• Tidak ada hasil yang ditemukan

Karakteristik Penderita Hipertensi dengan Stroke yang Dirawat Inap di Rumah Sakit Umum Kabanjahe Tahun 2011-2015

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Karakteristik Penderita Hipertensi dengan Stroke yang Dirawat Inap di Rumah Sakit Umum Kabanjahe Tahun 2011-2015"

Copied!
32
0
0

Teks penuh

(1)

2.1.1 Tekanan Darah

Tekanan darah adalah tekanan yang diberikan oleh darah pada dinding pembuluh darah dalam ukuran milimeter merkuri (mmHg). Pengaturan tekanan darah adalah proses yang kompleks menyangkut pengendalian ginjal terhadap natrium dan retensi air, serta pengendalian sistem saraf terhadap tonus pembuluh darah (Baradero dkk, 2008).

Tekanan darah dibedakan antara tekanan darah sistolik dan tekanan darah diastolik. Tekanan darah sistolik adalah tekanan tertinggi yang disebabkan oleh pengerutan bilik jantung sedangkan tekanan darah diastolik adalah tekanan terendah yang disebabkan oleh pembesaran bilik jantung (Shadine,2010).

WHO menetapkan bahwa tekanan darah normal yaitu bila tekanan sistolik dibawah 140 mmHg,dan tekanan diastolik dibawah 90 mmHg. Sepanjang hari tekanan darah akan berubah-ubah tergantung pada aktivitas tubuh, latihan yang berat dan stress cenderung meningkatkan tekanan darah sedangkan dalam keadaan berbaring atau istirahat tekanan darah akan turun kembali (Shadine,2010).

(2)

sebelumnya tidak dibenarkan minum zat perangsang (stimulan) seperti teh, kopi, dan minuman ringan yang mengandung kafein. Pasien duduk dengan lengan setinggi jantung. Kemudian meraba denyut nadi radialis pada sisi ipsilateral dan kembangkan karet sphymonomanometer secara bertahap sampai tekanan sistolik 20 mmHg diatas titik di mana denyut nadi radialis menghilang. Kempiskan karet kurang lebih 2 mmHg per detik, catat titik pertama pulsasi yang terdengar (bunyi Korotkoff pertama) yang merupakan tekanan darah sistolik dan titik dimana bunyi pulsasi menghilang ( bunyi Korotkoff ke-5) yang sekarang secara universal diakui sebagai tekanan diastolik, bukannya bunyi gemuruh (Korotkoff ke-4) yang digunakan dalam definisi lama. Mengukur tekanan darah minimal 2 kali dengan jarak cukup lama paling sedikit 5-10 menit (Gray dkk, 2003).

Peningkatan tekanan darah yang bersifat sementara disebabkan oleh perasaan gembira atau cemas (ketakutan) bukan merupakan Hipertensi tetapi dapat menjadi petunjuk adanya kecenderungan untuk menjadi Hipertensi pada suatu saat. Pemantauan tekanan darah selama 24 jam secara ambulator dapat berguna untuk mengevaluasi pasien dengan tekanan darah perbatasan atau tekanan darah yang berubah-ubah, hampir 20% dari mereka tidak terbukti mengalami Hipertensi dan gejala hipotensif yang mungkin tejadi akibat pengobatan (Lawrence dkk, 2002).

(3)

2.1.2 Hipertensi

Hipertensi atau tekanan darah tinggi adalah suatu keadaan dimana seseorang mengalami peningkatan tekanan darah diatas normal yang mengakibatkan peningkatan angka kesakitan (morbiditas) dan angka kematian (mortalitas) (Dalimartha, 2008). Hipertensi juga didefinisikan sebagai peningkatan tekanan darah sistolik ≥ 140 mmHg dan tekanan darah diastolik ≥ 90 mmHg pada dua kalipengukuran dengan selang waktu lima menit dalam keadaan cukup istirahat/tenang (Price dan Wilson, 2006).

Hipertensi sebagai penyakit The Sillent Killer biasanya menunjukkan gejala non-spesifik selama bertahun-tahun, sampai terjadi kerusakan organ target penyakit serebrovaskuler yaitu stroke, penyakit vaskuler yakni penyakit jantung koroner, dan gagal ginjal yakni kerusakan renovaskular dan kerusakan glomerulus (Davey, 2005).

(4)

Terdapat juga korelasi langsung antara tekanan darah dan risiko penyakit kardiovaskuler; Semakin tinggi tekanan darah , semakin besar risiko terkena stroke dan penyakit jantung koroner (Joewono dan Prabowo, 2003).

Peningkatan tekanan darah di dalam arteri terjadi melalui beberapa cara, yaitu (Shadine,2010) :

a. Jantung memompa lebih kuat sehingga mengalirkan lebih banyak cairan pada setiap detiknya.

b. Arteri besar kehilangan kelenturannya dan menjadi kaku, tidak dapat mengembang pada saat jantung memompa darah melalui arteri tersebut. Karena itu darah pada setiap denyut jantung dipaksa untuk melalui pembuluh yang sempit daripada biasanya dan menyebabkan naiknya tekanan darah. Inilah yang terjadi pada saat usia lanjut, dinding arterinya telah menebal dan kaku karena arteriosklerosis. Dengan cara yang sama, tekanan darah juga meningkat pada saat terjadi “vasokonstriksi”, yaitu jika arteri kecil (arteriola) untuk sementara waktu

mengkerut karena perangsangan saraf atau hormon didalam darah.

(5)

2.2 Klasifikasi Hipertensi

2.2.1 Berdasarkan Etiologi

a. Hipertensi Primer/Hipertensi Esensial

Hipertensi yang penyebabnya tidak diketahui (idiopatik), walaupundikaitkan dengan kombinasi faktor gaya hidup seperti kurang bergerak (inaktivitas) dan pola makan yang tidak terkontrol mengakibatkan kelebihan berat badan bahkan obesitas, merupakan pencetus awal untuk terkena Hipertensi. Terjadi pada sekitar 90% penderita Hipertensi (Kemenkes RI, 2015). Hipertensi primer biasanya muncul pada penderita yang berusia 25-55 tahun, sedangkan usia dibawah 20 tahun jarang ditemukan (Lawrence dkk, 2002).

Hipertensi esensial, primer, atau idiopatik sulit dalam penjelasan mekanisme yang bertanggungjawab terhadap Hipertensi, disebabkan oleh berbagai sistem yang terlibat dalam pengaturan tekanan arteri perifer dan adrenergik sentral, renal, hormonal, dan vaskuler dan kompleksnya hubungan sistem-sistem ini satu dengan lainnya (Isselbacher dkk, 2000).

(6)

b. Hipertensi Sekunder/Hipertensi Non Esensial

Kondisi dimana terjadinya peningkatan darah tinggi sebagai akibat seseorang mengalami penyakit lainnya seperti gagal ginjal atau kerusakan sistem hormon tubuh. Pada sekitar 5-10% penderita Hipertensi, penyebabnya adalah penyakit ginjal (Kemenkes RI, 2015).

Penyakit parenkim ginjal/glomerulenofritis dan gagal ginjal menyebabkan hipertensi dependen renin atau natrium. Perubahan fisiologis dipengaruhi oleh macamnya penyakit dan beratnya insufisiensi ginjal. Penyakit renovaskuler yaitu berkurangnya perfusi ginjal karena aterosklerosis atau fibrosis yang membuat arteri renalis menyempit; menyebabkan tahanan vaskuler perifer meningkat (Baradero dkk, 2008).

Pada sekitar 1-2%, adalah kelainan hormonal (Hiperaldosteronisme, Syndroma Cushing, Feokromositoma, Koarktasi aorta) (Kemenkes RI, 2015). Hiperaldosteronisme menyebabkan retensi natrium dan air, yang membuat volume darah meningkat, syndroma cushing juga menyebabkan volume darah meningkat, jika volume darah dalam tubuh meningkat, sehingga tekanan darah juga meningkat (Shadine, 2010 dan Goldzmidt, 2011).

(7)

Koarktasi aorta menyebabkan tekanan darah meningkat pada ekstremitas atas dan berkurangnya perfusi pada ekstremitas bawah (Baradero dkk, 2008). Itu ditandai dengan denyut arteri pada ektremitas inferior tidak ditemukan, terlambat, atau menghilang, terutama pada pasien kurang dari 30 tahun (Goldszmidt, 2011).

Pemakaian obat tertentu juga sebagai penyebab terjadinya hipertensi sekunder (misalnya pil KB, kortikosteroid, siklosporin, kokain, eritropoietin, penyalahgunaan alkohol) (Kemenkes RI, 2015 dan Shadine, 2010).

2.2.2 Klasifikasi Penggolongan Hipertensi Berdasarkan TDS dan TDD

Klasifikasi Hipertensi dibedakan atas usia individu. Tekanan darah berfluktuasi dalam batas-batas tertentu, tergantung posisi tubuh, umur, dan tingkat stres yang dialami. Klasifikasi Hipertensi berdasarkan kelompok usia yaitu pada bayi dikatakan tekanan darah normal apabila memiliki tekanan darah 80/40 mmHg dan Hipertensi apabila memiliki tekanan darah 90/60 mmHg (Tambayong, 2000).

Pada anak usia 7-11 tahun memiliki tekanan darah normal 100/60 mmHg dan Hipertensi apabila memiliki tekanan darah 120/80 mmHg. Pada remaja 12-17 tahun memiliki tekanan darah normal 115/70 mmHg dan Hipertensi apabila memiliki tekanan darah 130/80 mmHg (Tambayong, 2000).

(8)

tekanan darah normalnya yaitu 150/85 mmHg dan Hipertensi apabila memiliki tekanan darah 160/95 mmHg (Tambayong, 2000).

Menurut The Seventh Report of The Joint National Committe on Prevention, Detection, Evaluation, and Treatment of High Blood Pressure (JNC7) tahun 2003 yang berpusat di Amerika, klasifikasi tekanan darah pada orang dewasa umur ≥ 18 tahun terbagi menjadi kelompok normal, praHipertensi, Hipertensi derajat 1 dan Hipertensi derajat 2 ( Sudoyo dkk, 2010).

a. Normal dengan TDS < 120 mmHG dan TDD <80 mmHg

b. PraHipertensi dengan TDS 120 – 139 mmHg dan TDD 80 – 89 mmHg c. Hipertensi derajat 1 dengan TDS 140 – 159 mmHg dan TDD 90 – 99mmHg d. Hipertensi derajat 2 dengan TDS ≥ 160 mmHg dan TDD≥ 100 mmHg

Ada beberapa klasifikasi dan pedoman penanganan Hipertensi lain dari WHO dan International society of hipetension (ISH), dari Europe society of hypertension (ESH), British Hypertension society (BSH), tetapi umumnya digunakan JNC 7 ( Sudoyo dkk, 2010).

2.3 Komplikasi Hipertensi

(9)

2.3.1 Hipertensi dengan Stroke

Hipertensi sebagai faktor risiko utama stroke dan termasuk ke dalam 4 faktor risiko mayor dari stroke selain transient ischemic attack, hipercholesterolemia, dan diabetes mellitus (Bustan, 2007). Tekanan darah yang diukur di lengan bisa berubah naik turun, tetapi tekanan aliran darah diotak dipertahankan stabil tanpa banyak perubahan. Kemampuan untuk mempertahankan aliran darah ke otak agar tetap stabil disebut autoregulasi. Kemampuan autoregulasi ini memungkinkan otak untuk menghindarkan diri dari gejolak tekanan darah yang terjadi (July, 2013).

Jika tekanan darah meningkat, maka pembuluh darah otak akan menciut untuk mengimbangi tekanan darah tersebut sehingga aliran darah di otak tetap stabil. Sebaliknya jika tekanan darah menurun, maka pembuluh darah otak akan melebar (dilatasi) sehingga memudahkan aliran darah ke otak (Kontos HA et al., 1978). Namun demikian, autoregulasi ini hanya berfungsi dalam ambang tekanan tertentu, yaitu 90-180 mmHg tekanan darah arteri (Kontos HA et al., 1978; Harper AM, 1996). Oleh karena tekanan sistolik merupakan tekanan darah arteri yang paling tinggi, maka ambang tekanan untuk autoregulasi sebenarnya ditentukan oleh tekanan sistolik (July, 2013).

(10)

tekanan dalam pembuluh darah otak bisa 110 mmHg, atau 160 mmHg, atau bahkan 200mmHg. Tidak ada lagi mekanisme yang melindungi pembuluh darah otak sebagai konsekuensinya, pembuluh darah tersebut bisa pecah, sehingga terjadi perdarahan dan inilah yang disebut dengan stroke perdarahan karena Hipertensi (July, 2013).

Sedikit berbeda dengan kejadian stroke penyumbatan. Dalam penelitiam Mackenzie dkk, pada tahun 1976 memperlihatkan bahwa sejalan dengan peningkatan tekanan darah, maka pembuluh darah otak akan semakin menciut. Penciutan tersebut terus berlangsung hingga tekanan darah 180 mmHg (Mackenzie ET et al., 1976). Pembuluh darah otak yang menciut ( spasme) akan mengurangi aliran darah ke otak, jika penciutan tersebut parah maka otak tidak mendapatkan aliran darah. Inilah yang disebut dengan stroke penyumbatan yang disebabkan oleh Hipertensi (July, 2013).

(11)

dengan perdarahan pada daerah yang tadinya tersumbat aliran darahnya (July, 2013).

Stroke ditandai dengan rasa baal atau kesemutan pada salah satu sisi tubuh, gangguan bicara, penglihatan, pusing, dan sampai kehilangan keseimbangan. Penderita Hipertensi memiliki faktor risiko stroke empat hingga enam kali lipat dibandingkan orang yang tanpa Hipertensi dan sekitar 40% hingga 90% ternyata menderita Hipertensi sebelum terkena stroke (Shadine, 2010). 2.4 Klasifikasi Stroke

2.4.1 Stroke Non Hemoragik (Iskemik)

Stroke Iskemik disebabkan oleh oklusi pembuluh darah otak yang kemudian menyebabkan terhentinya pasokan oksigen dan glukosa ke otak dan sering diakibatkan oleh trombosis akibat plak aterosklerosis arteri otak atau emboli dari pembuluh darah di luar otak yang tersangkut di arteri otak. Stroke jenis ini merupakan stroke yang paling sering didapat, sekitar 80% dari semua stroke. Stroke jenis ini juga disebabkan berbagai hal yang menyebabkan terhentinya aliran darah otak antara lain syok atau hipovolemia dan berbagai penyakit lain (Sudoyo dkk, 2010).

Klasifikasi stroke iskemik :

a. Berdasarkan waktunya terdiri atas : a.1 Transient Ischaemic attack (TIA)

(12)

a.2 Reversible Ischaemic Neurological Deficit (RIND)

Defisit neurologis membaik kurang dari 1 minggu (Dewanto dkk, 2009). b. Berdasarkan etiologi dan patogenesis (Batticaca 2008) :

b.1 Trombosis

Arteri pada SSP dapat disebabkan oleh satu atau lebih dari trias Virchow yaitu abnormalitas dinding pembuluh darah umumnya penyakit degeneratif, dapat juga inflamasi (vaskulitis) atau trauma (diseksi), abnormalitas darah, misalnya politemia, dan gangguan aliran darah.

b.2 Embolisme

Komplikasi dari penyakit generatif arteri SSP, atau dapat juga berasal dari jantung yaitu penyakit katup jantung, fibrilasi atrium, dan infark miokard yang baru terjadi.

c. Manifestasi klinis

Bergantung pada neuronatomi dan vaskularisasinya. Gejala klinis dan defisit neurologik yang ditemukan berguna untuk menilai lokasi iskemik (Dewanto dkk, 2009) :

c.1 Gangguan peredaran darah arteri serebri anterior menyebabkan hemiparesis dan hemihipestesi kontralateral yang ditemukan terutama melibatkan tungkai

(13)

area otak dominan) atau hemipastial neglect (bila mengenai area otak nondominan)

c.3 gangguan peredarah darah arteri serebri posterior menimbulkan hemianopsi homonim dan kuadrantanopsi kontralateral tanpa disertai gangguan motorik maupun sensorik. Gangguan daya ingat terjadi bila infark pada lobus temporalis medial. Aleksia tanpa agrafia timbul bila infark terjadi pada korteks visual dominan. Agnosia dan prosopagnosia (ketidakmampuan mengenali wajah) timbul akibat infark pada korteks temporooksipitalis inferior

c.4 gangguan peredaran darah batang otak menyebabkan gangguan syaraf kranial seperti disartri, diplopi dan vertigo; gangguan serebelar, seperti ataksia atau hilang keseimbangan, atau penurunan kesadaran

c.5 infark lakunar merupakan infark kecil dengan klinis gangguan murni motorik atau sensorik tanpa disertai gangguan luhur

2.4.2 Stroke Hemoragik

(14)

a. Perdarahan Intraserebral

Pecahnya pembuluh darah terutama karena hipertensi mengakibatkan darah masuk ke dalam jaringan otak,membentuk massa yang menekan jaringan otak, dan menimbulkan edema otak. Peningkatan TIK yang terjadi cepat, dan mengakibatkan kematian mendadak karena herniasi otak. Perdarahan intraserebral yang disebabkan hipertensi sering dijumpai didaerah putamen, thalamus, pons, dan serebelum.

b. Perdarahan Subaraknoid

Perdarahan ini berasal dari pecahnya aneurisma berry atau AVM. Aneurisma yang pecah ini berassal dari pembuluh darah sirkulasi Willisi dan cabang-cabangnya yang terdapat diluar parenkim otak. Pecahnya arteri dan keluarnya ke ruang subarakmoid menyebabkan TIK meningkat mendadak, meregangnya struktur peka nyeri dan vasospasme pembuluh darah serebri yang berakibat disfungsi otak global (nyeri kepala, penurunan kesadaran) maupun fokal (hemiparese, gangguan hemisensorik, afasia dan lainnya).

2.5 Skor Stroke Hemoragik dan Non Hemoragik

(15)

Siriraj telah banyak digunakan di Thailand, serta telah divalidasi di berbagai negara (Widiastuti dan Nuartha, 2015).

Skor Siriraj adalah salah satu sistem skoring yang telah dikembangkan sekitar tahun 1984-1985 di Rumah Sakit Siriraj, Universitas Mahidol, Bangkok, Thailand, dan diterima secara luas dan digunakan di banyak rumah sakit di Thailand sejak tahun 1986. Skor Siriraj dibuat berdasarkan studi atas 174 pasien stroke supratentorial (kecuali perdarahan subaraknoid) yang dirawat di Rumah Sakit Siriraj selama tahun 1984 hingga 1985 dengan tujuan mengembangkan suatu alat diagnostik klinis stroke yang sederhana, reliable, dan aman, serta dapat digunakan di daerah yang tidak memiliki fasilitas CT scan kepala (Widiastuti dan Nuartha, 2015).

Tabel 2.1 Skor Stroke Siriraj

SSS = (2.5 x kesadaran) + (2 x muntah) + ( 2 x sakit kepala) + (0.1 x tekanan darah diastolik) – (3 x atheroma) – 12

Kesadaran:

Kompos mentis = 0; somnolen/stupor = 1; semikoma/koma = 2 Muntah:

tidak = 0 ; ya = 1

Nyeri kepala dalam 2 jam: tidak = 0 ; ya = 1

Tanda-tanda ateroma (anamnesis diabetes; angina; klaudikasio intermitten) : tidak ada = 0 ; satu atau lebih tanda ateroma = 1

(16)

Pembacaan :

Skor > 1 : Perdarahan otak Skor < -1 : Infark otak

Skor -1 s/d 1 : Hasil belum jelas, memerlukan CT Scan Kepala Sensitivitas : Untuk perdarahan : 89.3%

Untuk infark : 93.2% Ketepatan diagnostik : 90.3%

2.6 Letak Kelumpuhan

Gangguan muncul akibat daerah otak tertentu tak berfungsi yang disebabkan oleh terganggunya aliran darah ke tempat tersebut. Gejala yang muncul bervariasi, bergantung bagian otak yang terganggu (Harsono, 2003). 2.6.1 Kelumpuhan sebelah Kiri (Hemiparesis Sinistra)

Apabila stroke merusak belahan otak sebelah kanan (hemisfer serebri dextra) maka sisi tubuh yang sebelah kiri yang terkena pengaruhnya. Penderita dengan kelumpuhan sebelah kiri sering memperlihatkan ketidakmampuan persepsi visuomotor, yaitu tidak mampu menggambar atau membuat copy gambar dan tidak mampu mengenakan pakaian (apraxia) (Harsono, 2003).

(17)

Penderita juga mengalami gangguan visuospasial, yaitu gangguan pengenalan tempat dan pengenalan wajah.Penderita mengalami pelemahan ingatan dan menunjukkan perilaku yang impulsif, seringkali salah satu sisi tubuhnya terabaikan, dalam hal ini penderita tidak lagi menyadari keberadaan sisi sebelah kiri tubuhnya yang disebut juga sebagai hemineglect (Shimberg, 1998). 2.6.2 Kelumpuhan sebelah Kanan (Hemiparesis Dextra)

Apabila serangan stroke menyerang belahan otak sebelah kiri (hemisfer serebri sinintra) dapat mengakibatkan kelumpuhan atau kelemahan motorik (daya gerak otot) yang ada pada sisi tubuh sebelah kanan.

Mengalami Aphasia yaitu apabila daerah ini terkena stroke, maka akan menimbulkan berbagai macam masalah komunikasi. Termasuk dalam kesulitan- kesulitan ini adalah ketidakmampuanmemahami apa yang sedang dikatakan orang lain, ketidakmampuan menggunakan kata-kata secara tepat, hilangnya kemampuan membaca dan menulis, bahkan sekaligus kehilangan kemampuan berhitung yang disebut aleksia. Namun persepsi dan memori visuomotornya sangat baik, sehingga dalam melatih perilaku tertentu harus dengan cermat diperlihatkan tahap demi tahap secara visual. Dalam komunikasi kita harus lebih banyak menggunakan body language(bahasa tubuh) (Shimberg,1998).

2.6.3 Hemiparesis Duplex

(18)

dan juga mengakibatkan kedua kaki sulit untuk digerakkan dan mengalami hipereduksi (Shimberg,1998).

2.7 Epidemiologi Hipertensi

2.7.1 Distribusi dan Frekuensi Hipertensi

a. Berdasarkan orang

Hipertensi dapat menyerang siapa saja, baik muda maupun tua. Hipertensi merupakan salah satu penyakit paling mematikan di dunia (Shadine, 2010). Boedi Darmoyo dalam penelitiannya menemukan bahwa antara 1,8% -28,6% penduduk dewasa adalah penderita Hipertensi (Depkes RI, 2006). Data laporan AHA, penduduk Amerika yang berusia diatas 20 tahun menderita Hipertensi telah mencapai angka hingga 74,5 juta jiwa, namun hampir sekitar 90-95% kasus tidak diketahui penyebabnya (Kemenkes RI, 2013).

AHA juga melaporkan 69% dari penderita serangan jantung, 77% dari penderita stroke, dan 74% dari penderita gagal jantung mengidap Hipertensi (Shadine, 2010).

Pada usia dini tidak terdapat bukti nyata tentang adanya perbedaan tekanan darah antara pria dan wanita. Akan tetapi, mulai pada masa remaja, pria mulai menunjukkan aras rata-rata yang lebih tinggi. Perbedaan ini lebih jelas pada orang dewasa muda dan orang setengah baya (Laporan Komisi Pakar WHO, 2001).

(19)

Penelitian di Indonesia prevalensi yang lebih tinggi terdapat pada wanita. Prevalensi Hipertensi berdasarkan jenis kelamin Riskesdas tahun 2007 maupun Riskesdas tahun 2013, prevalensi Hipertensi perempuan lebih tinggi dibandingkan laki-laki yakni pada tahun 2007 prevalensi Hipertensi pada laki-laki sebesar 31,3% sedangkan pada perempuan sebesar 31,9%, pada tahun 2013 prevalensi Hipertensi pada laki-laki sebesar 22,8% sedangkan pada perempuan sebesar 28,8% (Kemenkes RI, 2015).

Berdasarkan hasil penelitian Kamso (2000), prevalensi Hipertensi di kalangan usia lanjut cukup tinggi, yaitu sekitar 40%, dengan kematian sekitar di atas 65 tahun. Pada usia lanjut, Hipertensi terutama ditemukan hanya berupa kenaikan tekanan darah sistolik. Sedangkan menurut WHO memakai tekanan diastolik sebagai bagian tekanan yang lebih tepat dipakai dalam menentukan ada tidaknya Hipertensi. Penelitian yang dilakukan di 6 kota besar seperti Jakarta, Padang, Bandung, Yogyakarta, Denpasar, dan Makasar terhadap usia lanjut (55-85 tahun), didapatkan prevalensi Hipertensi sebesar 52,5% (Depkes RI, 2006).

(20)

b. Berdasarkan tempat

Indonesia peluang masyarakat menderita Hipertensi belum sebesar di negara maju. Namun, ancaman penyakit ini tidak boleh diabaikan begitu saja. Terlebih bagi masyarakat perkotaan yang lebih mudah mengakses gaya hidup modern yang tidak sehat, seperti banyak mengonsumsi makanan cepat saji, alkohol, dan merokok (Dalimartha, 2008).

Data hasil Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) tahun 2013 dengan menggunakan unit analisis individu menunjukkan bahwa secara nasional 25,8% penduduk Indonesia menderita penyakit Hipertensi. Terdapat 13 provinsi yang persentasenya melebihi angka nasional (25,8%) dengan tertinggi Prevalensi Hipertensi di Indonesia yang didapat melalui pengukuran pada umur ≥18 tahun yaitu Bangka Belitung (30,9%), diikuti Kalimantan Selatan (30,8%), Kalimantan Timur (29,6%), Jawa Barat (29,4%), Gorontalo (29,0%), Sulawesi Tengah (27,1%), Kalimantan Barat (28,3%), Sulawesi Selatan (28,1%), Sulawesi Utara (27,1%), Kalimantan Tengah (26,7%), Jawa Tengah (26,4%), Jawa Timur (26,2%), dan Sumatera Selatan (26,1%) (Kemenkes RI, 2013).

c. Berdasarkan waktu

(21)

20-35% dari kematian tersebut disebabkan oleh hipertensi (Rahajeng dan Tuminah, 2009).

2.7.2 Faktor Risiko Stroke pada Hipertensi

Faktor risiko bagi stroke adalah kelainan atau penyakit yang membuat seseorang lebih rentan terhadap serangan stroke. Faktor risiko yang kuat berarti faktor risiko yang besar pengaruhnya terhadap kemungkinan mendapatkan stroke, yaitu hipertensi. Bila faktor risiko hipertensi penyebab kerusakan organ target seperti otak yaitu penyakit stroke maka kemungkinan untuk mendapat stroke dapat dikurangi atau ditangguhkan (Lumbantobing, 2013).

a Obat antihipertensi

Tatalaksana hipertensi dengan obat anti hipertensi yang dianjurkan (Depkes, 2006) :

a.1 Diuretik: hidroclorotiazid dengan dosis 12,5 -50 mg/hari `a.2 Penghambat reseptor angiotensin II : Captopril 25-100 mmHg

a.3 Penghambat kalsium yang bekerja panjang : nifedipin 30 -60 mg/hari a.4 Penghambat reseptor beta: propanolol 40 -160 mg/hari

a.5 Reseptor alpha central (penghambat simpatis}: reserpin 0,05 -0,25 mg/hari Berdasarkan laporan penelitian Direktorat Bina Farmasi Komunitas dan Klinik Ditjen Bina Kefarmasian dan alat Kesehatan menyatakan bahwa jika pasien yang menghentikan terapi antihipertensinya lima kali lebih besar kemungkinan terkena stroke (Depkes RI, 2006).

(22)

hipertensi ringan meningkatkan risiko 1,5 kali lipat. Pengurangan rata-rata 9/5 mmHg dapat mengurangi risiko stroke hingga 34-35% dalam 2-3 tahun terapi, dan manfaat meningkat bagi pasien > 80 tahun (Goldszmidt, 2011).

Penderita Hipertensi sekitar 40% hingga 90% ternyata menderita Hipertensi sebelum terkena stroke. Sejumlah penelitian menunjukkan obat-obatan anti Hipertensi dapat mengurangi angka kematian karena stroke sebesar 40% (Shadine, 2010).

b. Obesitas

Obesitas merupakan faktor predisposisi penyakit kardiovaskuler dan stroke. Hal ini disebabkan keadaan obesitas berhubungan dengan tingginya tekanan darah dan kadar gula darah. Jika seseorang memiliki berat badan berlebih maka jantung bekerja lebih keras untuk memompa darah ke seluruh tubuh, sehingga dapat meningkatkan tekanan darah darah. Orang obesitas kan meningkatkan risiko stroke karena obesitas merupaka faktor risiko untuk terjadinya hipertensi, penyakit jantung, arteriosklerosis, dan diabetes mellitus. Serta hipertensi sebagai faktor risiko mayor stroke (Wahjoepramono, 2005).

Berdasarkan penelitian Framingham didapatkan bahwa pria gemuk yang berat badannya diturunkan sebanyak 15%, tekanan sistoliknya berkurang sebanyak 10% (Lumbantobing, 2013).

Menurut Depkes RI 2002, Indeks massa tubuh adalah perbandingan berat badan dalam kilogram terhadap tinggi badan dalam meter persegi, dengan rumus (Asmadi, 2008) :

� � � � ℎ (���) � � (��

(23)

Tabel 2.3 Kategori Indeks Massa Tubuh di Indonesia

Stress adalah suatu kondisi yang disebabkan oleh adanya transaksi antara individu dengan lingkungannya yang mendorong seseorang untuk mempersepsikan adanya perbedaan antara tuntutan situasi dan sumber daya (biologis, psikologis, dan sosial) yang ada pada diri seseorang (Depkes RI, 2006). Stres bisa memicu sistem saraf simpatik sehingga meningkatkan aktifitas jantung dan tekanan pembuluh darah. Peningkatan aktifitas saraf simpatis dapat meningkatkan tekanan darah secara intermitten (tidak menentu). Apabila stress berkepanjangan dapat mengakibatkan tekanan darah menetap tinggi (Shadine, 2010). Sehingga orang yang mudah stres berisiko terkena hipertensi, dan jika berkombinasi dengan faktor risiko lain seperti ateriosklerosis berat, penyakit jantung akan memicu dan membuiat risiko penderita stroke semakin berat. Stres meningkatkan risiko terkena stroke hampir dua kali lipat (Notoatmodjo, 2011).

(24)

dan kemarahan terpendam didapatkan bahwa hal tersebut berhubungan dengan peningkatan tekanan darah dan manifestasi klinik penyakit kardiovaskuler apapun (Depkes RI, 2006).

d. Kebiasaan Merokok

Zat kimia beracun seperti nikotin dan karbon monoksida yang dihisap melalui rokok yang masuk ke dalam aliran darah dapat merusak lapisan endotel pembuluh darah arteri,dan mengakibatkan proses artereosklerosis, dan tekanan darah tinggi (Depkes RI, 2006). Nikotin dalam rokok menyebabkan vasokontriksi pembuluh darah yang dapat mengakibatkan naiknya tekanan darah. Arteri juga mengalami penyempitan dan dinding pembuluh darah menjadi mudah membeku. Selain itu, merokok dapat menurukan kadar HDL dalam darah. Semua efek pada nikotin dari rokok dapat mempercepat proses aterosklerosis dan penyumbatan pembuluh darah, yang kemudian aterosklerosis adalah fakor risiko utama stroke. Orang yang memiliki kebiasaan merokok cenderung lebih berisiko dua sampai empat kali lebih besar untuk terkena penyakit jantung dan stroke dibandingkan orang yang tidak merokok (Stroke Association, 2014).

e. Konsumsi Alkohol Berlebihan

(25)

memengaruhi kekentalan dan penggumpalan darah yang menjurus ke pendarahan otak serta memperbesar risiko stroke iskemik (Harsono, 2003).

Edisi 18 November 2000 dari The New England Jurnal of Medicine, dilaporkan bahwa Physicians Health Study memantau 22.000 pria yang selama rata-rata 12 tahun mengkonsumsi alkohol satu kali sehari ternyata hasilnya menunjukkan adanya penurunan risiko stroke secara menyeluruh. Klaus Berger

M.D dari Bringham and Woman’s Hospital di Boston beserta rekan-rekan juga

menentukan bahwa manfaat ini masih terlihat pada konsumsi seminggu satu minuman. Walaupun demikian disiplin menggunakan manfaat alkohol dalam konsumsi cukup sulit dikendalikan dan efek samping alkohol justru jauh lebih berbahaya (Shadine, 2010).

f. Hiperlipidemia/Hiperkolesterolemia

Kelainan metabolisme lipid (Iemak) yang ditandai dengan peningkatan kadar kolesterol total, trigliserida, kolesterol LDL dan/atau penurunan kadar kolesterol HDL dalam darah. Kolesterol merupakan faktor penting dalam terjadinya aterosklerosis yang mengakibatkan peninggian tahanan perifer pembuluh darah sehingga tekanan darah meningkat. Penyakit jantung, ateroskleosis, dan tekanan darah tinggi merupakan faktor risiko terjadinya serangan stroke. Oleh karena itu pemeriksaaan kadar kolesterol sangat penting dilakukan, karena tingginya kadar kolesterol dalam darah merupakan faktor risiko untuk terjadinya stroke (Depkes RI, 2006; Shadine, 2010).

(26)

Tabel 2.4 Batasan Kadar Lipid/Lemak dalam Darah

Komponen Lipid Batasan (mg/dl) Klasifikasi

< 200 Yang diinginkan

Kolesterol Total 200 – 239 Batas tinggi

>240 Tinggi

Kolesterol LDL < 100 Optimal

100 – 129 Mendekati optimal

Batasan mengonsumsi garam perhari yaitu 2 gr perhari. Bila mengonsumsi garam diturunkan sampai 2gr sehari, tekanan darah diastolik dapat diturunkan sampai 5 mmHg (Lumbantonbing, 2013).

Berdasarkan penelitian Direktur Pengendalian Penyakit Tidak Menular Kementerian Kesehatan Ekowati Rahajeng, hipertensi bisa dicegah dengan mengurangi konsumsi makanan asin bisa meningkatkan risiko hipertensi 4,35 kali dibandingkan orang yang tak mengonsumsi makanan asin. Pengurangan konsumsi garam 2,9 gram perhari bisa menekan 50% orang yang perlu obat anti hipertensi, 22% kematianakibat stroke, dan menurunkan 16% kematian akibat penyakit jantung koroner (National Geographic Indonesia).

h. Penggunaan kontrasepsi oral

(27)

Peneliti memerlihatkan bahwa kontrasepsi oral jenis lama dengan kandungan estrogen yang tinggi dapat memperbesar risiko stroke pada wanita. tetapi, kotrasepsi oral jenis baru dengan kandungan estrogen lebih rendah secara nyata tidak meningkatkan risiko stroke pada wanita (Shadine, 2010).

2.8 Upaya Pencegahan Hipertensi

2.8.1 Pencegahan Primordial

Pencegahan primodial dilakukan dalam mencegah munculnya faktor risiko terhadap penyakit Hipertensi yang merupakan pencegahan tahap awal, agar masyarakat yang sehat tidak sampai terkena penyakit Hipertensi. Dalam pencegahan primodial itu sendiri dengan cara melakukan pendekatan populasi maupun perorangan antara lain dengan menerapkan pola hidup sehat yaitu pengaturan pola makan yang baik dan aktifitas yang cukup. Hindari kebiasaan seperti merokok dan mengkonsumsi alkohol (Shadine, 2010).

Pendidikan masyarakat adalah masyarakat harus diberi informasi mengenai sifat, penyebab, dan komplikasi Hipertensi, cara pencegahan, gaya hidup sehat, dan pengaruh faktor risiko kardiovaskular lainnya. Sasaran pencegahan tingkat dasar ini terutama kelompok masyarakat usia muda dan remaja, dengan tidak mengabaikan orang dewasa (Laporan Komisi Pakar WHO, 2001).

(28)

masyarakat mengenai prilaku hidup sehat dalam pengendalian Hipertensi (Depkes RI, 2006).

2.8.2 Pencegahan Primer

Pencegahan primer dilakukan dengan pencegahan terhadap faktor risiko yang tampak pada individu atau masyarakat. Sasaran pada orang sehat yang berisiko tinggi dengan usaha peningkatan derajat kesehatan yakni meningkatkan peranan kesehatan perorangan dan masyarakat secara optimal dan menghindari faktor risiko timbulnya Hipertensi. Pencegahan dengan upaya promotif , hindari risiko Hipertensi dengan reduksi stres, diet rendah garam, tidak merokok, faktor lingkungan dengan kesadaran akan stres kerja, faktor biologi dengan memberikan perhatian terhadap faktor biologis yaitu jenis kelamin dan riwayat Hipertensi keluarga (Bustan, 2007).

Mengatasi obesitas/menurunkan kelebihan berat badan. Akan tetapi prevalensi Hipertensi pada obesitas jauh lebih besar. Risiko relatif untuk menderita Hipertensi pada orang-orang gemuk 5 kali lebih tinggi dibandingkan dengan seorang yang badannya normal. Sedangkan, pada penderita Hipertensi ditemukan sekitar 20-33% memiliki berat badan lebih (overweight). Dengan demikian obesitas harus dikendalikan dengan menurunkan berat badan.

(29)

Diet rendah garam berarti batasi pemakaian garam dan makanan yang diasinkan seperti cumi asin, ikan asin, telur asin, dan kecap asin (Dalimartha, 2008). Diet rendah garam ini juga bermanfaat untuk mengurangi dosis obat antiHipertensi pada pasien Hipertensi derajat ≥ 2. Dianjurkan untuk asupan garam tidak melebihi 2 gr/ hari (PERKI, 2015).

Pelayanan kesehatan dengan memberikan pendidikan kesehatan mengenai faktor risiko dan bahaya Hipertensi serta melakukan pemeriksaan tekanan darah (Bustan, 2007).

2.8.3 Pencegahan Sekunder

Pola hidup dengan managemen stres atau hindari lingkungan stres, berhenti merokok, dan mengonsumsi vitamin. Melakukan diagnosis dini yaitu screening, pemeriksaan periodik tekanan darah dimana perjalanan Hipertensinya yaitu Hipertensi ringan, sedang dan berat (Bustan, 2007).

Pos Pembinaan Terpadu Pengendalian Penyakit Tidak Menular (Posbindu-PTM) adalah wadah pengendalian penyakit tidak menular di Indonesia yang merupakan upaya monitoring dan deteksi dini faktor risiko penyakit tidak menular di masyarakat. Sejak mulai dikembangkan pada tahun 2011 Posbindu-PTM pada tahun 2013 telah berkembang menjadi 7.225 Posbindu di seluruh Indonesia. Usaha peningkatan pengendalian penyakit tidak menular diharapkan status awal prevalensi Hipertensi pada tahun 2013 sebesar 25,8% mengalami penurunan dengan target 23,4% pada tahun 2019 (Kemenkes RI, 2015).

(30)

pemeriksaan laboratorium maupun pemeriksaan penunjang. Pada 70-80 % kasus Hipertensi esensial, didapat riwayat Hipertensi didalam keluarga, walaupun hal ini belum dapat memastikan diagnosis Hipertensi esensial. Apabila riwayat Hipertensi didapatkan pada kedua orang tua, maka dugaan Hipertensi esensial lebih besar (Dalimartha dkk, 2008).

` Pada saat dilakukan anamnesis oleh dokter, pasien perlu memberitahukan

hal-hal seperti dibawah ini (Joewono dan Prabowo, 2003) :

a. Riwayat keluarga Hipertensi, diabetes mellitus, dislipidemia, penyakit jantung koroner, stroke atau penyakit ginjal.

b. Lama dan tingkat tekanan darah tinggi sebelumnya dan hasil serta efek samping obat anti Hipertensi sebelumnya.

c. Riwayat atau gejala penyakit jantung koroner dan gagal jantung, penyakit serebrovaskuler, asma bronkiale, penyakit ginjal.

d. Gejala yang mencurigakan adanya Hipertensi sekunder.

e. Penilaian faktor risiko termasuk diet, natrium dan alkohol, jumlah rokok, tingkat aktifitas fisik, dan peningkatan berat badan sejak awal dewasa.

f. Riwayat obat-obatan yang dapat meningkatkan tekanan darah termasuk kontrasepsi oral, obat anti keradangan non-steroid, kokain, dan amfetamin. Perhatian juga untuk pemakaian eritropoetin, siklosporin atau steroid untuk penyakit yang bersamaan.

g. Faktor pribadi, psikososial dan lingkungan yang dapat mempengaruhi hasil pengobatan antiHipertensi termasuk situasi keluarga, lingkungan kerja dan latar belakang pendidikan.

(31)

tingkat pelayanan dengan melibatkan organisasi profesi, pengelola program dan pelaksanaan pelayanan yang dibutuhkan dalam pengendalian Hipertensi (Depkes RI, 2006).

2.8.4 Pencegahan Tersier

Melakukan rehabilitasi yaitu upaya mencegah terjadinya komplikasi yang lebih berat atau kematian. Upaya yang dilakukan pada pencegahan tersier ini yaitu, (Triyanto, 2014):

a. Menurunkan tekanan darah sampai batas yang aman dan mengobati penyakit yang dapat memperberat hipertensi.

b. Mem-follow up penderita hipertensi yang mendapat terapi dan rehabilitasi. Follow up ditujukan untuk menentukan kemungkikan dilakukannya pengurangan atau penambahan dosis obat.

c. Melakukan rehabilitasi yang tidak hanya difokuskan pada fisik, tetapi juga kebutuhan spritual dan psikologi untuk mengembalikan keutuhan individu. d. Rehabilitasi dan usaha meningkatkan kesejahteraan termasuk didalamnya adalah pengobatan, pemberian nutrisi, latihan, penyembuhan psikologi dan spiritual, dan kelompok dukungan sosial.

(32)

2.9 Kerangka Konsep

Karakteristik Penderita Hipertensi dengan Stroke

1. Sosiodemografi Umur

Jenis Kelamin Agama

Pekerjaan

Status Perkawinan 2. Derajat Hipertensi 3. Tipe Stroke

4. Letak Kelumpuhan 5. Lama Rawatan

Gambar

Tabel 2.3 Kategori Indeks Massa Tubuh di Indonesia
Tabel 2.4 Batasan Kadar Lipid/Lemak dalam Darah

Referensi

Dokumen terkait

Diagram Bar Lama Rawatan Rata-rata Penderita Hipertensi Berdasarkan Jenis Komplikasi Yang Dirawat Inap di Bagian Penyakit Dalam Rumah Sakit Umum Kota Padang Panjang

Tabel 4.14 Distribusi Proporsi Tipe Stroke Berdasarkan Riwayat Penyakit Sebelumnya Penderita Karakteristik Stroke di Rumah Sakit Umum Daerah Kabanjahe Tahun

Prevalensi Penyakit Jantung Hipertensi pada Pasien Gagal Jantung Kongestif di RSUP HAM tahun 2011. Karya Tulis Ilmiah mahasiswa

Populasi penelitian adalah seluruh penderita hipertensi yang dirawat inap di Rumah Sakit Umum Daerah Kota Padangsidempuan pada tahun 2010 sampai 2011 berjumlah 275

Diharapkan kepada pihak Rumah Sakit Umum Kabanjahe melakukan upaya pencegahan terjadinya stroke akibat hipertensi melalui penyuluhan faktor risiko stroke akibat hipertensi

Seseorang dengan penyakit atau kelainan pada jantung mendapatkan risiko untuk terkena stroke lebih tinggi 3 kali lipat dari orang yang tidak memiliki penyakit

Berdasarkan Survei Pendahuluan di Rumah Sakit Umum Pusat (RSUP) Sanglah tahun 2014, jumlah pasien penderita hipertensi yang dirawat inap pada tahun 2013 tercatat

Distribusi proporsi jenis kelamin penderita hipertensi berdasarkan derajat hipertensi yang dirawat inap di Rumah Sakit Vita Insani Pematangsiantar tahun 2010-2011