• Tidak ada hasil yang ditemukan

Segenggam Harapan di Pabrik Gurindam ***

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Segenggam Harapan di Pabrik Gurindam ***"

Copied!
9
0
0

Teks penuh

(1)

Segenggam Harapan di Pabrik Gurindam

Terik mentari di atas kepala yang menggelitik. Nyiur-nyiur angina bersiul syahdu seakan-akan mendayu-dayu, dihiasi nyanyian burung gereja yang bercicit, menari-nari sambil bernyanyi. Panas, tak jadi penghalang untuk ia berpetualang. Letih, tak berteman olehnya untuk terus berlatih. Gagal, penyemangat mimipinya ketika ia menggigal.

Di pabrik gurindam ini, masih ada segenggam harapan. Masih ada mimpi yang harus digantungkannya. Masih ada pula angan-angan yang belum tuntas untuk diemban. Jika itu masih imipian belaka, lantas biarkan aku untuk berkelana mencari di mana segenggam harapanku yang nyaris hilang dilalang buana.

Menambal kapal untuk sesuap nasi, untuk anak serta istri di rumah yang tengah menanti-nanti entah kapan tiba kembali. Ikan di jala harapan dituai, itulah yang semenanti-nantiasa menjadi doa pria baruh baya di atas perahu sambil ditemankan segudang rindu. Demi Wani si buah hati, harta satu-satunya yang ia miliki. Tak pernah sekalipun ia mengeluh berteman sepi, meskipun berteman dengan buih-buih harapan dan doanya di lautan demi Wani.

***

“Wani! Habis maghrib nanti, maukah ikut aku jualan di bazar?” ajak Alya sembari berlari menuju Wani.

“Umm…. Nanti ya, aku pikir-pikir lagi. Kalau Bapak pulang sebelum maghrib, aku pasti bantu kamu kok.” Jawab Wani yang tengah sibuk menjemur pakaian di belakang rumahnya. “Semoga aja ya pulangnya cepet. Kan atau duit hasil jualannya bisa aku bagi kamu, buat nambah uang jajan lumayan, kan?” pujuk Alya lagi

Hanya Alya, teman terdekat Wani yang mengerti bagaimana latar belakang kehidupan Wani. Ia selalu menolong Wani tanpa pamrih. Maklumlah, Alya anak semata wayang orang tuanya, begitupun dengan Wani.

“Hehe, iya deh, tapi tunggu Bapak pulang ya.” Wani tersenyum.

Bagi masyarakat melayu, laut ialah tempat mereka untuk menaruh, mengukur, dan menakar nasib. Kapal yang ditambal, jala yang ditebar mengartikan adanya harapan-harapan yang

(2)

belum tuntas untuk diemban, dan selalu dinanti untuk segera dituai. Berlabuh dikala fajar, bersandar dikala petang.

Senja sudah tiba. Kini saatnya pria paruh baya itu untuk segera bersandar. Dilihatnya di dalam ember cat berwarna putih itu penuh dengan hasil tangkapannya. Ia menyerangai, teringat akan Wani, anak semata wayangnya itu sesekali melirik ke arah ember cat putih.

Beliau rela pontang-panting mencari uang demi anaknya seorang. Apapun keinginan Wani akan ia turuti, meskipun tak hari itu juga atau bahkan lusa digenapi hingga Wani berhenti merengek dan lama-kelamaan menjadi lupa. Lupa, apa yang pernah Wani minta padanya.

“Ikan belanak, kalau Bapak yang masak pasti enak, apalagi makannya pake nasi panas, lalapannya timun dicolek sambil terasi. Wah… pasti kalah makanan di restoran.” Puji Wani kepada Ayahnya.

“Siapa dulu? Bapak…” bangganya tersenyum sembari merangkul Wani.

***

Tok tok tok… Tok tok tok…

“Wani… Wani… Buka pintunya, Nak! Bapak pulang.”

“Assalamualaikum, Bapak! Kebiasaan suka lupa ngucap salam kalau pulang.” Wani bergegas membuka pintu.

“Waalaikumsalam, ini bantu angkat setengahnya ke dapur.”

“Pak, ini seriusan tangkapan Bapak? Wah… banyak banget. Boleh dong ntar Wani Beli.” “Fitss.. udah buruan dibawa dulu ke belakang. Ntar malem, habis maghrib, mau diambil sama Pak Usman.” Ayahnya memotong.

“Iyadeh, tapi sotongnya Wani ambil ya? Buat kita makan ntar malem.” Wani mengiyakan. “Iya, boleh.” Jawab Ayah.

Di rumah petak itu, walaupun sewa dan tak seberapa besar, bahkan bisa dikatakan sempit, tapi itulah surga kecil. Tempat mereka berpulang, berkeluh kesah melepas gundah, berlindung dari terik mentari dan tetesan air hujan serta dinginnya embun pagi. Tak sekalipun Wani merasa berkecil hati karena hal itu. Bersyukut selalu melekat dalam diri Wani.

Di balik pintu kamar Ayahnya, tergantung sebuah kalender kertas berisi penuh coretan. Selepas berbenah diri dan melaksanakan salat, Ayah Wani mengambil sebuah pena berwarna

(3)

merah. Seperti biasanya, ia akan melakukan ritual seperti hari-hari sebelumnya. Melingkari tanggal, menghitung hari.

“Bapak nambah utang lagi ya?” Tanya Wani, tetapi Ayahnya menghiraukan.

“Pak… Pertanyaan Wani kemarin masih belum Bapak jawab, mau nambah lagi?” Wani terus bertanya.

“Pak…” Wani menepuk bahu Ayahnya.

“Kalau Bapak gak nambah lagi, masa kita malan ini Cuma makan sama sotong doing?” Ayah menjawab sambil tersenyum dan menyentuh tangan Wani.

“Memangnya kenapa sih Pak, kalau Wani ikutan kerja. Ya…. Itung-itung bantu Bapak buat beli beras.”

“Eh… Eh… Eh… Jangan! Anak Bapak gak boleh kerja. Wani hanya Bapak tugaskan untuk belajar yang rajin biar pinter terus dapat pekerjaan yang bagus. Kerja di kantoran, jangan mau jadi kayak Bapak yang sekolahnya aja gak nyampe SMA. Ya, jadinya begini, cuma nangkap ikan.” Jelas Ayah sambil tersenyum sedikit terkekeh.

“Iyasih… Tapi Pak, kalau Wani bantu Alya jualan dari jam tujuh sampai jam sembilan, boleh ngak, Pak? Wani janji sebelum bantu Alya jualan, Wani udah selesaikan pekerjaan rumah dan pastinya Wani udah belajar serta siapin tugas-tugas sekolah. Boleh ya, Pak?”

“Bapak pegang ya janjinya Wani.”

“Janji!!!” Wani mengacungkan kelingkingnya.

“Yeaayy!!! Yaudah, Wani udah selesai masak nih, sotong masak itam kesukaan Bapak. Yuk dimakan, mumpung masih anget.”

Di dapur dalam istana kecil mereka, terlihat raut wajah yang tersenyum bahagia. Saat ini, harta bahagia Ayahnya adalah Wani.

“Assalamualaikum…. Wani…. Wani.” Sayup-sayup terdengar suara Alya di muka rumah. “Waalaikumsalam…. Eh, Alya. Sebentar ya, aku siap-siap dulu. Yuk masuk.” Wani menjawab.

“Eh, Nak Alya, hati-hati ya perginya. Semoga jualannya laris manis.” sapa Ayah. “Hehe, iya Om. Aminn.” Alya tersenyum kekeh.

“Yuk, udah semangat nih mau jualan. Doakan ya, Yah, assalamualaikum.” Wani bersemangat, kemudian bergegas pergi untuk menjajakan jualan Alya di bazar malam.

(4)

Jarak antara bazar dan rumah Wani tidaklah begitu jauh, dapat ditempuh dengan berjalan kaki sekitar 500 meter.

“Wah, nanti kamu yang keliling bawa keranjang, aku yang nungguin disini ya.” Alya menawarkan.

“Boleh, boleh banget malah.” setuju Wani.

Hanya Alya, teman yang paling mengerti kondisi kehidupan Wani. Ibarat kata, bersama mereka urungi samudera, mengukir pelangi di dalam aksara. Berjuang demi satu tujuan, satu keinginan, Mereka berdua gemar menyelami ilmu kesusastraan.

“Ini berapaan ya dek?” Tanya seorang wanita berperawakan tinggi dan berkacamata kepada Wani.

“Satu bungkusan delapan ribu rupiah, kalau ambil dua bungkus jadi lima belas ribu aja, Bu. Boleh?” jelas Wani.

“Loh, Wani? Udah lama Ibu enggak ketemu sama kamu. Kamu sehat kan, Nak?” Wanita ini terkejut. Ternyata, ia adalah guru Wani di bangku dasar.

“Eh, Bu Ria. Kabar Wani baik, Bu. Ibu sendiri gimana kabarnya?”

“Baik, Wani masih banyak kegiatan kaya dulu ya? Atau udah jarang?” Tanya Bu Ria sambil memilah-milah dagangan Wani.”

“Masih kok, Bu, tapi…” Wani bergegas lari meninggalkan wanita itu. “Hei!! Wani!!” Teriaknya.

Entah apa yang ada di benak Wani sehingga ia bergegas lari, pergi meninggalkan wanita itu. Lidah Wani kelu, terasa janggal untuk menjawab pertanyaan itu. Ada apa dengannya? Mungkin saja ia menyimpan segudang rasa yang menggundah gulana.

***

“Alhamdulillah, jualannya laris, sisa satu. Kamu bawa pulang aja ya, Wan. Suruh Bapak nyiap."

“Wah… Alhamdulillah. Yaudah, yuk kita beres-beres dulu. Besok kan kita lanjut jualan lagi.”

(5)

“Salut banget sama kamu, Wan. Berkat kamu, dagangan aku laris manis, hehehe.” Alya memuji Wani.

“Ahh kamu, bisa aja. Siapa dulu dong? Wani!” Wani membanggakan dirinya.

“Ohh iya, nih uang kamu. Lumayan kan buat nambah jajan?” Alya menyodorkan selembar uang Rp 50.000.

“Alya, sebenarnya aku gamau nerima uang itu. Aku ikhlas kok bantu kamu. Namun, kali ini keadaan aku lagi butuh, Al. Maaf ya, uangnya aku terima.” Wani tersenyum lirih.

“Wani, aku ngerti kok keadaan kamu sekarang. Gapapa, ambil aja, ini hasil kerja kamu. Diterima ya.” ucap Alya sembari mengusap pundak Wani.

“Makasih ya, Al.” Wani menyunggingkan senyumannya.

***

“Pak, ini sarapannya. Terus ini bekal buat Bapak nanti siang. Oh iya, Pak, uang jajan Wani mana?”

“Bukannya semalem Wani kerja di upah sama Alya?”

“Semalem uangnya udah Wani kasih ke Baba Asiong. Ngurangi utang Bapak yang kemarin.” Jelas Wani

“Wani, kan udah Bapak bilang, biar Bapak aja yang kerja, Nak. Uang-uang yang kemarin biar Bapak aja yang lunasin. Bapak masih kuat, masih sanggup.”

“Iya-iya. Wani udah telat nih, ntar ditutup lagi gerbangnya.” Wani menadahkan tangannya. Ayahnya langsung merogoh sakunya dan mengambil uang sepuluh ribu rupiah. Ditempelkannya uang itu di kening Wani.

“Assalamualaikum, Pak. Semoga tangkapannya banyak banget…” “Waalaikumssalam. Belajar yang bener.”

“Siap bos!!!” Wani bergegas pergi ke sekolah. Di perjalanan ia bertemu Kang Adi. “Wani, ayuk sama Kang Adi.” Ajaknya

“Kalo bayar mah Wani nggak punya duit atuh, Kang.” Wani menjawab sekaligus meniru gaya khas Kang Adi.

“Buat neng mah gratis, euy.” “Sip deh.” Wani menjawab riang

(6)

Langit membiru, Wani sembilu. Lagi-lagi, ia dihidangkan dengan dua pilihan yang rumit. Ayahnya, atau kegemarannya.

Sepulang sekolah, Wani selalu berlatih teater Makyong di rumah Nek Sum bersama rekannya yang lain, seperti Kak Salmah, Fatimah, Nai, Bang Saleh dan lainnya yang tidak dapat disebutkan satu per satu. Wani gemar berkesenian, bahkan ia telah membawa nama baik Indonesia sampai ke Negeri Jiran, Malaysia. Teater Makyong sendiri bertokohkan Cik Wang, Awang, Inang, Mak Senik, para putri raja, dayang, dan beberapa tokoh figuran lainnya.

Teater ini diperankan di dalam satu latar panggung yang bersamaan sambil diiringi oleh iringan alat musik tradisional yang dimainkan secara langsung, seperti gong, rebab, gendang, serunai, mong-mong, dan gedombak.

Pongwe oi…

Tabek hambe menjunjug tabeklah… Guru tue guru mude eloi…

Yong dede… dede… aii

Tampak beberapa orang yang tengah mendendengkan lagu betabek Makyong di dekat pendopo rumah Nek Sum. Wani bersama beberapa rekannya dengan lentik nan gemulai berlatih t. tarian Makyong. Bang Saleh yang tengah asyik menabuh gendang langsung terhenti.

“Udah jam lima, Wani jadi pulang duluan?” Tanya Bang Saleh sambil melirik arlojinya. “Oh ya, Bang. Temen-temen, Wani duluan ya, takutnya Bapak udah sampai rumah duluan. Sambung besok lagi. Assalamualaikum.” Wani bergegas pulang.

Sesampainya Wani di rumah, ia merebahkan tubuhnya di sofa sambil melihat berita di televisi.

“Semua siaran isinya hanya berita. Bingung, nonton apaan ya? Eh, tapi coba liat dulu. Kali aja ada berita penting.” Wani sedikit kesal sambil menekan tombol televisinya.

“Haah?!! Ada muncul virus baru bernama COVID-19? Kata berita tsb, dikarenakan nih virus semua kegiatan dihentikan beberapa saat. Wajib masker terus menjaga jarak. Sekolah juga diliburkan?! Berarti acara tampil Teater Makyong akan dibatalkan juga dong. Gimana bisa beli buku sekolah kalau tampil dibatalkan?” Wani sangat panik, kemudian ia bergegas pergi menuju rumah Alya.

(7)

“Walaikumssalam, Wan. Ada apa nih, kelihatan panik banget?” “Kamu udah tahu kan virus baru itu?”

“Iya, tau, kenapa Wan?”

“Gimana aku bisa punya buku sekolah kalau tampil aja dibatalkan.” Wani menitikkan air mata.

“Udah, Wan, gak apa-apa. Untuk sementara, kamu bisa pakai buku aku kok. Kita bisa belajar bareng nanti.” Alya menenangkan.

***

Petang itu Ayah Wani pulang dengan tangan hampa dan beribu perasaan kecewa. Ia merasa gagal, tidak bisa memberikan kebahagiaan kepada putrinya, Wani. Menambal kapal untuk sesuap nasi. Itulah yang terbesit di dalam benaknya.

“Pak, buku sekolah Wani kapan dibelinya, Pak? Sekolah diliburkan kerena ada virus baru. Masa Wani pinjem buku Alya terus sementara kita diwajibkan pembatasan jarak. Kan Wani jadi gak enak sama Alya,” rengek Wani.

“Wani, sabar dulu nak, Bapak juga lagi usahakan. Hari ini seekor ikan pun nggak ada. Gimana Bapak mau beli buku Wani?” Ayah menjelaskan.

“Wani juga dibatalkan tampil teaternya. Gimana Wani bisa bantu Bapak buat beli buku sekolah?”

“Bapak nggak suka lihat Wani ikut-ikutan main teater! Apalagi biar bisa beli buku sekolah!” Ayah meninggikan nada suaranya.

“Seni itu jiwa Wani, Pak. Wani bisa berhenti ikut teater. Tapi Wani hanya ingin Bapak punya penghasilan tetap!” Wani menintikkan air matanya.

“Sudah berani melawan Bapak. Lancang sekali bicara seperti itu.” Ayahnya pun turut menitikkan air mata, suaranya lirih.

Suasana menjadi hening, diam, dan berdenging. Di balik pintu kamar, ada Ayah Wani yang menangis setelah mendengar lontaran bengis dari mulut Wani. Hatinya hancur, jiwanya ikut lebur. Ditatapnya foto mendiang istrinya itu dengan hati yang luluh dan kecewa.

“Siti, Wani Nata, berarti perempuan yang berani menata. Periang, penyayang, pintar, bekerja keras, dan sedikit keras kepala sama seperti kau. Anak yang selama ini ku didik, ku belai,

(8)

tega melontarkan perkataan sadis lagikan bengis kepadaku. Tak cukupkah aku pergi mencari ikan yang ku jual dan ku berikan kepada anakku?” Pecah tangis Ayah di dalam kamarnya.

Dengan segera ia keluar rumah, mengambil jala, dan pergi ke tempat perahunya bersandar. Dihidupkannya mesin perahu itu dan berlabuhlah ia. Akan tetapi, takdir berkata lain. Hari sedang tidak baik-baik saja. Hujan badai dicampur gemuruh yang saling bersahutan. Dengan perasaan kesal, sedih bercampur kecewa, Ayah Wani terserang penyakit jantung secara tiba-tiba. Perahu yang tak seberapa besar itu, tak kuasa menaham ombak yang bergulung tinggi dan tenggelamlah ia bersama puing-puing penyesalan dan kekecewaan di hatinya.

Kini, tersisalah Wani. Sendiri, berteman sunyi. Di era pandemi, ia harus tangguh manaruh beban hidup di pundaknya sendiri. Bermodalkan doa dan bertemankan usaha, menjadikan Wani seorang yang tak putus asa.

Wani mengandalkan bakat keseniannya untuk terus menyambung dan mengenyam bangku pendidikan. Artikel-artikel esai, bahkan novel pun ia cantumkan pada laman internetnya. Sangat unik dan menarik untuk dibukukan hasil karya-karya Wani yang membuahkan imajinasi yang cemerlang. Hasil pembukuan karyanya lah yang Wani gunakan untuk terus dapat bertahan hidup di kejamnya pandemi ini.

***

Di ujung dermaga, tersisa Wani dan keping-keping penyesalan dalam dirinya. Harta paling berharga dalam dirinya pergi, meninggalkan Wani dan bertemu Sang Pencipta untuk selama-lamanya.

“Pak, Buk, Wani senang Ibuk udah ketemu sama Bapak. Wani akhirnya tahu Buk, kenapa Bapak ngelarang Wani ikut teater. Karena dulu Ibuk pergi pas lagi peranin tokoh dalam teater yang lantas membuat Ibuk jadi depresi dan akhirnya mengakhiri nyawa Ibuk sendiri. Makasih buat Bapak, udah ngajarin Wani jadi perempuan yang bekerja keras. Semoga nanti kita dipertemukan di sana.” Cerita Wani kepada ombak dan batuan karang.

Wani melihat langit biru yang dulu menghiasi hatinya yang sembilu. Penyesalan tiada arti di dalam diri Wani. Satu untaian kalimat yang menjadi penopang hidup Wani, “Masih adakah segenggam harapanku di pabrik gurindam ini?”

(9)

Referensi

Dokumen terkait

Hasil dari perancangan perangkat keras dan perangkat lunak pada penelitian ini, terbentuk sebuah sistem pembacaan NFC dengan perangkat telepon pintar untuk proses

Kelompok yang berfungsi efektif dalam lingkungan sosial menurut Sumardjo (2003), mempunyai gejala-gejala sebagai berikut (1) keanggotaan dan aktivitas kelompok lebih

Matriks transformasi homogeneous adalah sebuah matriks 4x4 di mana matriks ini dapat memetakan sebuah vektor posisi yang diekspresikan dalam koordinat homogeneous dari suatu

Rekapitulasi Pasien Rawat Jalan Rekapitulasi Pasien Rujukan Rawat Jalan Tingkat Morbiditas Pasien (RL2b) Tingkat Surveylan (RL2b1) Laporan Penyakit Terbesar Laporan

(3) HTCK Kasetum Polri dengan Asisten Kapolri Bidang Perencanaan dan Anggaran (Asrena Kapolri), bersifat Horizontal dan bentuk hubungan adalah (garis) koordinasi

Dab untuk dua orang ibu – bapak, bagi masing – masingnya seperenam dari harta yang ditinggalkan, jika yang meninggal mempunyai anak; jika yang meninggal tidak mempunyai anak dan

Bahan dan alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah 105 serum dan 73 swab nasofaring kucing yang berasal dari pasar di Indonesia, subunit antigen Influenza Tipe A Subtipe H9

Hasil Penelitian menemukan tiga jenis gejala stereotipe yang dominan muncul pada 28 gambar cerita siswa, jenis stereotipe tersebut yaitu (1) perulangan total maupun