MANAJEMEN KUALITAS AIR PADA PEMBESARAN UDANG VANAME (Litopenaeus vannamei)
DI PT. CENTRAL PROTEINA PRIMA PROBOLINGGO JAWA TIMUR
TUGAS AKHIR
Oleh:
SUMARNI 1622010085
PROGRAM STUDI BUDIDAYA PERIKANAN JURUSAN BUDIDAYA PERIKANAN
POLITEKNIK PERTANIAN NEGERI PANGKAJENE KEPULAUAN 2019
ii
iii
iv
PERNYATAAN
Dengan ini saya menyatakan bahwa dalam Tugas Akhir ini tidak terdapat karya yang pernah diajukan untuk memperoleh gelar kesarjanaan di suatu perguruan tinggi, dan sepanjang pengetahuan saya juga tidak terdapat karya atau pendapat yang pernah ditulis atau diterbitkan oleh orang lain, kecuali yang secara tertulis diacu dalam naskah ini dan disebutkan dalam daftar pustaka.
Pangkep, Juli 2019 Yang menyatakan,
Sumarni
v
KATAPENGANTAR
Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa atas rahmat dan karunia-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan Laporan Tugas Akhir sebagai salah satu syarat menyelesaikan Studi di Politeknik Pertanian Negeri Pangkajene Kepulauan.
Dengan selesainya Laporan Tugas Akhir ini, penulis menghaturkan doa, rasa hormat dan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada orang tua yang telah memberikan bimbingan dan dukungan baik secara spiritual maupun secara material serta kepada beberapa pihak yang telah turut mendukung penyelesaian laporan tugas akhir ini. Oleh karena itu, saya haturkan ucapan terima kasih kepada :
1. Bapak Ir. Andi Yusuf, M.P. selaku Pembimbing pertama dan Ibu Mulyati, S.Pi., M.Si. selaku pembimbing kedua yang telah memberikan motivasi, arahan dan bimbingan mulai dari penyusunan proposal PKPM hingga penyelesaian laporan tugas akhir ini.
2. Bapak Rahmat Hidayat, A.Md.Pi. dan Bapak Muhammad Kahir, A.Md.Pi.
selaku pembimbing lapangan di PT. Central Proteina Prima, Jawa Timur 3. Ibu Arini, S.Pi., selaku Kepala Laboratorium serta para Laboran selaku
pembimbing Laboratorium di PT. Central Proteina Prima, Jawa Timur
4. Ibu Dr. Andriani, S.Pi., M.Si. selaku Ketua Program Studi Budidaya Perikanan 5. Bapak Ardiansyah, S.Pi., M.Biotech.St., Ph.D. selaku Ketua Jurusan Budidaya
Perikanan
6. Bapak Dr. Ir. Darmawan, M.P. selaku Direktur Politeknik Pertanian Negeri Pangkajene Kepulauan.
vi
Penulis menyadari bahwa dalam penyusunan laporan ini masih banyak kekurangan baik redaksi kata maupun isi yang jauh dari kesempurnaan. Oleh karena itu, penulis sangat mengharapkan kritikan dan masukan yang sifatnya membangun demi kesempurnaan laporan ini.
Semoga Laporan Tugas Akhir ini bermanfaat bagi kita semua khususnya bagi penulis dan umumnya bagi pembaca.
Pangkep, Juli 2019
Penulis
vii
DAFTAR ISI
Hal.
HALAMAN JUDUL ... i
HALAMAN PENGESAHAN ... ii
HALAMAN PERSETUJUAN PENGUJI ... iii
HALAMAN PERNYATAAN ... iv
KATA PENGANTAR ... v
DAFTAR ISI ... vii
DAFTAR TABEL ... ix
DAFTAR GAMBAR ... x
DAFTAR LAMPIRAN ... xi
ABSTRAK ... xii
BAB I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang ... 1
1.2. Tujuan dan Manfaat ... 2
BAB II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Klasifikasi dan Morfologi Udang Vaname ... 3
2.2. Habitat dan Penyebaran ... 5
2.3. Pertumbuhan dan Kelangsungan Hidup ... 6
2.4. Kualitas Air ... 7
BAB III. METODOLOGI 3.1. Waktu dan Tempat ... 16
3.2. Metode Pengumpulan Data ... 16
3.3. Alat dan Bahan ... 16
3.4. Metode Pelaksanaan ... 20
3.5. Parameter yang Diamati dan Analisis Data ... 30
viii BAB IV. KEADAAN UMUM LOKASI
4.1. Lokasi Perusahaan ... 34
4.2. Struktur Organisasi ... 34
4.3. Sarana dan Prasarana ... 36
BAB V. HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1. Parameter Kualitas Air ... 37
5.2. Pertumbuhan dan Kelangsungan Hidup Udang Vaname ... 50
BAB VI. KESIMPULAN DAN SARAN 6.1. Kesimpulan ... 53
6.2. Saran ... 53
DAFTAR PUSTAKA ... 54
LAMPIRAN ... 57
RIWAYAT HIDUP ... 85
ix
DAFTAR TABEL
Hal.
Tabel 3.1. Alat yang digunakan dalam Manajemen Kualitas Air di
PT. Central Proteina Prima, Jawa Timur ... 17 Tabel 3.2. Bahan yang digunakan dalam Manajemen Kualitas Air
di PT. Central Proteina Prima, Jawa Timur ... 19 Tabel 5.1. Parameter Kualitas Air ... 37 Tabel 5.2. Hasil Panen Tambak PT. Central Proteina Prima, Jawa Timur ... 52
x
DAFTAR GAMBAR
Hal.
Gambar 2.1. Morfologi Udang Vaname ... 5
Gambar 4.1. Peta Lokasi Training Center PT. Central Proteina Prima ... 34
Gambar 4.2. Struktur Organisasi Training Center PT. Central Proteina Prima ... 35
Gambar 5.1. Hasil Pengukuran Kecerahan ... 38
Gambar 5.2. Hasil Pengukuran Suhu ... 39
Gambar 5.3. Hasil Pengukuran Salinitas ... 40
Gambar 5.4. Hasil Pengukuran pH ... 42
Gambar 5.5. Hasil Pengukuran Alkalinitas ... 43
Gambar 5.6. Hasil Pengukuran TOM ... 44
Gambar 5.7. Hasil Pengukuran TAN ... 46
Gambar 5.8. Hasil Pengukuran Nitrit ... 47
Gambar 5.9. Hasil Pengukuran Kepadatan Plankton ... 48
Gambar 5.10. Hasil Pengukuran Kepadatan Total Vibrio ... 49
Gambar 5.11. Pertumbuhan Udang Vaname ... 51
xi
DAFTAR LAMPIRAN
Hal.
Lampiran 1. Desain dan Tata Letak Lokasi Pembesaran Udang Vaname ... 58
Lampiran 2. Jenis Bahan yang digunakan pada Persiapan Lahan ... 59
Lampiran 3. Persiapan Air ... 60
Lampiran 4. Hasil Monitoring Parameter Kimia dan Biologi Air ... 61
Lampiran 5. Hasil Monitoring Parameter Fisika Air ... 66
Lampiran 6. Pengelolaan Kualitas Air ... 70
Lampiran 7. Kendala dan Penanganan Kualitas Air di Tambak ... 72
Lampiran 8. Sampling Udang Vaname ... 76
Lampiran 9. Hasil Panen ... 77
Lampiran 10. Alat yang digunakan dalam Manajemen Kualitas Air di PT. Central Proteina Prima, Jawa Timur ... 78
Lampiran 11. Bahan yang digunakan dalam Manajemen Kualitas Air di PT. Central Proteina Prima, Jawa Timur ... 80
Lampiran 12. Pengukuran Kualitas Air di Laboratorium ... 82
Lampiran 13. Pengukuran Kualitas Air di Tambak ... 83
Lampiran 14. Pengelolaan Kualitas Air di Tambak ... 84
xii
ABSTRAK
Sumarni. 1622010085. Manajemen Kualitas Air pada Pembesaran Udang Vaname (Litopenaeus vannamei) di PT. Central Proteina Prima Probolinggo Jawa Timur.
Dibimbing oleh Andi Yusuf dan Mulyati.
Kualitas air yang baik akan mendukung tingkat keberhasilan budidaya udang vaname. Kualitas air yang baik diperoleh melalui manajemen kualitas air sehingga layak untuk pertumbuhan dan kelangsungan hidup udang vaname.
Tugas akhir ini bertujuan untuk menguraikan manajemen kualitas air pada pembesaran udang vaname (L. Vannamei) yang dilakukan di PT. Central Proteina Prima, Jawa Timur. Tugas akhir ini dapat bermanfaat sebagai bahan informasi untuk meningkatkan pengetahuan, keterampilan, dan wawasan tentang manajemen kualitas air pada pembesaran udang vaname. Metode pengumpulan data yang digunakan yaitu metode observasi, partisipasi aktif, wawancara dan studi literatur.
Manajemen kualitas air pada pembesaran udang vaname berupa penggunaan tandon, penggunaan kincir, penyiponan, pengangkatan klekap, sirkulasi air, pemberian hasil fermentasi, pemberian dolomit dan aplikasi probiotik menghasilkan kualitas air berupa Suhu 26 – 34 Oc, Salinitas 28,5 – 40 ppt, Kecerahan 25 – 109 cm, TOM 103 – 212 ppm, pH 8,1 – 9,1, TAN 0,000 – 10,851 ppm, Nitrit 0,015 – 2,014 ppm, Alkalinitas 221 – 304, Kepadatan Plankton 202.500 – 7.100.000 sel/ml, dan Kepadatan Total Vibrio 60 – 10.000 CFU/ml.
Udang vaname yang dipelihara pada tambak 1000 m2 dengan padat tebar 129 ekor/m2 selama 75 hari pemeliharaan menghasilkan rata-rata pertumbuhan
harian 0,2 gram/hari dengan tingkat kelangsungan hidup (SR) berkisar 90%.
Kata kunci : Udang vaname, kualitas air, pertumbuhan dan kelangsungan hidup
BAB I. PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Udang vaname merupakan salah satu jenis udang yang diusulkan pemerintah sebagai pengganti komoditas budidaya udang windu (Panaeus monodon). Dalam rangka memperkaya jenis dan varietas udang lokal, serta
meningkatkan produksi, pendapatan dan kesejahteraan petambak dipandang perlu mengintroduksi udang putih (Litopenaeus vannamei)sebagai udang varietas unggul (KEP.41/MEN/2001).
Udang vaname dijadikan varietas unggul karena memiliki beberapa kelebihan diantaranya adalah tahan terhadap penyakit, adaptasi yang tinggi terhadap lingkungan, pertumbuhan cepat, tingkat responsif yang tinggi terhadap pakan dan memiliki pemasaran yang baik ditingkat internasional (Kurniawan, 2015 dalam Hartina, 2017).
Namun kenyataan saat ini budidaya udang vaname juga sering mengalami kegagalan produksi. Permasalahan yang sering ditemukan dalam kegagalan produksi udang vaname akibat buruknya kualitas air selama masa pemeliharaan.
Oleh karena itu, manajemen kualitas air selama proses pemeliharaan mutlak diperlukan (Wiranto dan Hermida, 2010).
Manajemen kualitas air tambak berperan dalam menentukan keberhasilan budidaya udang vaname karena tingkat kesehatan udang vaname, pertumbuhan, dan kelangsungan hidup udang vaname dipengaruhi oleh interaksi lingkungan, patogen, dan kondisi udang vaname. Kualitas air mempunyai peranan yang
penting bagi
2
udang vaname karena air berfungsi sebagai media udang vaname, baik sebagai media internal maupun eksternal. Sebagai media internal, air berfungsi sebagai bahan baku reaksi di dalam tubuh, pengangkut bahan makanan ke seluruh tubuh, dan sebagai pengatur atau penyangga suhu tubuh. Sementara sebagai media eksternal, air berfungsi sebagai habitat udang vaname. Oleh karena peran air bagi udang vaname sangat penting maka kuantitas dan kualitas air dalam budidaya udang vaname harus dijaga sesuai dengan kebutuhan udang vaname. Parameter kualitas air harus dimonitor sebagai pedoman dalam manajemen kualitas air di tambak untuk menghindari efek negatif terhadap udang vaname yang dipelihara.
Pentingnya manajemen kualitas air terhadap pertumbuhan dan kelangsungan hidup udang vaname menjadi suatu alasan pengambilan judul tugas akhir
“Manajemen Kualitas Air pada Pembesaran Udang Vaname (L. vannamei)”.
1.2. Tujuan dan Manfaat
Tugas akhir ini bertujuan untuk menguraikan manajemen kualitas air pada pembesaran udang vaname (L. vannamei) yang dilakukan di PT. Central Proteina Prima, Jawa Timur.
Tugas akhir ini dapat bermanfaat sebagai bahan informasi untuk meningkatkan pengetahuan, keterampilan, dan wawasan tentang manajemen kualitas air pada pembesaran udang vaname.
BAB II. TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Klasifikasi dan Morfologi 2.1.1. Klasifikasi
Holthuis (1980) menyatakan bahwa pemberian nama ilmiah udang vaname pertama kali dilakukan oleh Boone pada tahun 1931 dengan klasifikasi sebagai berikut:
Kingdom : Animalia
Subkingdom : Bilateria Infrakingdom : Protostomia
Superfilum : Ecdysozoa
Filum : Arthropoda
Subfilum : Crustacea
Kelas : Malacostraca
Subkelas : Eumalacostraca
Superordo : Eucarida
Ordo : Decapoda
Subordo : Dendrobranchiata Superfamili : Penaeoidea
Famili : Penaeidae
Genus : Litopenaeus
Spesies : Litopenaeus vannamei (Boone, 1931)
4
Menurut Supono (2017), nama ilmiah udang vaname yang pertama kali diberikan oleh Boone pada tahun 1931 adalah Penaeus vannamei. Namun Litopenaeus diusulkan oleh Isabel Perez Farfante dan Brian Kensley pada tahun 1997 untuk menggantikan nama genus Penaeus. Nama lain udang vaname menurut FAO adalah whiteleg shrimp (Inggris), crevette pattes blanches (Prancis), dan camaron patiblanco (Spanyol).
2.1.2. Morfologi
Menurut Haliman dan Adijaya (2005), tubuh udang vaname terbagi menjadi dua bagian utama, yaitu cephalothorax dan abdomen. Cephalothorax terdiri dari kepala dan dada, sedangkan abdomen terdiri dari perut dan ekor.
Cephalothorax bagian kepala terdiri dari rostrum, sepasang mata, sepasang
antena, sepasang antenula, 3 buah maxiliped. Sedangkan cephalothorax bagian dada terdiri dari 5 pasang kaki jalan (periopod).
Abdomen bagian perut terdiri dari lima ruas bagian perut yang masing-
masing ruas mempunyai sepasang pleopod. Sedangkan abdomen bagian ekor terdiri dari 1 ruas terakhir yang mempunyai telson dan uropod. Morfologi udang vaname terdapat pada Gambar 2.1.
5
Gambar 2.1. Morfologi Udang Vaname
2.2. Habitat dan Penyebaran
Udang vaname adalah jenis udang laut yang habitat aslinya di daerah dasar dengan kedalaman 73 meter. Habitat udang vaname saat usia muda adalah air payau seperti muara sungai dan pantai. Semakin dewasa udang vaname semakin suka hidup di laut (Rusmiyati, 2008).
Habitat udang vaname berbeda-beda tergantung dari jenis dan persyaratan hidup dari setiap fase dalam daur hidupnya. Pada umumnya udang bersifat bentis dan hidup pada permukaan dasar laut. Habitat yang disukai oleh udang adalah dasar laut yang lembut (soft) yang biasanya campuran lumpur dan pasir. Udang vaname sangat menyukai daerah dasar (Elovaara, 2001).
Pada umumnya post larva ditemukan di sepanjang pantai dan paling banyak di daerah hutan mangrove. Ekosistem ini merupakan tempat yang sesuai untuk berlindung dan mencari makan (Wyban dan Sweeney, 1991).
Penyebaran udang vaname meliputi Amerika Latin seperti Meksiko, Nikaragua dan Puertorico. Udang vaname ini kemudian diimpor oleh negara-
6
negara pembudidaya udang vaname di Asia seperti China, India, Thailand, Bangladesh, Vietnam dan Malaysia. Dalam perkembangannya, Indonesia kemudian juga memasukkan udang vaname sebagai salah satu jenis udang budidaya tambak (Amri dan Kanna, 2008).
2.3. Pertumbuhan dan Kelangsungan Hidup 2.3.1. Pertumbuhan
Pertumbuhan udang vaname merupakan proses pertambahan panjang dan berat yang terjadi secara bertahap, dimana proses ini sangat dipengaruhi oleh frekuensi ganti kulit (moulting). Moulting akan terjadi secara teratur pada udang vaname yang sehat. Bobot udang vaname akan bertambah setiap kali mengalami moulting (Haliman dan Adijaya, 2005).
Kegiatan monitoring pertumbuhan udang vaname selama masa pemeliharaan dilakukan untuk mengetahui kesehatan udang vaname, berat rata- rata secara keseluruhan dalam suatu populasi (Mean Body Weight), tingkat kelangsungan hidup (Survival Rate), dan berat biomassa. Pertumbuhan merupakan ekspresi dari pertambahan volume, panjang, serta bobot terhadap satuan waktu tertentu, pengamatan ini dapat dilakukan dengan menggunakan metode anco. Pengamatan di anco dilakukan untuk melihat populasi dan kesehatan setiap saat (Direktorat Jenderal Perikanan Budidaya, 2010).
Menurut Wyban dan Sweeney (1991), pertumbuhan udang vaname pada wadah terkontrol dengan kepadatan 100 ekor/m² adalah 2 gram/minggu sebelum berat udang vaname mencapai 20 gram, selanjutnya pertumbuhan udang vaname 1 gram/minggu.
7
2.3.3. Kelangsungan Hidup
Menurut Haliman dan Adijaya (2005), kelangsungan hidup adalah banyaknya udang vaname yang berhasil hidup hingga masa panen tiba. Tingkat kelangsungan hidup udang vaname yang dipelihara dipengaruhi oleh kondisi lingkungan perairan tambak dan kondisi benur, terutama pada waktu penebaran benur dilakukan. Selain itu terdapatnya predator di tambak juga sangat mengancam kelangsungan hidup udang vaname.
Menurut Fegan (2003), pada kondisi optimal tingkat kelangsungan udang vaname dapat mencapai 85 – 90%.
2.4. Kualitas Air
Pengukuran kualitas air selama pemeliharaan udang vaname penting dilakukan untuk mengetahui gejala-gejala yang terjadi sebagai akibat perubahan salah satu parameter kualitas air. Parameter kualitas air yang perlu dimonitoring secara berkala seperti suhu, salinitas, kecerahan, derajat keasaman (pH), alkalinitas, total organic matter (TOM), Total Amonia Nitrogen (TAN), nitrit, kepadatan plankton dan vibrio. Kendala dan penanganan kualitas air tambak udang vaname dapat dilihat pada Lampiran 7.
2.4.1. Kecerahan (transparancy)
Kecerahan air merupakan ukuran kejernihan suatu perairan, semakin tinggi nilai kecerahan perairan maka semakin dalam cahaya menembus ke dalam air.
Kecerahan (transparancy) perairan dipengaruhi oleh bahan-bahan halus yang melayang-layang dalam air baik berupa bahan organik seperti plankton, jasad
8
renik, detritus maupun berupa bahan anorganik seperti lumpur dan pasir (Hargreaves, 1999).
Kecerahan identik dengan kepadatan plankton dan warna air. Warna air untuk budidaya udang vaname adalah hijau muda dan coklat muda karena mengandung banyak diatomae dan clorophyta (Effendi, 2003). Adapun nilai kisaran optimum kecerahan menurut SNI 01-7246-2006 adalah 30 – 45 cm sedangkan berdasarkan KEP. 28/MEN/2004, kisaran nilai optimum kecerahan yaitu 30 – 40 cm.
Menurut PT. Central Proteina Prima (2016), jika kecerahan < 25 cm akibat kepadatan plankton tinggi maka kurangi pakan, siphon dan pengenceran. Jika adanya padatan suspensi maka naikkan ketinggian air, pengendapan suspensi dan sipon, plankton ditumbuhkan. Kecerahan >35 cm akibat kepadatan plankton rendah maka dilakukan pemberian probiotik dekomposer (super NB).
2.4.2. Suhu
Suhu air merupakan ukuran panas/dingin lingkungan dan salah satu faktor dalam kehidupan udang vaname di tambak. Radiasi matahari, suhu udara, cuaca dan iklim akan mempengaruhi besarnya suhu perairan yang tinggi pada siang hari dibanding pada malam hari mengindikasikan adanya peranan radiasi matahari (Boyd, 1990).
Jika suhu lebih dari angka optimum maka metabolisme dalam tubuh udang vaname akan berlangsung cepat yang membuat udang vaname menjadi stres (Haliman dan Adijaya, 2005). Suhu air yang tinggi bersamaan dengan pH yang tinggi berpengaruh terhadap laju keseimbangan amonia lebih cepat sehingga terjadi peningkatan amonia sampai pada konsentrasi yang mempengaruhi
9
pertumbuhan udang vaname dan dapat mengakibatkan kematian pada udang vaname akibat keracunan. Pada suhu rendah, metabolisme udang vaname menjadi lambat dan secara nyata berpengaruh terhadap nafsu makan udang vaname yang menurun (Boyd, 1989). Menurut SNI 01-7246-2006 kisaran optimum suhu air budidaya udang vaname yaitu 28,5 – 31,5 oC sedangkan menurut Amri dan Kanna (2008), kisaran suhu air di tambak yang optimum bagi kehidupan udang vaname adalah 26 – 30 oC.
Menurut PT. Central Proteina Prima (2016), jika suhu <28oC yang disebabkan hujan terus menerus maka usahakan air tidak terlalu dalam dan jika suhu > 32 oC akibat cuaca panas makaoperasikan kincir secara maksimal.
2.4.3. Salinitas
Salinitas adalah kadar garam suatu perairan dan merupakan parameter penting karena berhubungan dengan tekanan osmotik dan ionik air baik sebagai media internal maupun eksternal (Budiardi, 1999 dalam Astuti, 2017).
Salinitas berhubungan dengan tingkat osmoregulasi udang vaname. Jika salinitas diluar kisaran optimum, pertumbuhan udang vaname menjadi lambat karena terganggunya proses metabolisme akibat energi lebih banyak dipergunakan untuk proses osmoregulasi (Wajidjah, 1998 dalam Astuti, 2017).
Haliman dan Adijaya (2005) menyatakan bahwa salinitas air yang terlalu tinggi juga bisa menyebabkan kesulitan udang vaname untuk berganti kulit karena kulit cenderung keras sehingga kebutuhan energi untuk proses adaptasi meningkat.
Kisaran salinitas optimum untuk pertumbuhan dan kelangsungan hidup udang vaname menurut SNI 01-7246-2006 yaitu15 – 25 ppt sedangkan menurut
10
Amri dan Kanna (2008), pertumbuhan yang optimum diperoleh pada kisaran salinitas 15 – 20 ppt.
Menurut PT. Central Proteina Prima (2016), jika salinitas < 15 ppt yang disebabkan hujan lebat maka naikkan salinitas menggunakan air laut sesuai yang diinginkan. Jika salinitas > 45 ppt karena tidak ada air tawar dan penguapan tinggi maka turunkan salinitas sebisa mungkin dengan naikkan kedalaman air untuk mengurangi penguapan.
2.4.4. Derajat Keasaman (pH)
Derajat Keasaman (pH) adalah logaritma negatif dari aktifitas ion hidrogen (Boyd, 1990). Menurut Haliman dan Adijaya (2005), pH air tambak pada sore hari lebih tinggi daripada pagi hari, penyebab pH air tambak pada sore hari lebih tinggi yaitu adanya kegiatan fotosintesis oleh pakan alami, seperti fitoplankton yang menyerap CO2. Sebaliknya pada pagi hari CO2 melimpah sebagai hasil pernapasan udang vaname pada malam hari. Mudjiman (1992) menyatakan bahwa pH air tambak udang vaname juga dapat berubah menjadi asam karena meningkatnya benda-benda yang membusuk akibat dari sisa-sisa pakan atau yang lain. Nilai pH yang optimum untuk tambak udang vaname menurut SNI 01-7246- 2006 berkisar antara 7,5 – 8,5 sedangkan menurut Haliman dan Adijaya (2005), nilai pH yang optimum untuk pertumbuhan adalah 7,5 – 8,5.
Menurut PT. Central Proteina Prima (2016), jika pH naik maka dilakukan pemberian probiotik dan melakukan sirkulasi air, sedangkan jika pH turun maka dilakukan penyiphonan dan melakukan pemberian kapur.
2.4.5. Alkalinitas
11
Alkalinitas adalah gambaran kapasitas air untuk menetralkan asam atau dikenal dengan sebutan acid neutralizing capacity (ANC) atau kuantitas anion di dalam air yang dapat menetralkan kation hidrogen. Alkalinitas juga diartikan sebagai kapasitas penyangga terhadap perubahan pH perairan. Penyusun alkalinitas perairan adalah anion bikarbonat (HCO3-), karbonat (CO32-), hidroksida (OH-), borat (H2BO3), silikat (HsiO3), fosfat (HPO42- dan H2PO4), sulfida (HS-), dan amonia (NH3) juga memberikan kontribusi terhadap alkalinitas. Namun, pembentuk alkalinitas yang utama adalah bikarbonat, karbonat, dan hidroksida.
Diantara ketiga ion tersebut, bikarbonat paling banyak terdapat pada perairan alami (Effendi, 2003).
Alkalinitas dan pH yang rendah dapat mengakibatkan udang vaname susah moulting sedangkan nilai alkalinitas dan pH yang tinggi mengakibatkan
pengerasan pada kulit udang vaname dan susah moulting. Perbaikan nilai alkalinitas dilakukan dengan cara melakukan pengapuran yang cukup (Suyanto dan Takarina, 2009).
Nilai optimum alkalinitas di dalam tambak menurut Sulistinarto dan Adiwijaya (2008) yaitu 90 – 150 ppm sedangkan berdasarkan SNI 01-7246-2006, nilai optimum alkalinitas yaitu 100 – 150 ppm.
Menurut PT. Central Proteina Prima (2016), jika alkalinitas > 300 ppm akibat tingginya kandungan alkalinitas di sumber air banyak mengandung batu kapur maka air sumber ditampung dulu di dalam tandon atau kolam sebelum digunakan selama 1 minggu. Jika alkalinitas < 120 ppm akibat kandungan asam yang tinggi maka kurangi pemakaian probiotik dan pengenceran perlahan-lahan
12
dan jika CO2 rendah maka tumbuhkan plankton hingga stabil dengan cara pemberian probiotik secara rutin.
2.4.6. TOM (Total Organic Matter)
Total Oganic Matter (TOM) menggambarkan kandungan bahan organik
total suatu perairan yang terdiri dari bahan terlarut, tersuspensi, dan koloid (Effendi, 2003). Boyd (1992), kandungan bahan organik yang optimal 20 ppm dan kandungan bahan organik yang tinggi > 60 ppm menunjukkan kualitas air yang menurun. Kandungan total bahan organik merupakan sumber terjadinya senyawa yang dapat meracuni udang vaname dalam proses anaerob. Adapun nilai optimum bahan organik menurut SNI 01-7246-2006 yaitu 55 ppm sedangkan menurut KEP. 28/MEN/2004, kisaran nilai optimum TOM yaitu < 90 ppm.
Menurut PT. Central Proteina Prima (2016), jika TOM > 80 ppm akibat plankton mati, dosis pakan berlebih, dan pergantian air yang kurang maka dilakukan penyiphonan, pergantian air, pemberian probiotik dekomposer, dan dosis pakan yang dikurangi.
2.4.7. Total Amonia Nitrogen
Total amonia nitrogen terbagi menjadi dua yaitu amonia bebas (NH3) dan Amonia yang terionisasi atau disebut dengan Amonium (NH4+). Amonium merupakan bagian dari total amonia nitrogen berupa amonia yang terionisasi (Effendi, 2003).
Amonium adalah senyawa yang dibutuhkan, namun jika keberadaannya melebihi batas normal maka akan berdampak buruk bagi kualitas air tambak.
13
Amonium ini berasal dari pupuk yang mengandung nitrogen, hasil perombakan senyawa nitrogen organik oleh bakteri atau dampak dari sisa-sisa pakan yang tidak termakan habis oleh udang vaname (Sulistinarto dan Adiwijaya, 2008).
Keseimbangan konsentrasi amonia bebas dan amonium dalam air dipengaruhi oleh suhu dan pH. Jika pH dan suhu meningkat maka konsentrasi amonia (NH3) meningkat lebih tinggi daripada konsentrasi amonium (NH4+) sehingga meningkatkan daya racun terhadap udang vaname. Peningkatan daya racun amonia juga dipengaruhi oleh rendahnya kandungan O2 terlarut dalam air (Tarsim, 2000). Boyd (1989) mengatakan pada suhu tinggi laju reaksi keseimbangan amonia lebih cepat sehingga cenderung terjadi peningkatan konsentrasi NH3. Peningkatan ini dapat mengakibatkan kematian pada udang vaname akibat keracunan. Nilai optimum Total Amonia Nitrogen menurut PT.
Central Proteina Prima (2016) adalah 0,005 – 0,2 ppm.
Menurut PT. Central Proteina Prima (2016), jika TAN > 0,2 ppm akibat plankton drop, dosis pakan yang tinggi, dan feses udang maka dilakukan penyiphonan, pergantian air, pemberian probiotik dekomposer, dan tambahkan operasional kicir. Jika TAN < 0,005 ppm akibat kandungan bahan organik sedikit sehingga kurangi penyiphonan dan fermentasi dedak.
2.4.8. Nitrit
Nitrit merupakan bentuk peralihan antara amonia dan nitrat (nitrifikasi) dan antara nitrat dengan gas nitrogen (denitrifikasi). Keberadaan nitrit menggambarkan berlangsungnya proses biologis perombakan bahan organik yang memiliki kadar oksigen terlarut sangat rendah (Effendi, 2003).
14
Menurut Suharyadi (2011), kandungan nitrit yang tinggi dalam perairan sangat berbahaya bagi udang vaname karena plankton tidak mampu mengedarkan oksigen sehingga oksigen menjadi faktor pembatas dan sangat berpengaruh terhadap berlangsungnya proses nitrifikasi. Menurut SNI 01-7246-2006, nilai optimum nitrit untuk udang vaname yaitu 0,01 ppm sedangkan menurut PERMEN-KP (2016) nilai optimum nitrit untuk udang vaname yaitu 1 ppm.
Menurut PT. Central Proteina Prima (2016), jika Nitrit > 0,1 ppm akibat peningkatan bahan organik dan oksigen yang rendah maka dilakukan siphon, kurangi pakan, pengenceran bila terlalu tinggi, naikkan oksigen dengan penambahan kincir, dan penebaran super NB 1 ppm.
2.4.9. Plankton
Plankton adalah jasad atau organisme renik yang hidup melayang dalam air, tidak bergerak atau bergerak sedikit dan selalu mengikuti pergerakan atau arus air (Tahrin, 2009 dalam Kustiawan, 2014).
Plankton mempunyai banyak fungsi, antara lain sebagai pakan alami, penyangga (buffer) terhadap intensitas cahaya matahari dan sebagai indikator biologi dengan melihat kestabilan lingkungan air media pemeliharaan berupa plankton mati menjadi bahan organik yang menumpuk dalam jumlah banyak akan menjadi sarang bakteri dan vibrio yang merugikan budidaya udang vaname (Solis dan Ibarra, 1994 dalam Astuti, 2017).
Populasi plankton yang terlalu tinggi akan membahayakan udang vaname pada malam hari, karena akan mempengaruhi tingkat ketersediaan oksigen terlarut dalam air dan akan menjadi kompetitor udang vaname dalam mengambil oksigen (Suyanto, 1991 dalam Astuti, 2017 ).
15
Menurut PT. Central Proteina Prima (2016), jumlah optimum kepadatan plankton yaitu 500.000 – 2.000.000 sel/ml. Sehingga, untuk mempertahankan nilai optimum plankton maka dilakukan pergantian air, penyiphonan, suplai oksigen yang cukup, dan aplikasi probiotik untuk untuk merangsang pertumbuhan plankton.
2.4.10. Total vibrio
Total vibrio adalah jumlah koloni bakteri jenis vibrio yang ada pada tiap mililiter air tambak dengan satuan Colony Farming Count/mililiter (CFU/ml).
Keberadaan vibrio disebabkan oleh bahan organik yang tinggi. Tingginya total vibrio dapat menyebabkan infeksi pada udang vaname karena vibrio dapat bersifat patogen yang bisa merusak jaringan udang vaname, nafsu makan berkurang, dan pertumbuhan terganggu (Adiwidjaya dkk., 2003). Kisaran optimum total vibrio berdasarkan PT. Central Proteina Prima (2016) yaitu <3,0 x 103 CFU/ml sedangkan menurut PERMEN-KP (2016), kisaran optimum total vibrio yaitu <1,0 x 103 CFU/ml.
Menurut PT. Central Proteina Prima (2016), jika jumlah vibrio meningkat akibat peningkatan kandungan bahan organik karena plankton tidak stabil atau drop, timbunan lumpur yang tinggi, over feeding, dan DO rendah maka melakukan penyiphonan, penebaran kaptan 5-10 ppm kemudian tebar probiotik dekomposer super NB 1 ppm murni, tambahkan operasional kincir, dan kontrol
pakan .
BAB III. METODOLOGI
3.1. Waktu Dan Tempat
Tugas akhir ini disusun berdasarkan kegiatan Pengalaman Kerja Praktik Mahasiswa (PKPM) yang dilaksanakan selama tiga bulan dari tanggal 14 Januari sampai tanggal 18 April 2019 di PT. Central Proteina Prima Kecamatan Paiton, Kabupaten Probolinggo, Provinsi Jawa Timur.
3.2. Metode Pengumpulan Data
Data yang digunakan dalam penulisan tugas akhir ini diperoleh dengan menggunakan metode sebagai berikut:
- Metode observasi yaitu melakukan pengamatan terhadap berbagai kegiatan operasional teknik pembesaran udang vaname
- Metode partisipasi aktif yaitu mengikuti secara aktif kegiatan operasional pembesaran udang vaname
- Metode wawancara yaitu proses memperoleh keterangan atau data dengan cara tanya jawab dengan pembimbing lapangan dan teknisi pembesaran udang vaname.
- Metode studi literatur yaitu penelusuran pustaka melalui literatur yang ada hubungannya dengan teknik pembesaran udang vaname.
3.3. Alat dan Bahan
Alat dan bahan yang digunakan dalam manajemen kualitas air pada pembesaran udang vaname dapat dilihat pada Tabel 3.1. dan Tabel 3.2.
17
Tabel 3.1. Alat yang digunakan dalam Manajemen Kualitas Air di PT. Central Proteina Prima, Jawa Timur
No. Nama Alat Spesifikasi Kegunaan
1. Handrefraktometer – Mengukur salinitas
2. pH meter – Mengukur pH
3. Pipet tetes – Mengambil sampel untuk
pengukuran salinitas dan plankton
4. Petri dish Diameter: 6 cm Wadah media tumbuh bakteri 5. Microtube Tinggi: 2 cm
Bahan plastik pp
Wadah pengenceran 6. Lampu spirtus Isi ethanol 96% Alat antiseptis 7. Mikropipet Tipe pipetman
Kapasitas: 100 – 1000 mikroliter
Alat pemindah larutan
8. Mikropipet Tipe: pipetman Kapasitas: 20 – 200 mikroliter
Alat pemindah larutan
11. Vortex mixer Tipe: MAX I MIX II Alat pencampur bahan pengenceran dan sampel 12. Triangle spreader Panjang 8 cm Alat penyebar bakteri sampel
pada media
13. Inkubator Kapasitas: 70oC Tempat penumbuh bakteri 17. Mikroskop Tipe Cx23 Alat pengamatan plankton 18. Haemocytometer Luas: 1mm2
Kedalaman: 0,1 mm
Penampang sampel 19. Buret Kapasitas: 50 ml Alat titrasi
20. Erlenmeyer Kapasitas: 100 ml Alat penampung bahan dalam analisa
21. Filler Kapasitas: 50 ml Alat penghisap larutan 22. Gelas ukur Bahan: plastik pp Alat ukur volume sampel dan
larutan 23. Thermometer Kapasitas : 0 –
100oC
Alat mengecek suhu 24. Hotplate Kapasitas suhu:
540oC
Alat untuk memanaskan larutan 25. Pipet serologis Kapasitas: 10 ml Alat untuk memindahkan
larutan
26. Pipet serologis Volume: 2 ml Alat pemindah 27. Testube Jenis: round bottom
Panjang: 15 cm Diameter: 1,5 cm
Wadah pereaksi larutan dan sampel
28. Pipet volumetrik Kapasitas: 10 ml Alat untuk memindahkan larutan
18
Lanjutan Tabel 3.1.
No. Nama Alat Spesifikasi Kegunaan
29. Spektrofotometer Tipe : Genesys 30 Jenis : visible spektrofotometer
Alat untuk mengukur nilai amonium dan nitrit
30. Cuvvet Panjang: 1,2 cm
Tinggi : 4.5 cm Lebar: 1,2 cm
Wadah penampungan bahan yang akan di masukkan ke spektrofotometer
31. Corong kaca Diameter 45 mm Alat bantu dalam menuang larutan ke buret
32. Corong plastik Diameter 90 mm Alat bantu dalam penyaring sampel
33. Selang spiral Panjang 3m Alat penyalur air
34. Pompa air 3 dim Pompa air dari sungai, dari sumur bor, dan dari tandon 35. Pipa Paralon 8 inci
Jenis: PVC
Alat penyalur air dari tandon ke petak pemeliharaan
36. Timbangan analitik Kapasitas: 5000 gram
Alat penimbang ragi dan udang vaname hasil sampling
37. Timbangan digital Kapasitas: 150 kg Alat penimbang pakan, bahan desinfektan, dan udang vaname pada saat panen.
38. Serok – Alat pemindah bahan
berbentuk bubuk
39. Pitcher Kapasitas: 1 L Alat pengukur volume bahan yang berbentuk cair
40. Anco Luas: 60 cm x 60 cm Alat monitoring pertumbuhan dan kesehatan udang vaname
41. Jala – Alat tangkap udang vaname
42. Secchi disk Panjang:100 cm Alat pengukur kecerahan 43. Kincir Kapasitas 1 HP Alat penyuplai oksigen
44. Serok busa – Alat untuk mengangkat klekap
dan busa
19
Tabel 3.2. Bahan yang digunakan dalam Manajemen Kualitas Air di PT. Central Proteina Prima, Jawa Timur
No. Nama Bahan Spesifikasi Kegunaan
1. Probiotik bacillus Biosolution (cair) Pengurai bahan organik 2. Probiotik Rhodobacter Super PS (cair) Pengurai H2S
3. Probiotik Nitrifikasi Super NB (cair) Penumbuh plankton dan pengurai bahan organik termasuk amonia dan nitrit
4. Dolomit Bubuk Meningkatkan pH
5. Dedak Bubuk Bahan fermentasi
6. Ragi Bubuk Bahan fermentasi
7. Sulfuric acid 0,02 N Cair Bahan dalam analisa alkalinitas 8. Indikator phenolpthalein
0,5% Cair Bahan dalam analisa alkalinitas
9. Methyl Red and Bromocresol Green indicator 0,12%
Cair Bahan dalam analisa alkalinitas
10. Aquadest Cair Bahan analisa kualitas air
11. Sulfanilamide 1% Cair Bahan analisa nitrit
12. NED 0,1% Cair Bahan analisa nitrit
13. Phenol 10% Cair Bahan analisa amonium
14. Sodium nitroprusside
0,5% Cair Bahan analisa amonium
15. Alkaline citrate Cair Bahan analisa amonium
16. Sodium hypochloride Cair Bahan analisa amonium 17. Kertas saring Diameter 100 mm Penyaring sampel
18. Sulfuric acid 6N Cair Bahan analisa TOM
19. KMnO4 0,01 N Cair Bahan analisa TOM
20. Asam oxalate Cair Bahan analisa TOM
21. Media TCBS Padat Media tumbuh vibrio
22. NaCl fisiologis 0,85% Cair Pengencer sampel bakteri vibrio
23. Kaporit Bubuk Bahan desinfektan
24. Crustacid Cair Bahan desinfektan
25. Cupri sulfat Padat Bahan desinfektan
26. Air sungai Cair Sumber air
27. Kapur tohor Serbuk Meningkatkan pH
28. Terpal HDPE Tebal 0,5 mm Wadah air tambak
29. Waring Diameter 30 cm Penyaring air tambak
20
3.4. Metode Pelaksanaan 3.4.1. Persiapan
Pembersihan dan Pengeringan Dasar Tambak 1. Alat dan bahan disiapkan,
2. Terpal dibersihkan dari tiram dan trisipan, kemudian dibuang, 3. Terpal disikat dan air yang tergenang disleber,
4. Terpal dibilas menggunakan air tandon dengan cara disemprotkan air ke bagian terpal yang telah disikat,
5. Air bilasan disleber sampai ke central drain, 6. Tambak dikeringkan selama tujuh hari.
Pengapuran
1. Alat dan bahan disiapkan,
2. Kapur diangkut menggunakan blong (keranjang pengangkut), 3. Kapur ditebar ke seluruh area dasar tambak dengan dosis 300 g/m2,
4. Setelah pengapuran, tambak dibiarkan selama tujuh hari untuk penyerapan kapur pada terpal dan air tergenang.
Pengisian air
1. Alat dan bahan disiapkan,
2. Saringan (waring) dipasang pada setiap ujung pipa, 3. Pompa air dinyalakan,
4. Tandon sterilisasi diisi air sungai dan didiamkan selama ±24 jam,
5. Air tandon sterilisasi disalurkan ke tandon pengendapan dan didiamkan selama
±24 jam,
21
6. Air dalam tandon kemudian disalurkan ke tambak pemeliharaan,
7. Pada tambak pemeliharaan dilakukan sterilisasi air dan treatment sebelum ditebari benur vaname.
Penebaran Kupri Sulfat (CuSO4) 1. Alat dan bahan disiapkan,
2. Semua kincir dinyalakan terlebih dahulu, 3. CuSO4 ditimbang dengan dosis 0,5 ppm, 4. CuSO4 dimasukkan ke dalam ember,
5. Air tambak ditambahkan secukupnya kemudian diaduk, 6. CuSO4 ditebar ke seluruh area tambak,
7. Tambak dibiarkan selama 24 jam tanpa perlakuan apapun.
Penebaran Crustacid 1. Alat dan bahan disiapkan,
2. Semua kincir dinyalakan terlebih dahulu,
3. Crustacid dimasukkan ke ember dengan dosis 2 ppm,
4. Crustacid ditambahkan air tambak secukupnya kemudian diaduk, 5. Crustacid ditebar ke seluruh area tambak,
6. Tambak dibiarkan selama 24 jam tanpa perlakuan apapun.
Penebaran Kaporit (Calcium Hypochloride) 1. Alat dan bahan disiapkan,
2. Semua kincir dinyalakan,
3. Kaporitditimbang dengan dosis 30 ppm,
4. Kaporit ditambahkan air tambak secukupnya kemudian diaduk,
22
5. Kaporit ditebar ke seluruh area tambak,
6. Tambak dibiarkan selama 24 jam tanpa perlakuan apapun.
Penebaran Hasil Fermentasi 1. Alat dan bahan disiapkan,
2. Air tawar dimasukkan ke dalam ember sebanyak 3 liter,
3. Ragi ditimbang sebanyak 45 gram dan dedak ditimbang sebanyak 3 kg, kemudian dimasukkan ke ember dan diaduk,
4. Ragi dan dedak difermentasi selama 48 jam di dalam ember yang tertutup, 5. Setelah 48 jam, hasil fermentasi ditambahkan kapur dolomit dengan dosis 3
ppm dan ditambahkan air tambak secukupnya kemudian diaduk,
6. Campuran fermentasi dan kapur dolomit ditebar ke seluruh area tambak.
Penebaran Probiotik 1. Alat dan bahan disiapkan,
2. Probiotik dimasukkan ke dalam gelas ukur dengan dosis 0,5 ppm, 3. Probiotik ditebar di petakan tambak.
Bioassay
1. Alat dan bahan disiapkan,
2. Ember diisi air tambak yang akan diuji,
3. Benur dimasukkan sebanyak 100 ekor/liter dimasukkan ke dalam ember tanpa perlakuan apapun,
4. Tingkah laku benur diamati dan benur yang mati dihitung setelah 48 jam.
5. Jika kurang dari 80% udang vaname yang hidup, maka air tambak perlu dilakukan manajemen kualitas air untuk mengurangi residu,
23
6. Jika udang vaname yang hidup diatas 80% yang hidup, maka air tambak siap untuk ditebari udang vaname.
3.4.2. Pengukuran Kualitas Air pada waktu Pemeliharaan Pengukuran suhu
1. Thermometer disiapkan,
2. Thermometer yang terpasang di jembatan anco diangkat dari dalam air, 3. Mengamati nilai suhu pada thermometer,
4. Pengukuran suhu dilakukan setiap hari pada waktu pagi dan sore hari.
Pengukuran kecerahan 1. Secchi disk disiapkan,
2. Secchi disk dimasukkan ke dalam petakan tambak secara perlahan-lahan sampai garis hitam putih tidak kelihatan,
3. Secchi disk diangkat secara perlahan-lahan sampai garis hitam putih kelihatan samar-samar dan nilai kecerahan dilihat dari skala yang berhimpitan dengan permukaan air,
4. Hasil pengukuran dicatat hasilnya.
Pengukuran pH 1. pH meter disiapkan,
2. Air sampel diambil sebanyak 500 ml, 3. Penutup elektroda pH meter dibuka, 4. Tombol On/Off ditekan pada pH meter,
5. Elektroda pH meter dimasukkan ke dalam air sampel, 6. Nilai pH air dibaca pada layar monitor pH meter,
24
7. Tombol power ditekan untuk menghentikan operasional alat, 8. Probe pH dibilas dengan air tawar dan dilap dengan tissue,
9. Pengukuran pH dilakukan setiap hari pada waktu pagi dan sore hari.
Pengukuran salinitas
1. Handrefraktometer disiapkan,
2. Kaca prisma pada handrefraktometer ditetesi aquades untuk kalibrasi alat, kemudian diamati dengan mengarah ke cahaya,
3. Handrefraktometer dilap dengan tissue, 4. Pengambilan sampel,
5. Kaca prisma handrefraktometer ditetesi air sampel dari petakan tambak lalu diamati untuk menentukan nilai salinitas tambak,
6. Kaca prisma dibilas dengan menggunakan air tawar dan dikeringkan menggunakan tissue,
7. Pengukuran salinitas dilakukan setiap hari pada waktu pagi dan sore hari.
Pengukuran TOM
1. Alat dan bahan disiapkan,
2. Sampel diambil sebanyak 25 ml dan dimasukkan ke dalam erlenmeyer, 3. Aquadest ditambahkan sebanyak 25 ml,
4. H2SO4 6 N ditambahkan sebanyak 5 ml, 5. KMnO4 0,01 N ditambahkan sebanyak 10 ml, 6. Sampel dididihkan dan ditunggu ±10 menit,
7. Sampel diangkat dan didiamkan hingga suhu 60 – 70oC,
8. KMnO4 0,01N dititrasi hingga menjadi warna merah muda pertama,
25
9. Hasil pengukuran dicatat hasilnya.
Pengukuran Alkalinitas 1. Alat dan bahan disiapkan,
2. Air sampel diambil sebanyak 50 ml dan dimasukkan ke erlenmeyer,
3. Warna air sampel diperhatikan, kemudian ditambahkan dua tetes indikator phenolpthalein 0,5%,
4. Jika terjadi perubahan warna merah muda, kemudian dititrasi dengan H2SO4
0,02 N sampai warna merah muda hilang (kembali ke warna awal), 5. Volume hasil titrasi H2SO4 0,02 N dicatat,
6. Indikator MR-BCG 0,12% ditambahkan sebanyak dua tetes, dan akan berubah menjadi warna biru,
7. Sampel dititrasi dengan H2SO4 0,02 N sampai warna biru berubah menjadi warna merah muda pertama,
8. Hasil pengukuran dicatat hasilnya.
Pengukuran Amonium 1. Alat dan bahan disiapkan,
2. Sampel dan aquadest (sebagai blanko) disaring dengan volume ±120 ml,
3. Sampel dan aquadest (sebagai blanko) dimasukkan ke testube menggunakan pipet volumetrik 10 ml,
4. Phenol 10 % ditambahkan sebanyak 0,5 ml (dihomogenkan),
5. Sodium nitroprusside 0,5% ditambahkan sebanyak 0,5 ml (dihomogenkan), 6. Oxidizing reagent ditambahkan sebanyak 1 ml (dihomogenkan),
7. Sampel didiamkan selama 60 menit pada suhu ruangan,
26
8. Hasil reaksi sampel dibaca dengan spectrofotometer dengan panjang gelombang 640 nm (set nol dengan aquadest),
9. Hasil pengukuran dicatat hasilnya.
Pengukuran Nitrit
1. Alat dan bahan disiapkan
2. Sampel dan aquadest (sebagai blanko) disaring dengan volume 120 ml,
3. Sampel dan aquadest dimasukkan ke dalam testube menggunakan pipet volumetrik 10 ml (aquadest sebagai blanko),
4. Sulfanilamide 1% ditambahkan sebanyak 0,2 ml (dihomogenkan), 5. NED 0,1 % ditambahkan sebanyak 0,2 ml (dihomogenkan), 6. Sampel didiamkan selama 20 menit pada suhu ruangan,
7. Hasil reaksi sampel dibaca dengan spectrofotometer dengan panjang gelombang 543 nm (set nol dengan aquadest),
8. Hasil pengukuran dicatat hasilnya.
Menghitung Kepadatan Plankton 1. Alat dan bahan disiapkan,
2. Haemocytometer diisi dengan air sampel menggunakan pipet tetes, 3. Air sampel pada haemocytometer ditutup dengan cover glass,
4. Haemocytometer dijepit dengan menggunakan penjepit preparat mikroskop, 5. Mikroskop dihidupkan kemudian kepadatan plankton dihitung,
6. Hasilnya dicatat.
27
Inokulasi Bakteri dan Menghitung Koloni Bakteri pada Media TCBS 1. Alat dan bahan disiapkan,
2. Membuat media TCBS dengan cara menimbang 89 gram TCBS dan melarutkannya ke dalam 1000 ml larutan NaCl, selanjutnya larutan dihomogenkan dan dipanaskan di hotplate with stirer hingga media terlihat bening.
3. Media didinginkan hingga mencapai suhu ±50 oC lalu dituang ke petri dish, selanjutnya dibiarkan hingga media memadat kemudian petri dish yang berisi media dimasukkan ke lemari pendingin dan siap untuk digunakan,
4. Mengambil sampel air, kemudian diencerkan dengan pengenceran 10-1, 10-2, 10-3, dan 10-4.
5. Menyiapkan microtube sebanyak 4 buah. Masing-masing microtube diisi larutan NaCl fisiologis 0,85% sebanyak 900 µl. Microtube pertama diisi sampel air sebanyak 100 µl kemudian dihomogenkan (pengenceran 10-1), microtube kedua diisi sampel sebanyak 100 µl dari microtube pertama
kemudian dihomogenkan (pengenceran 10-2), microtube ketiga diisi sampel sebanyak 100 µl dari microtube kedua kemudian dihomogenkan (pengenceran 10-3), dan microtube keempat diisi sampel sebanyak 100 µl dari microtube ketiga kemudian dihomogenkan (pengenceran 10-4).
6. Mengambil larutan sebanyak 100 µl dari masing-masing pengenceran 10-1, 10-
2, 10-3 dan 10-4, kemudiandikultur pada media TCBS dengan metode sebar,
7. Diinkubasi selama ±22 – 24 jam pada suhu 30 oC. Setelah ±22 – 24 jam diinkubasi, dilakukan perhitungan jumlah koloni bakteri setiap petri dish kemudian dihitung total vibrio count (TVC).
28
8. Untuk mengetahui bahwa koloni yang tumbuh adalah Vibrio harveyii, maka petri dish yang berisi inokulasi vibrio diamati di dalam ruang gelap setelah 12
– 18 jam penanaman bakteri vibrio. Apabila koloni memancarkan cahaya berarti koloni yang tumbuh adalah Vibrio harveyii.
3.4.3. Manajemen Kualitas Air pada waktu Pemeliharaan Penyiphonan
1. Alat disiapkan,
2. Sebelum melakukan penyiphonan sebaiknya badan orang yang menyipon sebaiknya steril dengan cara mandi terlebih dahulu,
3. Ujung pipa dilapisi dengan menggunakan waring,
4. Selang spiral dihubungkan dengan pipa sentral dan diikat menggunakan karet, 5. Selang spiral dihubungkan ke pipa sentral,
6. Lubang pada pipa sentral ditutup menggunakan plastik, 7. Penyiphonan dilakukan.
Pengangkatan Klekap 1. Alat disiapkan,
2. Serok busa dipegang dan diarahkan ke tambak, 3. Busa dan klekap diangkat dan dibuang.
Sirkulasi Air 1. Alat disiapkan,
2. Air tambak dikeluarkan dengan membuka pipa outlet,
3. Air tandon dimasukkan ke tambak sesuai dengan volume yang telah dikeluarkan.
29
Penebaran Dolomit
1. Alat dan bahan disiapkan,
2. Dolomit ditimbang berdasarkan dosis 3 ppm, 3. Dolomit dicampur air tambak
4. Dolomit ditebar ke tambak.
Penebaran Hasil Fermentasi 1. Alat dan bahan disiapkan,
2. Air tawar dimasukkan ke dalam ember sebanyak 3 liter,
3. Ragi ditimbang sebanyak 45 gram dan dedak ditimbang sebanyak 3 kg, kemudian dimasukkan ke ember dan diaduk,
4. Ragi dan dedak difermentasi selama 48 jam di dalam ember yang tertutup, 5. Setelah 48 jam, hasil fermentasi ditambahkan kapur dolomit dengan dosis 3
ppm dan ditambahkan air tambak secukupnya kemudian diaduk, 6. Campuran fermentasi dan dolomit ditebar ke seluruh area tambak.
Penebaran Probiotik 1. Alat dan bahan disiapkan,
2. Probiotik dimasukkan ke dalam gelas ukur dengan dosis 0,5 ppm, 3. Probiotik ditebar di petakan tambak.
3.4.4. Sampling Pertumbuhan 1. Alat dan bahan disiapkan,
2. Udang vaname disampling (menggunakan anco pada sampling pertama dan udang vaname dijala pada sampling kedua sampai menjelang panen),
30
3. Udang vaname dimasukkan ke baskom kecil yang berisi air tambak, 4. Udang vaname dihitung dan ditimbang,
5. Udang vaname dilepas ke tambak.
3.5. Parameter yang Diamati dan Analisis Data 3.5.1. Parameter yang Diamati
Jenis parameter yang diamati dalam manajemen kualitas air udang vaname adalah:
- Cara treatment air beserta dosis, bahan dan alat yang digunakan - Parameter kualitas air dan cara pengelolaannya
- Pertumbuhan dan tingkat kelangsungan hidup (SR) udang vaname yang dipelihara.
3.5.2. Analisis Data
Data yang digunakan dalam tugas akhir ini berupa data primer dan data sekunder yang disajikan dalam bentuk tabel, grafik, dan gambar, kemudian dianalisis dengan menggunakan metode deskriptif.
Perhitungan dan rumus yang digunakan dalam kegiatan pembesaran udang vaname mengikuti standar yang digunakan di perusahaan PT. Central Proteina Prima Probolinggo, Jawa Timur.
Data yang digunakan dalam tugas akhir ini dihitung dengan meggunakan rumus sebagai berikut:
Kecerahan
Menurut Sutrisyani dan Rohani (2009), kecerahan dapat dihitung dengan menggunakan rumus sebagai berikut: