• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN"

Copied!
19
0
0

Teks penuh

(1)

BAB V

HASIL DAN PEMBAHASAN

5.1 Hasil

5.1.1 Penutupan Lahan

Penutupan lahan yang terdapat di Kalimantan Tengah terdiri atas 18 jenis penutupan lahan. Tabel 1 menyajikan penutupan lahan di Kalimantan Tengah.

Penutupan area hutan paling dominan di Kalimantan Tengah adalah hutan primer sementara penutupan lahan area non hutan di Kalimantan Tengah didominasi oleh semak belukar.

Tabel 1 Daftar penutupan lahan di Kalimantan Tengah

No Penutupan Lahan Land Cover Kode

1 Semak belukar rawa Swamp shrubs SSH

2 Hutan gambut primer Undisturbed swamp forest USF 3 Hutan gambut sekunder Disturbed swamp forest DSF

4 Hutan primer Undisturbed forest UDF

5 Hutan sekunder Disturbed forest DIF

6 Hutan tanaman industri Timber plantation TPL

7 Kebun campuran Mixed tree crops MTC

8 Kebun karet Rubber plantation RPL

9 Kelapa sawit Oil palm plantation OPL

10 Mangrove Disturbed mangrove DIM

11 Rumput Grass GRS

12 Rumput rawa Swamp grass SGR

13 Semak belukar Shrub SCH

14 Sawah Rice field RCF

15 Lahan tegalan Dry cultivation land DCL

16 Pemukiman Settlements SET

17 Tambak Fish pond CFP

18 Pertambangan Mining MIN

Perubahan luas tutupan lahan di Kalimantan Tengah tahun 2000-2009 disajikan pada Tabel 2. Penurunan luas area terbesar di Kalimantan Tengah pada tahun 2000-2005 dan 2005-2009 adalah hutan primer sementara peningkatan luas area terbesar di Kalimantan Tengah pada tahun 2000-2005 dan 2005-2009 adalah perkebunan kelapa sawit.

(2)

Tabel 2 Perubahan luas tutupan lahan di Kalimantan Tengah tahun 2000- 2009

No Penutupan Lahan

2000 (ha)

2005 (ha)

Selisih 2005-2000

(ha)

2009 (ha)

Selisih 2009-2005

(ha) 1 Semak belukar

rawa 1.463.934 1.530.765 66.831 1.676.550 145.784

2 Hutan primer 6.119.290 5.903.447 (215.843) 5.297.260 (606.187) 3 Hutan gambut

primer 2.621.214 2.456.094 (165.120) 2.258.254 (197.839) 4 Hutan sekunder 824.628 675.555 (149.073) 780.064 104.509 5 Hutan gambut

sekunder 523.379 593.039 69.660 465.180 (127.859)

6 Hutan tanaman

industri 94.578 78.932 (15.647) 63.773 (15.158)

7 Kebun

campuran 43.829 62.500 18.671 73.082 10.583

8 Kebun karet 93.249 124.586 31.337 117.321 (7.265)

9 Kelapa sawit 271.759 433.939 162.180 1.258.117 824.177

10 Mangrove 34.325 34.325 - 34.325 -

11 Rumput 95.569 24.099 (71.470) 32.604 8.506

12 Rumput rawa 192.316 140.892 (51.425) 157.944 17.053 13 Belukar 2.111.070 2.270.949 159.878 2.170.956 (99.992)

14 Sawah 61.098 71.945 10.847 65.007 (6.939)

15 Tambak 1.473 1.473 - 1.531 58

16 Tegalan 573.262 716.512 143.250 660.459 (56.053)

17 Pemukiman 25.906 26.190 284 26.409 219

18 Tambang 15.255 20.896 5.640 27.300 6.404

Total 15.283.345 15.283.345 15.283.345

( ) = mengalami penurunan

Peta perubahan penutupan lahan Kalimantan Tengah pada tahun 2000 disajikan pada Gambar 3. Penutupan lahan di Kalimantan Tengah disimbolkan dengan warna yang berbeda berdasarkan jenis penutupan lahan.

(3)

Gambar 4 Peta penutupan lahan Kalimantan Tengah tahun 2000

Matriks perubahan penutupan lahan Kalimantan Tengah tahun 2000-2005 disajikan pada Tabel 3. Nilai luasan penutupan lahan dan perubahan penutupan lahan di Kalimantan Tengah tahun 2000-2005 disajikan pada Lampiran 2.

Tabel 3 Matriks perubahan penutupan lahan Kalimantan Tengah tahun 2000-2005

2000

2005

SSH DIF DSF TPL MTC RPL OPL GRS SGR SCH RCF DCL SET MIN X5

SSH - - - - V V V - V - V V - - -

UDF - V - V - V V - - V - V V - -

USF V - V - - - V - V - - V - - -

DIF - - - V V - V V - V - V V V -

DSF V - - - - - V - - - V V - - -

TPL - - - - - V V - - V - - - V V

MTC - - - - - - V - - - - - - V -

RPL - - - - - - V - - - - - - - -

GRS - - - - V V V - - V - V - - -

SGR V - - - - - V - - - - V - - -

SCH - - - V V V V - - - V V V V -

RCF - - - - - - - - - - - - V - -

DCL - - - - V V V - - - V - V - -

Tabel 1 menunjukan penjelasan kode penutupan lahan

(4)

Matriks perubahan penutupan lahan Kalimantan Tengah tahun 2005-2009 disajikan pada Tabel 4. Nilai luasan penutupan lahan dan perubahan penutupan lahan di Kalimantan Tengah tahun 2005-2009 disajikan pada Lampiran 3.

Tabel 4 Matriks perubahan penutupan lahan Kalimantan Tengah tahun 2005-2009

2005

2009

SSH DIF DSF TPL MTC RPL OPL GRS SGR SCH RCF CFP DCL SET MIN

SSH - - - - V - V - V - V V - - V

UDF - V - V V - V V - V - - V V V

USF V - V - - V V - V - - - V - -

DIF - - - V V V V V - V - - V V -

DSF V - - - V - V - V - - - V - -

TPL - - - - - - V V - V - - - - -

MTC - - - - - - V - - - - - - - -

RPL - - - - - - V - - - - - - - -

GRS - - - - - - V - - - - - - - -

SGR V - - - - - - - - - - - - - -

SCH - - - V V V V - - - - - V V V

RCF - - - - - V - - - - - - V V -

DCL - - - - V V V - - - - - - - V

MIN - - - - - - - - V - - - - -

Tabel 1 menunjukan penjelasan kode penutupan lahan

Gambar 4 menyajikan peta sebaran tanah mineral dan gambut di Kalimantan Tengah. Sebagian besar wilayah Kalimantan Tengah didominasi oleh jenis tanah mineral.

Gambar 5 Peta sebaran jenis tanah mineral dan gambut Kalimantan Tengah

(5)

5.1.2 Hotspot

Gambar 5 menyajikan jumlah hotspot di Kalimantan Tengah tahun 2000- 2009. Jumlah hotspot tertinggi di Kalimantan Tengah terdapat pada tahun 2006.

Gambar 6 Jumlah hotspot di Kalimantan Tengah Tahun 2000-2009

Peta sebaran hotspot tahun 2000, 2005, dan 2009 di Provinsi Kalimantan Tengah disajikan pada Gambar 6. Jumlah hotspot semakin meningkat seiring dengan perubahan periode tahun. Berdasarkan peta sebaran hotspot tahun 2000, 2005, dan 2009 Provinsi Kalimantan Tengah jumlah hotspot tertinggi terdapat pada tahun 2009 (7.405 titik).

tahun 2000 tahun 2005 tahun 2009

Gambar 7 Peta sebaran hotspot di Kalimantan Tengah tahun 2000, 2005, 2009

Perbandingan jumlah hotspot di tanah mineral dan gambut Kalimantan Tengah tahun 2000, 2005, 2009 disajikan pada Tabel 5. Akumulasi Jumlah hotspot tertinggi pada tahun 2000, 2005, dan 2009 terdapat pada jenis lahan

gambut yang mencapai 7.012 hotspot sementara jumlah hotspot di tanah mineral mencapai 6.391 hotspot.

- 5.000 10.000 15.000 20.000 25.000

2000-2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009

Jumlah hotspot

Tahun

(6)

Tabel 5 Hotspot pada tanah mineral dan gambut di Kalimantan Tengah tahun 2000, 2005, 2009

No Kode Lahan

Hotspot

2000 2005 2009

Min Gam Total Min Gam Total Min Gam Total

1 SSH 67 261 328 242 363 605 554 1.429 1.983

2 UDF 19 - 19 471 - 471 376 - 376

3 USF 26 138 164 117 381 498 357 964 1.321

4 DIF 45 - 45 205 - 205 157 - 157

5 DSF 55 240 295 97 605 702 225 495 720

6 TPL 24 - 24 46 - 46 8 - 8

7 MTC 7 - 7 14 4 18 32 2 34

8 RPL 14 2 16 63 1 64 79 13 92

9 OPL 27 12 39 93 28 121 420 227 647

10 DIM 1 - 1 1 - 1 2 - 2

11 GRS 15 - 15 16 - 16 12 - 12

12 SGR 40 340 380 50 273 323 86 354 440

13 SCH 140 - 140 758 - 758 643 - 643

14 RCF 13 - 13 17 8 25 41 9 50

15 CFP - - - - - - - - -

16 DCL 81 170 251 161 222 383 430 469 899

17 SET 2 - 2 14 1 15 8 1 9

18 MIN 6 - 6 2 - 2 12 - 12

Total 582 1.163 1.745 2.367 1.886 4.253 3.442 3.963 7.405 Min = Mineral, Gam = Gambut

Rataan curah hujan (BMKG Pusat) dan hotspot per bulan pada tahun 2000 hingga tahun 2009 di Kalimantan Tengah disajikan pada Gambar 7. Peningkatan jumlah hotspot per bulan sejalan dengan penurunan jumlah curah hujan rataan per bulan begitu pula sebaliknya.

Gambar 8 Rataan curah hujan dan hotspot per bulan tahun 2000-2009 Kalimantan Tengah

- 500 1.000 1.500 2.000 2.500 3.000 3.500

0,0 100,0 200,0 300,0 400,0

Jumlah hotspot

Curah hujan (mm)

Bulan

Curah Hujan (mm) Hotspot

(7)

5.1.3 Luas Area Terbakar

Tabel 6 menyajikan pendugaan luas area terbakar di Kalimantan Tengah tahun 2000, 2005, 2009. Luas area terbakar tertinggi di Kalimantan Tengah terdapat pada tahun 2009. Semak belukar rawa menghasilkan luas area terbakar terluas pada tahun 2000. Penutupan lahan semak belukar menghasilkan luas area terbakar terluas pada tahun 2005, sementara pada tahun 2009 penutupan lahan semak belukar rawa menghasilkan luas area terbakar terluas.

Tabel 6 Pendugaan luas area terbakar di Kalimantan Tengah tahun 2000, 2005, 2009

No Penutupan Lahan Tahun 2000 (ha) Tahun 2005 (ha) Tahun 2009 (ha)

1 Semak belukar rawa 19.335 40.743 113.609

2 Hutan primer 1.655 36.707 31.375

3 Hutan gambut primer 9.364 24.804 57.317

4 Hutan sekunder 3.661 15.482 13.361

5 Hutan gambut sekunder 17.985 32.816 39.862

6 Hutan tanaman industri 1.782 3.072 728

7 Kebun campuran 628 1.468 2.658

8 Kebun karet 1.370 4.920 6.102

9 Kelapa sawit 2.878 9.243 39.547

10 Mangrove 82 90 78

11 Rumput 1.216 1.030 914

12 Rumput rawa 13.883 13.623 21.525

13 Semak belukar 8.825 56.719 50.266

14 Sawah 1.183 1.704 3.801

15 Tambak - - -

16 Tegalan 15.703 24.020 52.088

17 Pemukiman 195 686 524

18 Tambang 302 151 781

Total 100.046 267.281 434.536

5.1.4 Emisi Karbon

Tabel 7 menyajikan pendugaan emisi karbon yang dihasilkan pada berbagai penutupan lahan di Kalimantan Tengah tahun 2000, 2005, dan 2009. Nilai emisi karbon diperoleh dari penghitungan nilai biomassa terbakar dengan koefisien pembakaran dan nilai bahan bakar. Matriks perubahan emisi karbon pada tanah mineral tahun 2000-2005 dan 2005-2009 disajikan pada Lampiran 4 dan Lampiran 5. Matriks perubahan emisi karbon pada lahan gambut tahun 2000-2005 dan 2005-2009 disajikan pada Lampiran 6 dan Lampiran 7.

(8)

Tabel 7 Pendugaan emisi karbon di Kalimantan Tengah tahun 2000, 2005, 2009

No Penutupan Lahan

M (ton) M(C) (ton)

2000 2005 2009 2000 2005 2009

1 Semak belukar rawa

290.022 611.149 1.704.130 130.510 275.017 766.858 2 Hutan

primer 46.341 1.027.797 878.502 20.853 462.509 395.326 3 Hutan

gambut primer

262.182 694.521 1.604.880 117.982 312.534 722.196 4 Hutan

sekunder 91.531 387.056 334.020 41.189 174.175 150.309 5 Hutan

gambut sekunder

359.709 656.328 797.234 161.869 295.348 358.756 6 Hutan

tanaman industri

44.542 76.788 18.203 20.044 34.555 8.191 7 Kebun

campuran 8.791 20.557 37.211 3.956 9.251 16.745 8 Kebun karet 8.220 29.518 36.614 3.699 13.283 16.476 9 Kelapa

sawit 57.564 184.863 790.944 25.904 83.188 355.925

10 Mangrove 1.231 1.363 1.170 554 613 527

11 Rumput 9.727 8.239 7.315 4.377 3.708 3.292

12 Rumput

rawa 194.361 190.726 301.355 87.462 85.827 135.610 13 Semak

belukar 176.497 1.134.388 1.005.317 79.423 510.475 452.392 14 Sawah 10.644 15.332 34.211 4.790 6.900 15.395

15 Tambak - - - - - -

16 Tegalan 329.763 504.421 1.093.840 148.394 226.990 492.228

17 Pemukiman 780 2.745 2.096 351 1.235 943

18 Tambang 1.206 605 3.123 543 272 1.406

M=Kehilangan biomassa, M(C)=Emisi karbon

Tabel 8 menyajikan hasil perhitungan estimasi emisi CO2 pada berbagai tipe penutupan lahan di Kalimantan Tengah tahun 2000, 2005, dan 2009.

Penghitungan nilai CO2 dibedakan berdasarkan jenis tanah mineral dan gambut.

Nilai CO2 yang dihasilkan pada penutupan lahan berjenis tanah mineral lebih tinggi daripada nilai CO2 yang dihasilkan dari penutupan lahan di lahan gambut di Kalimantan Tengah pada tahun 2000, 2005, dan 2009.

(9)

Tabel 8 Pendugaan emisi CO2 di Kalimantan Tengah tahun 2000, 2005, 2009

No Penutupan Lahan

2000 (ton) 2005 (ton) 2009 (ton)

mineral gambut mineral gambut mineral gambut 1 Semak belukar

rawa 32.765 32.936 112.975 52.321 237.104 176.193

2 Hutan primer 18.768 - 416.258 - 355.793 -

3 Hutan gambut

primer 20.397 33.361 100.192 70.424 185.754 180.531

4 Hutan sekunder 37.070 - 156.758 - 135.278 -

5 Hutan gambut

sekunder 27.189 46.081 57.909 80.851 101.778 85.984 6 Hutan tanaman

industri 18.040 - 31.099 - 7.372 -

7 Kebun

campuran 3.560 - 6.509 706 14.074 387

8 Kebun karet 2.928 156 11.586 144 12.572 877

9 Kelapa sawit 17.638 2.207 58.577 6.336 226.670 36.424

10 Mangrove 498 - 552 - 474 -

11 Rumput 3.939 - 3.337 - 2.963 -

12 Rumput rawa 11.164 26.270 16.096 23.780 33.205 34.550

13 Semak belukar 71.481 - 459.427 - 407.153 -

14 Sawah 4.311 - 4.160 797 11.459 932

15 Tambak - - - - - -

16 Tegalan 52.656 31.460 106.160 38.162 253.081 73.859

17 Pemukiman 316 - 1.007 41 748 39

18 Tambang 488 - 245 - 1.265 -

Total 323.210 172.472 1.542.847 273.562 1.986.744 589.778

Tabel 9 menyajikan rekapitulasi estimasi emisi karbon yang dihasilkan pada tahun 2000, 2005, dan 2009. Nilai kehilangan biomassa mengalami peningkatan dari tahun 2000, 2005, dan 2009. Hal serupa terjadi pada nilai emisi karbon yang dihasilkan pada tahun 2000, 2005, dan 2009.

Tabel 9 Rekapitulasi pendugaan emisi karbon Kalimantan Tengah tahun 2000, 2005, 2009

No Emisi Karbon Tahun 2000 Tahun 2005 Tahun 2009

1 M (ton) 1.893.109 5.546.399 8.650.165 2 M(C) (ton) 851.899 2.495.880 3.892.574

(10)

5.2 Pembahasan

Menurut Hartanto (2006) penutupan lahan adalah jenis kenampakan yang terdapat di permukaan bumi sementara penggunaan lahan mengarah pada kegiatan manusia pada obyek tersebut. Berdasarkan pengolahan data citra satelit yang diperoleh, terdapat 18 jenis penutupan lahan di Kalimantan Tengah pada tahun 2000-2009.

Seiring dengan perubahan waktu konversi lahan menjadi bervariasi.

Penutupan lahan dapat berubah menjadi penutupan lahan yang lain. Hal ini menyebabkan luasan dari penutupan lahan menjadi berkurang dan atau bertambah. Tahun 2000-2005 hutan primer mengalami pengurangan terbesar yaitu 215.843 (4%) ha, sedangkan area kelapa sawit mengalami kenaikan luas area yaitu 162.180 ha (60%). Pada tahun 2005-2009, hutan primer mengalami konversi terbesar yaitu 606.187 ha (10%), sedangkan perkebunan kelapa sawit mengalami kenaikan jumlah area yaitu 824.177 ha (190%). Hal ini memperlihatkan bahwa terjadi perubahan penutupan lahan dari hutan menjadi non hutan. Peningkatan luas area perkebunan didasari oleh alasan sosial ekonomi terkait dengan adanya kebijakan pemberian insentif terhadap sektor perkebunan sehingga menyebabkan luas perkebunan meningkat pesat (Syaufina 2008). Terdapat 12 jenis penutupan lahan yang berubah menjadi perkebunan kelapa sawit dari tahun 2000 hingga tahun 2005. Perubahan penutupan lahan terbesar yaitu terjadi pada semak belukar menjadi kelapa sawit seluas 67.031 ha pada tahun 2000-2005. Hal yang sama terjadi pada perubahan luas penutupan semak belukar menjadi perkebunan kelapa sawit yang mencapai 287.149 ha pada tahun 2005-2009. Hal ini terjadi karena mudahnya penutupan semak belukar dibakar untuk penyiapan lahan kelapa sawit.

Total pembakaran semak belukar menjadi lahan perkebunan kelapa sawit yaitu 26.770 ha (40%) di tahun 2000-2005 dan 89.085 ha (31%) di tahun 2005-2009.

Semak belukar berada pada kawasan lahan kering yang ditumbuhi vegetasi alami heterogen dan homogen yang kerapatannya jarang hingga rapat. Kawasan tersebut didominasi vegetasi rendah (alami). Semak belukar di Indonesia biasanya berupa kawasan bekas hutan dan tidak menampakan bekas atau bercak tebangan (Standar Nasional Indonesia 2010).

(11)

Provinsi Kalimantan Tengah memiliki luas hutan sekitar 10.294.854 hektar (Perda No: 8/2003) atau 64% dari luas seluruh Kalimantan Tengah. Penelitian ini menunjukan bahwa hutan primer merupakan area yang paling banyak dikonversi menjadi penutupan lahan lain. Penutupan hutan primer tersebut berubah menjadi pertambangan, kebun campuran, hutan tanaman industri, perkebunan kelapa sawit, hutan sekunder, belukar, dan tegalan dalam jangka waktu 5 tahun. Pada tahun 2009 luas hutan primer berkurang hingga 822.030 ha jika dibandingkan dengan luas hutan primer tahun 2000.

Perkebunan kelapa sawit mengalami peningkatan luas sebesar 986.357 ha.

Hal ini terjadi akibat beberapa penggunaan lahan seperti semak belukar rawa, tegalan, semak belukar, rumput rawa, rumput, kebun rakyat, hutan tanaman industri, hutan sekunder, hutan primer, hutan rawa sekunder, dan hutan rawa primer dikonversi menjadi area kelapa sawit. Konversi lahan menjadi perkebunan kelapa sawit saat ini marak dilakukan terutama di pulau Sumatra dan Kalimantan.

Hal ini mengingat nilai ekonomi dari sawit yang tinggi di pasaran, sehingga terjadi kecenderungan kenaikan luas lahan kebun sawit (Syaufina 2008).

Berdasarkan pengolahan data citra satelit area Kalimantan Tengah, diperoleh area dengan jenis tanah mineral yaitu 12.209.323 ha dan area dengan jenis tanah gambut yaitu 3.074.022 ha. Lahan gambut Kalimantan Tengah terdapat di pantai selatan Provinsi Kalimantan Tengah dimana Sungai Sebangau, Kahayan, Kapuas, Barito mengalir. Lahan gambut merupakan ekosistem yang unik, pada musim hujan gambut dapat berperan sebagai spons dengan menyerap kelebihan air hujan sehingga mencegah banjir. Sementara pada musim kemarau, gambut mengeluarkan air sehingga tidak terjadi kekeringan (Syaufina et al. 2009).

Kejadian kebakaran hutan terjadi setiap tahun di Provinsi Kalimantan Tengah. Pendugaan kejadian kebakaran hutan dan lahan dapat dihubungkan dengan sebaran titik rawan api (hotspot). Pendugaan titik api (hotspot) memiliki kekurangan yaitu dalam hal akurasi data. Oleh karena itu perlu dilakukan seleksi terhadap data hotspot, salah satunya adalah dengan memilih data hotspot yang memiliki nilai kepercayaan (confidence) tinggi. Ketidakakuratan data dapat diminimalisir melalui cara tersebut.

(12)

Berdasarkan data hotspot tahun 2000, 2005, dan 2009 telah terjadi peningkatan jumlah hotspot. Jumlah hotspot tahun 2000 mencapai 1.745, 4.253 hotspot (2005), dan 7.405 hotspot (2009). Kenaikan jumlah hotspot ini diduga

karena perubahan area hutan menjadi area tidak berhutan terutama pada tahun 2009 dimana sebagian besar area hutan sudah berubah menjadi area non hutan.

Hal ini diindikasikan dengan menculnya titik-titik panas dan kebakaran yang terjadi di area non hutan. Berdasarkan penelitian Putra et al. (2008), luas area hutan terbakar berkorelasi positif dengan kenaikan jumlah hotspot pada tahun 1999 hingga 2002, namun hal ini tidak terjadi pada tahun 2003 hingga 2007.

Kejadian ini mengindikasikan bahwa kebakaran hutan yang terjadi berasal dari area non hutan.

Jumlah hotspot yang muncul dari tahun 2000 hingga 2009 mengalami fluktuasi. Jumlah hotspot mengalami kenaikan pada tahun 2002, 2004 dan 2006.

Pada tahun 2002 hotspot mencapai 17.324, pada tahun 2004 hotspot mencapai 11.332 dan pada tahun 2006 hotspot mencapai 22.505. Kenaikan ini salah satunya disebabkan karena fenomena El-Nino pada tahun 2002, 2004, dan 2006 sehingga data sebaran hotspot yang terjadi pada tahun-tahun tersebut dapat menggambarkan fenomena El-Nino yang telah terjadi. Menurut Putra et al. (2008) kejadian El- Nino merupakan kejadian kekeringan yang terjadi pada tahun 1997, 2002, 2004, dan 2006. Fenomena El-Nino yang terjadi dapat menyebabkan kekeringan bahan bakar akibat menurunnya curah hujan. Curah hujan mempengaruhi kadar air bahan bakar. Semakin tinggi curah hujan maka kadar air bahan bakar akan meningkat yang mengakibatkan kejadian kebakaran menjadi sulit.

Setiap penutupan lahan akan menghasilkan jumlah hotspot yang berbeda.

Hal ini terkait dengan aktivitas yang dilakukan pada lahan tersebut. Menurut Arsyad (1989) perubahan penggunaan lahan diartikan sebagai setiap bentuk intervensi (campur tangan) manusia terhadap lahan dalam rangka memenuhi kehidupannya baik materil mapun spiritual. Begitu juga dengan perubahan penggunaan lahan yang sebelumnya berupa hutan menjadi lahan yang digunakan untuk aktivitas lain.

Jumlah hotspot tertinggi pada tahun 2000 berada pada area rumput rawa yaitu 380 titik, pada tahun 2005 jumlah hotspot tertinggi terdapat pada semak

(13)

belukar yaitu 758 titik hotspot, serta jumlah hotspot terbanyak pada tahun 2009 yaitu pada semak belukar rawa yaitu 1.983 titik. Peningkatan jumlah hotspot umumnya terjadi pada area tidak berhutan. Pada tahun 2000, rumput rawa mencatat jumlah hotspot tertinggi yang disebabkan faktor konversi lahan. Salah satunya menjadi lahan pertanian sehingga menyebabkan rawa mengalami subsiden dan kekeringan yang tinggi. Kondisi ini akan memicu terjadinya kebakaran gambut dan gambut yang subsiden tidak dapat kembali ke bentuk awal.

Hal ini didukung oleh kondisi bahan bakar berupa rumput yang mudah terbakar sehingga hotspot yang terdeteksi diasumsikan sebagai kejadian kebakaran hutan dan lahan. Lahan gambut yang mendominasi penutupan lahan rumput rawa juga dapat meningkatkan kejadian hotspot.

Pada tahun 2005, semak belukar mencapai jumlah hotspot tertinggi karena diindikasikan ekosistem tersebut memiliki kondisi vegetasi yang mudah terbakar.

Hal ini terkait dengan faktor perilaku kebakaran hutan yaitu bahan bakar. Semak belukar termasuk pada klasifikasi bahan bakar permukaan (surface fuels) dan atas (crown fuels) yang berada di antara tajuk tumbuhan tingkat bawah sampai tajuk tumbuhan tingkat tinggi. Bahan bakar ini terdiri dari cabang-cabang pohon, daun, semak belukar serta pohon mati yang masih berdiri (Brown dan Davis 1973 dalam Syaufina 1998). Rumput rawa tidak menghasilkan jumlah hotspot tertinggi pada tahun 2005 yang disebabkan karena penurunan luas penutupan rumput rawa pada tahun 2005. Sementara luas penutupan semak belukar mengalami kenaikan dari tahun 2000 hingga tahun 2005.

Pada tahun 2009 terjadi pencapaian hotspot tertinggi di antara tahun 2000, 2005, dan 2009 yaitu pada semak belukar rawa. Hal ini disebabkan luas area semak belukar rawa semakin meningkat yaitu terjadi kenaikan mencapai 145.784 ha (10%) di tahun 2009. Hal ini disebabkan karena perubahan penutupan lahan berupa hutan gambut primer (21.996 ha), hutan gambut sekunder (52.139 ha) dan rumput rawa (16.482 ha) menjadi semak belukar rawa. Kondisi penutupan semak belukar rawa memungkinkan munculnya hotspot terkait semak belukar sebagai bahan bakar yang mudah terbakar dan lahan gambut yang mendominasi penutupan semak belukar rawa.

(14)

Hotspot yang terdapat di lahan mineral adalah 6.391 titik sedangkan pada

lahan gambut adalah 7.012 titik pada tahun 2000, 2005, dan 2009. Jumlah titik hotspot yang terdapat di gambut lebih banyak daripada di tanah mineral

disebabkan karena lahan gambut di Kalimantan Tengah memiliki kondisi yang lebih cepat mengalami kekeringan dan mudah terbakar. Lahan gambut merupakan ekosistem yang sensitif terhadap perubahan iklim. Dalam beberapa dekade terjadi perubahan lahan gambut yang intensif di Indonesia, Malaysia dan Thailand.

Perubahan lahan gambut alami yang berupa hutan menjadi area pertanian dan perkebunan (karet dan kelapa sawit) mengakibatkan terganggunya fungsi ekosistem lahan gambut. Terlebih dengan adanya sifat gambut irreversible drying (pengeringan tak berbalik) dimana ketika gambut telah kering maka akan sulit membasahinya lagi (Syaufina et al. 2009).

Di Indonesia, faktor iklim berperan dalam menentukan terjadinya kebakaran hutan dan lahan, serta perilaku api, namun bukan merupakan penyebab utama kebakaran hutan dan lahan. Kejadian kebakaran pada tahun 1982, 1987, 1991, 1994, 1997/1998, dan 2002 menunjukan kejadian kebakaran yang berhubungan dengan kekeringan. Kondisi tersebut erat kaitannya dengan fenomena ENSO (El Nino Southern Oscillation) (Anonymous 1998, Lee et al. 2000 dalam Syaufina

2008). Fenomena El-Nino di perairan laut Indonesia adalah mendinginnya suhu permukaan laut di sekitar perairan Indonesia akibat tertariknya seluruh masa air hangat ke bagian tengah Samudra Pasifik. Hal ini mengakibatkan menurunnya produksi awan di wilayah Indonesia yang berpengaruh terhadap penurunan curah hujan.

Data menunjukan terjadi peningkatan jumlah hotspot di lahan mineral dan gambut. Kenaikan yang signifikan pada jumlah hotspot di tanah mineral pada tahun 2005 disebabkan oleh peningkatan jumlah hotspot pada penutupan lahan semak belukar yang seluruhnya berjenis tanah mineral hingga mencapai 758 hotspot. Secara akumulasi, jenis penutupan lahan semak belukar menyumbang

jumlah hotspot terbanyak setiap tahunnya pada lahan mineral. Hal ini disebabkan karena tersedianya bahan bakar semak belukar sehingga meningkatkan kejadian kebakaran. Kenaikan hotspot pada lahan gambut salah satunya disebabkan kontribusi hotspot dari lahan semak belukar rawa. Kondisi semak belukar yang

(15)

didominasi bahan bakar ditambah dengan lahan gambut yang mudah mengering dan terbakar menyebabkan penutupan lahan semak belukar rawa menyumbang hotspot tertinggi di lahan gambut akibat meningkatnya kejadian kebakaran.

Curah hujan merupakan unsur iklim yang memiliki korelasi tinggi dengan kejadian kebakaran hutan (Soares dan Sampaio 2000). Curah hujan didefinisikan sebagai jumlah air yang jatuh di permukaan tanah dan diukur sebagai tinggi air dalam satuan mm (milimeter) sebelum mengalami aliran permukaan, evaporasi dan peresapan atau perembesan ke dalam tanah (Hidayati 2001). Musim kebakaran hutan berhubungan dengan pola hujan, terutama dengan kekeringan.

Puncak musim kebakaran terjadi pada musim kemarau. Jika curah hujan tinggi maka kelembaban akan tinggi sehingga kejadian kebakaran akan sulit. Menurut Mackinno et al. (1997) dalam Putra et al. (2008) bulan basah ditandai dengan curah hujan > 200 mm/bulan, sedangkan bulan kering ditandai oleh curah hujan <

100 mm/bulan.

Berdasarkan data curah hujan harian dari BMKG Pusat daerah Kalimantan Tengah Stasiun Palangkaraya dari tahun 2000-2009, bulan-bulan kering masuk pada bulan Juli hingga September. Jumlah rataan curah hujan bulan Juli yaitu 74,3 mm, pada bulan Agustus rataan curah hujan adalah 61,2 mm, dan pada bulan September rataan curah hujan adalah 56 mm. Puncak dari kenaikan hotspot yaitu pada bulan September dan sejalan dengan penurunan curah hujan paling rendah di bulan September. Kenaikan jumlah hotspot pada bulan Juli hingga September terjadi karena penurunan curah hujan pada periode bulan kering tersebut. Semakin tinggi curah hujan maka jumlah hotspot akan berkurang begitu pula sebaliknya sehingga sebaran titik hotspot berkorelasi positif dengan curah hujan di Provinsi Kalimantan Tengah tahun 2000-2009.

Estimasi data luas kebakaran hutan dan lahan menunjukan peningkatan pada tahun 2000, 2005, dan 2009. Kenaikan ini disebabkan oleh jumlah hotspot yang semakin bertambah dari tahun 2000, 2005, dan 2009. Estimasi luas area terbakar pada tahun 2000 didominasi oleh semak belukar rawa seluas 19.335 ha. Estimasi luas area terbakar pada tahun 2005 didominasi oleh penutupan lahan semak belukar seluas 56.719 ha. Estimasi luas area terbakar pada tahun 2009 didominasi oleh semak belukar rawa seluas 113.609 ha. Jika dibandingkan dengan data

(16)

jumlah hotspot, pada tahun 2000 penutupan lahan rumput rawa memiliki jumlah hotspot terbanyak namun pada luas area terbakar tahun 2000 semak belukar rawa

memiliki luas terbakar tertinggi. Hal ini terjadi karena tumpang tindih (overlapping) hotpot pada lahan yang lebih sempit di penutupan lahan rumput rawa (192.316 ha) sementara luas area semak belukar rawa lebih luas yaitu 1.463.934 ha. Kondisi ini menyebabkan luasan area terbakar lebih banyak pada daerah yang lebih luas yaitu semak belukar rawa. Selain itu posisi hotspot pada rumput rawa cenderung berkumpul di satu wilayah yang menyebabkan luasan area terbakar menjadi berkurang. Sementara pada tahun 2005 dan 2009 peningkatan luas area terbakar sejalan dengan jumlah hotspot yang terdapat pada semak belukar dan semak belukar rawa.

Berdasarkan pengolahan data dapat disimpulkan bahwa penutupan lahan rumput rawa mengalami persentase luas terbakar tertinggi di tahun 2000 yaitu 7,2%, sedangkan penutupan hutan primer mengalami kebakaran terendah (0,03%). Hal ini disebabkan hutan primer merupakan area hutan yang sulit terjadi kebakaran di dalamnya, sedangkan pada penutupan lahan rumput rawa diasumsikan terjadi kekeringan terkait dengan kondisi lahan gambut dan mudahnya terjadi kebakaran. Kondisi iklim mikro yang terdapat di dalam hutan menyebabkan bahan bakar menjadi tidak kering karena kelembaban terjaga. Hal ini mengakibatkan proses kebakaran sulit terjadi.

Penutupan lahan rumput rawa menempati urutan pertama dalam persentase luasan terbakar yaitu 9,7% pada tahun 2005, sedangkan luasan terbakar yang paling sedikit ditempati oleh mangrove yaitu 0,3%. Penutupan lahan rumput rawa menempati urutan pertama dalam persentase luasan terbakar yaitu 13,6%, sedangkan luasan terbakar yang paling sedikit ditempati oleh mangrove yaitu 0,4% pada tahun 2009. Area mangrove mengalami presentase luas terbakar paling sedikit karena lokasinya yang dekat dengan badan air sehingga kebakaran kemungkinan sulit terjadi secara besar.

Nilai presentase diperoleh dengan membandingkan luas area terbakar dengan luas keseluruhan area pada masing-masing penutupan lahan. Tingkat luasan dari area penutupan lahan mempengaruhi hal tersebut. Jika luas area terbakar semakin besar pada penutupan lahan yang sempit, hal ini akan menaikan

(17)

presentase terbakar. Berdasarkan data tersebut dapat dilihat tingkat kerawanan terbakar pada setiap jenis penutupan lahan. Kebakaran hutan dan lahan lebih banyak terjadi pada tanah mineral daripada tanah gambut. Hal ini disebabkan sebagian besar wilayah Kalimantan Tengah tertutupi oleh tanah mineral (12.209.323 ha) dibandingkan dengan lahan gambut (3.074.022 ha). Luas area terbakar merupakan gambaran dari banyaknya hotspot yang terdeteksi pada setiap penutupan lahan. Kecenderungan fluktuasi hotspot dengan luas area terbakar pada masing-masing penutupan lahan memiliki korelasi positif. Sehingga data sebaran hotspot dapat digunakan untuk memprediksi luas terjadinya kebakaran hutan dan

lahan.

Berdasarkan matriks perubahan tutupan lahan, penggunaan lahan menjadi perkebunan kelapa sawit diindikasikan paling banyak terbakar. Hal ini dimungkinkan terkait dengan penyiapan lahan untuk perkebunan dengan metode pembakaran. Pembukaan lahan untuk pertanian dan perkebunan dengan cara pembakaran dianggap sebagai metode yang murah dan cepat namun di sisi lain hal tersebut beresiko tinggi menyebabkan kebakaran hutan dan lahan.

Berdasarkan rekapitulasi emisi karbon pada tahun 2000, penutupan hutan gambut sekunder menghasilkan nilai emisi karbon tertinggi 161.869 ton hal ini disebabkan karena luas area terbakar di hutan gambut sekunder menempati urutan kedua setelah luas area terbakar semak belukar rawa pada tahun 2000. Selanjutnya hal ini akan berpengaruh terhadap massa bahan bakar yang terbakar sebagai dasar penghitungan emisi karbon. Semak belukar rawa tidak menghasilkan emisi karbon tertinggi walaupun luas area terbakarnya terbesar disebabkan karena koefisien bahan bakarnya lebih rendah daripada nilai koefisien bahan bakar hutan gambut sekunder (Seiler and Crutzen 1980).

Penutupan lahan semak belukar menghasilkan emisi karbon tertinggi mencapai 510.475 ton pada tahun 2005. Hal ini disebabkan luas area terbakar semak belukar mencapai luas tertinggi paada tahun 2005. Luas penutupan semak belukar mencapai 14% dari provinsi Kalimantan Tengah. Selain itu nilai efisiensi pembakaran (pada Lampiran 1) yang mencapai 0,8 (Seiler and Crutzen 1980) menunjukkan bahwa semak belukar merupakan bahan bakar yang mudah terbakar. Semak belukar rawa menghasilkan emisi karbon tertinggi yaitu

(18)

mencapai 766.858 ton pada tahun 2009. Penyebab utama yaitu karena luas area terbakar semak belukar rawa mencapai luasan tertinggi di tahun 2009. Kondisi semak belukar yang kaya dengan bahan bakar menyebabkan unsur karbon banyak teremisikan. Unsur karbon merupakan senyawa yang dominan dalam kebakaran hutan, karena hampir 45% materi kering tumbuhan adalah karbon (Hao et al.

1990). Kondisi tutupan lahan semak belukar rawa didominasi oleh lahan gambut.

Menurut Agus et al. (2011), tanah gambut memiliki karakteristik yang lebih mudah terbakar dibandingkan dengan jenis tanah mineral. Lahan gambut merupakan lahan yang kaya dengan sisa tanaman dan terdekomposisi sebagian.

Tanah gambut tropis mempunyai ketebalan 0,5 m hingga lebih dari 15 m, namun sebagian besar berada antara 2−8 m. Oleh karena itu penghitungan emisi karbon pada tanah gambut berbeda dengan jenis tanah mineral. Jenis perubahan lahan semak belukar menjadi perkebunan kelapa sawit menghasilkan emisi karbon tertinggi yaitu mencapai 801.764 ton pada tahun 2005-2009. Hal ini terkait dengan luas area yang terbakar di semak belukar dan mudahnya semak belukar untuk dibakar terkait dengan penyiapan lahan perkebunan kelapa sawit

Sebagian besar unsur karbon yang teremisikan ke udara adalah dalam bentuk CO2, sisanya berbentuk CO, hidrokarbon terutama CH4, dan asap.

Penghitungan emisi karbondioksida dibedakan berdasarkan tanah mineral dan gambut. Pada penutupan lahan yang berjenis tanah mineral, emisi karbondioksida (CO2) dari semak belukar menempati urutan pertama berturut-turut dari tahun 2000, 2005, dan 2009. Emisi karbondioksida tertinggi pada penutupan lahan semak belukar di Kalimantan Tengah berada pada tahun 2005 (459.427 ton).

Dominasi emisi karbondioksida yang dihasilkan oleh semak belukar disebabkan karena faktor utama yaitu luas area terbakar semak belukar yang seluruhnya terdapat pada tanah mineral. Kemudian didukung dengan efisiensi pembakaran yang mencapai 0,8 (Seiler and Crutzen 1980).

Sementara pada penutupan lahan gambut, jenis hutan gambut sekunder menempati urutan pertama emisi karbondioksida (CO2) pada tahun 2000 dan 2005. Emisi karbondioksida tertinggi berasal dari penutupan hutan gambut sekunder pada tahun 2005 (80.851 ton). Hal ini disebabkan area terbakar hutan gambut sekunder didominasi oleh lahan gambut. Kondisi hutan gambut sekunder

(19)

yang sudah mengalami intervensi menyebabkan hutan ini mudah mengalami kebakaran hal ini terkait dengan proses pengeringan gambut karena sudah berubah dari hutan gambut primer. Sedangkan pada tahun 2009 hutan gambut primer menghasilkan emisi karbondioksida (CO2) tertinggi (180.531 ton). Hal ini disebabkan karena luas area terbakar yang tinggi, koefisien bahan bakar dari hutan gambut primer adalah yang tertinggi yaitu 70 ton/ha (Seiler and Crutzen 1980).

Tingginya koefisien bahan bakar disebabkan karena kandungan bahan organik pada lahan gambut primer yang melimpah. Kandungan bahan organik tersebut berperan dalam meningkatkan perilaku kebakaran yaitu bahan bakar. Faktor lain yang menyebabkan tingginya emisi karbondioksida (CO2) pada hutan gambut primer adalah terjadinya pengeringan gambut karena pembukaan hutan gambut primer. Hal ini dapat menyurunkan muka air tanah pada lahan yang didrainase.

Kondisi ini merubah suasana anaerob (jenuh air) menjadi aerob (tidak jenuh air) sehingga meningkatkan emisi CO2. (Agus et al. 2011).

Menurut Jauhiainen et al. (2001) dalam Rieley et al. (2008) emisi karbondioksida yang dihasilkan dari hutan gambut tidak terdrainase di Kalimantan Tengah adalah 38,9 ton CO2/ha/tahun, sementara emisi CO2 yang dihasilkan dari hutan gambut sekunder di Kalimantan Tengah adalah 34 ton CO2/ha/tahun.

Menurut Rumbang et al. (2009) rata-rata emisi CO2 yang dilepas oleh lahan gambut Kalimantan Tengah berkisar antara 0,35-0,67 g CO2/m2/jam. Menurut Agus et al. (2011), tanah gambut memiliki perbedaan dengan tanah mineral yaitu dalam hal kandungan C organik, struktur, sebaran karbon dalam profil tanah dan tingkat kemudahan dalam terbakar. Secara alami lahan gambut merupakan penyerap CO2 namun ketika lahan gambut dibuka maka lahan gambut dapat berubah menjadi sumber emisi gas karbon (CO2) yang merupakan salah satu gas rumah kaca. Salah satu faktor yang dapat merubah fungsi gambut tersebut adalah kebakaran gambut. Proses kebakaran dapat meningkatkan emisi CO2 karena terbakarnya salah satu atau gabungan dari biomasa tanaman, nekromasa dan lapisan gambut. Kebakaran ini terkait dengan alih guna lahan menjadi pertanian atau penggunaan lain. Namun pada pertanian tradisional, lapisan gambut sengaja dibakar agar mengurangi kemasaman tanah dan meningkatkan kesuburan tanah.

Hal ini dapat meningkatkan emisi gas CO2 dari lahan gambut (Agus et al. 2011).

Referensi

Dokumen terkait

Intensitas penggunaan pada lapangan yang cukup tinggi juga mampu menyebabkan kepadatan rumput menjadi lebih rendah karena rumput tidak memiliki waktu untuk

Dengan demikian, dapat diasumsikan bahwa sumber bahaya debu lebih terpusat pada proses yang menghasilkan debu, yaitu di bagian disamatic line dan furan line..

Pada tingkat pertumbuhan pohon tipe vegetasi hutan alam primer memiliki jumlah jenis tertinggi dengan 38 jenis, kemudian hutan sekunder bekas tebangan dengan jumlah jenis 34

Penutupan lahan pertanian mendapat pemeliharaan berupa pengolahan tanah intensif dengan dicangkul dan pemupukan kompos sebesar 10 ton/ha yang diberikan setiap musim

Hasil pengukuran suhu permukaan di lapangan pada berbagai penutupan lahan Kota Denpasar, menunjukkan nilai suhu permukaan pada lahan bervegetasi (sawah, vegetasi

Hasil analisis menunjukkan di lokasi kajian terdapat 18 kelas penutupan lahan, yang terdiri dari; hutan lahan kering primer, hutan lahan kering sekunder, hutan rawa pasang

Pada jalur daerah peralihan antara hutan pantai dan hutan dataran rendah, daerah peralihan mempunyai kesamaan jenis amfibi lebih dekat dengan hutan pantai karena meskipun hutan

Interaksi antara cekaman kekeringan dan aplikasi FMA dengan jenis rumput menunjukan bahwa perlakuan dengan penyiraman (W0) pada rumput Brachiaria decumben menghasilkan produksi