• Tidak ada hasil yang ditemukan

LAPORAN PRAKTIKUM TEBU

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "LAPORAN PRAKTIKUM TEBU"

Copied!
36
0
0

Teks penuh

(1)

LAPORAN PRAKTIKUM

MATA KULIAH TEKNOLOGI PENGOLAHAN KOMODITI PERKEBUNAN HULU

“TEBU”

Disusun Oleh:

Awi Metalisa/141710101090 THP-C/5

JURUSAN TEKNOLOGI HASIL PERTANIAN FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN

UNIVERSITAS JEMBER 2015

(2)

BAB 1. PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Tebu (Saccharum officinarum L.) merupakan salah satu jenis tanaman yang hanya dapat ditanam di daerah yang memiliki iklim tropis (Misran, 2005). Salah satu produk olahan tebu adalah gula yang merupakan komoditas penting bagi masyarakat Indonesia. Gula dapat digunakan sebagai bahan pangan pokok, bahan baku industri makanan atau minuman, maupun dapat menyumbang perekonomian nasional karena dapat digunakan sebagai sumber mana pencaharian petani. Menurut Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian dalam Andaka (2011), produksi gula pada tahun 2004 mencapai 2.051.000 ton hablur.

Tebu yang diguanakan dalam proses pembuatan gula merupakan tebu yang berumur 11-12 bulan dimana kandungan sukrosa atau gula pada tebu berada pada jumlah maksimal. Bagian tebu yang digunakan dalam pembuatan gula adalah bagian batang. Bagian tunas dan pucuk batang dibuang karena lebih kaya kandungan asam amino daripada kandungan gula. Sedangkan ampas tebu dapat digunakan sebagai pakan ternak maupun bahan bakar. Macam gula yang dapat diolah dari tebu yaitu gula kristal putih, gula kristal rafinasi, gula kristal mentah, maupun gula merah tebu.

Salah satu jenis gula yang banyak ditemui di pasar adalah gula kristal putih (GKP). Menurut SNI (2010) gula kristal putih merupakan gula yang dibuat dari tebu atau bit melalui proses sulfitasi/karbonatasi/fosfatasi atau proses lainnya sehingga langsung dapat dikonsumsi. Agar dapat diterima oleh masyarakat, gula kristal putih harus memenuhi beberapa syarat mutu penting diantaranya warna larutan, warna kristal, besar jenis butir, residu belerang oksida dan lain sebaginya. Oleh karena itu, praktikum dilakukan untuk mengetahui kualitas gula kristal putih yang baik dan sesuai dengan standar yang tekah ditetapkan.

1.2 Tujuan

Praktikum tebu memiliki tujuan sebagai berikut:

(3)

2. Untuk mengetahui pengaruh perlakuan defekasi terhadap derajat Brix nira 3. Untuk mengamati warna (kecerahan) gula kristal putih

4. Untuk menentukan besar jenis butir gula kristal putih

5. Untuk menentukan residu belerang oksida pada gula kristal putih dan gula merah tebu

(4)

BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Tebu (Saccharum officinarum L.)

Tebu ialah suatu tanaman jenis rumput-rumputan, termasuk kelas Monocotyledone, ordo Glumiflorae, Keluarga Gramineae, dengan nama ilmiah Saccharum officinarum L. Terdapat lima spesies tebu, yaitu Saccharum spontaneum (glagah), Saccharum sinensis (tebu Cina), Saccharum barberry (tebu India), Saccharum robustum (tebu Irian) dan Saccharum officinarum (tebu kunyah) (Sastrowijoyo dalam Andaka, 2011). Saccharum officinarum merupakan spesies paling penting dalam genus Saccharum sebab kandungan sukrosanya paling tinggi dan kandungan seratnya paling rendah (Wijayanti dalam Brata, 2014).

Sifat morfologi tebu diantaranya bentuk batang konis, susunan antar ruas berbuku, dengan penampang melintang agak pipih, warna batang hijau kekuningan, batang memiliki lapisan lilin tipis, bentuk buku ruas konis terbalik dengan 3-4 baris mata akar, warna daun hijau kekuningan, lebar daun 4-6 cm, daun melengkung kurang dari ½ panjang daun. Tebu diguanakan sebagai bahan baku utama dalam pembuatan gula. tanaman ini hanya dapat tumbuh di daerah beriklim tropis. Sejak ditanam sampai bisa dipanen, umur tanaman tebu mencapai kurang lebih 1 tahun (Andaka, 2011).

Bagian tebu yang digunakan dalam pembuatan gula adalah bagian batang. Batang tebu diekstrak untuk memperoleh sukrosa. Komponen yang terdapat pada batang tebu disajikan pada tabel 1.

Tabel 1. Komponen-komponen yang terdapat dalam batang tebu

Komponen : Jumlah (%) Monosakarida : 0,5~1,5 Sukrosa : 11~19 Zat-zat organik : 0,5~1,5 Zat-zat anorganik : 0,15 Sabut : 11~19 Air : 65~75 Bahan lain : 12 Sumber: Misran (2005)

(5)

2.2 Nira Tebu

Nira adalah air hasil gilingan atau ekstraksi dari tanaman tebu, di dalam nira terdapat banyak sekali zat-zat yang terkandung didalamnya, misalnya daun kering, blendok, pektin, serta polisakarida, starch, karena biasanya tebu yang digiling didalam pabrik dalam keadaan kotor, tidak dicuci, dan tidak dikuiti terlebih dahulu (Sukardi, 2014). Menurut Kuspratomo (2012) baik atau buruknya kualitas nira dipengaruhi oleh faktor karakteristik dan kualitas varietas tebu, mekanisme Tebang Muat Angkut (TMA) serta penundaan giling tebu. Varietas tebu yang memiliki potensi kandungan gula yang tinggi akan berpengaruh pada kinerja pabrik dan produk yang dihasilkan.

Komposisi nira tebu rata-rata mengandung sukrosa (10-11%), air (2%), zat lain bukan gula (74-76%) dan sabut (14%), tergantung jenis tebu (Tjokroadikoeoerno dalam Uthami, 2011). Selain itu, komposisi brix pada nira menurut penelitian Soejoto dalam Sukardi (2014) sebesar 16,88-17,85%. Beberapa jenis polisakarida lain juga terdapat dalam nira tebu sebbagai hasil metabolisme tanaman seperti dextran, levan, pektin, selulosa, pati, dan gum (Cuddigy dalam Filianty, 2007). Semua bahan selulosa dapat memberikan efek negatif terhadap proses pembuatan gula kristal, seperti memberi kesempatan mikroorganisme untuk tumbuhm mempersulit proses pemurnian dan menghambat proses kristalisasi. Keberadaan pati yang relatif tinggi nira lebih kental sehingga menyebabkan filtrasi berjala lambat dan larutan tampak lebih keruh (Filianty, 2007).

Menurut Paine dalam Filianty (2007) nira tebu mengadung komponen senyawa nitrogen organik berupa protein tinggi (albumin), protein sederhana (albuminosa dan peptosa), asam amino (glisin, asam aspartat), dan asam amida (aspargin, glutamin). Salin itu, nira tebu juga mengandung komponen asam organik lain seperti akonitat, oksalat, suksinat, glikolat, dan malat. Kandungan garam organik yang teridentifikasi dalam nira tebu diantaranya fosfat, klorida, sulfat, silikat, dan nitrat dari Na, K, Ca, Al, dan Fe. Nira tebu dapat mengandung glikoprotein bisa nira tersebut dihasilkan dari batang yang mengalami kerusakan atau terserang mikroorganisme patogen (Legaz, 2000).Dalam keadaan segar, nira

(6)

tebu berwarna coklat kehijau-hijauan dengan pH 5,0-6,0. Z at warna yang terdapat dalam nira tebu adalah klorofil yang berasosiasi dengan xantofil, karoten, antosianin, tanin, dan sakretin. Sedangkan warna coklat timbul akibat reaksi pencoklatan enzimatis dari polifenol (Filianty, 2007).

Proses pengolahan nira tebu menjadi gula terbagi dalam 2 bagian. Pertama, proses ekstraksi batang tebu untuk diambil niranya, kemudian dilakukan rafinasi sebagaian dan kristalisasi, menghasilkan gula mentah (raw sugar). Bahan selain sukrosa dipisahkan semaksimal mungkindengan proses-proses defekasi, sulfitasi, karbonatasi, defekasi-sulfitasi, serta kombinasi keempat proses tersebut. Kedua, proses purifikasi gula mentah dan kristalisasi lebih lanjut, menghasilkan gula (refine sugar) (Filianty, 2007).

Adapun syarat mutu nira yang baik menurut penelitian Sumarno dalam Sukardi (2014) disajikan pada tabel 2.

Tabel 2. Syarat Mutu Nira

Komposisi Besarnya

Polarisasi 93,34%

Hk Pol 94,40%

Warna 50,63

Turbidy 394

Sumber: Sumardo dalam Sukardi (2014)

2.3 Pemurnian Nira

Proses pemurnian ialah proses yang bertujuan untuk menghilangkan komponen bukan gula yang terdapat dalam nira mentah (mix juice) sebanyak-banyaknya dari stasiun gilingan dengan menekan kerusakan sukrosa yang terjadi selama proses pemurnian ini sehingga dihasilkan nira jernih (clear juice) yang baik dan kemuriannya tinggi. Pada umumnya pemurnian nira tebu menggunakan penambahan bahan pembantu dalam prosesnya (Warsa, 2006). Menurut Aggreini (2008) proses pemurnian memerluhkan kapur yang digabungkan dengan panas, selanjutnya terjadi endapan dan nira jernih dapat dipisahkan dengan cara pengendapan.

Cara pemurnian dalam pembuatan gula yang paling umum dibedakan menjadi 3 macam yaitu:

(7)

a. Cara defekasi: cara ini adalah yang paling sederhana tetapi hasil pemurniannya juga belum sempurna, terlihat dari hasil gulanya yang masih berupa kristal yang berwarna merah atau coklat. Pada pemurnian ini hanya dipakai kapur sebagai pembantu pemurnian.

b. Cara sulfitasi: cara ini adalah lebih baik dari defekasi, karena sudah dapat dihasilkan gula yang berwarna putih. Pada pemurnian cara ini dipakai kapur dan gas hasil pembakaran belerang sebagai pembantu pemurnian.

c. Cara karbonatasi: cara ini adalah yang terbaik hasilnya dibanding dengan dua cara diatas. Tetapi biayanya yang paling mahal. Pada pemurnian ini dipakai sebagai bahan pembantu adalah kapur, gas asam arang ( CO2 ) dan gas hasil

pembakaran belerang. (Fitri, 2008).

Agar dapat menciptakan efek pemurnian yang lebih baik, kapur tohor (CaO) harus dilarutkan terlebih dahulu dalam air. Di Indonesia pengeluaran zat bukan gula secara optimal terjadi bila pH nira mentah antara 7,3–7,8 dan pH nira encer dipertahankan antara 7,0–7,4. Jika pH lebih tinggi dari 7,4 maka pemisahan zat bukan gula akan menjadi lebih baik. Akan tetapi kemungkinan perpecahan zat gula yang mereduksi menjadi lebih besar, mengakibatkan nira encer berubah warnanya menjadi hitam (reaksi browning). Selain itu, timbul asam organik yang mengikat kapur, menyebabkan kandungan kapur meningkat. Kandungan kapur yang tinggi dalam nira encer cenderung mengakibatkan inkrustasi dalam pan penguap dan pemasakan, yang menghambat perpindahan panas sehingga konsumsi uap meningkat, mempersukar kristalisasi, mempersukar proses masakan, serta meningkatkan pembentukan molase, yang berarti mempertinggi kehilangan sukrosa dalam moslase (Fitri, 2008).

2.4 Derajat Brix

. Kualitas gula diukur dengan menganalisis Nira Perahan Pertama (NPP) tebu. Analisis kualitas nira meliputi meliputi % brix, %pol, pH, gula reduksi %brix, Harkat Kemurnian (HK), dan Nilai Nira Perahan Pertama (NNPP). Derajat brix adalah zat padat kering yang terlarut dalam larutan (g/100g larutan). Sedangkan %pol adalah jumlah gula (gr) yang terlarut dalan 100 gram larutan

(8)

yang mempunyai kesamaan putaran optik dengan sukrosa murni (Kuspratomo, 2012).

2. 5 Gula

Gula adalah suatu karbohidrat yang menjadi sumber energi dan komoditi perdagangan utama. Gula paling banyak diperdagangkan dalam bentuk kristal sukrosa padat. Gula sebagai sukrosa diperoleh dari nira tebu, bit gula, atau aren. Menurut SNI (2010), gula yang dibuat dari tanaman tebu digolongkan menjadi 4 yaitu gula kristal putih, gula kristal mentah, gula kristal rafinasi dan gula merah tebu.

Menurut SNI (2010), Gula Kristal Putih (GKP) atau Plantation White Sugar merupakan gula kristal yang dibuat dari tebu atau bit melalui proses sulfitasi/karbonatasi/fosfatasi atau proses lainnya sehingga langsung dapat dikonsumsi. Gula kristal putih dipasaran atau masyarakat mengenal sebagai gula pasir. Gula kristal putih diklasifikasikan menjadi 2 (dua) kelas mutu yaitu GKP 1 dan GKP 2. Syarat mutu gula kristal putih disajikan dalam tabel 3.

Tabel 3. Syarat Mutu Gula Kristal Putih

No Parameter Uji Satuan Persyaratan

GKP 1 GKP 2

1 Warna

1.1 Warna kristal CT 4,0 – 7,5 7.6 – 10,0

1.2 Warna larutan (ICUMSA) IU 81 – 200 201 – 300

2 Besar jenis butir mm 0,8 – 1,2 0,8 – 1,2

3 Susut pengeringan (b/b) % Maks 0,1 Maks 0,1

4 Polarisasi (Z , 20 C)⁰ ⁰ “Z” Min 99,6 Min 99,5

5 Abu konduktiviti (b/b) % Maks 0,10 Maks 0,15

6 Bahan tambahan pangan

6.1 Belerang dioksida (SO2) mg/kg Maks 30 Maks 30 7 Cemaran logam

7.1 Timbal (Pb) mg/kg Maks 2 Maks 2

7.2 Tembaga mg/kg Maks 2 Maks 2

7.3 Arsen (As) mg/kg Maks 1 Maks 1

Sumber: Standarisasi Nasional Indonesia (2010)

Menurut SNI (2008) Gula Kristal Mentah (GKM) atau raw sugar merupakan gula kristal sakarosa yang dibuat melalui proses defekasi, yang tidak

(9)

boleh langsung dikonsumsi oleh manusia sebelum di proses lebih lanjut. Terdapat syarat mutu gula merah mentah yang disajikan dalam tabel 4.

Tabel 4. Syarat Mutu Gula Kristal Mentah

No Kriteria uji Satuan Persyaratan

1 Warna larutan (ICUMSA) IU Min 1200

2 Susut pengeringan (basis basah) % fraksi massa Maks 0,50

3 Polarisasi (⁰Z, 20⁰C) “Z” Min 97,50

4 Abu konduktiviti % fraksi massa Maks 0,40

5 Kandungan gula tereduksi % fraksi massa Maks 0,40 Sumber: Standarisasi Nasional Indonesia (2008)

Menurut SNI (2011) Gula Kristal Rafinasi (GKR) atau Refined Sugar merupakan gula sukrosa yang diproduksi melalui tahan pengolahan gula kristal mentah yang meliputi: afinasi, pelarutan kembali (remelthing), filtrasi, dekolorisasi, kristalisasi, fugalisasi, pengeringan, dan pemanasan. Bahan baku pembuatan GKR adalah gula kristal mentah (GKM). Produk gula kristal rafinasi dikasifikasian dalam kasar, sedang, dan halus. Untuk syarat mutu gula kristal rafinasi disajikan dalam tabel 5.

Tabel 5. Syarat Mutu Gula Kristal Rafinasi

No Kriteria Uji Satuan Persyaratan

I I

1 Keadaan

1.1 Bau - normal normal

1.2 Rasa - manis manis

2 Polarisasi ( Z, 20 C)⁰ ⁰ “Z” min 99,80 min 99,70

3 Gula reduksi % maks 0,04 maks 0,04

4 Susut pengeringan (b/b) % maks 0,05 maks 0,05

5 Warna larutan IU** maks 45 maks 80

6 Abu konduktifitas (b/b) % maks 0,03 maks 0,05

7 Sedimen mg/kg maks 7,0 maks 10,0

8 Ukuran partikel ***

8.1 Kasar (coarse grain) mm 1,21-2,20 1,21-2,20

8.2 Sedang (medium/fine grain) mm 0,51-1,20 0,51-1,20 8.3 Halus (castoriextra fine grain) mm 0,25-0,50 0,25-0,50 9 Belerang oksida (SO2) mg/kg maks 2,0 maks 5,0 10 Cemaran logam 10. 1 Kadmiun (Cd) mg/kg maks 0,2 maks 0,2 10. 2 Timbal (Pb) mg/kg maks 0,25 maks 0,5

(10)

3 10. 4

Merkuri (Hg)

mg/kg maks 0,03 maks 0,03

11 Cemaran arsen (As) mg/kg maks 1,0 maks 1,0

12 Cemaran mikroba 12.

1

Angka lempeng total (35°C, 48

jam) koloni/10g maks 2x102 maks 2,5x102

12. 2 Bakteri coliform APM/g < 3 < 3 12. 3 Kapang

koloni/10g maks 10 maks 10 12.

4

Khamir

koloni/10g maks 10 maks 10 Sumber: Standarisasi Nasional Indonesia (2011)

Menurut SNI (2000) Gula Merah Tebu (GMT) merupakan gula yang dihasilakan dari pengolahan air atau sari tebu (Saccharum officinarum) melalui pemasakan dengan atau tanpa penambahan bahan tambahan makanan yang diperbolehkan dan berwarna kecoklatan. Syarat mutu Gula Merah Tebu (GMT) disajikan dalam tabel 6.

Tabel 6. Syarat Mutu Gula Merah Tebu

No Jenis Uji Satuan Persyaratan

I I

1 Keadaan

- bau - khas khas

- rasa - khas khas

- warna

- colat muda sampai tua

colat muda sampai tua

- penampakan - tidak berjamur tidak berjamur

2 Bagaian yang tak larut dalam

air, b/b % maks 1,0 maks 5,0

3 Air, b/b % maks 8,0 maks 10,0

4 Gula (dihitung sebagai

sukrosa), b/b % maks 65 maks 60

5 Gula pereduksi (dihitung

sebagai glukosa), b/b % maks 11 maks 14

6 Bahan tambahan makanan pengawet

- residu mg/kg maks 2,0 maks 20

- benzoat mg/kg maks 200 maks 200

7 Cemaran logam

Timbal (Pb) mg/kg maks 2,0 maks 2,0

Tembaga (Cu) maks 2,0 maks 2,0

(11)

Timah (Sn) mg/kg maks 40,0 maks 40,0

raksa (Hg) mg/kg maks 0,03 maks 0,03

8 Cemaran arsen (As) mg/kg maks 1,0 maks 0,1

(12)

BAB 3. METODOLOGI PRAKTIKUM

.1 Alat dan Bahan 3.1.1 Alat

a. Alat pemanas

b. Ayakan 16, 18, 20, 30, dan 50 mesh c. Beaker glass d. Buret mikro 10 ml e. Colour reader f. Erlenmeyer 300 ml g. Gelas ukur h. Hand refraktometer i. Kertas pH universal j. Neraca analitik

k. Pengaduk magnetik (magnetic stirer) l. Penyangga buret (statif)

m. Pipet tetes n. Pipet volume o. Spatula

3.1.2 Bahan a. Aquadest

b. Dua macam gula kristal putih (GKP) dengan warna berbeda c. Indikator amilum 0,2% d. Kertas label e. Larutan HCL 5% f. Larutan iodin (I2) g. Larutan kapur h. Larutan Tiosulfat

i. Nira tebu dengan kulit dan tanpa kulit j. Tissue

(13)

Nira Refraktometer

Amati derajat brix (3x)

Penambahan larutan kapur hingga pH netral 250 ml nira

Pemanasan ± 70°C 70 ±±±±Pemanasan

Pemanasan 30 menit dan pengadukan

Pendinginan

Penetesan pada refraktometer

Perbandingan brix sebelum dan sesudah defekasi

Gula kristal

Pengamatan kecerahan

Perbandingan 2 jenis GKP (Gula Kristal Putih) 3.2 Skema Kerja

3.2.1 Derajat Brix Nira

3.2.2 Defekasi

(14)

60 gram Gula Kristal Putih (GKP)

Penimbangan tiap fraksi Pengayakan 10 menit

(ayakan 12, 18, 20, 30, 50 mesh) 3.2.4 Besar Jenis Butir Gula Kristal Putih

3.2.5 Residu Belerang Oksida (SO2)

1. Larutan Iodium

6 gram KI

Pemasukan dalam labu takar 1000ml

Penambahan 0,8 gram I2

Tera hingga 1000 ml

Pendiaman 24 jam (botol gelap)

Pemipetan 40 ml I2

Pemasukan dalam erlenmeyer 300 ml

Penambahan 25 ml aquadest

Titrasi dengan Tiosulfat hingga kuning muda

Penambahan indikator amilum 10 ml

Titrasi hingga warna biru hilang

(15)

Penambahan 10 ml indikator amilum

Penambahan 10 ml HCL

Titrasi dengan I2 (warna ungu muda) (v)

150 ml aquadest

50 gram contoh

Penambahan 10 ml indikator amilum

Penambahan 10 ml HCL

Titrasi dengan I2 (warna ungu muda) (t) Penambahan 150 ml aquadest 2. Penentuan Residu Belerang

a. Blanko

(16)

BAB 4. HASIL PENGAMATAN DAN HASIL PERHITUNGAN

4.1 Hasil Pengamatan

4.1.1 Derajat Brix Nira dan Defekasi

Nira Ulangan Derajat Brix Derajat Brix setelah defekasi Nira tebu bersama

kulitnya

1 17 10

2 16,9 10

3 17 10

Nira tebu yang dikupas kulitnya

1 18,2 10

2 18 10

3 18,1 10

4.1.2 Warna (Kecerahan) Gula Kristal Putih

Gula Kristal Putih Ulangan Nilai L

A (Putih) 1 54,6 2 53,0 3 55,2 B (Agak gelap) 1 49,6 2 49,9 3 48,5

4.1.3 Besar Jenis Butir Gula Kristal Putih

Gula Kristal Putih Fraksi Berat (gram)

ulangan 1

Berat (gram) ulangan 2

A (Putih) Fraksi I (16 mesh) 2,31 5,75

Fraksi II (18 mesh) 9,37 14,57

Fraksi III (20 mesh) 0,001 0,05

Fraksi IV (30 mesh) 23,00 23,34

Fraksi V (50 mesh) 20,58 14,47

Fraksi VI (baki) 4,47 1,63

B (Agak gelap) Fraksi I (16 mesh) 17,39 16,79

Fraksi II (18 mesh) 17,26 19,2

Fraksi III (20 mesh) 0,09 0,01

Fraksi IV (30 mesh) 17,24 17,17

Fraksi V (50 mesh) 7,12 6,13

(17)

4.1.4 Residu Belerang Oksida (SO2)

Gula Tiosulfat (ml) Titran (ml) contoh Titrasi (ml) blanko

A (Putih) 2,5 1,3 0,5

B (Agak gelap) 2,5 5,4 0,5

Berat contoh 50,01 gram

4.2 Hasil Perhitungan

4.2.1 Derajat Brix Nira dan Defekasi

Nira Ulangan Derajat Brix Derajat Brix setelah defekasi Nira tebu bersama

kulitnya

1 17 10

2 16,9 10

3 17 10

Rata-rata 16,97 10

Nira tebu yang dikupas kulitnya

1 18,2 10

2 18 10

3 18,1 10

Rata-rata 18,1 10

4.1.2 Warna (Kecerahan) Gula Kristal Putih

Gula Kristal Putih Ulangan Nilai L

A (Putih) 1 54,6 2 53,0 3 55,2 Rata-rata 54,27 B (Agak gelap) 1 49,6 2 49,9 3 48,5 Rata-rata 49,33

4.2.3 Besar Jenis Butir Gula Kristal Putih Gula Kristal Putih Fraksi Berat (gram) Ulangan 1 Berat (gram) Ulangan 2 Faktor Ayakan Besar Jenis Butir Ulangan 1 Besar jenis Butir Ulangan 2 A (Putih ) I (16 mesh) 2,31 5,75 7,1 27,46 68,26 II (18 mesh) 9,37 14,57 8,55 134,12 208,28 III(20 mesh) 0,001 0,05 10,0 0,017 0,84 IV (30 mesh) 23,00 23,34 14,1 542,93 550,23 V (50 mesh) 20,58 14,47 24,0 826,91 580,64 VI (baki) 4,47 1,63 48,0 359,21 130,81

(18)

Jumlah 59,731 59,81 - 1890,647 1539,06

Besar Jenis Butir 0,5289 0,6497

B (Agak gelap) I (16 mesh) 17,39 16,79 7,1 206,57 200,08 II (18 mesh) 17,26 19,2 8,55 246,90 275,53 III (20 mesh) 0,09 0,0/1 10,0 1,506 0,1678 IV (30 mesh) 17,24 17,17 14,1 406,699 406,34 V (50 mesh) 7,12 6,13 24,0 285,896 246,93 VI (baki) 0,67 0,28 48,0 53,806 22,56 Jumlah 59,77 59,58 - 1201,377 1151,608

Besar Jenis Butir 0,8324 0,8684

4.2.4 Residu Belerang Oksida (SO2)

Gula Tiosulfat (ml) Titran (ml) contoh Titrasi (ml) blanko Kadar SO2 (ppm) A (Putih) 2,5 1,3 0,5 0,2025 B (Agak gelap) 2,5 5,4 0,5 1,2404 Berat contoh 50,01 Kesetaraan Iod 0,01266 mg SO2/ml

(19)

BAB 5. PEMBAHASAN

5.1 Skema Kerja dan Fungsi Perlakuan 5.1.1 Derajat Brix Nira

Pengukuran derajat brix pada nira dilakukan dengan menggunakan alat refraktometer. Nira tebu dengan perlakuan yang berbeda yaitu nira yang diekstraksi dengan kulit dan tanpa kulit, diteteskan pada refraktometer hingga menutupi permukaan refraktometer yang berwarna hitam. Hal ini bertujuan agar dapat terbaca pada refraktometer. Kemudian diamati sebanyak 3 kali pengulangan.

3.2.2 Defekasi

Perbedaan defekasi atau tidak pada nira dilakukan dengan pengukuran derajat brix. Nira yang digunakan dalam adalah nira yang diekstraksi dengan kulit dan tanpa kulit. Hal ini dilakukan agar dapat membandingkan derajat brix nira dengan dan tanpa kulit. Nira yang digunakan sebanyak 250 ml kemudian dilakukan pemanasan hingga suhu mencapai ± 70°C untuk emngoptimalkan prosed defekasi. Selanjutnya dilaukan penambahan kapur hingga pH netral. Kapur yang ditambahkan akan berikatan dengan senyawa fosfat pada nira membentuk garam fosfat dan garam fosfat ini yang nantinya akan mengikat, menyerap, dan memerangkan bahan non sukrosa sehingga diperoleh sukrosa dnegan jumlah banyak dan kemurnian tinggi.

Lalu dilakukan pemanasan selama 30 menit dan dilakukan pengadukan. Hal ini bertujuan untuk mempercepat reaksi dan homegenisasi. Setelah itu, nira didinginkan dan setelahnya dilakukan pengamatan derajat brix menggunakan refraktometer. Pengamatan derajat brix dilakukan dengan meneteskan nira bagian hitam refraktometer menggunakan pipet tetes. Seluruh permukaan hitam refraktometer harus tertutupi oleh nira agar dapat terbaca oleh refraktometer. Setelahnya dilakukan pengamatan sebanyak 3 kali pengulangan dan dibandingkan antara derajat brix nira dengan defekasi dan tanpa defekasi.

(20)

3.2.3 Warna (Kecerahan) Gula Kristal Putih

Warna atau kecerahan gula kristal putih dapat diukur menggunakan alat colour reader dengan melihat nilai L (Lightness). Nilai L semakin tinggi maka kecerahan atau warna semakin terang. Untuk pengamatan, gula dibungkus menggunakan plastik terlebih dahulu. Sampel yang digunakan untuk mengukur warna atau kecerahan pada gula kristal putih menggunakan 2 sampel yang berbeda yaitu menggunakan Gulaku dan gula curah. Hal ini bertujuan untuk membandingkan warna kedua sampe gula.

3.2.4 Besar Jenis Butir Gula Kristal Putih

Besar jenis butih gula kristal putih dapat diketahui dengan menimbang sampel gula sebanyak 60 gram. Setelahnya sampe diayak menggunakan ayakan ukuran 12, 18, 20, 30, dan 50 mesh. Setelah diayak selama ± 10 menit, setiap sampel pada ayakan kemudian ditimbang untuk mengetahui berat pada tiap fraksi ayakan dan dihitung presentasenya. Lalu dapat diketahui besar jenis butirnya dan dilakukan perbandingan dengan SNI.

3.2.5 Residu Belerang Oksida (SO2)

1. Larutan Iodium

Penentuan residu belerang oksida (SO2) pada gula kristal putih dilakukan

pertama-tama dengan pembuatan larutan iodium. Untuk pembuatan larutan iodium, pertama-pertama dilakukan penimbangan KI sebanyak 6 gram lalu dilarutkan sedikit demi sedikit pada labu takar 1000 ml. Larutan KI berfungsi untuk meningkatkan kelarutan iod pada aquadest. Kemudian ditambahkan Iod kristal sebanyak 0,8 gram dan dilakukan pengocokan. Hal ini dilakukan agar larutan dapat homogen.

Setelah itu tera hingga volume larutan mencapai 1000 ml dan di masukkan dalam botol gelap untuk dilakukan pendiaman selama 24 jam. Pemasukkan larutan dalam botol gelap bertujuan agar larutan tidak teroksidasi dan terurai oleh cahaya. Kemudian larutan iod di pipet sebanyak 40 ml dan dimasukkan dalam

(21)

erlenmeyer 300 ml. Hal ini dilakukan untuk mempermudah titrasi. Setelahnya di tambahkan 25 ml aquadest untuk mengencerkan larutan.

Lalu dilakukan titrasi menggunakan larutan tiosulfat hingga warna berubah menjadi kuning muda. Setelahnya tambahkan indikator amilum sebanyak 10 ml dan dititrasi hingga warna biru hilang. Penambahan indikator dilakukan untuk membentuk warna biru pada larutan.

2. Penentuan Residu Belerang a. Blanko

Pembuatan blanko diperluhkan untuk mengetahui kadar SO2. Langkah awal

yang dilakukan adalah memasukkan 150 ml aquadest ke dalam erlenmeyer untuk mempermudah titrasi. Setelahnya ditambahkan 10 ml indikator amilum dan 10 ml HCL untuk mempermudah menganalisa perubahan titrasi yang berlangsung. Kemudian dilakukan titrasi menggunakan iodium hingga warna larutan menjadi ungu muda. Volume idoin yang digunakan untuk titrasi dicatat sebagai v ml. b. Sampel

Analisa residu belerang oksida pada sampel dilakukan dengan menimbang 50 gram sampel menggunakan neraca analitik. Sampel yang digunakan ada 2 yaitu Gulaku dan gula curah. Hal ini bertujuan untuk membandingkan residu belerang pada kedua sampel. Lalu sampe dimasukkan ke dalam beaker glass dan ditambahkan 150ml aquadest. Penambahan aquadest untuk melarutkan gula dan dilakukan pengadukan agar larutan homogen.

Kemudian ditambahakan 10 ml HCL dan indikator amilum agar warna dapat terbentuk saat dilakukan titrasi. Setelah itu dilakukan titrasi menggunakan iodium hingga warna larutan menjadi ungu muda. Larutan iodium yang digunakan untuk titrasi kemudian dicatat sebagai t ml. Lalu dapat diketahui kadar SO2 yang

ada pada sampel dengan mengurangi t dengan v lalu dikalikan dengan volume tiosulfat yang digunakan untuk mentitrasi iodium, selanjutnya dikalikan dengan 1000. Dari hasil tersebut kemudian dilakukan perbandingan dengan berat sampel awal gula kristal putih. Kadar belerang oksida selanjutnya dapat diketahui dan dinyatakan dalam satuan ppm.

(22)

5.2 Analisa Data

5.2.1 Derajat Brix dan Defekasi

Pengukuran derajat brix nira dilakukan menggunakan refraktometer. Terdapat dua macam nira yang digunakan dalam pengukuran yaitu nira yang diekstraksi bersama kulit dan nira yang diekstrasi tanpa kulit. Pada nira dengan perlakuan ekstraksi bersama kulitnya diperoleh nilai derajat brix 17; 16,9; 17 dan diperoleh nilai rata-rata derajat brix sebesar 16,97. Menurut Kuspratomo (2012) derajat brix adalah zat padat kering yang terlarut dalam larutan (g/100g larutan). Sehingga pada nira yang diekstraksi dengan kulit terdapat zat padat terlarut sebesar 16,97 gram. Sedangkan pada nira tanpa kulit diperoleh nilai derajat brix 18,2; 18; 18,1 dan diperoleh rata-rata nilai derajat brix sebesar 18,1. Hal ini menunjukkan pada 100 gram larutan nira tanpa kulit terdapat zat padat terlarut sebesar 18,1 gram. Untuk nira tanpa tebu dengan kulit maupun tanpa kulit dengan perlakuan defekasi diperoleh derajat brix yang sama yaitu 10.

Menurut Sari (2010) zat padat yang terlarut terdiri dari dua zat lagi yaitu gula dan bukan gula. Zat yang bukan gula dapat berupa lilin, kotoran, tanah, maupun zat lain yang bukan sukrosa. Sehingga terjadi penyimpangan karena nilai derajat brix dengan pengupasan (tanpa kulit) lebih tinggi daripada nira dengan kulit. Nira tanpa pengupasan masih terdapat kulit yang mengandung lilin dan juga kotoran sehingga derajat brix nira harusnya lebih besar tetapi yang diperoleh justru sebaliknya. Hal ini dapat terjadi karena nira dapat mengalami kerusakan sejak awal produksi (panen) oleh mikroorganisme. Menurut Santoso dalam Erwinda (2014) infeksi mikroba ke dalam nira dapat terjadi selama panen tebu dimana terjadi kontak antara batang tebu dengan pisau atau tanah. Selain itu, kerusakan dapat terjadi karena aktivitas mikroorganisme terhadap kandungan nira yaitu sukrosa. Selain akibat mikroba, derjat brix pada nira tanpa pengupasan (dengan kulit) rendah dapat disebabkan karena masih terdapat kotoran. Beberapa kotoran ada yang bersifat asam sehingga dapat menyebabkan rusaknya gula yang berpengaruh pada menurunnya zat padat terlarut pada nira. Hal ini sesuai literatur Fitri (2008) yang menyebutkan bahwa slah satu sifat nira adalah gula didalam

(23)

lautan tidak kuat dalam lingkungan asam sehingga bila di dalam larutan terdapat bahan yang bersifat asam maka gulanya akan rusak.

Pada nira yang mengalami proses defekasi, diperoleh derajat brix yang sangat rendah yaitu 10. Hal ini menunjukkan pada nira yang mengalami defekasi jumlah zat padat terlarut sebanyak 10 gram. Hal ini dikarenakan proses defekasi merupakan proses pemurnian yang dapat menyebabkan kotoran maupun bahan non sukrosa pada nira berkurang sehingga zat padat terlarut pada nira berkurang. Sesuai dengan literatur Risnojatiningsih (2010) yang menyebutkan jika tujuan defekasi adalah membuang sebanyak-banyaknya zat yang bukan gula dan menghilangkan kotoran yang ada, yang menyebabkan nira menjadi keruh.

5.2.2 Warna (Kecerahan) Gula Kristal Putih

Pengukuran warna untuk mengetahui kecerahan gula kristal putih menggunakan alat colour reader. Pada pengukuran terhadap gula yang warnanya lebih putih (A) diperoleh nilai L (Lightness) sebesar 54,6; 53,0; 55,2 dan diperoleh nilai rata-rata L sebesar 54,27. Sedangkan pada gula kristal putih yang warnanya lebih gelap (B) diperoleh nilai L sebesar 49,6; 49,9; 48,5 sehingga diperoleh nilai rata-rata L sebesar 49,33.

Menurut Agusandi (2013) nilai lightness menunjukkan gelap terangnya warna suatu bahan pangan. Semakin tinggi nilai L (Lightness) maka kecerahan bahan pangan semakin tinggi. Dari data diperoleh jika gula A lebih cerah daripada gula B. Hal ini dikarenakan proses pemurnian gula A dan gula B berbeda. Gula A mengalami pemurnian secara bertingkat sehingga diperoleh warna kristal yang lebih putih daripada gula B. Sedangkan pada gula B dimungkinkan proses pemurnian dilakukan secara sederhana sehingga masih terdapat kotoran terlarut pada nira. Kotoran yang masih terdapat pada nira kemudian berpengaruh pada warna kristal gula, menyebabkan warna kristal gula B menjadi lebih gelap. Untuk hasil pengamatan warna tidak bisa dibandingkan dengan SNI karena satuan yang diperoleh berbeda disebabkan oleh perbedaan cara pengukuran.

(24)

3.2.3 Besar Jenis Butir Gula Kristal Putih

Besar Jenis Butir (BJB) pada gula kristal putih dapat diketahui dengan menggunakan metode ayakan lalu dilakukan penimbangan pada tiap ayakan. Ayakan yang digunakan adalah ayakan 16, 18, 20, 30, dan 50 mesh. Digunakan dua sampel pada pengukuran besar jenis butir (BJB) yaitu sampel gula putih dan sampel gula yang agak gelap (gula curah) dengan pengukuran dilakukan sebanyak dua kali pengulangan. Pada ulangan 1, berat yang diperoleh gula putih pada fraksi 1 (16 mesh) sebanyak 2,31 gram, fraksi II (18 mesh) sebanyak 9,37 gram, fraksi III (20 mesh) sebanyak 0,001 gram, fraksi IV (30 mesh) sebanyak 23 gram, pada fraksi V sebanyak 20,58 gram, dan pada baki terdapat 4,47 gram sehingga pada gula putih ulangan 1 diperoleh besar jenir butir (BJB) sebesar 0,5289. Sedangkan pada ulangan kedua diperoleh berat pada fraksi 1 (16 mesh) sebanyak 5,75 gram, fraksi II (18 mesh) sebanyak 14,57 gram, fraksi III (20 mesh) sebanyak 0,05 gram, fraksi IV (30 mesh) sebanyak 23,34 gram, pada fraksi V sebanyak 14,47 gram, dan pada baki terdapat 1,63 gram sehingga pada gula putih ulangan 2 diperoleh besar jenir butir (BJB) sebesar 0,6497.

Pengukuran besar jenis butir pada gula agak gelap (curah) berat yang diperoleh pada fraksi 1 (16 mesh) sebanyak 17,39 gram, fraksi II (18 mesh) sebanyak 17,26 gram, fraksi III (20 mesh) sebanyak 0,09 gram, fraksi IV (30 mesh) sebanyak 17,24 gram, pada fraksi V sebanyak 7,12 gram, dan pada baki terdapat 0,67 gram sehingga pada gula putih ulangan 1 diperoleh besar jenir butir sebesar 0,8324. Pada ulangan kedua diperoleh berat pada tiap fraksi yaitu pada fraksi 1 (16 mesh) sebanyak 16,79 gram, fraksi II (18 mesh) sebanyak 19,2 gram, fraksi III (20 mesh) sebanyak 0,01 gram, fraksi IV (30 mesh) sebanyak 17,17 gram, pada fraksi V sebanyak 6,13 gram, dan pada baki terdapat 0,28 gram sehingga pada gula putih ulangan 1 diperoleh besar jenir butir sebesar 0,8684.

Menurut SNI (2010), besar jenis butir (BJB) gula kristal putih pada gula kristal putih 0,8-1,2 mm baik pada mutu 1 maupun mutu 2. Dari data perhitungan, diketahui besar jenis butir gula putih lebih kecil yaitu 0,5289 dan 0,6497. Sedangkan pada gula agak gelap (curah) besar jenis butirnya 0,8324 dan 0,8684. Hal ini dimungkinkan pada gula curah proses pemurnian dilakukan secara

(25)

sederhana, menyebabkan flokulan yang seharusnya dibuang pada saat pemurnian ikut masuk pada saat kristalisasi sehingga ukuran kristal gula lebih besar.

5.2.4 Residu Belerang Oksida (SO2)

Pengamatan residu belerang oksida (SO2) pada gula kristal putih dilakukan

menggunakan dua sampel gue yaitu gula putih (Gulaku) dan gula agak gelap (gula curah). Pengamatan residu belerang ini menggunakan metode titrasi dengan larutan iodin. Dari perhitungan diperoleh bila gula putih memiliki residu belerang oksida sebanyak 0,2025 ppm dan gula curah memiliki residu belerang sebesar 1,2404 ppm. Residu belerang ini merupakan residu yang tertinggal saat penambahan SO2 yang digunakan untuk memurnikan gula (sulfitasi).

Menurut SNI (2010) residu belerang oksida yang boleh terdapat pada gula maksimum 30 mg/kg atau setara dengan 30 ppm. Gula putih (gulaku) dan juga gula curah memiliki residu belerang kurang dari 30 ppm sehingga dapat dikonsumsi langsung. Dari hasil perhitungan diperoleh bisa residu belerang oksida pada gula curah lebih banyak daripada gula putih (Gulaku) sehingga mempengaruhi warna kristal gula. Semakin banyak residu belerang oksida yang tertinggal maka semakin sedikit gas SO2 yang digunakan, sehingga gula yang

(26)

BAB 6. PENUTUP

6.1 Kesimpulan

Berdasarkan praktikum yang telah dilakukan dapat diperoleh kesimpulan sebagai berikut:

1. Derajat brix nira tebu tanpa pengupasan kulit diperoleh nilai lebih tinggi daripada dengan kulit.

2. Derajat brix nira setelah defekasi diperoleh nilai yang kecil daripada derajat brix nira tanpa defekasi baik dengan perlakuan tanpa maupun dengan kulit.

3. Kecerahan gula curah lebih rendah daripada gula putih yang dikemas. 4. Besar Jenis Butir (BJB) gula curah lebih tinggi daripada gula putih yang

dikemas yaitu sebesar 0,8324 pada ulangan 1 dan 0,8684 pada ulangan 2. 5. Residu belerang oksida (SO2) pada gula curah diperoleh nilai yang lebih

tinggi daripada gula putih yang dikemas yaitu 1,2404 ppm.

6.2 Saran

Praktikum selanjutnya sebaiknya bahan dan alat sudah dipersiapkan terlebih dahulu sebelum praktikum sehingga praktikum dapat berjalan secara maksimal dan sesuai dengan jadwal yang ditentukan. Sampel yang digunakan sebaiknya lebih bervariasi atau dari beberapa produk gula kemasan lain sehingga dapat diketahui perbedaan kualitasnya.

(27)

DAFTAR PUSTAKA

Agusandi, A. Supriadi, S. Lestari. 2013. Pengaruh Penambahan Tinta Cumi-Cumi (Loligo Sp) Terhadap Kualitas Nutrisi Dan Penerimaan Sensoris Mi Basah. Jurnal Fishtech Volume II, NO 1.

Andaka, G. 2011. Hidrolisis Ampas Tebu Menjadi Furfural dengan Katalisator Asam Sulfat. Jurnal Teknologi Volume 4 Nomor 2, 180-188.

Anggreini, N. 2008. Pengaruh Dosis Flokulan Terhadap Berat Jenis Endapan Pada Proses Pemurnian Nira Mentah Di Pabrik Gula Kwala Madu. Medan: Universitas Sumatera Utara.

Brata, A. 2014. Pengaruh Konsentrasi Pikloram dan 2,4 D Terhadap Poliferasi Kalus dan Regenerasi Tunas Pada Kultur In Vitro Tanaman Tebu (Saccharum officinarum L.) MT-72 [Skripsi]. Bandar Lampung: Universitas Lampung.

Filianty, F. 2007. Teknik Penghambatan Degradasi Sukrosa Dalam Nira Tebu (Saccharum officinarum) Menggunakan Akar Kawo (Milettia sericeae) Dari Kuli Batang Manggis (Thesis). Bogor: Institut Pertanian Bogor.

Fitri, F. 2008. Pengaruh penambahan Susu Kapur (CAOH)2 dan Gas SO2

Terhadap pH Nira Metah dalam pemurnian Nira di Pabrik Gula Kwala Madu PTP Nusatara II Langkat. Medan: Universitas Sumatera Utara. Kuspratomo, D., Burhan, dan M. Fakhry. 2012. Pengaruh Varietas Tebu,

Potongan dan Penundaan Giling Terhadap Kualitas Nira Tebu. Jurnal Agrointek Volume 6 No. 2.

Legaz, M. Estrella, R. Armas, E. Barriguete, dan C. Vincente. 2000. Binding of Solute Glycoproteins from Sugarcane Juice to Cells of Acetobacter diazotrophicus. J. Internatif Microbiol 3: 177-182.

Misran, E. 2005. Industri Tebu Menuju Zero Waste Industry. Jurnal Teknologi Proses 4(2) Juli 2005:6-10.

Risnojatiningsih, S. 2010. Penggunaan Susu Kapur dari Limbah Gas Acetylen Sebagai Penjernih Nira Mentah. Jurnal Penelitian Ilmu Teknik Vol. 10 No.1. Sari, Y. 2010. Penentuan Kadar Air Pada Produk Sprite Secara Gravimetri dengan Variasi Brix Di PT. Coca-Cola Bottling Indonesia Unit Medan. Medan: Universitas Sumatera Utara.

Standarisasi Nasional Indonesia. 2000. SNI 01-6237-2000: Gula Merah Tebu. Jakarta: Badan Standarisasi Nasional.

(28)

Standarisasi Nasional Indonesia. 2008. SNI 3140.1-2008: Gula Kristal Metah. Jakarta: Badan Standarisasi Nasional.

Standarisasi Nasional Indonesia. 2010. SNI 3140.3-2010: Gula Kristal Putih. Jakarta: Badan Standarisasi Nasional.

Standarisasi Nasional Indonesia. 2011. SNI 3140.2-2011: Gula Kristal Rafinasi. Jakarta: Badan Standarisasi Nasional.

Sukardi, N. 2014. Proses Pemurnian Nira Mentah (Raw Juice) Menjadi Nira Murni (Clear Juice) di PT. PG Gorontalo Unit Tolangohula (Thesis). Gorontalo: Universitas Negeri Gorontalo.

Taringan, B., dan J. Sinulingga. 2006. Laporan Praktek Kerja Lapangan di Pabrik Gula Sei Semayang PTPN II Sumatera Utara (Laporan). Medan: Universitas Sumatera Utara.

Uthami, R. 2011. Analisi Nilai Tambah Tebu di Pabrik Gula Sei Semayang PT. Perkebunan Nusantara II. Medan: Universitas Sumatera Utara.

Warsa, W. 2006. Kajian pengaruh Fouling Pada Pemurnian Nira Tebu. Jurnal Teknik Kimia Vol 1, No 1.

(29)

Lampiran Perhitungan

1. Derajat Brix Nira dan Defekasi a) Nira tebu bersama kulitnya

Rata-rata derajat brix= 17+16,9+173 = 16,97

Rata-data derajat brix setelah defekasi= 10+10+103 = 10 b) Nira tebu yang dikupas kulitnya

Rata-rata derajat brix = 18,2+18+18,13 = 18,1

Rata-data derajat brix setelah defekasi = 10+10+103 = 10 2. Warna (Kecerahan) Gula Kristal Putih

a) Rata-rata A = 54,6+53,0+55,23 = 54,27

b) Rata-rata B = 49,6+49,9+48,53 = 49,33

3. Besar Jenis Butir Gula Kristal Putih

Faktor pengayakan 18 mesh = 7,1 +

10−7,1

(

18−16 20−16

)

x (¿) ¿ = 7,1 + 1,45 = 8,55 a) Jumlah berat sampel A ulangan 1 = 2,31+9,37+0,001+ 23+20,58+4,47 = 59,731 gram

(30)

b) Jumlah berat sampel A ulangan 2 = 5,75+14,57+0,05+ 23,34+14,47+1,63 = 59,81 gram c) Jumlah berat sampel B ulangan 1 = 17,39+17,26+0,09 +17,24+7,12+0,67 = 59,77 gram d) Jumlah berat sampel B ulangan 2 = 16,79+19,2+0,01+ 17,17+6,13+0,28 = 59,58 gram

e) Besar Jenis Butir (BJB) A Ulangan 1

= Jumlah beratBerat x 100 x faktor ayakan - Fraksi I (16 mesh) = 2,31 x 10059,731 x 7,1 = 27,46

- Fraksi II (18 mesh) = 9,37 x 10059,731 x 8,55 = 134,12 - Fraksi III (20 mesh) = 0,001 x 10059,731 x 10 = 0,017

(31)

- Fraksi IV (30 mesh) = 23 x 10059,731 x 14,1 = 542,93 - Fraksi V (50 mesh) = 20,58 x 10059,731 x 24 = 826,91 - Fraksi VI (baki) = 4,47 x 10059,731 x 48 = 359,21

- Jumlah = 27,46+134,12+0,017+542,93+826,91+359,21 = 1890,647

- Besar Jenis Butir = 1890,647100 x 10 mm = 0,5289

f) Besar Jenis Butir (BJB) A Ulangan 2 = Berat x 100 Jumlah be rat x faktor ayakan - Fraksi I (16 mesh) = 5,75 x 10059,81 x 7,1 = 68,26 - Fraksi II (18 mesh) = 14,57 x 10059,81 x 8,55 = 208,28

- Fraksi III (20 mesh) = 0,05 x 10059,81 x 10 = 0,84 - Fraksi IV (30 mesh) = 23,34 x 10059,81 x 14,1 =

550,23

- Fraksi V (50 mesh) = 14,47 x 10059,81 x 24 = 580,64

(32)

- Fraksi VI (baki) = 1,63 x 10059,81 x 48 = 130,81 - Jumlah =

68,26+208,28+0,84+550,23+580,64+130,81 = 1539,06

- Besar Jenis Butir = 1539,06100 x 10 mm = 0,6497

g) Besar Jenis Butir (BJB) B Ulangan 1

= Jumlah beratBerat x 100

x faktor ayakan - Fraksi I (16 mesh) = 17,39 x 10059,77 x 7,1 = 206,57

- Fraksi II (18 mesh) = 17,26 x 10059,77 x 8,55 = 246,90 - Fraksi III (20 mesh) = 0,09 x 10059,77 x 10 = 1,506 - Fraksi IV (30 mesh) = 17,24 x 10059,77 x 14,1 = 406,699 - Fraksi V (50 mesh) = 7,12 x 10059,77 x 24 = 285,896 - Fraksi VI (baki) = 0,67 x 10059,77 x 48 = 53,806

- Jumlah = 206,57+246,90+1,506+406,699+285,896+53,806 = 1201,377

- Besar Jenis Butir = 1201,377100 x 10 mm = 0,8324

h) Besar Jenis Butir (BJB) B Ulangan 2

(33)

= Jumlah beratBerat x 100

x faktor ayakan - Fraksi I (16 mesh) = 16,79 x 10059,58 x 7,1 = 200,08

- Fraksi II (18 mesh) = 19,2 x 10059,58 x 8,55 = 275,53 - Fraksi III (20 mesh) = 0,01 x 10059,58 x 10 = 0,1678 - Fraksi IV (30 mesh) = 17,17 x 10059,58 x 14,1 = 406,34 - Fraksi V (50 mesh) = 6,13 x 10059,58 x 24 = 246,93 - Fraksi VI (baki)= 0,28 x 10059,58 x 48 = 22,56

- Jumlah = 200,08+275,53+0,1678+406,34+246,93+22,56 = 1151,608

- Besar Jenis Butir = 1151,608100 x 10 mm = 0,8684

4. Residu belerang Oksida (SO2)

Diketahui:

Vol Tiosulfat = 2,5 ml

v = 0,5 ml (Titran ml blanko) t = 1,3 ml (Titran ml Gulaku)

= 5,4 ml (Titran ml Gula curah)

40 ml iod (1 ml = 0,2025 mg SO2) memerlukan 2,5 ml Tio

Maka jumlah yang diperlukan = 2,5 x 0,2025 = 0,50625 mg Jadi 1 ml setara 0,50625 mg/40 ml = 0,01266 mg SO2

a) Kadar SO2 (ppm) Gulaku =

(t−v ) x 0,01266 x 1000 µg/ g SO 2 berat contoh(g)

(34)

= (1,3−0,5) x 0,01266 x 1000 µg/ g SO 250,01

= 0,8 x 0,01266 x 1000 µg/g SO 250,01

= 10,12850,01 = 0,2025 ppm

b) Kadar SO2 (ppm) Gula curah =

(t−v)x 0,01266 x 1000 µg / g SO 2 berat contoh(g) = (5,4−0,5 ) x 0,01266 x 1000 µg/g SO250,01 = 4,9 x 0,01266 x 1000 µg/ g SO 250,01 = 62,03450,01 = 1,2404 ppm

(35)

Lampiran Gambar

No Gambar Keterangan

1. Nira tebu yang diekstraksi bersama

kulitnya untuk digunakan dalam pengukuran derajat brix

2. Nira tebu yang diekstraksi tanpa

kulitnya untuk digunakan dalam pengukuran derajat brix

3. Hand refraktometer untuk

mengukur derajat brix nira

4. Ayakan yang digunakan pada

pengukuran besar jenis butir (BJB)

5. Pengadukan gula pada beaker glass

menggunakan spatula untuk digunakan dalam analisa residu belerang oksida

(36)

6. Gula yang telah homogen dan digunakan dalam analisa residu belerang oksida

7. Titrasi untuk analisa residu

belerang oksida

8. Hasil dari titrasi dalam analisa

Gambar

Tabel 1. Komponen-komponen yang terdapat dalam batang tebu
Tabel 2. Syarat Mutu Nira
Tabel 3. Syarat Mutu Gula Kristal Putih
Tabel 5. Syarat Mutu Gula Kristal Rafinasi
+2

Referensi

Dokumen terkait

Berdasarkan permasalahan di atas, maka tujuan yang ingin dicapai dalam penelitian ini sebagai berikut. 1) Mengetahui proses produksi gula kristal putih pada Pabrik

Jadi pada potensiometri tidak menggunakan indikator yang menyebabkan perubahan warna, tetapi menggunakan elektroda untuk mengukur perubahan potensial dari suatu

Angka rendemen yang digunakan untuk menghitung hasil di pabrik gula adalah rasio antara hasil gula kristal (hablur) dengan bobot tebu yang digiling disebut rendemen nyata (Anonim,

Tabel 4.13 Identifikasi Produk Akhir Gula Kristal Putih

Asal Kabupaten Luas Panen (Ha) Jumlah Tebu yang Digiling (Ton) Produktivitas Tebu yang Digiling (Ton/Ha) Rendemen (%) Jumlah Gula Kristal Putih Hasil Giling

Alat yang dipakai untuk mengukur absorban larutan standar dan sampel adalah spektrofotometer UV-Vis, karena panjang gelombang yang digunakan adalah 430 nm..

Hasil yang berbeda untuk sampel yang sama baik untuk kadar gula total maupun gula pereduksi disebabkan karena metode ini baik digunakan untuk menentukan

farm bagi petani tebu. Pada akhir tahun 2009 terjadi kekurangan stok gula domestik. Menanggapi hal ini pemerintah memutuskan untuk melakukan impor gula kristal putih