BAB V PENUTUP
Dalam bagian ini, akan di buat kesimpulan dari pembahasan bab 1 sampai
dengan bab 4 serta saran-saran.
5.1. Kesimpulan
Teologi pluralisme agama memang ”simpatik” karena ingin membangun teologi yang terdengar amat toleran, ”semua agama sama-sama benar. Semua agama menyelamatkan”. Walaupun demikian teologi pluralisme
agama pada dasarnya menyangkali iman Kristen sejati yang kembali pada Alkitab. Orang yang percaya pada teologi pluralisme agama biasanya tidak
benar-benar mendasarkan pandangannya atas dasar kitab suci agama yang dianutnya atau tidak benar-benar berteologi berdasarkan sumber utama (kitab suci). Jika kita benar-benar jujur membaca kitab suci agama-agama maka akan
menemukan klaim-klaim eksklusif yang memang tidak bersifat saling melengkapi tetapi saling bertentangan. Sebagai contoh: Buddhisme tidak
percaya pada kehidupan kekal (surga) sebagai tempat bersama Allah. Buddhisme percaya pada Nirwana dan Reinkarnasi. Hal ini tentu bertentangan dengan konsep Kristen yang percaya surga dan neraka. Bahkan jika kita
Kaum Pluralis menilai bahwa teologi Kristen selama ini adalah keliru
atau paling tidak sangat sempit. Oleh sebab itu mereka berusaha untuk merekontruksi ulang teologi Kristen, yang menurut mereka selama ini
Injil-injil dan teologi Kristen tidak dirumuskan dalam konteks keberagaman agama, sehingga tidak relevan untuk kebutuhan gereja dalam bersosialisasi di tengah-tengah umat manusia yang beragam kepercayaan. Selain itu, mereka juga
beranggapan bahwa teologi Kristen selama ini sangat arogan dan sempit, serta sarat dengan muatan eksklusivisme. Oleh karena itu, kaum pluralis sangat
bersemangat merumuskan teologi Kristen dalam pemahaman yang baru mengenai iman dan kemajemukan iman.
Dalam upaya menafsir ulang teologi Kristen, maka hal pertama yang mereka lakukan adalah menolak dan membuang doktrin-doktrin utama yang fundamental demi tujuan mencapai persatuan dan kesatuan agama-agama.
Doktrin utama yang ditolak oleh kaum pluralis ialah isu Kristologi yang merupakan salah satu isu yang paling penting dalam teologi Kristen,
keseluruhan doktrin sangat bergantung pada pemahan yang benar terhadap kristologi yang Alkitabiah, sebab tidak dapat dipungkiri bahwa tegaknya pemahaman tentang Yesus yang benar akan menopang keseluruhan konsep
iman orang Kristen.
Selama berabad-abad, Alkitab, khususnya Perjanjian Baru, menjadi
sumber penting untuk mempelajari Kristologi (ilmu yang mempelajari tentang siapa Yesus Kristus). Bahkan pada abad ke-16 tokoh-tokoh reformasi seperti M. Luther menyerukan otoritas Alkitab sebagai satu-satunya otoritas tertinggi
yang kita kenal dengan istilah Sola Scriptura. Istilah lain yang penting
berkenaan dengan otoritas Alkitab adalah kanon Alkitab. Ini berarti bahwa Alkitab adalah pengukur, di mana segala etika dan doktrin diukur dari
pengajaran Alkitab. Namun dua abad kemudian, pada akhir abad 18 seiring dengan masa pencerahan (enlightenment), di mana rasio manusia begitu dijunjung tinggi lebih dari sepatutnya, maka pernyataan-pernyataan Alkitab
yang telah diterima selama berabad-abad mulai diganggu gugat dan dicoba dibongkar sampai ke akar-akarnya. Hal yang sama dilakukan untuk doktrin
Kristologi. Jadi, Yesus Kristus yang telah diakui dan diterima sebagai Allah, oknum kedua Tritunggal juga digugat dan dicoba ditafsirkan ulang.
Bagi kaum pluralis hanya Allah saja yang menjadi fondasi final, bukan Kristus. Sikap pluralisme ini mengedepankan keberagaman dan keunikan agama-agama melebihi berita inti dari kesaksian Injil-Injil dan kesaksian iman
dari surat-surat rasuli. Di Yoh. 1ι:3, Tuhan Yesus berkata, “Inilah hidup yang kekal itu, yaitu bahwa mereka mengenal Engkau satu-satunya Allah yang benar, dan mengenal Yesus Kristus yang telah Engkau utus”. Dengan
demikian dapat dinyatakan bahwa kesaksian Injil tentang “hidup kekal” (keselamatan) yang secara hakiki tidak dapat dilepaskan dari iman kepada
Kristus merupakan kesaksian iman yang partikular dan singular. Pengakuan iman dan kesaksian Injil-Injil atau surat-surat rasuli tentang iman kepada
Kristus tidak boleh direlativir hanya karena orang menghadapi fakta kemajemukan agama-agama.
Jika dibaca dan diamati dengan seksama tulisan dan pandangan
Pertama, bahwa dari banyak penelitian atau tulisan yang dilakukan
oleh teolog-teolog tertentu, khususnya kaum pluralis, sesungguhnya tidak menjelaskan tentang siapa Yesus. Tulisan-tulisan mereka (para peneliti
tersebut) lebih banyak menggambarkan pandangan mereka sendiri daripada diri Yesus. Kedua, merupakan suatu keanehan yang dilakukan oleh teolog-teolog ketika mereka memisahkan Yesus sejarah dari Kristus yang diimani.
Adalah merupakan fakta yang tidak dapat disangkali bahwa para penulis Alkitab menulis kembali kehidupan Yesus setelah kebangkitan Yesus, bukan
sebelumnya. Akan tetapi hal tersebut tidak harus dipahami seolah-olah para penulis Alkitab menciptakan sendiri ucapan, karya dan kehidupan Yesus tanpa
fakta sejarah. Adalah benar bahwa pada saat membaca Perjanjian Baru, di sana akan ditemukan tulisan-tulisan yang diwarnai oleh iman kepercayaan kepada Yesus Kristus yang bangkit. Apakah hal itu salah? Dan lagi, apakah
kita dapat menuntut para rasul untuk menulis atau mengkhotbahkan bahwa Yesus seolah-olah tidak bangkit? Apakah itu mungkin? Dan juga, jika Yesus
tidak bangkit, apakah kita dapat membayangkan adanya Injil tersebut? Apa yang akan mereka tuliskan? Iman seperti apa yang mau mereka bagikan?
Jika orang Kristen tidak bisa mempercayai tulisan-tulisan para rasul
yang nota bene merupakan murid-murid Yesus sendiri, lalu tulisan siapa lagi yang akan kita percayai? Apakah logis untuk menerima `Yesus sejarah'nya
para ahli dan menolak Yesusnya para rasul? Bukankah mereka itu telah hidup bersama Yesus, mendengar sabda-Nya dan menyaksikan sendiri karya-karya-σyaρ Mari kita perhatikan pernyataan berikut: "…Apa yang telah kami
yang telah kami raba dengan tangan kami… itulah yang kami tuliskan
kepadamu (1Yoh.1:1). Kisah dan kuasa Yesus di dalam Alkitab adalah dongeng? Pernyataan itulah yang dilawan oleh Alkitab itu sendiri: "Sebab
kami tidak mengikuti dongeng-dongeng dan isapan jempol manusia…tetapi kami adalah saksi mata" (2Pet.1:16). Para rasul subjektif dan tidak objektif menuliskan Yesus yang sesungguhnya? Sekiranya tuduhan itu benar, maka
itulah gambaran terbaik dan terlengkap dari Yesus sejarah yang pernah kita miliki.
Dari analisis di atas, jelaslah bahwa sekalipun maksud, motivasi, dan semangat persatuan kaum pluralis adalah maksud yang mulia, tetapi untuk
mencapai tujuan itu kaum pluralis seolah menghalalkan segala cara, termasuk mereduksi imannya. Hal ini sesungguhnya tidak harus terjadi.
5.2. Saran
Mencermati gagasan kaum pluralis mengenai visi pluralisme agama
tersebut, seharusnya orang Kristen terhenyak dan bangun dari tidur panjangnya, karena visi ini sebenarnya lahir dari suatu keprihatinan, kepedulian dan kerinduan untuk terwujudnya persatuan antar umat manusia di
dunia ini. Memang tampak banyak kelemahan dalam penguraian dan perkembangannya, namun bukan berarti tidak ada yang dapat dipelajari dari
proposal kaum pluralis tersebut. Maka dalam bagian ini penulis ingin memberikan beberapa saran bagi pembaca antara lain sebagai berikut:
1. Bagi orang Kristen, perlu dipikirkan lebih lanjut dari kiprah kaum pluralis
diwujudkan, tentu saja dengan cara Kristen. Kini sudah bukan saatnya lagi
bagi Kristen untuk terus membungkus dirinya dengan isolasi-isolasi partikularis yang membangun tembok-tembok arogansi serta merasa benar
sendiri. Tetapi justru dalam era keterbukaan ini, Kristen perlu terus membangun jembatan dan keterbukaan, tanpa mengkompromikan dan mereduksi kebenaran firman Tuhan yang berotoritas itu.
2. Bagi kalangan partikularis/eksklusivis, untuk turut berkiprah di dalam dunia teologi agama dan memberikan sumbangsihnya. Alternatif lain yang
mampu memelihara motivasi untuk hidup bersama dengan harmonis dan sambil memelihara keyakinan-keyakinan sentral dari agama-agama
tersebut sangatlah dinantikan
3. Bagi gereja, bahwa gereja terpanggil untuk mengakui keyakinan iman terhadap kebenaran dalam Kristus sebagai kebenaran final. Dengan
demikian gereja tidak mudah diombang-ambingkan oleh pengajaran-pengajaran yang tidak berasal dari Alkitab dan gereja dapat menempatkan
diri sedemikian rupa dalam membangun relasi dengan umat beragama lain 4. Penulis menyadari bahwa dalam penulisan ini masih banyak kekurangan-kekurangan. Oleh karena itu, penulisan ini sangat terbuka bagi masukan