• Tidak ada hasil yang ditemukan

Tabel Data Sekunder

A. Analisis Implementasi Kebijakan

Pengembangan KAPET Khatulistiwa yang didasari pada pengamatan proses implementasi kebijakannya, terdapat kelambatan dalam proses pencapaian tujuan. Tabel berikut menggambarkan secara ringkas faktor-faktor yang menjadi pendukung dan penghambat implementasi kebijakan KAPET Khatulistiwa.

Tabel Analisis Implementasi Kebijakan KAPET Khatulistiwa

No Faktor Implementasi Kebijakan Faktor Pendukung Faktor Penghambat

1 Faktor Kebijakan

Kompleksitas Kebijakan Keppres 150 Tahun 2000 memberikan kewenangan kepada pemerintah provinsi dan kabupaten/kota sebagai implementor langsung kebijakan KAPET sehingga memungkinkan implementasi kebijakan yang partisipatif.

• Kompleksitas kebijakan KAPET Khatulistiwa tinggi, menyebabkan semakin banyaknya titik kontrol dan keputusan (check and decision

point) yang harus dikoordinasikan dan

dikendalikan, mulai dari pusat hingga ke Kabupaten/Kota.

• Terdapat kesenjangan antara tujuan pengembangan KAPET dengan tugas dan kewenangan kelembagaan pengelola KAPET yaitu BP KAPET, dimana peran BP KAPET direduksi pasca otonomi daerah mengakibatkan lembaga tersebut tidak dapat melakukan “pengelolaan” secara langsung. • Pengembangan wilayah KAPET Khatulistiwa

belum fokus baik dari sisi wilayah maupun sisi sektor dan produk unggulan.

• Tidak ada mekanisme penjabaran tugas instansi sektoral pusat dan daerah.

• Pengembangan KAPET belum menjadi agenda prioritas SKPD di Provinsi/Kab/kota, dalam sistem perencanaan pembangunan tahunan daerah.

• Belum adanya kebijakan yang mengatur proses monitoring dan kontrol adminsitratif terhadap implementasi kebijakan oleh unit-unit pelaksana di tingkat pusat maupun daerah.

• Pengelolaan wilayah, sektor dan produk unggulan tidak terfokus.

Konsistensi Kebijakan

• Fasilitas insentif fiskal dan non fiskal kurang menarik investor dan pelaksanaannya tidak konsisten;

• Kedudukan BP KAPET Khatulistiwa di daerah tidak jelas, yang berakibat pada tidak adanya landasan hukum bagi Pemerintah Daerah untuk mendukung BP KAPET dari sisi anggaran APBD Provinsi maupun APBD Kab/Kota; • Peran BAPENG kurang optimal dan tidak

konsisten dalam melaksanakan kebijakan KAPET. Khatulistiwa, menjadi penyebab inkonsistensi pelaksanaan kebijakan; Persepsi manfaat

kebijakan - Berdasarkan persepsi masyarakat dan SKPD kabupaten/kota, keberadaan kebijakan KAPET dan BP KAPET manfaatnya belum dirasakan, sebagai akibat Pemkab dan masyarakat belum memahami keterbatasan peran dan fungsi BP KAPET dan belum memahami hakekat otonomi daerah. Lokasi perumusan

kebijakan Lokasi permusan kebijakan KAPET Khatulistiwa berada di Pontianak, begitu pula dengan domisili pelaksana harian BP KAPET Khatulistiwa, sehingga tidak menjadi penghambat dalam merumuskan dan mengkoordinasikan kebijakan dan impelemtasinya. Selain itu, BP KAPET Khatulistiwa mempunyai perwakilan di setiap kantor Bupati/ Walikota sehingga memudahkan dalam mengkoordinasikan kebijakan.

Pengambil keputusan anggaran KAPET adalah pemerintah pusat yang berada di Jakarta menyulitkan proses koordinasi anggaran dengan BP KAPET Khatulistiwa.

No Faktor Implementasi Kebijakan Faktor Pendukung Faktor Penghambat 2 Faktor Kelembagaan

Kapasitas SDM • Ketua Harian BP KAPET Khatulistiwa pernah menjabat sebagai Kepala Bappeda Provinsi Kalimantan Barat sehingga memudahkan pelaksanaan tugas BP KAPET.

• BP KAPET Khatulistwia mempunyai komitmen yang cukup kuat dalam melaksanakan tugas dan fungsinya.

• Kurangnya komitmen Badan Pengembangan (Bapeng) KAPET dalam hal kontribusi program/ kegiatan setiap tahun untuk pengembangan KAPET Khatulistiwa. Hal ini disebabkan kurangnya peran Bappenas dan Menko Perekonomian dalam mengkoordinasikan dan mengintegrasikan proses perencanaan hingga implementasi program/kegiatan lintas sektor dalam pengembangan KAPET Khatulistiwa, Ketua Tim Teknis (Dep. PU) yang belum optimal dalam memeperjuangkan perbaikan KAPET khususnya pembangunan infrastruktur di KAPET, termasuk KAPET Khatulistiwa, serta kurang berjalannya Rapat Kerja Nasional yang berjalan setiap tahun sebagai wadah evaluasi pengembangan KAPET.

• Latar belakang pendidikan dan keahlian personil BP KAPET Khatulistiwa belum sesuai dengan kebutuhan dalam manajemen wilayah dan pengembangan bisnis sektor unggulan. Hal ini disebabkan oleh gaji dan insentif yang kurang menarik sebagai akibat dari kurangnya anggaran yang diterima oleh BP KAPET Khatulistiwa. Dalam mengatasi permasalah tersebut, BP KAPET Khatulistiwa mengadakan program pelatihan, kursus, dan pemberian fasilitasi belajar S-2. Namun setelah lulus S-2, karyawan tersebut direkrut menjadi PNS. • Kurangnya komitmen Bapeng KAPET berakibat

pada kurangnya anggaran yang diterima oleh BP KAPET Khatulistiwa, sehingga berakibat pada masih minimnya tenaga profesional di BP KAPET Khatulistiwa, keterbatasan BP KAPET Khatulistiwa dalam mengimplementasikan kebijakan KAPET, serta menurunkan daya tarik investasi karena pembangunan infrastruktur yang masih terbatas.

Hubungan kerja Hubungan internal BP KAPET Khatulistiwa cukup baik, juga dengan Pemda Kabupaten/Kota, Pemda Provinsi, dan investor yang ditandai dengan frekuensi dan intensitas rapat dan diskusi yang cukup baik, baik di internal BP KAPET Khatulistiwa maupun dengan Pemda dan investor.

• Hasil-hasil rapat dan diskusi tesrebut belum sepenuhnya ditindaklanjuti oleh Pemda Kabupaten/Kota dan Provinsi. Kurangnya tindaklanjut Pemda Kabupaten/Kota dan Provinsi menyebabkan lambannya impelemtasi kebijakan KAPET Khatulistiwa • Investor kurang berminat untuk berinvestasi

di KAPET Khatulistiwa karena kurangnya data yang akurat dan kurangnya infrastruktur yang ada di wilayah KAPET Khatulistiwa. Salah satu penyebab kurangnya infrastruktur ini adalah belum adanya realisasi Inpres No. 7 tahun 2002 mengenai Kebijkan dan Strategi Nasional Percepatan. Akibatnya, investasi yang menjadi pemicu pengembangan KAPET Khatulistiwa masih minim, berakibat pada tersendatnya pengembangan KAPET Khatulistiwa.

Kewenangan - • BP KAPET Khatulistiwa memiliki diskresi dan

otoritas yang terbatas. Hal ini disebabkan oleh Keppres 150 Tahun 2000 yang membatasi kewenangan BP KAPET hanya memfasilitasi investor dan memberikan masukan pada pemda, sementara perizinan ditarik kembali ke pemerintah pusat dan pengambil keputusan di tangan pemda.

• Akibatnya, pengembangan KAPET Khatulistiwa sangat tergantung pada sistem dan mekanisme pemerintah, sehingga terjadi kelambatan dalam pencapaian tujuan pengembangan KAPET Khatulistiwa. Permasalahan perizinan yang tidak menjadi kewenangan BP KAPET Khatulistiwa juga mengurangi daya tarik investasi karena menyulitkan investor dalam memperoleh izin usaha.

No Faktor Implementasi Kebijakan Faktor Pendukung Faktor Penghambat

Anggaran BP KAPET Khatulistiwa mendapat

d u k u n g a n p e n d a n a a n d a r i APBN, APBD Provinsi, dan APBD Kabupaten/Kota sehingga membantu B P K A P E T K h a t u l i s t i w a d a l a m mengimplementasikan program dan kegiatan KAPET.

• Alokasi dana dari APBN setiap tahun cenderung menurun, padahal tingkat harga semakin lama semakin naik. Selain itu, proses pencairan dana APBN tidak efisien, serta muncul program-program baru yang tidak diusulkan oleh BP KAPET Khatulistiwa sehingga menyulitkan BP KAPET Khatulistiwa dalam melaksanakan program-program tersebut. Hal ini disebabkan belum adanya peraturan yang mengatur mekanisme penganggaran KAPET dengan jelas.

• Alokasi dana dari APBD Kabupaten/Kota sangat minim dan tidak berkelanjutan. Hal ini disebabkan status kelembagaan BP KAPET Khatulistiwa yang tidak masuk dala SKPD sehingga tidak bisa dipertanggungjawabkan ke BPK.

• Akibat keterbatasan dana yang diterima oleh BP KAPET Khatulistiwa menyebabkan BP KAPET Khatulistiwa sulit menjalankan program dan kegiatan yang telah disusun guna mencapai tujuan pengembangan KAPET Khatulistiwa.

3 Faktor Lingkungan Strategis

Kondisi geografis KAPET Khatlistiwa berada di lokasi yang strategis, yaitu dekat dengan jalur ALKI I dan berada di wilayah perbatasan yang memiliki akses ke pasar internasional. Dengan lokasi yang strategis ini akan mempercepat pengembangan KAPET Khatulistiwa.

-Kondisi sosial budaya Kondisi sosial budaya masyarakat di wilayah KAPET Khatulistiwa relatif kondusif, sehingga memudahkan dalam proses implementasi kebijakan KAPET.

• Sebagian budaya masyarakat di wilayah KAPET Khatulistiwa belum maju, seperti masih adanya sistem ladang berpindah dan kurang insentifnya dalam mengelola pertanian. • Akibatnya, pengelolaan hasil perkebunan

yang menjadi produk unggulan di KAPET Khatulistiwa kurang optimal dan menurunkan daya saing.

Kondisi ekonomi - • Kondisi ekonomi nasional yang mengalami

krisis pada tahun 1998 berdampak pada penurunan kemampuan pemerintah dalam menyediakan infrastruktur di wilayah KAPET, termasuk KAPET Khatulistwa. Keterbatasan infrastruktur ini menyebabkan menurunnya daya tarik investor untuk berinvestasi di wilayah KAPET Khatulistiwa.

• Krisis ekonomi juga menyebabkan perizinan dan insentif fiskal yang sebelumnya diserahkan ke KAPET Khatulistiwa ditarik kembali oleh pemerintah pusat akibat tekanan dari IMF. Dampaknya, investor yang tadinya cukup mengurus perizinan di KAPET Khatulistiwa, saat ini harus ke pemerintah pusat (Jakarta) sehingga menambah waktu, biaya, dan tenaga, sehingga menurunkan minat investor, begitu pula dengan permasalahan insentif fiskal.

No Faktor Implementasi Kebijakan Faktor Pendukung Faktor Penghambat Peraturan-peraturan

terkait • Inpres 7/ 2002 tentang Kebijakan dan Strategi Nasional Percepatan Pembangunan KTI, Inpres 3/2006 tentang Paket Kebijakan Perbaikan Iklim Investasi, Kepmendagri No. 24 Tahun 2006 tentang Pedoman Penyelenggaraan Pelayanan Terpadu Satu Pintu (PPTSP), dan Kepmenkeu No. 130/KMK/05/2000 tentang Insentif Kepabeanan membuka peluang bagi KAPET Khatulistiwa dalam menarik investor sebanyak-banyaknya.

• UU 26/2007 tentang Penataan Ruang membawa perubahan dalam pembangunan wilayah perbatasan, yaitu ditetapkan sebagai Pusat Kegiatan Strategis Nasional (PKSN) dan berorientasi pembangunan ekonomi. Hal ini tentu berdampak p o s i t i f, y a i t u m e m p e r c e p a t pembangunan KAPET Khatulistiwa yang sebagian besar wilayahnya berada di wilayah perbatasan.

• Inpres 7/2002 dan Inpres 3/2006 belum dilaksanakan optimal. Akibatnya berakibat belum adanya peningkatan iklim investasi yang signifikan di KAPET Khatulistiwa sehingga minat investor masih minim.

• UU No. 22 Tahun 1999 jo UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah membawa perubahan dalam sistem pemerintahan di Indonesia. Dampak adanya otonomi daerah bagi KAPET Khatulistiwa adalah semakin besarnya tantangan BP KAPET Khatulistiwa dalam menghadapi ego daerah dan ego sektoral dalam mengimplementasikan program dan kegiatan yang telah disusun oleh BP KAPET Khatulistiwa.