• Tidak ada hasil yang ditemukan

Alternatif Pengadaan Tanah Untuk Pembangunan Kepentingan Umum

Persepsi Masyarakat terhadap Proses Pengadaan Tanah dalam Pembangunan Jalan Lingkar Luar Kota Pontianak

4.4. Alternatif Pengadaan Tanah Untuk Pembangunan Kepentingan Umum

4.4.1 Alternatif Konsolidasi Tanah

Konsolidasi dapat dilaksanakan melalui 3 metode, yaitu penataan tanah dengan tanah pengganti; penataan tanah dengan ganti rugi uang untuk tanah yang terkena bagian sudutnya saja; dan penataan tanah dengan membongkar bangunan serta mengganti rugi dengan uang.

Sebenarnya konsolidasi tanah bukanlah sesuatu yang baru dalam konteks kebijakan pertanahan di Indonesia. Peraturan Kepala BPN Nomor 4 tahun 1991 merupakan aturan pertama yang mengatur pelaksanaan konsolidasi tanah. Di dalam peraturan ini disebutkan bahwa konsolidasi tanah adalah kebijakan pertanahan mengenai penataan kembali penguasaan dan penggunaan kembali tanah serta usaha pengadaan tanah untuk kepentingan pembangunan, untuk meningkatkan kualitas lingkungan dan pemeliharaan sumberdaya alam dengan melibatkan partisipasi aktif masyarakat.

Menurut Talkurputra (1993), beberapa prinsip dasar yang harus diperhatikan dalam implementasi konsolidasi tanah adalah:

1) Prinsip kesesuaian dengan Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW)

2) Prinsip administrasi tanah: Konsolidasi tanah harus dilakukan dengan tertib administrasi, meliputi: pendataan fisik tanah, administrasi, aspek hukum sampai kepada dikeluarkannya sertifikat, yang merupakan satu kesatuan dalam manajemen pertanahan.

3) Prinsip manfaat: Melalui konsolidasi tanah yang menikmati manfaatnya tidak hanya pemerintah akan tetapi juga para peserta konsolidasi tanah.

4) Prinsip partisipasi komunitas: Melalui konsolidasi tanah dilakukan pelibatan peran serta masyarakat dan diposisikan sebagai agen/subyek pembangunan.

4.4.2 Alternatif Bank Tanah

Bank tanah adalah suatu lembaga yang menyediakan tanah untuk berbagai keperluan pembangunan, sekaligus bertindak selaku pengendali harga tanah. Bank Tanah merupakan suatu badan usaha yang tidak semata-mata mencari untung tetapi lebih bersifat mengelola pengelola pertanahan dari aspek pengendalian harga tanah dan mendukung pelaksanaan Rencana Tata Ruang.

Fungsi Bank Tanah meliputi :

a. Land Keeper: Menginventarisasi dan mengembangkan database tanah, administrasi dan sistem informasi pertanahan

b. Land Warrantee : Mengamankan penyediaan, peruntukan, pemanfaatan tanah dan menjamin efisiensi pasar tanah

c. Land Purchaser : Mengendalikan penguasaan dan penggunaan tanah d. Land valuer : Menunjang penetapan nilai tanah yang baku dan adil. e. Land Distributor : Menjamin distribusi tanah yang wajar dan adil. f. Land Management : Melakukan manajemen pertanahan.

Sementara itu, manfaat Bank Tanah dapat dijelaskan sebagai berikut:

a. Mengendalikan pasar tanah yang menjamin efisiensi dan rasionalitas harga tanah b. Mengefisienkan dan menjamin nilai tanah yang wajar dan adil

c. Memadukan kebijakan, strategi, implementasi, dan evaluasi yang berkaitan dengan tanah.

Land banking di Amerika Serikat dilaksanakan oleh pemerintah lokal (pemerintah daerah), seperti di California. Land banking meliputi proses pembelian dan penguasaan lahan oleh pemerintah daerah sebelum pihak-pihak lain membuat bangunan diatasnya. Harga yang dibayar untuk sepetak lahan didasarkan pada nilai yang berlaku pada saat transaksi, bukan pada spekulasi penggunaan lahan. Dengan adanya bank tanah, diharapkan tanah bisa dijual dengan harga wajar, sesuai harga pasar yang berlaku.

5. Kesimpulan dan Rekomendasi

5.1 Kesimpulan

Proses pengadaan tanah marak diwarnai dengan berbagai permasalahan. Namun demikian, temuan kajian ini menunjukkan bahwa apabila dilihat dari spektrum waktu yang lebih menyeluruh, sesungguhnya telah ada perbaikan persepsi masyarakat terhadap proses pengadaan tanah untuk pembangunan kepentingan umum. Perbaikan persepsi tersebut berlangsung seiring dengan berjalannya waktu, serta upaya untuk terus menyempurnakan kebijakan pengadaan tanah.

Contohnya, kebijakan mengikutsertakan lembaga penilai harga tanah yang independen7 dalam upaya mengatasi kebuntuan negosiasi ganti rugi mendapat respons positif dari sebagian besar pemangku kepentingan. Kajian ini juga mengindikasikan bahwa penyempurnaan kebijakan dapat mengurangi biaya transaksi dalam pengadaan tanah, setidaknya biaya transaksi yang ditanggung oleh masyarakat.

Berdasarkan pembelajaran dari pelaksanaan pengadaan tanah, implementasi kebijakan pengadaan tanah untuk pembangunan kepentingan umum sangat ditentukan oleh komitmen dan peran Panitia Pengadaan Tanah (P2T), sejak tahap sosialisasi sampai dengan eksekusi pelepasan tanah. Dalam menghadapi resistensi warga, kapabilitas P2T menjadi sangat penting. Di tengah kondisi semacam ini sangat dituntut ketersediaan waktu dan kreatifitas P2T untuk berkomunikasi, yang tentunya tidaklah mudah, terlebih pada kondisi euphoria reformasi yang menentang keras pencabutan hak atas tanah.

Besarnya tanggung jawab dan tantangan yang diemban P2T perlu didukung dengan sosialisasi yang memadai, tidak hanya di kalangan masyarakat yang terkena dampak pengadaan tanah, baik langsung maupun tidak langsung, tetapi juga di kalangan institusi pemerintah yang terkait, terlebih pada kalangan penegak hukum8.

5.2 Rekomendasi

Temuan kajian mencatat telah terjadi perbaikan persepsi masyarakat terhadap proses pengadaan tanah, seiring dengan terus dilakukannya upaya untuk menyempurnakan kebijakan dan peraturan perundangan terkait pengadaan tanah.

Penyempurnaan kebijakan pengadaan tanah, perlu dibarengi dengan komitmen P2T dalam melaksanakan tugasnya. Namun demikian, mencermati kompleksitas permasalahan dan tantangan yang dihadapi dalam proses pengadaan tanah, komitmen P2T saja tidaklah cukup. Patut diingat bahwa pengadaan tanah oleh pemerintah diatur dan dibatasi oleh ketentuan dan peraturan-perundangan. Dengan demikian pada setiap langkahnya memiliki implikasi hukum, terutama yang berkenaan dengan penggunaan uang negara.

Berbeda dengan pengadaan tanah yang dilakukan oleh pihak swasta, misalnya dalam pengadaan tanah untuk membangun perumahan atau pusat perbelanjaan, ketentuan yang diterapkan relatif lebih fleksibel. Oleh karena itu, sosialisasi yang memadai dan penyamaan persepsi terutama dikalangan penegak hukum, mengenai peraturan perundangan pengadaan tanah sangat dibutuhkan untuk mendukung kelancaran pelaksanaan tugas P2T yang nyata-nyata memiliki peran sentral dalam proses pengadaan tanah.

Penyempurnaan peraturan-perundangan tentang pengadaan tanah ke depan perlu memberikan ruang gerak yang memadai bagi P2T untuk melaksanakan tugasnya dengan efektif tanpa terkungkung rasa was-was. Di satu sisi P2T menghadapi langsung tuntutan masyarakat untuk memenuhi kepuasan nilai ganti rugi, pada sisi lain P2T juga perlu memastikan tiap langkahnya agar tidak bertentangan dengan koridor hukum, terutama menyangkut ketentuan penggunaan anggaran.

Disamping itu, hal lain yang juga mendasar untuk diperhatikan adalah perlunya harmonisasi antar kebijakan sektoral yang terkait pengadaan tanah. Pengadaan tanah untuk pembangunan Waduk Jatigede merupakan contoh konkrit dibutuhkannya harmonisasi tersebut. Dengan kawasan yang berskala besar, yakni 4.891 hektar, serta pengadaan tanah yang sudah berlangsung sejak 1982 namun belum kunjung selesai hingga sekarang, sangat dibutuhkan kesamaan persepsi dan political will di tingkat pusat, tidak hanya untuk mengapresiasi komitmen P2T serta pemerintah daerah terkait, tetapi juga untuk menjaga kredibilitas pemerintah di pandangan masyarakat setempat, yang sedemikian lama berada dalam situasi ketidakpastian.

Daftar Pustaka

Alchian, Armen A. dan Harold Demsetz.1972. Production, Information Costs, and Economic Organization. The American Economic Review. Vol.62,Issue 5, December: 777-795.

Benham, Alexandra dan Lee Benham. 2000. Measuring the Cost of Exchange. Dalam Claude Menard (ed.). Institutional,contracts and organizations: Perspektives from New Institutional Economics. UK and USA: Edward Eglar. Birner, Regina.1996. The Role of Livestock in Economic Depelovment: Theory and Empirical Evidence (The case of Sri Lanka).

Dissertation. Germany: Gottingen University. Unpublished.

---.1999. The role of Livestock in Economic Development: Theoretical Approaches and their Application in the case of Sri Lanka. England : Ashgate.

Coliins, Bruce M. dan Frank J. Fabozzi.1991. A Methodology for Measuring Transaction Costs. Financial Analysts Journal. Marc-April: 27-36.

Dietrich, Michael.1994. Transaction Costs Economics and Beyond: Towards a New Economics of the Firm. New York: Routledge.

Fahlbeck, Eric.1996.Eassays in Transaction Costs Economics. Swedish University of Agricultural Science (SLU). Sweden: Uppsala.

Freeman, John R.1989. Democracy and Markets: The Politic of mixed Economies. Ithaca: Cornell University Press.

Food and Agriculture Organization. 2003. The Design of Land Consolidation Pilot Projects in Central and Eastern Europe. Food and Agriculture Organization of The United Nations, Roma.

Furubotn, Eirik dan Rudolf Richter. 2000. Institutional and Economics Theory: The Contribution of the New Institutional Economics. Ann Arbor USA: The University of Michigan Press.

---.1991. The New Institutional Economics: An Assessment. Dalam Eirik G. Furubotn dan Rudolf Richter. (eds.). The New Institutional Economics: A Collection of Articles from the Journal of Institutional and Theoretical Economics.J.C.B. Mohr (Paul Siebeck). Germany: Tubingen.

Hart, Oliver.1995. Corporate Governance: Some Theory and Implications. The Economic Journal. Vol. 105, Issue 430, May:678-689.

Hartwick, J.M. and Olewiler, N.D. 1986. The Economics of Natural Resources Use. Harper & Rows, Inc. New York. Hira, Anil dan Ron Hira.2000. The Institutionalism: Contradictory Nations of Change. American Journal of Economics and

Sociology. Vol. 59, No. 2. April: 267-282.

Howe, C.W., 1979. Natural Resources Economics. Issue, Analysis and Policy. Jhon Wiley & Sons, Inc. Canada Jacoby, E.H. 1968. Agrarian Reconstruction. Food and Agriculture Organization of The United Nations, Roma.

Kherallah, Mylene dan Johann Kirsten.2001. The New Institutional Economics Application for Agricultural Policy Research in Developing Countries. MSSD Discussion Paper. No. 41, June. Washington DC: IFPRI.

Mburu, John.2002. Collaborative Management of Wildlife in Kenya: An Empirical Analysis of Stakeholders’ Participation, Costs and Incentives. Socioeconomic Studies on Rural Development. Vol. 130, Wissenschaftsverlag Vauk Kiel KG. North, Gary.1992. The Coase Theorem: A Study in Economic Epistemology. Texas: Institute fo Christian Economics. Nothale, D.W. 1982. Land Tennure System and Agricultural Production in Malawi. In Arntzen, J.W., L.D. Ngcongco and

S.D. Turner (Eds). Land Policy and Agriculture in Eastern and Southern Africa. Papers Presented at a Workshop in Gaborone, Bostwana, 14-19 February 1982.

Poulton, C., et al.1998. A New Institutional Economics Perspective on Current Policy Detabes. Dalam A. Dorward, et al.(eds.). Smallholder Cash Crop Production under Market Liberalization: A New Institutional Economics Perspective. Wallingford and New York: CAB International.

United Nations. 2005. Land Administration in The UNECE Region, Development Trends and Main Principles. Economic Comission for Europe, United Nations, Geneva.

Talkurputra, M.N.D, 1993. Policy and Implementation of Land Consolidation in Indonesia. In Land Readjustment and Urban Development. Seminar Proceedings of the 7th International Seminar, Denpasar City, Bali Province, 8-10 November 1993, Organized by State Ministry for Agrarian Affairs. Republic of Indonesia.

Vincent, JR., 1990. Rent Capture and the Feasibility of Tropical Forest Management. Land Economics Vol. 66 (May): 212-223. The Board of Regents of the University of Wisconsin System.

Wallis, Joe, Paul Kilerby, dan Brian Dollery.2004. Social Economics and Social Capital. International Journal of Social Economics. Vol. 31, No. 3: 239-258.

Wang, Ning. 2003. Measuring Transaction Costs: An Incomplete Survey. Chicago USA: Paper presented at the Conference on Transaction Costs organized by the Ronald Coase Institutions.

Williamson, Oliver E.1973. Markets and Hierarchies: Some Elementary Considerations. The American Economic Review. Vol. 63, Issue 2, May: 316-325.

Catatan Kaki

1 Pada kesempatan salah satu diskusi yang dilakukan dalam kajian ini, diperoleh informasi dari Pemda setempat bahwa dua peserta diskusi yang sangat vokal sebenarnya bukan merupakan warga di wilayah desa yang bersangkutan.

2 Dalam berbagai diskusi pengadaan tanah, sering ditanyakan mengapa pengadaan tanah oleh swasta lancar-lancar saja meski pada kawasan tanah berskala besar,

3 Rincian kategori dimuat dalam sub bab 4.1.

4 Perpres No. 65 tahun 2006 Pasal 10 ayat 2 berbunyi sebagai berikut ” Apabila setelah diadakan musyawarah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak tercapai kesepakatan, panitia pengadaan tanah menetapkan besarnya ganti rugi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 huruf a dan menitipkan ganti rugi uang kepada pengadilan negeri yang wilayah hukumnya meliputi lokasi tanah yang bersangkutan”

5 Empat belas (14) kategori lain yang turut dicakup dalam Perpres 36/2005 meliputi: Rumah sakit umum dan pusat kesehatan masyarakat; Peribadatan; Pendidikan atau sekolah; Pasar umum; Fasilitas pemakaman umum; Pos dan telekomunikasi; Sarana olah raga; Stasiun penyiaran radio, televisi dan sarana pendukungnya; Kantor Pemerintah, pemerintah daerah, perwakilan negara asing, Perserikatan Bangsa-Bangsa, dan atau lembaga-lembaga internasional di bawah naungan Perserikatan Bangsa-Bangsa; Fasilitas Tentara Nasional Indonesia dan Kepolisian Negara Republik Indonesia sesuai dengan tugas pokok dan fungsinya; Lembaga pemasyarakatan dan rumah tahanan; Rumah susun sederhana; Pertamanan; Panti sosial.

6 Mekanisme penunjukkan kuasa masyarakat oleh warga yang bersangkutan diberlakukan tidak hanya untuk mempermudah proses musyawarah karena banyaknya jumlah Kepala Keluarga (KK)/ rumah tangga yang terkena pengadaan tanah, tetapi juga untuk melakukan komunikasi yang lebih intensif dengan warga yang cenderung resisten.

7 Lembaga/Tim Penilai Harga Tanah adalah lembaga/tim yang profesional dan independen untuk menentukan nilai/harga tanah yang akan digunakan sebagai dasar guna mencapai kesepakatan atas jumlah/besarnya ganti rugi. (Perpres 36/2005 jo Pepres 65/2006)

Kebijakan Mengenai