• Tidak ada hasil yang ditemukan

Tabel Data Sekunder

B. Pemetaan Pola Keterkaitan Ekonomi Antarwilayah

Pola keterkaitan antarwilayah di KAPET dengan wilayah lain di sekitarnya ditemukan dalam aspek keterkaitan ekonomi yang didukung oleh infrastruktur (jalan nasional, jalan provinsi dan PLLB Entikong), yang memberikan manfaat perkembangan ekonomi wilayah cukup signifikan, seperti yang terjadi di Entikong dan Singkawang, meskipun perkembangan tersebut belum merata di wilayah sekitarnya. Hal itu disebabkan karena kendala infrastruktur dan belum berkembangnya industri pengolahan lanjutan yang ditandai lebih banyak aliran barang yang masuk ke Kalbar, dibandingkan dengan barang yang keluar (konsumsi lebih tinggi daripada produksi). Disamping itu keberadaan PPLB Entikong lebih menguntungkan pedagang asing (Malaysia), karena nilai devisa yang diraih Kalbar jauh lebih kecil (tidak sebanding) dengan banyaknya volume barang yang diekspor Kalbar, dimana Kalbar lebih banyak menjual produk primer pertanian tanpa pengolahan lebih lanjut sehingga nilai tambah diraih oleh pedagang Malaysia, karena hasil pengolahan produk di Malaysia kembali masuk ke pasar Kalbar melalui perbatasan. Setidaknya untuk saat ini Malaysia menjadi lingkungan ekonomi paling strategis untuk menjadi daya dorong pertumbuhan ekonomi bagi daerah tertinggal yang berada di perbatasan antarnegara.

Keterkaitan yang terjadi di wilayah KAPET Khatulistiwa justru mengarah pada centre growth yaitu kabupaten Sanggau dan kota Singkawang. Ini terjadi karena multiplier effect dari lingkungan strategis wilayah tersebut, dimana kabupaten Sanggau telah memiliki daya dukung infrastruktur (jalan, bangunan publik, dsb), investasi (industri), kelembagaan (PPLB Entikong) dan sumberdaya (SDA dan SDM) yang cukup memadai dibanding wilayah lainnya. Dan daya dukung kota Singkawang yang memiliki potensi jasa dan perdagangan berupa ketersediaan SDM (mayoritas penduduknya adalah golongan Cina) yang memiliki semangat dagang dan memiliki aksesibilitas terhadap ibukota provinsi yang relatif memiliki ketersediaan infrastruktur baik darat, laut maupun udara yang memadai (seperti pasar, jalan dsb) untuk jalur perdagangan ke pasar lokal, domestik maupun internasional. Selain itu juga kota Singkawang memiliki lingkup geografis yang tidak terlalu luas dengan potensi sumberdaya alam yang memadai. Sehingga bisa dikatakan bahwa kabupaten Sanggau merupakan jalur distribusi strategis baik barang maupun jasa dan kota Singkawang menjadi jalur distribusi strategis bagi lalu lintas barang terutama hasil pertanian dan peternakan.

Sementara untuk kabupaten Sambas (sebagai KAPET dan sebagai daerah tertinggal) berada diantara kabupaten Sanggau, kota Singkawang dan wilayah perbatasan. Implikasi ataupun multiplier effect dari berkembangnya Sanggau dan Singkawang menjadi daya dukung kabupaten Sambas bagi pertumbuhan ekonominya, meskipun masih masuk dalam kriteria tertinggal dan maju. Sumberdaya yang dimiliki oleh kabupaten Sambas terdistribusikan ke Sanggau, Singkawang dan perbatasan Aru berupa bahan mentah pertanian. Saat ini wilayah Aru (Palsa) telah mengalami pembangunan yang

cukup pesat untuk dikembangakan sebagai pusat industri.

Demikian juga dengan daerah tertinggal kabupaten Bengkayang yang berbatasan darat dengan Malaysia. Keterkaitan distribusi hasil pertanian (sayur-sayuran) dan perkebunan (anyaman dari rotan) lebih berorientasi ke perbatasan Malaysia (Serikin). Ini terjadi karena daya dukung aksesibilitas yang cukup dekat dan infrastruktur yang memadai serta fasilitas publik (pendidikan, rumah sakit, dsb) yang cukup memadai. Selain juga terdistribusikan ke kota Singkawang berupa hasil-hasil pertanian.

Untuk keterkaitan distribusi jasa/orang lebih terfokus di kabupaten Sanggau dan kabupaten Sambas. Daya dukung infrastruktur cukup memadai baik fasilitas untuk balai latihan kerja untuk tenaga kerja, PPLB Entikong, sarana prasarana jalan dan transportasi. Secara sosial budaya keterkaitan jasa/orang di kabupaten Sanggau denganwilayah perbatasan Malaysia terjadi asimilasi karena kesamaan rumpun yang sama yaitu Melayu. Secara legal distribusi orang terjadi pada sektor perdagangan dan industri terutama industri tenaga kerja.

Dalam hal ini dapat dikatakan bahwa kawasan perbatasan antarnegara (Malaysia) memiliki eksternalitas ekonomi cukup positif bagi daerah tertinggal dan KAPET Khatulistiwa yang berada di perbatasan. Dan keberadaan KAPET Khatulistiwa memiliki eksternalitas ekonomi yang kurang signifikan dalam mempercepat pertumbuhan ekonomi bagi wilayah hinternya (daerah tertinggal dan perbatasan). Sementara dampak keterkaitan ekonomi justru lebih menguntungkan wilayah yang menjadi pusat pertumbuhan yaitu KAPET Sanggau dan Singkawang. Meskipun peran Sanggau melalui PPLB Entikong dan Singkawang, secara umum masih sebatas pusat pelayanan perdagangan dan jasa.

Berdasarkan cakupan wilayah KAPET Khatulistiwa yang meliputi hampir seluruh wilayah Kabupaten/kota di Kalbar dan kondisi wilayah tertinggal/perbatasan juga terletak di wilayah KAPET Khatulistiwa, maka analisis pola keterkaitan KAPET dengan wilayah tertinggal di sekitarnya tidak dapat dilakukan. Namun, kajian ini mendeskripsikan peran pusat-pusat pertumbuhan terhadap wilayah sekitarnya, dimana yang memiliki peran dalam pengembangan perekonomian di KAPET Khatulistiwa adalah Singkawang dan Sanggau, sedangkan pusat-pusat pertumbuhan lainnya belum berperan. Peran Sanggau melalui Entikong dan Singkawang, secara umum masih sebatas pusat pelayanan perdagangan, jasa, namun belum berfungsi optimal dalam pelayanan industri pengolahan. Hal itu ditandai dengan tidak adanya kabupaten/ kota di KAPET yang memiliki sektor basis pada sektor industri pengolahan, sehingga dampak multiplier dan multiplication sektor basis belum mampu menggerakkan dan mendorong pertumbuhan ekonomi KAPET Khatulistiwa.

Belum berkembangnya industri hilir tersebut akibat : (a) insentif fiskal dalam PP 147 Tahun 2000 kurang menarik, (b) belum UU Kawasan Industri, (c) kurangnya kepastian lahan investasi dari aparat Pemkab dan BPN setempat, (d) kurangnya dukungan pusat dalam pengadaan infrastruktur, (e) Tidak efektifnya BAPENG mendorong penyelesaian masalah investasi di KAPET Khatulistiwa.

4.2. KAPET Manado Bitung dan Wilayah Tertinggal/Perbatasan di Sekitarnya

A. Analisis Implementasi Kebijakan

Pengembangan KAPET Manado Bitung yang didasari pada pengamatan proses implementasi kebijakannya, terdapat kelambatan dalam proses pencapaian tujuan. Tabel berikut menggambarkan secara ringkas faktor-faktor yang menjadi pendukung dan penghambat implementasi kebijakan KAPET Manado Bitung.

Tabel Analisis Implementasi Kebijakan KAPET Khatulistiwa

No Faktor Implementasi Kebijakan Faktor Pendukung Faktor Penghambat

1 Faktor Kebijakan

Kompleksitas Kebijakan Kepres 150/2000 memberikan nafas desentralisasi ke dalam kebijakan KAPET, sehingga memposisikan pemerintah provinsi dan kab/kota sebagai i m p l e m e n t o r l a n g s u n g kebijakan KAPET. Kondisi ini memungkinkan pelaksanaan kebijakan KAPET secara lebih partisipatif (bottom up)

Adanya kompleksitas tinggi dalam kebijakan KAPET yang mempengaruhi implementasi kebijakan namun tidak terkelola dengan baik, yaitu :

• Keterlibatan berbagai kebijakan dan institusi tidak dikelola, disinergikan, dan dimanajemeni dengan baik. Hal ini ditandai oleh tidak optimalnya kinerja dan dukungan lembaga-lembaga yang terkait dengan kebijakan KAPET (misalnya kurang berjalannya koordinasi dalam Badan Pengembangan KAPET dan lemahnya dukungan pemerintah kabupaten/kota), belum optimalnya implementasi kebijakan eksternal yang terkait dengan kebijakan KAPET (misalnya lemahnya dukungan dari kebijakan insetif fiskal), kurang terantisipasinya perubahan-perubahan kebijakan eksternal (misalnya pemekaran wilayah dan perubahan nomenklatur K/L yang tidak direvisi hingga saat ini dalam Keppres 150/2000), dan sebagainya. • Cakupan perubahan yang dituntut oleh Kebijakan

KAPET dalam aspek sosial ekonomi maupun sarana prasarana yang sangat kompleks tidak sebanding dengan pemberian kewenangan dan anggaran kepada BP KAPET sebagai “badan pengelola” sesuai dengan pengaturan dalam Keppres 150/2000.

Konsistensi Kebijakan S e b a gi a n b e s a r re n c a n a -rencana kegiatan KAPET sudah terintegrasi dengan rencana pemerintah provinsi

Adanya serangkaian perubahan dalam kebijakan KAPET yang mempengaruhi konsistensi implementasi. Masalah yang muncul :

• Perubahan kebijakan KAPET dari periode pra-otda menjadi periode pasca-otda ditandai oleh reduksi kewenangan BP KAPET, dan penyerahan kewenangan yang lebih luas kepada pemerintah kabupaten/kota, didukung oleh koordinasi di level pemerintah provinsi dan pemerintah pusat. Namun mekanisme pembangunan yang dijalankan oleh pemerintah pusat, provinsi, dan kab/kota pasca pemberlakuan Otda tidak solid sehingga justru menghambat implementasi KAPET.

• Perubahan insentif fiskal pasca otda dinilai investor menjadi kurang menarik.

• Pelaksanaan RIP KAPET Manado-Bitung pasca otda tidak dijalankan secara konsisten dan hingga saat ini belum ada integrated masterplan sehingga pengelolaan KAPET bersifat parsial.

Persepsi manfaat

kebijakan Rencana-rencana kegiatan KAPET yang sudah terintegrasi dengan kegiatan provinsi, seperti IHP, dinilai akan membawa manfaat langsung bagi wilayah-wilayah di KAPET Manado Bitung,

Adanya persepsi negatif penerima manfaat terhadap pelaksanaan kebijakan KAPET, yaitu :

• Pemerintah kab/kota di dalam KAPET Manado-Bitung mengaku tidak mendapatkan manfaat langsung dari KAPET. Persepsi ini muncul karena pada struktur kelembagaan pasca-otda, BP KAPET Manado-Bitung secara struktural memang tidak memiliki hubungan hirarkis langsung dengan pemerintah kota dan lebih terfokus kepada upaya-upaya fasilitasi dan mediasi di tingkat provinsi. Hal ini menunjukan adanya ekspektasi tinggi terhadap kebijakan KAPET namun tidak terpenuhi akibat kewenangan KAPET yang memang sangat terbatas.

• Pemerintah di wilayah sekitar KAPET (wilayah perbatasan Talaud) mengaku tidak merasakan manfaat KAPET, yang menunjukkan bahwa kebijakan KAPET tidaklah cukup sebagai instrumen untuk mendorong percepatan pembangunan wilayah di sekitarnya, namun diperlukan intervensi kebijakan secara langsung yang lebih kongkrit bagi wilayah tertinggal di Kabupaten Talaud.

• Pengusaha menyatakan bahwa kebijakan KAPET dirasakan kurang memberikan manfaat karena insentif yang diberikan kurang menarik dan prosedurnya dinilai cukup berbelit-belit.

No Faktor Implementasi Kebijakan Faktor Pendukung Faktor Penghambat Lokasi perumusan

kebijakan • L o k a s i p e r u m u s a n kebijakan di Manado tidak mendiskriminasi kegiatan di wilayah lain.

• Keberadaan kantor BP KAPET Manado Bitung yang ada di Kota Manado dan berada di kota yang sama dengan Gubernur Sulut selaku Ketua Harian BP KAPET Manado B i t u n g m e m u d a h k a n koordinasi kebijakan.

Pengambil keputusan anggaran KAPET adalah pemerintah pusat yang berada di Jakarta menyulitkan proses koordinasi anggaran dengan BP KAPET Manado Bitung.

2 Faktor Kelembagaan

Kapasitas SDM Kapasitas SDM BP KAPET Manado Bitung dinilai cukup baik yang dilihat dari latar belakang p e n d i d i k a n d a n k e a h l i a n yang cukup baik serta dilihat dari kemampuan SDM dalam mengimplementasi rencana bisnis yang telah mereka buat. Dengan kualitas SDM yang baik ini maka akan mempermudah dalam mengimplementasikan kebijak an K APE T Manado Bitung.

Peran Badan Pengembangan (Bapeng) KAPET dalam pengembangan KAPET Manado Bitung masih minim, terutama dalam hal alokasi program dan anggaran. Hal ini disebabkan oleh kurangnya peran Bappenas, Menko Perekonomian, dan Dep. PU dalam menjalankan tugasnya masing-masing, kurang berjalannya Rapat Kerja Nasional yang berjalan setiap tahun sebagai wadah evaluasi pengembangan KAPET, serta belum adanya peraturan yang menjelaskan mekanisme pembagian tugas dan penganggaran yang jelas antar instansi yang terkait dengan pengembangan KAPET. Kurangnya dukungan anggaran menyebabkan BP KAPET Manado Bitung mengalami kesulitan dalam melaksankan program kerja. Hubungan kerja • Hubungan kerja internal BP

KAPET Manado Bitung cukup mudah dan baik.

• Hubungan BP KAPET Mando Bitung dengan pemerintah Provinsi dinilai cukup baik, karena BP KAPET Mando Bitung secara histor is memiliki peran yang cukup kuat dalam penyusunan rencana (RTRW) di tingkat provinsi.

• Begitu pula, hubungan BP KAPET Manado Bitung dengan investor juga cukup baik yang dilihat dari fasilitasi MoU dan beberapa program kerja yang telah disusun BP KAPET Manado Bitung ditujukan untuk memberikan kemudahan bagi investor. • Adanya pola hubungan yang

baik ini memudahkan BP KAPET Manado Bitung dalam m e n gi m p l e m e nt a s i k a n kebijakan KAPET.

• Pola hubungan kewenangan dengan pemda kabupaten/ kota menghadapi tantangan yang cukup besar. Selain kedudukan BP KAPET Manado Bitung yang tidak termasuk dalam struktur organisasi kepemerintahan yang menyulitkan dalam berkoordinasi dengan pemda, apalagi dalam era otonomi daerah, tantangan dalam melakukan koordinasi dengan pemda kabupaten/kota juga dipersulit dengan belum adanya peraturan yang menegaskan mekanisme kerja, tanggung jawab, dan penganggaran antara instansi pemerintah yang terkait dengan pengembangan KAPET Manado Bitung. Akibatnya, BP KAPET Manado Bitung mengalami kesulitan dalam mengimplementasikan program dan kegiatan yang telah disusun.

• Walaupun BP KAPET Manado Bitung mempunyai hubungan yang cukup baik dengan investor, namun hal ini belum cukup, karena pada kenyataannya, kewenangan pengurusan perizinan dan insentif fiskal yang ditarik kembali ke pusat akibat tekanan IMF, mengakibatkan menurunnya minat investor untuk berinvestasi di KAPET Manado Bitung

Kewenangan Iklim koordinasi dan kerjasama yang baik antara BP KAPET M a n a d o B i t u n g d e n g a n pemerintah menjadi salah satu faktor kunci keberhasilan pembangunan KAPET Manado Bitung.

• Diskresi dan otoritas yang diberikan BP KAPET Manado Bitung dalam mengembangkan satu kawasan dinilai sangat terbatas. Keppres 150/2000 membatasai BP KAPET hanya berwenang dalam sosialisasi, mediasi, koordinasi, fasilitasi, dan kerjasama kepada pemerintah dan investor. Sementara untuk kewenangan perizinan, penganggaran, dan penentu kebijakan di tangan pemerintah pusat dan daerah.

• Keterbatasan kewenangan ini, terutama dalam hal perizinan, menyebabkan menurunnya minat investor untuk berinvestasi di KAPET Manado Bitung.

No Faktor Implementasi Kebijakan Faktor Pendukung Faktor Penghambat

Anggaran BP KAPET Manado Bitung

mendapat anggaran dari APBN dan APBD Provinsi berdasarkan program kerja yang diusulkan.

Anggaran yang dimiliki oleh BP KAPET Manado Bitung dinilai masih terbatas yang menyulitkan BP KAPET Manado Bitung dalam mengimplementasikan program kerja yang telah mereka buat. Keterbatasan anggaran BP KAPET ini disebabkan masih rendahnya komitmen Bapeng KAPET serta belum adanya peraturan yang menjelaskan mekanisme penganggaran. Hal ini menyebabkan BP KAPET Manado Bitung kesulitan dalam menjalankan seluruh program kerja yang telah mereka susun.

3 Faktor Lingkungan Strategis

Kondisi geografis KAPET Manado Bitung berada di lokasi yang strategis karena berbatasan dengan negara Malaysia dan Filipina yang berada dalam lingkar pasifik, serta termasuk dalam wilayah pusat pertumbuhan regional ASEAN, yaitu BIMP-EAGA. Dengan lokasi yang strategis ini akan mempercepat pengembangan KAPET Manado Bitung.

Wilayah KAPET Mando Bitung dengan wilayah tertinggal/ perbatasan sekitarnya, yaitu Kabupaten Sangihe dan Kabupaten Talaud dipisahkan oleh laut yang cukup jauh dan belum didukung oleh prasarana dan sarana transportasi yang memadai. Hal ini menghambat pencapaian tujuan jangka panjang pengembangan KAPET Manado Bitung, yaitu mendorong pembangunan wilayah Kabupaten Sangihe dan Kabupaten Talaud.

Kondisi sosial budaya Kondisi sosial budaya masyarakat di wilayah KAPET Manado Bitung relatif kondusif, yang dilihat dari tidak adanya kerusuhan sosial yang memakan banyak korban jiwa dan kerugian materi, serta tidak adanya demonstrasi masyarakat terhadap kebijakan K A P E T, s e h i n g g a h a l i n i memudahkan dalam proses implementasi kebijakan KAPET.

-Kondisi ekonomi - Krisis ekonomi berdampak negatif yang cukup besar

bagi pengembangan KAPET Manado Bitung. Pertama, penyediaan infrastruktur yang menjadi terbatas, tidak hanya di wilayah KAPET Manado Bitung, namun juga di wilayah tertinggal/perbatasan sehingga pada saat-saat tertentu menghambat aliran distribusi barang dan orang. Kedua, adanya tekanan IMF menyebabkan kewenangan perizinan dan insentif fiskal ditarik kembali ke pusat. Kedua hal tersebut menyebakan menurunnya daya tarik KAPET Manado Bitung sebagai daerah investasi.

No Faktor Implementasi Kebijakan Faktor Pendukung Faktor Penghambat Peraturan-peraturan

terkait • Inpres 7/2002 tentang Kebijakan dan Strategi N a s i o n a l P e r c e p a t a n Pembangunan KTI, Inpres 3 / 2 0 0 6 t e n t a n g Pa k e t Kebijakan Perbaikan Iklim Investasi, Kepmendagri No. 24 Tahun 2006 tentang Pedoman Penyelenggaraan Pelayanan Terpadu Satu Pintu (PPTSP), dan Kepmenkeu N o. 1 3 0 / K M K / 0 5 / 2 0 0 0 tentang Insentif Kepabeanan membuka peluang bagi KAPET Mando Bitung dalam menarik investor sebanyak-banyaknya.

• UU 26/2007 tentang Penataan Ruang membawa perubahan dalam pembangunan wilayah perbatasan, yaitu ditetapkan sebagai Pusat Kegiatan Strategis Nasional (PKSN) dan berorientasi pembangunan ekonomi. Hal ini tentu berdampak positif, yaitu mempercepat pembangunan Kabupaten Sangihe dan Kabupaten Talaud sehingga mempermudah pencapaian tujuan pengembangan KAPET Manado Bitung, yaitu mendorong pembangunan w i l a y a h t e r t i n g g a l / perbatasan sekitarnya.

• Inpres 7/2002 dan Inpres 3/2006 belum dilaksanakan optimal. Akibatnya berakibat belum adanya peningkatan iklim investasi yang signifikan di KAPET Manado Bitung.

• Semangat otonomi daerah sebagai implikasi dari UU No. 22 Tahun 1999 jo UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah berdampak pada semakin besarnya tantangan BP KAPET Manado Bitung dalam menghadapi ego daerah dan ego sektoral dalam mengimplementasikan program dan kegiatan yang BP KAPET Mando Bitung.