• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB IV KONSEP FITRAH MENURUT ABDULLAH NASHIH ULWAN. A. Definisi Fitrah Menurut Abdullah Nashih Ulwan

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "BAB IV KONSEP FITRAH MENURUT ABDULLAH NASHIH ULWAN. A. Definisi Fitrah Menurut Abdullah Nashih Ulwan"

Copied!
105
0
0

Teks penuh

(1)

BAB IV

KONSEP FITRAH MENURUT ABDULLAH NASHIH ULWAN

A. Definisi Fitrah Menurut Abdullah Nashih Ulwan

Definisi fitrah menurut Abdullah Nashih Ulwan tertera jelas dalam hadits yang beliau kutip dalam bukunya yang merupakan hadits yang diriwayatkan oleh Al-Bukhari dari hadits Abu Hurairah r.a. bahwa Rasulullah SAW bersabda :115

لك هاوبأف ةرطفلا ىلع دلوي دولوم هناسجيموا هنارصنيوا هنادوهي

Artinya :

Setiap anak dilahirkan dalam keadaan fitrah (suci), kedua orang tuanyalah yang menjadikannya Yahudi atau Nasrani atau Majusi.

Demikian juga hal yang sama dijelaskan oleh Abdullah Nashih

‘Ulwan dalam kitab aslinya yang berjudul Tarbiyatul Aulaad fiil Islaam beliau mengatakan bahwa :116

دلوي ينح لفطلا نأ قلاخلأاو ةيبترلا ءاملع ىدل ابه ملسلما روملاا نم ديحوتلا ةرطف ىلع دلوي ,

للهاب نايملاا ةديقعو ,

ةءابرلاو رهطلا ةلاصأ ىلعو .

Artinya :

Telah disepakati bahwa seorang anak itu dilahirkan di atas fitrah Tauhid, akidah keimanan kepada Allah, berdasarkan kesucian dan kepolosan.

Berdasarkan pernyataan tersebut Abdulah Nashih ‘Ulwan ingin menegaskan bahwa definisi dari fitrah yang sebenarnya adalah potensi tauhid, akidah dan

115Abdullah Nashih ‘Ulwan. 2011. Tarbiyatul Aulaad fiil Islaam. Al-Juz’ul Awwal. Al-Qoohiroh : Jumhurriyah Mishro Al-‘Arbiyyah. hlm : 121.

116 Ibid., hlm.120

(2)

keimanan kepada Allah SWT. Dan jika dikaitkan dengan hadits di atas, maka fitrah yang sejati adalah dimana seseorang diarahkan kepada keimanan kepada Allah SWT yang merupakan potensi keimanan semenjak lahir bahkan ketika di dalam kandungan.

Manusia dilahirkan dengan dasar fitrah yang bersih untuk menanamkan keimanan dan aqidah yang kuat tergantung dari diri kita, yakni keluarga terutama orang tua, mau dibawa kemana mereka. Kita sebagai orang tua untuk memperhatikan anak-anak sejak dini, menanam keimanan dan aqidah yang kuat, dalam hal ini perlu latihan-latihan dengan kesabaran agar terbiasa melakukan dan berbekas pada jiwanya.117

Lebih lanjut Abdullah Nashih Ulwan mengatakan bahwa :118

يمركلا نارقلا اهررق دق ةينايملاا ةرطفلا نم ةقيقلحا هذهو ,

اهدكأو

ا ىلص للها لوسرلا قلاخلأاو ةيبترلا ءاملع اهتبثأو ملسو هيلع لله

.

Artinya :

Kenyataan ini merupakan fitrah iman yang telah ditetapkan oleh Al- Qur’an Al-Karim yang dikuatkan dengan Sabda Rasulallah SAW dan ditetapkan oleh pakar pendidikan dan budi pekerti.

Pernyataan tersebut memberikan penguatan terhadap pendapat sebelumnya yang mengatakan bahwa fitrah itu esensinya adalah tauhid dan keimanan kepada Allah SWT. Dengan pernyataan di atas, dapat dipahami bahwa sesungguhnya fitrah itu dimiliki oleh setiap jiwa yang hidup ketika dilahirkan baik itu mereka yang dilahirkan dari keluarga yang nashrani

117 Mahmud Yunus. Pokok-Pokok Pendidikan dan Pengajaran. (Jakarta: Hidakarya Agung. 2005).

hlm : 35

118 Abdullah Nashih Ulwan. 2011. Op. Cit. hlm : 120

(3)

maupun yahudi dan majusi. Artinya, setiap anak dalam kandungan ibunya tanpa melihat aqidah yang dianut oleh seorang ibu tetap pada hakikatnya bayi tersebut dalam keadaan fitrah yaitu memiliki potensi beriman kepada Allah SWT dan sebagai landasan jiwanya adalah beriman dan mentauhidkan Allah SWT.

Pengakuan manusia akan keesaan Allah merupakan sifat kodrati yang melekat pada dirinya. Sifat tersebut akan menyatu pada dirinya sampai ada pihak lain yang mampu membuatnya menyimpang dari sifat asal tersebut.

Nabi menyebut Yahudi, Nasrani dan Majusi sebagai bentuk penyimpangan fitrah manusia mengindikasikan adanya pembelokan tauhid yang dilakukan oleh pemeluknya.119

Pengakuan akan keesaan Allah yang terkandung dalam ajaran tauhid bukan saja pengakuan dan keyakinan adanya Allah yang maha Esa, tetapi semua ajaran yang timbul dari keesaan Allah juga menjadi sifat kodrati yang dimiliki oleh manusia. Ajaran yang muncul dari dimensi tauhid terangkum dalam ajaran syariat Islam secara menyeluruh, karena antara tauhid dan syariat Islam merupakan dua hal yang saling melengkapi dan saling mengisi sehingga keduanya tidak dapat dipisahkan.120

Eksistensi dari kedua dimensi tersebut dapat diumpamakan seperti dua sisi mata uang yang selalu kait mengkait dan saling melengkapi. Apabila

119Syarif Hamdan Rajih, Kalimat Tauhid Laa Ilaaha Illallah Muhammad Rasulullah, (Madinah Al-Munawwarah 2001), hlm. 10

120 Ibid.,

(4)

mata uang telah kehilangan salah satu sisinya dengan sendirinya uang tersebut akan kehilangan nilai kegunaannya.

Hamka dalam tafsir al-Azhar menafsirkan fitrah sebagai rasa asli murni dalam jiwa manusia yang belum kemasukan pengaruh dari yang lain, yaitu pengakuan adanya kekuasaan tertinggi dalam alam ini, yang maha Kuasa, maha Perkasa, maha Raya, mengagumkan, penuh kasih sayang, indah dan elok."121

Sejalan di atas Hamka mengakui adanya campur tangan fihak lain akan membawa pengaruh kepada fitrah yang telah tertanam dalam diri manusia. Campur tangan tersebut tidak harus datang dari orang tua sendiri, tetapi pihak lain yang bersentuhan dengan orang tersebut akan membawa pengaruh kepadanya. Jika pengaruh itu tidak baik maka akan menggiring manusia keluar dari fitrahnya. Jika manusia telah menentang adanya Allah berarti ia telah melawan fitrahnya sendiri. Al-Tabari dengan redaksi lain berpendapat bahwa fitrah itu bermakna murni atau ikhlas.122 Murni artinya suci yaitu sesuatu yang belum tercampur dan ternoda oleh yang lain.

Muhaimin dkk juga menjelaskan makna fitrah sebagai suatu kekuatan atau kemampuan (potensi terpendam) yang menetap/menancap pada diri manusia sejak awal kejadiannya untuk komitmen terhadap nilai-nilai keimanan kepada Allah, cenderung kepada kebenaran (hanif).123

121 Hamka. Tafsir al-Azhar. JuzXXl (Jakarta: Pustaka Panjimas, 2002), hlm. 78

122 Ibnu Jarir al-Tabari, Tafsiral-Tabari, (Beirut: Dar aI-Fikr, tt, jilid XI), hlm. 260

123Muhaimin dkk, Paradigma Pendidikan Islam Upaya Mengefektifkan Pendidikan Agama Islam di Sekolah (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2004), hlm. 16.

(5)

Penjelasan makna fitrah sebagaimana tersebut di atas lebih menafsirkan fitrah dari aspek aqidah yang bersentuhan dengan keyakinan dan pengakuan manusia akan keberadaan Allah, sehingga makna fitrah lebih terkait dengan urusan jiwa manusia. Lantas pertanyaan berikutnya adalah bagaimana pembawaan manusia yang bersifat fisik atau jasmani? Satu hal yang mesti harus disadari adalah bahwa manusia itu terdiri dari dua unsur.

Pertama, unsur jasmani yang selalu bisa ditangkap oleh indera manusia dan kedua, unsur jiwa yang keberadaannya tidak dapat ditangkap oleh indera.

Masing-masing dari kedua unsur tersebut memiliki pembawaan asli yang dibawa sejak lahir, yang dalam perjalanan hidup tidak bisa dipandang remeh.

Kesempatan lain Muhaimin dkk memberikan pengertian fitrah sebagai alat-alat potensial dan potensi-potensi dasar yang harus diaktualisasikan dan atau ditumbuh kembangkan dalam kehidupan nyata di dunia.124 Setiap manusia dilengkapi dengan potensi akal, bakat, fantasi maupun gagasan.

Potensi ini dapat mengantarkan manusia memiliki peluang untuk bisa menguasai serta mengembangkan ilmu dan teknologi dan sekaligus menempatkannya sebagai makhluk berbudaya.

Sementara itu Abdullah Nashih ‘Ulwan menegaskan kembali dalam kitabnya Tarbiyatul Aulaad Fiil Islaam bahwa :125

124 Ibid., hlm. 12

125 Abdullah Nashih Ulwan. 2011. Tarbiyatul Aulaad fiil Islaam. Al-Juz’ul Awwal. Al-Qoohiroh : Jumhurriyah Mishro Al-‘Arbiyyah. hlm : 120.

(6)

ةيعاولا ةيلزنلما ةيبترلا هل تأيته اذاف ,

ةلحاصلا ةيعامتجلاا ةطللخاو ,

ةئيبلاو

ةنمؤلما ةيميلعتلا ..

دلولا أشن -

كشلا - خسارلا نايملاا ىلع ,

قلاخلأاو

ةلضافلا ,

ةلحاصلا ةيبترلاو .

Artinya :

Jika ia disuguhi pendidikan di dalam rumah yang baik, suasana sosial yang baik, dan lingkungan belajar yang aman, nantinya anak akan tumbuh di atas keimanan yang kuat.

Pendapat Abdullah Nashih ‘Ulwan tersebut secara tersirat membenarkan apa yang telah diungkapkan oleh para pakar sebelumnya, bahwa potensi fitrah yang terdapat dalam diri seseorang memiliki kecendrungan kearah kebenaran yang hakiki yaitu kebenaran Allah SWT jika diberikan pengaruh dari luar yang sepadan dengan keyakinan tersebut.

Lingkungan sosial, tempat belajar, teman bergaul dan terlebih lagi lingkungan keluarga harus sejalan dalam memberikan pendidikan fitrah kepada anak sehingga seorang anak lebih terpelihara fitrahnya dan tidak keluar dari jalur yang telah ditetapkan oleh Allah SWT.

Lebih jauh lagi jika mengkaji pemikiran yang disampaikan oleh Abdullah Nashih ‘Ulwan terkait dengan definisi fitrah dalam Islam, walaupun dalam buku beliau tidak secara gamblang disebutkan sebagai suatu definisi, namun dari pernyataan-pernyataan yang beliau utarakan tertangkap satu definisi bahwa fitrah sesungguhnya adalah kecendrungan dalam mengimani dan meyakini Allah SWT sebagai Tuhan dan yang berhak disembah dan merupakan pondasi atau landasan utama dari potensi-potensi lain diri manusia yang akan dikembangkan lebih jauh. Lebih jelasnya bahwa fitrah (keimanan

(7)

kepada Allah) adalah pewarna dari pribadi seseorang dan potensi yang ada di dalamnya dan diarahkan menuju satu tujuan yaitu keimanan kepada Allah SWT.

Berdasarkan pengertian tersebut dapat dipahami bahwa jika seseorang melakukan penyimpangan baik dari segi tujuan dan orientasi hidup dengan menggunakan berbagai kemampuan dan ilmu pengetahuan yang ada dalam dirinya sama artinya ia telah keluar dari fitrahnya sebagai manusia. Namun sebaliknya, jika seseorang mampu mengembangkan kemampuan dan potensinya dalam kehidupan semata-mata hanya untuk mengabdi kepada kepentingan keyakinannya kepada Allah SWT, apapun bentuknya selama tidak menyimpang dari aturan Allah SWT, maka seseorang dapat dinyatakan telah berada pada jalur fitrahnya.

B. Tanggung Jawab Pendidikan Anak Bagi Orang Tua

Al-Qur’an dan sunnah Nabi SAW adalah sumber ajaran Islam.

Didalam dua sumber itu terdapat ayat-ayat atau pesan-pesan yang mendorong manusia untuk belajar membaca dan menulis serta menuntut ilmu, memikirkan, merenungkan, menganalisis, penciptaan langit dan bumi. Oleh karena itu, tujuan dari pendidikan untuk memberi cahaya terang kepada hati nurani dan pikiran serta menambah kemampuan Islam dalam melakukan proses pengajaran dan pendidikan. Karena Nabi Muhammad SAW sendiri

(8)

diutus pertama-tama untuk menjadi pendidik dan beliau adalah guru yang pertama dalam Islam.126

Dengan memahami sekaligus berupaya sekuat tenaga untuk dapat mengaktualisasikan secara nyata dalam kehidupan dari kedua sumber pokok ajaran Islam tersebut, maka akan terbentuklah generasi yang kokoh dalam makna yang luas. Kajian ini secara khusus berusaha mendalami pemikiran seorang tokoh pendidikan yang sudah tidak asing lagi dalam kalangan dunia pendidikan, ia adalah Abdullah Nashih Ulwan. Fokus utamanya berkaitan dengan penanaman dan pembentukan kejiwaan anak.

Pada hakikatnya kajian ini berdasarkan keprihatinan tokoh tersebut berkenaan dengan masalah pendidikan kejiwaan anak yang menurut pengamatannya sangat tidak sesuai nilai-nilai pendidikan yang seharusnya sebagaimana dicontohkan Rasulullah SAW dan as-salafus as shalihdalam mendidik putra-putrinya. Walaupun hal itu terjadi dengan tempat dan waktu yang berbeda, tetapi perkara pendidikan kejiwaan ini sangat relevan untuk dikaji pada saat sekarang, sehingga penting untuk diketahui khususnya para orang tua dan pendidik pada umumnya dalam mendidik dan membina buah hatinya. Dewasa ini, banyak sifat-sifat negatif yang membelenggu dan tumbuh dalam diri kita. Diantara sifat-sifat negatif itu antara lain adalah malu mengatakan yang benar, malas berbuat kebajikan, penakut, dengki, marah, rendah diri, riya’ dan munafik. Sifat-sifat ini tumbuh dalam jiwa yang lemah,

126Saifullah, Muhammad Quthub dan Sistem Pendidikan Non Dikotomik (Yogyakarta: Suluh Press,2005), hlm. VI.

(9)

jiwa yang telah dihancurkan oleh musuh-musuh Islam. Jiwa seperti ini beku, hina, tidak mempunyai keinginan kuat dan tujuan.127

Munculnya sifat-sifat negatif tersebut sangat dipengaruhi oleh berbagai ragam faktor. Ada yang karena faktor hereditas, seperti minder, ada yang karena faktor lingkungan baik karena lingkungan alami seperti kemiskinan, cacat fisik, dan kemampuan berfikir, maupun lingkungan modifikasi seperti sikap dan perlakuan orangtua yang keliru terhadap anak- anak. Oleh karena itu, jika sifat-sifat negatif ini tidak dihindarkan sejak dini akan sangat berbahaya ketika anak tumbuh semakin besar dan berkembang semakain dewasa, karena sifat-sifat tersebut akan menggerogoti kepribadiannya.

Mencermati kenyataan seperti ini, tentunya diperlukan suatu cara untuk mendidik anak sesuai dengan masa perkembangannya, sebagaimana dikatakan Seto Mulyadi, (Psikolog dan ketua komnas perlindungan anak) ;

”pendidikan tidak sekedar dilakukan melalui komando atau instruksi-instruksi sepihak saja, tetapi juga melalui pendekatan dari hati kehati yang penuh dengan suasana kasih sayang. Semua ini hanya bisa dilakukan melalui pendekatan yang efektif oleh ibu dan ayah kepada putra-putrinya di rumah”.128

Sejalan dengan itu, pemikiran Abdullah Nashih Ulwan bahwa untuk meminimalisir terjadinya berbagai penyimpangan kejiwaan anak, beliau

127Syaikh Muhammad Said Mursi, Seni Mendidik Anak, Jilid 4, Penerjamah: Muhammad Muchson Anasy, (Jakarta : Pustaka Al- Kautsar, 2004). hlm. 14

128Mohamed A. Khalfan, Anakku Bahagia Anakku Sukses (Panduan Islami bagi Orang tua dalam Membesarkan Anak), (Jakarta : Pustaka Zahra, 2004), hlm. VII.

(10)

menawarkan arahan bagi pendidik dalam hal ini orang tua untuk memperhatikan kejiwaan anak semenjak si anak mulai mengerti, sehingga kelak sewaktu anak menginjak usia dewasa tidak mengalami kekacauan jiwa.

Pendidikan kejiwan menurut Abdullah Nashih Ulwan adalah sebuah upaya untuk mendidik anak semenjak mulai mengerti supaya berani terbuka, mandiri, suka menolong, bisa mengendalikan amarah, dan senang kepada seluruh bentuk keutamaan jiwa dan moral secara mutlak.129 Perlu diketahui juga, pada pembahasan beliau mengenai pendidikan kejiwaan ini beliau lebih menyoroti sifat-sifat negatif maupun positif, yang sering ditemui pada anak.

Banyak orang tua masa kini yang mencari bantuan psikolog atau profesional kesehatan mental untuk mengatasi prilaku anak. Mereka mengeluhkan prilaku-prilaku buruk yang sering dilakukan oleh anak-anak mereka, seperti suka mencari gara-gara, tidak sopan, mengeluhkan segala hal, tidak menghiraukan orang tua, suka bertengkar, dan sifat-sifat negatif yang lain.130 Seorang anak untuk dapat tumbuh dan berkembang secara optimal menjadi dirinya sendiri, agar bisa menjadi generasi muda yang unggul penerus cita-cita perjuangan bangsa, mereka harus memperoleh lingkungan yang kondusif. Yaitu dalam bentuk pemenuhan akan hak-haknya yang paling mendasar, seperti hak untuk memperoleh perlindungan dan bimbingan yang sebaik-baiknya.

129Abdullah Nashih Ulwan, Pendidikan Anak dalam Islam, Penerjemah: Jamaludin Miri, (Jakarta:

Pustaka Amani, 2002), hlm. 363.

130Larry J. Koeng, Smart Discipline. Menanamkan Disipline dan Menumbuhkan Rasa Percaya Diri Pada Anak (Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 2003), hlm. 12 & 14.

(11)

Keadaan negatif seperti tersebut di atas, menuntut orang tua untuk menata atau memperbaiki perlakuan mereka terhadap putra-putrinya, agarpertumbuhan jiwa anaknya tumbuh dengan baik. Berangkat dari beberapapokok pikiran di atas, maka dalam tulisan ini penulis mengungkapkan ide-ide beliau berkenaan dengan pendidikan kejiwaan anak yaitu berkaitan dengan tanggung jawab pendidikan kejiwaan anak bagi orang tua. Ide-ide Abdullah Nashih Ulwan, menurut analisa penulis, sangat representative untuk dikaji saat ini guna mengatasi keterpurukan pendidikan kejiwaaan anak, sebagai akibat dari pola pendidikan orang tua yang tidak sesuaiterhadap anak.

Tanggung jawab dalam Kamus lengkap Bahasa Indonesia berarti keadaan wajib menanggung segala sesuatunya (bila terjadi sesuatu boleh dituntut, dipersalahkan, diperkarakan dan sebagainya.131 Sedangkan pendidikan adalah menciptakan berbagai perubahan pada berbagai dimensi keberadaan manusia dan prilakunya, dengan tujuan mengarahkannya pada suatu sasaran, yang merupakan hal penting dan menentukan nasib seseorang.

Segala bentuk perbaikan dan pembinaan individu dalam masyarakat.

Hampir semakna dengan maksud pendidikan yaitu pembinaan yang berarti pembentukan sikap hidup. Pembinaan dimaksudkan sebagai upaya pengembangan manusia dari segi praktis. Dalam pembinaan orang ingin mengembangkan sikap, kemampuan, dan kecakapan. Jadi pembinaan lebih dekat dengan Etika dan Moral, sedangkan informasi dari ilmu pengetahuan

131Hoetomo, Kamus Lengkap Bahasa Indonesia (Surabaya: Mitra Pelajar, 2005), hlm. 507

(12)

dipakai sebagai penunjang dan ilustrasi atau contoh. Pembentukan sikap hidup ini terjadi dalam proses yang lama, bahkan seumur hidup. Oleh karena itu pembinaan kesehatan jiwa harus dimulai sejak dini.132 Melaksanakan tanggung jawab orang tua merupakan suatu cara untuk membangun potensi anak sekaligus sebagai cara mengatasi berbagai masalah anak, Islam melarang orang tua yang tidak bertanggung jawab kepada anaknya seperti tidak mengasuhnya, lalai membimbing dan tidak menasehati anak.

Keluarga adalah salah satu kelompok atau kumpulan manusia yang hidup bersama sebagai satu kesatuan atau unit masyarakat terkecil dan biasanya selalu ada hubungan darah, ikatan perkawinan atau ikatan lainnya.133 Disitulah berkembangnya individu dan disitulah terbentuknya tahap-tahap awal pemasyarakatan (socialization) dan mulai interaksi dengannya, ia mamperoleh pengetahuan, ketrampilan,minat, nilai-nilai emosi dan sikapnya dalam hidup, dan dengan itu ia memperoleh ketentraman dan ketenangan.

Keluarga adalah pokok pertama yang mempengaruhi pendidikan seseorang.

Lembaga keluarga adalah lembaga yang kuat berdiri sendiri dan merupakan tempat mula-mula seorang manusia digembleng untuk mengarungi hidupnya.

Sekurang-kurangnya ada lima fungsi keluarga, yang bila dilihat dari segi pendidikan akan sangat menentukan kehidupan.134

132Johan Suban Tukan, Metode Pendidikan Seks, Perkawinan, dan Keluarga. (Jakarta: Erlangga, 1994) hlm. 128 & 129.

133Bailon, S.G. & Maglaya, A. (2000). Perawatan Kesehatan Keluarga: Suatu Pendekatan Proses (Terjemahan). Jakarta: Pusdiknakes

134Ramayulis, dkk, Pendidikan Islam dalam Rumah Tangga,(Jakarta: Kalam Mulia, 1996), hlm. : 4-5.

(13)

a. Keluarga dibentuk untuk reproduksi, memberikan keturunan, ini merupakan tugas suci agama yang dibebankan melalui manusia.

Transmisi pertama melalui fisik.

b. Perjalanan keluarga selanjutnya mengharuskan ia bertanggung jawab, dalam bentuk pemeliharaan yang harus diselenggarakan demi kesejahteraan keluarga, anak-anak perlu pakaian yang baik,kebersihan, permainan yang sehat, makanan yang bergizi, rekreasi dan sarana hidup materil lainnya.

c. Lebih jauh keluarga berjalan mengharuskan ia menyelenggarakan sosialisasi, memberikan arah pendidikan, pengisian jiwa yang baik dan bimbingan kejiwaan.

d. Freferensi adalah fungsi selanjutnya, karena hidup adalah ”Just a matterof choice” maka orang tua harus mampu memberikan freferensi yang terbaik untuk anggota keluarganya, terutama anak-anaknya.

Freferensi adalah tindak lanjut dari sosialisasi. Orang memberikan jalan yang mana yang harus ditempuh dalam kehidupan anak.

e. Pewarisan nilai kemanusiaan, yang minimal dikemudian hari dapat menciptakan manusia yang cinta damai, anak shaleh yang suka mendoakan kepada orang tua secara teratur, yang mengembangkan kesejahteraan sosial dan ekonomi umat manusia yang mampu menjaga dan melaksanakan hak azazi kemanusiaan yang adil dan beradab serta mampu menjaga kualitas dan moralitas lingkungan hidup.

(14)

Pelaksanaan tanggung jawab materi dan rohani merupakan suatu kebutuhan baik bagi akal maupun kesadaran; tangung jawab meminta manusia untuk tabah mengikuti kemajuan dan mengutuk faktor-faktor yang menyebabkan kekacauan di dalam sistem kehidupan. Pelaksanaan tanggung jawab memainkan suatu peranan yang besar dalam meningkatkan akhlak yang baik dan kehidupan kerohanian. Kendati dalam kepercayaan (agama), tanggung jawab bukan merupakan perbudakan melainkan kebebasan yang sesungguhnya. Tanggung jawab menarik manusia ketatanan prilaku yang sesuai dengan sistem kehidupan yang paling memadai. Tanggung jawab itu ada selama manusia ada, tetapi dalam bentuknya yang berbeda-beda. Sudah sepantasnya mengharapkan seseorang untuk memenuhi tanggung jawabnya jika ia mampu dan berkehendak untuk memenuhinya. Sebab ketiadaan rasa tanggung jawab dan pelanggaran berbagai peraturan hanya akan menunjukkan kejahilan akan asas-asas kehidupan dan mengantar kepada kesengsaraan dan kerusakan.135

Atas dasar tanggung jawab itulah maka orang tua mempunyai peranan penting dalam pembinaan kejiwaan anak. Tidak satu pun orang tua di muka bumi ini yang mengharapkan anak-anaknya tumbuh secara abnormal namun tidak semua anak bisa tumbuh dan besar sesuai harapan orang tua. Ada yang secara fisik tumbuh normal, namun secara psikologis mengalami gangguan- gangguan. Ada beragam masalah psikologis atau kejiwaan yang lazim di

135Sayyid Mujtaba Musayi Lari, Psikologi Islam (Membangun Kembali Generasi Muda Islam), (Bandung: Pustaka Hidayah, 1990), hlm. 121.

(15)

derita anak-anak dalam masa pertumbuhan, baik yang nampak sepele maupun berat.136

C. Komponen-Komponen Fitrah dalam Islam Menurut Abdullah Nashih Ulwan

Secara garis besar Abdullah Nashih Ulwan telah memberikan gambaran tentang konsep fitrah dalam Islam menurut pandangannya berdasarkan hadits Rasulullah SAW yang telah dijelaskan pada bab terdahulu, yaitu fitrah sesungguhnya adalah potensi Tauhid (Aqidah) yang dimiliki oleh setiap anak Adam yang baru dilahirkan. Dari orang tua bagaimanapun, setiap bayi dalam pandangan Islam tetaplah fitrah (memiliki potensi Tauhid), dan terlebih lagi semenjak dalam kandungan setiap bayi manusia telah memberikan kesaksian yang nyata akan ke-Esaan Allah SWT.

Terkait dengan hal tersebut Allah SWT telah berfirman dalam Al- Qur’an surat Al-‘Araf ayat 172 berikut :137























































“Dan (ingatlah), ketika Tuhanmu mengeluarkan keturunan anak-anak Adam dari sulbi mereka dan Allah mengambil kesaksian terhadap jiwa mereka

136James Le Fanu, Deteksi Dini Masalah-masalah Psikologi Anak, Penerjemah: Irham Ali Syaifuddin, (Yogyakarta : Think, 2006).

137 Kementerian Agama RI. Loc.Cit. hlm : 174

(16)

(seraya berfirman): “Bukankah aku ini Tuhanmu?” mereka menjawab: “Betul (Engkau Tuhan kami), Kami menjadi saksi”. (kami lakukan yang demikian itu) agar di hari kiamat kamu tidak mengatakan: “Sesungguhnya Kami (Bani Adam) adalah orang-orang yang lengah terhadap ini (keesaan Tuhan)”

Imam Ibnu Katsir berkata “Allah mengeluarkan anak keturunan Adam dari shulbinya, mereka bersaksi bahwa Allah adalah Robbnya dan Pemiliknya dan bahwa tidak ada Ilah kecuali Allah”138. Sementara itu Imam As Sa’di berkata “maksud dari ayat ini adalah Allah mengeluarkan manusia dari sulbi mereka. Ketika Allah mengeluarkan mereka dari perut ibunya, mereka dimintai kesaksian tentang rububiyah Allah dan mereka mengakui itu. Allah juga memberikan fitrah kepada mereka untuk mengetahui kebenaran”.139

Sebab itu, setiap orang pasti memiliki kecenderungan dalam hatinya untuk mengenal Allah Swt dan bergerak menuju ke jalan-Nya. Fitrah yang ditanamkan oleh Allah kepada seluruh manusia ini merupakan sebuah hujjah bagi semua umat manusia.140 Inilah pokok fitrah yang sangat mendasar sebagaimana yang dimaksud oleh Abdullah Nashih Ulwan, yaitu mentauhidkan Allah SWT, tidak membuat sekutu-kutu bagi-Nya dan menjadi pondasi penting bagi kehidupan manusia di dunia. Adapun secara lebih terinci, Abdullah Nashih Ulwan tidak hanya memandang bahwa fitrah itu semata-mata hanya sekedar pontesi Tauhid (keimanan), namun lebih jauh Abdullah Nashih Ulwan menganggap bahwa banyak komponen-komponen fitrah yang seharusnya menjadi perhatian bagi setiap orang tua, terutama terkait dengan pendidikan anaknya.

138 Muzayyin Arifin, Filsafat Pendidikan Islam. (Jakarta:PT Bumi Aksara, 2003). hlm. 146

139 Ibid. hlm. : 147

140 Badri khaeruman, Memahami Pesan Al-qur’an. (Jakarta: Gramedia. 2004. hlm. 63.

(17)

Komponen-komponen tersebut merupakan pilar pendukung dari potensi fitrah yang utama yaitu Tauhid. Komponen-komponen yang ikut menguatkan pilar utama dan sekaligus menjadi warna dari pilar utama itu sendiri. Komponen-komponen fitrah yang dimaksud oleh Abdullah Nashih Ulwan adalah sebagai berikut :

1. Pendidikan Iman

Abdullah Nashih Ulwan menganggap bahwa pendidikan iman merupakan pendidikan yang paling penting sebelum pendidikan- pendidikan yang lainnya. Maksud dari tanggung jawab pendidian Iman adalah mengikat anak dengan dasar-dasar keimanan, rukun Islam, dan dasar-dasar syari’at semenjak anak sudah mengerti dan memahami. Yang dimaksud dasar-dasasr keimanan adalah segala sesuatu yang ditetapkan melalui pemberitaan yang benar akan hakikat keimanan, perkara-perkara gaib, seperti iman kepada Allah, malaikat, kitab-kitab samawiyah, semua rasul, pertanyaan dua malaikat, azab kubur, kebangkitan, hisab, surga, neraka, dan semua perkara yang gaib.141

Iman adalah keyakinan yang menghujam dalam hati, kokoh penuh keyakinan tanpa dicampuri keraguan sedikitpun.142 Sedangkan keimanan dalam Islam itu sendiri adalah percaya kepada Allah, malaikat- malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya, Rasul-rasul-Nya, hari akhir dan beriman kepada takdir baik dan buruk. Iman mencakup perbuatan, ucapan hati

141Ulwan, Abdullah Nashih. Pendidikan Anak dalam Islam, (Solo: Al-Andalus, 2015). hlm : 111.

142Zainuddin Ahmad Busyra. 2010. Buku Pintar Aqidah Akhlaq dan Qur’an Hadis. (Yogyakarta:

Azna Books). hlm : 33

(18)

dan lisan, amal hati dan amal lisan serta amal anggota tubuh. Iman bertambah dengan ketaatan dan berkurang karena kemaksiatan.

Iman kepada Allah SWT adalah mempercayai atau meyakini akan adanya Allah SWT sebagai Tuhan Yang Maha Esa dengan segala kemahasempurnaan-Nya. Kepercayaan tersebut diyakini dalam hati sanubari, diikrarkan dengan lisan, dan dibuktikan dengan perbuatan amal shaleh.143

Tauhid adalah mengiktikadkan bahwa Allah itu Esa, tidak ada sekutu bagi-Nya. Iktikad itu harus dihayati, baik dalam niat, amal, maupun dalam maksud dan tujuan.144 Iman kepada Allah (tauhid) disamping mengakui bahwa Allah SWT. itu Ada dan Maha Esa, juga perlu mempercayai sifat-sifat kesempurnaan-Nya. Diantara sifat kesempurnaan-Nya Allah mengetahui segalanya, tiada yang tersembunyi bagi-Nya barang sesuatu pun. Dia Maha Kuasa dan sanggup melaksanakan segala kehendak-Nya, dengan tidak dapat dihalangi oleh siapapun dan kekuatan apapun. Allah SWT. berfirman dalam surat Al- An’am ayat 59 :145

















































143 Syamsuri. Pendidikan Agama Islam untuk SMA Kelas X. (Jakarta: Erlangga. 2004). hlm.: 29

144 Azra, Azyumardi, dkk. (2002). Pendidikan Agama Islam pada Perguruan Tinggi Umum.

Jakarta: Departemen Agama. Cet. III. hlm. : 124

145 Kementerian Agama RI.hlm. : 151

(19)

















"Dan pada sisi Allah-lah kunci-kunci semua yang ghaib; tidak ada yang mengetahuinya kecuali Dia sendiri, dan Dia mengetahui apa yang di daratan dan di lautan, dan tiada sehelai daun pun yang gugur melainkan Dia mengetahuinya (pula), dan tidak jatuh sebutir biji-pun dalam kegelapan bumi, dan tidak sesuatu yang basah atau yang kering, melainkan tertulis dalam kitab yang nyata (Lauh Mahfudz)"

Kedudukan Iman lebih tinggi dari pada Islam, Iman memiliki cakupan yang lebih umum dari pada cakupan Islam, karena ia mencakup Islam, maka seorang hamba tidaklah mencapai keImanan kecuali jika seorang hamba telah mamapu mewujudka keislamannya. Iman juga lebih khusus dipandang dari segi pelakunya, karena pelaku keimanan adalah kelompok dari pelaku ke-Islaman dan tidak semua pelaku ke-Islaman menjadi pelaku keImanan, jelaslah setiap mukmin adalah muslim dan tidak setiap muslim adalah mukmin.146

Keimanan tidak terpisah dari amal, karena amal merupakan buah keimanan dan salah satu indikasi yang terlihat oleh manusia. Karena itu Allah SWT.Menyebutkan bahwa Iman dan amal shaleh selalu beriringan dalam Qur’an surat Al-Anfal ayat 2-4 sebagai berikut :147















































146 Muzayyin Arifin, Loc. Cit. hlm : 87-88.

147 Kementerian Agama RI. 2011 Loc.Cit. Hlm : 178

(20)





























“Sesungguhnya orang-orang yang beriman ialah mereka yang bila disebut nama Allah gemetarlah hati mereka, dan apabila dibacakan ayat- ayatNya bertambahlah iman mereka (karenanya), dan hanya kepada Tuhanlah mereka bertawakkal. (yaitu) orang-orang yang mendirikan shalat dan yang menafkahkan sebagian dari rezki yang Kami berikan kepada mereka. Itulah orang-orang yang beriman dengan sebenar- benarnya. mereka akan memperoleh beberapa derajat ketinggian di sisi Tuhannya dan ampunan serta rezki (nikmat) yang mulia”.

Keimanan memiliki satu ciri yang sangat khas, yaitu dinamis.

yang mayoritas ulama memandang keimanan beriringan dengan amal soleh, sehinga mereka menganggap keimanan akan bertambah dengan bertambahnya amal soleh. Akan tetapi ada sebagaian ulama yang melihat Iman berdasarkan sudut pandang bahwa ia merupakan aqidah yang tidak menerima pemilahan (dikotomi). Maka seseorang hanya memiliki dua kemungkinan saja: mukmin atau kafir, tidak ada kedudukan lain diantara keduanya. Karena itu mereka berpendapat Iman tidak bertambah dan tidak berkurang.

Iman adakalanya bertambah dan adakalanya berkurang, maka perlu diketahui kriteria bertambahnya Iman hingga sempurnanya Iman, yaitu diyakini dalam hati, diucapkan dengan lisan dan diamalkan dengan anggota tubuh. Artinya seseorang dikatakan memiliki keimanan dan iman yang konsisten adalah jika antara hati, perkataan, dan perbuatannya selaras. Tidak terjadi perbedaan keyakinan dalam hati terkait dengan konsep keimanan dalam Islam yang dibuktikan dengan ucapan dan

(21)

perbuatan yang berdimensi pada satu keyakinan yaitu mencerminakan keyakinan itu sendiri dalam aplikasi kehidupan. Sesungguhnya iman itu bisa naik dan bisa berkurang bila dilihat dari sudut pandang amal dan pahalanya, tidak dari sudut pandang keyakinannya. Oleh karena itu para Nabi dan para malaikat lebih takut dan taat pada Allah dan tentu pahala mereka lebih utama.148

Sedangkan dalam Islam sendiri jika membahas mengenai Iman tidak akan terlepas dari adanya rukun Iman yang enam, yaitu; Iman kepada Allah, Iman kepada malaikat-Nya, Iman kepada kitab-Nya, Iman kepada rasul-Nya, Iman kepada Qodho dan Qodar dan Iman kepada hari akhir.

Demikianlah kriteria amalan hati dari pribadi yang ber-iman, yang jika telah tertanam dalam hati seorang mukmin enam keImanan itu maka akan secara otomatis tercermin dalam prilakunya sehari-hari yang sinergi dengan kriteria keImanan terhadap poin-poin di atas.

Jika iman adalah suatu keadaan yang bersifat dinamis, maka sesekali didapati kelemahan iman, maka yang harus kita lakukan adalah memperkuat segala lini dari hal-hal yang dapat memperkuat Iman kembali. Hal-hal yang dapat dilakukan bisa kita mulai dengan memperkuat aqidah, serta ibadah kita karena Iman bertambah karena taat dan berkurang karena maksiat. Ketika iman telah mencapai taraf yang diinginkan maka akan dirasakan oleh pemiliknya suatu manisnya iman.

148 Abul Yazid, 2007, Al-Aqidatul Islamiyyah ‘indal Fuqoha’ al-Arba’ah, Kairo: Darussalam, hal.167;Abu Hanifah,al-‘Alim wal Muta’alim, hlm. 182

(22)

Abdullah Nashih Ulwan mengembangkan dimensi pendidikan iman terhadap anak semenjak dini menjadi beberapa dimensi yaitu sebagai berikut :

a. Membuka Kehidupan Anak dengan Kalimat Tauhid

Abdullah Nashih Ulwan menyebutkan dalam tulisannya sebagai berikut :149

للها ىلص بينلا نع هنع للها يضر سابع نبا نع مكالحا ىور الم لاق هنأ ملسو هيلع :

لاا هلا لاب ةملك لوأ مكنايبص ىلع اوحتفا

للها .

Artinya :

Sebagaimana yang diriwayatkan oleh Al-Hakim dari Ibnu Abbas r.a. bahwa Nabi SAW bersabda : “Bukakanlah untuk anak-anak kalian pertama kalinya dengan kalimat laa ilaaha illallah (Tiada sesembahan yang hak kecuali Allah).

Hadits tersebut memberikan makna bahwa seorang anak Adam semenjak lahir telah memiliki potensi Tauhid, namun bagaimanapun untuk menguatkan dan memberikan informasi pertama semenjak kelahirannya bahwa Allah SWT adalah Tuhan yang lebih hak untuk disembah dan dijadikan sesembahan. Untuk itu, seorang ayah atau orang tuanya harus menyebutkan dan membacakan kalimat Tauhid semenjak anak pertama kali dilahirkan dan menghirup udara kehidupan dunia.150

149 Abdullah Nashih Ulwan. 2011. Tarbiyatul Auulaad fiil Islaam. hlm : 117-118.

150 Ibid. hlm: 117

(23)

Selanjutnya Abdullah Nashih Ulwan menegaskan dalam ungkapannya yaitu :151

ديحوتلا ةملك نوكتل ,

خدلا راعشو عسم عرقي ام لوأ ملاسلاا فى لو

لفطلا , هناسل ابه حصفي ام لوأو ,

تاملكلا نم اهلقعتي ام لوأو

ظافللااو .

لصف فى انركذ نأ قبس (

دولولما ماكحأ )

بابحتسا

نىميلا دولولما نذأ فى نيذأتلا ,

ىرسيلا فى ةماقلااو ..

فى ام ىفيخ لاو

بمو ةديقعلا لصأ دلولا ينقلت فى رثا نم لمعلا اذه ديحوتلا أد

نايملااو .

Artinya :

Faedah dari perintah ini adalah agar kalimat tauhid itu dan syiar masuuknya seseorang ke dalam agama Islam menjadi yang pertama kali didengar, diucapkan, dan lafal yang pertama kali diingat oleh anak. Pada pembahasan terdahulu, yaitu Ahkamul Maulud (hukum-hukum seputar kelahiran), dijelaskan tentang sunnahnya mengumandangkan adzan pada telinga kanan anak dan mengiqamahinya pada telinga kirinya. Tidak diragukan lagi bahwa perbuatan ini memiliki pengaruh yang besar di dalam mengajarkan anak dasar akidah dan prinsip Tauhid dan keimanan.

Pernyataan Abdullah Nashih Ulwan tersebut di atas memberikan pemahaman bahwa penting dan sangat urgennya kalimat tauhid diperkenalkan semenjak dini sebelum anak mengenal kalimat-kalimat lain. Karena mengenal Allah dengan sebenarnya merupakan pilar penyangga segen bangunan Islam. Karena mengenal Allah adalah essensi dari Islam itu sendiri. Oleh karena itu

151 Ibid., hlm : 118

(24)

maka tidaklah berlebihan jika tauhid itu dikenalkan sejak diri kepada anak-anak kita demi membangun pondasi keimanannya yang kuat.152

Oleh karena itu pendidikan tauhid sejak dini pada anak merupakan dasar pendidikan agama Islam yang diharapkan dapat membentuk nilai-nilai pada diri anak setidaknya unsur-unsur agama Islam yaitu:

1) Keyakinan atau kepecayaan terhadap Ke-Esa-an Allah (adanya Tuhan) atau kekuatan ghaib tempat berlindung dan memohon pertolongan.

2) Melakukan hubungan sebaik-baiknya dengan Allah SWT. guna mencapai kesejahteraan hidup di dunia dan di akhirat.

3) Mencintai dan melaksanaan perintah Allah serta larangan-Nya, dengan beribadah yang setulus-tulusnya dan meninggalkan segala yang tidak diizinkan-Nya.

4) Meyakini hal-hal yang dianggap suci dan sakral seperti kitab suci, tempat ibadah dan sebagainya. 153

Kalimat Tauhid telah dikemukakan dalam Al-Qur`an lebih dari 30 kali sebagaimana dapat disimak dalam surat Al-Baqarah, Al- Imran, An-Nisa, Al-An`am, At-Taubah, Yunus, Hud, Ar-Ra`du, Ibrahim, An-Nahl, Taa-haa, Al-Anbiya, Al-Mu`minu, An-Naml dan yang lainnya. Hal itu memberikan keyakinan dan bukti nyata bahwa

152 Al Jibouri, yasin T, Konsep Tuhan Menurut Islam, Lentera, Jakarta, 2003, hlm, 33-34

153 Said Agil Husin Al Munawar, Aktualisasi Nilai-nilai Al Qur'an dalam Sistem Pendidikan Islam. Ciputat Press, Ciputat, 2005, hlm. 27-28

(25)

masalah Tauhid dalam ajaran samawi (Islam) adalah ajaran inti dari ajaran Allah SWT.

Kalimat Tauhid yang agung اللهلاا هلالا yakni ‘Tiada Tuhan Selain Allah’ memiliki arti yang sangat dalam dan luas. Seorang hamba tidak mungkin akan dapat beramal sesuai yang dikehendaki olehnya, kecuali setelah ia benar-benar memahami makna yang terkandung didalamnya sehingga ia beramal atas dasar kalimat Tauhid ini dengan sadar.

Allah SWT berfirman dalam Al-Qur’an surat Al-Baqarah ayat 255 sebagai berikut :154















Allah, tidak ada Tuhan (yang berhak disembah) melainkan Dia yang hidup kekal lagi terus menerus mengurus (makhluk-Nya).

Kata هللاا menurut bahasa adalah دوبعملا yakni ‘yang disembah’, terambil dari kata ةهلاا هلأي هلا yang bermakna ةدابع دبعي دبع yakni

‘menyembah’. Kata هللاا mengikuti pola kata لاعف yang bermakna, لوعفم yakni دوبعم yang disembah. Sedangkan هللاا menurut syara’: yaitu Tuhan satu-satu-Nya yang berhak disembah. Sebab hanya Dia sajalah yang memiliki sifat-sifat ketuhanan sebagai sifat-sifat mutlak yang selaras dengan keagungan dan kebesaran-Nya yang tidak akan pernah dapat diraih, oleh siapapun, kecuali hanya oleh Dia sendiri.

Dialah Allah pencipta segala sesuatu, tidak ada Tuhan selain Dia

154 Kementerian Agama RI. 2011. Loc.Cit. hlm : 43

(26)

‘Maha Suci dan Maha Tinggi Dia dari apa yang mereka katakan dengan ketinggian yang sebesar-besarnya’. Oleh karena itu, maka yang harus disembah itu tidak lain hanya Allah SWT. yang Maha Suci dan Maha Tinggi. 155

Sementara itu, lafadz الله adalah ‘Isim Alam’ (kata benda khusus) bagi Dzat Tuhan Yang Maha Suci seperti yang telah diketahui, yakni Isim Alam mutlak yang paling difinitif. Dialah Allah yang berhak dan harus disembah, dimana segala bentuk ibadah dan pengabdian dalam situasi dan kondisi bagaimanapun juga harus tetap hanya diperuntukkan bagi-Nya.156

Jadi, makna اللهلاا هلالا adalah peniadaan seluruh yang disembah selain Allah SWT dan merupakan penetapan bahwa menyembah itu hanya diperuntukkan kepada dan bagi Allah saja. Maka dengan demikian, makna dari اللهلاا هلالا adalah peniadaan dan penetapan, yakni meniadakan Tuhan selain Allah SWT dan menetapkan bahwa Tuhan itu hanya Dia.

Berdasarkan pernyataan-pernyataan yang dikemukakan oleh Abdullah Nashih Ulwan tentang kalimat tauhid sebagaimana telah dijelaskan di atas, penulis menganalisis bahwa maksud dari Abdullah Nashih Ulwan secara lebih luas tentang pernyataan yang telah diungkapkan adalah pengucapan kalimat tauhid dengan lisan belaka

155 Syarif Hamdan Rajih Madinah Al-Munawwarah. 2001. Kalimat Tauhid laa Ilaaha Illallah Muhammad Rasulullah. Jakarta: Kalam Mulia. hlm : 10

156 Ibid., hlm. 11

(27)

tidaklah cukup karena ia mempunyai konsekuensi yang harus di tunaikan.

Para ulama menegaskan bahwa mengesakan Allah adalah dengan meninggalkan perbuatan syirik baik kecil maupun besar. Di antara konsekuensi pengucapan kalimat tauhid itu adalah mengetahui kandungan maknanya kemudian mengaplikasikannya dalam kehidupan sehari-hari. Kalimat Tauhid berarti Pengingkaran kepada segala sesuatu yang disembah selain Allah SWT dan menetapkan bahwa yang berhak disembah hanyalah Allah semata tidak kepada selain-Nya.157

Aplikasi secara sederhana dari kalimat tauhid “laa ilaaha illallah” adalah keyakinan yang mutlak yang patut kita tanamkan dalam jiwa bahwa Allah Maha Esa dalam hal mencipta dalam penyembahan tanpa ada sesuatu pun yang mencampuri dan tanpa ada sesuatu pun yang sepadan dengan-Nya kemudian menerima dengan Ikhlas akan apa-apa yang berasal dari-Nya baik berupa perintah yang mesti dilaksanakan ataupun larangan yang mesti di tinggalkan semua itu akan mudah ketika hati ikhlas mengakui bahwa Allah SWT itu Maha Esa.

Sesungguhnya wajib bagi kita untuk mengenal Allah (tauhid) sebelum kita beribadah dan beramal karena suatu ibadah itu diterima jika Tauhid kita benar dan tidak tercampur dengan kesyirikan

157 Syarif Hamdan Rajih. Loc. Cit. hlm. 10

(28)

(menyekutukannya dalam peribadatan) , maka tegaknya ibadah dan amalan kita harus didasari terlebih dahulu dengan At-Tauhid sebagaimana akan dijelaskan dalam Al-Qur’an surat Muhammad ayat 19 sebagai berikut :158































“Maka ketahuilah, bahwa Sesungguhnya tidak ada Ilah (sesembahan, Tuhan) selain Allah dan mohonlah ampunan bagi dosamu dan bagi (dosa) orang-orang mukmin, laki-laki dan perempuan. dan Allah mengetahui tempat kamu berusaha dan tempat kamu tinggal”.

Sesungguhnya Allah SWT menegaskan dan mendahulukan serta mengutamakan untuk mengetahui dan berilmu tentang At- Tauhid dari pada beribadah yaitu beristifghfar, dikarenakan mengenal tauhid menunjukkan ilmu ‘ushul (dasar pokok dan pondasinya agama), adapun beristighfar menunjukkan ilmu furu’

(cabang dan aplikasi dari ilmu usul tersebut).

Inti dari pembahasan di atas jadi telah tetap (syabit) dan benar (haq) bahwasanya berilmu dan mengetahui serta mengenal At- Tauhid itu adalah kewajiban yang paling pokok dan utama sebelum mengenal yang lainya serta beramal (karena suatu amalan itu akan di terima jika tauhidnya benar).

b. Mengajarkan Masalah Halal dan Haram Setelah Anak Berakal

158 Kementerian Agama RI. 2011. Loc.Cit Hlm: 509

(29)

Hidup manusia tidak terlepas dari aturan dan rambu-rambu yang telah diberikan oleh Allah SWT. Adanya aturan dan rambu- rambu dalam kehidupan menuntun manusia untuk senantiasa hati- hati dan memiliki pertimbangan yang matang ketika melangkah dan mengambil keputusan dalam kehidupan. Selain itu, manusia akan menjadi mawas diri serta dapat menunjukkan tingkat peradaban yang dianut oleh suatu komunitas dimana mereka hidup bersama dan saling berhubungan.

Manusia tanpa batasan dan aturan, maka kehidupan yang terbangun adalah kehidupan yang tidak jelas serta tidak memiliki arah tujuan yang pasti. Tidak target yang hendak dicapai karena tidak tahu batasan apa yang harus diperbuat dan yang tidak boleh dilakukan. Semua aspek dianggap sama yang mengakibatkan berbaurnya antara yang baik dengan yang tidak baik. Wujud peradaban yang dibangun menjadi bias dan tidak jelas bentuknya, jika batasan-batasan dan aturan tidak berlaku dalam kehidupan manusia.

Abdullah Nashih Ulwan terkait dengan hal di atas, terutama dalam dimensi pendidikan iman setelah pendidikan tauhid, maka anak harus dibekali dengan ilmu tentang halal dan haram dalam hidup. Beliau mengatakan bahwa :

(30)

Sebagaimana yang diriwayatkan oleh Ibnu Jarir dan Ibnu Mundzir dari Hadits Ibnu Abbas r.a. bahwasannya beliau berkata :159

للها ىصاعم اوقتاو للها ةعاطب اولمعا ,

رماولاا لاثتماب مكدلاوأ اورمو ,

ىهاونلا بانتجاو ,

رانلا نم مكلو مله ةياقو كلاذف .

Artinya :

Ajarkanlah mereka untuk taat kepada Allah dan takut berbuat maksiat kepada-Nya, serta suruhlah anak-anak kamu untuk mentaati perintah-perintah dan menjauhi larangan-larangan. Karena, hal itu akan memelihara mereka dan kamu dari api neraka.

Hadits yang dikutip oleh Abdullah Nashih Ulwan dalam bukunya Pendidikan Anak dalam Islam, memberikan gambaran bahwa setiap manusia memiliki batasan-batasan dan aturan dalam hidup, dimanapun mereka berada tanpa disadari batasan-batasan itu ada. Terlebih dalam konsep pergaulan Islam, batasan-batasan antara yang boleh dengan tidak, yang halal dengan haram sangatlah jelas terpampang dan tidak segampang serta sekehendak hati manusia untuk melanggar perintah dan larangan yang telah di tetapkan oleh Allah SWT.

Selanjutnya Abdullah Nashih Ulwan menegaskan kembali sebagaimana yang diungkapkan berikut :

اذه فى فرسلاو :

للها رموأ ىلع هتأشن ذنم هينيع دلولا حتفي تىح

الهاثما ىلع ضويرف ,

داعتبلاا ىلع برديف هيهاون بانتجا ىلعو

اهنع ...

مارلحاو للالحا مكحأ هلقعت ذنم دلولا مهفتي ينحو ,

طبتريو

ماكحأب هيرغص ذنم اعيرشت ملاسلاا ىوس فرعي لا هناف ةعيرشلا

اجاهنمو .

159 Abdullah Nashih Ulwan. 2015.Loc. Cit. hlm : 112

(31)

Artinya :

Faedah dari perintah ini adalah agar seorang anak ketika membuka kedua mata dan tumbuh besar, ia telah mengetahui perintah-perintah Allah sehingga ia bersegera melaksanakannya. Ia juga mengenal larangan-larangan Allah sehingga bersegera menjauhinya. Dan saat anak sudah semakin paham akan hukum-hukum halal dan haram dan semakin terikat sejak dini dengan hukum-hukum syariat, maka ia akan mengenal Islam sebagai hukum dan konsep.160

Pengenalan halal dan haram kepada anak semenjak dini berdasarkan pemikiran dari Abdullah Nashih Ulwan adalah sebagai usaha preventif orang tua terhadap kejadian-kejadian di masa yang akan datang yang tidak diinginkan. Seperti halnya anak-anak tidak mengenal makanan yang halal dan haram akhirnya seenaknya memakan makanan tanpa tahu hukumnya. Batasan-batasan halal dan haramnya laki-laki dan wanita bergaul yang bukan muhrim, agar anak-anak pada usia remaja tidak gampang dan mudah berbuat maksiat dan lain sebagainya.

Mengenalkan halal dan haram kepada anak semenjak masih usia pertumbuhan dan proses belajar memberikan kontribusi yang besar, yaitu anak akan terbiasa mengikuti perintah-perintah dan larangan Allah SWT yang ada dalam Al-Qur’an terkait dengan kehidupan yang sedang dijalankan.

Kata ‘halalan’ berasal dari lafadz ‘halla’ yang artinya ‘lepas’

atau ‘tidak terikat’. Yusuf Qardhawi mendefinisikan istilah halal sebagai segala sesuatu yang boleh dikerjakan, syariat membenarkan

160 Abdullah Nashih Ulwan. 2011. Tarbiyatul Auulaad fiil Islaam. Hlm : 118

(32)

dan orang yang melakukannya tidak dikenai sanksi dari Allah Swt.161

Sementara itu haram berarti segala sesuatu atau perkara- perkara yang dilarang oleh syara’ (hukum Islam), jika perkara tersebut dilakukan akan menimbulkan dosa dan jika ditinggalkan akan berpahala. Seperti : perbuatan zina, mencuri , minum khamar dan yang semisalnya.162

Sesuatu yang dinash halal oleh Allah. Tak diragukan lagi bahwa ia adalah halal. Seperti daging hewan yang disembelih dengan menyebut nama Allah, buah-buahan, biji-bijian, kurma, anggur, dan lain-lain. Banyak disebutkan dalam hadist bahwa makanan-makanan tersebut halal untuk dimakan. Sedikit kami ingatkan bahwa kita mesti berhati-hati dalam memilih dan memilah produk yang halal. Terlebih dalam hal makanan, minuman, dan pakaian. Sebab, di antara faktor terkabulknya doa adalah makanan atau minuman yang masuk ke dalam perut kita harus halal. Begitu pun pakaian yang kita kenakan, harus berasal dari sumber dan jenis yang halal. Sedangkan sesuatu yang dinash haram oleh Allah. Maka tidak diragukan lagi bahwa ia jelas haram. Seperti bangkai, daging babi, dan daging hewan yang disembelih tanpa menyebut nama Allah. Ini semua telah dinash oleh Allah sebagai makanan yang

161 Syaih Muhammad bin Shahih Al-‘Utsaimin. 2010. Syarah Hadits Arba’in. Jakarta : Pustaka Ibnu Katsir. Hlm. 170

162 Ibid.,

(33)

haram. Contoh lain ialah pacaran dan berikhtilat dengan wanita non- mahram. Ini juga telah dinash haram oleh syariat.163

Intinya, pengenalan halal dan haram kepada anak berdasarkan apa yang telah dikemukakan oleh Abdullah Nashih Ulwan bukanlah sebagai pengekang kebebasan anak, tetapi justru sebaliknya memberikan ruang yang cukup kepada anak untuk bergerak dan berkreasi dengan mengindahkan nilai-nilai positif dalam hidup.

Karena sesungguhnya apa yang kita perbuat bukan saja berimbas kepada orang lain, namun terlebih kepada diri sendiri, sehingga kreativitas yang dibangun memiliki landasan yang jelas dan tidak merugikan diri sendiri serta orang lain.

Selain itu juga menurut analisis penulis berdasarkan apa yang telah dikemukakan oleh Abdullah Nashih Ulwan, pentingnya mengenal halal dan haram adalah sebagai pembeda antara manusia dengan hewan yang tidak memiliki aturan. Hal ini juga sebagai indikator manusia yang berada dan memiliki peradaban yang mulia.

c. Membiasakan Beribadah pada Anak Semenjak Dini

Ibadah tidak semata hanya ritual sebagaimana yang selama ini banyak dipahami oleh orang lain. Ibadah adalah penyerahan dan penghambaan diri kepada Allah SWT. yang diaplikasikan dalam bentuk penerapan aturan-aturan Allah SWT. pada berbagai bidang kehidupan manusia.

163 An nawawi bin syarafudin, hadits arba’in.2000: darul fikr, Riyadh

(34)

Menurut bahasa, kata ibadah berarti patuh (al-tha’ah), dan tunduk (al-khudlu). Ubudiyah artinya tunduk dan merendahkan diri . Menurut al-Azhari, kata ibadah tidak dapat disebutkan kecuali untuk kepatuhan kepada Allah.164

Secara etimologis diambil dari kata ‘ abada, ya’budu, ‘abdan, fahuwa ‘aabidun. ‘Abid, berarti hamba atau budak, yakni seseorang yang tidak memiliki apa-apa, harta dirinya sendiri milik tuannya, sehingga karenanya seluruh aktifitas hidup hamba hanya untuk memperoleh keridhaan tuannya dan menghindarkan murkanya.165

Manusia adalah hamba Allah “Ibaadullaah” jiwa raga hanya milik Allah, hidup matinya di tangan Allah, rizki miskin kayanya ketentuan Allah, dan diciptakan hanya untuk ibadah atau menghamba kepada-Nya sebagaimana firman-Nya dalam surat Ad- Dzaariyat ayat 56 :166















Dan aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka mengabdi kepada-Ku.

Menurut istilah syara’ pengertian ibadah dijelaskan oleh para ulama sebagai berikut, menurut Ibnu Taimiyah dalam kitabnya al- ubudiyah, memberikan penjelasan yang cukup luas tentang

164 Amir Syarifudin, Garis-Garis Besar Fiqih, (Jakarta: Kencana, 2010), Cet. Ke-2, hlm. 17.

165 Ibid., Hlm: 18

166 Kementerian Agama RI. 2011. Loc.Cit. Hlm: 523

(35)

pengertian ibadah. Pada dasarnya ibadah berarti merendahkan diri (al-dzull). Akan tetapi, ibadah yang diperintahkan agama bukan sekedar taat atau perendahan diri kepada Allah. Ibadah itu adalah gabungan dari pengertian ghayah al-zull dan ghayah al- mahabbah. Patuh kepada seseorang tetapi tidak mencintainya, atau cinta tanpa kepatuhan itu bukan ibadah. Jadi, cinta atau patuh saja belum cukup disebut ibadah. Seseorang belum dapat dikatakan beribadah kepada Allah kecuali apabila ia mencintai Allah, lebih dari cintanya kepada apapun dan memuliakan-Nya lebih dari segala lainnya.167

Menurut uraiannya Ibnu Taimiyah sangat menekankan bahwa cinta merupakan unsur yang sangat penting dan tidak dapat dipisahkan dari pengertian ibadah. Menurutnya, agama yang benar adalah mewujudkan ubudiyah kepada Allah dari segala seginya, yakni mewujudkan cinta kepada-Nya. Semakin benar ubudiyah seseorang, semakin besarlah cintanya kepada Allah.

Sama halnya ketika Abdullah Nashih Ulwan mengqiyaskan ibadah melalui pembiasaan shalat kepada anak semenjak dini.

Abdullah Nashih Ulwan memandang bahwa shalat tidak hanya sebatas ritual semata, namun dimensi shalat lebih daripada itu. Shalat dapat diterapkan dalam konsep kehidupan dan berbagai bidang kehidupan dengan aturan-aturan yang ditetapkan oleh Allah SWT.

167 Amir Syarifudin,, 2003. Loc.Cit. hal. 19

(36)

Karena sesungguhnya konsep shalat bukan hanya ketika seseorang melaksanakan shalat, namun lebih hakiki adalah kemampuan seseorang menjalankan aturan-aturan hidup berdasarkan perintah Allah SWT sebagaimana gerakan-gerakan dalam shalat yang syarat dengan makna kehidupan.

Abdullah Nashih Ulwan mengemukakan hadits sebagaimana di bawah ini :168

هنع للها ىضر صاعلا نب ورمع نبا نع دواد وبأو مكالحا ىاور الم لاق هنأ ملسو هيلع للها ىلص للها لوسر نع :

ةلاصلاب مكدلاوا اورم

يننس عبس ءانبأ مهو ,

شع ءانبا مهو اهيلع مهوبرضاو ر

, اوقرفو

عجاضلما فى مهنيب .

Artinya :

Sebagaimana yang diriwayatkan oleh Al-Hakim dan Abu Dawud dari hadits Ibnu Amru bin Al-Ash r.a. bahwa Rasulullah SAW bersabda : “Perintahkanlah anak-anak kamu melaksanakan shalat pada usia tujuh tahun, dan disaat mereka telah berusia sepuluh tahun pukullah mereka jika tidak melaksanakannya, dan pisahkanlah tempat tidurnya.

Shalat merupakan bagian dari ibadah mahdhah yang telah diwajibkan kepada ummat muslim. Shalat pertanda keimanan seseorang dan sebagai penentu ada tidaknya keimanan dalam diri seseorang. Oleh karena itu menurut Abdullah Nashih Ulwan, penanaman iman semenjak dini lewat shalat merupakan bentuk pembiasaan agar anak-anak memahami hukum-hukum ibadah yang

168 Abdullah Nashih Ulwan. 2011. Loc. Cit. Hlm : 118

(37)

telah ditetapkan oleh Allah SWT. ketika mereka beranjak dewasa.

Selain itu, pembiasaan melakukan shalat semenjak dini memberikan pembelajaran kepada anak agar taat kepada Allah SWT, pandai bersyukur, berpegang teguh kepada aturan Allah SWT dan berserah diri kepada-Nya.169

Semua yang diperbuat manusia dalam kehidupan sehari-hari tidak lepas dari berhubungan dengan Allah dan dengan sesama manusia atau yang sering kita sebut dengan hablu minallah wa hablu minannas. Agar hubungan tersebut terjaga, maka apa saja yang harus dilakukan yang hubungannya dengan Allah dan apa saja yang harus dilakukan sesama manusia. Semua itu dilakukan dalam rangka beribadah kepada Allah SWT.

Ibadah dalam Islam berbagai bentuk dan berbagai warna.

Diantaranya, renungan yang mendalam memikirkan tanda-tanda kekuasaan Allah, bekasan-bekasan qudrat-Nya. Dan diantaranya, ialah do’a yaitu si insan bermunajat dengan Tuhan-Nya. Didalamnya ada ta’ammul, ada tafakkur yang disertakan gerakan-gerakan badan yang menunjukkan makna-makna yang tinggi. Dia didahulukan oleh thaharah yang memberi pengertian kepada keharusan kita bersuci daripada dosa.170

Secara garis besar ibadah itu dibagi dua yaitu ibadah pokok yang kajian ushul fiqh dimasukkan ke dalam hukum wajib, baik

169 Abdullah Nashih Ulwan. 2015. Loc.Cit. Hlm: 113

170TM. Hasbi Ash-Shiddieqy. 1990. Falsafah Hukum Islam. Jakarta : Bulan Bintang. hlm. 415

(38)

wajib ‘aini atau wajib kifayah. Termasuk ke dalam kelompok ibadah pokok itu adalah apa menjadi rukun Islam dalam arti akan dinyatakan keluar dari islam bila sengaja meninggalkannya yaitu:

shalat, zakat, puasa dan haji yang kesemuanya didahului oleh ucapan syahadat.171

Ibadah sebagai pokok yang jika dilakukan sangat banyak maslahah untuk seseorang itu. Semua ibadah baik itu merupakan perintah atau larangan mengandung maqasid syari’ah. Pada hakikatnya memang ibadah ditujukan kepada Allah SWT. namun sesungguhnya mashlahatnya itu untuk manusia karena Allah Maha Kaya dan tidak butuh apa-apa dari manusia. Setiap ibadah dilakukan harus sesuai petunjuk Allah dan penjelasan Rasulullah.172

Ibadah dan iman merupakan satu komponen yang tidak dapat dipasahkan dan sangat berhubungan. Ibarat pohon dan buahnya, ibadah adalah pohon dan iman sebagai buahnya. Orang yang beriman yang disebut dengan mukmin tentu telah melakukan ibadah secara baik sehigga dikatakan sebagai orang mukmin, orang muslim belum tentu mukmin dengan membaca syahadat saja tanpa menjalankan ibadah.

Ibadah adalah manifestasi atau pernyataan pengabdian seorang muslim pada tuhan-Nya, sedangkan iman adalah bentuk batin atau rasa agama islam. Kehidupan batin religi dari muslim diisi oleh

171Amir Syarifuddin. 2010. Garis-Garis Besar Fiqh. Jakarta : Kencana. hlm. 18

172 Ibid., hlm; 20

(39)

iman.173 Para ulama Ahlus Sunnah wal Jama’ah sepakat bahwa iman mengalami turun naik, kuat dan lemah, pasang dan surut. Ia akan menguat dengan amal shaleh atau ketaatan dan menurun dengan maksiat.174

Iman dan ibadah memiliki hubungan kasualitas. Jika ibadah tersebut di tingkatkan kualitas dan kuantitasnya, maka semakin tebal iman. Dan sebaliknya, jika ibadah semakin dikurangi kualitas dan kuantitasnya, maka semakin lemah pula imannya.175

Hubungan kausalitas yang iman akan berdampak pada ibadah dan ibadah akan berdampak pada iman. Kuatnya iman akan menambah ibadah atau ketaatan kepada Allah, kuatnya ibadah akan menjadi benteng iman yang menyuruh kepada yang ma’ruf dan mencegah kepada yang munkar. Amar ma’ruf wa nahi pun munkar pun merupakan suatu ibadah, kausalitas iman dan ibadah sangatlah berhubungan. Dalam QS. Al-Ankabut ayat 45 dijelaskan sebagai berikut :176





































173 Sidi Gazalba, Mesjid Pusat Ibadah dan Kebudayaan Islam, cetakan ke IV, (Jakarta; Pustaka Antara, 2000), hlm 17

174 Budiman Mustofa, Lc. M.P.I dan Nur Sillaturahmah, Lc, Buku Pintar Ibadah Muslimah, (Surakarta; Shahih, 2011), hlm 41

175 Ibid., Hlm: 43

176 Kementerian Agama RI. 2011. Loc. Cit. Hal. 402.

Referensi

Dokumen terkait

Dalam upaya mengimplementasikan konsep pendidikan anak usia dasar di SDN Kandangan Kecamatan Krembung Kabupaten Sidoarjo sudah sesuai dengan pendapat Abdullah

Sebagai pendidik maka sudah semestinya orang tua memperhatikan dengan hati-hati mengenai sikap dan ucapannya. Sebab segala sikap akan diikuti oleh anak meskipun hal

35 Elizabeth Bergner Hurlock, Perkembangan Anak, terjemahan Meitasari Tjandrasa, (Jakarta: Erlangga, 1978), h.. Jika yang menuduh orang berbuat zina itu adalah

Kesimpulannya, para orang tua dan pendidik perlu meghindarkan faktor penyebab timbulnya kemarahan pada anak-anak, lalu menerapkan metode yang telah diajarkan oleh

Secara empiris, individu yang mendapatkan keteladanan perilaku dari orang tua/ guru, kepribadiannya cenderung lebih baik dibandingkan dengan anak yang kurang mendapatkan

Berdasarkan penelitian kepustakaan yang telah dilakukan, maka dapat disimpulkan bahwa konsep pendidikan mental anak menurut Abdullah Nashih Ulwan pada intinya adalah

Sedangkan Implikasi pengembangan fitrah dalam pendidikan akhlak bagi anak menurut pandangan Achmadi telah menjadi tugas selain orang tua yaitu seorang guru untuk

KESIMPULAN Pendidikan religius bagi anak sangat harus dilakukan oleh para pendidik baik orangtua dirumah atau pun guru disekolah dan juga masyarakat, agar dapat menjadi sebuah pondasi