• Tidak ada hasil yang ditemukan

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang"

Copied!
11
0
0

Teks penuh

(1)

1.1 Latar Belakang

Sebagai negara kepulauan terbesar di dunia yang secara geografis terletak di antara dua benua, dua samudera, pertemuan empat lempeng tektonik besar (mega-plate), dan tiga sistem patahan besar (mega-fault) (Gambar 1) serta memiliki sekitar 500 gunung api dimana 128 diantaranya masih aktif, beriklim tropis basah dengan kondisi topografis yang beragam, Indonesia selain memiliki potensi sumber daya alam yang tinggi (Dahuri et al., 1996) juga sangat rentan terhadap bencana alam (Diposaptono, 2007). Data BNPB (2007) tentang gempa bumi, tsunami, gelombang pasang, banjir, longsor, intrusi air laut dan angin puting beliung secara keseluruhan menunjukkan bahwa Indonesia memiliki kerentanan yang sangat tinggi. Sebaran gempa bumi dan kejadian tsunami dapat dilhat pada Gambar 2. Pola arah arus laut musiman di perairan Indonesia

dapat dilihat pada Gambar 3, dan gelombang pasang pada Gambar 4. Sekitar 60% penduduk Indonesia atau 140 juta jiwa terkonsentrasi di

wilayah pesisir seluas sekitar 4.050.000 km2, dimana sekitar 80% atau 112 juta jiwa diantaranya adalah masyarakat miskin (Tim KPK-Kantor Menko Kesra, 2006). Oleh karena itu mayoritas masyarakat miskin yang tinggal di pesisir (Allison dan Horemans, 2006) adalah yang paling menderita akibat peristiwa bencana alam.

Gambar 1. Peta sebaran lempeng tektonik dunia Sumber : Departemen ESDM, 2007

(2)

Gambar 2. Sebaran lokasi gempa tektonik dan kejadian tsunami di kepulauan Indonesia dan sekitarnya

Sumber : ITDBL/WRL, 2005 dalam Latief dan Hadi, 2006

Gambar 3. Beberapa pola arus (permukaan dan dalam) di perairan Indonesia

Sumber : Gordon, 1996

Menurut Coburn et al. (1994) bencana tidak akan dapat dihindari, tetapi dapat disiasati untuk mengurangi timbulnya risiko bencana yang menambah penderitaan masyarakat. Kegiatan pembangunan yang telah dihasilkan dalam waktu yang cukup lama dengan biaya dan tenaga yang sangat besar, dalam seketika dapat luluh lantak akibat dilanda bencana. Hal ini sepatutnya menjadi perhatian pemerintah dalam membuat kebijakan dan strategi pembangunan

(3)

ekonomi di masa mendatang baik untuk program jangka menengah maupun jangka panjang yang lebih akomodatif terhadap mitigasi bencana.

Gambar 4. Peta setting gelombang pasang di samudera Hindia (arah Barat Daya)

Sumber :LIPI dan DKP dalam Setyawan (2007).

Sebagaimana diketahui bahwa saat ini kebijakan politik pembangunan ekonomi yang dijalankan oleh pemerintah lebih menekankan kepada tiga jalur pembangunan yakni pro growth, pro job, dan pro poor, yang lebih dikenal sebagai triple-track strategy (Yudhoyono, 2004) dengan misinya (1) meningkatkan pertumbuhan ekonomi dengan membangun infrastruktur yang menciptakan investasi dan ekspor. Pertumbuhan ini diyakini dapat memasok devisa negara yang tinggi sehingga dapat memperlancar pelaksanaan pembangunan, (2) menata sektor riil untuk menyerap angkatan kerja dan menciptakan lapangan kerja baru. Sektor riil ini harus bergerak di seluruh level ekonomi. Ia tidak hanya fokus di area ekonomi khusus. Dengan bergeraknya sektor riil ini, maka lapangan kerja akan tercipta dan pengangguran akan terkurangi, dan (3) revitalisasi sektor pertanian dan perdesaan pesisir untuk pengentasan kemiskinan. Langkah ini penting dilakukan karena 60 % orang miskin di Indonesia hidup di sektor pertanian dan perdesaan pesisir. Oleh karena itu pemerintah juga mengembangkan pembangunan pertanian dan perdesaan pesisir, dengan APBN atau bekerjasama dengan swasta (Sanim, 2006).

(4)

Berkaitan dengan pertumbuhan, pemerintah berkewajiban untuk secara berkesinambungan membangun infrastruktur di seluruh negeri. Kalau infrastruktur dibangun lebih baik, maka ekonomi lokal akan tumbuh berkembang. Masyarakat akan mendapatkan keadilan, karena ada sejumlah kemudahan dalam kehidupan sehari-harinya yaitu peluang lapangan pekerjaan. Pengalokasian dana pembangunan infrastruktur yang telah mencapai triliunan rupiah harus diikuti dengan dana untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat, karena kalau tidak akan terjadi kemerosotan daya beli masyarakat dan kemiskinan akan terus meningkat. Kebijakan dan strategi ini secara empirik selain akan mengejar pertumbuhan, juga akan mendatangkan pemerataan dan keadilan bagi masyarakat luas (Yudhoyono, 2004). Dari sudut pandang ekonomi pembangunan, langkah-langkah strategis yang ditetapkan pemerintah ini merefleksikan keberpihakan pada pertumbuhan (pro growth), penciptaan lapangan pekerjaan (pro job) dan kemudahan bagi masyarakat luas dalam kehidupannya (pro poor) (Sanim, 2006). Selanjutnya juga harus diperhatikan bahwa mengembangkan ekonomi nasional tidak hanya sektoral saja, melainkan juga kedaerahan, regional dan otonomi daerah. Meniscayakan the center of growth itu juga terbagi di daerah-daerah. Mengembangkan gagasan lokal ke tingkat regional dan nasional akan meningkatkan daya saing dan keunggulan daerah adalah realistis, dan inilah pilihan pemerintah di era reformasi dan otonomi daerah (Yudhoyono, 2004).

Tetapi kejadian rangkaian bencana alam telah menyadarkan kita semua bahwa hasil pembangunan yang telah dicapai dapat dengan seketika luluh lantak. Tsunami di Provinsi NAD dan Sumut pada tahun 2004 mengakibatkan korban meninggal sekitar 200 ribu jiwa dan kerugian sekitar 48 trilyun, tsunami di Provinsi Jawa Barat pada tahun 2006 mengakibatkan korban meninggal sekitar 700 jiwa dan kerugian sekityar 1,3 triliun serta gempa bumi di Provinsi DIY dan Jawa Tengah pada tahun 2006 mengakibatkan korban meninggal sekitar 5.700 jiwa dan kerugian sekitar 29 triliun (BNPB, 2007). Kerugian harta benda dan jiwa telah memberikan beban yang sangat berat bagi pemerintah sehingga menimbulkan suatu pertanyaan, yaitu apakah strategi pro growth, pro job, dan pro poor yang ditempuh pemerintah sejak tahun 2004 dan dikenal sebagai triple track strategy tersebut sudah memadai?. Upaya pengurangan risiko bencana sesuai Deklarasi Hyogo 2005 yang dicanangkan pasca gempa bumi Kobe di Jepang dan tsunami Aceh di Indonesia tersebut perlu diakomodasi (MPBI, 2006).

(5)

Karena pembangunan infrastruktur itu adalah untuk mengembangkan ekonomi lokal yang akan berdampak pada berbagai kemudahan bagi masyarakat dalam kehidupan sehari-harinya, maka pro growth, pro job, dan pro poor nampaknya dapat tetap dipertahankan. Beberapa peraturan seperti Instruksi Presiden telah diterbitkan dan secara jelas mengemukakan keberpihakan pemerintah yang lebih besar kepada masyarakat miskin, antara lain Inpres No 3 Tahun 2008 tentang Pelaksanaan Bantuan Langsung Tunai dan Inpres No 5 Tahun 2008 tentang Pelaksanaan Penyaluran Kredit Usaha Rakyat.

Tetapi kajian terhadap berbagai bencana alam di Indonesia telah mengemukakan bahwa kemerosotan kualitas lingkungan dan ketidaksiapan aparat serta masyarakat mengakibatkan berbagai bencana alam tersebut sangat merusak lingkungan permukiman dan menimbulkan kerugian harta benda yang sangat besar dan sangat menghambat kegiatan ekonomi. Untuk itulah dikemukakan sumbangsih pemikiran yaitu, strategi pemerintah menjadi pro growth, pro job, pro poor, dan pro mitigation yang akan dikenal sebagai quarter track strategy (Gambar 5).

Gambar 5. Kebijakan pembangunan hasil kajian

Hal inipun pada hakehatnya sudah ditempuh misalnya melalui program penanaman sepuluh juta pohon, program remangrovesasi dan program perbaikan terumbu karang serta terbitnya berbagai peraturan dan perundangan, yaitu UU No 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup, UU No 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana, UU No 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang dan UU No 27 tentang Pengembangan Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil yang memberikan nuansa perbaikan kualitas lingkungan dan mitigasi.

Strategi pembangunan saat ini (2004-2009),

‘triple track strategy’ Pro Growth, Pro Job and Pro Poor

Deklarasi Hyogo (2005), ttg paradigma penanggulangan

bencana

Preventif, Pro Aktif and Kesiapsiagaan

Strategi pembangunan mendatang (2009- ……..),

‘quarter track strategy’ Pro Growth,

Pro Job, Pro Poor and Pro Mitigation

(6)

Di wilayah pesisir sampai saat ini masih terdapat pemahaman regime pengelolaan akses terbuka (open access) sehingga yang kuat sering lebih menguasai sumber daya dan membatasi akses masyarakat pesisir dalam memanfaatkannya, sementara regime pengelolaan tradisional (common property), pemilikan pribadi/swasta (quasi-private property) serta penguasaan pemerintah (state property) masih berlaku (Pratikto, 2005). Selain itu lemahnya penegakan hukum dalam pelaksanaan pembangunan lingkungan buatan di wilayah pesisir yang mengakibatkan pembangunan terus berlangsung yang akan memberikan dampak berkurangnya daya dukung lingkungan dan tidak dilibatkannya peran serta masyarakat, mengakibatkan sosialisasi program pemerintah tidak berjalan dengan baik (Pratikto, 2005) sehingga pada waktu terjadinya bencana maka yang paling besar menerima dampaknya adalah masyarakat itu sendiri.

Sampai tahun 2005, di Indonesia terdapat 45 kota besar dan 185 kabupaten berada di wilayah pesisir yang menjadi tempat pusat pertumbuhan ekonomi, industri dan berbagai aktivitas lainnya. Di kota dan kabupaten pesisir ini (marine cities and marine regencies) terdapat sekitar 80 % dari industri Indonesia yang beroperasi dengan memanfaatkan sumberdaya pesisir dan membuang limbahnya ke pesisir sehingga wilayah pesisir saat ini mempunyai tingkat kerusakan biofisik yang sangat menghawatirkan (Pratikto, 2005). Maka sudah sewajarnya jika pengembangan wilayah pesisir memperhatikan konsep pembangunan yang berkelanjutan dan berwawasan lingkungan sebagaimana dijelaskan dalam UU No. 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup, agar pengembangannya tidak bertambah semerawut dan membahayakan generasimendatang (Sugandhy dan Hakim, 2007). Konsep ini diperlukan untuk menjaga agar ambang batas tetap pada laju pemanfaatan ekosistem alamiah serta sumber daya alam yang ada di dalamnya. Ambang batas ini tidak bersifat mutlak karena tergantung kepada kondisi tekonologi dan sosial ekonomi tentang pemanfaatan sumber daya alam, serta kemampuan biosfer untuk menerima dampak kegiatan manusia(WCED, 1984).

Guna mengatasi permasalahan yang kompleks tersebut diperlukan penanganan lintas sektor dan multi disiplin sesuai dengan perubahan paradigma, bahwa upaya-upaya preventif, proaktif dan kesiapsiagaan untuk mengurangi risiko bencana atau mitigasi dengan mengedepankan ketahanan masyarakat dan lingkungan (ACDRR; UN ISDR, 2007). Hal ini menegaskan bahwa

(7)

pemberdayaan masyarakat perlu dilaksanakan secara kolektif (Parsons et al., 1994) sehingga memudahkan sosialisasi program pengurangan risiko bencana. Oleh karena itu, Indonesia dapat mencontoh negara lain yang memiliki permasalahan serupa, seperti penanganan bencana gempa bumi dan tsunami di Jepang atau bencana taifun, banjir, dan longsor di Taiwan.Mereka memecahkan permasalahan tersebut dengan membuat dahulu ‘model untuk menentukan kebijakan dan strategi yang harus dilakukan dalam pengurangan risiko bencana dengan melibatkan peran serta masyarakat. Setelah mengetahui pembangkitan (G), penjalaran (S), dan run-up Tsunami (H), Jepang mengembangkan Model TEWS (tsunami early warning system) yaitu sistem peringatan dini dan kecepatan menyampaikan informasi kepada masyarakat untuk menyelamatkan diri (ACDRR, 2007). Begitupun dengan Taiwan yang telah mengembangkan rainfall - based debris-flow warning model (NDRC, 2007). Model tersebut dapat memprediksi potensi bencana akibat terjadinya longsor pada suatu daerah dengan menggunakan parameter intensitas curah hujan (I), lamanya curah hujan (T), akumulasi curah hujan (R), dan curah hujan terdahulu (P). Dengan demikian permodelan diperlukan untuk menyelesaikan permasalahan yang kompleks, dinamis dan probabilistik. Menurut Sargent (1999) permodelan sistem ini pada hakekatnya adalah perwujudan dari entitas, model komputerisasi (decision support system) dan model konseptual yang keseluruhannya didukung oleh validitas data dan informasi (Eriyatno, 2007).

Adapun latar belakang penelitian secara ringkas disajikan dalam Gambar 6. Berkaitan dengan latar belakang tersebut, penelitian ini akan merancang alternatif kebijakan pengembangan wilayah pesisir dengan mengambil kasus di dua lokasi, yaitu: Kecamatan Indramayu/Kecamatan Juntinyuat di Kabupaten Indramayu dan Kecamatan Pangandaran di Kabupaten Ciamis. Obyek yang akan diteliti meliputi lingkungan binaan dan perangkat kebijakan, melalui proses identifikasi permasalahan verifikasi dan validasi serta diskusi dengan para pakar dan masyarakat pesisir dan merumusan arahan kebijakan bagi pengembangan kedua wilayah pesisir yang berkelanjutan dan berperspektif mitigasi bencana.

(8)

Gambar 6. Latar belakang penelitian model kebijakan pengembangan wilayah pesisir berperspektif mitigasi bencana

1.2. Kerangka Pemikiran

Berdasarkan latar belakang kemiskinan, kerentanan dan dimensi pembangunan di wilayah pesisir Indonesia tersebut, pemerintah memiliki dua pilihan strategi yaitu pertama Pengembangan Wilayah Pesisir yang pro growth, pro job dan pro poor atau kedua yaitu pengembangan wilayah pesisir yang pro growth, pro job, pro poor, dan pro mitigation. Strategi pertama menghasilkan pertumbuhan yang tinggi dan membuka lapangan pekerjaan, tetapi dapat menguras sumberdaya ekonomi yang berlebihan sehingga menimbulkan kerusakan lingkungan. Ketika terjadi bencana alam, kerentanan wilayah pesisir tersebut akan memperbesar risiko bencana sehingga kegiatan ekonomi dapat terhenti dan kemiskinan akan meningkat. Sebaliknya strategi kedua yang

Negara Kepulauan Terbesar dengan Panjang Pesisir Kedua di dunia yang Rawan Bencana

Permasalahan yang Kompleks, Dinamis, dan Probabilistik tsb membutuhkan Pendekatan Sistem sbg Upaya Pemecahannya Mayoritas penduduk Indonesia

tinggal di pesisir sbg penduduk Miskin

Mereka tinggal di lingk. Binaan Sub Standar dgn Kerentanan

Tinggi

Adanya penguasaan

regime Open Access, Common Property, Quasi-Private Property,dan State

Property

Diperlukan kebijakan baru yang berperspektif

mitigasi bencana

Model Kebijakan Pengembangan Wilayah Pesisir yang Berkelanjutan dan Berprespektif Miitigasi Bencana

Pengalaman Negara Maju

(9)

menghasilkan pertumbuhan ekonomi yang moderat tetapi tidak menimbulkan kerusakan sumberdaya alam, sehingga dapat mempertahankan ketahanan lingkungan dan ketika terjadi bencana alam risiko yang ditimbulkan sudah tentu akan dapat direduksi. Oleh karena itu pemerintah hendaknya menempuh kebijakan pengembangan wilayah pesisir berkelanjutan dan berperspektif mitigasi bencana dengan strategi pro growth, pro job, pro poor, dan pro mitigation (Gambar 7).

Gambar 7. Kerangka pemikiran penelitian pengembangan wilayah pesisir

Kemiskinan dan kerentanan di wilayah pesisir Indonesia Dimensi pembangunan di wilayah pesisir Indonesia Pengembangan wilayah

pesisir yang pro growth, pro

job, pro poor dan pro

mitigation

Pengembangan wilayah

pesisir yang pro growth,

pro job dan pro poor

Pengurasan Sumberdaya Ekonomi yang berlebihan

Mencegah dan mengurangi risiko bencana seperti kerusakan sumber daya

ekonomi Pertumbuhan

yang tinggi dan membuka lapangan pekerjaan Kejadian Bencana Alam Pengembangan wilayah pesisir yang berkelanjutan dan berperspektif mitigasi

bencana : pro growth, pro

job, pro poor dan pro

mitigation Pertumbuhan yang moderat, dpt mengurangi kemiskinan dan pengangguran Kerusakan sumberdaya ekonomi dan lingkungan yg akan mengurangi lapangan pekerjaan dan

pendapatan penduduk serta meningkatkan

kemiskinan

(10)

1.3

Perumusan Masalah

Berdasarkan kompleksitas permasalahan pengembangan wilayah pesisir yang ditimbulkan baik oleh faktor internal maupun oleh faktor eksternal, maka untuk membangun model kebijakan pengembangan wilayah pesisir yang berkelanjutan dan berperspektif mitigasi bencana perlu disusun dahulu rumusan permasalahan yang akan melandasi kegiatan penelitian tersebut. Perumusan masalah dalam kegiatan penelitian hendaknya terkait dengan kebijakan pengembangan, potensi pengembangan, potensi bencana alam, dan upaya mitigasinya yaitu :

1. Bagaimana implementasi kebijakan pengembangan wilayah pesisir yang berkelanjutan?

2. Faktor-faktor apakah yang menjadi potensi pengembangan wilayah pesisir? 3. Faktor-faktor apakah yang menjadi potensi bencana alam di wilayah pesisir? 4. Bagaimana bentuk dan efektivitas mitigasi untuk menurunkan risiko

bencana?

5. Bagaimana model kebijakan pengembangan wilayah pesisir yang berkelanjutan berperspektif mitigasi bencana alam?

6. Bagaimana rumusan kebijakan pengembangan wilayah pesisir yang berkelanjutan berperspektif mitigasi bencana alam?

1.4 Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk merumuskan arahan kebijakan pengembangan wilayah pesisir yang berkelanjutan dan berperspektif mitigasi bencana. Adapun tujuan khusus dari penelitian ini adalah :

1. Mengevaluasi implementasi kebijakan pengembangan wilayah pesisir yang berkelanjutan

2. Mengidentifikasi potensi pengembangan wilayah pesisir 3. Mengidentifikasi potensi bencana alam di wilayah pesisir

4. Mengevaluasi efektivitas keberhasilan dan bentuk mitigasi bencana alam 5. Mengembangkan model kebijakan pengembangan wilayah pesisir

berkelanjutan dan berperspektif mitigasi bencana

6. Merumuskan arahan kebijakan pengembangan wilayah pesisir berkelanjutan berperspektif mitigasi bencana

(11)

1.5 Manfaat Penelitian

Penelitian ini diharapkan akan bermanfaat untuk:

1. Ilmu pengetahuan dalam bidang aplikasi pendekatan sistem dan permodelan sistem;

2. Semua pihak yang berkepentingan dengan pengembangan wilayah pesisir dan penanggulangan bencana;

3. Sebagai acuan pemerintah dalam penyusunan kebijakan dan strategi pengembangan wilayah pesisir serta peraturan dan perundangan tentang penanggulangan bencana.

1.6. Hipotesa dan Asumsi

Hipotesa dalam penelitian ini adalah strategi pengembangan wilayah pesisir tiga jalur (triple track development strategy) dinilai kurang memadai untuk tetap dipergunakan oleh pemerintah. Sebagai asumsi adalah merosotnya ketahanan lingkungan dan kesiapan masyarakat serta aparat, dalam menghadapi bencana alam yang telah menimbulkan kerugian harta benda dan jiwa yang sangat besar.

1.7. Kebaruan (

Novelty

)

Kebaruan dari penelitian ini adalah arahan model kebijakan pengembangan wilayah pesisir yang pro growth, pro job, pro poor, dan pro mitigation yang disebut sebagai strategi pengembangan wilayah pesisir empat jalur (quarter track development strategy).

Gambar

Gambar 1.  Peta sebaran lempeng tektonik dunia    Sumber : Departemen ESDM, 2007
Gambar 2. Sebaran lokasi gempa tektonik dan kejadian tsunami di  kepulauan Indonesia dan sekitarnya
Gambar 4.   Peta setting gelombang pasang di samudera Hindia (arah Barat  Daya)
Gambar 5. Kebijakan pembangunan hasil kajian
+2

Referensi

Dokumen terkait

1) Mengembangkan kurikulum mata pelajaran IPS. a) Menelaah prinsip-prinsip pengembangan kurikulum IPS. b) Memilih pengalaman belajar yang sesuai dengan tujuan pembelajaran IPS.

Reaktivitas : Tidak ada data tes khusus yang berhubungan dengan reaktivitas tersedia untuk produk ini atau bahan bakunya... Stabilitas

Berdasarkan Firman Tuhan tersebut maka sebagai Pelayan Yesus Kristus kami memberitakan bahwa pengampunan dosa telah berlaku dalam nama Bapa dan Anak dan Roh Kudus.. Umat SYUKUR

Untuk menentukan adanya perbedaan antar perlakuan digunakan uji F, selanjutnya beda nyata antar sampel ditentukan dengan Duncan’s Multiples Range Test (DMRT).

Strategi produk merupakan strategi yang paling penting untuk dikembangkan karena produk inilah yang dikonsumsi dan dimanfaatkan secara langsung oleh konsumen

Soal ujian dengan kriteria sangat mudah dan sulit menunjukkan kekuatan diskriminasi rendah, bahkan nilai indeks diskriminasi negatif ditemukan pada soal yang

Gambar L4.2 Foto Rangkaian Peralatan Pembuatan Biodiesel 62 Gambar L4.3 Foto Rangkaian Peralatan Pembuatan Biodiesel 63 Gambar L4.4 Foto Proses Esterifikasi 63 Gambar L4.5

Pemenuhan kebutuhan personal hygiene pasien adalah tugas/ tanggung jawab perawat.Pasien imobilisasi dengan stroke membutuhkan perawat untuk memenuhi kebutuhan personal