• Tidak ada hasil yang ditemukan

MODEL PENDIDIKAN NILAI SOSIAL BUDAYA DALAM KELUARGA DAN LINGKUNGAN MANUSIA BAJO DI BAJOE.

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "MODEL PENDIDIKAN NILAI SOSIAL BUDAYA DALAM KELUARGA DAN LINGKUNGAN MANUSIA BAJO DI BAJOE."

Copied!
90
0
0

Teks penuh

(1)

Nama Lengkap, Tahun Penyerahan

MODEL PENDIDIKAN

NILAI SOSIAL BUDAYA DALAM KELUARGA

DAN LINGKUNGAN MANUSIA BAJO DI BAJOE

DISERTASI

Diajukan untuk Memenuhi Sebagian dari

Syarat untuk Memperoleh Gelar Doktor Ilmu Pendidikan

dalam Bidang Pendidikan Umum dan Nilai

Promovendus:

F A R D U S

0609150

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN UMUM

SEKOLAH PASCASARJANA

(2)

Nama Lengkap, Tahun Penyerahan

BANDUNG

2010

DISETUJUI DAN DISAHKAN OLEH PANITIA

DISERTASI:

PROMOTOR MERANGKAP KETUA

PROF. H. A. CHAEDAR ALWASILAH, M. A., Ph. D.

KOPROMOTOR MERANGKAP SEKRETARIS

PROF. H. SUDARDJA ADIWIKARTA, M. A., Ph. D.

ANGGOTA

PROF. DR. H. SOFYAN SAURI, M.Pd.

(3)

Nama Lengkap, Tahun Penyerahan

PROF. DR. H. SOFYAN SAURI, M.Pd.

ABSTRAK

(4)

Nama Lengkap, Tahun Penyerahan

ABSTRACT

(5)

Nama Lengkap, Tahun Penyerahan

KATA PENGANTAR

Syukur Alhamdulillah, atas kehendak Allah SWT sehingga disertasi ini sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar doktor ilmu pendidikan pada pendidikan umum dan nilai dapat diselesaikan tepat pada waktunya.

Disertasi ini lahir diawali dengan kerisauan penulis melihat kondisi anak-anak bangsa yang jauh dari nilai sosial budayanya yang pada akhirnya jauh dari nilai-nilai kehidupan yang damai, harmonis, aman, dan tentram. Sebaliknya budaya konflik sangat mudah tersulut walaupun hanya bersumber dari setitik “api” yang sangat kecil. Melalui diskusi dengan beberapa pakar, penulis memutuskan manusia Bajo di Bajoe Kabupaten Bone, Sulawesi Selatan sebagai obyek penelitian dalam studi ini.

Nilai-nilai sosial yang terwujud dalam adat istiadat, kebersamaan, kerukunan dan pengetahuan tradisional telah mengkristal dalam diri dan kehidupan manusia Bajo di Bajoe sehingga mereka hidup dalam sebuah tatanan kehidupan yang sederhana dan bersahaja. Kehidupan yang menyatu dengan laut telah membentuk nilai-nilai sosial mereka dengan kuat yang bersumber dari falsafah hidup “lamonggai petujuta’ pangatonang daulu tikka mambo-mbota pasti nummu bala’ aha, iru pasabaan kedadian, apabila tidak menggunakan warisan-warisan nenek moyang

dahulu pasti akan celaka, sebab tidak ada sesuatu langsung ada, tetapi ada asalnya. Betapa pentingnya nilai-nilai sosial budaya diwariskan kepada generasi penerus mereka sehingga meninggalkan nilai-nilai warisan leluhur dianggap sebagai suatu kecelakaan dalam kehidupan.

Penulis menyadari bahwa pendidikan nilai-nilai sosial budaya pada manusia Bajo di Bajoe Sulawesi Selatan yang ditemukan dan dideskripsikan dalam disertasi ini tentunya masih ada hal-hal yang kurang dan belum sempat digali, untuk itu penulis senantiasa mengharapkan sumbang saran dari berbagai pihak demi perbaikan selanjutnya.

Bandung, Januari 2010

(6)
(7)

Nama Lengkap, Tahun Penyerahan

UCAPAN TERIMA KASIH

Penulis bersyukur kepada Allah SWT yang telah melapangkan jalan dan memudahkan segala urusan penulis sejak meninggalkan Makassar sampai di Bandung, dari matrikulasi, ujian tahap akhir dan promosi hingga mencapai gelar doktor pendidikan dapat dijalani dengan baik. Tentunya semua ini dapat tercapai berkat rahmat, karunia, dan kehendak Allah SWT, dan banyak orang yang telah dilembutkan dan ditanamkan rasa kasih sayang di dalam hatinya oleh Allah SWT sehingga tergerak hatinya untuk memberikan amal jariahnya dengan jalan membatu penulis menyelesaikan disertasi ini hingga rampung. Untuk itu penulis menghaturkan beribu terima kasih atas kebaikan mereka semuanya.

Pertama-tama ucapan terima kasih penulis haturkan kepada Bapak Rektor Universitas Pendidikan Indonesia dan Direktur SPs UPI yang telah memberikan kesempatan berharga kepada penulis melanjutkan pendidikan di Sekolah Pascasarjana UPI tercinta ini. Ucapan terima kasih pula penulis sampaikan kepada seluruh staf SPs UPI yang senantiasa membantu melayani kelancaran pengurusan administrasi penulis selama kuliah. Pelayanan yang ikhlas dan ramah menyebabkan penulis tidak dapat membalas kebaikan-kebaikan mereka.

(8)

Nama Lengkap, Tahun Penyerahan

dan sekaligus pembimbing penulis yang bijak dan tiada henti-hentinya memberikan motivasi kepada penulis agar cepat menyelesaikan studi dan segera memasuki dunia sesungguhnya untuk mengamalkan ilmu yang telah didapatkan. Ucapan terima kasih juga penulis haturkan kepada Bapak Prof. H. Endang Sumantri, M. Ed., Ph.D. dan Bapak Prof. H. Kusnaka Adimihardja, M.A., Ph.D. yang telah bersedia meluangkan waktunya untuk menjadi penguji dan penelaah disertasi ini. Bantuan, dorongan, nasehat, dan segala kebaikan mereka yang telah diberikan kepada penulis, walaupun mereka dalam keadaan sibuk, tetapi masih tetap memberikan kesempatan kepada penulis untuk berkonsultasi. Penulis menyadari segala kebaikan mereka, penulis tak mampu membalasnya. Semoga Allah SWT meridhoi dan menjadikan amal jariyah segala kebaikan beliau.

Ucapan terima kasih penulis sampaikan kepada Direktur Peningkatan Mutu Pendidik dan Tenaga Kependidikan Direktorat Jenderal Pendidikan Nonformal dan Informal Depdiknas yang telah membantu penulis dengan memberikan beasiswa selama tujuh semester sehingga studi penulis dapat selesai. Penulis juga menyampaikan terima kasih kepada Kepala Balai Pendidikan Nonformal dan Informal (BPPNFI) Regional V Makassar yang telah memberikan izin penulis untuk melanjutkan pendidikan. Terkhusus ucapan terima kasih disampaikan kepada Bapak Ir. Djajeng Baskoro, M.Pd. (Ka P2PNFI Bandung), Bapak DR. H. Abdul Kahar, M.Pd. (Kasubdit Kesetaraan Pendidikan Dasar Ditjen PNFI Depdiknas), dan Bapak Drs. Abu Bakar, M.Pd. (PTK-PNF Depdiknas) atas jasa dan bantuan mereka sehingga penulis dapat menyelesaikan studi ini dengan baik.

(9)

Nama Lengkap, Tahun Penyerahan

(Sekretaris Inspektorat Kabupaten Bone) beserta Ibu Hj. Rosmini (Fung H. Bustan dan Fung Hj. Mini) yang telah memberikan fasilitas istimewa, termasuk menyediakan satu kamar di rumahnya untuk digunakan penulis sebagai tempat „mencoret-coret‟ data hasil lapangan.

Penulis juga menyampaikan terima kasih kepada Kepala Perpustakaan UPI Bandung berserta stafnya; Perpustakaan UGM Jogjakarta, Perpustakaan UNY Jogjakarta, Perpustakaan UNHAS Makassar, Perpustakaan UNM Makassar, Perpustakaan Wilayah Makassar, dan Perpustakaan Unidayan Baubau, yang telah melayani dan membantu mencarikan data yang dibutuhkan penulis sebagai referensi pendukung penyusunan disertasi ini.

Penulis menghaturkan terima kasih kepada Bapak Prof. Dr. Asmiddin, M. Si. beserta Ibu Dra. Darna Asmiddin di Kota Baubau yang senantiasa membantu dan memfasilitasi penulis selama mengunjungi perkampungan manusia Bajo di Pulau Buton. Demikian pula ucapan terima kasih yang tulus penulis sampaikan kepada tiga keluarga yang dijadikan sebagai informan utama dan kasus dalam studi ini: keluarga Uwa Kardang, Uwa Are, dan Uwa Tasya dan seluruh masyarakat Bajo di Bajoe yang telah menganggap penulis sebagaimana keluarga sendiri. Dengan sikap keterbukaan menyampaikan segala bentuk aktivitas, budaya, dan adat istiadat mereka sehingga penelitian ini dapat terwujud dalam bentuk disertasi ini.

(10)

Nama Lengkap, Tahun Penyerahan

melalui handy cam menjadi naskah berupa motion picture yang ditampilkan dalam disertasi ini. Begitu juga kepada teman-teman yang tidak sempat disebutkan namanya satu per satu, penulis menyampaikan terima kasih atas bantuan dan doanya.

Kepada teman-teman angkatan 2006 Pendidikan Umum dan Nilai UPI: Pak Dudung, Pak Sulthoni, Pak Yadi, Pak Suherman, Pak Duliman, Pak Dede, Pak Halimi, Pak Agus Salam, Pak Sukanta, Pak Adang, Pak Wakhuddin, Pak Zaim, Bu Popon, dan Bu Dewi penulis sampaikan terima kasih atas segala kebersamaan yang akrab dan bantuannya selama penulis menempuh pendidikan di UPI Bandung. Terima kasih sekali lagi penulis sampaikan atas segala kebersamaan itu dalam suasana “bitter and sweet” selama masa-masa kuliah: berdiskusi, mencari bahan materi ujian, hingga outbound ke luar kota Bandung untuk menghilangkan „kepenatan‟ selama satu

semester.

Penulis juga menyampaikan terima kasih kepada Mas Hardika dan Mas Toni atas saran-saran dan masukan dalam disertasi ini, terutama pada saat menjelang dipresentasikan sehingga kekurangan-kekurangan yang tidak terlihat oleh penulis dapat diperbaiki. Kepada DR. Rasmuin, M.Pd. dan Irwan Abbas, SS., M.Hum. yang telah menyediakan waktunya untuk membaca dan mengedit disertasi ini, penulis menyampaikan terima kasih. Begitu pula kepada teman se-kos dan teman-teman pengajian di Masjid Nurul Falah Gerlong Girang dan Masjid Danunegaran Jogjakarta: Bapak Dr. H. Johar, M.A. H. Endang, H. Supriatna, Eko Zaid, Bang Hasan, Abu Ridho, Al Jirni, Rahman, Afwan, Charsan, Ahmad Khotib, Lukman, Adjie, Adi, dan Muji, termasuk semua saudara-saudaraku yang tidak sempat disebutkan di sini penulis menyampaikan terima kasih. Berkat doa-doa mereka sehingga penulis dimudahkan oleh Allah SWT menyelesaikan studi ini.

(11)

Nama Lengkap, Tahun Penyerahan

mampu membalasnya. Kepada isteri penulis: dr. Widyaningrum dan anak-anak tercinta Nurarrad Tenrigangka dan Muhammad Firdaus yang merelakan masa-masa golden age-nya bersama ayah untuk ditinggal selama menempuh pendidikan. Kepada

(12)

Nama Lengkap, Tahun Penyerahan B. Nilai Sosial Budaya Ditinjau dari Perspektif

Teori Struktural Fungsional dan Interaksi Simbolik ... C. Pewarisan, Penyebaran, dan Konstruksi Nilai Sosial Budaya ...

1. Pewarisan Nilai Sosial Budaya: Sebuah Proses

Internalisasi ... 2. Penyebaran Nilai Sosial Budaya: Sebuah Proses

Sosialisasi ... 3. Konstruksi Nilai Sosial Budaya ... D. Posisi Pendidikan Nilai Sosial Budaya dalam Perspektif

(13)

Nama Lengkap, Tahun Penyerahan

1. Konsep dan Teori tentang Nilai ... 2. Konsep dan Teori tentang Nilai Sosial ... 3. Konsep dan Teori tentang Kebudayaan ... 4. Konsep dan Teori tentang Pendidikan Umum ... E. Tripusat Pendidikan ………... 1. Konsep dan Teori tentang Pendidikan ... 2. Pendidikan Keluarga ... 3. Pendidikan Sekolah ... 4. Pendidikan Masyarakat ...

F. Wanita dan Eksistensinya ……….

G. Beberapa Hasil Studi tentang Manusia Bajo ... 61

A. Penelitian Kualitatif Sebagai Sebuah Pendekatan ... B. Studi Kasus: Sebuah Metode dalam Penelitian Kualitatif ... C. Langkah-Langkah Penelitian ...

BAB IV. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

A. Hasil Penelitian

1. Kabupaten Bone Selayang Pandang ……...……… 2. Sejarah Kehidupan Manusia Bajo di Bajoe ……… 3. Tempat-Tempat Manusia Bajo di Nusantara ..……… 4. Profil Tiga Keluarga Manusia Bajo di Bajoe

(14)

Nama Lengkap, Tahun Penyerahan

a. Profil Keluarga Uwa Kardang .……….

b. Profil Keluarga Uwa Are ………..………….

c. Profil Keluarga Uwa Tasya ………..……….

5. Budaya dan Kehidupan Manusia Bajo di Bajoe .………. a. Pola Hidup Manusia Bajo di Bajoe ……… b. Warisan Nilai-Nilai Sosial Budaya ……….………

1. Pendidikan Nilai Sosial Budaya dalam Keluarga Bajo di Bajoe …

2. Pendidikan Nilai Sosial Budaya dalam Masyarakat Bajo

di Bajoe ……….……….……

3. Makna Pendidikan Nilai Sosial Budaya

bagi Anak Bajo di Bajoe …………..………..

4. Nilai Sosial Budaya dalam Kehidupan Manusia Bajo di Bajoe …..

a. Nilai Sosial Budaya yang Terwujud dalam Adat Istiadat ……... b. Nilai Sosial Budaya yang Terwujud dalam Pengetahuan ... c. Pewarisan Nilai Sosial Budaya ………... d. Konstruksi Nilai Sosial Budaya ………..

C. Pengembangan Model Pendidikan Nilai Sosial Budaya dalam

Keluarga dan Lingkungan Manusia Bajo di Bajoe ……….

BAB V. KESIMPULAN, IMPLIKASI, DAN REKOMENDASI

(15)

Nama Lengkap, Tahun Penyerahan

B. Implikasi dan Rekomendasi ………...

DAFTAR PUSTAKA ……….

LAMPIRAN-LAMPIRAN:

1. Permohonan Izin Penelitian dari Sekolah Pascasarjana UPI ………..……….

2. Surat Izin Penelitian Pemerintah Kabupaten Bone ………..

3. Surat Izin Penelitian Kepala Desa Matanauwe ………....

4. Pedoman Wawancara untuk Keluarga …………...……….

5. Pedoman Wawancara untuk Sekolah ………...

6. Pedoman Wawancara untuk Masyarakat ………....

(16)

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Nusantara sebagai simbol bangsa Indonesia terdiri dari gugusan pulau-pulau yang terletak antara benua Asia dan Australia. Istilah Nusantara sudah dikenal sejak masa Gadjah Mada menjadi Patih Kerajaan Majapahit. Dalam kitab Kakawin Nagarakertagama, Mpu Prapanca menulis sumpah Gadjah Mada yang terkenal

„Sumpah Palapa‟ pada tahun 1364 dengan menyebut beberapa negeri yang dikuasai

oleh Kerajaan Majapahit. Salah satu kalimat sumpah itu berbunyi ”...Ikang sakasanǔasa Makasar Boetoen Banggawwi ...” yang maksudnya adalah kesatuan Nusantara mencakup daerah Makasar, Buton, Banggai (Yunus, 1995: 11). Kata sakasanǔasa dalam sumpah itu bermakna Nusantara yang dikenal dengan istilah Nusantara sekarang ini.

(17)

Multatuli menyebut Indonesia sebagai untaian Zamrud Khatulistiwa yang merupakan negara kepulauan yang subur dengan latar belakang kebudayaan yang kaya. Indonesia terbentang di antara Samudera Pasifik dan Hindia yang memanjang dalam jarak yang lebih besar dari pantai timur Amerika Serikat ke pantai baratnya. Ada empat pulau besar di dalamnya: Sumatra, Jawa, Kalimantan, dan Sulawesi. Selain pulau-pulau besar tersebut, Indonesia mempunyai pulau-pulau kecil yang terbentang dari Sabang sampai Merauke dengan pulau yang berpenghuni sekitar 6000 pulau (Grolier, 1989: 218).

Bangsa Indonesia adalah salah satu bangsa di dunia yang paling majemuk dan dihuni oleh ratusan kelompok etnik, serta kaya akan bahasa serta kebudayaan daerah. Kemajemukan Indonesia tersebut terlihat pada aspek geografis, etnis, sosio-kultural, agama, serta aliran-aliran kepercayaan. Setiap suku bangsa memiliki bahasa dan dialek tersendiri. Agama yang ada dalam masyarakat Indonesia meliputi agama Islam, Hindu, Budha, Kristen, dan Khonghucu, sedangkan sistem hukumnya terdiri dari hukum nasional, agama, dan hukum adat. Pola kehidupan dari berbagai sistem kekerabatan dan sistem perkawinan, baik monogami maupun poligami, dapat dijumpai dalam tata kehidupan masyarakat Indonesia (Gloriel, 1989: 228).

(18)

menghargai satu sama lain. Kemajemukan itu sangat potensial menjadi pemicu konflik antaretnis apabila tidak diatur dengan baik.

Sejarah menunjukkan bahwa masyarakat Indonesia sebelum kedatangan bangsa penjajah, budaya konflik, kekerasan sosial, intrik dan perpecahan sudah sering terjadi di kalangan kerajaan-kerajaan, baik yang ada di Jawa maupun di luar Jawa. Demikian pula setelah datangnya koloni penjajah, maka masyarakat Indonesia menjadi manusia terjajah yang tidak memiliki hak kemerdekaan. Kesadaran akan kemerdekaan sebagai manusia bermartabat dalam suatu bangsa melahirkan semangat perjuangan untuk merdeka dan bersepakat bersatu yang ditandai dengan momentum Sumpah Pemuda 28 Oktober 1928. Puncak perjuangan rakyat Indonesia terjadi saat pembacaan Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia tanggal 17 Agustus 1945 oleh Soekarno dan Hatta. Deklarasi kemerdekaan tersebut melahirkan sebuah negara dan bangsa baru, merdeka dan bermartabat, yang bernama Indonesia.

Bapak pendiri bangsa Indonesia memilih Bhinneka Tunggal Ika sebagai semboyan nasional yang berarti berbeda-beda tetapi tetap satu. Semboyan ini lahir sebagai refleksi atas realitas kemajemukan bangsa, sekaligus sebagai jawaban agar kemajemukan itu tidak memicu disintegrasi, tetapi justru menjadi tiang-tiang penyangga bagi hadirnya sebuah bangsa yang kokoh. Para pendiri bangsa menyadari bahwa tidak mungkin bangsa Indonesia yang besar dan luas yang di dalamnya terdiri dari berbagai manusia dengan suku, agama, dan ras yang berbeda menjadi bangsa yang homegen. Simbol Bhinneka Tunggal Ika dapat melahirkan aset yang berharga

(19)

untuk mempersatukan berbagai kelompok etnik dalam suatu ikatan yang berorientasi ke masa depan, adil dan makmur.

Kebhinnekatunggalikaan tersebut merupakan ungkapan yang tepat untuk menggambarkan masyarakat Indonesia yang majemuk. Masyarakat Indonesia terwujud sebagai hasil interaksi sosial dari banyak suku bangsa dengan aneka ragam latar belakang kebudayaan, agama, dan sejarah. Keanekaragaman sosial budaya yang mewarnai kehidupan bangsa Indonesia sangat menarik untuk dikaji, sebagaimana dikatakan Jong (Santoso, 1982: 11) bahwa kepulauan Nusantara merupakan suatu ethnologische studieveld yang ideal. Indonesia sebagai tempat yang dapat leluasa

mengadakan studi perbandingan kemasyarakatan ataupun kebudayaan karena dari dalam satu kesatuan wilayah itu ditemukan aneka ragam masyarakat dan kebudayaan.

Sisi geografis dan falsafah bangsa Indonesia menunjukkan sebuah harapan dan cita-cita agung yang dapat membawa bangsa Indonesia menjadi bangsa yang hidup damai dan sejahtera. Pada kenyataannya, harapan dan cita-cita tersebut belum terwujud dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Sesama anak-anak bangsa masih senang menabur benih-benih kebencian, permusuhan, dengki, dan dendam. Pelajar, baik siswa maupun mahasiswa, masih sering terlibat dalam aksi-aksi kekerasan, pornografi, seks bebas, narkoba, dan aneka macam penyakit sosial lainnya, termasuk konflik antaretnik yang masih sering terjadi.

(20)

murid-murid yang tidak mengerjakan pekerjaan rumah dengan menusukkan paku yang dipanaskan ke tangan siswa. Di Surabaya, seorang guru olahraga menghukum lari seorang siswa yang terlambat datang dengan lari beberapa kali putaran. Karena fisiknya lemah, anak tersebut meninggal dunia. Dalam periode yang tidak berselang lama, seorang guru Sekolah Dasar Lubuk Gaung, Bengkalis, Riau, menghukum muridnya dengan lari keliling lapangan dalam kondisi telanjang bulat (Assegaf, 2006: 3). Kasus-kasus tersebut mengindikasikan bahwa kekerasan di dunia

pendidikan masih „melembari wajah‟ pendidikan di negara ini.

Dalam beberapa dekade terakhir tujuan pendidikan masih cenderung berorientasi pada sesuatu yang bersifat pragmatis, artinya bahwa hasil pendidikan yang diinginkan adalah pendidikan yang dapat langsung dilihat dengan „mata dan

dinikmati oleh perut‟. Institusi pendidikan yang fungsi awalnya membentuk manusia

Indonesia seutuhnya, untuk saat ini tidak lebih dari sekadar lembaga bisnis dan industri yang melihat peserta didik sebagai obyek yang siap menjadi lahan memperoleh keuntungan dan biaya operasional penyelenggaraan pendidikan. Pada saat yang bersamaan, moral, etika, dan kepekaan hidup sosial bukan lagi menjadi

„menu bergizi‟ bagi peserta didik dan pendidik.

(21)

dirasa penting sebagai salah satu alat pengendali menuju tercapainya tujuan pendidikan nasional secara utuh. Adanya gejala di kalangan anak muda, bahkan orang tua, yang sudah mengabaikan nilai-nilai sosial budaya dalam tata krama pergaulan merupakan sebuah fenomena yang memprihatinkan.

Pendidikan nilai sosial budaya dalam keluarga dan lingkungan dapat menjadi salah satu alternatif untuk mengatasi masalah-masalah sosial yang sering muncul dalam kehidupan masyarakat. Pendidikan nilai sosial budaya sangat bermanfaat terhadap pengembangan kepribadian anak, sebagaimana dikatakan Hasan (1996: 120) bahwa pendidikan ilmu-ilmu sosial bertanggung jawab untuk mengembangkan sikap, nilai, dan moral pada diri anak. Oleh karena itu, pendidikan nilai-nilai sosial dalam keluarga dan lingkungan suatu masyarakat harus mengembangkan sikap positif terhadap berbagai tradisi, nilai, dan moral yang dianut di dalam disiplin ilmu sosial, masyarakat, dan bangsanya. Dunia pendidikan perlu mengimplementasikan nilai sosial budaya pada anak sejak dini, baik melalui kurikulum sekolah, penelitian seputar gambaran dasar nilai sosial budaya dalam kehidupan masyarakat, atau melahirkan buku-buku pelajaran yang bernuansa nilai sosial budaya sampai pada merekomendasikan pentingnya pembelajaran nilai sosial budaya, baik di lingkungan sekolah, keluarga, maupun di masyarakat.

(22)

menulis sebuah buku, Educating for Character, yang secara khusus mengupas pentingnya pendidikan nilai-nilai kepribadian bagi anak-anak di sekolah. Bagi Lincona, peningkatan gejala-gejala semacam itu tidak lepas dari kebijakan pemerintah Amerika Serikat di bidang pendidikan. Model pendidikan nilai moral Lincona ternyata berhasil menurunkan angka demoralisasi di Amerika.

Pada mulanya bangsa Amerika memandang pendidikan nilai moral di sekolah sebagai suatu model pendidikan yang tabu dalam sistem pendidikan. Alasannya bahwa pendidikan nilai moral di sekolah umum merupakan bentuk pemaksaan nilai-nilai tertentu kepada siswa yang pluralis sehingga nilai-nilai-nilai-nilai moral tertentu dianggap sebagai suatu yang sangat subyektif. Pandangan ketabuan tersebut menurut Lincona dianggap sebagai sesuatu yang keliru. Lincona kemudian mengusulkan pendidikan nilai moral dengan membelajarkan dua model nilai moral dasar kepada siswa di sekolah, yaitu nilai-nilai penghargaan dan tanggung jawab. Nilai penghargaan mencakup tiga hal, yakni penghargaan terhadap diri sendiri, lingkungan hidup, dan terhadap segala bentuk kehidupan. Nilai penghargaan merupakan sisi larangan moralitas yang mengajarkan apa yang sebaiknya jangan dilakukan, sedangkan nilai tanggung jawab merupakan sisi yang mengajarkan apa yang seharusnya dilakukan. Model Lincona ini sukses mengantarkan anak-anak Amerika memahami pentingnya nilai moral dalam kehidupan mereka.

Miller, seorang ahli pendidikan dari Ontario Institute for Studies in Northwestern Center, juga menawarkan sejumlah model pembelajaran yang

(23)

gagasannya dalam buku “Humanizing The Class Room; Models of Teaching in

Affective Education.” Miller memperkenalkan 17 model pembelajaran yang dapat

dipilih oleh pelaku pendidikan dalam penerapan di kelas sesuai dengan keberadaan anak dan lingkungan yang mengitarinya. Ketujuhbelas model tersebut dikelompokkan ke dalam empat rumpun model, yakni (1) pengembangan, (2) konsep diri, (3) kepekaan dan orientasi kelompok atau sosial, dan (4) perluasan kesadaran. Guru dan praktisi pendidikan di sekolah dapat memilih model-model tersebut dengan mempertimbangkan dua hal. Pertama, tujuan dan kepentingan menjadi prioritas bagi guru atau fasilitator dalam proses pembelajaran yang ditanganinya; kedua, guru atau fasilitator memperhatikan dan menyesuaikan struktur dan suasana lingkungan yang mengitari anak didiknya (Bakri, 2006: 3).

(24)

lingkungan masyarakat perlu mendapat dukungan, baik dari pemerintah maupun masyarakat.

Masalah pendidikan, hingga saat ini, masih menjadi satu masalah yang

kompleks dan besar. Pendidikan sebagai „senjata‟ membangun kesadaran, karakter,

dan komunitas tidak hanya terkait dengan kebijakan dan teknis pendidikan, tetapi juga terkait dengan materi dan muatan pendidikannya. Kneller (Septiani, 2006: 56) mengatakan bahwa permasalahan mendasar pendidikan adalah lebih pada tidak tercakupnya nilai-nilai, sikap-sikap sosial, dan keterampilan sosial berkehidupan bersama dengan orang lain dalam proses pendidikan secara holistik, sehingga fondasi kebudayaan dalam perilaku pendidikan seolah-olah tercerabut dari akar-akarnya.

Nilai sosial budaya berkaitan erat dengan jati diri manusianya. Nilai-nilai ini sangat dijunjung tinggi oleh orang banyak. Apabila nilai sosial budaya sudah disepakati melalui konsensus orang banyak, maka ia akan dipandang sebagai hal yang menyangkut kesejahteraan bersama. Nilai ini selalu berorientasi pada peningkatan kualitas hidup manusia. Oleh karena itu nilai sosial budaya harus melekat pada etika dan moral masyarakat sehingga apa yang menjadi kebutuhan yang dianggap baik oleh masyarakat luas dapat menjadi pedoman hidup.

(25)

nilai budaya lain. Anggota suatu masyarakat memiliki nilai itu sebagai hasil proses belajar sejak masa kanak-kanak sampai dewasa sehingga nilai-nilai itu mendarah daging.

Nilai sosial budaya berfungsi sebagai suatu landasan untuk membuat suatu keputusan, dan juga sebagai standar tingkah laku individu maupun kelompok. Nilai sosial budaya yang sudah menjadi standar tingkah laku akan berfungsi sebagai kerangka patokan interaksi sosial sehingga individu lebih menyadari nilai-nilai sosial budaya sebagai bagian dari dirinya. Nilai sosial budaya yang sudah menjadi nilai kedirian akan membawa manusianya sadar terhadap diri sendiri dan memandang adanya diri orang lain diluar dari dirinya, sehingga tindakan kedirian melahirkan suatu perasaan moralitas yang tinggi, serta suatu konsepsi diri tentang suatu tindakan yang akan mengagungkan kedirian manusia.

Dalam kehidupan masyarakat yang beraneka ragam, manusia tidak pernah lepas dari masalah. Masalah itu adalah masalah sosial. Lindgren (1981: 4)

mengatakan bahwa “...the most perplexing problems faced by humanity today are

social problems”. Untuk mengatasi masalah sosial yang berpotensi terjadi, maka

(26)

menjadi penentu terakhir bagi manusia penganutnya dalam memenuhi peranan-peranan sosial, alat solidaritas, dan sebagai alat kontrol perilaku.

Lee (2000: 2) mendefinisikan nilai sosial sebagai standar perilaku dalam masyarakat, sedangkan Raven (1977: 220) mengatakan bahwa nilai-nilai sosial merupakan seperangkat sikap masyarakat yang dihargai sebagai suatu kebenaran dan dijadikan standar untuk bertingkah laku sehingga mereka dapat hidup secara demokratis dan harmonis. Raven (1977: 221) mengelompokkan nilai sosial ke dalam tiga kelompok: cinta, tanggung jawab, dan kehidupan harmonis. Cinta mencakup dedikasi, tolong menolong, kekeluargaan, solidaritas, dan simpati. Tanggung jawab mencakup rasa memiliki, disiplin, dan empati. Kehidupan yang harmonis mencakup keadilan, toleransi, kerjasama, dan demokrasi. Lee dan Raven mengakui bahwa peranan nilai-nilai sosial budaya dalam kehidupan masyarakat memiliki fungsi penting yang tidak bisa diabaikan. Implementasi pendidikan nilai sosial budaya dalam keluarga dan lingkungan masyarakat dapat membawa masyarakatnya hidup dalam suasana yang harmonis, kasih sayang, dan bertanggung jawab.

(27)

didik sebagai individu dan sebagai masyarakat tidak dapat dipisahkan karena anak tidak akan tumbuh dan berkembang secara normal tanpa berinteraksi dalam kehidupan bermasyarakat. Begitu juga sebalikanya, masyarakat tidak akan ada tanpa ada individu yang hidup di dalamnya.

Ada kecenderungan orientasi pendidikan saat ini mengarah kepada penekanan peningkatan perolehan perbaikan taraf hidup anak didik. Hal ini dapat mengakibatkan peran pendidikan sebagai agen perubahan nilai sosial tidak diperhatikan. Salah satu contoh model pendidikan yang kurang menekankan pentingnya pendidikan nilai-nilai sosial budaya adalah pendidikan bentuk keterampilan dengan program pelatihan, seperti kursus mengemudi mobil atau montir. Peran pendidikan diutamakan hanya untuk mengembangkan keterampilan teknis dan pengetahuan individu, yaitu menyetir mobil, atau hanya memperbaiki kerusakan mobil. Padahal di sisi lain, sikap dan nilai-nilai sosial budaya dibutuhkan untuk turut membantu tertib lalu lintas, menghormati para pengguna jalan, atau mendahulukan pengendara lain yang dalam keadaan terburu-buru. Dengan tidak memperdulikan nilai-nilai sosial budaya dalam berlalu lintas, seseorang dapat mengakibatkan terjadinya kemacetan, dan bahkan kecelakaan lalu lintas. Demikian pula menjadi seorang montir, nilai-nilai sosial budaya memiliki peranan yang sangat bermanfaat dalam menjalin hubungan baik dengan pelanggan.

(28)

Bajo yang hidup diberbagai pulau di Indonesia belum dapat diketahui dengan baik karena sejak lama mereka berpindah-pindah dari satu tempat ke tempat lain. Mobilitas yang tinggi ini adalah berkat keakraban mereka dengan kehidupan laut. Keluarga-keluarga manusia Bajo dahulu lebih banyak hidup di atas perahu yang mereka sebut bido. Mereka melakukan berbagai kegiatan hidup seperti tidur, memasak, melahirkan dan lain-lain di atas perahu. Walaupun manusia Bajo berpisah dalam tempat-tempat yang berjarak puluhan atau ratusan kilometer, hubungan kekeluargaan mereka masih tetap terjaga dalam tingkat keakraban tertentu. Mereka mengenal tingkat keluarga dekat dan keluarga jauh. Masyarakat Bajo menyukai hidup damai dan menghindari perkelahian, oleh sebab itu mereka bersikap pasif terhadap tekanan atau pemerasan dari pihak luar. Manusia Bajo umumnya beragama Islam, meskipun dalam beberapa hal masih mengamalkan animisme.

(29)

berasal dari Ussu Kabupaten Luwu, salah satu kabupaten di Sulawesi Selatan, mulai bermigrasi ke Bajoe sehingga perkampungan mereka bertambah ramai. Di samping itu Kampung Bajo terletak pada lokasi yang sangat strategis karena berada di pesisir Teluk Bone yang kaya dengan hasil-hasil laut.

Komunitas manusia Bajo di Bajoe pada awalnya berasal dari Lassareng. Kampung Lassareng terletak di wilayah Desa Ujung Pattiro, Pattiro Bajo. Wilayah ini dahulu merupakan wilayah Kerajaan Bone, sekarang menjadi Kabupaten Bone. Penamaan Kampung Lassareng sebagai kampung orang Bajo diambil sesuai dengan nama Uwa Lassareng, kepala suku Bajo pada waktu itu. Masyarakat Bajo hidup tertata dengan aturan-aturan dan nilai sosial budaya yang kuat. Perangkat nilai-nilai sosial budaya masih ditaati dengan baik. Mereka memegang teguh nilai-nilai-nilai-nilai tersebut dalam membingkai kehidupan sosialnya. Nilai sosial budaya tumbuh dan berkembang dalam kehidupan mereka dengan latar belakang kehidupan laut.

(30)

Masyarakat Bajo di Bajoe dalam aktivitas kesehariannya adalah bergotong royong. Aktivitas ini masih terpelihara hingga saat ini, misalnya dalam mendirikan rumah baru, memindahkan rumah, dan membuat perahu. Ketika mereka bergotong royong, pemilik hajat menyediakan makanan, minuman, dan kue-kue tradisional. Kue tradisional yang mereka senangi adalah onde-onde.

Masyarakat Bajo di Bajoe memiliki nilai solidaritas yang kuat di antara mereka. Nilai ini tampak ketika mereka turun melaut untuk mencari ikan dan hasil-hasil laut lainnya. Pada hari Jum‟at mereka tidak melaut karena mereka menganggap bahwa hari Jumat adalah hari khusus untuk mendekatkan diri kepada Allah SWT.

Mereka masih percaya bahwa barangsiapa yang berani melaut pada hari Jum‟at akan

mendapat musibah. Kepercayaan seperti itu hingga sekarang masih tetap ada. Kepercayaan itu menunjukkan bahwa sebagian masyarakat Bajo di Bajoe masih memiliki keyakinan akan adanya kekuatan makhluk halus yang ada di laut yang dapat memberikan keselamatan diri dan rezeki bagi kaum nelayan. Perilaku tersebut menunjukkan adanya sinkretisme budaya antara keyakinan kepada Allah SWT sebagai pemeluk agama Islam dan kepercayaan nenek moyang mereka.

(31)

Sikap toleran dan menghargai nilai sosial budaya orang bagai menjadi kunci keberhasilan mereka sehingga dapat hidup berdampingan dengan masyarakat Bagai. Mereka hidup jauh dari konflik.

Karakteristik pola hidup dan nilai-nilai sosial budaya yang masih tersimpan dalam kehidupan manusia Bajo di Bajoe tersebut menjadi perhatian khusus dan menarik untuk diteliti. Ada banyak hal menarik bagi manusia Bajo di Bajoe untuk dikaji, antara lain tingkat aspirasi pendidikan, nilai etos kerja, dan peranan gender dalam keluarga. Tema-tema tersebut sudah dikaji oleh beberapa studi, namun sisi pengembangan pendidikan nilai-nilai sosial budaya belum ditemukan hasil penelitian yang mengkajinya. Hal ini merupakan salah satu alasan mengapa peneliti memilih pendidikan nilai sosial budaya dalam keluarga dan lingkungan manusia Bajo di Bajoe Sulawesi Selatan.

(32)

Nilai-nilai sosial budaya pada masyarakat Bajo di Bajoe merupakan sebuah

„mutiara yang masih terpendam di dalam lumpur‟. Mutiara tersebut perlu

dikeluarkan agar dapat berkilau dan bercahaya. Nilai sosial budaya manusia Bajo di Bajoe laksana mutiara yang sudah lama ada, namun masih belum banyak dibahas dalam sebuah kajian ilmiah. Saya akan menggali nilai-nilai sosial budaya tersebut menjadi sebuah model pendidikan yang di dalam studi ini dinamakan Model

Pendidikan Nilai Sosial Budaya dalam Keluarga dan Lingkungan Manusia Bajo

di Bajoe, sekaligus menjadi judul dari studi ini.

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan teori dan data empirik pada bagian pendahuluan di atas, maka saya merumuskan tiga komponen utama yang harus digali untuk mengembangkan model pendidikan nilai sosial budaya dalam keluarga dan lingkungan manusia Bajo di Bajoe Sulawesi Selatan: (1) bagaimanakah manusia Bajo mewariskan nilai sosial budayanya? (2) bagaimanakah manusia Bajo menyebarkan nilai sosial budayanya? dan (3) bagaimanakah manusia Bajo mengkonstruksi nilai sosial budayanya?

C. Tujuan Penelitian

(33)

D. Manfaat Penelitian

Ada dua aspek manfaat yang diharapkan dari penelitian ini: aspek teoretis dan aspek praktis.

1. Aspek Teoretis

Secara teoretis terdapat dua kontribusi utama dalam studi ini; pertama, studi ini menggunakan pendekatan interdisipliner, yaitu menggunakan disiplin ilmu sosiologi, psikologi, antropologi, filsafat, dan studi nilai, terutama dalam memahami nilai-nilai sosial budaya manusia Bajo di Bajoe. Kedua, studi pendidikan nilai sosial budaya manusia Bajo di Bajoe dapat memberi pengayaan pemikiran terhadap pengembangan kajian pada program studi pendidikan umum sebagai kajian interdisipliner.

2. Aspek Praktis

(34)

proyek pendidikan bagi masyarakat Bajo yang hidup di pesisir pantai tidak salah arah dan sasaran.

E. Metode Penelitian

Studi ini menggunakan pendekatan penelitian kualitatif. Karena penelitian ini bertujuan untuk mengembangkan model pendidikan nilai-nilai sosial budaya pada manusia Bajo di Bajoe melalui pengkajian secara mendalam, maka pendekatan kualitatif diyakini sangat tepat digunakan untuk menggali nilai-nilai sosial budaya yang ada dalam kehidupan manusia Bajo di Bajoe tersebut.

Pendekatan penelitian kualitatif tepat digunakan karena pendekatan ini berdasar pada asumsi bahwa realitas merupakan sesuatu yang bersifat ganda. Realitas tersebut saling kait-mengkait dan di dalamnya terjadi saling bertukarnya pengalaman sosial yang diinterpretasikan oleh individu atau kelompok. Pendekatan ini lebih melihat sesuatu sebagaimana adanya dalam satu kesatuan yang saling terkait. McMillan (2001: 395) mengatakan bahwa pendekatan kualitatif sangat bermanfaat untuk digunakan mengkaji pengembangan kebijakan, issu-issu sosial, dan perbaikan praksis pendidikan.

Beberapa metode menurut Creswell (1998: 27) dapat digunakan dalam penelitian kualitatif seperti Biographical Life History, Phenomenology, Grounded Theory, Ethnography, dan Case Study. Saya memilih metode studi kasus dalam studi

(35)

F. Lokasi Penelitian

Lokasi penelitian dalam studi ini adalah komunitas manusia Bajo di Bajoe Sulawesi Selatan yang terletak di pesisir Teluk Bone. Komunitas manusia Bajo di Bajoe dipilih sebagai lokasi penelitian karena komunitas ini masih memiliki karakteristik unik sebagai sebuah perkampungan manusia Bajo. Selain itu, beberapa hasil penelitian mengemukakan bahwa persebaran manusia Bajo di kawasan pulau-pulau Indonesia Bagian Timur berasal dari manusia Bajo di Bajoe, Kabupaten Bone, Sulawesi Selatan. Masyarakat Bajo di Bajoe diyakini masih menyimpan karakteristik nilai-nilai sosial budaya yang dapat merefleksikan nilai sosial budaya komunitas manusia Bajo di Kabupaten Bone, Sulawesi Selatan.

(36)

BAB III

METODE PENELITIAN

PENDIDIKAN NILAI SOSIAL BUDAYA

Pada bab I, saya telah menyinggung secara sepintas pendekatan dan metode yang digunakan dalam studi ini. Pada bab III ini, saya akan menjabarkan lebih rinci tentang metode penelitian terutama mengenai pendekatan dan metode penelitian yang digunakan, teknik pengumpulan data, teknik analisis data, sasaran penelitian, informan penelitian, dan jadual pelaksanaan penelitian.

A. Penelitian Kualitatif Sebagai Sebuah Pendekatan

Mengawali pembahasan penelitian kualitatif sebagai sebuah pendekatan, saya terlebih dahulu membahas masalah pengertian metodologi dan metode karena kedua istilah ini terkadang dipahami dalam makna yang sama, padahal istilah metodologi tidak identik dengan metode, sebagaimana dikemukakan McMillan dan Schumacher (2001: 9) bahwa “…the ways one collects and analyzes data.” Metodologi adalah cara seorang peneliti mengumpulkan dan menganalisis data secara sistematik dan mempunyai tujuan.

(37)

Secara ringkas, metodologi berarti pengkajian, penjelasan, dan pembenaran metode, dan bukan metodenya itu sendiri, sebagaimana dikatakan Kaplan (Sirozi, 2004: 81) bahwa:

Metodologi penelitian adalah memerikan dan menganalisa metode, menyoroti keterbatasan dan sumbernya, menjelaskan presuposisi dan akibatnya, mengaitkan potensinya dengan daerah abu-abu di garis depan pengetahuan. Mengutamakan generalisasi dari keberhasilan teknik khusus, menerangkan cara penerapan baru, dan mengembangkan sikap khusus asas logika dan metafisik pada masalah konkrit, menyarankan perumusan yang baru.

Sebaliknya, metode merupakan salah satu bagian penting dalam penelitian. Mengapa metode penting dalam penelitian? Karena metode adalah alat untuk sampai ke tujuan, sebagaimana dikatakan Alwasilah (2003: 85) bahwa “bagaimana cara

Anda sampai ke Bandung?”. “Mengendarai mobil”. Itulah dinamakan metode.

Metode menurut Kaplan (Sirozi, 2004: 81) adalah cara seseorang mengumpulkan dan menganalisis data atau teknik atau prosedur yang digunakan dalam proses pengumpulan data. Untuk mencapai tujuan penelitian perlu suatu metode yang tepat. Dalam penelitian, metode bisa berarti cara seseorang mengumpulkan dan menganalisis data atau teknik dan prosedur yang dipakai dalam proses pengumpulan data (Cohen & Manion, 1994: 4). Jadi, metode penelitian dapat diartikan sebagai suatu proses pangumpulan dan analisis data secara sistematis untuk mencapai tujuan tertentu.

(38)

pendekatan penelitian kualitatif menurut Alwasilah (2003: 107-110): Pertama, pemahaman makna, yakni makna merujuk pada kognisi, afeksi, intensi, dan apa saja yang terpayungi dengan istilah perspektif partisipan. Kedua, pemahaman konteks tertentu, yakni peneliti berkonsentrasi pada orang atau situasi yang relatif sedikit dan analisis secara mendalam terhadap kekhasan kelompok dan situasi itu saja. Ketiga, identifikasi fenomena dan pengaruh yang tidak terduga, yakni setiap informasi, kejadian, perilaku, suasana, dan pengaruh baru berpotensi sebagai data untuk membeking hipotesis kerja. Keempat, kemunculan teori berbasis data atau grounded theory. Kelima, pemahaman proses, artinya peneliti mengutamakan proses daripada

produk kegiatan yang diamati. Keenam, penjelasan sababiyah atau causal explanation, artinya penjelasan itu mencari sejauh mana kejadian-kejadian itu

berhubungan satu sama lain dalam rangka penjelasan sababiyah lokal.

Peneliti telah menetapkan pendekatan kualitatif sebagai pendekatan studi, oleh karena itu dipandang perlu mengemukakan beberapa definisi mengenai pendekatan kualitatif. Bogdan dan Taylor (Moleong, 1990: 3) mendefinisikan penelitian kualitatif sebagai prosedur penelitan yang menghasilkan data deskriptif berupa kata-kata tertulis atau lisan dari orang-orang dan perilaku yang dapat diamati. Pendektan ini diarahkan pada latar dan individu tersebut secara holistik. Jadi, dalam hal ini tidak boleh mengisolasikan individu atau organisasi ke dalam variabel atau hipotesis, tetapi perlu memandangnya sebagai bagian dari suatu keutuhan.

(39)

dan berhubungan dengan orang-orang tersebut dalam bahasanya dan dalam peristilahannya. Dalam penelitian kualitatif, peneliti sendiri atau dengan bantuan orang lain merupakan alat pengumpul data utama. Manusia sebagai alat dan hanya dia yang dapat berhubungan dengan responden atau obyek lainnya karena yang mampu memahami kaitan kenyataan-kenyataan di lapangan hanyalah manusia. Begitu juga, hanya manusia pulalah yang dapat menilai apakah kehadirannya menjadi faktor pengganggu sehingga apabila terjadi hal yang demikian ia pasti dapat menyadarinya serta dapat mengatasinya.

Senada dengan Kirk dan Miller (Moleong, 1990: 3), Sukmadinata (2005: 60) mengatakan penelitian kualitatif merupakan suatu penelitian yang ditujukan untuk mendeskripsikan dan menganalisis fenomena, peristiwa, aktivitas sosial, sikap, kepercayaan, persepsi, pemikiran orang secara individual maupun kelompok. Ia mengutip pendapat Lincoln dan Guba bahwa penelitian kualitatif bersifat naturalistik, sehingga kenyataan itu dianggap sebagai sesuatu yang berdimensi jamak. Peneliti dan yang diteliti bersifat interaktif dan tidak bisa dipisahkan. Penelitian kualitatif bersifat naturalistik karena datanya dinyatakan dalam keadaan sewajarnya atau sebagaimana adanya dengan tidak merubah dalam bentuk simbol-simbol atau bilangan (Nawawi, 1994: 174).

(40)

dikumpulkan baik dalam bentuk gejala yang sedang berlangsung, reproduksi ingatan, maupun melalui pendapat yang bersifat teoretis atau praktis.

Bogdan dan Biklen (Sigit, 1999: 155) mengungkapkan lima ciri dari suatu penelitian yang disebut sebagai penelitian kualitatif. Kelima ciri tersebut adalah: (1) perangkat alami adalah sumber langsung data, dan peneliti sendiri adalah instrumen pokok; (2) data yang dikumpulkan bukan berupa angka-angka, melainkan dalam bentuk kata-kata atau gambar-gambar; (3) penelitian kualitatif bertalian hanya dengan proses dan hasil; (4) penelitian kualitatif cenderung menganalisis data secara induktif; dan (5) penelitian kualitatif perduli terhadap bagaimana hidup manusia yang diteliti dan mempunyai arti bagi mereka.

(41)

Eisner (Sirozi, 2004: 91) melihat bahwa penelitian kulalitatif lebih berurusan dengan proses ketimbang akibat, dengan keseluruhan ketimbang variabel bebas, dan dengan makna ketimbang statistik perilaku. Minatnya diarahakan kepada simpulan yang terikat konteks yang potensial bisa menunjukkan jalan kebijakan baru dan keputusan kependidikan yang bermanfaat.

(42)

semua sumber data; (3) pengumpulan data dasar terjadi setelah peneliti berpadu dengan situasi yang diteliti. Data dikumpul lebih intensif lagi melalui wawancara mendalam, observasi dan pengumpulan dokumen. Peneliti benar-benar melihat, mendengarkan, membaca, dan merasakan apa yang ada disekitarnya; (4) pengumpulan data penutup yakni setelah peneliti telah mendapatkan semua informasi yang dibutuhkan atau tidak ditemukan lagi data baru dan setelah itu peneliti meninggalkan lokasi; (5) melengkapi merupakan kegiatan menyempurnakan hasil analisis kemudian menyusun dan menyajikannya.

Alat pengumpul data paling penting dalam penelitian kualitatif adalah wawancara. Ada beberapa bentuk wawancara, seperti open-ended, wawancara terfokus, dan wawancara terstruktur. Pertama, bentuk wawancara yang paling umum adalah open- ended. Tipe open-ended adalah peneliti dapat bertanya kepada informan kunci tentang fakta-fakta suatu peristiwa di samping opini mereka mengenai peristiwa yang ada. Pada beberapa situasi peneliti bahkan bisa meminta informan untuk mengetengahkan pendapatnya sendiri terhadap peristiwa tertentu dan bisa menggunakan proposisi tersebut sebagai dasar penelitian selanjutnya. Informan kunci sangat besar perannya dalam studi kasus karena ia tidak hanya memberikan informasi tetapi juga bisa memberikan saran tentang sumber-sumber bukti lain yang mendukung, serta menciptakan akses terhadap sumber yang bersangkutan.

Kedua, tipe wawancara terfokus adalah informan diwawancarai dalam waktu

(43)

aneh terhadap topik tersebut dan memungkinkan informan memberikan komentar yang segar tentang hal yang bersangkutan. Tujuan pokok wawancara ini sekedar mendukung fakta-fakta tertentu yang diperlukan oleh peneliti.

Tipe wawancara ketiga adalah wawancara terstruktur. Tipe ini menggunakan pertanyaan-pertanyaan yang lebih terstruktur. Pertanyaan tersebut disusun terutama sebagai pengingat bagi peneliti berkenaan dengan informasi yang perlu dikumpulkan, dan bagimana cara pengumpulannya. Tujuan utamanya adalah untuk menjaga peneliti agar tetap berada pada alur ketika melakukan pengumpulan data.

(44)

kejadian-kejadian yang dipantau, tanpa mengikuti aktivitas yang ada dalam kelompok tersebut.

Hasil temuan studi dalam penelitian kualitatif berupa deskripsi analisis tentang fenomena secara murni dan informatif. Untuk mencapai perluasan temuan penelitian, ada sepuluh komponen desain menurut Sukmadinata (2005: 107) dapat mempengaruhi perluasan temuan tersebut: (1) peranan peneliti dalam menjalin hubungan sosial dengan partisipan; (2) pemilihan informan. Kriteria, alasan, dan penentuan informan dilakukan dalam kaitan dengan sampel purposif; (3) konteks sosial yakni pengumpulan data dirancang dalam tatanan sosial baik fisik, sosial, hubungan interpersonal maupun fungsional; (4) strategi pengumpulan data dengan menggunakan metode wawancara mendalam, pengamatan partisipatif, dokumentasi, dan triangulasi; (5) strategi analisis data melalui penggambaran proses; (6) narasi murni disajikan secara naratif analitik dengan cara deskripsi yang padat; (7) kekhasan artinya kelompok atau lokasi yang memiliki karakteristik yang istimewa; (8) premis-premis analitis seperti teori-teori dasar dan kerangka pemikiran; (9) penjelasan alternatif: rencana penjelasan yang dapat diterima dan ditolak; dan (10) kriteria lain setelah penelitian selesai.

(45)

tuntas. Berpikir tuntas tolak ukurnya adalah kepuasan yang ditandai dengan keyakinan bahwa hasilnya merupakan kebenaran terakhir yang dapat dicapai. Dengan demikian, penelitian kualitatif menuntut keteraturan, ketertiban, dan kecermatan dalam berpikir terhadap hubungan data yang satu dengan data yang lain dan konteksnya dalam masalah yang akan diungkapkan.

Peneliti kualitatif berfungsi sebagai partisipan dan juga sekaligus sebagai instrumen bermakna bahwa peneliti sendiri yang mengumpulkan data di lapangan. Peneliti secara langsung mewawancarai, mengobservasi, membaca situasi, serta menangkap fenomena melalui perilaku manusia. Agar peneliti tidak menjadi faktor pengganggu dalam menggali informasi di lapangan, maka peneliti melakukan beberapa strategi dengan cara: (1) peneliti menceburkan diri dengan sumber informasi dalam semua situasi sehingga dapat mengumpulkan semua fenomena yang berlangsung di lapangan; (2) peneliti merespon segala stimulus yang ada di lingkungan penelitian yang diperkirakan bermakna bagi peneliti. Semua peristiwa yang terjadi direkam dan dimaknai; dan (3) peneliti berusaha memahami dan menghayati sumber informasi di lapangan.

Untuk mencapai ketiga hal tersebut, peneliti membangun rapport yang baik dengan sifat-sifat terpuji sebagaimana dikatakan Alwasilah (2003: 145) bahwa:

Peneliti etnografis professional harus memiliki sifat-sifat sensitif, sabar, cerdik, tidak menghakimi, bersahabat, dan tidak menyerang, menunjukkan toleransi terhadap kemenduaan, memiliki selera humor, ingin menguasai bahasa responden, dan mampu menjaga rahasia responden. Untuk mempertahankan kepercayaan responden, peneliti

(46)

Seorang peneliti harus memiliki sifat-sifat profesional tersebut agar mudah menggali peristiwa dan fenomena nilai sosial manusia sampai sekecil-kecilnya. Peneliti melibatkan diri secara langsung dan intensif ke dalam kehidupan sehari-hari keluarga dan masyarakat. Peneliti mengumpulkan data berdasarkan situasi yang wajar, berpartisipasi langsung, dan apa adanya tanpa terpengaruh oleh unsur-unsur dari luar lingkungan masyarakat.

Studi pendidikan nilai sosial budaya bagi masyarakat MBB ini tidak dimaksudkan untuk menguji suatu teori, tetapi lebih pada pemaparan naratif secara mendalam dari fenomena yang ditemukan di lapangan. Peneliti lebih memfokuskan pada pengkajian proses dan fenomena yang saling terkait secara holistik. Peneliti tetap berdasar pada asumsi bahwa realitas merupakan sesuatu yang bersifat ganda dan saling terkait. Untuk mengungkap realitas-realitas kehidupan manusia Bajo, maka pendekatan kualitatif dianggap tepat digunakan sebagai „pisau analisis‟.

B. Studi Kasus: Sebuah Metode dalam Penelitian Kualitatif

(47)

masa yang akan datang. Istilah studi kasus yang dimaksud dalam tulisan ini adalah sebuah metode penelitian dalam penelitian kualitatif.

Istilah studi kasus merupakan istilah yang pertama lahir dalam sejarah penelitian yang kemudian dikenal dengan studi kasus. Menurut Salim (2001: 92) studi kasus sebagai sebuah metode penelitian sudah dikenal sekitar tahun 1900 – 1950-an, namun belum menemukan bentuknya sebagai metode kualitatif. Akan tetapi secara substansial, studi kasus telah lama dipraktikkan oleh para ilmuwan dalam meneliti etnis dan kultur tertentu.

Salah satu buku studi kasus yang terbit pada era fase pertama itu adalah Middletown: A Study in American Culture (1929) oleh Lynd dan Lynd. Pada fase

kedua, para peneliti semakin meminati metode ini yang ditandai dengan terbitnya buku-buku seperti Akenfield (1955-1959) oleh Blythe, Boys in White: StudentCulture in Medical Schools (1961) oleh Becker dkk., La Vida (1996) oleh Lewis, dan

Children of Crisis (1967) oleh Coles. Pada fase ketiga, metode studi kasus semakin

populer digunakan peneliti, baik untuk meneliti kasus-kasus secara tunggal maupun kasus-kasus kolektif. Pada fase terakhir yaitu periode postmodernisme hingga sekarang, metode ini bukan lagi sebagai pilihan metodologis namun sudah menjadi kesatuan dengan trade mark metodologi penelitian kualitatif, bahkan pada setiap pendekatan dalam penelitian kualitatif, studi kasus menjadi ancangan utama dan metode lain hanya menjadi pilihan yang melengkapinya (Salim, 2001: 92).

(48)

A case study is a form of qualitative analysis involving the very careful and complete observation of a person, a situation, or an institution. The case study stresses complete, exhaustive, detailed analysis that enables a person to analyze total situations in comprehensive fashion. The success of the case method depends on all relationships being noted and all observations being carefull recorded.

Sifat khas studi kasus adalah untuk mempertahankan keutuhan dari obyek (Vredenbregt, 1980: 38). Hal ini berarti bahwa data yang dikumpulkan dalam studi kasus dipelajari sebagai suatu keseluruhan yang terintegrasi. Tujuannya adalah untuk mengembangkan pengetahuan yang mendalam mengenai obyek yang bersangkutan. Dengan demikian studi kasus harus disifatkan sebagai suatu penelitian yang eksploratif. Lebih jauh Schramm (Salim, 2001: 93) melihat studi kasus sebagai suatu pendekatan untuk mempelajari, menerangkan, atau menginterpretasi suatu kasus dalam konteksnya secara alamiah tanpa adanya intervensi dari pihak luar. Inti studi kasus yaitu kecenderungan utama di antara semua ragam studi dengan berusaha untuk menyoroti suatu keputusan atau seperangkat keputusan; mengapa keputusan itu diambil, bagaimana diterapkannya dan apakah hasilnya.

Studi kasus menurut Yin (2003: 13) adalah “... an empirical inquiry that

investigates a contemporary phenomenon within its real-life context, especially when

(49)

A case study can not provide reliable information about the broader class, but it may be useful in the preliminary stages of an investigation since it provides hypotheses, which may be tested systematically with a larger number of cases (Seale, 2005: 420).

Vredenbregt (1980: 43) mengatakan bahwa ada dua hal yang memainkan peranan sangat penting dalam metode studi kasus, yaitu masalah generalisasi dan reliabilitasi. Studi kasus umum dipakai dalam rangka studi yang ekskploratif saja, bukan menguji suatu hipotesa melainkan justru berguna untuk memperkembangkan hipotesa. Studi kasus melalui pendekatannya berhasil untuk mengumpulkan data observasi yang luas dan terperinci yang didasarkan atas satu atau beberapa responden saja, atau satu kelompok sosial yang kecil yang karena kecilnya dapat ditangkap di dalam suatu studi kasus. Tujuan utama studi kasus adalah untuk memberi pemahaman baru ke dalam gejala-gejala sosial dan terutama dalam sistem sosial.

(50)

Yin (1996: 1) membagi tiga tipe studi kasus, yaitu (1) studi kasus eksplanatoris, (2) studi kasus eksploratoris, dan (3) studi kasus deskriptif. Pertama, apabila pertanyaan peneliti berfokus pada pertanyaan „apakah‟ maka bentuk pertanyaan ini merupakan pertanyaan studi kasus eksploratoris, misalnya cara-cara apakah yang paling efektif untuk menyelenggarakan suatu sekolah. Kedua, dapat

merupakan bentuk inkuiri „berapa banyak‟, misalnya apakah hasil dari reorganisasi manajerial khusus selama ini? Sebaliknya pertanyaan bagaimana dan mengapa lebih eksplanatoris dan lebih mengarah kepada penggunaan strategi studi kasus, historis dan eksperimen.

Peneliti yang menggunakan metode studi kasus membutuhkan interaksi secara terus menerus antara isu-isu teoretis yang akan diteliti dan data yang akan dikumpulkan. Peneliti studi kasus harus betul-betul terlatih dan berpengalaman. Ada beberapa keterampilan pokok menurut Yin (2003: 59) harus diperhatikan seorang peneliti studi kasus, diantaranya:

1. Cara mengajukan pertanyaan. Pikiran ingin tahu merupakan prasyarat utama selama mengumpulkan data dan bukan hanya sebelum dan sesudah kegiatan itu saja. Hal yang penting dalam mengajukan pertanyaan adalah memahami bahwa penelitian berkenaan dengan pertanyaan dan tidak harus berkenaan dengan jawaban.

(51)

memahami konteks-konteks yang digunakan sebagai sudut pandang pihak yang diwawancarai.

3. Penyesuaian diri dan fleksibilitas. Bila terjadi suatu perubahan, peneliti harus memelihara perspektif yang tidak bias dan mengakui situasi tersebut di mana peneliti sama sekali baru mungkin akan terlena. Peneliti kembali memperbaiki desain awal kasus yang bersangkutan.

4. Memegang erat isu-isu yang akan diteliti. Peneliti harus memahami isu-isu teoretis atau kebijakan karena keputusan harus dibuat selama fase pengumpulan data. Peneliti harus mampu menginterpretasikan informasi yang akan dikumpulkan dan mengetahui dengan segera.

5. Mengurangi bias. Semua kondisi terdahulu akan disangkal jika peneliti hanya menggunakan studi kasus untuk memperkuat posisi sebelumnya. Para peneliti studi kasus cenderung kepada persoalan ini karena mereka harus memahami isu-isu tersebut dan menguji kebebasan.

(52)

tidak diharapkan sebelumnya. Kelemahannya adalah hasil penelitian sulit untuk digeneralisasi dengan keadaan yang berlaku umum karena hasil penemuan diperoleh dari satu keadaan tertentu saja.

Konsep dan definisi studi kasus menurut para ahli tersebut menunjukkan bahwa apabila peneliti melakukan penelitian yang terinci terhadap seseorang atau sesuatu unit selama kurun waktu tertentu, berarti ia melakukan apa yang disebut penelitian kualitatif dengan metode studi kasus. Metode studi kasus melibatkan peneliti dalam penyelidikan yang lebih mendalam dan pemeriksaan secara menyeluruh terhadap tingkah laku seseorang individu. Peneliti memperhatikan bagaimana tingkah laku itu berubah ketika ia menyesuaikan diri dan memberi reaksi terhadap lingkungannya. Peneliti dalam mengumpulkan data perlu mengoleksi baik data lampau maupun keadaan sekarang dari seorang individu, termasuk lingkungannya. Setelah itu peneliti berusaha menemukan hubungan satu sama lain antara fakta-fakta tersebut.

C. Langkah – Langkah Penelitian

(53)

ini, saya mulai melaksanakan pencarian data melalui observasi, interviu, dan dokumentasi. Semua hasil data yang ditemukan di lapangan dicek keabsahannya dan dianalisis. Proses ini berjalan selama pelaksanaan penelitian berlangsung, dan ketiga adalah pembahasan hasil studi. Pada tahap ini, saya merampungkan pembahasan hasil studi berdasarkan data lapangan yang telah dianalisis. Dari hasil pembahasan akan lahir kesimpulan, implikasi dan rekomendasi, termasuk hasil penelitian dan pembahasan model pendidikan nilai sosial budaya dalam keluarga dan lingkungan manusia Bajo di Bajoe.

Secara sederhana saya merumuskan langkah-langkah penelitian sebagaimana gambar berikut:

(54)

D. Teknik Pengumpulan dan Analisis Data

1. Teknik Pengumpulan Data

Peneliti dalam mengumpulkan data berdasarkan pada pendapat Yin (2003: 85) bahwa data untuk keperluan studi kasus berasal dari enam sumber, yaitu: documentation, archival record, interviews, direct observation, participant

observation, and physical artifacts. Keenam sumber data tersebut dapat dijelaskan

sebagai berikut:

a. Dokumentasi

Penelusuran data lewat dokumen dianggap penting karena dapat mendukung dan menambah bukti dari sumber-sumber lain. Dokumen-dokumen tersebut mencakup (1) surat, memorandum, dan pengumuman resmi, (2) agenda, kesimpulan-kesimpulan pertemuan, dan laporan-laporan peristiwa tertulis lainnya, (3) dokumen-dokumen administratif seperti proposal, laporan kemajuan, dan dokumen-dokumen interen lainnya, (4) penelitian-penelitian atau evaluasi-evaluasi resmi pada situs yang sama, dan (5) klipping-klipping baru dan artikel-artikel lain yang muncul di media massa.

(55)

dokumen itu sumber data yang non-reaktif. Tatkala responden reaktif dan tidak bersahabat, peneliti dapat beralih ke dokumen sebagai solusi, dan (6) dokumen berperan sebagai sumber pelengkap dan pemerkaya bagi informasi yang diperoleh lewat interview dan observasi.

b. Rekaman Arsip

Data rekaman arsip juga penting sebagai pendukung dan penguat data lainnya. Kegunaan rekaman arsip dapat bervariasi; bisa berfungsi amat penting atau mungkin hanya sepintas relevansinya. Umumnya rekaman arsip dihasilkan untuk tujuan spesifik dan audiens yang spesifik pula, dan kondisi-kondisi ini harus dihargai sepenuhnya agar kegunaan dari rekaman arsip yang bersangkutan bisa diinterpretasikan secara tepat (Yin, 1996: 107). Rekaman arsip dapat berbentuk komputerisasi seperti: rekaman layanan, rekaman keorganisasian, daftar nama dan komoditi lain yang relevan, data survei, dan rekaman-rekaman pribadi seperti buku harian, kalender, dan daftar nomor telepon.

c. Wawancara

Sumber informasi studi kasus yang sangat penting dan esensial adalah wawancara. Studi kasus umumnya berkenaan dengan urusan manusia, maka ia harus dilaporkan dan diinterpretasi melalui penglihatan pihak yang diwawancarai, dan para responden yang mempunyai informasi dapat memberikan keterangan yang penting dan baik ke dalam situasi yang berkaitan (Yin,1996: 111).

(56)

mana yang paling tepat digunakan. Agar dapat mengungkap data secara mendalam, peneliti memperlihatkan sikap-sikap yang baik agar tetap terjalin hubungan harmonis antara peneliti dengan informan pada waktu melakukan wawancara. Sikap-sikap tersebut seperti: (1) peneliti harus obyektif, netral, dan tidak sok menghakimi atau sok tahu ihwal jawaban responden, sekalipun jawaban itu bertentangan dengan keyakinan peneliti, (2) peneliti harus sensitif terhadap simbol-simbol verbal dan non-verbal dari responden, dan harus menjadi pendengar yang reflektif, (3) peneliti harus memahami beban psikologis dari setiap pertanyaan yang diajukan, (4) peneliti harus menghindari pertanyaan yang terlalu meluas atau terlalu teoretis sehingga responden sulit menjawabnya, (5) peneliti harus merencanakan urutan pertanyaan dari basa basi kulo nuwun, pertanyaan umum, khusus, sensitif, penutup, dan sebagainya, (6)

peneliti seyogianya menghindari beberapa jenis pertanyaan, antara lain: (a) pertanyaan yes-no, karena jawabannya tidak akan produktif, (b) pertanyaan ganda, karena responden mungkin memiliki jawaban yang tidak sama untuk dua hal yang ditanyakan, dan (c) pertanyaan why, karena relatif menyulitkan responden mencari hubungan kausalitas antara dua variabel dan ada kecenderungan menghasilkan why, why, dan why berikutnya (Alwasilah, 2003: 21).

d. Observasi Langsung

(57)

peneliti dalam aktivitas responden kurang dominan karena perannya hanya sebagai pengamat.

e. Observasi Partisipasi

Berbeda dengan observasi langsung, observasi partisipasi berarti bahwa peneliti dalam mengumpulkan data tidak hanya menjadi pengamat yang pasif, melainkan juga mengambil berbagai peran dalam situasi tertentu dan berpartisipasi secara langsung ke dalam aktivitas masyarakat. Melalui observasi partisipasi, peneliti dapat menghasilkan gambaran data yang akurat dan mendalam dari fenomena. f. Perangkat-Perangkat Fisik

Sumber bukti yang terakhir adalah perangkat fisik atau kultural seperti peralatan teknologi, alat, pekerjaan seni, atau bukti fisik lainnya. Perangkat tersebut dapat dikumpulkan sebagai bagian dari kunjungan lapangan dan cara ini telah digunakan secara luas dalam penelitian antropologi

2. Teknik Analisis Data

Kata analysis berasal dari awalan ana yang berarti di atas, sedangkan kata lysis berasal dari bahasa Yunani yang berarti mengurai atau melarutkan (Bohm dalam Sirozi, 2004: 110). Jadi, analisis data dapat diartikan sebagai suatu proses menguraikan data menjadi komponen-komponen yang membentuknya atau untuk mengungkapkan struktur dan unsur khasnya. Tujuannya adalah untuk menguraikan makna yang dinyatakan oleh penjelasan informan dengan cara memerikan, menafsirkan, menjelaskan, memahami, meramalkan, dan bahkan mengubahnya.

(58)

hasil data lainnya. Semua data tersebut kemudian ditafsirkan dan dianalisis secara induktif. Untuk mendapatkan data yang berbobot, maka analisis data selalu berdasarkan pada data yang langsung dari lapangan dan dilakukan terus menerus semenjak peneliti memasuki area penelitian, sebagaimana yang dikatakan Miles dan Huberman (1992: 19) bahwa analisis data dilakukan sepanjang proses penelitian berjalan.

Dalam menganalisis dan menginterpretasi data, peneliti berdasarkan pada pendapat Stake (Creswell, 1998: 153) bahwa ada empat metode yang dapat digunakan untuk menganalisis dan menginterpretasi data dalam penelitian studi kasus. Pertama, analisis dan interpretasi categorical aggregation, di mana peneliti berusaha mengumpulkan contoh data dengan harapan bahwa semua issu itu memiliki makna yang relevan dengan tujuan penelitian. Kedua, direct interpretation, di mana peneliti langsung mencari dan menggali data tunggal dan mengungkapkan makna data tersebut. Ketiga, establishes patterns and looks for a correspondence between two or more categories, di mana peneliti mencari korespondensi antara

kategori-kategori data tersebut. Keempat, naturalistic generalizations, di mana peneliti menganalisis data secara generalisasi naturalistik dengan menggali sejumlah kasus lain yang terkait.

(59)

PENGUMPULAN DATA

PENYAJIAN DATA

KESIMPULAN VERIFIKASI REDUKSI

DATA

Teknik analisis data tersebut di atas mulai dari pengumpulan data, reduksi data, penyajian data, dan menarik kesimpulan dan verifikasi dapat dijelaskan secara lengkap sebagai berikut:

1. Pengumpulan Data

Peneliti mengumpulkan data dalam studi ini melalui pengamatan dan wawancara mendalam. Hasil data wawancara lapangan dicatat pada catatan deskriptif. Catatan deskriptif meliputi semua data yang dilihat, diamati, disaksikan, didengar, dan dialami sendiri oleh peneliti. Catatan deskriptif merupakan catatan alami yang diperoleh di lapangan tanpa komentar dan tafsiran peneliti, sedangkan catatan reflektif adalah catatan untuk mencatat data yang berupa kesan, komentar, pendapat, dan tafsiran peneliti terhadap semua fenomena yang dijumpai di lapangan.

(60)

2. Reduksi Data

Reduksi data merupakan suatu bentuk analisis untuk menajamkan, menggolongkan, mengarahkan, membuang yang tidak perlu, dan mengorganisasikan data sedemikian rupa sehingga melahirkan data yang valid dan akurat. Peneliti melakukan reduksi data dengan cara melakukan pemilihan, pemusatan perhatian, penyederhanaan, pengabstrakan, dan transformasi data kasar yang diambil dari catatan-catatan tertulis maupun hasil-hasil rekaman di lapangan. Selama berlangsung penelitian, peneliti melakukan reduksi data secara terus menerus.

3. Penyajian Data

Penyajian data merupakan alur penting kedua setelah pengumpulan data. Peneliti melakukan penyajian data dalam bentuk teks naratif dari catatan lapangan. Agar penyajian data tidak membawa peneliti kepada penarikan kesimpulan yang keliru dan tidak berdasar, maka peneliti melakukan koding data, klasifikasi data, serta melakukan penggolongan sesuai fokus masalah penelitian. Peneliti mengumpulkan semua data yang ditemukan di lapangan kemudian disusun dalam suatu bentuk terpadu agar mudah dipahami dan dianalisis.

4. Menarik Kesimpulan dan Verifikasi

Dalam hal ini, peneliti menyimpulkan dan memverifikasi semua data yang telah ditemukan di lapangan untuk melahirkan data yang akurat. Agar data yang telah disimpulkan dan diverifikasi diyakini keakuratannya, maka peneliti melakukan check dan recheck data dan juga cross check data. Peneliti men-check data dengan

(61)

kepada subyek yang sama dalam waktu yang berbeda, sedangkan meng-cross check data berarti peneliti menggali keterangan keadaan sesungguhnya subyek dari yang satu kepada subyek yang lainnya.

Agar data betul-betul lebih meyakinkan, representatif, akurat, dan valid, peneliti melakukan triangulasi data. Triangulasi dilakukan untuk mengurangi bias penelitian dan memudahkan peneliti melihat keluasan penjelasan yang dikemukakan. Ada dua keuntungan melakukan triangulasi, yakni: pertama, dapat mengurangi risiko terbatasnya kesimpulan pada metode dan sumber data tertentu. Kedua dapat meningkatkan validitas kesimpulan sehingga lebih merambah pada ranah yang lebih luas (Alwasilah, 2003: 150).

Peneliti melakukan triangulasi data melalui empat cara, yaitu: (1) membandingkan data hasil pengamatan dengan data hasil wawancara; (2)

membandingkan apa yang disampaikan informan di depan umum dengan yang disampaikan secara pribadi; (3) membandingkan data yang dikatakan orang dalam situasi penelitian dengan data yang disampaikan sepanjang waktu; dan (4) membandingkan keadaan dan pendapat informan dengan pendapat dan pandangan orang lain dengan latar belakang yang berbeda.

E. Informan Penelitian

Gambar

gambar berikut:
Gambar 3.2. Teknik Analisis Data diadaptasi                         dari Model Miles dan Huberman
Gambar 3.3.  Jadual Pelaksanaan Penelitian Pendidikan                                 Nilai Sosial Budaya pada Manusia Bajo di Bajoe
Gambar 3.4.  Kerangka Pemikiran Penelitian

Referensi

Dokumen terkait

Hasil analisis tersebut dapat penulis jelaskan lingkungan belajar dan keharmonisan di dalam keluarga dengan pengamalan nilai- nilai pancasila dalam kehidupan bangsa

Mata pencaharian masyarakat Bajo yang tingggal di Pulau Bungin Sumbawa adalah sebagai nelayan. Nelayan dalam konteks budaya mereka adalah kegiatan yang dilakukan

Upaya untuk menumbuhkembangkan kehidupan sosial budaya yang yang sehat sesuai dengan jati diri dan nilai-nilai budaya bangsa, ditengah masyarakat yang berhadapan

Kedua sastra lisan Iko-Iko selain sebagai bentuk kekayaan budaya yang dimiliki oleh masyarakat Bajo, Iko-Iko juga memiliki beberapa fungsi yang cukup setrategis dalam

Struktur sosial pada dasarnya merupakan perilaku aktual manusia yang muncul dalam hubungan antarsesamanya maupun dalam hubungan mereka dengan lingkungan alam

Sosialisasi Budaya Non Materi Cara orang tua mensosialisasikan nilai budaya non materi, anak umur 0-10 orang tua mengajarkan hal-hal bersifat kebiasaan dalam keluarga seperti,

NILAI-NILAI KULTURAL YANG TERDAPAT DALAM BASANAN USING BANYUWANGI Keberagaman nilai yang ada dalam budaya atau kultur manusia, berdasarkan arah tujuan dan fungsi nilai bagi kehidupan

Keluarga merupakan hal yang sangat penting dalam kehidupan