• Tidak ada hasil yang ditemukan

DIREKTORAT TATA RUANG DAN PERTANAHAN

e-mail: deddyk@bappenas.go.id

Abstraksi

Pengadaan tanah untuk kepentingan umum sering diidentikkan dengan proses yang sarat hambatan dan berlarut-larut pelaksanaannya. Menyikapi perubahan konteks pembangunan, telah dilakukan penyempurnaan regulasi yang terkait pengadaan tanah. Meskipun demikian, tampaknya masih saja dihadapi hambatan dalam proses pengadaan tanah, terutama pada tahap mencapai kesepakatan harga ganti rugi tanah yang dilepaskan. Hanya karena penolakan dari sebagian kecil warga saja, kesepakatan tidak terwujud.

Kajian ini dilakukan untuk mendalami permasalahan dan menarik pembelajaran dalam proses pengadaan tanah. Dengan menarik pembelajaran dapat diidentifikasi langkah-langkah yang perlu dilakukan untuk mengakselerasi proses pengadaan tanah.

Isu berlarut-larutnya proses pengadaan tanah memang masih terus mengemuka. Namun demikian, temuan survei lapangan dalam kajian ini memperlihatkan bahwa apabila diamati pada spektrum waktu yang lebih panjang, kajian ini menemukan fakta telah terjadi perbaikan persepsi masyarakat terhadap pengadaan tanah untuk pembangunan, terutama jika dibandingkan dengan periode sebelum reformasi.

Perbaikan persepsi masyarakat tersebut berlangsung seiring dengan upaya penyempurnaan kebijakan pengadaan tanah untuk pembangunan. Disamping penyempurnaan kebijakan, peran dan komitmen Panitia Pengadaan Tanah (P2T) sangat menentukan kelancaran proses pengadaan tanah, termasuk juga didalam menghadapi resistensi warga maupun pihak-pihak1 yang mengambil kesempatan di tengah kerumitan permasalahan. Meskipun demikian, komitmen P2T saja tidaklah cukup. Memperhatikan peran sentral dan kompleksitas tanggung jawab serta tantangan P2T, diperlukan dukungan dan kesamaan persepsi tidak hanya dari kalangan masyarakat, tetapi terlebih dari kalangan pemerintah sendiri, baik di tingkat daerah maupun pusat.

Pengadaan tanah oleh pemerintah diatur dan dibatasi oleh ketentuan dan peraturan-perundangan. Dengan demikian setiap langkah memiliki implikasi hukum, terutama yang berkenaan dengan penggunaan uang negara. Berbeda dengan pengadaan tanah yang dilakukan oleh pihak swasta2 misalnya dalam pengadaan tanah untuk membangun perumahan atau pusat perbelanjaan, ketentuan yang diberlakukan relatif lebih fleksibel. Pada sistem keuangan pihak swasta yang melakukan pengadaan tanah, dimungkinkan adanya biaya khusus untuk melakukan pendekatan kepada warga di lokasi pengadaan tanah, termasuk warga yang resisten.

Di sisi lain, Panitia Pengadaan Tanah (P2T) bekerja dalam kondisi yang tidak steril dari kemungkinan adanya perbedaan persepsi terhadap peraturan-perundangan terkait, termasuk dikalangan penegak hukum. Oleh karenanya, sosialisasi dan penyamaan persepsi terhadap peraturan pengadaan tanah, terutama di kalangan penegak hukum, serta harmonisasi kebijakan terkait pertanahan, baik di tingkat pusat maupun daerah, sangatlah dibutuhkan. Terlebih-lebih pada skala pembangunan kepentingan umum yang luas dan melibatkan banyak kepentingan.

1. Latar Belakang

Sejalan dengan pertambahan penduduk dan peningkatan dinamika aspirasi masyarakat, tuntutan terhadap pembangunan untuk kepentingan umum semakin meningkat. Namun, aktivitas untuk memenuhi tuntutan ini kian diperhadapkan pada ketersediaan tanah yang semakin terbatas, serta juga pasar tanah yang belum mantap terbangun. Akibatnya, harga tanah meningkat secara kurang terkendali, terutama di daerah perkotaan. Para spekulan tanah

mengambil kesempatan dengan melakukan tindakan mencari untung (rent seeking) terhadap setiap transaksi tanah. Selain menyebabkan terhambatnya proses pengadaan tanah untuk kepentingan umum, spekulasi tanah tersebut juga menimbulkan ekonomi biaya tinggi.

Sejumlah peraturan-perundangan telah diterbitkan untuk mengatur pengadaan tanah bagi pembangunan kepentingan umum. Yang diterbitkan dewasa ini diantaranya adalah Peraturan Presiden (Perpres) No. 36 Tahun 2005 tentang Pengadaan Tanah bagi Pelaksanaan Pembangunan untuk Kepentingan Umum. Dalam Perpres disebutkan kepentingan umum adalah kepentingan sebagian besar lapisan masyarakat. Walaupun demikian, masih sering terjadi perdebatan terhadap pengertian kepentingan umum. Untuk mereduksi perdebatan tersebut, dilakukan penyempurnaan Perpres No. 36 tahun 2005, yang dituangkan dalam Perpres No. 65 Tahun 2006. Prasarana-sarana dalam lingkup kepentingan umum dari yang sebelumnya dalam Perpres No. 36 Tahun 2005 mencakup 21 kategori dikurangi menjadi 7 kategori3.

Pada prinsipnya, metode yang digunakan untuk pengadaan tanah bagi pembangunan kepentingan umum adalah mekanisme ganti rugi. Dalam prakteknya pelaksanaan mekanisme ganti rugi ini sering mengalami kemandegan terutama karena sulitnya mencapai kesepakatan di antara para pihak mengenai nilai tanah yang akan dijadikan lokasi pembangunan.

Sebenarnya Perpres No. 36 tahun 2005 dan Perpres No. 65 Tahun 2006 masih mengacu pada UU No. 20 tahun 1961 tentang Pencabutan Hak Hak-Hak Tanah dan Benda Benda-Benda Yang Ada Diatasnya yang memungkinkan pencabutan hak atas tanah untuk kepentingan umum. Namun pada kenyataannya kebijakan tersebut sangat sulit diimplementasikan karena dipandang sangat tidak populis, terlebih lagi dalam era reformasi dan demokrasi. Untuk mengantisipasi adanya kebuntuan dalam mencapai kesepakatan ganti rugi, Perpres No. 65/2006 pasal 10 mengatur bahwa P2T dapat menitipkan uang ganti rugi di pengadilan4.

Menyikapi maraknya isu pengadaan tanah untuk pembangunan, kajian ini mencoba mendapatkan gambaran pengalaman dan pembelajaran dari pelaksanaan pengadaan tanah bagi pembangunan kepentingan umum. Disamping itu, juga dipelajari alternatif yang pernah diterapkan dalam pengadaan tanah untuk pembangunan kepentingan umum, yaitu konsolidasi tanah (land consolidation) dan bank tanah (land banking).

2. Tujuan, Manfaat dan Ruang Lingkup

2.1 Tujuan dan Sasaran

Kajian ini ditujukan untuk mendapatkan pembelajaran dari pelaksanaan pengadaan tanah untuk kepentingan umum, serta mengidentifikasi alternatif pengadaan tanah untuk pembangunan. Secara rinci, sasaran yang hendak dicapai dari kajian ini adalah :

1) Teridentifikasikannya rumusan pemahaman dan pemaknaan mengenai kepentingan umum 2) Teridentifikasikannya pembelajaran dari pelaksanaan pengadaan tanah untuk kepentingan umum. 3) Terumuskannya rekomendasi untuk perbaikan mekanisme pengadaan tanah untuk kepentingan umum. 4) Tersedianya alternatif pengadaan tanah.

2.2 Manfaat

Kajian ini diarahkan untuk menghasilkan rekomendasi untuk penyempurnaan kebijakan dan implementasi pengadaan tanah untuk kepentingan umum, serta memberikan wawasan mengenai alternatif pengadaan tanah. 2.3 Ruang Lingkup

Lingkup kajian meliputi:

1. Melaksanakan tinjauan konseptual mengenai kepentingan umum dan peranan pemerintah.

2. Mengidentifikasi pembelajaran dari pelaksanaan pengadaan tanah untuk pembangunan kepentingan umum. 3. Merumuskan rekomendasi untuk penyempurnaan kebijakan dan implementasi pengadaan tanah untuk kepentingan

umum

4. Menelaah alternatif pengadaan tanah untuk pembangunan kepentingan umum.

Lingkup lokasi pengadaan tanah yang diteliti adalah lokasi pembangunan Waduk Jatigede di Kabupaten Sumedang, Jalan Lingkar kota Medan, serta Jalan Lingkar Luar Kota Pontianak.

3. Metolodogi

3.1 Kerangka Kajian

Kerangka kajian dalam kegiatan ini merupakan abstraksi dari alir pemikiran sistematis mengenai langkah-langkah untuk mengkaji permasalahan dalam desain mekanisme pengadaan tanah untuk pembangunan kepentingan umum,

serta merumuskan rekomendasi untuk penyempurnaan kebijakan terkait. Kerangka kajian secara keseluruhan disajikan dalam Gambar 1.

Dalam pengadaan tanah untuk pembangunan kepentingan umum seperti yang telah diatur dalam Perpres Nomor 65 Tahun 2006, mekanisme yang digunakan pada prinsipnya adalah ganti rugi. Mekanisme ganti rugi berangkat dari konsep yang memandang tanah sama dengan komoditas lainnya, yakni memiliki pasar yang disebut dengan pasar tanah (land market). Banyak dan rumitnya permasalahan dalam proses ganti rugi menjadi salah satu indikasi bahwa mekanisme ganti rugi tidak efisien. Secara teoritis, semakin tinggi biaya transaksi yang terjadi dalam kegiatan ekonomi, berarti kian tidak efisien kelembagaan yang didesain (Yustika, 2006).

3.2 Metode Pelaksanaan Kajian Kajian

Pelaksanaan kajian meliputi tahapan berikut: 1. Tahap Studi Pustaka (Desk Study)

Tahap ini merupakan proses penelaahan, interpretasi dan sintesa dari berbagai data sekunder terkait. Hasil dari kegiatan studi pustaka ini selanjutnya dijadikan bahan untuk penyusunan desain survei serta bahan untuk didiskusikan dalam FGD dan seminar.

2. FGD dan Seminar

FGD ditujukan untuk mendapatkan data dan informasi, pembelajaran serta perspektif dari para pakar, praktisi dan institusi yang terkait dengan pengadaan tanah untuk pembangunan.

3. Survei Lapangan/Studi Kasus

Survei lapangan dilakukan pada beberapa lokasi pembangunan kepentingan umum. Penelitian menggunakan metode survei dengan teknik penarikan contoh secara sampling acak kelompok dua tahap (Two Stage Cluster Random Sampling) dengan tahapan sebagai berikut:

Pada tahap pertama dilakukan pemilihan secara acak sederhana (Simple Random Sampling) lokasi dan jenis pembangunan kepentingan umum dari berbagai alternatif pengadaan tanah untuk pembangunan kepentingan umum. Pada tahap kedua, pada lokasi yang terpilih sebagai daerah sampling dilakukan pemilihan rumah tangga (masyarakat) yang terkena dampak pengadaan tanah untuk pembangunan, yaitu tanahnya dijadikan lokasi pembangunan. Pemilihan sampling rumah tangga dilakukan secara acak sederhana (Simple Random Sampling).

Gambar 1. Kerangka Kajian Alternatif Pengadaan Tanah Untuk Pembangunan

4. Hasil Kajian

4.1 Pemaknaan Kepentingan Umum

Teori public finance mengemukakan tiga fungsi yang harus dilakukan oleh pemerintah terkait dengan penggunaan anggaran belanja pemerintah (Musgrave dan Peackok, 1958, Stiglitz, 1999), yaitu fungsi:

1. Stabilisasi makroekonomi. Pendanaan publik berfungsi untuk menjaga stabilitas ekonomi terutama untuk mencapai tingkat kesempatan kerja yang tinggi dan menciptakan stabilitas harga.

kesejahteraan, salah satunya melalui penyediaan barang-barang publik oleh pemerintah yang dapat diakses oleh masyarakat.

3. Alokasi sumberdaya. Pengelolaan sumberdaya yang menguasai hajat hidup orang banyak harus dikelola oleh pemerintah secara efisien sehingga setiap masyarakat dapat menikmati sumberdaya tersebut.

Dari konsep tersebut, dapat dikembangkan bahwa pemaknaan kepentingan umum didasarkan pada karakteristik antara lain: a) Tanggung jawab penyediaannya berada pada pemerintah; b) Non-rival yang berarti bahwa penggunaan barang tersebut oleh seseorang tidak mengurangi jumlah barang yang tersedia untuk digunakan orang lain, dan c) Non-excludable yang berarti bahwa seseorang tidak dapat membatasi atau menghalangi kesempatan orang lain untuk mengkonsumsi barang yang sama.

Akomodasi secara konseptual terhadap kepentingan individu dan kepentingan umum tersebut sebenarnya telah diatur dalam Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA). Dalam UUPA disebutkan bahwa hak atas tanah apa pun yang ada pada seseorang tidaklah dapat dibenarkan bahwa tanahnya itu akan dipergunakan semata-mata untuk kepentingan pribadinya, apalagi kalau hal itu menimbulkan kerugian bagi masyarakat (Penjelasan Umum II, 4 UUPA). Dengan demikian, kepentingan umum, yang dijabarkan dari fungsi sosial tanah, tidak kalah pentingnya dengan kepentingan individu pemilik yang dijabarkan dari fungsi ekonomi tanah. Artinya, pada saat dibutuhkan demi kepentingan umum, kepentingan individu bisa dikompromikan, bahkan dikalahkan, dan hak milik atas tanah harus dilepaskan.

Dalam Perpres 36 Tahun 2005, pengaturan pengadaan tanah untuk kepentingan umum, dibatasi pada pengertian “kepentingan umum yang dilaksanakan oleh Pemerintah atau Pemda yang selanjutnya dimiliki atau akan dimiliki oleh Pemerintah atau Pemda”. Selanjutnya, dalam Perpres No. 65 tahun 2006 dilakukan penyempitan ruang lingkup kepentingan umum yang mencakup : a. Jalan umum dan jalan tol, rel kereta api, saluran air minum/air bersih, saluran pembuangan air dan sanitasi; b. Waduk, bendungan, bendungan irigasi, dan bangunan pengairan lainnya; c. Pelabuhan, bandar udara, stasiun kereta api, dan terminal; d. Fasilitas keselamatan umum, seperti tanggul penanggulangan bahaya banjir, lahar, dan lain-lain bencana; e tempat pembuangan sampah; f. Cagar alam dan cagar budaya; g. Pembangkit, transmisi, distribusi tenaga listrik. Penyempitan lingkup tersebut ditujukan untuk mereduksi terjadinya polemik mengenai pengertian dan lingkup kepentingan umum. 5Apabila dicermati lebih lanjut, prasarana-sarana yang dimuat dalam lingkup kepentingan umum pada Pepres no. 65 tahun 2006, memiliki sifat sulit memiliki alternatif lokasi pembangunan lainnya Sebagai contohnya dalam pembangunan jalan tol, jika terdapat beberapa pemilik tanah yang tidak setuju dengan ganti rugi yang telah ditawarkan pemerintah, maka tidak memungkinkan membelokan jalan pada lokasi lain, dimana pemilik tanahnya mau melepaskan tanahnya. Demikian pula halnya pada pembangunan waduk, jika kesepakatan telah mencapai 75% dari lokasi pengadaan tanah, dan pada 25% selebihnya pemilik tanah tidak mau melepaskan tanahnya, maka tidak dimungkinkan untuk memindahkan lokasi pembangunan waduk.

Dari uraian mengenai landasan konseptual dan tinjauan legislasi sebagaimana diuraikan di atas maupun melalui in depth interview dan FGD, dapat ditarik pokok-pokok pemikiran untuk memaknai kepentingan umum. Kepentingan umum dimaknai sebagai kepentingan sebagian besar lapisan masyarakat. Dalam hal ini, proposisi penentuan ruang lingkup kepentingan umum adalah kepentingan umum yang lokasi pembangunannya harus dilakukan pada suatu lokasi tertentu dan tidak dapat dipindahkan, baik karena telah ditetapkan dalam Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) maupun karena mendasarnya dampak pemindahan lokasi terhadap biaya dan keberlanjutan kegiatan pembangunan.

4.2 Pengalaman Pelaksanaan Pengadaan Tanah untuk Pembangunan Kepentingan Umum

4.2.1 Studi Kasus Pembangunan Waduk Jatigede, Kab. Sumedang, Provinsi Jabar

4.2.1.1 Deskripsi Singkat Pembangunan Waduk Jatigede

Gagasan pembangunan Waduk Jatigede diajukan pertama kali pada tahun 1963, lebih dari 40 tahun lalu, yang ditindak lanjuti dengan pre-feasibilty study tahun 1973. Pada tahun 1977 sampai 2004 dilakukan berbagai studi mulai dari desain detail dan master plan sampai pada analisis mengenai dampak lingkungan (AMDAL). Biaya Pembangunan waduk diperkirakan sebesar US$ 239,57 juta (Rp. 2,2 triliun) yang direncanakan bersumber dari pinjaman Republik Rakyat China (RRC) USD 196,55 juta (Rp. 1,788 trilun) dan APBN US$ 43,02 juta (Rp. 391,49 milar). Disamping waduk, juga akan dibangun Pembangkit Listrik Tenaga Air (PLTA) Jatigede oleh Perusahaan Listrik Negara (PLN) senilai US$ 168 juta atau Rp. 1,528 triliun.

Waduk Jatigede direncanakan akan mampu mengairi lahan sawah seluas 100.000 Ha, sehingga masyarakat hilir sungai yang semula hanya mampu bercocok tanam setahun sekali dapat beberapa kali panen. Lokasi pembangunan Waduk Jatigede memiliki luas 4.891,13 hektar, yang mencakup 5 kecamatan dan 26 desa, sebagaimana ditampilkan dalam Gambar 2.

4.2.1.2 Pengadaan Tanah Waduk Jatigede: Proses dan Pembelajaran

Hingga dengan tahun 2006, berdasarkan data Satuan Kerja Percepatan Pembangunan Waduk Jatigede, telah dibebaskan sekitar 65% dari kebutuhan pengadaan tanah, dengan rincian seperti disajikan pada Tabel 1.

Gambar 2.