antar manusia yang satu dengan yang lain. Karena itu kadar nilai ini bergerak pada rentang kehidupan yang idividualistik dengan alturistik. Sikap untuk tidak berpraduga jelek terhadap orang lain, sosiabilitas, keramahan, dan perasaan simpati dan empati merupakan perilaku yang menjadi kunci keberhasilan dalam meraih nilai sosial.

(12)

menolong orang lain, dan bersikap kasih sayang terhadap sesama merupakan hal yang tidak tepisahkan dari kehidupan (Rohmad Mulyana, 2003: 34-35).

2.2.2 Konsep Moralitas

Kata moral menurut Bettens (1997: 5) berasal dari bahsa Latin mos (jamak: mores) yang berarti juga: kebiasaan, adat. Dalam bahasa Inggris dan banyak bahasa lain, termasuk bahasa Indonesia, kata mores

masih dipakai dalam arti yang sama. Jadi, secara etimologi kata “etika” sama dengan etimilogi kata “moral”, karena keduanya berasal dari kata yang berarti adat kebiasaan. Hanya bahasa asalnya berbeda: yang pertama berasal dari bahasa Yunani, sedang yang kedua dari bahasa Latin. Sedangkan Lubis, Mawardi (2008: 10) mejelaskan, bahwa:

(13)

Arab-Indonesia, kata “akhlak” berasal dari bahasa Arab klaihiq (jamak: Akhlak), artinya tabiat, budi perketi.

(14)

berubah menjadi kelayakan dan mempribadi menjadi keyakinan.

Keyakinan terhadap nilai-nilai moral akan tampak pada perilaku individu. Dalam kaitan ini, Bentham (Henry Hazliit, 2003: 109) menjelaskan bahwa moralitas merupakan seni memaksimumkan kebahagiaan: ia yang memberi kode hukum yang dengan kode itu perilaku yang dilakukan akan membuahkan hasil, seluruh eksistensi manusia diperhitungkan dengan jumlah berkat yang terbesar. Dari konsep tersebut seseorang dapat dikatakan secara terdidik moral, dapat dilihat dari perilakunya yang tampak dan juga pada alasan-alasan dan sasaran yang ingin dicapai. Dengan demikian, moralitas akan melibatkan pengujian terhadap berbagai sikap, perasaan, dan disposisi-disposisi yang dimiliki.

(15)

anak dengan orang tua dan dengan teman sejawat. Hal ini mendasari pengetahuan dan moralitas anak dalam melaksanakan interaksi sosial, dan memiliki implikasi pada terjadinya hubungan antara individu dengan masyarakat atau kebudayaan. Dalam pembentukan norma-norma moral seseorang melihat saling ketergantungan dengan teman-temannya.

Dalam kajian teori konstruksi sosial ini, ada dua teori yang membahas proses perkembangan moral anak. Teori pertama menekankan pada proses sosialisasi antara anak dengan sistem nilai-nilai pada orang dewasa, yang selanjutnya berkembang menjadi teori konstruksi sosial untuk pekembangan moral anak. Dalam kaitan ini, terjadi keseimbangan antara aktivitas konstruktif anak-anak itu sendiri dan sumbangannya kepada lingkungan sosialnya. Perspektif atau orientasi tersebut menjadikan konsepsi tentang perubahan perkembangan moral anak secara nyata dan berlaku secara universal.

(16)

tahapan ketiga adalah tahapan pertimbangan tentang nilai yang terintegrasi. Atas dasar tahapan ini, maka tidak cukup bagi peserta didik untuk belajar IPS dengan hanya berkisar pada konsep yang verbalistik; atau hanya mengenal sejumlah fenomena, melainkan diperlukan ketajaman analisis terhadap nilai etika dan sikap anak dalam menerima berbagai isu sosial yang muncul dewasa ini.

Nilai moral yang terintegrasi dalam pelajaran IPS dapat berupa intrinsik seperti obyektivitas, rasionalitas, dan kejujuran ilmiah, atau dapat pula nilai dasar moral seperti kepedulian terhadap orang lain, empati, dan kebaikan sosial lainnya. Semua nilai itu penting dalam merancang prioritas penelaahan IPS dalam kehidupan. Untuk itu, nilai-nilai dasar moral yang muncul secara humanistik harus terintegrasi dalam keseluruhan kurikulum IPS, terutama ketika para pendidik berkepentingan untuk menjelaskan nilai-nilai intrinsik. Nilai dasar moral, kebaikan, kepedulian, dan keindahan yang terdapat dalam ajaran agama. Pada sebagian negara yang mengembangkan sistem pendidikan sekuler, dimana urusan keagamaan terpisah dari urusan pemerintah, nilai-nilai serupa juga dikembangkan, tetapi dasar rujukannya hanya sampai pada pertimbangan nilai kebenaran dan keutamaan humanistik.

(17)

didalammnya dan hati nurani (the conscience of man)

di mana dia merupakan sesuatu yang berharga yang dianggap bernilai, adil, baik benar dan indah serta menjadi pedoman dan pegangan diri. Hal ini senada dengan dasar pemikiran yang melandasi pentingnya pendidikan IPS bagi penyadaran nilai dan etika. Menurut I Wayan Koyan (2000: 14), nilai-nilai yang berhubungan dengan “baik atau buruk” adalah merupakan obyek etika.

(18)

Pendidikan nilai moral dalam kaitannya dengan proses pembelajaran tersebut, tentu saja mempunyai arti yang sangat penting khususnya di dalam pembinaan perilaku siswa yaitu agar peserta didik atau siswa setelah mengikuti proses belajar mengajar mendapatkan hasil sebagai manusia yang berkualitas dan berperilaku positif atau berniali baik. Di dalam proses pendidikan nilai, peranan guru, dan keadaan sekolah serta masyarakat akan mempengaruhi tingkah laku guru dan siswa di dalam pencapaian tujuan pembelajaran di sekolah. Oleh karena itu ditinjau dari misi pendidikan nilai moral siswa agar mencapai hasil yang baik, maka unsur kepribadian yang dimiliki oleh guru dan komponen yang terkait lainnya perlu mendapatkan perhatian yang utama. Dalam hal ini sekolah perlu memperhatikan aspek-aspek penanaman nilai-nilai moralitas di dalam proses belajar siswa, baik melalui kegiatan kurikuler dengan cara memasukkan nilai-nilai moral dalam setiap mata pelajaran, maupun melalui kegiatan ekstra-kurikuler seperti ceramah agama, diskusi, dan sejenisnya yang mendukung keberhasilan pendidikan nilai siswa di sekolah.

2.2.3 Tahap Perkembangan Moral

(19)

heterenomous morality, anak cenderung menerima begitu saja aturan-aturan yang diberikan oleh orang-orang yang berkompeten dan aturan-aturan itu dipandang tidak bisa diubah. Oleh karena itu, pada setiap tahap ini disebut juga masa realisme moral. Sedangkan pada tahap otonomi anak sudah menyadari bahwa aturan-aturan itu dibuat oleh orang dan dapat dimodifikasi sesuai dengan situasi dan kondisi yang ada atas dasar kesepakatan bersama dalam kelompok.

Pembagian tahap perkembangan moral itu bersumber pada sikap yang dinyatakan oleh anak-anak yang berbeda usia terhadap sumber aturan, kebenaran, perubahan aturan-aturan dalam pemainan kelereng. Di samping itu, juga dari anggapan anak-anak terhadap cerita-cerita yang telah diketahui dengan baik, dan anak-anak diminta untuk menilai, siapa yang lebih nakal. Misalnya, seorang anak laki-laki yang secara kebetulan memecahkan beberapa cangkir, dan seorang laki-laki yang memecahkan satu cangkir.

(20)

sama. Mereka memutuskan kesalahan atau kebenaran suatu tindakan atas dasar besar-kecilnya akibat-akibat yang ditimbulkannya, dan apakah tindakan-tindakan itu akan dihukum atau tidak. Mereka percaya bahwa keadilan akan lekas datang, seperti misalnya pelanggaran terhadap norma-norma sosial yang diikuti oleh kecelakaan fisik atau ketidak beruntungan yang dikehendaki oleh Tuhan atau oleh suatu objek yang tidak berjiwa.

(21)

menempatkan diri di antara orang-orang lain. Selanjutnya, apa yang dapat dilakukan oleh orang tua atau pendidik untuk memberi kemungkinan bagi perkembangan moral dari heterenomi ke otonomi dalam peraturan-peraturan moral? Heteronomi dan menjadi berkurang ketika anak mendapat pengalaman-pengalaman dalam lingkungan yang memiliki rasa saling hormat-menghormati. Rasa hormat timbal balik ini, sukar diciptakan dalam keluarga, karena adanya hubungan-hubungan yang bersifat positif dan negatif. Dalam hal ini harus ditekankan bahwa keluarga adalah merupakan suatu kelompok kooperatif, yang secara timbal balik menetapkan peraturan-peraturan demi keteraturan di dalam keluarga, yang secara timbal balik berkepentingan, dan terkena sanksi apabila perturan itu dilanggar. Apabila ada pelanggaran atau kesalahan, hendaknya orang tua duduk tenang bersama anak dan membicarakan akibat-akibat tindakannya, dan hal ini akan memancing timbulnya empati. Hal ini sangat esensial bagi perkembangannya rasa hormat yang bersifat timbal balik, dan esensial bagi perkembangan ke arah tahap-tahap yang lebih tinggi dalam perkembangan moral anak.

(22)

dua cara, yaitu: (1) Dalam perkembangan ke arah yang lebih tua, anak itu memiliki kesamaan pandangan yang relatif sama dengan orang-orang dewasa. Anak-anak yang lebih tua akan mengurangi rasa hormatnya, kepada mereka yang lebih muda, dan berlangsung sepihak saja, dan memberikan anak itu keyakinan untuk berpartisipasi dengan teman-teman sejawat dalam hal pengambilan keputusan-keputusan tentang perubahan dan aplikasi aturan-aturan atas dasar kemauan timbal balik.

(23)

pertimbangan-pertimbangan orang lain. Kesalahan, hendaknya orang tua duduk tenang bersama anak dan membicarakan akibat-akibat tindakannya, dan hal ini akan memancing timbulnya empati. Hal ini sangat esensial bagi perkembangannya rasa hormat yang bersifat timbal balik, dan esensial bagi perkembangan ke arah tahap-tahap yang lebih tinggi dalam perkembangan moral.

Dalam hubungan rasa hormat anak-anak kepada peraturan, ada beberapa hal perlu diperhatikan, yaitu: (1) Anak mengembangkan pengertian mengenai tujuan dan asa-usul peraturan itu melalui aktivitas kerjasama. Pada saat anak mulai turut serta dengan teman-temannya dalam permainan yang bersifat kooperatif, ia mulai mengalami hubungan-hubungan yang mengandung rasa saling menghormati, ia melihat bahwa teman-teman sepermainannya itu sama seperti dirinya sendiri, dan ia mengalami bahwa anak lain menaruh hormat kepada dirinya. Sebelumnya, ia hanya mengenal rasa hormat yang unilateral, yaitu rasa hormat yang harus diberikan kepada otoritas orang dewasa. Karena orang itu lebih besar dan lebih kuat, maka anak tidak mengalami adanya unsur timbal balik dalam hubungan itu.

(24)

hormat unilateral atau pembatasan dari orang dewasa inilah yang mengabadikan tahap heteronomi. Peraturan dianggap berasal dari orang-orang dewasa dan dipaksakan oleh mereka, dan hubungan antara anak dengan orang dewasa adalah hubungan rasa hormat, maka dari itu ia patuh. Dalam hubungan dengan teman-teman sejawat, unsur rasa hormat unilateral sudah tidak ada, dan anak-anak berkumpul sebagai sesama.

Hal ini memberi suasana sosial untuk permainan kooperatif, dan untuk membentuk peraturan berdasarkan kesepakatan, dan untuk mengembangkan otonomi. (2) Anak pada usia tujuh atau delapan tahun menganggap sudah sepantasnyalah taat dengan pasrah kepada semua peraturan yang mengatur hidup mereka. (3) Anak heteronom, sementara masih menaruh hormat kepada peraturan, belum mempunyai pengertian dan motivasi yang memadai untuk bersikap konsisten dalam melaksanakan peraturan. (4) Hanya pada waktu anak sudah pada tahap otonomi dalam peraturan tertentu, maka pengertian dan hormat pada peraturan mendekati pelaksanaan peraturan.

(25)

Tingkat pertama, prakonvesional level. Anak pada tingkat perkembangan moral ini mulai tanggap terhadap aturan-aturan budaya dan terhadap ungkapan-ungkapan budaya mengenai baik dan buruk, benar dan salah. Namun, hal ini masih ditafsirkan dari segi akibat fisik atau kenikmatan perbuatan. Pada tingkatan ini terdapat dua tahap, yaitu (1) orientasi hukuman dan kepatuhan dan (2) orientasi relativitas instrumental.

Tingkat kedua, konvensional level. Pada tingkat ini anak hanya menuruti harapan keluarganya, kelompok atau bangsa dan dipandang sebagai hal yang bernilai dari dalam dirinya sendiri, tanpa mengindahkan akibat yang segera dan nyata. Sikapnya bukan saja konformitas terhadap harapan pribadi dan tata tertib sosial, melainkan juga loyal terhadapnya dan secara aktif mempertahankan, mendukung dan membenarkan seluruh tata tertib itu serta mengidentifikasi diri dengan orang tua atau kelompok yang terlibat.

(26)

kewajiban sendiri, menghormati otoritas dan menjaga tata tertib sosial yang ada, sebagai yang bernilai dari dalam dirinya.

Tingkat ketiga, pascakonvensional. Pada tingkat ini terdapat usaha yang jelas untuk merumuskan nilai-nilai dan prinsip moral, yang memiliki keabsahan dan dapat diterapkan terlepas dari otoritas kelompok atau orang yang berpegang pada prinsip-prinsip dan terlepas pula dari identifikasi individu sendiri dengan kelompok tersebut.

Tingkat ketiga ini memiliki dua tahap, yaitu (5) orientasi kontrak sosial legalitas dan (6) orientasi prinsip etika universal. Pada tahap orientasi kontrak sosial legalitas, perbuatan yang baik cenderung dirumuskan dalam kerangka hak dan ukuran individual umum yang telah diuji secara kritis dan telah disepakati oleh seluruh masyarakat. Selain itu terdapat kesadaran yang jelas mengenai relativisme nilai dan pendapat pribadi bersesuaian dengannya, dan terdapat suatu penekanan atas aturan prosedural untuk mencapai kesepakatan.

2.2.3 Pendekatan Pendidikan Nilai Moral

(27)

mengamalkan nilai-nilai yang dimiliki masyarakat. Di samping itu juga dapat pula melalui peningkatan kesadaran akan nilai pribadi individu sendiri yang akhirnya kesadaran moral akan muncul pada dirinya. Asumsi yang mendasar pendekatan ini adalah bahwa dalam diri setiap individu terdapat perkembangan kesadaran nilai-nilai yang dapat dibantu melalui penyajian konflik-konflik nilai dialog. Nilai individu harus lebih dikendalikan oleh prinsip etis universal bukan oleh nilai-nilai masyarakat atau nilai individu itu sendiri.

(28)

belum bentuk melaksanakannya. Kedua, pendekatan bebas yaitu proses pembentukan nilai-nilai dengan jalan memberikan kebebasan sepenuhnya kepada anak untuk memilih dan menetukan sendiri nilai-nilai yang akan diambilnya. Hal ini ditempuh karena adanya suatu anggapan bahwa belum tentu nilai yang dianggap baik bagi seseorang, baik pula bagi orang lain. Dengan demikian anak didik dibiarkan memilih nilai yang sesuai untuk dianut dan diyakini oleh dirinya sendiri, tanpa adanya intervensi atau campur tangan pendidik. Kelemahan pendekatan ini adalah anak menjadi bingung, sehingga sukar menentukan mana nilai yang baik dan yang tidak baik. Ketiga, pendekatan memberi contoh, ialah pendekatan dimana pendidik yang telah meyakini benar nilai-nilai yang dianutnya akan bertingkah laku sesuai dengan nilai-nilai tersebut.

(29)

menentukan nilai yang dipilihnya. Pendekatan ini bukan nilai-nilai mana yang dianggap baik, melainkan dititik beratkan pada proses pengambilan nilai.

2.3 Kajian Hasil Penelitian yang Relevan

Penelitian yang mengungkapkan secara spesifik tentang implementasi pendidikan nilai siswa dan mempunyai keterkaitan dengan pendidikan nilai, serta penanaman nilai moral, diantaranya adalah sebagai berikut:

(30)

ekstrakurikuler, menggunakan startegi komprehensif, dan melalui pembiasaan. Hasil penelitian tersebut dapat dijadikan salah satu referensi tentang kondisi yang ada di beberapa sekolah di Yogyakarta, kota yang sama dimana lokasi penelitian dalam penelitian ini dilakukan. Salah satu pola pendidikan karakter yang diharapkan berhasil adalah yang diintegrasikan dalam kegiatan intrakulikuler. Hal terebut juga berkaitan dengan pola pendidikan nilai yang digunakan dalam penelitian ini, yakni dengan cara mengintegrasikan pendidikan nilai kejujuran, kesabaran, dan ketaatan beribadah dalam proses pembelajaran IPS.

Penelitian Herprawati (1996) yang berjudul Penanaman Nilai Moral pada PBM di Sekolah Dasar Pakem IV Sleman Yogyakarta (Tesis), berkesimpulan bahwa guru yang diterima oleh anak selama proses belajar mengajar terutama dikarenakan sikap dan perilaku guru yang simpati dan penuh wibawa, sedang yang tidak diterima karena dalam dalam menajalan komunikasi dan memperlakukan anak tidak manusiawi. Semua yang menyampaikan pelajaran kepada anak kelas V di sekolah ini berpandangan bahwa, semua anak didik selain harus berprestasi juga harus berperilaku dengan baik.

Penelitian yang dilakukan Siti Johariyah (2002) berjudul Nilai Moral dalam Interaksi Belajar Mengajar Sejarah Kebudayaan Islam di MTsN 1 Yogyakarta

(31)

moral yang sengaja ditanamkan oleh guru adalah kejujuran, kedermawaan, keberanian, dan kasih sayang. Hasil pengajaran yang dirasakan oleh para siswa tersebut didukung oleh taraf kemampuan, semangat, dan motivasi yang dimiliki para siswa, disamping keluarga seperti, ibu, bapak, kakek atau nenek. Lebih lanjut disebutkan bahwa implikasi dari kesimpulan hasil penelitian ini menunjukan suatu keadaan bahwa guru SKI telah merencanakan penanaman nilai-nilai norma dalam sutuan pelajaran yang dibuatnya. Guru menyadari tugasnya selain menyampaikan ilmu pengetahuan yang berhubungan dengan SKI, juga menanamkan nilai-nilai moral yang tekandung di dalamnya. Meskipun demikian realisasinya dalam proses belajar mengajar, ternyata guru tidak selalu memunculkan aktivitas penanaman nilai-nilai moral tersebut. Nilai-nilai moral yang dimunculkan oleh guru terbatas pada sifat-sifat dominan yang dimiliki oleh Khalifah Abu Bakar Siddik, Umar bin Khottob, Utsman bin Affan maupun Ali bin Abu Thalib, seperti kejujuran, kedermawaan, keberanian, dan kasih sayang.

Penelitian Tutuk Ningsih (2003) yang berjudul

Pola Pembinaan Moral Siswa Madrasah Aliyah Negeri

(MAN) Paiton Probolinggo Jawa Timur (Tesis),

(32)

Pola pembinaan moral siswa melibatkan berbagai komponen yang terkait dalam proses pembelajaran tersebut secara umum yang meliputi, komponen guru, siswa, kepala sekolah, tenaga administrasi karyawan dan komponen, sarana-sarana pendukung serta keadaan lingkungan sekolah. Pembinaan moral mempunyai arti yang sangat penting khususnya dalam pembinaan perilaku siswa untuk menghasilkan sumber daya manusia yang berkualitas dan berperilaku positif atau bermoral baik.

Dilihat dari latar belakang permasalahan dan tujuan penelitian yang dikaji dalam penelitian di atas, dapat disimpulkan bahwa penelitian-penelitian tersebut jelas berbeda, meskipun paradigmanya mempunyai kesamaan, yaitu dengan menggunakan paradigma penelitian kualitatif. Namun demikian dalam kaitannya dengan penelitian yang sedang dilakukan, sehingga dapat memberikan pandangan tentang suatu kajian pendidikan nilai secara mendalam dari beberapa aspek atau fokus penelitian.

(33)

jadi bukan nilai-nilai yang berlaku sesuai dengan etika masyarakat dikebanyakan.

Sementara etika lebih merupakan kesempatan masyarakat pada suatu waktu dan tempat tertentu. Bila suatu masyarakat bercorak religius, maka etika yang dikembangkan pada masyarakat tentu akan bercorak religius pula, akan tetapi bila suatu masyarakat bercorak sekuler, etika yang dikembangkannya tentu merupakan konkritisasi dari jiwa sekuler. Dengan demikian, etika dapat disamakan dengan akhlak manakala sumber atapun produk budaya sesuai dengan prinsip-prinsip akhlak. Akan tetapi moral dan etika bisa juga bertentangan dengan akhlak manakala produk budaya itu menyimpang dari fitrah agama yang suci.

2.4 Kerangka Pikir

(34)

dalam proses pembelajaran pada semua mata pelajaran, sedangkan melalui kegiatan ekstrakurikuler dapat dilakukan dengan cara mengintegrasikan nilai moral kedalam semua kegiatan ekstrakurikuler.

Pengintegrasian nilai moral ke dalam pembelajaran IPS merupakan keharusan karena definisi IPS menyebutkan bahwa IPS merupakan studi terintegrasi dari berbagai disiplin ilmu, agama, politik dan juga nilai moral. Tujuan umum IPS adalah untuk mengembangkan potensi peserta didik agar peka terhadap masalah sosial yang terjadi di masyarakat, memiliki sikap atau mental positif terhadap perbaikan segala ketimpangan yang terjadi, dan terampil mengatasi setiap masalah yang terjadi sehari-hari baik yang menimpa dirinya sendiri maupun yang menimpa masyarakat.

Pengintegrasian tersebut dapat dilakukan dengan cara mengembangkan masalah-masalah amoral yang terjadi di masyarakat kemudian siswa diminta menuliskan atau menarasikan secara kelompok atau klasikal yang dipandu oleh guru. Masalah-masalah amoral dapat dirumuskan oleh siswa atau guru. Dengan cara ini diharapkan siswa menjadi lebih sadar terhadap tindakan-tindakan amoral yang harus dihindari.

(35)

meliputi ubudiyah dan muamallah serta nilai sosial (kemasyarakatan). Implementasi tersebut sangat ditentukan oleh peran guru yang dapat dilihat dari pengatahuan, pengalaman, kepribadian, motivasi dan penampilan mengajar.

(36)

kepribadian dan perilaku sesuai dengan ajaran moral agama (Islam).

2.5 Hipotesis Tindakan

1. Melalui pembelajaran IPS nilai moralitas siswa kelas V tahun 2010/2011 di SD Negeri Sidomukti 03 Kecamatan Bandungan Kabupaten Semarang dapat meningkat.

Referensi

Dokumen terkait

Mata bor helix kecil ( Low helix drills ) : mata bor dengan sudut helix lebih kecil dari ukuran normal berguna untuk mencegah pahat bor terangkat ke atas

Hence, modulation scheme implementation of GMSK and DQPSK at SDR platform using USRP of GNU Radio still require to be completed either software and hardware so that we

[r]

[r]

Kegiatan penelitian ini dibagi menjadi beberapa kegiatan yaitu: (1) survei ketersediaan layanan akses Internet di beberapa daerah pedesaan di DIY sehingga

Erlangga. Teknik Penarikan Sampel. Medan: USU PRESS. McQuail, Dennis, 1987, Teori Komunikasi Massa ed. Metode Penelitian Survey.Jakarta: Kencana Prenada Media Group..

4.1 Hasil Pengelompokan Butir Pernyataan Mengenai Perbandingan Perilaku Sosial Antara Siswa yang Mengikuti Ektrakurikuler Cabang Olahraga Individu dan Beregu di

UPAYA PELESTARIAN NILAI-NILAI BUDAYA SEBAGAI CIVIC CULTURE PADA PERKAWINAN SUKU BANJAR DI KALIMANTAN SELATAN. Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu |