• Tidak ada hasil yang ditemukan

PERBANDINGAN BUDAYA POLITIK DI INDONESIA

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "PERBANDINGAN BUDAYA POLITIK DI INDONESIA"

Copied!
13
0
0

Teks penuh

(1)

M A K A L A H

TEORI PERBANDINGAN POLITIK

BUDAYA POLITIK

PERBANDINGAN BUDAYA POLITIK DI INDONESIA DAN DI

MALAYSIA

Oleh:

Faizul Ibad

(2012130017)

FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK

UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH JAKARTA

(2)

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang

Aristoteles mengatakan bahwa manusia merupakan zoon politicon artinya manusia

merupakan makhuluk yang selalu hidup bermasyarakat. Manusia akan selalu berinteraksi dengan

manusia yang lainnya untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Untuk memenuhi kebutuhan

hidupnya itu, manusia tidak lepas dari aspek-aspek politik. Hal ini dikemukakan oleh Ibnu

Khaldun dalam bukunya Mukaddimah yang mengatakan bahwa salah satu yang membedakan

manusia dengan makhluk yang lain yaitu manusia merupakan makhluk politik yang memerlukan

kekuasaan untuk mengatur kehidupannya.

Setiap warga negara, dalam kesehariannya hampir selalu bersentuhan dengan aspek aspek

politik praktis baik yang bersimbol maupun tidak. Dalam proses pelaksanaannya dapat terjadi

secara langsung atau tidak langsung dengan praktik-praktik politik. Jika secara tidak langsung,

hal ini sebatas mendengar informasi, atau berita-berita tentang peristiwa politik yang terjadi. Dan

jika seraca langsung, berarti orang tersebut terlibat dalam peristiwa politik tertentu. Karena

manusia tidak lepas dari politik, ditandai dengan adanya interaksi yang kuat antara institusi

pemerintah dengan warga negaranya. Interaksi ini menghasilkan dan membentuk variasi

pendapat, pandangan dan pengetahuan tentang praktik-praktik perilaku politik dalam semua

sistem politik. Karenanya kita sering melihat reaksi masyarakat terhadap sistem politik yang ada,

respon masyarakat terhadap sistem politik ini meliputi respon masyarakat terhadap negaranya,

pemerintahannya, kebijakan yang dikeluarkan oleh para pembuat kebijakan, dan prilaku para elit

(3)

Budaya politik merupakan bagian dari kebudayaan masyarakat dengan ciri-ciri yang lebih

khas. Budaya politik identik dengan masalah-masalah legitimasi, kegiatan partai politik,

kebijakan pemerintah, prilaku para elit politik, pengaturan kekuasaan, serta respon masyarakat

terhadap kekuasaan yang memerintah. Prilaku budaya politik disetiap negara mungkin

berbeda-beda dan ini disebabkan oleh beberapa faktor, mulai dari faktor ekonomi, pendidikan, teknologi

dan lain sebagainya. Faktor ekonomi merupakan faktor terpenting untuk menganalisis budaya

politik di negara- negara maju dan berkembang. Dalam prakteknya terdapat perbedaan budaya

politik di negara berkembang dengan negara maju, budaya politik di negara-negara maju telah

mencapai tingkatan partisipan. Budaya politik partisipan ditandai dengan kesadaran politik yang

sangat tinggi, masyarakat aktif dalam kegiatan politik, anggota masyarakatnya sudah memiliki

pemahaman yang baik tentang sistem politik dan terlibat secara langsung dalam sistem politik.

Sedangkan budaya politik di negara-negara berkembang masih berada pada level parokial dan

yang tertinggi pada tingkat kaula (subjek) yang ditandai dengan masyarakatnya yang relative

maju baik sosial maupun ekonominya akan tetapi masih bersifat pasif terhadap sistem politik

yang ada.

Dalam penulisan makalah ini penulis akan membandingkan budaya politik Indonesia

dengan Malaysia. Hal ini menurut penulis sangat penting untuk dikaji karena Indonesia dan

Malaysia merupakan dua negara yang mayoritas penduduknya berasal dari ras melayu. Kita

dapat melihat sekarang ini perbedaan yang nyata antara Indonesia dan Malaysia baik dari segi

ekonomi, pendidikan bahkan dari segi politik. Di Malaysia misalnya yang mayoritas

penduduknya berasal dari ras melayu, dari segi sistem politik di negara tersebut mayoritas di

duduki oleh sebagian besar ras melayu yang tergabung dalam UMNO (United Malay Nationalist

(4)

sektor-sektor politik, bukan berarti dengan sedikitnya ras India dalam sistem perpolitikan di Malaysia

menandakan adanya diskriminasi sosial, justru karena rakyat Malaysia lebih memilih

orang-orang dari ras melayu ketimbang dari ras lain yang menduduki sistem politik, mereka (ras

melayu) dianggap mengerti akan kebutuhan rakyat Malaysia. Selain ras India, ras lain seperti ras

China juga tidak terlalu focus pada politik, melainkan ras China di Malaysia terfokus pada sector

perdagangan. Dari faktor tersebut menunjukkan secara tidak langsung terjadi pengelompokkan

kelas dilihat dari faktor ras. Sedangkan di Indonesia hampir mayoritas penduduk Indonesia

berasal dari ras melayu, khususnya di pulau Jawa yang menjadi konsentrasi perpolitikan di

Indonesia. Sehingga ras-ras lain seperti ras China itu lebih banyak menguasai sector perdagangan

sama halnya seperti di Malaysia. Maka dari itu, kita dapat membandingkan kedua negara

tersebut dilihat dari segi budaya politiknya. Di Malaysia misalnya pada pemilihan raya yang

dilakukan pada bulan Mei tahun 2013 kemarin menunjukkan tingkat partisipasi rakyat Malaysia

dalam pemilihan raya tahun 2013 sebanyak 80% dari jumlah total 12.992.661 pemilih

menggunakan hak pilihnya.1 Ini menunjukkan bahwa tingkat partisipasi politik masyarakat Malaysia

cukup tinggi. Memang pemilu raya Malaysia tahun 2013 tidak menjadi patokan utama untuk mengukur sekaligus membandingkan tingkat partisipasi politik dengan Indonesia, karena Indonesia sendiri melaksanakan pemilihan umumnya pada April tahun 2014 yang akan datang. Tetapi setidaknya kita dapat mendeskripsikan tingkat partisipasi politik di Malaysia yang cukup tinggi.

(5)

BAB II

PEMBAHASAN

Pengertian Budaya Politik

Pengertian budaya politik secara umum merupakan sistem nilai dan keyakinan yang

dimiliki bersama oleh masyarakat. Namun, setiap unsur masyarakat berbeda pula budaya

politiknya, seperti antara masyarakat umum dengan para elit politiknya. Sedangkan pengertian

budaya politik menurut Almond dan Verba adalah suatu sikap orientasi yang khas warga negara

terhadap sistem politik dan aneka ragam bagiannya, dan sikap terhadap peranan warga negara

yang ada di dalam sistem itu. Menurut Almond dan Verba mendefinisikan budaya politik sebagai

suatu sikap orientasi yang khas warga negara terhadap sistem politik dan aneka ragam

bagiannya, dan sikap terhadap peranan warga negara yang ada di dalam sistem itu. Orientasi

disini termasuk pengetahuan atau kepercayaan, perasaan atau afeksi, dan evaluasi atau penilaian

terhadap sistem politik secara umum, input dan output politik, dan peranan seseorang dalam

sistem politik.2 Sedangkan menurut Ronald H. Chicote bahwa budaya politik terdiri dari serangkaian keyakinan, symbol-simbol, dan nilai-nilai yang melatarbelakangi situasi dimana

suatu peristiwa politik terjadi. Ronald berpandangan bahwa budaya politik merupakan ciri dari

sistem politik yang bersangkutan.3

Pada prakteknya budaya politik lebih mengedepankan aspek-aspek non- prilaku actual

berupa tindakan, akan tetapi lebih banyak mengedepakan aspek non actual seperti orientasi,

nilai-nilai dan kepercayaan. Pandangan Almond memandang bahwa budaya politik merupakan

2 Saiful Mujani, Muslim Demokrat: Islam, budaya demokrasi, dan partisipasi politik di Indonesia pasca Orde Baru,(Jakarta: Gramedia, 2007) hlm. 3

(6)

dimensi psikologis dari sebuah sistem politik yang juga memiliki peranan penting berjalannya

sebuah sistem politik.

Almond dan Verba meyakini bahwa variasi dalam orientasi politik menghasilkan tiga

jenis budaya politik:4 budaya politik parokial, budaya politik subjek (kaula), dan budaya politik partisipan. Pertama budaya politik parokial terjadi pada masyarakat dimana orang-orangnya

sama sekali tidak menyadari atau mengabaikan adanya pemerintahan dan politik. Hal ini terjadi

karena faktor geografis misalnya masyarakat yang tinggal di daerah terpencil atau peloksok

sehingga mereka kekurangan informasi tentang politik, karena daerahnya yang jauh ditambah

dengan infrastrukturnya yang masih kurang memadai. Tipe budaya politik seperti ini terjadi pada

negara berkembang. Kedua budaya politik subjek atau kaula ditandai dengan masyarakatnya

yang patuh terhadap pemerintah dan undang-undang, tetapi tidak melibatkan diri dalam politik

ataupun memberi suara dalam pemilihan. Ketiga budaya politik partisipan terjadi pada

masyarakat yang orang-orangnya melibatkan diri dalam kegiatan politik atau paling tidak dalam

kegiatan pemberian suara serta memperoleh informasi yang cukup banyak tentang politik. Pada

tahap partisipan ini budaya politik bisa dianggap baik.

Dari dikotomi diatas tentang pembagian budaya politik untuk konteks Indonesia

nampaknya sangat sulit bisa di kategorikan Indonesia masuk ke budaya politik partisipan, subjek

atau parokial. Hal ini disebabkan karena faktor sosial, ekonomi dan politik, satu sisi terdapat

wilayah yang partisipasi politiknya tinggi ditandai dengan rakyatnya sudah modern,

berpartisipasi aktif dalam sistem politik baik secara langsung ataupun tidak langsung

mempengaruhi kehidupan politik. Sedangkan disisi lain terdapat masyarakat yang sulit untuk

terlibat dalam sistem politik karena berbagai faktor seperti faktor geografis, ekonomi, teknologi

informasi dan masih banyak faktor-faktor lainnya. Faktor geografis misalnya, Indonesia

(7)

merupakan negara yang luas dengan banyaknya pegunungan yang tinggi mengakibatkan

kehidupan sosial masyarakat khususnya yang tinggal di daerah pegunungan ditambah lagi

dengan kurangnya infrastruktur yang memadai membuat masyarakatnya terbelakang, dan apatis

terhadap politik karena kurangnya pengetahuan mereka tentang politik. Dengan demikian,

masyarakat Indonesia sebenarnya terfragmentasi ke dalam budaya politik yang berbeda-beda. Di

kebanyakan kota besar di Indonesia dengan kehidupan masyarakatnya yang modern, serta sangat

mudah memperoleh informasi mungkin budaya politiknya tergolong kepada budaya politik

partisipan. Sedangkan di daerah peloksok pegunungan dan pedesaan budaya politik subjek lah

yang dominan.

Budaya Politik di Indonesia

Indonesia merupakan negara yang termasuk dalam kategori negara berkembang,

Indonesia memiliki karakteristik budaya politik yang bersifat patrimonial. Budaya politik

patrimonialisme berjalan atas prinsip hubungan antara penguasa dengan yang dikuasai.

Hubungan ini merupakan hubungan yang bersifat tradisional, dimana para penguasa menjamin

keberlangsungan hidup orang-orang yang dikuasainya terkait ekonomi, kesejahteraan, keamanan

dan lainnya. Sedangkan yang dikuasai merupakan objek dari segara kebijakan yang dijalankan

oleh penguasa. Menurut Max Weber, patrimonialisme merupakan pola relasi kekuasaan antara

seorang patron dan client, dimana objek ketaatan terhadap otoritas pribadi yang dia nikmati

berpijak pada status tradisional. Kelompok yang menjalankan organisasi yang menjalankan

otoritas, dalam kasus yang paling sederhana terutama berdasar pada hubungan loyalitas individu

yang dikembangkan melalui proses pendidikan. Individu yang menjalankan otoritas bukanlah

orang yang “hebat” tetapi seorang “pemimpin”. Staf administratifnya tidak terdiri dari para

(8)

pemimpin bukanlah kewajiban kantor yang bersifat impersonal, tetapi loyalitas individu kepada

sang pemimpin (Max Weber & Talcott Parsons, hlm. 341,1968). Hal ini senada dengan apa yang

dikatakan Mosca dalam bukunya The Rulling Class yang mengatakan bahwa ada beberapa orang

yang jumlahnya sedikit (rulling class) yang mengendalikan sejumlah besar orang lainnya (rulled

class) yang menggunakan otoritas kekuasaannya untuk mengatur masyarakat (Mosca, hlm.51,

1939).

Indonesia adalah negara yang memiliki beragam suku bangsa tersebar dari Sabang (ujung

Barat) sampai dengan Merauke (ujung Timur). Dengan keragaman tersebut Indonesia menjadi

negara yang sangat multi kultural. Keragaman kebudayaan ini juga berakibat pada budaya politik

apa yang ada pada masyarakat tersebut. Dilihat dari budaya politiknya, Indonesia mayoritas

masih bersifat subyek dan parokial. Artinya masih sedikit masyarakat yang berbudaya partisipan.

Tetapi jangan kita bandingkan tingkat partisipan negara Indonesia dengan negara yang

penduduknya sedikit seperti Singapura. Walaupun tingkat partisipasi penduduk Singapura tinggi

terhadap politik, tentu hal ini sama atau bahkan lebih dengan tingkat partisipasi rakyat Indonesia

yang jumlah penduduknya sangat banyak dibandingkan dengan Singapura. Tingkat budaya

politik di Indonesia yang masih rendah disebabkan oleh berbagai faktor, diantaranya adalah

tingkat pendidikan yang masih rendah. Masyarakat yang berada pada level Sarjana ke atas masih

sangat minim dan belum bisa mengimbangi jumlah Masyarakat yang berpendidikan SMA ke

bawah. Selain dari segi pendidikan yang masih rendah, tingkat ekonomi mayoritas masyarakat

Indonesia juga masih berada pada kategori miskin dan kurang mampu. Hanya segelintir

masyarakat saja yang berada pada ekonomi atas dan sebagian lainnya pada posisi level

menengah. Masih kurangnya masyarakat yang dapat mengakses informasi melalui media surat

(9)

yang ada. Kondisi geografis Indonesia yang tersebar dalam banyak pulau (maritim), secara

geopolitik mempengaruhi budaya politik masyarakatnya. Kondisi tersebut menjadikan

masyarakat Indonesia pada posisi masyarakat yang cenderung pasif serta apatis terhadap setiap

kebijakan pemerintah dan enggan untuk ikut aktif dalam sistem perpolitikan di Indonesia.

Sehingga masyarakat Indonesia cenderung ikut-ikutan tanpa mengetahui proses politik yang

terjadi.

Budaya Politik di Malaysia

Malaysia merupakan sebuah negara yang masyarakatnya terbagi kedalam tiga ras besar,

yakni Melayu, Cina dan India. Adanya pembagian atas tiga ras besar ini mengakibatkan

kebudayaan politik di Malaysia cenderung berdasarkan kaum dan etnik. Karakteristik ini sudah

mengakar sejak terjadinya penjajahan Inggris di Malaysia. Kebijakan Inggris pada saat itu terkait

perdagangan, pertanian, pendidikan dan kewarganegaraan berakibat pada menonjolnya

perbedaan etnis ini. Selain itu, pada tahun 1950-an terjadi bargaining politik antara UMNO

(United Malay Nationalist Organizations) dengan MCA (Malayan Chinesse Asscotiation) dan

MIC (Malayan Indian Congress). Dalam hal ini UMNO menerima permintaan yang ditawarkan

oleh pemerintah Inggris untuk bekerja sama dengan orang yang bukan Melayu dalam

mewujudkan kewarganegaraan yang liberal, yang merupakan tuntutan MCA dan MIC. Hal ini

terbukti berhasil menjadi solusi alternatif terkait identitas kebudayaan, akan tetapi

mengakibatkan semakin kentalnya pembagian etnik dan kaum tersebut. Adapun sebab utama

yang menimbulkan masalah etnik dalam kehidupan sosial masyarakat Malaysia meliputi.

Pertama dalam bidang ekonomi dan politik terjadi perebutan kekuasaan. Banyak para calon

pemimpin yang akan maju pada pemilihan umum di Malaysia menggunakan isu etnik dan agama

(10)

politik berdasarkan etnik. Ketiga media massa di Malaysia dimiliki oleh masing-masing etnik.

Faktor-faktor tersebutlah yang sangat mempengaruhi terhadap kondisi politik di Malaysia,

dimana terjadi preferensi politik masyarakat Malaysia berdasarkan etnik dan agama. Isu-isu

politik yang sering diwacanakan oleh para elit-elit politik juga tidak pernah jauh dari

kepentingan kaum ataupun elit yang diwakilinya, sehingga konflik politik yang terjadi cenderung

pada konflik politik kepentingan antara etnis yang satu dengan yang lain. 

Dengan adanya budaya politik perkauman (golongan) yang terjadi di Malaysia dapat

mempengaruhi kepemimpinan politik nasional Malaysia yang juga mencirikan etnik dan

perkauman. Hal ini dapat kita lihat dari ciri-ciri masyarakatnya. Pertama terdapat strukturisasi

dari komponen-komponen masyarakat di Malaysia, dimana etnik melayu menempati strata

teratas dalam struktur sosial di Malaysia. Kedua faktor agama khususnya Islam yang menjadi

agama nasional dijadikan sebagai wadah perjuangan politik. Ketiga faktor hukum nasional yang

telah mendorong terwujudnya pemerintahan yang bersih dan jujur. Keempat ciri dan tingkat

kemajuan sosio-ekonomi masyarakat kota dan desa. Sehingga terjadi perbedaan daerah

dukungan dikalangan partai politik yang besar, yaitu masyarakat pedesaan menjadi pendukung

partai pemerintah, sedangkan di daerah perkotaan lebih banyak mendukung partai oposisi.5 Ras melayu sebagai ras yang dominan di Malaysia memanfaatkan politik perkauman yang bercirikan

etnik dan agama sebagai kekuatan politik dalam memenangkan kontestasi politik nasional

Malaysia.

(11)

BAB III PENUTUP

Analisis Dan Kesimpulan

Indonesia dengan budaya politik patrimonial cenderung lebih menghindari politik perkauman

yang berbasiskan etnis dan agama, karena konsep Negara kesatuan yang dituangkan dalam

slogan negara Bhinneka Tunggal Ika, yakni “berbeda-beda tapi tetap satu” telah sukses

menciptakan budaya politik nasional dengan sebuah identitas nasional serta pembauran yang luas

di kalangan etnis-etnis masyarakat. Akan tetapi, hal ini tetap mendapatkan kritik karena masih

timbul konflik-konflik antar etnis di sebagian kecil wilayah, namun konflik yang terjadi bukan

merupakan konflik politik, melainkan konflik social. Hal ini tentu tidak mempengaruhi system

politik dan stabilitas politik secara langsung. Namun walaupun demikian, kebijakan pemerintah

dalam menghadapi konflik-konflik sosial ini harus bersifat strategis, karena konflik ini juga

dapat berubah menjadi konflik politik baik di daerah maupun di tingkat nasional. Dapat kita lihat

partai-partai pemenang di Indonesia merupakan partai nasionalis, bukan partai yang berbasiskan

agama. Bahkan di Indonesia tidak ada satu partai politik pun yang merepresentasikan satu etnik

atau ras tertentu, sehingga konsolidasi kebudayaan kedalam politik menjadi perilaku politik yang

tidak terpecah pada perkauman maupun etnik dan agama. Berbeda dengan Malaysia yang

didalam system politiknya terbagi kedalam budaya politik perkauman dan partai politik yang ada

pun merupakan representasi dari ras ataupun agama, Konflik politik yang terjadi cenderung pada

(12)

tetapi, kebijakan para pemimpin nasional Malaysia ternyata sampai dengan saat ini masih bisa

mengendalikan harmonisasi pertarungan politik yang terjadi, sehingga stabilitas politik nasional

terlihat lebih terjaga dan tidak adanya gangguan yang berarti akibat budaya politik perkauman

(13)

DAFTAR PUSTAKA

Alfitra Salam, Dimensi Kepemimpinan dalam Masyarakat Kewargaan dalam Politik Malaysia,

Makalah dalam Seminar Nasional AIPI XII di Kupang, 24-26 Januari 1995.

Budi Winarno, Sistem Politik Indonesia era Reformasi, Jakarta: Gramedia, 2007

Ronald H. Chicote, Teori Perbandingan Politik; Penelusuran Paradigma Jakarta:

RajaGrafindo,2003

Saiful Mujani, Muslim Demokrat: Islam, budaya demokrasi, dan partisipasi politik di Indonesia

pasca Orde Baru, Jakarta: Gramedia, 2007

Referensi

Dokumen terkait

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk menggambarkan secara umum tingkat pertisipasi politik masyarakat di dalam pemilu legislatif 2009.. Budaya politik adalah kesadaran

Peran pendeta dalam meningkatkan partisipasi politik masyarakat lewat pendidikan politik dan sosialisasi politik pada pemilu legislatif tahun 2014 di Kabupaten Halmahera

Politik Hukum Islam di Indonesia dan Malaysia... 2,

Berdasarkan penelitian ”Peran KPUR melalui Media Sosial dalam Upaya Meningkatkan Partisipasi Politik Mahasiswa pada Pemilu Raya Prodi PPKn Unesa Periode 2016-2017”

Pemilu 1999 diikuti oleh 48 partai politik, yaitu: Partai Indonesia Baru, Partai Kristen Nasional Indonesia, Partai Nasional Indonesia – Supeni, Partai Aliansi Demokrat

Seiring dengan perubahan sistem politik di Indonesia, utamanya dalam Pemilu 2009, dengan masa kampanye lebih lama dan sistem suara terbanyak, membuat komunikasi dan pencitraan

Namun adanya masyarakat yang masih pasif akan politik, itu tidak bisa mengentikan sekelompok masyarakat yang telah memiliki kesadaran dalam berpolitik hingga Indonesia dapat

Pendapat lain menyatakan bahwa di Indonesia berkembang budaya politik elit , terdiri dari kaum pelajar yang berpengaruh dan lebih berperan dalam pemerintahan, dan budaya