BAB III
PENGATURAN TENTANG WARALABA DI INDONESIA
A.Sejarah Perkembangan Waralaba di Indonesia
Pembangunan di bidang ekonomi saat ini maka pesat dengan menjagkau
berbagai aspek bisnis yang saat ini makin berkembang yaitu bisnis waralaba. Di
tahun 1972 sampai awal 1988 waralaba mengalami pertumbuhan yang sangat
pesat dan menjadi metode yang banyak digunakan untuk memasuki dunia bisnis
yang didirikan di Amerika Serikat dan Eropa.55
Pada awalnya istilah franchise tidak dikenal dalam kepustakaan Hukum
Indonesia, hal ini dapat dimaklumi karena memang lembaga franchise ini sejak
awal tidak terdapat dalam budaya atau tradisi bisnis masyarakat Indonesia.
Namun karena pengaruh globalisasi yang pernah melanda di berbagai bidang,
maka franchise ini kemudian masuk ke dalam tatanan budaya serta tatanan hukum
masyarakat Indonesia.56
Bisnis waralaba di Indonesia mulai dikenal pada 1950an dengan
munculnya dealer kendaraan bermotor melalui pembelian lisensi atau menjadi
agen tunggal pemilik merek.57 Waralaba semakin marak pada sekitar tahun
1970an dengan bermunculannya restaurant-restaurant cepat saji (fast food) seperti
Kentucky Fried chiken (KFC), McDonald’s, Burger King dan Pizza Hut.
Perusahaan-perusahaan waralaba lokal pun mulai bertumbuhan pada masa itu,
salah satunya ialah Es Teller 77. Pesatnya pertumbuhan penjualan sistem
55
Saling, H. S, Perkembangan Hukum Kontrak Innomuat Indonesia, (Jakarta: Sinar Grafika, 2005), hlm 167.
56
Devi, T. Keizerina, Perlindungan Hukum Dalam Franchise, (2005), hlm 1-2 57
▸ Baca selengkapnya: klausul penundaan melindungi perusahaan terhadap usaha-usaha penipuan atau kegiatan asuransi
(2)waralaba disebabkan oleh faktor popularitas franchisor, hal ini tercermain dari
kemampuannya untuk menawarkan suatu bidang usaha yang probabilitas
keberhasilannya tinggi.58Hingga tahun 1992 jumlah perusahaan waralaba di
Indonesia mencapai 35 perusahaan, 6 di antaranya adalah perusahaan waralaba
lokal dan sisanya 29 adalah waralaba asing. Perkembangan waralaba asing dari
tahun ke tahun berkembang pesat sebesar 710% sejak tahun 1992 hingga tahun
1997, sedangkan perkembangan waralaba lokal hanya meningkatkan sebesar
400% (dari sejumlah 6 perusahaan menjadi 30 perusahaan).
Namun sejak tahun 1997 terjadi krisis moneter di Indonesia. Pada tahun
inidiikuti oleh krisis ekonomi dan politik di Indonesia pada tahun 1998 yang
mengakibatkan jatuhnya industri franchise di Indonesia. Banyak franchisor asing
yang meninggalkan Indonesia dan hampir sekitar 500 outlet yang tutup oleh
karena kondisi yang tidak mendukung ini. Pada saat itu, jumlah franchise dari luar
negeri yang beroperasi di Indonesia menurun dari 230 hingga 170-180 franchise.
Tetapi justru pada saat ini, franchise lokal mulai memadati pasar franchise
Indonesia dari 30 meningkat hingga 85 merek produk yang berkembang. Hingga
saat ini, franchise lokal berkembang hingga 360 merek produk, di mana terdapat
9000 outlet, baik sebagai franchisee ataupun company owned.
Tabel perkembangan jumlah franchise di Indonesia terlihat di tabel berikut:
Tahun 1992 1995 1996 1997 2000 2001 2005 2006
Asing 29 117 210 235 222 230 237 220
Lokal 6 15 20 30 39 42 129 230
Total 35 210 230 165 261 272 366 450
*Sumber : Direktori Franchise Indonesia
58
Walau sistem waralaba telah banyak mengalami perkembangan di
Indonesia, tetapi sebelum tahun 1997 belum ada dasar hukum yang khusus
mengatur waralaba. Meskipun belum ada dasar hukumnya, pada kenyataanya
pelaksanaan waralaba melalui perjanjian telah diatur dalam Buku III Kitab
Undang-Undang Hukum Perdata sehingga semua perjanjian dapat dibenarkan
selama diadakan secara sah serta tidak bertentangan dengan Undang-Undang dan
kesusilaan.59
Saat itu di Indonesia berlaku tiga undang-undang yang menjadi dasar
pemberian perlindungan hukum kepada hak milik intelektual perusahaan, yakni
Undang-Undang Paten, Undang-Undang Hak Cipta dan Undang-Undang Merek.
Dengan adanya Undang-Undang Paten memungkinkan franchisor memperoleh
perlindungan hukum terhadap kemungkinan adanya usaha peniruan. Untuk
membantu para pengusaha dalam mendaftarkan hak patennya, di Indonesia
terdapat beberapa konsultan paten, konsultan ini dapat membantu menyiapkan
segala sesuatu yang diperlukan untuk pendaftaran paten. Dengan adanya
Undang-Undang tersebut, walaupun belum ada ketentuan pemerintah atau suatu kode etik
khusus, sudah bisa memberikan gambaran pada ikatan perjanjian kerjasama yang
dibuat antara franchisor dan franchisee.60
Selanjutnya, pada tahun 1997 dibuatlah Peraturan Pemerintah No. 16
Tahun 1997 tentang Waralaba. Peraturan pemerintah ini dilahirkan untuk
mengembangkan kegiatan waralaba sebagai upaya memperluas kesempatan kerja
dan kesempatan berusaha serta sebagai upaya untuk meninkatkan pelaksanaan alih
59
Lihat syarat sahnya perjanjian pasal 1320 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata
60
teknologi. Peraturan tersebut juga dibuat dalam upaya memberikan kepastian
usaha dan kepastian hukum bagi dunia usaha yang menjalankan waralaba,
terutama dalam upaya pengaturan, pembinaan dan pengembangan waralaba.61
Pada tanggal 23 Juli 2007, tonggak kepastian hukum akan format
waralaba di Indonesia yakni Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 16
Tahun 1997 tentang Waralaba digantikan dengan Peraturan Pemerintah Nomor 42
tahun 2007 tanggal 23 Juli 2007.62 Lahirnya Peraturan Pemerintah Nomor 42
Tahun 2007 tentang waralaba ini dilandasi upaya pemerintah meningkatkan
pembinaan usaha waralaba di seluruh Indonesia sehingga perlu mendorong
pengusaha nasional, terutama pengusaha kecil dan menengah untuk tumbuh
sebagai franchisor nasional yang andal dan mempunyai daya saing di dalam
negeri dan luar negeri dalam rangka memasarkan produk dalam negeri.63
Pemerintah memandang perlu mengetahui legalitas dan bonafiditas usaha
franchisor baik franchisor dalam maupun luar negeri guna menciptakan
transparansi informasi usaha yang dapat dimanfaatkan secara optimal oleh usaha
nasional dalam memasarkan barang dan/atau jasa melalui bisnis waralaba, baik
jumlah maupun jenis usaha yang diwaralabakan.64 Untuk itu sebelum franchisor
membuat perjanjian waralaba kepada pemerintah dan calon franchisee, franchisor
harus menyampaikan penawaran kepada pemerintah dan calon franchisee. Selain
itu apabila terjadi kesepakatan waralaba, franchisor harus menyampaikan
perjanjian waralaba tersebut kepada pemerintah, dengan peraturan pemerintah
61
Lihat penjelasan PP No. 16 Tahun 1997 Tentang Waralaba
62
Abdulkadir Muhammad, Hukum Perusahaan Indonesia, (Bandung: PT. Citra AdityaBakti, 2010), hlm.563
63
Sutedi Adrian, Op.cit., hlm.33
64
yang baru ini setidak-tidaknya dapat memberikan kepastian berusaha dan
kepastian hukum bagi keduabelah pihak dalam memasarkan produknya.65
Mengenai perlindungan hukum waralaba di Indonesia, menurut Prof.
Sudargo Gautama, secara kebetulan bisnis waralaba selama ini belum banyak
menimbulkan masalah hukum. Kemungkinan masalah memang ada, tetapi tidak
aneh dalam dunia bisnis, meskipun demikian masalah waralaba ditampung dalam
perangkat hukum nasional.66 Sebelum munculnya perangkat hukum yang
mengatur waralaba di Indonesia, perlindungan tetap bisa dilakukan melalui
kontrak waralaba yang dibuat oleh pihak-pihak yang bersangkutan. Hal tersebut
sesuai dengan KUHPerdata yang secara tegas mengakui bahwa perjanjian yang
disepakati oleh beberapa pihak, mengikat mereka sebagai hukum.67
Selanjutnya ketentuan-ketentuan lain yang mendukung kepastian hukum
dalam format bisnis waralaba adalah sebagai berikut:
1. Keputusan Menteri Perindustrian dan Perdagangan RI No.
259/MPP/KEP/7/1997 Tanggal 30 Juli 1997 tentang Ketentuan Tata Cara
Pelaksanaan Pendaftaran Usaha Waralaba.
2. Peraturan Menteri Perindustrian dan Perdagangan RI No.
31/M-DAG/PER/8/2008 tentang Penyelenggaraan Waralaba
3. Undang-undang No. 14 Tahun 2001 tentang Paten.
4. Undang-undang No. 15 Tahun 2001 tentang Merek.
5. Undang-undang No. 30 Tahun 2000 tentang Rahasia Dagang.
65
Ibid, hlm 34
66
G. Sudargo, Aneka Masalah Hukum Perdata Internasional (Bandung: PT.Alumni, 1985), hlm. 9
67
Banyak orang masih skeptis dengan kepastian hukum terutama dalam
bidang waralaba di Indonesia. Namun saat ini kepastian hukum untuk berusaha
dengan format bisnis waralaba jauh lebih baik dari sebelum tahun 1997. Hal ini
terlihat dari semakin banyaknya payung hukum yang dapat melindungi bisnis
waralaba tersebut. Perkembangan waralaba di Indonesia, khususnya di bidang
rumah makan siap saji sangat pesat. Hal ini ini dimungkinkan karena para
pengusaha kita yang berkedudukan sebagai penerima waralaba (franchisee)
diwajibkan mengembangkan bisnisnya melalui master franchise yang diterimanya
dengan cara mencari atau menunjuk penerima waralaba lanjutan. Dengan
mempergunakan sistem piramida atau sistem sel, suatu jaringan format bisnis
waralaba akan terus berekspansi.
Ada beberapa asosiasi waralaba di Indonesia antara lain: APWINDO
(Asosiasi Pengusaha Waralaba Indonesia), WALI (Waralaba & License
Indonesia), AFI (Asosiasi Franchise Indonesia). Selain itu terdapat beberapa
konsultan waralaba di Indonesia antara lain IFBM, The Bridge, Hans Consulting,
FT Consulting, Ben WarG Consulting, JSI dan lain-lain. Ada beberapa pameran
Waralaba di Indonesia yang secara berkala mengadakan roadshow diberbagai
daerah dan jangkauannya nasional antara lain International Franchise and
Business Concept Expo (Dyandra),Franchise License Expo Indonesia (Panorama
convex), Info Franchise Expo ( Neo dan Majalah Franchise Indonesia).
Waralaba pada mulanya dipandang bukan sebagai suatu usaha (bisnis)
melainkan suatu konsep metode ataupun sistem pemasaran yang dapat digunakan
oleh suatu perusahaan untuk mengembangkan pemasarannya tanpa melakukan
kerja sama dengan pihak lain. Waralaba digambarkan sebagai perpaduan bisnis
“besar” dan “kecil” yaitu perpaduan antara energi dan komitmen individual
dengan sumber daya dan kekuatan sebuah perusahaan besar. Waralaba adalah
suatu pengaturan bisnis dimana sebuah perusahaan (franchisor) memberi hak
kepada pihak independen (franchisee) untuk menjual produk atau jasa perusahaan
tersebut dengan peraturan yang ditetapkan oleh franchisor. Artinya si franchisor
dapat menggunakan nama, goodwill, produk dan jasa, prosedur pemasaran,
keahlian, sistem prosedur operasional dan fasilitas penunjang dari perusahaan
franchisor, sebagai imbalannya franchisee membayar initial fee dan royalti (biaya
pelayanan manajemen) pada perusahaan franchisor seperti yang diatur dalam
perjanjian waralaba.68 Hubungan kemitraan usaha antara kedua belah pihak
dikukuhkan dalam suatu perjanjian.69
Waralaba ini suatu metode untuk melakukan bisnis yaitu metode yang
memasarkan produk atau jasa ke masyarakat, namun tidak sedikit yang
berpendapat bahwa waralaba ini tidak hanya sekedar suatu metode atau konsep
namun juga “sistem”. Suatu metode atau konsep tatanan yang membuat hubungan
lebih teratur dan terarah antara sub sistem yang satu dengan sub sistem yang
lain.70
Dalam Pasal 1 Peraturan Pemerintah Nomor 1 Tahun 1997, waralaba
(franchise) dirumuskan sebagai berikut:
“Franchise adalah perikatan dimana salah satu pihak diberikan hak untuk memanfaatkan dan atau menggunakan hak atas kekayaan intelektual atau penemuan atau ciri khas usaha yang dimiliki pihak lain dengan suatu
68
Maharam, S., Waralaba Alternatif Strategi Ekspansi Paling Murah, hlm. 1 69
Anonymous, Defenisi Waralaba (http://www.franchise.org) diskses pada tanggal 21 April 2017 pukul 13.25 WIB.
70
imbalan berdasarkan persyaratan yang ditetapkan pihak lain tersebut, dalam rangka penyediaan dan atau penjualan barang dan atau jasa.:
Pengertian waralaba menurut Pasal 1 Peraturan Pemerintah Nomor 42
Tahun 2007 tentang waralaba, menyebutkan bahwa:
“Waralaba adalah hak khusus yang dimiliki oleh orang perorangan atau badan usaha terhadap sistem bisnis dengan ciri khas usaha dalam rangka memasarkan barang dan/ atau jasa yang telah terbukti berhasil dan dapat dimanfaatkan dan/atau digunakan oleh pihak lain berdasarkan perjanjian waralaba.”
Perspketif lain dalam Washington Franchise Investment Protection Act
menyatakan bahwa
“franchise means oral or written contract or agreement either express or implied, in which a person grants to another person, a licence to use a trade name, service mark, trademark, logo type or related characteristic in which there is a community interest in the business of offering, selling, distributing gods or services at wholesale or retail, leasing or otherwise and in which the franchisee is required to pay, directly or indirectly, a franchisee fee.”71
Meskipun terdapat perbedaan dalam merumuskan defenisi waralaba, tetapi
intinya waralaba pada umumnya memiliki unsur yang sama, yaitu sebagai
berikut:
1. Franchise adalah perjanjian timbal balik antara franchisee dengan
franchisor.
2. Franchisee berkewajiban membayar fee kepada franchisor.
3. Franchisee diizinkan menjual dan mendistribusikan barang atau jasa
franchisor menurut cara yang telah ditentukan atau mengikuti metode
bisnis yang dimiliki franchisor.
71
4. Franchisee menggunakan merek nama perusahaan atau juga
simbol-simbol komersial franchisor.72
Jenis-jenis waralaba pada umumnyadibedakan menjadi tiga jenis, yakni:73
1. Distributorships (Product Franchise)
Dalam waralaba ini, franchisor memberikan lisensi kepada franchisee
untuk menjual barang-barang hasil produksinya. Pemberian lisensi ini bisa
bersifat eksklusif maupun non eksklusif. Sering kali terjadi franchisee
diberi hak ekslusif untuk memasarkan di suatu wilayah tertentu.
2. Chain-Style Business
Jenis waralaba inilah yang paling banyak dikenali masyarakat. Dalam
jenis ini franchisee mengoperasikan suatu kegiatan bisnis dengan memakai
nama franchisor. Sebagai imbalan dari penggunaan nama franchisor maka
franchisee harus mengikuti metode-metode standar pengoperasian dan
berada dibawah pengawasan franchisor dalam hal bahan-bahan yang
digunakan, pilihan tempat usaha, desain tempat usaha, jam penjualan,
persyaratan para karyawan, dan lain-lain.
3. Manufacturing atau Processing Plants
Dalam waralaba jenis ini, franchisor memberitahukan bahan-bahan serta
tata cara pembuatan suatu produk, termasuk didalamnya formula-formula
rahasianya. Franchisee memproduksi, kemudian memasarkan
barang-barang itu sesuai standar yang telah ditetapkan franchisor.
72
F. Sinambela, Peranan Perjanjian Kerja Antara Pengusaha dan Pekerja Pada Perusahaan Waralaba di Kotamadya Medan (Tesis Program Studi Ilmu Hukum Pascasarjana USU, Medan, 2000), hlm 52
73
Sedangkan model bisnis warlaba ada tiga macam, yaitu waralaba jasa,
waralaba barang dan waralaba distribusi. Tiga betuk waralaba ini dietemukan
dalam katagorisasi waralaba yang dibuat oleh European Court of Justice pada
putusannya dalam kasus “Pronuptia”.74 Kombinasi ketiga bentuk waralaba
tersebut terdapat di Indonesia yang umumnya dapat ditemui pada usaha restoran
cepat saji, seperti Mc Donals dan Kentucky Fried Chicken.
Di Indonesia sistem waralaba setidaknya dibagi menjadi empat jenis, yaitu
sebagai berikut:
1. Waralaba dengan sistem format bisnis.
2. Waralaba bagi keuntungan.
3. Waralaba kerja sama investasi.
4. Warlaba produksi dan merek dagang.
Dari keempat jenis sistem waralaba tersebut, sistem waralaba yang
berkembang di Indonesia saat ini ialah waralaba produk dan merek dagang serta
waralaba sistem format bisnis.
Waralaba produk dan merek dagang (product and trade franchise)
merupakan bentuk waralaba paling sederhana. Dalam waralaba produk dan merek
dagang, franchisor memberikan hak kepada franchisee untuk menjual produk
yang dikembangkan oleh franchisor yang disertai dengan pemberian izin untuk
menggunakan merek dagang milik franchisor. Atas pemberian izin penggunaan
merek dagang tersebut biasanya franchisor memperoleh keuntungan melalui
penjualan produk yang diwaralabakan kepada franchisee. Dalam bentuknya yang
74
sangat sederhana ini, waralaba produk dan merek dagang sering kali mengambil
bentuk keagenan, distributor atau lisensi penjualan. Dalam bentuk waralaba ini,
franchisor membantu franchisee untuk memilih lokasi yang tepat serta
menyediakan jasa untuk mengambil keputusan.75
Sedangkan waralaba format bisnis (business format franchise) adalah
sistem waralaba yang tidak hanya menawarkan merek dagang dan logo, tetapi
juga menawarkan sistem yang komplit dan komperhensif mengenai tata cara
menjalankan bisnis, termasuk di dalamnya pelatihan dan konsultasi usaha dalam
hal pemasaran, penjualan, pengelolaan stok, akunting, personalia, pemelihara dan
pengembangan bisnis.76 Dengan kata lain, waralaba format bisnis adalah
pemberian sebuah lisensi oleh seseorang (franchisor) kepada pihak lain
(franchisee). Lisensi tersebut memberikan hak kepada franchisee untuk berusaha
dengan menggunakan merek dagang/ nama dagang franchisor dan untuk
menggunakan keseluruhan paket yang terdiri dari seluruh elemen, yang
diperlukan unutk membuat seorang yang sebelumnya belum terlatih dalam bisnis
dan untuk menjalankannya dengan bantuan yang terus-menerus atas dasar yang
telah ditentukan.77
Martin Mandelson menyimpulkan bahwa dalam waralaba format bisnis
terdapat ciri-ciri sebagai:
1. Konsep bisnis yang menyeluruh dari franchisor.
75
Anonymous, Mengenal Istilah Dalam Waralaba (http://www.wirausaha.com), diakses pada tanggal 21 April 2017 pukul 14.54.
76
Sutedi Adrian, Op.cit., hlm.16
77
M. Maendelson, Franchising: Petunjuk Praktis Bagi Franchisor dan Franchisee
Konsep ini berhubungan dengan pengembangan cara untuk
menjalankan bisnis secara sukses yang seluruh aspeknya berasal dari
franchisor. Franchisor akan mengembangkan suatu “cetak biru”
sebagai dasar pengelolahan waralaba format bisnis tersebut.78
2. Adanya proses permulaan dan pelatihan atas seluruh aspek
pengelolahan bisnis yang sesuai dengan konsep franchisor.
Franchisee akan diberikan pelatihan mengenai metode bisnin yang
diperlukan untuk mengelolah bisnis sesuai dengan cetak biru yang
telah dibuat oleh franchisor. Pelatihan ini biasanya menyangkut
pelatihan penggunaan peralatan khusus, metode pemasaran, penyiapan
produk, dan penerapan proses. Dalam pelatihan ini diharapkan
franchisee menjadi ahli pada seluruh bidang yang diperlukan untuk
menjalankan bisnis yang khusus tersebut.
3. Proses bantuan dan bimbingan yang terus menerus dari pihak
franchisor.79
Franchisor akan terus-menerus memberikan berbagai jenis pelayanan,
tergantung pada tipe format bisnis yang diwaralabakan. Secara umum,
proses ini dapat dikatakan sebagai proses pemberian bantuan dan
bimbingan yang terus-menerus yang meliputi:
a. Kunjungan berkala franchisor kepada staf di lapangan guna
membantu memperbaiki atau mencegah
penyimpangan-penyimpangan pelaksanaan cetak biru yang diperkirakan dapat
menyebabkan kesulitan dagang bagi franchisee.
78
G. Widjaja, Franchise Dalam Perspektif Hak Kekayaan Intelektual, (Majalah Info Franchise, 2007), hlm.15
79
b. Menghubungkan antara franchisor dan seluruh franchisee secara
bersama-sama untuk saling bertukar pikiran dan pengalaman.
c. Inovasi produk atau konsep, termasuk penelitian mengenai
kemungkinan-kemungkinan pasar serta kesesuaiannya dengan
bisnis yang ada.
d. Melakukan riset pasar.
e. Iklan dan promosi pada tingkat lokal dan nasional.
f. Nasihat dan jasa manajemen dan akunting.
g. Penerbitan newsletter
h. Riset mengenai materi, proses dan metode bisnis.80
Menurut Juadir Sumardi, usaha bisnis waralaba format bisnis dan waralaba
format distribusi pokok.
1. Waralaba Format Binis.
Dalam waralaba bisnis, pemegang waralaba (franchisee) memperoleh
hak untuk memasarkan dan menjual produk atau pelayanan dalam
suatu wilayah atau lokasi yang speksifik dengan menggunakan standar
operasional dan pemasaran dari franchisor. Dalam bentuk ini terdapat
tiga jenis waralaba, yaitu waralaba format pekerjaan, format usaha dan
format investasi.
a. Waralaba format pekerjaan
Waralaba yang menjalankan usaha berupa format pekerjaan yang sebenarnya membeli dukungan untuk usahanya sendiri, misalnya bisnis penjualan jasa penyetelan mesin mobil dengan merek waralaba tertentu. Bentuk usaha waralaba seperti ini cenderung paling mudah dan umumnya membutuhkan modal yang kecil
80
karena tidak menggunakan tempat dan perlengkapan yang berlebihan.
b. Waralaba format usaha
Waralaba format usaha termasuk bisnis waralaba yang berkembang paling pesat. Bentuknya berupa toko eceran yang menyediakan barang/jasa atau restoran cepat saji (fast food). Biaya yang dibutuhkan untuk waralaba format ini lebih besar dari waralaba format pekerjaan karena dibutuhkan tempat usaha dan peralatan khusus.
c. Waralaba format investasi
Ciri utama yang membedakan waralaba format ini dari waralaba format pekerjaan dan usaha adalah besarnya usaha, khususnya besarnya investasi yang dibutuhkan. Perusahaan yang mengambil waralaba format investasi biasanya ingin melakukan diversifikasi atau penganekaragaman pengelolaan tetapi karena manajemennya tidak berpengalaman dalam mengelolah usaha baru sehingga ia memilih jalan dengan mengambil waralaba format ini. Contoh warlaba format investasi adalah usaha hotel dengan menggunakan nama dan standar sarana pelayanan hotel franchisor.
Sama seperti Juadir Sumardi, Stephen Fox mengemukan ada tiga jenis
waralaba format bisnis, yaitu waralaba pekerjaan, waralaba usaha dan waralaba
investasi.81 Berdasarkan jumlah usaha yang berhak dimiliki franchisee, ada
beberapa format warlaba, yaitu sebagai berikut:
1. Single Unit Franchise
Format ini adalah format yang paling sederhana dan paling banyak digunakan karena kemudahannya.franchisor memberikan hak kepada franchisee untuk menjalankan usaha atas nama usahanya serta dengan panduan prosedur yang telah ditetapkan sebelumnya. Franchisee hanya diperkenankan untuk menjalankan usahanya pada sebuah cabang atau unit yang telah disepakati.
2. Area Franchise
pada format ini, franchisee memperoleh hak untuk menjalankan usahanya dalam sebuah wilayah tertentu, misalkan pada sebuah provinsi atau kota, dengan jumlah unit usaha/cabang yang lebih dari satu.
3. Master Franchisee
Format master franchise memberikan hak kepada franchisee untuk menjalankan usahanya di sebuah wilayah atau sebuah negara dan bukan hanya membuka usaha. Franchisee dapat menjual lisensi kepada sub-franchisee dengan ketentuan yang telah disepakati.
81
Menurut International Franchise Association, waralaba pada hakekatnya
melibatkan tiga elemen, yaitu merek, sistem bisnis, dan biaya.82
1. Merek
Dalam setiap perjanjian waralaba, franchisor selaku pemilik dari
sistem waralaba memberikan lisensi kepada franchisee untuk dapat
menggunakan merek dagang atau jasa dan logo yang dimiliki oleh
franchisor.
2. Sistem bisnis
Keberhasilan dari suatu organisasi waralaba tergantung dari penerapan
sistem atau metode bisnis yang sama antara franchisor dan
franchisee.Sistem bisnis tersebut berupa pedoman yang mencakup
standarisasi produk, metode untuk mempersiapkan atau mengolah
produk atau metode jasa, standar rupa dari fasilitas bisnis, standar
periklanan, sistem reservasu, sistem akuntansi, kontrol persediaanm
kebijakan dagang, dan lain-lain.
3. Biaya
Dalam format bisnis waralaba, franchisor baik secara langsung atau
tidak langsung, menarik pembayaran dari franchisee atas pengunaan
merek dan atas partisipasi dalam sistem waralaba yang dijalankan.
Biaya biasanya terdiri atas biaya awal, biaya royalti, biaya jasa, biaya
lisensi, biaya pemasaran bersama. Biaya lainnya juga dapat berupa
biaya atas jasa yang diberikan franchisee, misalnya biaya manajamen.
82
Waralaba pada hakikatnya merupakan sebuah konsep pemasaran dalam
rangka memperluas jaringan usaha dengan cepat. Dengan demikian, waralaba
bukanlah sebuah alternatif, melainkan salah satu cara yang sama kuat dan sama
strateginya dengan cara konvesional dalam mengembangkan usaha.83 Bagi para
pemula, bisnis waralaba merupakan pilihan untuk berwirausaha dan bereskpansi
dengan resiko paling kecil. Resiko bisnis kegagalan waralaba jauh lebih kecil
dibandingkan dengan konsep bisnis lain seperti MLM (Multi Level Marketing),
distributor direct sales (penjualan langsung) dan berbagai konsep bisnis lain.
Resiko kegagalan franchise ialah 5-15%, sedangkan pada bisnis biasa dapat
mencapai lebih dari 65%. Selain itu, para pengusaha yang telah menjalankan
bisnisnya, dapat mengkonversi usahanya menjadi waralaba untuk meningkatkan
keuntungan. Walaupun mendapat tambahan tuntutan untuk mempertinggi kualitas
bisnis mereka, dampak yang didapat lebih dari sekedar membangun brand image
produk atau jasa mereka. Dari uraian ini, secara umum bisnis waralaba merupakan
alternatif jalan keluar yang relatif aman bagi orang-orang yang terjun bisnis
sendiri, perusahaan-perusahaan untuk melakukan ekspansi atau pembukaan
cabang secara efektif tanpa memunculkan overhead yang tinggi dan kerumitan
manajemen yang biasanya berkaitan dengan pendirian sebuah cabang, perusahaan
untuk mengubah sistem cabang atau agensinya menjadi mesin pemasaran yang
ramping dan tangguh.84
Ada beberapa keuntungan yang dapat diraih oleh franchisee dalam bisnis
waralaba secara umum, yaitu:
83
Anonymous, Sejarah Waralaba http://wirausaha.com (diakses pada tanggal 22 April pukul 00.52 WIB)
84
1. Modal yang diperlukan untuk usaha waralaba lebih sedikit dibandingkan
dengan usaha mandiri yang independen.
2. Kerap kali tidak harus memiliki pengetahuan tentang bisnis yang akan
digeluti karena franchisor melakukan pelatihan.
3. Resiko bisnis berkurang karena nama dan produk franchisor sudah dikenal
dan mempunyai goodwill. Hal ini karena adanya bantuan dan dukungan
usaha terus-menerus yang diberkan franchisor dalam menjalankan
bisnis.85
4. Adanya hak unutk mengelolah bisnis yang sudah mapan dan memiliki
identitas atau merek dagang yang legal dan populer sehingga tidak harus
mengembangkan ide dan citra produk atau jasa yang memerlukan waktu
dan tenaga
5. Franchisee hanya memerlukan proses belajar yang singkat, tujuan yang
terarah, serta kekuatan dalam kegiatan promosi yang efisien.
6. Produk atau jasa yang sudah terkenal serta merek dagang yang sudah
besar.
7. Memperoleh pendampingan manajemen dan dukungan promosi dilakukan
untuk menunjukkan ke pasar bahwa bisnis tersebut masih dalam satu
naungan.
8. Memperoleh pelatihan manajemen (pemasaran, produksi, keuangan dan
SDM)
85
9. Adanya kemudahan melakukan pinjaman kepada pihak ketiga, bila
waralabanya sudah teruji di pasar.86
10.Memiliki sistem pemasaran yang telah teruji
11.Resiko kegagalan bisnis yang relatif rendah.
Dengan berbagai keuntungan yang telah dijelaskan, tidak mengherankan
waralaba menjadi lirikan pengusaha-pengusaha baru untuk mengembangkan
ladang bisnisnya. Sedangkan kerugian franchisee ialah sebagai berikut:
1. Meski usaha milik sendiri, kebiajakan umumnya masih ditentukan oleh
franchisor sehingga untuk membentuk sistem yang baku memerlukan
proses yang birokratis.
2. Biasanya franchisor mengontrol berbagai aspek pengoperasian bisnis,
bahkan terlalu membatasi.
3. Untuk mendapatkan hak waralaba, franchisee harus mempertibangkan
sumber dana untuk pembayaran royalti yang tinggi.
4. Keberhasilan dari setiap unit waralaba individu tergantung pada
bekerjanya perusahaan induk (franchisor)87
5. Kebijkan franchisor tidak selalu disampaikan kepada franchisee secara
terus-menerus serta perlu kreativitas dan pemahaman sendiri dalam segu
manajemen usaha.88
86
Yuswa., Franchisebility (http://www.yuswablog.com) diakses pada tanggal 22 April pukul 01.29 WIB
87
T. Siambaton. Op.cit halm. 85 88
Anonymous, Info Dasar untuk Melangkah Bisnis
Sedangkan pada pihak franchisor, keuntungan yang di dapat dalam
mewaralabakan bisnisnya anatara lain sebagai berikut:
1. Modal sepenuhnya berasal dari franchisee, yang juga dipakai untuk
menjalankan usaha tersebut.
2. Franchisor menerima persentase dari penghasilan kotor dan tidak
memiliki kaitan dengan keuntungan maupun kerugian franchisee,
3. Franchisee atau orang yang ditunjuk franchisee terjun sendiri menangani
operasonal usahanya.
4. Franchisee membayar biaya pelatihan. Bagi franchisee, kegiatan ini
biasanya menjadi salash satu sumber keuntungan mereka juga.
5. Bagi franchisor, debt to equity ratio menjadi positif karena tidak perlu
mencari sumber pendanaan lagi (utang).
6. Usaha dapat cepat berkembang, tetapi dengan menggunakan modal dan
motivasi dari franchisee.
7. Mudah dikembangkan suatu pasar atau perluasan wilayah baru karena
nama franchisor yang sudah terkenal.
8. Franchisee akan memiliki motivasi yang kuat untuk mengembangkan
bisnis waralaba karena dia memiliki bisnis sendiri.
9. Kecilnya modal untuk memperluas usaha karena sebagian besar modal
ditanggung oleh franchisee.
10.Jumlah karyawan franchisor relatif lebih sedIkit.
11.Setiap kali dibuka unit waralaba yang baru, biasanya daya beli kelompok
12.Banyak dana dapat dihemat karena adanya promosi dan pelayanan yang
bersama.
13.Return on investment cukup tinggi, terutama setelah tahun kedua dan
ketiga.
Adapun kerugian bagi franchisor dalam bisnis waralaba ialah:
1. Franchisor tidak mudah mendikte franchisee sehingga tidak mudah bagi
franchisor untuk mengadakan perubahan atau inovasi bisnis yang baru.
2. Timbul kesulitan bagi franchisor karena biasanya terdapat harapan yang
terlalu tinggi baik pilihan franchisee untuk mendapat keuntungan yang
sebesar-besarnya dalam waktu yang sesingkat-singkatnya.
3. Jika ada kenaikan dari segi biaya, biasnya franchisor tidak mudah untuk
meyakinkan franchisee.
4. Bisa menghancurkan reputasi franchisor jika franchise yang dipilih
ternyata tidak tepat.
5. Mengingat ikatan waralaba biasanya untuk jangka waktu yang lama, maka
apabila franchisor ingin mengakhiri perjanjian waralaba secara sepihak,
misalnya karena ada kejadian yang tidak terantisipasi, tidak mudah
mengakhiri perjanjian warlaba tanpa alasan-alasan yang sah.
B. Tata Cara Pendaftaran Waralaba di Indonesia
Adapun tata cara pendaftaran usaha waralaba di Indonesia adalah sebagai
1. Pemberi waralaba wajib mendaftarkan prospektus penawaran waralaba sebelum membuat perjanjian waralaba dengan penerima waralaba,89 pendaftaran prospektus waralaba ini dapat dilakukan oleh pihak lain yang diberi kuasa.
2. Permohonan pendaftaran prospektus penawaran waralaba diajukan degan melampirkan fotokopi prospektus penawaran waralaba dan fotokopi legalitas usaha.90
3. Prospektus penawaran waralaba didaftarkan oleh pemberi waralaba berasal dari luar negeri harus dilegalisir oleh Public Notary dengan melampiran surat keterangan dari Mentri Perdagangan R.I atau Pejabat Kantor Perwakilan R.I di negara asal.91
4. Penerima waralaba wajib mendaftarkan perjanjian waralaba92, perjanjian ini dapat dilakukan oleh pihak lain yang diberi kuasa.93 Permohonan pendaftaran perjanjian waralaba diajukan dengan melampirkan fotokopi legalitas usaha, fotokopi perjanjian waralaba, fotokopi prospektus penawaran waralaba dam fotokopi kartu tanda penduduk pemilik/ pengurus perusahaan.94
5. Permohonan pendaftaran waralaba ini diajukan kepada Menteri,95 dan menteri akan menerbitkan Surat Tanda Perjanjian Waralaba (SPTW) apabila pemohon pendaftaran waralaba telah memenuhi persyaratan, SPWT ini berlaku untuk jangka waktu 5 (lima) tahun.
6. Pemberi waralaba wajib memiliki STPW, untuk mendapatkannya pemberi waralaba dalam negeri wajib mendaftarkan prospektus penawaran waralaba ke Direktorat Bina Usaha Perdagangan up. Kantor Unit Pelayanan Perdagangan Kementrian dagang dengan mengisi formulir yang tercantum dalam lampiran III A-1 Peraturan Mentri Perdagangan.96 7. Penerima waralaba wajib memiliki STPW, unutk penerima waralaba dari
dalam negeri pendaftaran waralaba ke dinas yang bertanggungjawab di bidang perdagangan Provinsi DKI Jakarta ataukabupaten/ kota atau Kantor Pelayanan Satu Pintu di seluruh Indoneisa dengan mengisi formulir dalam lampiran III B-2,97 khusus untuk penerima waralaba dari luar negeri mendapatkan SPTW dengan mendaftarkan perjanjian waralaba ke Direktorat Bina Usaha Perdagangan up. Kantor Unit Pelayanan Perdagangan Kementrian Perdagangan dengan mengisi formulir dalam lampiran III B-1 Peraturan Menteri Perdagangan.98
8. Permohonan SPTW penerima dan pemberi waralaba harus ditandatangani penanggungjawab oleh pemilik, pengurus, atau penanggungjawab perusahaan dengan melampirkan dokumen-dokumen yang menjadi op
89
Pasal 10 ayat (1), PP Nomor 42 Tahun 2007 Tentang Waralaba
90
Ibid, pasal 12 ayat (1)
91
Pasal 13, Permendagri Nomor 53/M-DAG/PER/8/2012
citpersyaratan dalam permohonan SPTW yang tercantum dalam lampiran IV Peraturan Menteri Perdagangan.99
9. Pemberi dan Penerima waralaba yang telah memiliki STPW wajib menggunakan Logo Waralaba.100
C.Pelaksanaan Perjanjian Waralaba Di Indonesia
Sebelum berlakunya Peraturan Pemerintah No. 16 Tahun 1997 tentang
Waralaba (yang sekarang diganti dengan Peraturan Pemerintah No.42 Tahun
2007), masalah warlaba menjadi persoalan besar, karena pewaralaba harus
menggantungkan pada kesepakatan yang tertulis di dalam kontrak kerja sama.
Artinya, kedua belah pihak harus sangat teliti dan hati-hati atas apa yang
disepakati. Perlindungan dari ketetapan lain yang mengatur suatu kerja sama
waralaba dapat diasumsikan sulit diperoleh, kalaupun ada. Etika pewaralabaan
merupakan sumber yang sementara itu dapat dijadikan pedoman apakah perjanjian
yang disusun mempunyai landasan yang adil dan benar.101
Perjanjian waralaba memuat kumpulan persyaratan, ketentuan dan
komitmen yang dibuat dan dikehendaki oleh franchisor bagi para franchisee-nya.
Di dalam perjanjian waralabatercantum ketentuan yang berkaitan dengan hak dan
kewajiban franchisee, persyaratan lokasi, ketentuan pelatihan, biaya-biaya yang
harus dibayarkan oleh franchisee kepada franchisor, ketentuan yang berkaitan
dengan lama perjanjian waralaba dan perpanjangannya, serta ketentuan lain yang
mengatur hubungan antara franchisor dengan franchisee.102
Peraturan-peraturan yang berlaku pada perjanjian waralaba, sebelumnya
adanya peraturan yang khusus untuk mengatur waralaba, yaitu sebagai berikut:
99
Ibid, Pasal 11
100
Ibid, Pasal 18
101
Sutedi Adrian, Op.cit., hlm.79
102
a. Peraturan tentang perjanjian khususnya dijumpai pada Pasal 1320
Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, yaitu syarat-syarat sahnya
suatu perjanjian dan pasal 1338 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata
tentang ketentuan yang membenarkan tentang perjanjian waralaba.
b. Peraturan tentang hak milik intelektual, yaitu hak paten, merek dan hak
cipta.
c. Peraturan hukum tentang perpajakan, yaitu pajak pertambahan nilai
dan pajak penghasilan.
d. Peraturan hukum tentang ketenagakerjaan.
Berlakunya Peraturan Pemerintah No. 16 Tahun 1997 tentang Waralaba
(diganti dengan Peraturan Pemerintah No.42 Tahun 2007) dan Peraturan Mentri
Perdagangan No. 12/M-Dag/Per/3/2006 tentang Ketentuan dan Tata Cara
Penerbitan Surat Tanda Pendaftaran Usaha Waralaba yang mewajibkan
pihak-pihak yang terlibat dalam sistem waralaba melakukan perjanjian waralaba.
Peraturan perjanjian waralaba merupakan salah satu aspek perlindungan hukum
kepada para pihak dari perbuatan merugikan pihak lain. Hal ini dikarenakan
perjanjian tersebut dapat menjadi dasar hukum yang kuat untuk menegakkan
perlindungan hukum bagi para pihak yang terlibat dalam sistem waralaba, jika
salah satu pihak melanggar isi perjanjian, maka pihak lain dapat menuntut pihak
yang melanggar tersebut sesuai dengan hukum yang berlaku.103
Dlihat dari sudut pandang yuridis dalam Peraturan Pemerintah No. 42
Tahun 2007 tentang waralaba dan Peraturan Menteri Perdagangan Nomor
12/M-Dag/Per/3/2006 tentang Ketentuan dan Tata Cara Penerbitan Surat Tanda
103
Pendaftaran Usaha Waralaba, dikenal adanya pemberi dan penerima waralaba,
dimana keduanya ada suatu perjanjian atau kontrak waralaba yang wajib
didaftarkan kepada Departemen Perdagangan.104
Dalam setiap model perjanjian waralaba sekurang-kurangnya terdapat
unsur-unsur sebagai berikut:105
a. Adanya suatu perjanjian yang disepakati.
Perjanjian franchise dibuat oleh para pihak, yaitu franchisor dan
franchisee yang keduanya berkualfikasi sebagai subjek hukum, baik ia
sebagai badan hukum maupun hanya sebagai perorangan.
Untuk menjamin kepastian hukum, sebaiknya perjanjian franchise dibuat
di hadapan yang berwenang dalam hal ini adalah notaris, dan perlu
memperhatikan secara seksama mengenai patner, pemeliharaan standar,
hubungan para pihak, teknik operasional dan masalah antisipasi masa
datang.
b. Adanya pemberian hak.
Dalam hal ini franchisee berhak menggunakan nama, cap dagang, dan logo
milik franchisor yang sudah lebih dahulu dikenal dalam dunia
perdagangan,
c. Pemberian hak yang terbatas pada waktu dan tempat tertentu.
104
Ibid
105
Juajir Sumardi, Aspek-Aspek Hukum Franchisee dan perusahaan Transnasional
Dalam hal ini franchisor memberi hak kepada franchisee menggunakan
nama, cap dagang, dan logo dari usahanya kepada franchisee terbatas pada
tempat dan waktu yang telah diperjanjikan dalam perjanjian franchise
yang telah mereka buat sesama.
d. Adanya pembayaran sejumlah uang tertentu dari franchisee kepada
franchisor.
Pembayaran-pembayaran ini antara lain pembayaran awal, pembayaran
selama berlangsungnya franchise, pembayaran atas pengoperan hak
franchise kepada pihak ketiga, penyediaan bahan baku, dan
masalah-masalah lain yang belum tercantum dalam suatu perjanjian.
Setiap perjanjian waralaba memiliki tiga prinsip, yaitu harus jujur dan
jelas, tiap pasal dalam perjanjian harus adil, serta isi dari perjanjian dapat
dipaksakan berdasarkan hukum.106
Perjanjian waralaba harus mempunyai syarat-syarat sebagai berikut:
a. Kesepakatan kerja sama waralaba tertuang dalam perjanjian waralaba yang
disahkan secara hukum.
b. Kesepakatan kerja sama ini menjelaskan secara rinci semua hak,
kewajiban dan tugas dari franchisor dan franchisee.
c. Masing-masing pihak yang bersepakat sangat dianjurkan, bahkan untuk
beberapa negara dijadikan syarat, mendapatkan nasihat dari ahli hukum
yang berkompeten untuk memahami isi dari perjanjian tersebut dengan
waktu yang dianggap cukup untuk memahaminya.
106
Dalam kebanyakan sistem waralaba, franchisee mempunyai hak atas: logo
merek dagang (trade mark), nama dagang (trade name), dan nama baik/reputasi
(goodwill) yang terkait dengan merek dan/atau nama tersebut, format/pola usaha
yakni suatu sistem usaha yang terekam dalam bentuk buku pegangan (manual)
yang sebagian isinya adalah rahasia usaha serta dalam kasus tertentu berupa
rumus, resep dan program khusus.
Hal-hal yang berhak dimiliki franchisee tersebut harus tercantum dalam
perjanjian waralaba sehingga perjanjian tersebut bersifat sebagai berikut:107
a. Suatu perjanjian yang dikuatkan oleh hukum (legal agreement).
b. Memberi kemungkinan franchisor untuk tetap memiliki hak atas nama
dagang dan atau merek dagang, format/pola usaha, dan hal-hal khusus
yang dikembangkannya untuk suksesnya usaha tersebut.
c. Memberi kemungkinan franchisor mengendalikan sistem usaha yang
dilisensikannya.
d. Hak, kewajiban dan tugas masing-masing pihak dapat diterima oleh
franchisee.
Walaupun suatu perjanjian waralaba merupakan kesepakatan antara dua
pihak, tetapi paling tidak ada dua pihak lain yang terkena dampak dalam isi
perjanjian waralaba yaitu franchisee lain dalam sistem waralaba yang sama dan
konsumen atau klien dari franchisee maupun masyarakat umumnya. Franchisee
lain dalam sistem waralaba (franchising) yang sama berharap bahwa franchisee
yang baru menjadi anggota akan menjaga nama dari seluruh sistem dengan
menepati standar yang telah menyebabkan seluruh sistem berhasil. Konsumen
107
atau masyarakat pada umumnya mengharapkan adanya produk atau jasa yang
konsisten/standar yang diterima di tempat lain. Oleh karena itu, didalam isi
perjanjian waralaba dicantumkan kekhasan produk/jasa yang ditawarkan yang
tidak dimikili sistem usaha lain. Ini sekaligus menjadi kekuatan dari sistem
waralaba yang dikembangkan. Selain itu, franchisor juga berkewajiban untuk
mengembangkan paket usaha yang semuanya tertuang secara rinci dalam
perjanjian waralaba.
Adapun substansi atau muatan materi dalam klausul-klausul yang terdapat
dalam suatu perjanjian waralaba, baik internasional maupun nasional, umumnya
sebagai berikut:108
1. Ketentuan umum (general provisions)
Ketentuan umum memuat pembatasan istilah dan pengertian yang digunakan dalam seluruh perjanjian. Artinya, di dalam ketentuan ini dirumuskan defenisi-defenisi atau pembatasan pengertian dari istilah-istilah yang dianggap penting dan sering digunakan dalam perjanjian, yang disepakati oleh para pihak yang terlibat perjanjian.
2. Prasyaratan perjanjian (condotions precedent)
Klausul ini menentukan ada beberapa yang harus terjadi atau tindakan yang harus dilakukan oleh salah satu pihak sebelun pihak lainnya berkewajiban menjalankan suatu kontrak.
3. Pembelian waralaba (franchise grant)
Dalam bagian ini ditentukan hak waralaba oleh franchisor kepada franchisee. Penentuan pemberian hak tersebut merinci hak-hak yang boleh digunakan oleh franchiseee, seperti penggunaan merek dagang, paten, hak cipta, rahasia dagang dan sebagainya.
4. Pembatasan penggunaan hak waralaba (limitaton of
franchisee/intellectual property protection)
Dalam bagian ini ditentukan berbagai batasan dalam hal digunakannya setiap merek dagang, logo, desain, paten atau hak cipta milik franchisor oleh franchisee. Selanjutnya, ditegaskan juga bahwa franchisor berhak atas hak milik intelektual tersebut, sementara franchisee hanya diberi hak untuk menggunakannya saja.
5. Pembayaran biaya waralaba (franchise price and payment terms)
108
Dalam bagian ini diperincikan seluruh pembayaran dan mekanisme pembayaran oleh franchisee kepada franchisor, misalnya royalti, franchisee fee, initial asistance fee dan biaya promosi.
6. Jasa yang diberikan oleh franchisor (service by franchisor)
Pada bagian ini, klusul mengatur tentang kewajiban apa saja yang akan diberikan oleh franchisor, selain pemberian izin penggunaan hak, misalnya pelatihan tenaga kerja, bantuan manajemen usaha, pelaksanaan operasional perusahaan, pengawasan atau evaluasi kinerja, pemberian menual pengoperasian dan standart policily yang bersifat rahasia, pengontrolan biaya dan akuntansi.
7. Keseragaman dan standarisasi operasi (standart and unformity of operational)
Klausul ini mengatur mengenai kewajiban franchisee untuk mematuhi dan melaksanakan peraturan, baik dari segi manajemen usaha, pelayanan, mutu, laporan keuangan, dekorasi, sampai hal-hal yang mendetail, sebab pelaksanaan suatu usaha yang dilakukan franchisee harus sesuai dengan standar operasi yang ditentukan oleh franchisor. 8. Promosi (marketing and advertising campaign)
Klausul ini mengatur tentang besarnya biaya atau kontribusi sekian persen dari omzet usaha franchisee yang harus disisihkan. Besarnya biaya kontribusi, jenis promosi dan media yang digunakan juga harus ditentukan dengan jelas.
9. Pelatihan (training)
Agar usaha waralaba dapat berjalan sesuai dengan standar operasional franchisor maka biasanya franchisor memberikan pelatihan terlebih dahulu, yang meliputi jenis kegiatan pelatiham, berapa lama waktu pelatihan yang akan diadakan, tempat pelatihan dan biaya pelatihan. 10. Eksklusivitas
Klausul ini mengatur bahwa franchisee diberikan hak yang eksklusif yang diperjanjikan di dalam suatu wilayah tertentu. Jika memang demikian yang diperjanjikan, maka dalam hal ini, franchisor tidak boleh memberikan hak franchisee kepada pihak lain selain franchisee yang terkait dengan yang bersangkutan
11. Jangka waktu perjanjian (terms)
Klausul ini secara umum menentukan berapa lama perjanjian itu berlaku atau secara khusus menentukan jangka waktu berakhirnya pemberian hak waralaba kepad franchisee.
12.Pemilihan lokasi (premises)
Ketentuan ini mengatur mengenai tempat dimana usaha waralaba akan dioperasikan oleh pihak franchisee.
13. Hak untuk memeriksa dan mengaudit (rights of inspection and audit) Klausul ini mengatur tentang hak franchisor untuk sewaktu-waktu dapat memeriksa tempat usaha, standar operasional maupun laporan keuangan franchisee dengan izin terlebih dahulu dari franchisee. 14.Prosedur pelaporan ( report procedures)
tertentu dengan format laporan keuangan tertentu. Laporan ini diberikan bersamaan dengan pembayaran secara periodik.
15.Prinsip tanpa persaingan (non-competition)
Klausul ini menentukan bahwa untuk melindungi rahasia dagang milik franchisor, pihak franchisee dilarang secara langsung ataupun tidak langsung untuk membuka usaha lain yang sama atau mirip dengan usaha waralaba tersebut selama terikat perjanjian, bahkan hingga beberapa tahun setelah berakhirnya perjanjian. Franchisee juga tidak dibenarkan untuk melakukan kegiatan yang dapat dikategorikan sebagai persaingan tidak sehat sebagaimana yang telah diatur dalam Undang-Undang No.5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat.
Namun, klausul ini tidak berarti bahwa perjanjian waralaba merupakan suatu bentuk monopoli sebab perjanjian warlaba merupakan suatu hubungan sitimewa yang berkaitan dengan hak-hak istimewa seperti HaKI sehingga pemiliknya dilindungi oleh undang-undang. Hal ini tercermin dalam pasal 50 huruf b Undang-Undang No. 5 tahun 1999 yang mengemukakan bahwa waralaba tidak termasuk sebagai bentuk monopoli atau persaingan usaha tidak sehat.
16.Kerahasiaan produk atau sistem (confidentially/non disclosure)
Klausul ini menentukan bahwa franchisee berkewajiban untuk menjaga rahasia atau informasi yang termasuk rahasia dagang milik franchisor kepada pihak mana pun.
17.Perizinan dan administrasi (government approval)
Franchisee berkewajiban untuk mengurus dan menanggung biaya yang dikeluarkan untuk hal-hal yang bersifat perizinan dan administrasi pemerintah seperti pendaftaran usaha, IMB, izin gangguan (HO), NPWP perusahaan dan sebagainya.
18.Karyawan dan tenaga kerja (employes)
Klausul ini menentukan bahwa setiap karyawan dari franchisee merupakan karyawan franchisee sendiri. Tidak ada hubungan hukum apapun dengan franchisor sehingga tidak ada tuntutan apapun oleh pihak ketiga dalam hubngan dengan tindakan karyawan maupun oleh karyawan itu sendiri yang dialamatkan kepada franchisor.
19.Asuransi (insurance)
Klausul mengenai asuransi biasanya ditentukan secara terperinci mengenai asuransi apa saja yang harus diikuti oleh franchisee dan dijamin utuk jumlah beberapa, misalnya asuransi untuk product liability, bodily injury liability, property damage liability dan sebagainya.
20.Jaminan terhadap tuntutan hukum dan kerugian (indemnification) Ketentuan ini mengatur bahwa setiap kewajiban dan tanggung jawab kontraktual apapun, yang tidak terbit sebagai akibat dari eksistensi usaha waralaba, harus sepenuhnya dipikul oleh franchisee itu sendiri. Oleh karena itu, franchisee berkewajiban untuk menjamin bahwa kedudukan franchisor tetap aman dan bebas dari segala macam tuntutan hukum.
Ketentuan ini mengatur dengan tegas bawa seluruh pajak yang berkenan dengan usaha franchisee akan ditanggung oleh pihak franchisee.
22.Pengalihan hak.
Dalam perjanjian waralaba, biasanya penggunaan hak franchisee dapat dialihkan kepada pihak lain selama ada izin tertulis dari franchisee dan biasanya franchisor memiliki hak tolak pertama (right of firsr refsal). Selain itu, biasanya ditentukan juga bila terjadi kematian atau ketidakcakapan franchisee, franchisor harus memberikan izin kepada pihak ahli waris atau yang berhak lainnya untuk meneruskan usaha waralaba, kecuali pihak ahli waris atau yang berwenang lainnya tidak memenuhi ketentuan atau persyaratan standar untuk menjalankan usaha tersebut.
Dalam hal pengalihan hak, hal ini juga telah diatur dalam pasal 1338 KUHPerdata, bahwa jika setiap orang minta diperjanjikan suatu hal maka dianggap bahwa hak itu adalah untuk ahli waris-ahlli warisnya dan orang-orang yang memperoleh hak daripadanya, kecuali jika dengan tegas ditetapkan atau dapat disimpulkan dari sifat perjan jian bahwa tidak demikian maksudnya.
23.Kedudukan berdiri sendiri (independent contractors atau no agency) Klausul ini menegaskan bahwa kedudukan dan hubungan hukum anatarafranchisor dengan franchisee bukanlah hubungan keagenan, joint venture atau atasan bawahan.
24.Wanprestasi (event of default/non performance)
Dalam ketentuan ini ditentukan dengan tegas tentang kapan atau kejadian-kejadian apa saja yang dapat menyebabkan terjadinya wanprestasi oleh salah satu pihak sehingga pihak lain dengan prosedur tertentu dapat memutuskan perjanjian secara sepihak sesua dengan pengaturan yang terdapat dalam perjanjian yang bersangkutan.
25.Perpanjanga perjanjian (extention of agreement)
Ketentuan ini mengatur mengatur mengenai tata cara perpanjangan suatu perjanjian pada saat akan berakhirnya atau pada saat berakhirnya perjanjian waralaba.
26.Penghentian atau berakhirnya perjanjian (termination of agreement) Ketentuan ini mengatur mengenai kapan putusnya suatu perjanjian atau bagaimana jika salah satu pihak atau kedua belah pihak ingin memutuskan perjanjian dan akibat dari putusnya perjanjian.
27.Pilihan forum dan juridiksi hukum (forum and governing law)
Ketentuan ini menentukan bahwa perjanjian ini dibuat dan ditafsirkan berdasarkan hukum yang berlaku di suatu negara atau negara bagian tertentu atau berdasakan peraturan daerah tertentu.
28.Amandemen perjanjian dan pelepasan hak (modification and waiver) Ketentuan ini merupakan kesepakatan dari awal yang mensyaratkan pihak-pihak yang menginginkan perubahan perjanjian agar membuat modifikasinya dalam bentuk tertulis dan harus berdasarkan kesepakatan kedua belah pihak.
Ketentuan ini diatur dalam Pasal 1236 dan 1239 KUHPerdata dimana apabila franchisee tidak memenuhi prestasinya, maka wajib membayar biaya ganti rugi dan bunga yang diderita oleh franchisor.
Ganti rugi terdiri dari liquidated damage, reliance damage, expectation damage, dan restitution damage.
30.Force Majeure
Klausul force majeure merupakan ketentuan yang umumnya pada setiap perjanjian. Klausul ini mengekspresikan keinginan dari para pihak yang terikat dalam perjanjian bahwa jika pelaksanaa perjanjian terhalang oleh suatu keadaan yang tidak dapat diperkirakan sebelumnya dan diluar kemampuan para pihak untuk mencegah atau mengantisipasinya, misalnya bencana alam, huru hara dan perubahan undang-undang, maka tidak terlaksananya prestasi bukanlah wanprestasi.
Klausul ini juga diatur dalam pasal 1245 KUHPerdata bahwa tiada biaya, ganti rugi dan bunga harus diganti oleh debitur berhalangan memberikan atau berbuat sesuatu yang diwajibkan.
31.Keterpisahan (severability of provisions)
Klausul ini menentukan bahwa apabila satu atau beberapa pasal di dalam perjanjian waralaba ternyata tidak sah atau tidak valid menurut peraturan perundang-undangan, maka klausul yang lain (yang sah) dapat tetap dijalankan atau berlaku, seolah-olah klausul yan tidak valid tersebut tidak pernah ada.
32.Penyelesaian sengketa (settlement of disputes)
Klausul ini menentukan pilihan forum atau badan mana yang berwenang unutk mengadili jika terjadi sengketa. Biasanya urut-urutnya adalah musyawarah atau kekeluargaan, arbitrase dan akhirnya baru pengadilan. Dapat juga ditentukan penyelesaian sengketa hanya digunakan badan arbitase tertentu saja dan keputusan badan tersebut bersifat final dan tidak dapat banding.
33.Wewenang untuk terkait dalam kontrak (binding authority)
Klausul ini menyaratkan bahwa para pihak yang terikat dalam perjanjian merupakan pihak yang berwenang dan cakap untuk membuat perjanjian.
34.Biaya jasa pengacara (cost and fee)
Klausul ini mengatur mengenai biaya atau ongkos jasa pengacara yang harus ditanggung oleh franchisee atau setiap penagihan terhadap keterlambatan pembayaran.
35.Surat-menyurat.
Klausul ini menegaskan bahwa segala bentuk pemberitahuan harus dalam bentuk tertulis serta dikonfirmasi dengan surat menyurat yang dialamatkan kepada alamat yang tertera dalam perjanjian.
36.Interasi kontrak (merger/entitr agreement)
Klausul ini juga diatur dalam Pasal 1348 KUHPerdata yang menyatakan bahwa semua janji yang dibuat harus ditafsirkan dalam rangka perjanjian seluruhnya.
Perjanjian waralaba juga dapat mengatur suatu ketentuan yang
memungkinkan franchisee untuk memberikan waralaba lanjutan kepada pihak lain
dengan ketentuan bahwa franchisee tersebut harus mengoperasikan
sekurang-kurangnya satu outlet waralaba dan perjanjian waralaba lanjutan tersebut dibuat
dengan sepengetahuan franchisor. Dalam memberikan waralaba lanjutan,
franchise utama wajib membutkikan kepada franchisee lanjutan bahwa ia
memiliki kewewnangan untuk melakukan hal tersebut. Hal tersebut sesuai dengan
pasal 6 Peraturan Menteri Perdagangan yang memuat ketentuan mandatoir (yang
harus ada) mengenai isi klausul minimal yang harus diatur dalam perjanjian
waralaba. Diantaranya ialah:
a. Jangka waktu perjanjian minimal 10 tahun untuk perjanjian waralaba antara franchisor dengan franchisee utama.
b. Minimal lima tahun untuk perjanjian waralaba antara franchisee utama dengan franchisee lanjutan (pasal 7 Permendag)
c. Jenis HaKI pasal 6 huruf b, penemuan atau ciri khas usaha misalnya: 1) Sistem menejemen
2) Cara penjualan atau penataan atau cara distribusi yang merupakan karakteristik khusus yang menjadi objek waralaba. 3) Hak dan kewajiban para pihak
4) Bantuan dan fasilitas yang diberikan kepada franchisor.
Berdasarkan Peraturan Menteri Perdagangan tersebut, maka anggapan
franchise dilarang mengalihkan know how yang diterimanya kepada pihak lain
kurang tepat sebab Pasal 3 Permendag tersebut membolehkan perjanjian waralaba
disertai dengan pemberian hak untuk membuat perjanjian waralaba lanjutan.
Artinya, pendapat yang secara absolut menolak franchisee untuk mengalihkan
know how (salah satu elemen dalam HaKI) yang diterimanya kepada pihak lain,
larangan) para pihak, yaitu apakah franchisee dilarang atau diperkenankan
membuat perjanjian waralaba lanjutan. Jika ada kewajiban bagi franchisee untuk
merahasiakan serta tidak memberitahukan kepada pihak ketiga apa yang
diperolehnya dari franchisor, maka dalam perjanjian harus dicantumkan
keterangan-keterangan apa sajakah yang harus diberikan oleh franchisor kepada
franchisee.109
Pada saat franchisor terkait pada suatu perjanjian waralaba dengan
franchisee, franchisor tidak diperkenankan untuk mewaralabakan produk atau
jasa yang sama dengan merek dagang yang sama kepada franchisee lainnya di
lokasi-lokasi yang berdekatan. Apabila hal tersebut terjadi dapat mengakibatkan
persaingan antar unit waralaba di lokasi tersebut. Pembatasan ini juga berlaku
bagi franchisor terhadap franchisee lanjutan.110
Jika franchisor mengakhiri perjanjian waralaba sebelum jangka waktunya
berakhir, maka franchisor dapat membuat perjanjian waralaba lain apabila semua
masalah yang timbul dari perjanjian yang berakhir tersebut telah diselesaikan dan
dinyatakan dengan jelas dalam suatu surat pernyatan bersama antara pihak yang
terlibat.111
109
Ibid
110
Ibid
111
Anonymous, Tinjauan Hukum tentang Peraturan Waralaba di Indonesia
BAB IV
ASPEK HUKUM PENGENAAN PAJAK WARALABA
A.Sanksi Pelanggaran Pengenaan Pajak Terhadap Usaha Waralaba
Ada beberapa denda yang dikenakan terhadap usaha franchise apabila
melakukan pelanggaran pajak, diantaranya adalah:
1. Sanksi Administratif
Dalam sanksi sanksi ini terdapat bebrapa pembagian sanksi yang besifat
administratif, yaitu:112
a. Denda
Sanksi denda adalah jenis sanksi yang paling banyak ditemukan dalam
UU Perpajakan. Terkait besarnya, denda yang ditetapkan sebesar jumlah
tertentu, persentase dari jumlah tertentu atau suatu angka perkalian dari
jumlah tertentu.
Pada sejumlah pelanggaran, sanksi denda ini akan ditambahkan
dengan sanksi pidana. Pelanggaran yang dikenai sanksi pidana ini adalah
pelanggaran yang sifatnya alpa atau disengaja.
Tabel Pengenaan Sanksi
No Pasal Masalah Sanksi Keterangan
1 7 ayat (1) SPT terlambat disampaikan
a. Masa Rp.100.000
atau
Rp.500.000
Per SPT
112
b. Tahunan Rp.100.000 tetapi tidak membuat faktur atau membuat faktur pajak, tetapi tidak tepat waktu
2% Dari DPP
Pengusaha yang telah dikukuhkan sebagai PKP yang tidak mengisi faktur pajak secara lengkap
2% Dari DPP
PKP melaporkan faktur pajak tidak sesuai dengan masa penerbitan faktur pajak
2% Dari DPP
b. Bunga
Sanksi administrasi bunga dikenakan atas pelanggaran yang
menyebabkan utang pajak menjadi lebih besar. Jumlah bunga dihitung
berdasarkan persentase tertentu dari suatu jumlah, mulai dari saat bunga
itumenjadi hak/kewajiban sampai dengan saat diterima pembayaran.
Terdapat perbedaan dalam menghitung bunga utang biasa dengan
bunga utang pajak. Penghitungan bunga utang pada umunya menerapakan
bunga majemuk (bunga berbunga). Sementara, sanksi bunga dalam
ketentuan pajak tidak dihitung berdasarkan bunga majemuk.
Besarnya bunga akan dihitung secara tetap dari pokok pajak yang
tidak/kurang dibayar. Tetapi, dalam hal wajib pajak hanya membayar
ketetapan pajak yang telah diterbitkan. Maka sanksi bunga tersebut dapat
ditagih kembali dengan disertaibunga lagi.
Perbedaan lainnya dengan bunga utang pada umumnya adalah sanksi
bunga dalam ketentuan perpajakan pada dasarnya dihitung 1 bulan penuh.
Dengan kata lain, bagian dari bulan dihitung 1 bulan penuh atau tidak
dihitung seara harian.
No Pasal Maslaah Sanksi Keterangan
1 8 ayat (2
dan 2a)
Pembetulan SPT Masa dan
Tahunan
3 13 ayat(2) Kekurangan pembayaran
pajak dalam SKPKB
2% Per bulan, dari
jumlah kurang
bayar, max 24
bulan
4 13 ayat (5) SKPKB diterbitkan setelah
lewat waktu 5 tahun
tidak/kurang
waktu 5 tahun karena
c. Kenaikan
Jika melihat bentuknya, bisa jadi sanksi administrasi berupa kenaikan
adalah sanksi yang paling ditakuti oleh wajib pajak. Hal ini karena bila
dikenakan sanksi tersebut, jumlah pajak yang harus dibayarbisa menjadi
berlipat ganda. Sanksi berupa kenaikan pada dasarnya dihitung dengan
angka persentase tertentu dari jumlah pajak yang tidak kurang dibayar.
Jika dilihat dari penyebabnya sanksi dikenakan biasanya dikenakan
karen wajib pajak tidak memberikan informasi-informasi yang dibutuhkan
dalam menghitung jumlah pajak terutang.
No Pasal Masalah Sanksi Keterangan
1 8 ayat
(5)
Pengungkapan
ketidakbenaran SPT
sebelum terbitnya SKP
50% Dari pajak yang
kurang dibayar
2 13 ayat
(3)
Apabila SPT tidak
disampaikan
sebagaimana disebut
dalam surat teguran,
PPN/PPnBM yang tidak
seharusnya
dikompensasikan atau
tidak tarif 0%, tidak
terpenuhinya Pasal 28
dan 29
kurang bayar tidak/kurang bayar
b. Tidak/kurang
dipotong/disetorkan
100% Dari PPh yang
tidak/kurang
dipotong/dipungut
c. PPN/PPnBM tidak
atau kurang bayar
100% Dari PPN/PPnBM
yang tidak atau
kurang bayar
15 ayat
(2)
Kekurangan pajak pada
SKPKBT
100% Dari jumlah
kekurangan pajak
tersebut
2. Sanksi Pidana
Menurut ketentuan dalam Undang-Undang Perpajakan, ada 3 macam
sanksi pidana yang dapat dikenakan oleh wajib pajak, diantaranya:
a. Denda Pidana
Sanksi berupa denda pidana dikenakan kepada wajib pajak dan
diancamkan juga kepada pejabat pajak atau pihak ketiga yang melanggar
norma. Denda pidana dikenakan kepada tindak pidana yang bersifat
pelanggaran maupun kejahatan.
b. Pidana kurungan
Pidana kurungan hanya diancamkan kepada tindak pidana yang
c. Pidana penjara
Pidana penjara sama halnya dengan pidana kurungan,merupakan
hukum perampasan kemerdekaan. Pidana penjaran diancamkan terhadap
kejahatan.
B. Pengenaan Pajak Terhadap Usaha Waralaba
Setelah dijabarkan beberapa jenis pajak yang dikenakan pada usaha
waralaba (franchise), maka berikut akan dijabarkan masing-masing tarif atas
pengenaan pajak terhadap usaha waralaba tersebut.
1. Untuk Pajak Penghasilan dibedakan menjadi beberapa tarif yaitu:113
a. Pajak Penghasilan pasal 21 (PPh 21), penerima penghasilan yang
memiliki NPWP:
1) WP dengan penghasilan tahunan sampai dengan Rp 50 juta adalah 5%
2) WP dengan penghasilan tahunan di atas Rp 50 juta - Rp 250 juta
adalah 15%
3) WP dengan penghasilan tahunan di atas Rp 250 juta - Rp 500 juta
adalah 25%
4) WP dengan penghasilan tahunan di atas Rp 500 juta adalah 30%
5) Untuk Wajib Pajak yang tidak memiliki NPWP, dikenai tarif pph 21
sebesar 20% lebih tinggi dari mereka yang memiliki NPWP.
Penerima penghasilan yang tidak memiliki NPWP:
1) Bagi penerima penghasilan yang tidak memiliki NPWP, dikenakan
pemotongan PPh Pasal 21 dengan tarif lebih tinggi 20% daripada tarif
yang diterapkan terhadap wajib pajak yang memiliki NPWP.
113
2) Jumlah PPh Pasal 21 yang harus dipotong sebagaimana yang
dimaksud pada ayat (1) adalah sebesar 120% dari jumlah PPh Pasal 21
yang seharusnya dipotong dalam hal yang bersangkutan memiliki
NPWP.
3) Pemotongan PPh Pasal 21 sebagaimana dimaksud pada ayat (1) hanya
berlaku untuk pemotongan PPh Pasal 21 yang bersifat tidak final.
4) Dalam hal pegawai tetap atau penerima pensiun berkala sebagai
penerima penghasilan yang telah dipotong PPh Pasal 21 dengan tarif
yang lebih tinggi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mendaftarkan
diri untuk memperoleh Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP) dalam
tahun kalender yang bersangkutan paling lama sebelum pemotongan
PPh Pasal 21 untuk Masa Pajak Desember, PPh Pasal 21 yang telah
dipotong atas selisih pengenaan tarif sebesar 20% (dua puluh persen)
lebih tinggi tersebut diperhitungkan dengan PPh Pasal 21 yang
terutang untuk bulan-bulan selanjutnya setelah memiliki NPWP.
b. Pajak Penghasilan Pasal 22 (PPh 22):114
1) Atas impor :
a) yang menggunakan Angka Pengenal Importir (API) = 2,5% x nilai
impor
b) non-API = 7,5% x nilai impor
c) yang tidak dikuasai = 7,5% x harga jual lelang.
114
2) Atas pembelian barang yang dilakukan oleh DJPB, Bendahara
Pemerintah, BUMN/BUMD = 1,5% x harga pembelian (tidak
termasuk PPN dan tidak final.)
3) Atas penjualan hasil produksi ditetapkan berdasarkan Keputusan
Direktur Jenderal Pajak, yaitu:
a) Kertas = 0.1% x DPP PPN (Tidak Final)
b) Semen = 0.25% x DPP PPN (Tidak Final)
c) Baja = 0.3% x DPP PPN (Tidak Final)
d) Otomotif = 0.45% x DPP PPN (Tidak Final)
4) Atas penjualan hasil produksi atau penyerahan barang oleh produsen
atau importir bahan bakar minyak, gas, dan pelumas adalah sebagai
berikut:
Pungutan PPh Pasal 22 kepada penyalur/agen, bersifat final. Selain
penyalur/agen bersifat tidak final
5) Atas pembelian bahan-bahan untuk keperluan industri atau ekspor dari
pedagang pengumpul ditetapkan = 0,25 % x harga pembelian (tidak
termasuk PPN)
6) Atas impor kedelai, gandum, dan tepung terigu oleh importir yang
menggunakan API = 0,5% x nilai impor.
7) Atas penjualan
a) Pesawat udara pribadi dengan harga jual lebih dari Rp
20.000.000.000,-
b) Kapal pesiar dan sejenisnya dengan harga jual lebih dari Rp
c) Rumah beserta tanahnya dengan harga jual atau harga
pengalihannya lebih dari Rp 10.000.000.000,- dan luas bangunan
lebih dari 500 m2.
d) Apartemen, kondominium,dan sejenisnya dengan harga jual atau
pengalihannya lebih dari Rp 10.000.000.000,- dan/atau luas
bangunan lebih dari 400 m2.
e) Kendaraan bermotor roda empat pengangkutan orang kurang dari
10 orang berupa sedan, jeep, sport utility vehicle(suv), multi
purpose vehicle (mpv), minibus dan sejenisnya dengan harga jual
lebih dari Rp 5.000.000.000,- (lima miliar rupiah) dan dengan
kapasitas silinder lebih dari 3.000 cc. Sebesar 5% dari harga jual
tidak termasuk PPN dan PPnBM.
8) Untuk yang tidak memiliki NPWP dipotong 100% lebih tinggi dari
tarif PPh Pasal 22.
c. Pajak Penghasilan Pasal 23 (PPh 23)
Tarif yang dikenakan nilai dasar pengenaan pajak atau jumlah bruto dari
penghasilan. Ada dua jenis tarif yang dikenakan pada penghasilan, yaitu
15% dan 2 %, tergantung dari objeknya.115
1) Tarif 15% dari jumlah bruto atas:
a) Deviden, kecuali pembagian deviden kepada orang pribadi
dikenakan final, bunga, dan royalti.
b) Hadiah dan penghargaan selain yang dipotong dari PPh 21.
115
2) Tarif 2% dari jumlah bruto atas:
a) Sewa dan penghasilan lain yang berkaitan dengan penggunaan
harta kecuali sewa tanah atau bangunan.
b) Imbalan teknik, jasa menejemen, jasa kontruksi dan jasa konsultan.
c) Imbalan jasa lainnya yang diuraikan dalam Peraturan Menteri
Keuangan No 141 PMK.03/2016.
d. Pajak Penghasilan Pasal 25 (PPh 25)
Terdapat 2 jenis pembayaran angsuran Pajak Penghaslan Pasal 25 untuk
Wajib Pajak Orang Pribadi (WPOP), yaitu:
1) Wajib pajak orang pribadi pengusaha tertentu (WP-OPPT), yaitu yang
melakukan usaha penjualan barang, baik grosir maupun eceran, serta
jasa dengan satu atau lebih tempat usaha.
PPh 25 bagi OPPT= 0,75% x omset bulanan tiap masing-masing
tempat usaha.
2) Wajib pajak orang pribadi selain pengusaha tertentu (WP-OPSPT),
yaitu pekerja bebas atau karywan yang tidak memiliki usaha sendiri.
PPh 25 bagi OPSPT= Penghasilan Kena Pajak x tarif PPh17 ayat (1)
huruf a UU PPh (12 bulan).
Wajib pajak badan, yaitu: Penghasilan Kena Pajak x 25%
2. Untuk Pajak Pertambahan Nilai
Adapun tarif pajak yang dikenakan pada Pajak Pertambahan Nilai adalah:116
a. Tarif PPN (Pajak Pertambahan Nilai) adalah 10% (sepuluh persen).
116
b. Tarif PPN (Pajak Pertambahan Nilai) sebesar 0% (nol persen) diterapkan
atas:
1) Ekspor Barang Kena Pajak Berwujud
2) Ekspor Barang Kena Pajak Tidak Berwujud
3) Ekspor Jasa Kena Pajak
c. Tarif pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat berubah menjadi
paling rendah 5% (lima persen) dan paling tinggi sebesar 15% (lima
belas persen) sebagaimana diatur oleh Peraturan Pemerintah.
3. Untuk Pajak Penjualan Atas Barang Mewah (PPnBM)
Menurut Pasal 8 Undang-Undang No. 42 Tahun 2009, tarif pajak penjualan
atas barang mewah ditetapkan paling rendah 10% (sepuluh persen) dan paling
tinggi sebesar 200% (dua ratus persen). Jika pengusaha melakukan ekspor Barang
Kena Pajak yang tergolong mewah maka akan dikenai pajak dengan tarif sebesar
0% (nol persen).117
117