• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang"

Copied!
82
0
0

Teks penuh

(1)
(2)

BAB I PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta merupakan salah satu provinsi di Indonesia yang terletak di sebelah selatan pulau jawa. Secara administrasi, provinsi daerah Istimewa Yogyakarta berbatasan dengan kabupaten Magelang dan Klaten di sebelah utara, sebelah selatan dengan Samudra Hindia, sebelah barat dengan kabupaten Purworejo dan sebelah timur berbatasan dengan kabupaten Klaten dan Wonogiri. Secara fisiografis dapat dilihat bahwa bentang lahan yang ada di provinsi Daerah Istimewa Yogjakarta sangat beragam, mulai dari gunung api merapi di sebelah utara yang tinggi dan punya lereng yang terjal, daerah dataran di sebelah selatan gunung api, dan perbukitan karst di sebelah tenggara tepatnya terletak di kabupaten Gunung Kidul, dan wilayah kepesisiran yang membentang di sebelah selatan dengan berbagai bentukan geomorfologi dan tipologinya. Keberagaman bentang lahan yang ada di provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta tidak terlepas dari aktivitas geomorfologi dengan segala proses-proses pembentukannya, karena secara umum, pulau jawa terletak dekat dengan zona tumbukan/penujaman lempeng bawah laut samudra (lempeng indo-australia) dan lempeng benua (lempeng Eurasia) yang menyebabkan terangkatnya sisi selatan pulau jawa, dan mengakibatkan variasi bentuk bentang lahan yang ada di provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta.

Bentuklahan yang paling luas di planet kita adalah wilayah kepesisiran. Dalam skala alaminya, garis pesisir dapat mencapai panjang lebih dari satu juta kilometer. Sepanjang perbatasan antara wilayah laut dan wilayah daratan ini, terdapat banyak macam proses dan bentuk dari bentanglahan kepesisiran yang kompleks. Beberapa proses seperti kenaikan muka air laut akibat mencairnya es pada akhir zaman es berdampak pada garis pesisir secara global, namun ada beberapa proses yang terjadi hanya pada lingkungan spesifik tertentu (scheffers, et. al. 2012).

(3)

Wilayah pesisir merupakan wilayah pertemuan antara darat dan laut, dengan batas ke arah darat meliputi bagian daratan, baik kering maupun terendam air yang masih mendapat pengaruh sifat-sifat marine seperti angin laut, pasang surut, dan intrusi, serta dicirikan oleh vegetasi yang khas, sedangkan batas ke arah laut mencakup bagian atau batas terluar daripada daerah paparan benua (continental shelf), dimana ciri-ciri perairan ini masih dipengaruhi oleh proses alami yang terjadi di darat seperti sedimentasi dan aliran air tawar, maupun proses yang disebabkan oleh kegiatan manusia di darat seperti pengundulan hutan dan pencemaran (Bengen, dalam Purwantara et. al, 2013). Sedangkan menurut Kodoatie dan Sjarief (2010), yang dimaksud dengan pesisir atau pantai adalah suatu daerah di tepi laut sebatas surut terendah dan pasang tertinggi, di mana daerah ini terdiri atas daratan dan perairan. Pada daerah pantai ini masing-masing wilayahnya dipengaruhi oleh aktivitas daratan dan aktivitas marin, sehingga dapat disimpulkan bahwa daerah tersebut memiliki sifat ketergantungan satu sama lain, atau dapat juga diartikan saling mempengaruhi.

Proses fisik yang terjadi di lautan dan daratan secara terus-menerus akan membentuk jenis/tipologi pesisir tertentu tergantung pada proses genetik dan material penyusunnya, sehingga tiap tipologi pesisir tertentu akan memberikan ciri-ciri pada bentanglahan (landscape) dan berbagai macam sumberdaya yang ada di wilayah pesisir tersebut. Kajian tipologi pesisir Indonesia ditetapkan dengan menggunakan 3 (tiga) komponen, yaitu fisik/abiotik, biotik/hayati, dan kultural/sosio-ekonomi (Suprajaka., et al dalam Purwantara, et al, 2013).

Wilayah kepesisiran, sebagai salah satu bagian dari planet bumi, terus mengalami perubahan. Perubahan ataupun dinamika ini sedang terjadi dan akan terus terjadi sepanjang waktu, sehingga akan menghasilkan tipologi bentuklahan dengan karakteristik tertentu pada wilayah tertentu pula. Perbedaan tipologi yang terjadi akibat dinamika yang disebabkan oleh tenaga dari dalam bumi (endogen) dan tenaga dari luar bumi (eksogen) akan menghasilkan karakteristik yang berbeda pada setiap tipologinya, sehingga penting bagi kita untuk mengetahui dan memahami setiap karakteristik, tipologi, serta aspek sosial ekonomi dari masing-masing wilayah pesisir, yang mana pengetahuan dan pemahaman ini akan

(4)

dijadikan sebagai dasar pertimbangan dan pengambilan keputusan dalam strategi dan pengelolaan wilayah kepesisiran.

Pengumpulan data lapangan mengenai karakteristik fisik, sosial dan ekonomi suatu bentanglahan kepesisiran tidaklah mudah, sehingga diperlukan seperangkat metodologi yang efektif dan efisien dari segi waktu dan biaya. Metode survey cepat terintegrasi (Rapid integrated survey) menawarkan kemudahan dengan mengintegrasikan data penginderaan jauh, data geospasial, dan data survey lapangan (Poniman A., et al, 2013) untuk mengetahui dan memahami dinamika, karakteristik, tipologi, serta aspek sosial ekonomi dari masing-masing wilayah pesisir, sehingga pengambilan keputusan dalam perencanaan dan strategi pengelolaan wilayah kepesisiran, dapat dilakukan dengan tepat.

1.2. Rumusan Masalah

Berdasarkan latarbelakang di atas, maka rumusan masalah yang diangkat dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:

a. Bagaimana tipologi dan karakteristik wilayah pesisir Sadeng, Siung, dan Sundak ?

b. Bagaimana potensi sumber daya alam yang terdapat pada wilayah pesisir Sadeng, Siung, dan Sundak?

c. Bagaimana strategi pengelolaan wilayah dan lingkungan yang tepat dan sesuai dengan potensi sumber daya alam dan ancaman bencana yang dimiliki wilayah pesisir Sadeng, Siung, dan Sundak ?

1.3. Tujuan

Berdasarkan rumusan masalah di atas, maka tujuan penelitian ini adalah sebagai berikut:

a. Mengetahui karakteristik dan tipologi wilayah pesisir Sadeng, Siung, dan Sundak.

b. Menginventarisir potensi sumber daya alam yang terdapat pada wilayah pesisir Sadeng, Siung, dan Sundak dengan metode Rapid Integrated Survey

(5)

c. Mengetahui potensi sumber daya alam serta permasalahannya, dan merencanakan strategi pengelolaan pesisir Sadeng, Siung, dan Sundak yang tepat.

(6)

BAB II

LANDASAN TEORI

2.1. Ruang Wilayah Pesisir

Wilayah pesisir menurut Undang-Undang No. 1 Tahun 2014 tentang Perubahan atas Undang-Undang No. 27 tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil pasal (1) mengatakan bahwa wilayah pesisir adalah peralihan antara ekosistem darat dan laut yang dipengaruhi oleh perubahan di darat dan laut. Pesisir menurut Snead (1982) dalam Murti (2011) adalah daerah membentang di pedalaman dari laut, umumnya sejauh perubahan topografi pertama di permukaan daratan. ICZM menyebutkan bahwa pesisir secara geografis lebih luas daripada zona pesisir, dengan batas-batas yang luas lebih jauh ke daratan. Zona pesisir merupakan bagian dari wilayah pesisir. Hal ini penting dari sudut pandang fungsional, karena banyak proses, baik itu lingkungan, demografi, ekonomi atau sosial yang sebenarnya berasal dalam batas-batas yang lebih luas dari wilayah pesisir, tetapi manifestasi utama mereka hanya dapat dilihat dalam batas-batas zona pesisir. Zona pesisir adalah zona interface yang relatif sempit antara darat dan laut, di mana proses fungsional dan ekologi yang kompleks dan intensif yang bergantung pada keberlangsungan interaksi antara darat dan laut. Secara ekologis, wilayah pesisir mengandung sejumlah habitat darat dan perairan penting yang terkait erat dengan sistem sosial ekonomi, membentuk unit fungsional yang kompleks. Namun konsep tersebut akan berbeda disetiap negara. Lebih jauh konsep pesisir oleh Thurman (1978) dalam Murti (2011) menjelaskan bahwa pesisir merupakan area lahan yang membentang di pedalaman dari garis pesisir (coastline) sejauh pengaruh laut yang dibuktikan pada bentuk lahannya.

(7)

Gambar 2.1 memberikan representasi pembagian zona pada wilayah pesisir berpasir secara cross section. Diketahui bahwa wilayah pesisir terdiri dari zona pecah gelombang, pantai dan gisik, pesisir serta dataran aluvial kepesisiran dan rawa belakang. Pembagian zona wilayah pesisir ini akan berbeda berdasarkan tipologi pantai.

2.2. Dinamika Wilayah Kepesisiran

Dinamika peisisir merupakan proses perubahan yang melibatkan aspek ruang dan waktu pada daerah pesisir yang dipengaruhi oleh berbagai macam tenaga, baik dari dalam bumi maupun dari luar bumi (Marfai, et al, 2013). Proses perubahan ini dapat terjadi dalam kurun waktu yang lama, namun dapat pula terjadi secara rutin dengan waktu yang relatif singkat. Proses dinamika yang membutuhkan waktu lama dapat dikaji dengan pendekatan aspek-aspek geomorfologi yang ada, sedangkan proses yang rutin masih dapat diamati hingga saat ini. Terdapat tujuh faktor penyebab dinamka kepesisiran, yaitu astrodinamik, aerodinamik, hidrodinamik, morfodinamik, geodinamik, ekodinamik, serta antropodinamik (Sunarto, 2008 dalam Marfai, et al, 2013).

Faktor astrodinamik berhubungan dengan posisi serta kedudukan matahari dan bulan terhadap bumi. Kedudukan matahari terhadap bumi akan berpengaruh kepada gerakan angin, gerakan arus laut, kondisi suhu serta kelembaban, dan selanjutnya berpengaruh terhadap perubahan musim di bumi. Pengaruh kedududkan bulan terhadap bumi yaitu ditandai dengan peristiwa pasang surut air laut. Faktor lain yaitu yang disebabkan oleh angin atau disebut dengan aerodinamik. Pengaruh dari angin menyebabkan terjadina dinamika di pesisir berupa gerakan gelombang. Faktor aerodinamik juga dapat menyebabkan terjadinya erosi pantai oleh angin yang menghasilkan material-material halus.

Hidrodinamik merupakan faktor yang mempengaruhi dinamika pesisir akibat dari gerakan air laut, seperti gelombang dan arus pasang surut. Proses dinamika ini nantinya akan menghasilkan tipologi pesisir berupa wave erosion coast atau marine deposition coast. Jika proses erosi dan sedimentasi disebabkan oleh aliran sungai yang berinteraksi dengan pesisir maka dinamika peisisr dipengaruhi oleh faktor morfodinamik. Proses dinamika ini akan membentuk tipologi pesisir sub

(8)

aerial deposition coast yang ditandai oleh terbentuknya delta, pembelokan muara sungai, serta bura. Dinamika peisisr juga dapat dipengaruhi oleh proses endogenik atau proses dari dalam bumi. Faktor ini biasa disebut dengan geodinamik, yaitu faktor dinamika peisisr yang dipengaruhi oleh proses patahan, lipatan, serta vulkanisme. Dinamika peisisr yang dipengaruhi oleh faktor geodinamik akan menghasilkan tipologi peisisr structural shaped coast dan volcanik coast.

Perubahan ekosisitem pada suatu pesisir juga dapat mengakibatkan terjadinya dinamika pesisir. Faktor ekosistem ini disebut ekodinamik yang dipengaruhi oleh perkembangan ekosistem, rusaknya ekosistem, hilangnya ekosistem, hingga munculnya ekosistem baru. Proses dinamika pantai yang disebabkan oleh faktor ekodinamik akan menghasilkan tipologi peisisr coast built by organism. Manusia sebagai salah satu aspek ekosistem juga dapat memberikan pengaruh tersendiri terhadap dinamika pesisir. Faktor ini dikenal dengan antropodinamik, yaitu berhubungan dengan kebutuhan manusia dalam pengelolaan dan pemanfaatan pesisir, seperti reklamasi, pembuatan dermaga, pelabuhan, serta bangunan pantai lainnya.

2.3. Oseanografi

Menurut Hutabarat dan Evans (1985), secara sederhana oseanografi adalah ilmu yang mempelajari tentang lautan, yang juga merupakan perpaduan dari ilmu-ilmu dasar lainya, sehingga ilmu-ilmu ini bukanlah ilmu-ilmu yang murni. Ilmu-ilmu-ilmu lain yang turut mengembangkan ilmu oseonografi yaitu geologi, geografi, fisika, kimia, biologi, serta meteorologi. Oseanografi yang berhubungan dengan ilmu bumi (geografi) yaitu tentang bentuk morfologi, proses (dinamika), serta pembagian ruang berdasarkan karakteristiknya. Permukaan dasar lautan memiliki bentuk yang komplek seperti daratan. Hutabarat dan Evans (1985) memnyebutkan bahwa bentuk-bentuk morfologi dasar lautan meliputi Ridge and Rise, Trench, Abyssal Plain, Continental Island, Island Arc, Mid-Oceanic Volcanic Island, Atol-atol, serta Seamond and Guyot. Proses (dinamika) yang terjadi lautan dapat berupa peristiwa pasang surut serta terjadinya gelombang.

(9)

a. Pasang Surut

Pratikno, et al (1997) menyebutkan tentang definisi pasang surut yang merupakan perubahan ketinggian muka air laut karena gerak grafitasi bulan dan grafitasi serta benda-benda langit lainnya pada perputaran bumi. Pasang surut air laut merupakan gelombang panjang yang merambat seperti gelombang air dangkal, meskipun pasang surut terjadi pada laut yang paling dalam (Pratikno, et al, 1997). Gelombang pasang surut pada daerah dangkal akan berjalan lebih lambat dibandingkan di lepas pantai karena adanya pengaruh kekasaran dasar yang mereduksi energi.

Setiap satu bulan biasanya terjadi dua kali siklus lengkap pasang surut yang berhubungan dengan fase bulan (Hutabarat dan Evans, 1985). Tinggi pasang akan mulai naik pada hari pertama, kemudian akan mencapai tinggi maksimum pada hari keenam dan ketujuh, kemudian akan turun lagi pada ketingginan minimum pada hari keempat belas. Pasang dengan tinggi maksimum disebut dengan spring tide, sedangkan pasang dengan tinggi minimum disebut neap tide. Spring tide akan terjadi pada waktu bulan baru dan bulan penuh, sedangkan neap tide akan terjadi pada waktu perempat bulan pertama dan perempat bulan ketiga.

b. Gelombang

Angin yang bertiup diatas permukaan laut merupakan energi utama pembangkit gelombang (Hutabarat dan Evans, 1985). Gelombang yang dihasilkan oleh angin biasanya berbentuk tidak menentu. Bentuk yang tidak menentu ini karena dipengaruhi juga oleh bentuk angin. Hutabarat dan Evans (1985) menyebutkan bahwa terdapat tiga bentuk angin yang menyebabkan terjadinya perbedaan sifat gelombang, yaitu kecepatan angin, waktu dimana angin sedang bertiup, serta jarak tanpa rintangan dimana angin sedang bertiup (fetch). Semakin kencang angin bertiup maka semakin besar gelombang yang terbentuk dengan kecepatan yang semakin tinggi serta panjang gelombangnya semakin besar. Tinggi, kecepatan, dan panjang gelombang cenderung meningkat seiring dengan meningkatnya waktu pada saat angin pembangkit gelombang mulai bergerak

(10)

bertiup. Semakin besar atau luas fetch maka panjang gelombang yang terbentuk juga semakin besar, begitu pula sebaliknya.

Gambar 2.2 Parameter Gelombang Sumber: Pratikno et al (1997)

Gelombang memiliki beberapa parameter utama yang terdiri dari panjang gelombang, tinggi gelombang, serta periode gelombang. Parameter lain seperti pengaruh percepatan dapat ditentukan dari ketiga parameter utama tersebut. Beberapa parameter gelombang terpapar pada Gambar 2.2 Berikut Pratikno, et al (1997) menjelaskan definisi dari parameter-parameter gelombang tersebut:

1. Panjang Gelombang (L), merupakan jarak horisontal antara dua puncak atau titik tertinggi gelombang yang berurutan, bisa juga dikatakan sebagai jarak antara dua lembah gelombang yang berurutan.

2. Periode Gelombang (T), merupakan waktu yang dibutuhkan oleh dua puncak atau lembah gelombang yang berurutan untuk melewati suatu titik tertentu. 3. Kecepatan rambat Gelombang / Celiriti (C), merupakan perbandingan antara

panjang gelombang dan periode gelombang (L/T).

4. Amplitudo (a), merupakan jarak vertikal antara puncak atau titik tertinggi gelombang atau lembah atau titik terendah gelombang dengan muka air tenang (H/2).

Terdapat dua macam tipe gelombang, yaitu konstruktif dan destruktif. Tipe gelombang konstruktif merupakan tipe gelombang yang biasa dan tidak bersifat merusak, sedangkan untuk tipe gelombang destruktif merupakan tipe gelombang

(11)

yang merusak. Kedua tipe gelombang tersebut ditentukan berdasarkan perbandingan antara ketinggian gelombang dengan panjang gelombang. Tipe gelombang konstruktif jika nilai perbandingan tinggi gelombang dan panjang gelombang kurang dari 0,025 (H/L < 0,025). Sedangkan untuk tipe gelombang destruktif yaitu gelombang yang terbentuk dengan perbandingan nilai ketinggian gelombang dan panjang gelombang lebih dari atau sama dengan 0,025 (H/L ≥ 0,025).

Penjalaran gelombang mendekati garis pantai akan mengalami gesekan dengan permukaan dasar. Hal ini karena semakin ke arah daratan kedalaman muka air laut akan semakin dangkal. Gelombang yang mengenai permukaan dasar akan mengalami pecah gelombang atau disebut empasan gelombang. Zeverbergen, et al (2004) dalam Marfai (2011) menyebutkan bahwa terdapat empat tipe empasan gelombang yaitu plunging, spilling, surging, dan collapsing. Tipe plunging dicirikan dengan bentuk empasan gelombang yang cembung kebelakang dan cedung kedepan. Tipe spilling terjadi bila gelombang sudah pecah sebelum sampai pada zona pecah gelombang yang biasanya. Tipe surging merupakan tipe empasan yang ditandai den gelombang pecah tepat di tepi pantai. Tipe collapsing merupakan gelombang yang pecah setengah dari biasanya dan tidak naik ke darat. Bentuk-bentuk secara visual mengenai macam-macam empasan gelombang tersebut terpapar pada Gambar 2.3 berikut.

Gambar 2.3 Bentuk-bentuk Empasan Gelombang Sumber: Zeverbergen, et al (2004) dalam Marfai (2011)

(12)

2.3. Tipologi Wilayah Pesisir

Pembangunan wilayah kepesisiran tidak dapat terlepas dari pemahaman tipologi pesisir. Hal tersebut perlu diperhatikan karena masing-masing tipe pesisir memiliki potensi yang berbeda-beda. Shepard (1974) menyatakan bahwa berdasarkan pada genesisnya, pesisir dibagi menjadi dua, yaitu pesisir primer dan sekunder (Gambar 2.4). Pembagian ini didasarkan pada asal tenaga utama yang membentuk. Pesisir primer adalah pesisir yang dominan terbentuk oleh proses-proses dari daratan seperti aktivitas volkanik (Volcanic Coast), tektonik seperti patahan dan lipatan (Structurally Shaped Coast), pesisir yang terbentuk karena pengaruh sungai yang bermuara di pesisir (karena endapan proses fluvial/sub-aerial deposition coast) serta longsoran dan erosi daratan (Land Erosion Coast). Tipologi sekunder adalah tipologi yang terbentuk oleh tenaga yang berasal dari laut, yaitu tenaga gelombang (Wave Erosion Coast), pengendapan material marin (Marine Deposition Coast) serta pesisir yang terbentuk oleh aktivitas organisme di laut (Coast Built by Organism). Bentuk dan proses pada masing-masing tipologi pesisir akan menyebabkan dinamika pesisir dan potensi bencana yang berbeda (Marfai et. al., 2012).

Gambar 2.4 Tipologi Primer dan Sekunder (Shepard, 1974)

2.4. Pengelolaan Wilayah Pesisir

CZM (Coastal Zone Management) menyebutkan terdapat 3 dasar dalam pengelolaan wilayah pesisir, yaitu (1) menghindari pembangunan pada area yang rawan akan adanya genangan dari pengaruh laut, (2) memastikan bahwa sistem alami berfungsi secara berkelanjutan atau dengan kata lain siklus alam tidak terganggu, (3) mampu melindungi kehidupan masyarakat pesisir termasuk didalamnya properti dasar dan kegiatan ekonomi masyarakat dari dinamika proses di pesisir. Strategi pembangunan wilayah pesisir harus

(13)

melihat dari 5 aspek, yaitu spatial harmony, renewable capacity, viability, management limbah hasil kegiatan, dan artificial building.

Undang-undang nomor 27 tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil menjelaskan bahwa pengelolaan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil adalah suatu proses perencanaan, pemanfaatan, pengawasan, dan pengendalian Sumber Daya Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil antarsektor, antara Pemerintah dan Pemerintah Daerah, antara ekosistem darat dan laut, serta antara ilmu pengetahuan dan manajemen untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Tujuan dari pengelolaan ini adalah sebagai berikut ini:

a. Melindungi, mengonservasi, merehabilitasi, memanfaatkan, dan memperkaya Sumber Daya Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil serta sistem ekologisnya secara berkelanjutan; b. Menciptakan keharmonisan dan sinergi antara Pemerintah dan Pemerintah Daerah

dalam pengelolaan Sumber Daya Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil;

c. Memperkuat peran serta masyarakat dan lembaga pemerintah serta mendorong inisiatif Masyarakat dalam pengelolaan Sumber Daya Pesisir dan PulauPulau Kecil agar tercapai keadilan, keseimbangan, dan keberkelanjutan; dan

d. Meningkatkan nilai sosial, ekonomi, dan budaya Masyarakat melalui peran serta Masyarakat dalam pemanfaatan Sumber Daya Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil.

2.4. Pengembangan Wilayah Pesisir

Salah satu aspek yang dapat dijadikan bahan pertimbangan dalam melakukan pengembangan wilayah pesisir ialah dengan mempertimbangkan kondisi tipologi pantai. Pembagiaan tipe pantai wilayah studi didasarkan pada klasifikasi tipologi pantai yang disusun oleh Pusat Studi Sumber Daya Alam dan Lingkungan Universitas Hasanuddin (PSDAL UNHAS) dengan Direktorat Bina Tata Perkotaan dan Pedesaan Departemen Pekerjaan Umum, Tahun 1997, secara garis besar dapat diklasifikasikan kedalam 5 (lima) jenis, yaitu :

a. Tipe A, pantai berupa teluk dan tanjung yang panjang dan beberapa pulau terletak di mulut teluk, kemiringan dasar yang curam (>0,1) dan terbentuk dari kerikil, daratan pantai yang berbukit, tinggi ombak datang di bawah 1 meter, kecepatan arus di bawah 1 meter/detik tipe pasang surut adalah setengah harian, priode ulang kejadiaan badai di atas 1 tahun.

Pantai tipe A sangat potensial dikembangkan menjadi kawasan perdagangan, jasa pelayanan, pergudangan, pelabuhan, industri, permukiman dan resort/pariwisata.

(14)

b. Tipe B, pantai berupa teluk tanpa pulau terletak di mulut teluk, kemiringan dasar yang landai (0,01<s0,1)dan terbentuk dari pasir, memiliki lingkungan muara, tinggi ombak datang antara 1-2 meter, kecepatan arus antara 0,5-1 meter/detik, tipe pasut adalah campuran dan perioda ulang kejadiaan badai di atas 15 tahun.

Pantai tipe B cukup potensial dikembangkan menjadi kawasan perdagangan dan prasarana penunjang pantai tipe A, namun perlu dilakukan rekayasa khusus untuk meningkatkan aksesibilitas terhadap pusat kota misalnya pembuatan dermaga, reklamasi pantai dan sebagainya.

c. Tipe C, pantai berupa laguna, kemiringan dasar yang datar (s<0,01) dan terbentuk dari lumpur, memiliki lingkungan rawa pantai, tingi ombak datang di bawah 1 meter, kecepatan arus di bawah 0,5m/detik, tipe pasang surut adalah setengah harian, periode ulag kejadiaan badai di atas 15 tahun.

Pantai tipe C tidak potensial untuk kegiatan binaan penduduk, perlu rekayasa khusus melalui penguatan dan peningkatan khusus untuk meningkatkan aksesibilitas terhadap pusat kawasan kota misalnya pembuatan dermaga, reklamasi pantai dan sebagainya. d. Tipe D, pantai terbuka, kemiringan dasar yang landai (0,01<s<1) dan terbentuk dari

pasir, memiliki lingungan muara, tinggi ombak datang diantara 1<H(1/3)<2 meter, kecepatan arus diantara 0,5 dan 1 m/detik, tipe pasang surut campuran, periode, kejadiaan ulang badai 5 sampai 15 tahun.

Pantai Tipe D pada umumnya dimanfaatkan untuk budidaya air payau, hutan rawa, pengembangan ecoturisme, penikmatan penjelajahan hutan pantai dan melihat flora dan fauna langka serta permukiman.

e. Tipe E, pantai terbuka kemiringan dasar yang curam (s<0,1) dan terbetuk dari kerikil memiliki lingkungan muara, tinggi omak datang di atas 2 meter, kecepatan arus di atas 1 m/detik, tipe pasang surut harian, perioda kejadiaan ulang badai di antara 5-15 tahun.

Tipe E, umumnya dimanfaatkan untuk pelabuhan dengan rekayasa break water yang lebih panjang untuk membuat kolam pelabuhan yang lebih luas, pengembangan ecoturisme, memancing dan permukiman.

(15)

BAB III

METODE PENELITIAN

3.1. Alat dan Bahan

Alat dan bahan yang digunakan dalam kajian ini terpapar pada Tabel 3.1. berikut.

Tabel 3.1. Alat dan Bahan

No Alat / Bahan Kegunaan

1 Alat Tulis Menulis hasil wawancara serta kenampakan di lapangan

2 Checklist Media menyimpan data hasil wawancara dan pengamatan di lapangan

3 Kamera Mengabadikan kenampakan fisik dan sosial

dalam bentuk foto

4 EC Meter Mengukur nilai DHL air (air permukaan, air tanah, dan mata air)

5 pH Stick Mengicentifikasii nilai pH air

6 Meteran 30 meter Mengukur kedalaman sumur 7 Hand Anemometer Mengukur kecepatan angin

8 Bendera Mengetahui arah pergerakan angin

9 Kompas Geologi Mengukur dip dan strike, arah hadap lereng, serta arah angin

10 Komparator Material Mengetahui karakteristik besar butir material pesisir

11 Sekop (Cetok) Membuka profil tanah 12 Palu Geologi Analisis kekerasan batuan

13 Larutan HCL Mengetahui kandungan bahan organik (BO) tanah

14 Citra Google Earth Mengetahui kenampakan bentanglahan daerah kajian

15 Peta Geologi Mengetahui kondisi geologi serta umur batuan daerah kajian

16 Peta RBI Lembar Baron, Jepitu, dan Paranggupito

Mengetahui informasi administrasi daerah kajian

(16)

3.2. Metode Survei

Rapid Integrated Survey (RIS) atau jika dalam bahasa indonesia disebut survei cepat terintegrasi merupakan metode survei untuk inventarisasi sumberdaya alam wilayah kepesisiran yang dapat dilakukan secara cepat, tepat, bersifat menyeluruh, dan dapat diterapkan kapan saja di semua wilayah kepesisiran dengan mengintegrasikan berbagai aspek serta disiplin ilmu untuk mendapatkan hasil yang dapat dimanfaatkan oleh semua pengguna data (Gunawan, et al, 2005). Metode survei ini menggunakan prinsip model triagulasi, yaitu model survei yang memadukan tiga teknik survei yang tidak dapat terpisahkan antara data dan informasi sekunder, observasi lapangan, serta interview semi terstruktur. Ketiga teknik survei tersebut dihubungkan oleh ikatan diskusi yang intensif. Visualisasi dari prinsip dasar triagulasi ini terpapar pada Gambar 3.1 berikut.

Gambar 3.1. Prinsip “Triagulation Model” Sumber: Gunawan et al (2005)

Rapid Integrated Survey atau Survei Cepat Terintegrasi dilakuan dengan menggunakan data penginderaan jauh, informasi geospasial, dan survei lapangan. Dinamakan survei cepat karena dilakukan secara cepat yaitu dalam waktu satu hari namun dengan berbekal data citra satelit serta informasi geospasial yang telah ada. Data penginderaan jauh atau citra satelit yang digunakan yaitu Citra Google

(17)

Earth perekaman tahun 2016. Data geospasial yang digunakan yaitu Peta Geologi serta Peta RBI yang mencakup daerah kajian.

Metode ini memang mengedepankan survei secara cepat di lapangan namun sebelum turun ke lapangan telah dilakukan persiapan terlebih dahulu dengan mengumpulkan data dan informasi sebanyak mungkin. Selain itu juga dilakukan analisis penginderaan jauh terlebih dahulu untuk mengetahui kondisi daerah kajian, sehingga dapat dilakukan survei lapangan yang efektif dan efisien. Integrasi dilakukan sebelum dan saat survei lapangan, yaitu dilakukan pembagian tugas antara survei kondisi fisik (pengamatan dan pengukuran) dengan survei kondisi sosial (pengamatan dan wawancara).

Metode survei cepat terintegrasi dikembangkan dengan prinsip-prinsip sebagai berikut (Poninam, et al, 2013):

a. Survei dilaksanakan hanya beberapa hari dengan memnfaatkan data dan informasi geospasial.

b. Sebelum lapangan dilakukan analisis citra penginderaan jauh yang dapat memanfaatkan Citra Google Earth.

c. Ekstraksi informasi penutup lahan dan penggunaan lahan dari citra penginderaan jauh (Google Earth) untuk perencanaan lokal sebegai sumber analisis pengelolaan peisisir.

d. Pendekatan geografi diterapkan dengan menggabungkan antara pendekatan keruangan (Struktur dan pola), kelingkungan (abiotik, biotik, curture), serta kompleks wilayah (DAS dan daerah kepesisiran).

e. Survei lapangan yang terfokus pada batasan wilayah kepesisiran, klasifikasi tipologi dan karakteristik wilayah kepesisiran, serta dinamika wilayah kepesisiran yang ada.

f. Kegiatan wawancara yang dilakukan kepada masyarakat sekitar untuk mengetahui kondisi sosial, ekonomi, dan budaya daerah kajian.

g. Hasil akhir berupa strategi pengelolaan wilayah kepesisiran dengan memperhatikan kondisi fisik dan sosial yang ada sekarang, ancaman bencana alam, serta potensi pengembangan yang dapat dilakukan.

(18)

3.3. Penentuan Tipologi Pesisir

Tipologi pesisir ditentukan berdasarkan klasifikasi menurut Shepard (1972) dalam Marfai, et al (2013). Terdapat dua macam klasifikasi pesisir yang utama, yaitu pesisir primer dan pesisir sekunder. Pesisir primer merupakan pesisir yang terbentuk oleh proses-proses yang berasal bukan dari aktivitas marin, sedangkan pesisir sekunder merupakan pesisir yang terbentuk oleh adanya kontrol dari proses-proses yang berasal dari marin (Marfai, et al, 2013) . Pengukuran dan pengamatan lapangan dilakukan untuk mengetahui karakteristik dari masing-masing pesisir. Analisis penginderaan jauh dengan menggunakan citra google earth juga dilakukan untuk memudahkan dalam klasifikasi tipologi.

3.4. Penentuan Dinamika Pesisir

Sunarto (2008) dalam Marfai, et al (2013) menyebutkan bahwa terdapat beberapa faktor yang menyebabkan terjadinya dinamika pesisir, yaitu antara lain astrodinamik, aerodinamik, hidrodinamik, morfodinamik, geodinamik, ekodinamik, serta antropodinamik. Pengkajian tentang dinamika pesisir dilakukan dengan melakukan pengamatan dan pegukuran di lapangan untuk mengetahui faktor-faktor apa saja yang berpengaruh terhadap dinamika suatu pesisir. Pengamatan tersebut mengacu pada prinsip dasar geomorfologi yang ketiga, yaitu proses geomorfologi jaman dahulu selalu meninggalkan bekas yang dapat diamati pada jaman sekarang.

3.5. Analisis Hidrologi daerah Pesisir

Analisis hidrologi dilakukan untuk mengetahui kondisi air tanah, air permukaan dan mata air, baik dari sifat fisiknya maupun dari sifat kimianya. Sifat fisik yang dibatasi pada sifat fisik yang dapat diketahui dari panca indera manusia, yaitu dari warna, rasa, dan bau. Selain itu juga diidentifikasi sifat fisik yang dapat diukur lansung di lapangan berupa nilai daya hantar listrik (DHL). Sifat kimia juga hanya sebatas yang dapat dianalisis langsung di lapangan, yaitu pH. Nilai DHL dicari dengan bantuan alat EC Meter, sedangkang nilai pH diidentifikasii dengan pH stick.

(19)

3.6. Analisis Kondisi Oseanografi

Pengamatan kondisi oseanografi dilakukan untuk mengetahui tipe gelombang serta tipe empasan gelombang. Dilakukan pengukuran mengenai parameter-parameter gelombang untuk mencapai tujuan tersebut. Parameter yang diukur di lapangan meliputi periode gelombang (T), kecepatan angin (U), serta sudut kemiringan gisik (β). Parameter lain seperti panjang gelombang (L), tinggi gelombang (H), serta cepat rambat gelombang (C) diketahui dengan pendekatan rumus empiris.

Berikut beberapa persamaan yang digunakan dalam perhitungan parameter gelombang:

L = g x (T² / 2π)...(1) (Sumber: Tyas dan Dibyosaputro, 2012)

Keterangan:

g (percepatan grafitasi) = 9,8 m/s²

C = L/T...(2) (Sumber: Pratikno at al, 1997)

H = 0,031 x U²...(3) (Sumber: Coastal Engineering Research Center, 1984)

Tipe Gelombang = H / L...(4) Ketentuan:

Tipe Gelombang Konstruktif jika : H/L < 0,025 Tipe Gelombang Destruktif jika : H/L ≥ 0,025

Tipe Empasan Gelombang (B) = H / (L tan² β)...(5) (Sumber: Marfai, 2011)

(20)

Tipe Surging jika : B < 0,09 Tipe Plunging jika : 0,09 ≤ B ≤ 4,8 Tipe Spilling jika : B ≥ 4,8

3.7. Analisis Kondisi Sosial dan Budaya

Kondisi sosial dan budaya dianalisis dengan metode diskriptif kualitatif dari data hasil wawancara dan pengamatan di lokasi kajian. Metode wawancatra yang digunakan yaitu accidental sampling dengan mencari langsung sample langsung di lapangan. Kuisioner yang digunakan menggunakan jenis pertanyaan terbuka, sehingga peneliti dapat menggali informasi lebih dalam dari narasumber.

3.8. Metode Perencanaan dan Pengelolaan Pesisir

Metode perencanaan dan pengelolaan pesisir yang digunakan dalam penelitian ini adalah menggunakan analisis SWOT. Analisis SWOT adalah metode perencanaan strategis yang digunkaan untuk mengevaluasi faktor kekuatan (strenght), kelemahan (weakness), peluang (oppotunities), dan ancaman (threats) dalam suatu wilayah (Muta’ali, 2015). Faktor-faktor tersebut disusun berdasarkan pertimbangan yang terjadi di lokasi penelitian sebagai berikut:

a. Faktor Kekuatan (Strenght), yaitu kekuatan internal yang dimiliki oleh Pantai Sadeng, Pantai Siung, dan Pantai Sundak-Ngandong. Dengan mengetahui kekuatan, maka wilayah ini bisa diarahkan menjadi lebih tangguh.

b. Faktor Kelemahan (Weakness), yaitu segala faktor internal yang tidak menguntungkan atau merugikan bagi Pantai Sadeng, Pantai Siung, dan Pantai Sundak-Ngandong.

c. Faktor Peluang (Oppotunities), yaitu faktor eksternal yang berpotensi meningkatkan kesejahteraan masyarakat Pantai Sadeng, Pantai Siung, dan Pantai Sundak-Ngandong.

d. Faktor Tantangan (Threats), yaitu faktor eksternal yang dapat mendatangkan kerugian bagi Pantai Sadeng, Pantai Siung, dan Pantai Sundak-Ngandong.

Secara teknis, analisis SWOT dapat dilakukan dengan dua metode yaitu dengan model kuantitatif dan model kualitatif.

(21)

a. Model Kuantitatif

Model kuantitatif ini berasumsi dasar pada kondisi berpasangan antara S dan W, serta O dan T. Kondisi berpasangan ini terjadi karena diasumsikan bahwa dalam setiap kesempatan yang terbuka selalu ada ancaman yang harus diwaspadai. Ini berarti bahwa setiap satu rumusan Strength (S), harus selalu memiliki satu pasangan Weakness (W) dan setiap satu rumusan Oppurtunity (O) harus memiliki satu pasangan satu Treath (T). Mekanisme penilaian yang akan digunakan pada analisis SWOT model kuantitatif pada penelitian ini dapat dilihat pada penjelasan berikut.

1. Faktor-faktor dari keempat variabel (kekuatan, kelemahan, peluang dan ancaman) ditentukan berdasarkan hasil analisis sebelumnya pengamatan/survei langsung di lapangan dan hasil wawancara dengan responden. Kemudian berikan nilai bobot untuk masing-masing variabel yang berjumlah total 100. Pemberian bobot tersebut berdasarkan tingkat pengaruh (faktor strategis yang penting sampai tidak penting), sehingga besarnya rata-rata nilai bobot tergantung pada jumlah faktor strategis masing-masing aspek/variabel.

2. Untuk mendapatkan nilai skor yang akan digunakan maka terlebih dahulu masing-masing faktor strategis diberikan ranking/nilai dengan pertimbangan pada tabel 3.2 sebagai berikut.

Tabel 3.2. Keterangan Ranking/Nilai untuk Variabel Positif (Kekuatan dan Peluang)

Ranking/Nilai Keterangan

1 Apabila variabel kekuatan dan peluang dirasakan memiliki pengaruh yang lemah/tidak kuat bagi kehidupan sosial ekonomi Pantai Sadeng, Pantai Siung, dan Pantai Sundak-Ngandong.

2 Apabila variabel kekuatan dan peluang dirasakan memiliki pengaruh yang kurang kuat bagi kehidupan sosial ekonomi Pantai Sadeng, Pantai Siung, dan Pantai Sundak-Ngandong.

3 Apabila variabel kekuatan dan peluang dirasakan memiliki pengaruh yang kuat bagi kehidupan sosial ekonomi Pantai Sadeng, Pantai Siung, dan Pantai

(22)

Sundak-Ngandong.

4 Apabila variabel kekuatan dan peluang dirasakan memiliki pengaruh yang sangat kuat bagi kehidupan sosial ekonomi Pantai Sadeng, Pantai Siung, dan Pantai Sundak-Ngandong.

Tabel 3.3. Keterangan Ranking/Nilai untuk Variabel Negatif (Kelemahan dan Ancaman)

Ranking/Nilai Keterangan

1 Apabila variabel kelemahan dan ancaman yang ada dirasakan memiliki pengaruh yang sangat lemah/kecil bagi kehidupan sosial ekonomi Pantai Sadeng, Pantai Siung, dan Pantai Sundak-Ngandong.

2 Apabila variabel kelemahan dan ancaman yang ada dirasakan memiliki pengaruh yang kurang kuat/lemah bagi kehidupan sosial ekonomi Pantai Sadeng, Pantai Siung, dan Pantai Sundak-Ngandong.

3 Apabila variabel kelemahan dan ancaman yang ada dirasakan memiliki pengaruh yang kuat/akan berdampak besar bagi kehidupan sosial ekonomi Pantai Sadeng, Pantai Siung, dan Pantai Sundak-Ngandong.

4 Apabila variabel kelemahan dan ancaman yang ada dirasakan memiliki pengaruh yang sangat kuat/akan berdampak sangat besar bagi kehidupan sosial ekonomi Pantai Sadeng, Pantai Siung, dan Pantai Sundak-Ngandong.

(23)

Kuadran II (+,-) Diversifikasi Strategi Kuadran I (+,+) Progresif Kuadran III (-,+) Ubah Strategi Kelemahan (W) Kekuatan (S)

3. Setelah didapatkan total skor untuk masing-masing variabel dari hasil pembobotan/perkalian antara bobot dan ranking, kemudian dilakukan perhitungan dengan rumus:

IFAS = S – T (untuk faktor internal) EFAS = O – T (untuk faktor eksternal)

4. Dari hasil perhitungan tersebut akan didapatkan nilai yang akan dimasukkan kedalam diagram x & y (gambar 3.1) untuk mengetahui kuadran masing-masing faktor sehingga akan dihasilkan kesimpulan bahwa strategi mana yang akan mendapatkan prioritas pelaksanaan untuk memaksimalkan pengembangan.

Gambar 3.2. Diagram Penentuan Startegi Prioritas Analisis SWOT Sumber: Muta’ali (2015)

b. Model Kualitatif

Secara kualitatif, penentuan analisis SWOT dilakukan setelah mengetahui dan menganalisis secara deskriptif kekuatan, kelemahan, peluang dan ancaman yang ada (Muta’ali, 2015). Model kualitatif ini menghasilkan matriks SWOT seperti yang ditampilkan pada tabel 3.2 berikut.

Kuadran IV (-,-) Strategi Bertahan

Peluang (O)

(24)

Tabel 3.2. Matriks Analisis SWOT Faktor Internal Faktor Eksternal Strengths (faktor kekuatan) Weakness (faktor kelemahan) Opportunities (faktor Peluang) (Strategi SO) Pakai kekuatan untuk memanfaatkan peluang (Strategi WO) Tanggulangi kelemahan dengan memanfaatkan peluang Threats (Faktor Ancaman) (Strategi ST) Gunakan kekuatan untuk menghindari ancaman (Strategi WT) Perkecil kelemahan untuk menghindari ancaman.

Berdasarkan tabel 3.2 dapat diketahui bahwa pada model kualitatif, faktor S tidak memiliki pasangan dengan faktor W, dan faktor O tidak memiliki pasangan faktor T. Faktor-faktor pada masing-masing komponen (S-W-O-T) berdiri bebas dan tidak memiliki hubungan satu sama lainnya.

(25)

BAB IV

HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1. Karakteristik dan Tipologi Pantai Sadeng, Siung dan Sundak-Ngandong a. Genesis Pembentukan Pesisir Selatan Yogyakarta

Kegiatan lapangan pada stop site Pantai Sadeng, Siung dan Sundak-Ngandong memiliki ciri dan karakteristik dalam genesis pembentukan tipologi pantai. Ketiga pantai tersebut berada pada daerah pesisir selatan Jawa khususnya Yogyakarta. Zaman dahulu pada skala waktu geologi Oligosen bagian fisiografi pesisir selatan Yogyakarta terdapat kenampakan Gunungapi Purba Batur. Gunung Batur berkembang dari bawah laut dengan membentuk ciri material dasar yang kuat dan keras seperti lava flow dan lava bantal. Adanya aktivitas vulkanik Gunungapi bawah laut Batur mengakibatkan morfologi perairan menjadi dangkal yang mengakibatkan zona pecah gelombang sangat jauh. Perairan yang dangkal dengan penetrasi sinar metahari membuat peraira menjadi hangat dan syarat hidup bagi plankton dan oyster. Seiring perjalanan waktu plankton dan oyster memicu pembentukan ekosistem terumbu karang. Terumbu karang akan berkembang baik dan menempel pada material batuan yag keras dari aktivitas vulkanik Gunungapi Batur.

Fisiografi wilayah pesisir selatan Jawa pada zaman Oligosen juga terdapat kondisi alur Sungai Bengawan Solo Purba yang bermuara di bagian selatan. Zaman tersebut hulu Sungai Bengawan Solo berada pada kawasan perbukitan wonogiri. Hal tersebut menandakan wilayah pesisir selatan Jawa dahulu memiliki topografi datar dengan proses sedimentasi material fluvial pada daerah muara.

Kondisi pada pesisir Jawa berubah secara perlahan dimulai dari zaman Miosen Akhir dengan adanya proses pengangkatan daratan. Pengangkatan tersebut bukan hanya membentuk topografi perbukitan namun juga perlahan membuat aktivitas Gunungapi Batur menjadi tidak aktif. Ekosistem terumbu yang terbentuk pada pesisir selatan Jawa juga mulai terangkat membentuk perlapisan sedimen. Pengangkatan yang berjalan lambat membuat ekosostem terumbu karang terbentuk baru pada zona perairan dangkal, namun pada proses pengangkatan

(26)

selanjutnya terumbu karang tersebut terexpose ke permukaan. Runtutan proses tersebut terjadi secara berlulang- ulang dari masa Oligosen – Miosen – Tesier – Kuarter sehingga membentuk pelapisan sedimen terumbu yang sangat tebal. Pelapisan sedimen terumbu akibat adanya tekanan (tektonik) membuat adanya metamorfosis batuan sedimen terumbu menjadi batuan gamping.

Perlapisan batuan sedimen terumbu dengan pelapisan yang tebal, kandungan karbonat tinggi (CaCO3), adanya diaklas, vegetasi, iklim tropis membuat mulai terbentuk karsitifikasi dan pada zaman Kuarter berkembang menjadi topografi kasrt. Topografi karst pada bagian wilayah selatan Jawa khususunya di Yogyakarta terbentuk dari Gunung Kidul hingga Wonogiri. Bentukan yang sering dijumpai pada topografi karst adanya perbukitan karst, sistem polorongan goa berikut oramen goa, sungai bawah tanah, mata air sungai bawah tanah, lembah dolin, luweng, uvala , polje dan lainnya.

Proses pengangkatan wilayah selatan Jawa juga berdampak pada kenaikan gradien muara Sungai bengawan Solo Purba. Perlahan proes pengangkatan membuat perubahan tinggi muara sungai sehingga aliran bergeser ke arah berlawanan diperkirakan menuju daerah Wonogiri pada lembah yang sekarang menjadi Waduk Gajah Mungkur. Selanjutnya aliran mengarah pada wilayah Solo dan Surakarta melintasi daerah lembah intervolcano Gunungapi Merapi dan Gunungapi Lawu.

Kompleksitas proses pembentukan wilayah pesisir selatan Jawa secara langsung berdampak pada pembentukan karakteristik dan tipologi pesisir. Secara umum pesisir selatan Jawa khusunya Yogyakarta didominasi oleh genesis tipologi pesisir primer yaitu land erosion coast, struktural coast dan vulkanik coast. Tipologi pesisir sekunder selanjutnya berkembang dengan ciri tiopologi wave erosion coast dan coast built of organism.

b. Geomorfologi

Lokasi pengamatan lapangan pada Pantai Sadeng, Siung dan Sundak-Ngandong berdasarkan genesis pembentukan wilayah regional mengakibatkan setiap pantai memiliki karakteristik tersendiri. Kompleksitas proses alam dan

(27)

buatan oleh manusia turut andil dalam mempengaruhi ciri geomorfologi regional setiap pantai. Karakteristik geomofologi setiap lokasi pengamatan dijabarkan sebagai berikut :

1. Pantai Sadeng dan Sekitarnya

Genesis wilayah Pantai Sadeng yang cukup komplek pada masa lampau merupakan wilayah muara Sungai Bengawan Solo Purba. Akibat proses pengangkatan yang berlangsung sangat lama membuat penambahan elevasi dan membuat aliran sungai berbalik arah. Hasil proses pengangkatan membentuk perbukitan karst dengan lereng yang cukup terjal pada bagian menghadap laut atau disebut cliff. Proses tektonik pengangkatan tersebut membuat ciri tipologi pesisir primer merupakan struktural shape coast atau bentukan pesisir dari proses struktural. Proses struktural secara general membentuk perbukitan karst dengan berbagai bentuk bukit karst, lembah karst dan bentukan minor karst.

Adanya arus dan gelombang yang cukup kuat dari Samudera Hindia yang dipengaruhi oleh angin muson membuat adanya dinamika terhadap bentukan lokal bukit cliff di Pantai Sadeng. Arus dan gelombang yang menghantam cliff menyebabkan tebing bagian bawah terjadi penggerusan. Penggerusan berkembang membentuk bentukan lokal yaitu sea cave. Proses arus dan gelombang yang menggerus tebing cliff menyebabkan berkembang tipologi sekunder wave erosion coast pada wilayah Pantai Sadeng. Kondisi panorama wilayah Pantai Sadeng dengan kenampakan geomorfologinya dapat dilihat pada Gambar 4.1 berikut.

Gambar 4.1. Panorama dan Kenampakan Geomorfologi Lokal pada Wilayah Pantai Sadeng

(28)

Jejak atau bekas proses di masa lalu masih meliputi aliran muara Sungai bengawan Solo Purba masih dapat dilihat secara fisigrafis. Kenampakan pada citra atau foto udara dapat menunjukkan bekas aliran sungai membentuk lembah yang cukup luas menjorok dari laut ke darat. Adanya proses fluvial dimasa lampau membuat dataran yag terbentuk pada wilayah pesisir adalah datara fluvio-marin. Dataran tersebut memiliki ciri topografi datar-landai dengan material campuran antara proses fluvial dan marin. Ciri yang nampak adalah jika dilakukan pengamatan dengan pengeboran terdapat material pasir hingga lempung dari proses pengendapan sungai. Ciri proses fluvial masa lampau membuat material tanah pada bekas aliran memiliki potensi sumberdaya air tanah yang cukup baik dan dijadikan oleh warga sekitar kegiatan pertanian produktif. Bekas aliran muara Sungai Bengawan Solo Purba dapat ditunjukkan pada Gambar 4.2 berikut.

Gambar 4.2. Kenampakan Fisiografi Bekas Aliran Sungai Bengawan Solo Purba (Sumber : Khoiriyah, 2016)

2. Pantai Siung dan Sekitarnya

Genesis stop site kedua yaitu Pantai Siung memiliki karakteristik unik yaitu merupakan perpaduan antara proses vulkanik tua dan struktural shape. Pantai Siung terbagi atas bagian tipologi pesisir primer vulkanik pada bagian timur dan pesisir struktural shape pada bagian barat pantai. Sedangkan proses tipologi sekunder yang terbentuk adalah proses arus dan gelombang yaitu wave

(29)

erosion coast serta marine deposition coast dengan ciri pengendapan material pada gisik atau beach. Kondisi geomorfologi lokal Pantai Siung dapat dilihat pada Gambar 4.3 berikut ini.

Gambar 4.3. Panorama dan Kenampakan Geomorfologi Lokal pada Wilayah Pantai Siung

(Sumber : Effendy, 2016)

Tipologi primer struktural shape terbentuk oleh adanya proses tektonis atau pengangkatan zona bagian selatan Jawa membentuk topografi perbukitan karst. Secara regional masih terlihat sesar aktif yang masih dapat diidentifikasi. Kondisi secara lokal pada bagian bukit barat Pantai Siung terdapat adanya ciri frakture batuan dengan ciri batuan yang patah akibat resistensi batuan gamping yang kuat. Patahan lokal atau frakture pada batuan di bukit karst bagian barat dapat ditunjukkan pada Gambar 4.4.

Gambar 4.4. Patahan Lokal atau Frakture pada Batuan di Bukit Karst Bagian Barat

(30)

Tipologi primer selanjutnya yaitu vulkanik coast terbentuk pada bagian timur Pantai Siung. Proses vulkanik pada masa lampau masih meinggalkan bekas dengan adanya kenampakan bukit sisa proses vulkanik. Material bukit tersebut secara fisik bewarna hitam dan gelap dengan ciri batuan breksi andesit dan terdapat diorit. Hantaman gelombang pada bagian bukit vulkanik tua secara terus menerus akan menggerus material bukit. Akibatnya terdapat fenomena rock fall (Gambar 4.5, A) serta endapan pasir besi pada bagian gisik dengan tekstur pasir halus atau very fine sand. (Gambar 4.5, B)

Gambar 4.5 (A) Tipologi Vulkanik Coast dan (B) Endapan Pasir Besi pada Gisik Pantai

(Sumber : Effendy, 2016)

Proses sekunder pada pembentukkan tipologi pesisir salah satunya adalah proses abrasi oleh arus dan gelombang atau wave erosion coast. Tenaga arus dan gelombang dari Samuder Hindia yang sangat kuat mengakibatkan abrasi pada tebing di sisi barat dan timur pantai sangat intensif. Bagian bukit vulkanik akibat gelombang kuat membuat adanya rock fall pada bagian batuan. Bagian timur pada tebing cliff batuan gamping membentuk ciri bentukan lokal yaitu sea cave (Gambar 4.6, A). Sisa batuan cliff yang runtug dan selalu dihantam oleh gelombang yang intensif juga membentuk ciri mushrom rock. (Gambar 4.6, B).

(31)

Gambar 4.6. (A) Bentukan Sea Cave dan (B) Bentukan Mushroom Rock (Sumber : Effendy, 2016)

Proses arus dan gelombang yang menggerus tebing pada bagian sisi barat dan timur pantai membuat tebing terabrasi. Material hasil abrasi secara runtut akan terbawa oleh arus dan gelombang kemudian diendapkan kembali pada bagian daratan. Hal tersebut menunjukkan adanya proses tipologi sekunder yaitu marine deposition coast. Endapan material tersebut membentuk gisik bermaterial pasir atau beach. Ciri gisik Pantai Siung yang sempit dan diantara bukit membentuk gisik saku. Morfologi gisik saku ditunjukkan pada Gambar 4.7.

Gambar 4.7. Morfologi Gisik Saku pada Pantai Siung (Sumber : Effendy, 2016)

(32)

Gisik saku yang terbentuk pada Pantai Siung memiliki karakteristik tekstur dan ukuran butir. Bagian gisik aktif dengan adanya proses pasang surut memiliki tekstur kasar dengan ukuran butir endapan pasir yaitu coarse sand atau pasir kasar (Gambar 4.8, A). Sedangkan pada gisik yang pasif memiliki tektur yang halus denga ukuran butir fine sand atau pasir halus (Gambar 4.8, B). Perbedaan tektur kasar dan halus diakibatkan oleh proses pengendapan material. Pada bagian gisik aktif adanya tenaga arus dan gelombang sangat intensif dan memiliki tenaga cukup dalam membawa material pasir kasar. Sedangkan bagian gisik pasir tenaga pengendapan berkurang sehingga hanya material pasir halus yang dapat terbawa oleh tenaga marin dna sebagian oleh tenaga angin.

Gambar 4.8. (A) Gisik Aktif dengan Endapan Pasir Kasar dan (B) Gisik Pasif dengan Endapan Pasir Halus di Pantai Siung

(Sumber : Effendy, 2016)

3. Pantai Sundak-Ngandong dan sekitarnya

Genesis stop site ketiga yaitu sepanjang Pantai Sundak-Ngandong memiliki karateristik utama tipologi primer land erosion coast. Ditandai dengan adanya perbukitan karst di bagian daratan. Karst dengan material gamping mudah mengalami solusioanal atau larut meninggalkan material sisa pengotor seperti abu vulkan yang berkembang menjadi tanah di bagian lembah karst. Jika terjadi hujan dengan membentuk aliran permukaan material tanah pada lembah karst tersebut akan dibawa menuju ke perairan. Kemudian oleh tenaga arus geombang akan diendapkan kembali di daratan membentuk tipologi sekunder yaitu marine deposition coast.

Pembentukan marine deposition coast sebelumnya dimulai dengan adanya proses arus dan gelombang yang menggerus tebing cliff di bagian timur dan

(33)

barat pantai. Gerusan arus dan gelombang menghasilkan bentukan sea cave dan mushroom rock. Hasil abrasi arus gelombang yang membawa material lepas-lepas pasir yang kemudian hanyut terbawa arus gelombang laut. Dinamika arus gelombang Samudera Hindia kemudian mengendapkan materia lepas-lepas tersebut ke daratan. Garis Pantai Ngandong-Sundak-Krakal memiliki garis pantai yang memanjang dengan topografi datar-landai. Sehingga pengendapan material membentuk gisik pantai yang memanjang. Selain itu adanya fenomena barrier islands pada sisi Pantai Ngandong memungkinkan tenaga arus dan gelombang laut menjadi terpecah dan tenaganya semakin berkurang saat menuju daratan. Hal tersebut membuat perairan pada bagian belakang barrier island tenang dan terbentuk ekosistem terumbu karang di Pantai Ngandong. Tipologi sekunder tersebut berkembang coast built by organism. Kenampakan geomorfologi di sepanjang Pantai Sundak dan Ngandong dapat dilihat pada Gambar 4.9 berikut.

Gambar 4.9 Panorama dan Kenampakan Geomorfologi Lokal pada Wilayah Pantai Sundak-Ngandong

(Sumber : Effendy, 2016)

Pembentukan gisik pantai dengan material pasir memanjang dari Pantai Sundak-Ngandong-Krakal. Gisik yang dapat disebut beach ini memiliki ciri sedimen yang berbeda. Kondisi gisik yang aktif memiliki tekstur yang kasar masuk apda klas ukuran butir coarse sand. Sedangkan pada gisik pasif memiliki pasir yang halus dengan ukuran butir fine sand. Perbedaan tersebut dapat ditunjukkan pada Gambar 4.10.

(34)

Gambar 4.10.(A) Gisik Aktif dengan Endapan Pasir Kasar dan (B) Gisik Pasif dengan Endapan Pasir Halus di Pantai Sundak

(Sumber : Effendy, 2016)

c. Tipologi Lokasi Penelitian

1. Tipologi wilayah kepesisiran Sadeng

Secara administrasi, teluk Sadeng terletak di Desa Songbanyu, Kecamatan Girisubo, Kabupaten Gunung Kidul, Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta. Teluk Sadeng merupakan bekas bermuaranya sungai Bengawan Solo purba, sehingga jika diamati melalui citra satelit teluk ini memiliki pola yang yang memanjang dan mengikut tebing ke arah utara dan berakhir di hulu Wonogiri. Tipologi pesisir primer yang terdapat di teluk Sadeng sangat dipengaruhi oleh proses geomorfologi utama yaitu hasil solusional/erosional perbukitan kasrt (Land Erosion Coast), yang membentuk daratan lebih awal, dan membentuk lembah serta perbukitan karst. Tipologi primer yang kedua banyak di pengaruhi oleh proses structural atau tektonik (Structurally Shapped Coast) yang membentuk tebing-tebing curam di sebelah barat dan timur teluk. Zona pecah gelombang (Wave Breaker Zone) yang letaknya tidak terlalu jauh dari daratan mengindikasikan bentuk landas kontinental yang tidak terlalu panjang ke arah lautan.

Tipologi sekunder yang dapat dijumpai di teluk Sadeng adalah adanya bentuk tipologi wave erosion coast yang mana energy gelombang dan aktivitas pasang surut mengerosi tebing-tebing dan pada akhirnya akan membentuk gua-gua (sea cave). Bentuk tipologi sekunder yang lain yang dapat dijumpai adalah adanya wave deposition coast yang mana

(35)

material yang tererosi hasil kerja gelombang dan pasang surut air laut terdeposisikan disuatu tempat dan membentuk pantai (shore) dengan material pasir yang lepas-lepas atau yang lebih dikenal dengan sebutan gisik saku (pocket beach). Pada bentuk tipologi primer structurally shaped coast, garis pantai (shore line) dan garis pesisir (coast line) sulit untuk dibedakan, bahkan cenderung tidak memiliki wilayah pesisir. Satu-satunya wilayah pesisir yang dapat dilihat dengan jelas di teluk sadeng adalah bagian darat teluk mulai dari tanggul lurus ke arah utara hingga pengaruh angin laut terbelokkan atau terhenti akibat adanya bukit karst sebagai hinter land-nya, dengan panjang ± 1 km dari tanggul. Bentuk wilayah pesisirnya pun telah mengalami intervensi yang massif akibat aktivitas manusia, dapat dilihat dengan adanya bangunan tanggul, pelabuhan, dan lainnya.

(36)

2. Tipologi Wilayah Kepesisiran Siung

Secara administrasi, Pantai Siung terletak di Desa Purwodadi, Kecamatan Tepus, Kabupaten Gunung Kidul, provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta. Salah satu fenomena yang unik dari wilayah kepesisiran Siung adalah terdapat bekas aktivitas vulkanik purba. Fenomena geologi yakni di segmen pantai sebelah timur di tempati oleh batuan gunung api (breksi, andesit, dan lava) dan terobosan mikrodiorit yang berumur ± 40 juta tahun, sementara di segmen barat tersusun dari batugamping formasi Wonosari. Tipologi kepesisiran primer yang terdapat pada wilayah kepesisiran Siung ada 2 macam, yaitu volcanic coast akibat aktivitas vulkanik yang ada di sebelah timur lokasi, dan land erosion coast akibat aktivitas sollusional/erosi pada wilayah yang tersusun dari batugamping yang terdapat di sebelah barat lokasi. Perbedaan tipologi ini dapat diamati dengan jelas baik melalui citra satelit maupun pengamatan lapangan, yaitu dengan mengamati singkapan-singkapan batuan. Material yang menyusun wilayah pantai (Shore) di lokasi adalah pasir in-situ, sehingga bentuklahannya adalah gisik (beach).

Tipologi sekunder pada lokasi Siung yang dapat ditemukan adalah wave erosion coast di sebelah timur lokasi dan dan wave deposition coast yang kemudian membentuk pantai (shore) dengan material penyusun adalah pasir, sehingga disebut gisik (beach). Pada sisi barat tepatnya di Nglambor juga terdapat tipologi sekunder coast built by organism, yakni rataan terumbu (reef flat) yang terdapat di antara pantai (shore) dan barrier island. Kawasan hinterland atau batas pesisir Siung adalah perbukitan karst untuk segmen sebelah barat, dan perbukitan bekas aktivitas gunung api purba dengan material breksi, andesit dan perbukitan terobosan mikrodiorit.

(37)

Gambar 4.12 Peta Wilayah Kepesisiran Siung

3. Tipologi wilayah kepesisiran Ngandong dan Sundak

Secara administrasi, kawasan kepesisiran Ngandong dan sundak terletak di desa Sidoharjo, kecamatan Tepus, Kabupaten Gunung Kidul, Daerah Istimewa Yogyakarta. Jika dibandingkan dengan dua lokasi sebelumnya, kawasan kepesisiran Ngandong dan Sundak memiliki pantai (shore) yang lebih memanjang dengan material pasir yang lepas-lepas, atau gisik (beach). Secara umum, tipologi primer kawasan kepesisiran Ngandong dan Sundak adalah land erosion coast, yakni berasal dari perbukitan karst formasi wonosari. Sifat batuan gamping yang mudah larut oleh aktivitas hidrodinamika dimana CaCO3 bereaksi dengan H20 dan CO2 yang berasal dari air hujan menjadi Ca2+ dan 2 HCO3-. Aktivitas tersebut menghasilkan apa yang hari ini dapat dilihat sebagai perbukitan dan lembah-lembah karst. Genesis tipologi primer tersebut kemudian diikuti dengan munculnya tipologi sekunder yang terjadi akibat kerja gelombang laut dan aktivitas pasang-surut air laut.

(38)

Tipologi sekunder yang dapat dijumpai di kawasan kepesisiran Ngandong dan sundak adalah wave erosion coast dan wave deposition coast yang merupakan hasil kerja gelombang dan aktivitas pasang-surut air laut. Kenampakan seperti gua laut (sea cave) dan bagiannya yang sudah runtuh (stach) merupakan genesis dan tipologi sekunder wave erosion coast. Sedangkan kenampakan pantai (shore) yang memanjang, dengan material pasirnya yang merupakan hasil erosi membentuk gisik (beach) merupakan kenampakan dari tipologi wave deposition coast. Tipologi sekunder lain yang dapat ditemukan adalah adanya rataan terumbu (reef flat) yang merupakan bagian dari coast build by organism di kawasan pesisir Ngandong dan Sundak. Rataan terumbu ini terdapat di belakang barrier island dan membentang dari arah timur dan barat dengan lebar hampir sejajar dengan garis surfline. Batas wilayah kepesisiran (hinterland) Ngandong dan Sundak di darat adalah perbukitan karst di belakang pemukiman penduduk.

(39)

d. Kondisi Hidrologi Lokasi Penelitian

Kondisi hidrologis lokasi pengamatan dijelaskan sebagai berikut. 1. Pesisir Sadeng

Kondisi hidrologi Pesisir Sadeng direpresentasikan berdasarkan kondisi airtanah yang berada di pesisir tersebut. Terdapat 3 titik sampel kondisi airtanah di Pesisir Sandeng, yang diidentifikasi berdasarkan karaketeristik hidrologis. Titik 1 (49L 477837, 9094536) merupakan sumur warga yang dimanfaatkan untuk keperluan rumah tangga. Titik 2 (49L 477746, 9094466) juga berupa sumur yang dimanfaatkan untuk keperluan pelabuhan. Sedangkan titik 3 (49L 477824, 9094596) dimanfaatkan untuk keperluan domestik rumah tangga. Kondisi lokasi pengamatan dapat dilihat pada Gambar 4.14.

A B

Gambar 4.14. Lokasi Kajian Titik Pengamatan 1 (A) dan Titik 2 (B) Sumber: Ghiffari, 2016

Kuantitas airtanah di pesisir Sadeng diidentifikasi berdasarkan kondisi TMA (Tinggi Muka Airtanah) dan fluktusi pada saat musim penghujan dan kemarau. Berdasarkan hasil observasi, menunjukan bahwa TMA pesisir Sadeng cenderung dangkal yaitu 0,74 – 2,35 meter (Tabel 4.1), sedangkan fluktuasi muka airtanahnya tidak terlalu signifikan. Jumlah airtanah yang berada pada

(40)

sumur-sumur tersebut masih dapat dimanfaatkan penduduk sepanjang tahun. Indikator alam dari muka airtanah dangkal adalah banyaknya pohon kelapa. Berdasarkan kondisi lapangan, jarak dengan pantai semakin dekat, TMA semakin dangkal. TMA pada titik 2 0,74 meter. Berdasarkan sejarah geomorfologis, wilayah ini merupakan bekas lembah Bengawan Solo purba, sehingga potensi sumberdaya airnya cukup besar.

Tabel 4.1. Hasil Pengamatan Karakteristik Hidrologis Pesisir Sadeng

Parameter Lokasi 1 Lokasi 2 Lokasi 3

TMA (m) 1,4 0,74 2,35

DHL (μmhos) 780 1553 628

pH 7 7 7

Temperatur (0C) 27,9 29,7 29,9

Sumber: Data Primer, 2016

Kualitas airtanah di pesisir Sadeng diidentifikasi berdasarkan nilai DHL, temperatur, dan pH. Nilai DHL dari pesisir Sadeng berkisar dari 628-1553 μmhos. Nilai tersebut termasuk dalam kategori tawar. Nilai DHL paling besar pada titik 2. Hal ini karena titik tersebut dekat dengan material karbonat. Air yang masuk ke dalam tanah melalui proses infiltrasi akan mengalami kontak dengan mineral-mineral yang terdapat dalam tanah (Effendi, 2003). Kondisi ini juga memungkinkan terjadinya proses pelarutan, sehingga dapat terjadi perubahan kualitas air akibat reaksi kimia.

Suhu merupakan salah satu parameter fisik kualitas air yang berperan penting dalam mengendalikan kondisi ekosistem perairan. Suhu airtanah di pesisir Sandeng berkisar 27,9-29,90C (Tabel 4.1). Suhu tersebut termasuk dalam kriteria suhu optimum untuk pertumbuhan biota air, seperti fitoplankton. Selain itu, pH dari airtanah termasuk dalam kategori normal, sehingga bisa dimanfaatkan untuk keperluan domestik. Berdasarkan kenampakan fisiknya, airtanah tersebut berasa tawar, tidak berbau, dan jernih.

(41)

2. Pesisir Siung

Pesisir Siung secara genesis lokal dipengaruhi oleh proses marine, ialah wave erosion coast dan wave depositional coast. Proses erosi yang disebabkan oleh gelombang ditunjukan adanya gua atau batuan mushroom cave. Adanya gisik saku (pocket beach) sebagai salah satu bentukan proses marin depositional. Gisik saku merupakan satuan bentuklahan marin yang terbentuk dari material pasir piroklastik yang terakumulasi, sehingga membentuk punggungan pantai pada pangkal teluk yang kecil (Sunarto dkk, 2014).

Tabel 4.2. Hasil Pengamatan Karakteristik Hidrologis Pesisir Siung

Parameter Lokasi 1 Lokasi 2 Lokasi 3

TMA (m) 1,90 2,15

DHL (μmhos) 571 446 434

pH 8 7 7

Temperatur (0C) 28,7 31,3 29,8

Keterangan

Saat pasang air berasa asin, sedangkan saat surut air berasa

tawar Sumber: Data Primer, 2016

Secara umum, di belakang gisik saku terdapat rawa yang dimanfaatkan penduduk untuk lahan pertanian maupun untuk aktifitas lainnya. Bentuklahan tersebut mempunyai TMA yang dangkal (Tabel 4.2). Hal ini identifikasi dengan adanya pohon kelapa serta hasil observasi. Hasil observasi tersebut menunjukan bahwa TMA berkisar 2 meter dengan fluktuasi yang tidak terlalu besar. Artinya pada saat musim kemarau, kuantitas airtanah di Pesisir Siung masih bisa digunakan untuk keperluan penduduk.

Kualitas airtanah pada Pesisir Siung ditunjukan oleh nilai DHL, pH, dan suhu. Nilai DHL airtanah di Pesisir Siung termasuk dalam kategori tawar, ialah

(42)

titik 1 (571μmhos), titik 2 (446 μmhos), dan titik 3 (434 μmhos) (Tabel 4.2). Airtanah tersebut dapat dimanfaatkan untuk keperluan domestik dan pariwisata.

Pesisir Siung merupakan pesisir yang cukup berkembang terkait aspek pariwisata. Fasilitas-fasilitas pendukung pariwisata seperti toilet umum dan warung makan relatif banyak di Pesisir Siung. Fasilitas tersebut memanfaatkan sumberdaya airtanah. Semakin berkembangnya pariwisata di Pesisir Siung, maka pemompaan airtanah akan semakin besar. Potensi terjadinya overpumping akan semakin besar. Kondisi ini berdampak negatif terhadap pesisir tersebut.

Dampak negatif dari overpumping di Pesisir Siung mulai dirasakan oleh penduduk di wilayah tersebut. Titik pengamatan 2 menunjukan kondisi airtanah pada saat pasang berasa asin, sedangkan pada saat surut airtanah berasa tawar. Potensi masuknya airlaut ke dalam airtanah dapat terjadi, didukung dengan material pesisir berupa pasir. Pasir mempunyai sifat yang mudah meloloskan air dengan porositas yang tinggi. Untuk memastikan kondisi tersebut, perlu adanya penelitian lebih lanjut.

3. Pesisir Sundak

Kondisi hidrologis Pesisir Sundak di identifikasi berdasarkan kualitas mataair (Gambar 4.). Mata air tersebut disaluran ke penduduk untuk memenuhi kebutuhan domestik dan pariwisata. Berdasarkan informasi penduduk, menunjukan bahwa mata air tersebut dapat dimanfaatkan pada saat musim kemarau dan penghujan. Hal ini menunjukan bahwa kuantitas dari mata air tersebut cukup banyak.

Gambar 4.15 Mata Air di Pesisir Sundak (Sumber: Khoiriyah, 2016)

(43)

Kualitas mata air di Pesisir Sundak diidentifikasi berdasarkan nilai DHL dan pH. Nilai DHL mata air tersebut sebesar 3080 μmhos, nilai tersebut termasuk dalam kategori payau. Hal ini karena pengaruh material penyusun dari akuifer tersebut. Pesisir Sundak termasuk dalam bentuklahan solusional dengan material karbonat. Air hujan yang terinfiltrasi melalui rekahan-rekanan dan akhirnya bergabung dengan lorong conduit (Ford dan Williams, 1992). Adanya pengaruh topografi, aliran tersebut muncul sebagai mata air. Proses tersebut mengakibatkan adanya kontak antara air dan batuan, sehingga berpotensi terjadi proses pelarutan. Pelarutan dapat mempengaruhi kualitas air.

Mataair pada bentuklahan karst dapat bersumber dari rekahan-rekahan batuan. Rekahan tersebut merupakan jalan masuknya air yang membentuk drainase vertikal hingga berkembang menjadi sungai bawah tanah. Sumberdaya air pada wilayah ini sangat rentan terhadap pencemaran. Aktivitas yang terjadi pada bagian hulu atau recharge area, akan masuk ke dalam ponor dan muncul sebagai mata air atau sungai bawah tanah.

e. Kondisi Oseanografi Lokasi Penelitian

Gelombang di lautan terbentuk oleh adanya hembusan angin di atas permukaan air laut. Daerah dimana gelombang dibentuk disebut dengan daerah pembangkitan gelombang. Dilihat dari lokasi terjadinya gelombang dibedakan menjadi dua. Gelombang yang terjadi di daerah pembangkitan gelombang disebut ”sea”, sedangkan gelombang yang terjadi di luar daerah pembangkitan gelomang disebut “swell”. Maka dari itu, kecepatan angin merupakan parameter gelombang yang perlu diukur untuk mengetahui karakteristik gelombang. Pengukuan kecepatan angin dalam kajian ini tidak dilakukan di lepas pantai, yaitu hanya di daerah pantai dengan bantuan alat hand anem ometer. Hand anemometer tersebut diletakkan sekitar dua meter dari permukaan tanah. Hal ini untuk mengurangi pengaruh daratan yang dapat mempengaruhi kecepatan angin.

Pengamatan oseanografi dalam kajian ini dilakukan di tiga lokasi, yaitu Pantai Siung, Pantai Ngandong, dan Pantai Sundak. Dilakukan beberapa kali pengukuran kecepatan angin untuk setiap lokasi, sehingga menghasilkan hasil

Gambar

Gambar 2.2 Parameter Gelombang  Sumber: Pratikno et al (1997)
Gambar 2.3 Bentuk-bentuk Empasan Gelombang  Sumber: Zeverbergen, et al (2004) dalam Marfai (2011)
Gambar 2.4 Tipologi Primer dan Sekunder (Shepard, 1974)
Gambar 3.1. Prinsip “Triagulation Model”
+7

Referensi

Dokumen terkait

Penelitian mengenai evaluasi perkembangan wilayah pesisir dan pantai serta budidaya perikanan tambak terhadap rencana tata ruang wilayah (RTRW) Kabupaten Sidoarjo

Untuk menjawab tantangan pembangunan pariwisata di desa pesisir tertinggal Temajuk, diperlukan sebuah perencanaan pembangunan wisata yang dibuat dengan

Estimasi wilayah rawan penyakit malaria dengan menggunakan sistem informasi geografis mempunyai beberapa nilai strategis, antara lain: dapat digunakan untuk

Oleh karenanya, dalam konteks pengelolaan wilayah pesisir terpadu, maka optimasi fungsi ekologi-ekonomi dalam pengelolaan ekosistem terumbu karang yang berbasis ikan

Nilai ekonomi kawasan diharapkan mampu memberikan gambaran kepada para perencana kawasan pesisir khususnya perencana pengelolaan gumuk pasir pesisir bahwa nilai ini

Salah satu kawasan strategis kabupaten (KSK) yang telah ditetapkan dalam Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten (RTRWK) dan Rencana Pembangunan Kabupaten Ciamis

Selain itu lemahnya penegakan hukum dalam pelaksanaan pembangunan lingkungan buatan di wilayah pesisir yang mengakibatkan pembangunan terus berlangsung yang akan memberikan

Tujuan umum penelitian yang ingin dicapai, yaitu merumuskan cara pengelolaan daerah rawan bencana lahar pascaerupsi Gunungapi Merapi 2010 meliputi karakteristik