Daftar Isi
Pengantar Redaksi ... ii 1. Rencana Tindak Penerapan Manajemen Kinerja di Instansi Pemerintah ... 1 2. Dampak Perubahan Kebijakan Desentralisasi dan Otonomi Daerah terhadap
Pengelolaan Aparatur Pemerintah Daerah ... 13 3. Alokasi Pendanaan Antar Tingkatan Pemerintah ... 25 4. Analisis Implementasi Kebijakan Pengembangan Wilayah Strategis dan Cepat Tumbuh
untuk Mendorong Pengembangan Wilayah Tertinggal ... 37 5. Pengembangan Model Keterkaitan Regional ... 62 6. Alternatif Pengadaan Tanah untuk Pembangunan: Pengalaman dan Pembelajaran ... 75 7. Kebijakan Mengenai Penetapan Naskah Akademik sebagai Prasyarat Penyusunan
Rancangan Undang-Undang dan Rancangan Peraturan Daerah ... 89 8. Isu Strategis Peran Komunikasi, Informasi dan Media Massa Dalam Mendukung
LOREM IPSUM DOLOR SIT AMET, consectetuer adipiscing elit. Morbi magna. Vestibulum ante ipsum primis in faucibus orci luctus et ultrices posuere cubilia Curae; Nulla interdum. Donec arcu neque, malesuada et, pellentesque ut, pretium bibendum, odio. Pellentesque habitant morbi tristique senectus et netus et malesuada fames ac turpis egestas. Nam non ante in diam blandit scelerisque. Morbi consectetuer. Vivamus eget quam. Donec viverra libero et orci. Quisque ultrices varius ante. Maecenas ullamcorper, magna vitae nonummy facilisis, sapien ante fermentum lectus, tincidunt auctor est justo nec quam. Donec rhoncus tincidunt libero. Sed mi pede, semper vitae, commodo eu, viverra ac, velit. Donec rhoncus libero eget libero. Suspendisse et enim.
Etiam ut nulla. Duis porttitor molestie libero. Suspendisse quam diam, nonummy ultrices, rhoncus ut, rutrum eget, wisi. Class aptent taciti sociosqu ad litora torquent per conubia nostra, per inceptos hymenaeos. Nam libero. Morbi vehicula mi accumsan orci. Duis sit amet mi ut lacus tincidunt vehicula. Vivamus eu erat. Cum sociis natoque penatibus et magnis dis parturient montes, nascetur ridiculus mus. Etiam ultricies mollis eros.
Suspendisse potenti. Aliquam erat volutpat. Aliquam quis elit nonummy libero sodales ultrices. Praesent convallis ornare justo. Donec ac nulla ac ligula tristique scelerisque. Nunc rutrum egestas tortor. Nunc quis justo a leo eleifend ultrices. Maecenas iaculis augue eu tortor. In sit amet erat. In sollicitudin accumsan nunc. Vivamus feugiat nunc sit amet leo. Nunc dignissim cursus eros.
Nullam auctor. Pellentesque sagittis scelerisque pede. Donec lacinia faucibus urna. Nullam velit lorem, egestas nec, ornare eu, ornare vitae, turpis. Donec et nibh id massa tempor condimentum. Curabitur sem turpis, facilisis in, sodales et, condimentum sit amet, ligula. Suspendisse ipsum wisi, dapibus sed, interdum eget, dictum sit amet, purus. Nam at neque eu orci commodo eleifend. Integer nulla nunc, suscipit eu, scelerisque id, scelerisque in, arcu. NVestibulum tempus lorem a mauris. Donec tempor ultrices dui. Maecenas in tortor. Fusce tristique nibh eget enim. Cras in enim. Maecenas nec lorem eget erat convallis tincidunt.
Aenean eros. Donec at wisi quis neque fermentum euismod. Sed nonummy, justo vel ornare condimentum, enim neque tincidunt wisi, ac elementum neque magna quis velit. Nulla mauris purus, vehicula nec, pharetra vel, sodales ac, erat. Maecenas a nunc a elit elementum varius. Sed elit. Sed in justo. Ut quis sapien. Cum sociis natoque penatibus et magnis dis parturient montes, nascetur ridiculus mus. Phasellus lacinia quam eget magna. Fusce mattis nulla sit amet odio porta semper. Etiam leo enim, egestas id, ornare vitae, imperdiet vel, sem. Mauris at arcu. Nunc id ante eu nisl laoreet cursus. In hac habitasse platea dictumst. Nulla non ligula.
SUSUNAN REDAKSI Pelindung H. Paskah Suzetta Pengarah Ir.Syahrial Loetan, MCP Pemimpin Redaksi Drs. Setia Budi, MA Redaktur Pelaksana Dr. Ir. Himawan Hariyoga, M.Sc R.M. Dewo Broto Joko P., SH, LLM
Ir. Slamet Soedarsono, MPP Dr. Ir. Subandi, M.Sc Dr. Ir. Yahya R Hidayat, M.Sc
Dr. Robin Asad Suryo, MA Dr. Ir. Herry Darwanto, M.Sc
Nur Syarifah, SH, LLM Ir. Salusra Widya, MA R. Wijaya Kusumawardhana, ST, MMIB
Muhammad Nasir, S.Kom, M.Si Ir. Erianti Puspa, MM Shri Mulyanto, MT, M.Sc Abdul Hakim, S.Sos, M.Si
Bagian keuangan Kahmal Jumadi, S.Sos
Setting/Layout Ratih Clinovera, S.E
Distribusi Ismet M.Suhud, SE, MAP.
Eri Mulia, SE. , Prihanto Wahyu Utomo
Rencana Tindak
Penerapan Manajemen
Kinerja di Instansi
Pemerintah
DIREKTORAT APARATUR NEGARA
e-mail: ajit@bappenas.go.id
Abstrak
Penerapan prinsip-prinsip kepemerintahan yang baik termasuk di dalamnya menerapkan sistem manajemen kinerja instansi pemerintah harus menjadi komitmen seluruh komponen bangsa. Implementasi manajemen kinerja yang baik diyakini berpengaruh pada realisasi atau pencapaian Tujuan Nasional. Kajian ini bertujuan: (1) mengetahui isu strategis penerapan manajemen kinerja pada instansi pemerintah, (2) menentukan faktor prioritas yang perlu dipertimbangkan dalam penyusunan rencana tindak manajemen kinerja, (3) merumuskan model manajemen kinerja bagi instansi pemerintah, dan (4) merumuskan RTMK pada instansi pemerintah.
Metode yang digunakan adalah Strategic Planning Framework, meliputi: pengkajian lingkungan strategis yang berpengaruh terhadap penerapan Rencana Tindak Manajemen Kinerja (RTMK), penyusunan langkah-langkah untuk implementasi rencana tindak tersebut, dan penyusunan model manajemen kinerja.
Pendekatan yang digunakan dalam kajian merupakan kombinasi antara pendekatan kualitatif dan kuantitatif. Pengumpulan data dilakukan melalui indepth/focused interview dengan menggunakan kuesioner dan observasi. Metode observasi dan wawancara banyak digunakan karena data yang dibutuhkan terkait dengan kebijakan yang diinterpretasikan sesuai dengan makna subyektif berdasarkan pada fenomena yang muncul.
Perumusan isu strategis ini dilakukan melalui focus group discussion antara anggota tim perumus rencana kebijakan dari Direktorat Aparatur Negara dan narasumber. Penentuan sampel dilakukan melalui purposive sampling, sehingga diperoleh sampel kajian meliputi 12 instansi pemerintah terdiri dari instansi pemerintah pusat, propinsi, dan kabupaten/ kota. Hasil kajian menunjukkan organisasi pemerintah secara keseluruhan membutuhkan upaya-upaya yang serius dalam memperbaiki kinerja melalui proses yang berkelanjutan dalam penetapan-penetapan sasaran strategis yang berlandaskan pada dukungan data yang akurat melalui pengukuran kinerja.
Terdapat prioritas pada empat fase siklus manajemen kinerja: (i) perencanaan kinerja; (ii) implementasi rencana kinerja, (iii) pengawasan kinerja; dan (iv) evaluasi dan pelaporan kinerja.
1. Latar Belakang
Manajemen kinerja (MK) yang diterapkan pada instansi pemerintah diharapkan dapat mengedepankan peningkatan kinerja, efisiensi dan efektifitas dari pelaksanaan tujuan dan fungsi serta program suatu unit organisasi pemerintah. Manajemen ini mencakup pengukuran kinerja sejak dari perencanaan sampai dengan pemanfaatan/penggunaan berbagai sumber daya yang dimiliki termasuk pengalokasian sumberdaya manusia, dan peningkatan pemberian layanan. Fokus MK adalah pengukuran kinerja organisasi sektor publik yang berorientasi pada pengukuran outcome, bukan lagi sekedar pengukuran input dan output saja sebagaimana yang selama ini dilakukan di negara kita.
Berdasarkan hasil studi yang dilakukan pada tahun 2006, menemukan kelemahan manajemen pemerintah di beberapa aspek seperti belum optimalnya etika kerja dan budaya organisasi dalam mendorong kinerja, masih parsialnya sistem reward and punishment, pengawasan atas pelaksanaan program/kegiatan belum berjalan secara efektif, dan
beberapa aspek lainnya. Berdasarkan temuan tersebut, diharapkan seluruh instansi pemerintah dalam penerapan manajemen dilakukan secara integratif dan komprehensif mulai dari aspek perencanaan, implementasi, pengendalian, pengawasan, evaluasi dan sampai aspek pelaporan. Hal ini untuk menjaga keseimbangan roda organisasi, pencapaian tujuan dan program/kegiatan secara efektif dan efisien, menghasilkan output dan outcome secara optimal, dan pada akhimya menciptakan instansi pemerintah yang memiliki kinerja tinggi (high perfoming government) dari aspek kinerja individu, kinerja unit kerja, kinerja instansi dan kinerja pemerintahan nasional secara keseluruhan. Penerapan MK instansi pemerintah tersebut, sejalan dengan pelaksanaan sistem anggaran berbasis kinerja (performance based budgeting).
Berbagai kebijakan pemerintah tidak akan dapat dilaksanakan dengan baik tanpa didukung dengan manajemen yang baik. Untuk itu, RTMK sudah merupakan keharusan mengingat penerapan manajemen di setiap instansi pemerintah baik di pusat maupun di daerah saat ini masih belum berorientasi pada pencapaian kinerja.
Faktor-faktor dalam manajemen pemerintah yang dapat mendukung pencapaian peningkatan kinerja instansi pemerintah, memperlihatkan kondisi yang hampir seragam pada beberapa instansi pemerintah. Permasalahan MK di instansi pemerintah erat kaitannya dengan visi, misi, dan tujuan dari organisasi atau unit kerja tersebut. Suatu organisasi harus menciptakan koherensi antarelemen tersebut dalam sistem pengendalian manajemennya (Mahmudi 2005). Dalam konteks pemahaman ini, pada dasarnya MK dipandang sebagai cara bagaimana mencapai tingkat hasil yang diinginkan sesuai dengan yang ditetapkan atau didisain dalam perencanaan.
Berdasarkan uraian tersebut di atas, permasalahan yang akan dibahas dalam kajian ini adalah: bagaimana menerapkan MK di berbagai instansi pemerintah pusat dan daerah, tidak saja untuk meningkatkan kinerja instansi dan para pegawainya, tetapi juga untuk mendukung keberhasilan pelaksanaan tugas pemerintahan dan pembangunan. Rumusan permasalahan yang akan dianalisis dalam kajian ini: (1) Apa sajakah yang menjadi isu strategis penerapan MK pada instansi pemerintah, (2) Faktor prioritas apa saja yang perlu dipertimbangkan dalam penyusunan rencana tindak manajemen kinerja, (3) Bagaimana model MK bagi instansi pemerintah, dan (4) Bagaimana RTMK pada instansi pemerintah.
2. Tujuan
Penajaman formulasi kebijakan dan tindakan berupa rencana tindak (action plan) penerapan manjemen kinerja (managing for result/performance management) di instansi pemerintah pusat dan daerah diperlukan dalam rangka memaksimalkan potensi atau daya unggul instansi pemerintah dan agar setiap instansi pemerintah dapat memfokuskan pada upaya peningkatan kinerja. Tujuan kajian ini untuk memberikan usulan RTMK yang dapat dilakukan diberbagai instansi pemerintah pusat dan daerah. Secara khusus tujuan kajian ini: (1) mengetahui isu strategis penerapan MK pada instansi pemerintah, (2) menentukan faktor prioritas yang perlu dipertimbangkan dalam penyusunan RTMK, (3) merumuskan model manajemen kinerja bagi instansi pemerintah, dan (4) merumuskan RTMK pada instansi pemerintah.
Berdasarkan tujuan tersebut, output yang diharapkan dari kajian ini adalah: (1) tersusunnya laporan kajian yang berisi rekomendasi RTMK di instansi pemerintah yang dapat mengukur kinerja instansi pemerintah, dan (2) tersusunnya model altenatif MK dalam menunjang penyelenggaraan tugas pemerintahan dan pembangunan, termasuk dalam penerapan kebijakan anggaran berbasis kinerja. Outcome yang diharapkan dari kajian ini adalah rencana tindak yang dapat digunakan sebagai acuan oleh instansi pemerintah pusat dan daerah dalam menerapkan MK di instansi masing-masing.
3. Metodologi
3.1. Kerangka Analisis
Kajian dilaksanakan dengan terlebih dahulu menentukan batasan pengertian dari manajemen kinerja. Berdasarkan batasan atau pengertian tersebut selanjutnya ditelusuri masalah-masalah yang dihadapi dalam pelaksanaan MK, untuk selanjutnya ditentukan kerangka analisis dari kajian ini. Pemahaman terhadap manajemen kinerja tidak dapat dilepaskan dari beberapa konsep pokok mengenai Kinerja, Pengukuran Kinerja, dan Metode Pengukuran Kinerja.
Kinerja adalah tingkat pencapaian hasil atas pelaksanaan tugas tertentu. Kinerja organisasi adalah tingkat pencapaian hasil dalam rangka mewujudkan tujuan organisasi. Dalam rangka pencapaian sasaran dan tujuan lembaga, organisasi disusun dalam unit-unit kerja lebih kecil, dengan pembagian kerja, sistem kerja dan mekanisme kerja yang jelas.
Berdasarkan pengertian bahwa kinerja adalah agregasi dari keseluruhan struktur unit dari organisasi, yang terdiri dari para pelaku atau anggota organisasi dalam upaya peningkatan kinerja organisasi melalui peningkatan kinerja masingmasing individu. Kinerja organisasi sangat dipengaruhi oleh tiga faktor utama: dukungan organisasi, kemampuan manajemen, dan kinerja setiap orang yang bekerja di perusahaan yang bersangkutan. Kinerja setiap orang dipengaruhi oleh banyak faktor yang dapat digolongkan pada tiga kelompok, yaitu kompetensi individu orang yang bersangkutan, dukungan organisasi dan dukungan manajemen.
MK atau performance management juga dapat diartikan sebagai suatu proses perencanaan, evaluasi, coaching & counseling, dan penilaian kinerja anggota organisasi untuk mewujudkan objektif organisasi sekaligus mengoptimalkan potensi diri anggota. MK didasarkan kepada kesepakatan tentang sasaran, persyaratan pengetahuan, keahlian, kompetensi, reneana kerja dan pengembangan (Dharma, 2005). Seeara garis besar, sebagai bagian dari sistem akuntabilitas kinerja, siklus manajemen kinerja dibagi dalam 5 tahap:: perencanaan kinerja, implementasi, pengukuran kinerja dan evaluasi kinerja, pelaporan kinerja, audit kinerja (Bappenas, 2006).
Sejak tahun 1999 hingga sekarang telah terjadi perubahan mendasar dalam administrasi publik dalam arti administrasi pemerintahan. Pada praktiknya pemerintah berupaya untuk meningkatkan pelayanan melalui pendekatan perbaikan terhadap manajemen. instansi pemerintah sudah dan sedang berupaya melakukan adaptasi dan perbaikan terus menerus. Terbitnya perturan Menteri Negara Pendayagunaan Aparatur Negara No. Per/09/M.PAN/5/2007 tentang Pedoman Umum Penetapan Indikator Kinerja Utama di Lingkungan Instansi Pemerintah semakin mempertegas kebutuhan dan keinginan pemerintah untuk meningkatkan kinerja, melalui penerapan Sistem akuntabilitas Instansi Pemerintah (Sistem AKIP) terutama dalam menetapkan indikator kinerja sebagai tolak ukur keberhasilan ataupun kegagalan instansi pemerintah untuk mencapai tujuan atau sasaran.
Penerapan manajemen berorientasi pada kinerja akan memudahkan dalam pemantauan dari tugas-tugas unit kerja. Hal ini karena dalam pembagian tugas suatu lembaga akan dibagi ke setiap unit kerja dengan adil sehingga tidak terjadi penumpukan beban kerja di satu unit kerja. Pendekatan sistematis dan terencana dalam mengelola kinerja pemerintah harus mampu menjamin adanya suatu mekanisme perbaikan terus-menerus melalui pengukuran yang jelas.
Pada praktiknya implementasinya pelaksanaan penilaian kinerja tidaklah mudah. Beberapa tantangan-tantangannya antara lain: (i) kendala legal, terkait dengan kondisi-kondisi yang memungkinkan penetapan penilaian bisa dengan beberapa peraturan yang berpotensi bertentangan dengan aturan dalam penilaian kinerja, (ii) bisa Penilai, dalam hal ini masalah yang muncul umumnya terkait dengan faktor-faktor personal penilai.
Harus diakui selain kemajuan-kemajuan yang telah dicapai dan tantangan tantangan dalam praktik tersebut, masih terdapat kelemahan-kelemahan yang menggelayuti pemerintah (birokrasi) Indonesia. Secara faktual birokrasi masih dirasakan menjadi salah satu faktor yang justru memperlambat upaya-upaya aktual dalam implement,asi kinerja pemerintah. Selain itu kinerja individu pegawai pemerintah dinilai belum memenuhi standar kelayakan minimal pelayanan yang baik. Pegawai Negeri dianggap belum memiliki komitmen yang kuat untuk memenuhi standar kinerja yang telah ditentukan oleh organisasi.
Permasalahan manajemen kinerja di instansi pemerintah erat kaitannya dengan visi, misi, dan tujuan dari organisasi atau unit kerja tersebut. Oleh karena itu, suatu organisasi harus menciptakan koherensi antar elemen tersebut dalam sistem pengendalian manajemennya (Mahmudi 2005). Dalam konteks pemahaman ini, pada dasarnya MK dipandang sebagai cara bagaimana mencapai tingkat hasil yang diinginkan sesuai dengan yang ditetapkan atau didisain dalam perencanaan. Berdasarkan analisis temuan pada kajian terdahulu, rendahnya kinerja instansi pemerintah dapat dianalisis dengan pohon masalah (lihat Gambar 1.)
3.2. Metode Pelaksanaan Kajian
Secara garis besar tahapan kajian Penerapan MK di Instansi Pemerintah dilakukan melalui: (1) kegiatan yang bersifat tinjauan literatur dan kepustakaan, (2) focus group discussion (FGD) dengan seluruh tim kajian, narasumber, dan pakar untuk merumuskan isu strategis dan rencana aksi penerapan manajemen kinerja, (3) pengumpulan data sekunder yang berkaitan dengan permasalahan birokrasi pemerintahan di beberapa instansi pemerintah baik pusat maupun daerah khususnya instansi yang memberikan pelayanan publik, (4) melakukan kunjungan ke beberapa instansi pemerintah pusat dan daerah guna mengumpulkan pendapat para pakar untuk mendukung analisis sistem pakar dan mendapatkan masukan yang bermanfaat bagi penyempurnaan naskah kajian, (5) melakukan seminar untuk mendapatkan masukan dari masyarakat, dan (6) menyusun RTMK.
Gambar 1. Analisis Pohon Masalah
Dalam rangka merumuskan isu strategis penerapan MK diperlukan identifikasi pentingnya rencana tindak dan tinjauan konseptual yang melandasinya. Tinjauan konseptual diperoleh dari hasil kajian empiris dan akademis, landasan yuridis peningkatan MK, dan model MK yang telah diterapkan pada instansi pemerintah. Perumusan isu strategis ini dilakukan melalui FGD antara anggota tim kajian dari Direktorat Aparatur Negara dan narasumber. Posisi/isu strategis penerapan MK di instansi pemerintah yang diperoleh akan dijadikan sebagai landasan untuk menyusun instrumen sistem pakar untuk menilai prioritas rencana tindak.
Metode yang digunakan adalah Strategic Planning Framework, meliputi: pengkajian lingkungan strategis yang berpengaruh terhadap penerapan RTPMK, penyusunan langkah-langkah untuk implementasi rencana tindak tersebut, dan penyusunan model MK. Pendekatan yang digunakan dalam kajian adalah kombinasi pendekatan kualitatif dan kuantitatif. Pendekatan kuantitatif digunakan untuk menentukan prioritas kebijakan, sedangkan pendekatan kualitatif untuk menggambarkan rencana penerapannya.
3.3. Data
Pengumpulan data dilakukan indepth/focused interview menggunakan kuesioner dan observasi. Validasi konsep dan jawaban pakar dilakukan dengan menanyakan kembali kepada pakar lain. Suatu konsep atau variabel dinyatakan valid bila seluruh pakar atau mayoritas pakar menyatakan valid atau memberikan jawaban yang sama.
Responden adalah pakar yang mewakili: instansi pemerintah daerah, instansi pusat, akademisi. Data diperoleh dari wawancara dengan responden yang ditetapkan berdasarkan kerangka sampel berikut: (1) Instansi Pemerintah Pusat, meliputi: Departemen Dalam Negeri (Depdagri), Departemen Keuangan (Depkeu), Departemen Kesehatan (Depkes), dan Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas); (2) Pemerintah Propinsi, meliputi: Riau, dan Gorontalo; (3) Pemerintah Kabupaten/Kota meliputi: Semarang, Sragen, Klungkung, Balikpapan, Batu, dan Lombok.
Pemilihan sampel tersebut dengan beberapa pertimbangan: (1) kemampuan atau tingkat kepakaran responden, (2) data sekunder yang relevan, dan (3) instansi pemerintah daerah diwakili oleh daerah yang sudah menerapkan MK dan daerah yang sedang mempersiapkan penerapan MK.
Selain data primer, maka untuk melengkapi kajian dan menunjang analisis kajian ini dibutuhkan data sekunder yang berkaitan dengan manajemen di instansi pemerintahan di Indonesia. Data sekunder diperoleh secara tidak langsung dari berbagai literatur, media cetak dan elektronik (website), laporan atau dokumen dari instansi pemerintah, dan sumber data lainnya, yang dimanfaatkan sebagai penunjang analisis kajian ini.
4. Hasil Kajian dan Analisis
4.1. Isu Strategis dan Faktor Prioritas Penyusunan Rencana Tindak
Terdapat kesadaran bahwa birokrasi pemerintah masih memiliki kelemahan. Beberapa kelemahan tersebut antara lain:
• Adanya kecenderungan perilaku yang kurang mampu untuk melakukan kordinasi diantara lembaga pemerintah disebabkan latar belakang pemahaman politik yang berbeda dan kepentingan sektoral yang berbeda. Pada saat yang bersamaan, peningkatan kualitas kinerja aparatur negara belum optimal.
• Pe1ayanan publik masih jauh dari harapan dan keinginan masyarakat, pemborosan yang masih juga belum dapat diperbaiki, korupsi yang masih merajalela, dan tarikan kuat yang dilakukan oleh pejabat politik terhadap pejabat birokrasi
• Pengukuran terhadap sejauhmana pencapaian kerja (prestasi) belum terjabarkan secara jelas sehingga dalam prakteknya terdapat kesulitan untuk merealisasikannya. Terdapat asumsi bahwa seberapapun kualitas dari output kegiatan yang dilaksanakan tidak akan memberikan perubahan terhadap penghargaan kepada aparatur yang bersangkutan.
Berdasarkan hasil kajian tentang profil manajemen pemerintahan yang berorientasi pada peningkatan kinerja yang terdiri instansi pemerintah; instansi pemerintah pusat, provinsi, kabupaten dan kota di Indonesia, terdapat beberapa kelemahan lain terkait dengan proses manajemen pemerintahan yang belum menerapkan manajemen secara integratif dalam suatu siklus MK yang dimulai dari fungsi perencanaan sampai dengan pelaporan kinerja (Bappenas, 2006).
Adapun kelemahan-kelemahan tersebut di atas, menjadi isu strategis yang perlu ditelaah dan dicarikan solusi bagi terwujudnya penerapan MK pada instansi pemerintah. Isu strategis yang ditelaah dalam kajian ini adalah yang termasuk dalam siklus perencanaan kinerja, implementasi kinerja, pengawasan kinerja, serta evaluasi dan pelaporan kinerja.
Pada tahapan perencanaan kinerja, instansi pemerintah mendefinisikan seluruh sasaran, program dan kegiatan yang akan diimplementasikan dalam suatu tahun anggaran, yang kemudian diformulasikan dalam rencana kinerja. Oleh karena itu keberadaan rencana strategis sangat penting yaitu menjadi landasan dibuatnya perencanaan kinerja. Selanjutnya, perencanaan kinerja menjadi dasar diterapkannya MK pada suatu organisasi.
Dalam merealisasikan perencanaan kinerja masih terkendala beberapa permasalahan yang dihadapi oleh sebagian besar instansi pemerintahan, diantaranya: lemahnya kemampuan menetapkan visi, misi, strategi yang jelas, proses perencanaan kurang melibatkan stakeholder, rencana strategis yang disusun belum merespon perubahan lingkungan, masih terdapatnya beberapa instansi pemerintah yang belum sepenuhnya memiliki kesesuaian antara anggaran dan program, dan kelemahan selanjutnya pada kegiatan perencanaan di instansi pemerintah adalah implementasi anggaran berbasis kinerja (ABK) pada tahap awal yang belum sesuai harapan.
Masalah yang terkait dengan implementasi kinerja antara lain: etika dan budaya organisasi masih kurang mendukung implementasi, lemahnya pemahaman terhadap visi misi dan tujuan organisasi, kompetensi pegawai belum sesuai dengan kebutuhan, kurang optimalnya pegawai dalam melaksanakan TUPOKSI, dan inkonsistensi atau belum berjalannya pemberian reward & punishment pada pegawai,
Selanjutnya beberapa isu kelemahan pengawasan antara lain: sistem pengendalian internal belum optimal dalam mendukung akuntabilitas, belum optimalnya pengawasan mendorong peningkatan kinerja instansi, dan penetapan standar kinerja pencapaian TUPOKSI pada instansi pemerintah relatif belum jelas.
Pada evaluasi kinerja terdapat beberapa isu yang menonjol selama ini, diantaranya: masih lemahnya pelaksanaan evaluasi secara berkala berdasar indikator kinerja, masih banyak ditemukannya instansi pemerintah yang belum menerapkan evaluasi yang mampu merespon dinamika internal dan eksternal, penilaian terhadap kinerja individu masih belum dilakukan oleh sebagian besar instansi pemerintah, belum adanya bentuk & mekanisme pelaporan secara sistematis, yang terhubung antara masing-masing unit kerja. dengan pusat pertanggungjawaban, dan belum optimalnya evaluasi dan pelaporan yang tersistem.
Selain isu tersebut, berbagai implementasi tahapan kegiatan, penggunaan sarana, perlu dukungan SDM yang relevan dengan kualifikasi kompetensi yang memadai. Hal lain akan dibutuhkan untuk mengimplementasikan MK adalah adanya perubahan budaya organisasi yang mengarahkan komitmen dan arahan berperilaku bagi setiap anggota organisasi dan memandu dalam mencapai tujuan organisasi.
4.2. Model Alternatif Manajemen Kinerja
Model alternatif dikembangkan untuk memberikan gambaran kerangka kerja implementasi MK instansi pemerintah, dengan mengakomodasi hasil observasi lapangan dan pendapat dari berbagai pelaku pada Instansi Pemerintah. Model alternatif diharapkan dapat memberikan panduan dan sekaligus kerangka kerja untuk menerapkan MK pada Instansi Pemerintah. Model altematif dirumuskan berdasarkan atau mempertimbangkan masukan-masukan yang berkembang dari hasil temuan penelitian dalam kajian. Beberapa pertimbangan tersebut dijabarkan berikut.
Berdasarkan visi dan misi tersebut selanjutnya tujuan organisasi ditetapkan, yang menunjukkan arah menyeluruh yang hendak dicapai oleh organisasi. Setelah itu dilakukan penetapan strategi yang mengakomodir atau merespon dinamika lingkungan dan merupakan pola tindakan utama untuk mewujudkan visi, misi, dan tujuan organisasi. Dalam konteks ini strategi dikembangkan berdasarkan dan mangadaptasi pada Model Balanced Scorecard.
Untuk memudahkan pencapaian maka ditetapkan rencana dan kesepakatan kinerja yang juga menjabarkan adanya indikator kinerja yang jelas. Selanjutnya dilaksanakan penyelengaraan kegiatan, dimana merupakan implementasi dari perencanaan kinerja. Dalam pelaksanaannya perlu adanya konsistensi pemberian reward dan pusnishment sebagai konsekuensi pencapaian prestasi, kompetensi SDM yang memadai dan optimalisasi dalam melaksanakan TUPOKSI serta budaya organisasi yang mendukung.
Agar kesepakatan atau rencana kinerja yang telah ditetapkan dapat berjalan lancar, maka dilaksanakan pengawasan. Tahapan selanjutnya, pengukuran kinerja, untuk melihat sejauhmana pencapaian prestasi yang dapat diukur berdasarkan level individu, tim, maupun organisasi. Hasil pengawasan, digunakan untuk memberikan umpan balik berkelanjutan pada strategi yang telah ditetapkan, perencanaan kinerja setiap unit, dan kesepakatan serta pengembangan kinerja pada masa-masa yang akan datang.
Bertitik tolak dari isu-isu strategis, dan masukan stakeholder dalam upaya mengimplementasikan manajemen kinerja, maka disusun model altenatif MK yang dapat diaktualisasikan pada Instansi Pemerintah sebagai berikut.
Keterangan: Diadaptasi dari beberapa model pemikiran dan data primer, 2007
4.3 Rencana Tindak Manajemen Kinerja
Berdasarkan hasil temuan prioritas penerapan MK di instansi pemerintah, diperlukan suatu Rencana Tindak Manajemen Kinerja (RTMK) yang dapat diterapkan pada instansi pemerintah di masa yang akan datang. Penyusunan faktor prioritas dalam penerapan MK lebih ditujukan untuk melihat hirarki kepentingan masing-masing siklus manajemen berdasarkan pendapat para pakar yang diwakili oleh praktisi dan akademisi. Tingkat kelayakan RTMK diukur dengan nilai prioritas rencana tindak yang diperoleh dari hasil penyebaran kuesioner kepada pakar.
Rencana Tindak Perencanaan Kinerja (RTPK) yang ditemukan dalam kajian ini berdasarkan prioritas, meliputi: (1) penetapan visi, misi, strategi dan ukuran kinerja secara jelas, (2) perlunya Renstra yang merespon perubahan lingkungan ekstemal, (3) peningkatan keterlibatan stakeholder dalam perencanaan, (4) Kesesuaian anggaran dan program, dan (5) Implementasi anggaran berbasis kinerja (tahap awal). Perencanaan. kinerja merupakan titik awal dari siklus MK, adapun dasar perencanaan kinerja adalah perencanaan strategis organisasi. Tabel 1 menjelaskan tahapan prioritas RTPK.
Tabel 1. Rencana Tindak Perencanaan Kinerja
Rencana Tindak Perencanaan Kinerja
Rencana perbaikan terhadap faktor mendukung keberhasilan rencana tindak Aktor
PRIORITAS I Penetapan visi,misi, strategi
SDM • Meningkatkan kemampuan aparatur dalam menyusun visi, misi,
dan strategi Lembaga penyelenggara
pemerintahan melalui biro/bagian perencanaan, Bappenas Bappeda, Depdagri,
Kebijakan • Reformulasi visi, misi, strategi yang mengarah kepada pencapaian penerpan manajemen kinerja.
Dana • Menyediakan dana untuk mendukung keberhasilan reformulasi visi, misi, dan strategi.
Sarana • Menyediakan peralatan yang mendukung perumusan visi, misi, dan strategi
• Mempersiapkan data yang dibutuhkan dalam perumusan visi, misi, dan strategi
PRIORITAS II Perlunya renstra yg merespon perubahan lingkungan
Kebijakan • Mendorong terciptanya renstra yang merespon perubahan lingkungan Lembaga penyelenggara pemerintahan melalui biro/bagian perencanaan, Bappenas Bappeda, Depdagri, Depkeu. SDM • Meningkatkan kemampuan aparatur dalam menganalisis
lingkungan
Sarana • Penyediaan sistem informasi yang dapat diakses aparatur Dana • Menyediakan dana untuk pengadaan sistem informasi PRIORITAS III
Kesesuaian anggaran dan program
SDM • Menyiapkan aparatur yang mampu menganalisis anggaran dengan cermat dan tepat
Lembaga penyelenggara pemerintahan melalui biro/bagian perencanaan, Bappenas Bappeda, Depdagri, Depkeu. Kebijakan • Menetapkan standar penganggaran program dan kegiatan
Dana • Menyediakan dana untuk pengembangan kompetensi aparatur Sarana • Mempersiapkan sarana pendukung penganggaran
PRIORITAS IV Implementasi ABK (tahap awal)
SDM • Meningkatkan kompetensi SDM dalam penyusunan anggaran berbasis kinerja Lembaga penyelenggara pemerintahan melalui biro/bagian perencanaan, Bappenas Bappeda, Depdagri, Depkeu. Kebijakan • Merumuskan pedoman penyusunan anggaran berbasis kinerja
Dana • Penyediaan dana untuk mempersiapkan proses penyusunan anggaran berbasis kinerja
Sarana • Penyediaan referensi dan peralatan yang mendukung penyusunan ABK
PRIORITAS V Peningkatan keterlibatan stakeholder
Kebijakan • Membangun kemitraan dengan stakeholder agar terlibat dalam perencanaan kinerja
• Menetapkan pedoman untuk mengakomodasi aspirasi stakeholder Lembaga penyelenggara pemerintahan melalui biro/bagian perencanaan, Stakeholder, Bappenas Bappeda, Depdagri, Depkeu. SDM • Mengintensifkan komunikasi dengan stakeholder
• Mempekuat pemahaman dan tanggungjawab stakeholder untuk terlibat dalam perencanaan kinerja
Sarana • Membangun sistem informasi yang mendukung komunikasi dengan stakeholder
• Menyediakan fasilitas pertemuan dengan stakeholder Dana • Mempersiapkan anggaran yang mendukung terlaksananya
proses komunikasi
Sumber : Hasil Analisis Data Primer, 2007
Rencana Tindak Implementasi Kinerja (RTIK) di instansi pemerintah yang berdasarkan hasil temuan kajian ini adalah: (1) Pemberian reward & punishment secara konsisten, (2) Etika dan budaya organisasi yang mendukung implementasi, (3) Kompetensi pegawai sesuai dengan kebutuhan, (4) Optimalisasi pegawai dalam melaksanakan TUPOKSI, dan (5) Pemahaman terhadap visi misi dan tujuan organisasi pada pegawai. Berdasarkan temuan di lapangan dan pendapat narasumber, maka implementasi kinerja dapat tercapai dengan baik apabila terdapat sistem reward & punishment yang tepat yang didukung oleh aparatur pemerintah yang kompeten. Menurut Gilley dan Eggland (1989) kompetensi merupakan kemampuan yang dimiliki seseorang sehingga yang bersangkutan dapat menyelesaikan perannya. Tabel 2 menjelaskan tahapan prioritas RTIK.
Tabel 2. Rencana Tindak Implementasi Kinerja
Rencana Tindak Implementasi Kinerja
Rencana perbaikan terhadap faktor mendukung keberhasilan rencana tindak Aktor
PRIORITAS I Etika &budaya organisasi yg mendukung implementasi
SDM Meningkatkan kemampuan adaptasi dengan budaya organisasi
Meningkatkan pemahaman dan sikap terhadap nilai-nilai good governance
LAN (Koordinator), Seluruh lembaga penyelenggara negara dan pemerintahan Sarana Menyediakan konsep, mekanisme dan indikator operasional
implementasi kinerja.
Menyediakan infrastruktur yang mendukung nilai-nilai good governance dalam mengimplementasikan kinerja.
Kebijakan Menginternalisasi nilai-nilai etika dan budaya organisasi yang mencerminkan prinsip-prinsip good governance.
Dana Menyediakan anggaran untuk pembelajaran dan implementasi nilai-nilai good governance PRIORITAS II
Pemahaman thd visi misi & tujuan organisasi
SDM Meningkatkanpemahaman terhadap visi, misi, dan strategi Menpan (Koordinatorr) Seluruh lembaga penyelenggara negara dan pemerintahan, Seluruh badan diklat pegawai. Sarana Menyediakan sarana pembelajaran bagi pegawai
Kebijakan Mendorong proses pembelajaran
Dana Mempersiapkan dana untuk peningkatan pemahaman PRIORITAS III
Kompetensi pegawai sesuai dg kebutuhan
SDM Peningkatan kompetensi SDM yang ada
Merekrut pegawai baru yang sesuai kebutuhan dan kompetensi
Relokasi pegawai sesuai dengan kompetensi dan kebutuhan
Kementerian PAN (Koordinator), BKN, Seluruh lembaga penyelenggara negara dan pemerintahan, Seluruh badan diklat pegawai.
Sarana Penyediaan sarana pembelajaran Dana Alokasi anggaran diklat Kebijakan Menetapkan standar rekruitment
Penetapan standar kompetensi jabatan PRIORITAS IV
Optimalisasi pegawai dlm melaksanakan TUPOKSI
Kebijakan Penyusunan tugas pokok dan fungsi yang jelas, sesuai dengan kinerja yang direncanakan.
Penetapan batas kewenangan antar jenjang jabatan. Menyusun SOP dalam rangka pemanfaatan infrastruktur pendukung
Menpan (Koordinator), BKN, Biro kepegawaian seluruh lembaga penyelenggara negara dan pemerintahan, SDM Meningkatkan kemampuan (ketrampilan dan kualitas)
melaksanakan tugas yang mengarah pencapaian kinerja tinggi Meningkatkan komitmen pegawai
Menciptakan aparat yang loyal dan menjunjung nilainilai luhur Pancasila dan UUD 45
Sarana Menyediakan sarana pembelajaran
Menyediakan infrastruktur yang mendukung tercapainya kinerja tinggi
Dana Mengalokasikan anggaran yang cukup
Menyediakan dana sesuai dengan kebutuhan (tepat jumlah dan waktu pencairan)
PRIORITAS V Pemberian reward & punishment
Kebijakan Meninjau kembali peraturan perundang-undangan tentang sistem reward dan punishment.
Menyusun regulasi standar kinerja profesional individu dan institusi
Menpan (Koordinator), BKN, Depkeu, Biro kepegawaian seluruh lembaga
penyelenggara negara dan pemerintahan,
Dana Menyediakan dana untuk pemberian reward berdasarkan kinerja
Sarana Menyediakan sarana penilaian
Memperkuat sistem remunerasi sesuai dengan standar kinerja SDM Meningkatkan kemampuan menegakkan reward dan
punishment
Memaksimalkan fungsi komisi penegak disiplin pegawai
Sumber : Hasil Analisis Data Primer, 2007
Berdasarkan hasil analisis hirarki prioritas ditemukan prioritas Rencana Tindak Pengawasan Kinerja (RTPK) yaitu: (1) pengawasan yang mendorong peningkatan kinerja instansi, (2) penerapan sistem pengendalian internal yang mendukung akuntabilitas, dan (3) penetapan standar kinerja untuk pencapaian tugas pokok dan fungsi. Rencana tindak tersebut didukung dengan perbaikan terhadap faktor pendukungnya dengan penjelasan sebagai berikut. Agar pelaksanaan pengawasan kinerja pemerintahan memperoleh tingkat keberhasilan tinggi, maka diutamakan pengawasan yang mendorong peningkatan kinerja, penerapan sistem pengendalian internal, dan adanya standar percapaian TUPOKSI, serta. RTPK dijelaskan pada Tabel 3.
Tabel 3. Rencana Tindak Pengawasan Kinerja
Rencana Tindak Pengawasan Kinerja
Rencana perbaikan terhadap faktor mendukung keberhasilan rencana tindak Aktor
PRIORITAS I Penerapan sistem pengendalian internal
Kebijakan Membangun sistem pengendalian kinerja internal BPKP
(Koordinator), Bawasda, SDM Menyediakan SDM yang kompeten dalam melakukan pengendalian
internal
Sarana Menyediakan peralatan dan software sistem informasi pengendalian internal
Dana Mengalokasikan dana untuk membangun sistem informasi dan pembelajaran tenaga pelaksana
PRIORITAS II Pengawasan yg mendorong peningkatan kinerja
Sarana Pembentukan komisi pengawasan kinerja
Penyediaan infrastruktur untuk pengawasan kinerja BPKP (Koordinator), Bawasda, Kebijakan Memperbaiki substansi peraturan perundang-undangan tentang
sistem pengawasan kinerja yang multi-interpretasi Melakukan review terhadap struktur dan fungsi lembaga pengawasan.
SDM Meningkatkan kompetensi SDM pengawas
Melakukan sertifikasi tenaga pengawas kinerja
Dana Menyediakan anggaran untuk kegiatan pengawasan kinerja Menyediakan anggaran untuk pembelajaran dan sertifikasi pengawas PRIORITAS III Penetapan standar kinerja untuk pencapaian TUPOKSI
Kebijakan Penetapan standar kinerja yang spesifik secara kuantitatif dan/atau kualitatif untuk masukan, proses, keluaran, hasil, manfaat, dan/atau dampak yang menggambarkan tingkat capaian kinerja suatu urusan pemerintahan. Masing-masing lembaga penyelenggara pemerintahan (Koordinator), LAN, Kementerian PAN, BKN. Sarana Penyediaan pedoman kinerja pada setiap unit kerja
Penyediaan sistem informasi standar kinerja
SDM Menyediakan SDM yang memiliki keahlian memadai untuk mengembangkan indikator kinerja yang memuaskan. Sosialisasi dan bimbingan pencapaian standar kinerja
Peningkatan pemahaman SDM atas standar kinerja yang ditetapkan Dana Alokasi anggaran penetapan standar kinerja dan penyediaan sistem
informasi kinerja
Sumber : Hasil analisis Data Primer, 2007
Rencana Tindak Evaluasi dan Pelaporan Kinerja (RTEPK)yang ditemukan adalah : (1) perlunya evaluasi berkala berdasar indikator kinerja, (2) evaluasi individu berdasarkan prestasi kerja, (3) perbaikan bentuk & mekanisme pelaporan sistematis, (4) tersedianya sistem pelaporan kinerja, dan (5) evaluasi untuk merespon dinamika internal dan eksternal. RTEPK memprioritaskan kegiatan evaluasi secara berkala berdasarkan indikator kinerja dan perlunya evaluasi terhadap individu berdasarkan prestasi kerjanya. Gambaran lengkap RTEPK tercantum pada Tabel4.
4.4. Faktor Penentu Keberhasilan Penerapan Rencana Tindak
Berdasarkan hasil wawancara dengan responden, terdapat beberapa kriteria SDM yang yang dapat mendukung penerapan manajemen kinerja menurut seluruh responden: memiliki kompetensi sesuai dengan bidangnya, mampu merespon perubahan dengan cepat, mampu bekerja secara profesional, dan memiliki komitmen untuk perbaikan proses menuju hasil prima.
Tabel 4. Rencana Tindak Evaluasi dan Pelaporan Kinerja
Rencana TindakEvaluasi dan Pelaporan Kinerja
Rencana perbaikan terhadap faktor mendukung keberhasilan
rencana tindak Aktor
PRIORITAS I Evaluasi secara berkala berdasar indikator kinerja
SDM Peningkatan pemahaman terhadap indikator kinerja. Peningkatan ketrampilan (kecermatan, ketepatan, dan kecepatan) evaluator dalam melakukan penilaian. Melakukan sertifikasi tenaga evaluator.
Seluruh lembaga penyelenggara negara dan pemerintahan, (Koordinator), BPKP, BPK, LAN, Kementerian PAN Dana Mengalokasikan anggaran untuk evaluasi kinerja secara
berkala dengan periode yang tepat.
Sarana Menyediakan sarana (waktu dan tempat) untuk kegiatan evaluasi
Kebijakan Menetapkan periode evaluasi yang efektif untuk melihat perkembangan penyelenggaraan pemerintahan. PRIORITAS II
Evaluasi untuk merespon dinamika internal & eksternal
Kebijakan Penciptaan kelembagaan yang menjadi wahana untuk interaksi antar instansi pemerintah dengan masyarakat
Seluruh lembaga penyelenggara negara dan pemerintahan, DPR, DPRD, LAN.
Sarana Menyediakan fasilitas yang dijadikan tempat untuk menampung respon capaian/kinerja instansi
pemerintah dari pelanggang internal maupun eksternal Dana Menyiapkan anggaran untuk merealisasikan proses
evaluasi oleh pelanggan internal dan eksternal SDM Meningkatkankemampuan komunikasi dan negosiasi
dalam merespon umpan balik atas hasil capaian kinerja. PRIORITAS III
Evaluasi individu berdasarkan prestasi kerja
SDM Peningkatan pemahaman indikator penilaian kinerja individu.
Meningkatkan kemampuan komunikasi pada evaluator.
Kementerian PAN (Koordinator), BKN, Depkeu, Seluruh lembaga penyelenggara negara dan pemerintahan Sarana Menyediakan sarana (waktu dan tempat) untuk kegiatan
evaluasi
Kebijakan Menetapkan peraturan tentang penilaian kinerja individu
Dana Mengalokasikan anggaran untuk evaluasi kinerja individu
Rencana Tindak Evaluasi dan Pelaporan Kinerja
Rencana perbaikan terhadap faktor mendukung keberhasilan rencana tindak Aktor PRIORITAS IV Perbaikan bentuk & mekanisme pelaporan secara sistematis
SDM Menyediakan tenaga yang kompeten untuk melakukan analisis dan perbaikan terhadap bentuk dan
mekanisme pelaporan yang terintegrasi antara sistem perencanaan, sistem penganggaran dan sistem akuntansi pemerintahan..
Kementerian PAN (Koordinator), LAN, Depkeu, Seluruh lembaga penyelenggara negara dan pemerintahan Kebijakan Mengkaji ulang kebijakan tentang bentuk dan mekanisme
pelaporan penyelenggaraan pemerintahan di tingkat pusat maupun daerah.
Sarana Menyediakan sarana pendukung terhadap upaya perbaikan mekanisme pelaporan
Dana Menyediakan anggaran untuk perbaikan bentuk dan mekanisme pelaporan
PRIORITAS V Ketersediaan sistem pelaporan kinerja
Kebijakan Membangun sistem pelaporan kinerja instansi pemerintah yang terintegrasi dengan sistem perencanaan strategis, sistem penganggaran, dan sistem akuntansi pemerintahan guna mengumpulkan dan mendistribusikan data dan informasi, serta menyampaikan hasilnya kepada masyarakat
LAN (Koordinator) MENPAN,, BKB, BPKP, BPK, BKN, ITJEN DEPDAGRI
Sarana Menyediakan sistem informasi pelaporan kinerja (software dan hardware)
Dana Menyediakan anggaran pengelolaan sistem pelaporan kinerja
SDM Menyediakan SDM yang mampu mengelola sistem pelaporan yang terintegrasi
Sumber : Hasil Analisis Data Primer, 2007
Faktor ketiga yang menunjang keberhasilan RTMK adalah kebijakan. responden menyatakan secara spesifik beberapa kebijakan yang perlu dilakukan untuk mendukung penerapan manajemen kinerja: kebijakan tentang pelayanan, kebijakan tentang manajemen teknis, kebijakan tentang personalia, dan kebij akan tentang keuangan.
mendukung sistem informasi kinerja, indikator kinerja yang baik, sistem reward & punishment, dan peralatan yang mendukung TUPOKSI. Kajian juga mengeksplorasi pendapat responden tentang faktor yang dinilai menentukan keberhasilan penerapan MK pada instansi pemerintah. Selain faktor SDM, dana, sarana dan prasarana, dan kebijakan, responden menilai faktor lainnya adalah: komitmen para pejabat (level atas) sampai ke level staf, konsistensi terhadap kebijakan, dan koordinasi antara instansi terkait, serta mempertimbangkan kondisi sosbud lokal.
5. Kesimpulan dan Rekomendasi
5.1. Kesimpulan
Organisasi pemerintah secara keseluruhan membutuhkan upaya-upaya yang serius dalam memperbaiki kinerja melalui proses yang berkelanjutan dalam penetapan-penetapan sasaran strategis yang berlandaskan pada dukungan data yang akurat melalui pengukuran kinerja.
Secara garis besar, sebagai bagian dari sistem akuntabilitas kinerja, siklus MK dibagi dalam empat fase: (i) perencanaan kinerja; (ii) implementasi rencana kinerja, (iii) pengawasan kinerja; dan (iv) evaluasi dan pelaporan kinerja.
Rencana Tindak Perencanaan Kinerja yang ditemukan dalam kajian ini berdasarkan prioritas meliputi: (1) penetapan visi, misi, strategi dan ukuran kinerja secara jelas, (2) peningkatan keterlibatan stakeholder dalam perencanaan, (3) perlunya Renstra yang merespon perubahan lingkungan eksternal, (4) Kesesuaian anggaran dan program, dan (5) Implementasi anggaran berbasis kinerja (tahap awal).
Rencana Tindak Implementasi Kinerja di instansi pemerintah dari hasil analisis hirarki: (1) Pemberian reward & punishment secara konsisten, (2) Pemahaman terhadap visi misi dan tujuan organisasi pada pegawai, (3) Kompetensi pegawai sesuai dengan kebutuhan, (4) Optimalisasi pegawai dalam melaksanakan TUPOKSI, dan (5) Etika dan budaya organisasi yang mendukung implementasi.
Prioritas Rencana Tindak Pengawasan Kinerja terdiri dari: (1) penetapan standar kinerja untuk pencapaian TUPOKSI, (2) pengawasan yang mendorong peningkatan kinerja instansi, (3) penerapan sistem pengendalian internal yang mendukung akuntabilitas, (4) perwujudan peningkatan efektivitas kinerja dan kualitas kinerja, dan (5) peningkatan konsistensi rencana & penganggaran dan implementasi.
Rencana Tindak Evaluasi Kinerja dan Pelaporan Kinerja yang ditemukan dalam kajian ini adalah perlunya : (1) evaluasi secara berkala berdasar indikator kinerja, (2) evaluasi individu berdasarkan prestasi kerja, (3) perbaikan bentuk dan mekanisme pelaporan secara sistematis, (4) tersedianya sistem pelaporan kinerja, dan (5) evaluasi untuk merespon dinamika internal dan ekstemal.
5.2. Rekomendasi
Berdasarkan temuan kajian, maka rekomendasi yang diberikan antara lain:
1. Berbasis pada kondisi yang ada dan sejalan dengan kebijakan reformasi manajemen dan perencanaan pembangunan yang berorientasi kinerja, diperlukan dukungan peraturan yang memfasilitasi implementasi MK pada instansi pemerintah. Selain itu diperlukan peraturan untuk memformalkan komitmen pelaksana (pejabat/staf) dalam menjalankan MK pada instansi pemerintah.
2. Perlunya sosialisasi lebih intensif dan fasilitasi memecahkan masalah sehingga terdapat kesamaan persepsi dan dukungan SDM dalam mengimplementasikan manajemen berorientasi kinerja oleh pemerintah pusat dan daerah.
3. Perlunya penajaman formulasi untuk penyusunan indikator kinerja utama (IKU) untuk memfasilitasi implementasi MK pada instansi pemerintah.
DAFTAR PUSTAKA
Anonim. 2007. Performance Mangement. Diperoleh dari: httpwww.apsc.gov.aupublications01performancemanagement. htm. Diakses pada: 15 Oktober 2007.
[BPKP]. 2005. Pedoman Anggaran Berbasis Kinerja. Jakarta: BPKP.
Dharma, Agus. 2003. Manajemen Supervisi. Jakarta: RajaGrafindo Persada.
Dharma, S. 2005. Manajemen Kinerja Falsafah Teori dan Penerapannya. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Gibson, Ivancevich, Doonely. 1995. Organisasi dan Manajemen. Jakarta: Erlangga.
Gilley and Eggland. 1989. Principles of Human Resource Development. Massachuset: Addison Wesley Co. Mahmudi. 2005. Manajemen Kinerja Sektor Publik. Yogyakarta: UPP YKPN.
Mangkuprawira, Syafri. 2003. Manajemen Sumberdaya Manusia Strategik. Jakarta: Ghalia Indonesia. Nasucha. 2004. Reformasi Administrasi Publik. Jakarta: Grasindo.
Schuler RS, Jackson SE. Manajemen SumberDaya Manusia Menghadapi Abad ke-21 Jilid 2. Jakarta: Erlangga. Simamora H. 1995. Manajemen Sumber Daya Manusia. Yogyakarta: STIE YKPN.
Wibowo. 2007. Manajemen Kinerja. Jakarta: Raja Grafindo Persada.
Tarigan,Antonius. Case Study : International Comparison in Human Resource Management Reform (United Kingdom, Australia dan New Zealand : Kenneth Kernaghan, 2001). Diperoleh dari: http://www.bappenas.go.id/index.php. Diakses pada: 11 okteober 2007.
Dampak Perubahan
Kebijakan Desentralisasi dan
Otonomi Daerah terhadap
Pengelolaan Aparatur
Pemerintah Daerah
DIREKTORAT OTONOMI DAERAH
e-mail: pohan@bappenas.go.id
Abstraksi
Kajian ini bertujuan untuk memberikan rekomendasi kebijakan terhadap pengelolaan aparatur Pemerintah Provinsi, akibat adanya perubahan UU No 22 Tahun 1999 menjadi UU No 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, khususnya terkait dengan peran Pemerintah Daerah Provinsi sebagai wakil Pemerintah di daerah sekaligus sebagai ”koordinator dan fasilitator” kabupaten/kota yang ada di wilayahnya. Untuk itu, kajian ini menggunakan metode analisis kualitatif dan kuantitatif. Analisis kualitatif didasarkan pada hasil wawancara dengan responden dan focus group discussion (FGD), sedangkan metode kuantitatif menggunakan pendekatan analisis pembobotan dan analisis penghitungan jumlah optimal berdasarkan beban kerja aparatur.
Jumlah sampel yang digunakan dalam kajian ini adalah 5 lokasi, yakni Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta, Provinsi Banten, Provinsi Bangka Belitung, Provinsi Kepulauan Riau, dan Provinsi Sumatera Utara. Adapun data yang dibutuhkan untuk mendukung kajian ini adalah indikator ekonomi daerah, luas wilayah, jumlah pegawai seluruh Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD), jam kerja, dan pejabat eselon III dan IV dari Biro Organisasi-Sekretariat Daerah, Biro Kepegawaian-Sekretariat Daerah, Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (Bappeda), Badan Kepegawaian Daerah (BKD), Dinas Pendidikan, Dinas Kesehatan serta Dinas Pekerjaan Umum (PU).
Kebijakan desentralisasi dan otonomi daerah berimplikasi pada perubahan pengelolaan bidang kepegawaian meliputi formasi, rekruitmen, promosi dan mutasi, pengembangan pegawai, kompetensi pegawai, maupun remunerasi. Adanya perubahan tersebut memunculkan permasalahan baru dalam pengelolaan Aparatur Pemerintah Daerah karena adanya berbagai kepentingan mengenai pengelolaan aparatur pemerintah daerah, baik antar instansi di pusat maupun antara instansi Pemerintah dan instansi Pemerintah Daerah.
Hasil Temuan kajian menunjukkan bahwa pola pembagian urusan pemerintahan yang diatur dalam UU No. 32 Tahun 2004 sebagai revisi dari UU No. 22 Tahun 1999 akan memberikan beban lebih pada Pemerintah Provinsi. Di samping itu peraturan pembagian urusan pemerintahan yang belum jelas (sampai saat selesainya penelitian dilakukan) menyebabkan kesulitan bagi Pemerintah Daerah Provinsi untuk menata distribusi pembagian pekerjaan di antara pegawai.Dualisme otonomi antara provinsi dengan kabupaten/kota juga dapat menghambat tugas dan peran provinsi sebagai wakil Pemerintah dalam melakukan koordinasi dan pengawasan pembangunan lintas kabupaten/kota. Adapun terkait dengan penentuan jumlah optimal pegawai, terlihat bahwa ada kecenderungan fenomena kelebihan pegawai pada provinsi lama dan sebaliknya kekurangan pegawai pada provinsi baru.
1. Latar Belakang
Implementasi kebijakan desentralisasi dan otonomi daerah berdasarkan UU No 22 Tahun 1999, yang kemudian direvisi menjadi UU No 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, memberikan wewenang yang lebih luas kepada daerah untuk menyelenggarakan pemerintahannya secara otonom. Penyerahan sebagian kewenangan Pemerintah kepada Pemerintah Daerah ini dilakukan dalam rangka meningkatkan pelayanan publik dan meningkatkan kesejahteraan
masyarakatnya. Perubahan kebijakan di dalam UU No 32 Tahun 2004, khususnya di dalam pasal 37 dan pasal 38, memberikan peran yang lebih besar kepada Pemerintah Daerah Provinsi sebagai wakil dari Pemerintah dan koordinator dari pembangunan kabupaten/kota di dalam provinsi tersebut.
Di dalam Bab V UU No 32 Tahun 2004, perlu dilihat sejauh mana perubahan peningkatan peran propinsi tersebut terhadap aparatur pemerintah daerah, agar aparatur pemda yang ada dapat dioptimalkan sesuai dengan kebutuhan yang ada. Peran aparatur pemerintah daerah yang kompeten dan handal menjadi sebuah kebutuhan. Ironisnya, saat ini kemampuan aparatur pemerintah daerah dirasakan belum optimal di dalam memberikan pelayanan publik. Banyaknya permasalahan lintas kabupaten/ kota yang tidak tertangani dengan baik, seperti masalah banjir, longsor, endemik penyakit dan kependudukan yang menyebabkan kantong-kantong kemiskinan pada kota-kota besar. Pertanyaan yang kemudian muncul adalah sejauh mana perubahan peningkatan peran Pemerintah Daerah Provinsi tersebut terhadap pengelolaan aparatur pemerintah daerah? Pertanyaan ini menjadi lebih relevan mengingat hingga saat ini belum dibedakan secara spesifik mengenai beban kerja tersebut antara Aparatur Pemerintah Daerah Provinsi dengan Aparatur Pemerintah Kabupaten/Kota.
Dugaan awal (hipotesa) dari kajian ini adalah bahwa proses peningkatan peran provinsi berimplikasi langsung terhadap meningkatnya tanggungjawab dan tantangan yang harus dipikul oleh aparatur pemerintah daerah provinsi, hanya saja jumlah dan kompetensi aparatur pemda provinsi yang ada saat ini dirasakan tidak memadai. Selain itu, pengelolaan aparatur daerah yang belum baik menimbulkan permasalahan di dalam penempatan aparatur sesuai dengan keahliannya, kejelasan di dalam penjenjangan karirnya maupun penetapan tunjangan yang sesuai dengan beban kerja.
2. Tujuan
Kajian ini bertujuan untuk memberikan rekomendasi kebijakan yang diperlukan terhadap pengelolaan aparatur Pemerintah Provinsi, akibat adanya perubahan UU No 22 Tahun 1999 menjadi UU No 32 Tahun 2004, khususnya yang terkait dengan peran Pemerintah Daerah Provinsi sebagai wakil Pemerintah di daerah serta sekaligus sebagai ”koordinator dan fasilitator” kabupaten/kota yang ada di wilayahnya.
Sasaran dari kajian ini adalah: a) teridentifikasinya tugas, fungsi dan beban kerja Pemerintah Provinsi pada urusan yang merupakan skala provinsi (lintas kabupaten/kota) serta sebagai wakil Pemerintah di daerah, berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku; b) teridentifikasinya berbagai permasalahan pengelolaan aparatur pemerintah provinsi sejak diberlakukannya perubahan kebijakan desentralisasi dan otonomi daerah; c) terumuskannya jumlah/pola optimal Aparatur Pemerintah Daerah Provinsi berdasarkan beban kerja serta tugas dan fungsinya, termasuk kompetensi yang dibutuhkan untuk bidang-bidang yang mewakili Pemerintah dari bidang/urusan yang berskala lintas kabupaten/ kota maupun yang berdampak lintas kabupaten/kota; dan d) tersusunnya rekomendasi kebijakan yang berkaitan dengan pengelolaan Aparatur Pemerintah Daerah Provinsi) agar dapat bekerja secara efektif, efisien, dan sistematik, sebagai akibat perubahan kebijakan desentralisasi dan otonomi daerah.
Adapun ruang lingkup kegiatan kajian ini, meliputi: a) melakukan survei untuk mengidentifikasi jumlah/pola Aparatur Pemda Provinsi baik dari segi kompetensi dan beban kerja; b) melakukan studi pustaka dan literatur berbagai peraturan perundang-undangan, kebijakan, dan program mengenai pengelolaan aparatur Pemda maupun kebijakan/peraturan sektoral yang mengatur kewenangan/peranan Pemerintah Daerah Provinsi, khususnya sebagai wakil Pemerintah di daerah dan kaitannya dengan fungsi ”koordinasi dan fasilitasi” antar Pemerintah Daerah; c) melakukan diskusi dalam bentuk FGD (Focus Group Discussion) dengan Tim Ahli, Pemerintah dan Pemerintah Daerah, serta Perguruan Tinggi sebagai masukan untuk memformulasikan atau merumuskan rekomendasi kebijakan yang berkaitan dengan pengelolaan aparatur Pemda yang efektif, efisien, dan sistematik; d) melakukan pengolahan data dan analisis data dengan metode yang telah ditetapkan, serta merumuskan kesimpulan dan rekomendasi kebijakan sebagai hasil dari analisis kajian; e) menyusun laporan pendahuluan, pertengahan dan laporan akhir kajian; serta f) publikasi
Hasil kajian ini juga diharapkan dapat memberikan manfaat: a) masukan terhadap beberapa Peraturan Pemerintah yang saat ini sedang dalam tahap penyusunan, khususnya yang berkaitan dengan pengelolaan aparatur daerah; dan b) masukan terhadap rencana penyusunan ”Rencana Aksi Nasional” bidang aparatur pemda sebagai salah satu penjabaran Grand Strategy Otonomi Daerah dalam memberikan pedoman bagi pelaksanaan kerja bagi kerja aparatur Pemda yang efektif, efisien, dan sistematis.
3. Metodologi
3.1. Kerangka Analisis
Kegiatan dilakukan di 5 (lima) provinsi yang menjadi daerah sampel, yang terdiri dari 2 (dua) provinsi yang mewakili provinsi yang sudah lama terbentuk (provinsi yang diharapkan dapat memberikan gambaran jumlah dan kompetensi aparatur pemda yang relatif baik dibandingkan dengan wilayah lainnya), yaitu Provinsi DI Yogyakarta dan Provinsi Sumatera Utara dan 3 (tiga) provinsi lain yang menjadi sampel (provinsi hasil pemekaran/Daerah Otonom Baru), yaitu
Provinsi Bangka Belitung, Provinsi Kepulauan Riau, dan Provinsi Banten. Pertimbangan lain dalam pemilihan provinsi-provinsi adalah pertimbangan keterbatasan dana, waktu dan tenaga dalam pelaksanaan kajian ini.
Untuk memberikan gambaran secara umum mengenai kajian ini, digambarkan dengan kerangka kajian seperti pada gambar 1 di bawah ini.
Gambar 1 Kerangka Pikir Penelitian
Sumber: Tim Kajian (2007)
3.2. Metode Pelaksanaan Kajian
Kajian ini bersifat deskriptif-analitis. Penelitian deskriptif dimaksudkan untuk mendeskripsikan gambaran suatu kondisi, karakteristik suatu fenomena atau obyek termasuk keadaan berbagai variabel yang saling berkaitan. Sedangkan penelitian analitis dimaksudkan untuk melihat hubungan antara keadaan variabel atau variabel yang terjadi dengan faktor-faktor atau variabel-variabel lain yang mempengaruhinya.
a. Metode Kualitatif
Kajian deskriptif yang dilakukan meliputi kajian deskriptif empiris dan deskriptif normatif. Kajian deskriptif empiris dilakukan untuk menstrukturkan analisis terhadap hasil pelaksanaan pengumpulan data primer, khususnya yang diperoleh melalui intrumen FGD dan wawancara. Adapun kajian deskriptif normatif dilakukan untuk menstrukturkan hasil analisis terhadap data-data kebijakan dan peraturan perundang-undangan dikaitkan dengan kelengkapan dan sinkronisasi pengaturan antar subtansi peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan pengelolaan aparatur.
b. Metode Kuantitatif
Analisis ini diperlukan untuk menunjang dan menajamkan narasi dari analisis deskriptif yang bersifat kualitatif untuk menganalisis beban kerja sumberdaya manusia aparatur daerah dengan menggunakan metode statistik deskriptif. Adapun pelaksanaan analisis dengan pendekatan kuantitatif/inferensial digunakan melalui teknik analisis pembobotan yang dikombinasikan dengan statistik tendensi sentral. Teknik analisis ini digunakan untuk mengidentifikasi sejauh mana optimalisasi penyelenggaraan kelembagaan pemerintah daerah. Melalui metode pembobotan akan dilakukan pengukuran beban kerja Pemerintah Provinsi secara umum setelah implementasi PP No. 32 Tahun 2004.
c. Instrumen Penelitian
Instumen untuk Sasaran Kegiatan Pertama
Sasaran pertama kajian ini adalah untuk mengidentifikasi Tugas, Fungsi dan Beban Kerja Pemerintah Provinsi berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Sasaran ini merupakan satu bentuk kajian normatif (normative study). Untuk menjawab sasaran pertama ini, dilakukan telaah substansi UU No. 22 Tahun 1999 dan UU No. 32 Tahun 2004. Dalam hal ini digunakan pendekatan pure legal (hukum murni/ansich) dengan metode penafsiran peraturan perundang-undangan menurut bahasa (interpretasi gramatikal) dan menelusuri keterkaitan norma dengan peraturan perundang-undangan lain (interpretasi sistematis). Selain itu, dilakukan pula metode analisis kuantitatif berupa analisis pembobotan untuk mengestimasi beban umum Provinsi.
Instrumen untuk Sasaran Kegiatan Kedua
Sasaran kedua kajian ini adalah untuk mengidentifikasi berbagai permasalahan pengelolaan Aparatur Pemerintah Provinsi sejak diberlakukannya perubahan kebijakan desentralisasi dan otonomi daerah, adalah bentuk kajian empiris (empirical study). Untuk menjawab sasaran kedua ini, dilakukan metode kualitatif melalui wawancara mendalam dengan narasumber dan Kelompok Diskusi Terarah (Focus Group Discussion/FGD).
Permasalahan pengelolaan aparatur yang menjadi acuan pembahasan FGD dengan pejabat Eselon III dan IV pada instansi terpilih meliputi aspek-aspek: 1) Formasi Pegawai; 2)Rekruitmen; 3) Pengangkatan, Pemindahan dan Pemberhentian; 4) Remunerasi; 5) Penegakan Disiplin dan Etika Pegawai; 6) Standard Kompetensi dan Penilaian Kinerja; dan 7) Permasalahan Umum Kepegawaian Umumnya.
Instrumen untuk Sasaran Kegiatan Ketiga
Sasaran ketiga kajian ini adalah untuk merumuskan jumlah/pola optimal Aparatur Pemerintah Provinsi berdasarkan beban kerja serta tugas dan fungsinya, termasuk kompetensi yang dibutuhkan untuk bidang-bidang yang mewakili Pemerintah dari bidang/urusan yang berskala lintas kabupaten/kota maupun yang berdampak lintas kabupaten/kota. Untuk menjawab sasaran ini digunakan metode kuantitatif. Penghitungan jumlah pegawai optimal dilakukan melalui pendekatan beban kerja rata-rata individu pegawai.
Rumus penghitungan jumlah pegawai optimal adalah sebagai berikut: Beban Kerja Pegawai Riil X Jumlah pegawai riil
Beban Kerja Pegawai Sesuai Aturan
“Beban kerja pegawai riil” didapat dari perkiraan jumlah pegawai yang melaksanakan suatu pekerjaan dikalikan dengan perkiraan rata-rata jam kerja pegawai. Adapun jumlah “beban kerja pegawai sesuai aturan” diperoleh dari perkiraan jumlah pegawai yang riil dikalikan dengan jam kerja sesuai aturan.
Untuk penetapan standar kompetensi jawaban yang dibutuhkan oleh pejabat Eselon III dan IV, digunakan variabel-variabel yang terkait dengan kompetensi. Responden kemudian akan diminta untuk menentukan variabel-variabel-variabel-variabel mana yang dirasa paling penting untuk kompetensi pejabat Eselon III dan IV.
3.3. Data
Sesuai dengan lingkup data yang dibutuhkan, maka pengumpulan data dalam kerangka pelaksanaan studi menggunakan pendekatan survey pengumpulan data primer dan sekunder, baik untuk data kualitatif maupun data kuantitatif. Pengumpulan data primer dilakukan melalui pelaksanaan FGD, wawancara mendalam (indepth interview), dan penyebaran angket/kuesioner. Adapun pengumpulan data sekunder dilakukan melalui studi literatur.
Tab
el 1
Ker
angk
a K
erja L
ogis Kajian Dampak P
er
ubahan K
ebijak
an Desen
tr
alisasi Dan O
tonomi Daer
ah
Ter
hadap P
engelolaan A
par
atur P
emerin
tah Daer
ah
Sasar an Da ta & I nf ormasi y ang D ibutuhk an Pengum- pulan Da ta Instr umen Sumb er M et ode A nalisis O utput Ter iden tifik asin ya tugas , fungsi dan beban kerja P empr ov pada urusan yang merupak an sk ala pr ovinsi (lin tas k abupa ten/kota) ser ta sebagai w ak il P emer in tah di daer ah ber dasar kan per atur an perundang-undangan y ang ber lak u Da ta P rimer : - Inf ormasi mengenai implemen
tasi kebijak an desen tr alisasi dan ot da pada pen yelenggar aan pemer in tahan P ro vinsi - Inf or
masi mengenai per
masalahan pen yelenggar aan pemer in tahan P ro
vinsi sejak diimplemen
tasik ann ya desen tr alisasi dan O tonomi Daer ah Da ta S ek under : - Kebijak an umum t en tang desen tr alisasi dan ot onomi daer ah, ber dasar kan UU No . 22 Tahun 1999 dan UU No . 32 Tahun 2004 - Da ta Umum P ro vinsi (L uas W ila
yah, jumlah penduduk
, jumlah Kabupa ten/Kota, dan PDRB - FGD - W aw ancar a M endalam Obser vasi - Panduan FGD - Panduan Waw ancar a M endalam Daf tar Kebutuhan Data - Bappeda - Bir o Or ganisasi S et da - Bir o Kepega w aian Set da - Dinas P endidik an - Dinas Keseha tan - Dinas P ekerjaan Umum Bappeda Kualita tif - Telaah kebijak an (p olic y r eview ) t er
-hadap UU 22/1999 dan UU 32/2004 terkait P
emer in ta -han P ro vinsi - M et ode K uan tita -tif P enghitungan
Beban Umum Provinsi
- G ambar an mengenai dampak implemen tasi kebijak an desen tr alisasi dan ot da pada pen yelenggar aan pemer in tahan pr ovinsi, beser ta iden tifik asi per masalahan faktual y ang dihadapi - Keduduk an pr ovinsi dalam dekonsen tr
asi dan urusan lin
tas Kabupa ten/Kota - Urusan P ro vinsi y ang bersifa t w ajib ,
pilihan, dan konk
ur en ( concurr ent ) -
Tugas dan fungsi P
emer in tahan Pr ovinsi - Iden tifik
asi beban kerja umum
sua
tu P
ro
vinsi dibandingk
an
dengan beban kerja r
ata-r ata seluruh pr ovinsi Ter iden tifik asin ya ber bagai per masalahan pengelolaan apar atur P emer in tah P ro vinsi sejak diber lak uk ann ya kebijak an desen tr alisasi dan O tonomi Daer ah Da ta P rimer : Inf or
masi mengenai per
masalahan pengelolaan apar
atur
Pemer
in
tah P
ro
vinsi pada aspek :
- umum - for masi pega w ai - rek ruitmen - pengangk
atan, pemindahan, dan pember
hen tian - remuner asi - penegak
kan disiplin dan etik
a pega w ai, ser ta - standar kompet
ensi dan penilaian k
inerja. FGD Pedoman FGD - Bappeda - Bir o Or ganisasi S et da - Bir o Kepega w aian Set da - Dinas P endidik an - Dinas Keseha tan - Dinas P ekerjaan Umum Kualita tif Iden tifik asi per masalahan pengelolaan pega w ai P emer in tah Pr ovinsi Terumusk ann ya jumlah/pola optimal apar atur P emda P ro vinsi ber dasar
kan beban kerja ser
ta
tugas dan fungsin
ya, t er masuk kompet ensi y ang dibutuhk an un tuk bidang-bidang y ang mew ak ili Pemer in tah dar i bidang/urusan yang bersk ala lin tas k abupa ten/kota maupun y ang ber dampak lin tas kabupa ten/kota Da ta P rimer : - Ter
kait dengan penen
tuan jumlah optimal pega
w ai: o Jenis pekerjaan t ek nis administr atif o Tek nis pela yanan o Pen yusunan kebijak an o Tugas lainn ya o Pr ak iraan pr osen
tase pelaksanaan jenis pekerjaan per har
i o Pr ak iraan r ata-r
ata jumlah pega
w ai o W aktu y ang dibutuhk an dalam melaksanak an jenis pekerjaan - Ter
kait dengan penen
tuan kompet ensi y ang dibutuhk an: o A spek in teg ritas; o A spek kepemimpinan o A
spek kemampuan manajer
ial o A spek kemampuan team-w ork o A
spek kemampuan sosial
o A spek kemampuan t ek nik Kuesioner Pedoman kuesioner Seluruh SKPD di tingk at Pr ovinsi M et ode K uan tita tif -
Jumlah optimal pega
w ai y ang dibutuhk an - Standar kompet ensi un tuk jaba tan struktur
4. Hasil Kajian dan Analisis
4.1. Identifikasi Tugas, Fungsi dan Beban Kerja Pemerintah Daerah Provinsi
Dari hasil analisis perbandingan terhadap tugas, fungsi dan beban kerja Pemerintah Daerah Provinsi seperti yang diatur dalam UU No. 22 Tahun 1999 dan UU No. 32 Tahun 2004, dapat disusun tabel sebagai berikut:
Tabel 2
Identifikasi Tugas, Fungsi, dan Beban Kerja Pemerintah Daerah Provinsi
Komponen UU 22 Tahun 1999 UU 32 Tahun 2004 Keterangan
Gambaran umum kewenangan Pemerintah Daerah
Daerah Provinsi dibentuk untuk (Pasal 18) :
1. Mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan menurut asas otonomi dan tugas pembantuan
2. Menjalankan otonomi seluas-luasnya, kecuali urusan pemerintahan yang oleh undang-undang ditentukan sebagai urusan Pemerintahan Pusat
Pemerintahan Daerah menyelenggarakan urusan pemerintahan yang menjadi kewenangannya, kecuali urusan pemerintahan yang menjadi urusan pemerintah pusat.
Asas kewenangan pemerintah daerah terhadap kewenangan pemerintah pusat tidak berbeda.
Peran Pemerintah
Daerah Provinsi Daerah Provinsi berkedudukan sebagai Daerah Otonom sekaligus
Wilayah Administratif. Sehingga Kepala Daerah juga berperan sebagai Kepala Daerah Otonom dan sebagai Wakil Pemerintah.
Pemerintahan Provinsi mempunyai status dan peran ganda, yaitu sebagai Kepala Daerah (Pasal 24 ayat 2) sekaligus Wakil Pemerintah (Pasal 37 dan 38).
Peran Pemerintah Daerah Provinsi terkait prinsip desentralisasi dan dekonsentrasi tidak berbeda.
Kewenangan Pemerintah Daerah Provinsi
Kewenangan Provinsi sebagai Daerah Otonom, mencakup kewenangan dalam bidang pemerintahan yang bersifat lintas kab/kota, dan kewenangan dalam bidang pemerintahan tertentu lainnya (termasuk juga kewenangan yang tidak atau belum dapat dilaksanakan daerah kab/kota).
Bidang Pemerintahan tertentu lainnya:
1. Perencanaan dan pengendalian pembangunan regional secara makro;
2. Pelatihan bidang tertentu; 3. Alokasi sumber daya manusia
potensial;
4. Penelitian yang mencakup wilayah Provinsi; 5. Pengelolaan pelabuhan
regional;
6. Pengendalian lingkungan hidup;
7. Promosi dagang dan budaya/ pariwisata;
8. Penanganan penyakit menular dan hama tanaman, dan 9. Perencanaan tata ruang
Provinsi.
Selain itu, juga melaksanakan kewenangan yang tidak/belum dapat dilaksanakan oleh Kab/Kota.
Urusan Pemerintahan Daerah Provinsi meliputi urusan wajib, yaitu urusan dalam skala provinsi yang meliputi :
1. perencanaan dan pengendalian pembangunan; 2. perencanaan, pemanfaatan, dan pengawasan tata
ruang;
3. penyelenggaraan ketertiban umum dan ketentraman masyarakat;
4. penyediaan sarana dan prasarana umum; 5. penanganan bidang kesehatan;
6. penyelenggaraan pendidikan dan alokasi sumber daya manusia potensial;
7. penanggulangan masalah sosial lintas kabupaten/ kota;
8. pelayanan bidang ketenagakerjaan lintas kabupaten/kota;
9. fasilitasi pengembangan koperasi, usaha kecil, dan menengah termasuk lintas kabupaten/kota; 10.pengendalian lingkungan hidup;
11.pelayanan pertanahan termasuk lintas kabupaten/kota;
12.pelayanan kependudukan, dan catatan sipil; 13.pelayanan administrasi umum pemerintahan; 14.pelayanan administrasi penanaman modal
termasuk lintas kabupaten/kota;
15.penyelenggaraan pelayanan dasar lainnya yang belum dapat dilaksanakan oleh kabupaten/kota; dan
16.urusan wajib lainnya yang diamanatkan oleh peraturan perundang-undangan
Dan urusan pilihan, meliputi urusan pemerintahan yang secara nyata ada dan berpotensi untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat sesuai dengan kondisi, kekhasan, dan potensi unggulan daerah yang bersangkutan.
Jenis urusan wajib yang menjadi kewenangan pemerintah Provinsi berdasarkan UU 32/2004 lebih luas/banyak terkait dengan sektor sesuai dengan prinsip lintas kab/kota.