• Tidak ada hasil yang ditemukan

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Peran Agama-Agama dalam Nation Building Menurut Soekarno T1 712012037 BAB IV

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Peran Agama-Agama dalam Nation Building Menurut Soekarno T1 712012037 BAB IV"

Copied!
5
0
0

Teks penuh

(1)

4. Analisis Hasil Penelitian: Peran Agama-agama dalam Nation Building di Indonesia

Berdasarkan pemaparan mengenai teori agama dari Moojan Momen di

bagian dua maka penulis hendak menganalisis pidato Soekarno, dalam kaitannya

dengan konsep nation building yang diungkapkannya yaitu membangun karakter berketuhanan, membangun karakter sosialis dan membangun karakter nasionalis.

Dari enam bentuk kemungkinan relasi agama dengan negara yang telah dijelaskan

di bagian dua, pemikiran Seokarno berisi konsep relasi agama – negara Indonesia

sebagai masyarakat multi religius.

Konsep ini tidak serta merta lahir dalam pemikiran Soekarno, melainkan

sebagai endapan pengalaman dan pandangan hidupnya. Perjuangan merebut

kemerdekaan dimana semua orang yang terlibat berasal dari latar belakang

spiritual – keagamaan yang berbeda menjadi pengalaman Soekarno. Kultur Jawa

dimana Soekarno lahir dan besar secara perlahan menyuntikkan pandangan hidup

padanya. Pertemuan Soekarno dengan agama-agama Timur yang non-monoteistik

pun turut memperkaya Soekarno.1 Taufik Adi Susilo, mengutip Clifford Geertz, mengatakan bahwa gaya religius Soekarno adalah gayanya sendiri.2 Gaya religius

itulah yang dinampakkan oleh Soekarno pada sila pertama dari Pancasila sebagai

upaya merangkum visi agama-agama di Indonesia sekaligus pengakuan akan

kemajemukannya. Konsep masyarakat multi religius ini dengan segera menampik

kecenderungan hadirnya relasi agama dominan, dimana satu agama tertentu

mendominasi di negara Indonesia. Dalam hal persentase pemeluk, dominasi

jumlah adalah hal yang niscaya namun dalam hal pengambilan kebijakan negara

tidak boleh didominasi oleh agama.

Perlu diperhatikan bahwa Soekarno memandang “Islam” lebih sebagai satu elemen dalam perjuangan antikolonial, sebuah energi politik pembebasan

bukan sebagai sumber gagasan.3 Ketika ia berbicara tentang “Islamisme” dalam risalahnya “Nasionalisme, Islamisme, dan Marxisme”, yang diuraikannya

1

Susilo, Soekarno: Biografi, 64.

2

Susilo, Soekarno: Biografi, 63.

3

(2)

terutama bukan pandangan yang ditarik dari Al Quran dan Hadist. Ia lebih banyak

menujukkan semangat pemikiran Jamaluddin al-Afghani, yang menurutnya ‘pertama-tama membangun rasa-perlawanan di hati sanubari rakyat-rakyat Muslim terhadap imperialisme Barat.”4

Jelas di sini bahwa Soekarno

menggunakan agama untuk melegitimasi perang, yakni perang melawan

imperilasme Barat. Pelegitimasian tersebut berlangsung dengan cara memasukkan

agama ke dalam kerangka nasionalisme dan redefinisi agama dari sumber gagasan

menjadi sumber energi peperangan.

Soekarno, ketika berbicara mengenai nation building, tentu berbicara dari perspektif keislaman sebagai agama yang dianut dan didalami oleh beliau.

Agama-agama lain, baik itu yang monoteisme atau politeisme, yang sudah diakui

negara atau yang belum diakui, juga tentu memiliki konsep relasi antara agama

dan negara (pemerintah), soal bagaimana kehadiran agama dapat berdampak bagi

kehidupan bangsanya. Kekristenan misalnya, sebagaimana yang diwakili oleh T.B

Simatupang memiliki hal tersebut.5

Menurut Simatupang, hakikat dan tugas Gereja harus dilihat dalam bingkai

rencana Allah, yang di dalam Kristus telah menjadikan semuanya baru, walaupun

pembaruan total itu masih menunggu manifestasinya yang penuh pada akhir

zaman.6 Pada waktu di antara kedatangan pertama dan kedatangan kedua Kristus itulah Gereja terpanggil untuk memproklamasikan pembaruan dan penyelamatan

dalam Kristus untuk mengambil bagian dalam transformasi dunia dan pembaruan

sejarah. Ini berarti bahwa dalam terang pengharapan akan pembaruan total dalam

Kristus itu, orang-orang Kristen harus turut serta terus-menerus membarui dan

menyempurnakan peri kehidupan masyarakat. Untuk itu, maka peri kehidupan

Gereja sendiri harus diperbaharui terus menerus di bawah bimbingan Roh Kudus.

4Mohammad, “Pengantar”,

xxiv.

5

Tahi Bonar Simatupang adalah tokoh agama Kristen di Indonesia dan karya literaturnya terkait keberadaan serta peran kekristenan di Indonesia sangat banyak, misalnya: buku Iman Kristen dan Pancasila (1984); Kehadiran Kristen dalam Perang, Revolusi dan Pengembangan: Berjuang Mengamalkan Pancasila dalam Terang Iman (1986). Pria dari Sidikalang, Sumatera Utara ini hidup dari 28 Januari 1920 hingga Januari 1990. Ia pernah menjabat Ketua Dewan Gereja-Gereja di Indonesia (1959-1984), Ketua Dewan Gereja-Gereja se-Asia dan Ketua Dewan Gereja-Gereja se-Dunia.

6 T.B Simatupang, “Tugas “Kaum Awam” di Bidang Politik” dalam Dari Revolusi ke

(3)

Pembaruan itu menjadi mutlak sebab Gereja hidup ditengah – tengah bangsa yang sedang membangun, dimana di dalamnya terdapat unsur modernisasi, urbanisasi,

industralisasi bahkan sekulerisasi.

Harus diingat bahwa ketika orang Kristen berpartisipasi dalam bidang

politik dan pemerintahan tidak selalu untuk membela kepentingan orang-orang

Kristen melainkan agar potensi umat Kristen berupa tenaga, daya juang kritis dan

kreatif, pemikiran politik yang berdasarkan pandangan Kristen mengenai manusia,

masyarakat, sejarah dan negara, dapat disumbangkan sepenuhnya kepada

perkembangan negara dan masyarakat. Dalam hal ini, Gereja tetap menjadi Gereja

bukan menjadi partai politik atau sebaliknya, partai politik menjadi Gereja.

Soekarno sebagai pemikir, negarawan sekaligus juga sebagai politikus,

memikirkan nasib bangsanya yang dengan jumlah penduduk amat besar tetapi

dapat dijajah oleh suatu bangsa yang jumlah penduduknya jauh lebih kecil.

Penjajahan inilah yang kemudian menghambat perkembangan bangsa Indonesia di

berbagai aspek kehidupannya. Ia sadar betul, sekali pun dalam keadaan terjajah,

bangsa Indonesia tetap hidup dalam kereligiusitasan yang kemudian

mempengaruhi cara pandangnya akan dunia ini. Islam, sebagai agama dengan

pemeluk agama terbanyak di Indonesia, yang juga merupakan agama Soekarno

menjadi perhatian khususnya. Hal ini dapat dilihat dari tulisan-tulisannya seperti

Surat-surat dari Endeh; Tidak Percaya Bahwa Mirza Gulam Ahmad adalah Nabi; Tabir adalah Lambang Perbudakan; Me – “Muda’ – kan Pengertian Islam; Apa Sebab Turki Memisah Agama dari Negara; Masyarakat Onta dan Masyarakat Kapal Udara; dan Islam Sontoloyo. 7

Dalam pergumulannya soal relasi agama dan negara, Soekarno tiba pada

dua poin kesimpulan yaitu: pertama, agama dan negara harus dipisahkan namun

negara tidak menolak keberadaan agama di Indonesia. Kedua,

agama-agama harus membaharui dirinya agar keberadaannya relevan dengan konteksnya

di masa kini. Demi menjelaskan kesimpulan tersebut, Soekarno menjadikan

negara Turki Muda atau Turki Modern di bawah pemerintahan Kamal Ataturk

7Semua tulisan ini dituliskan dengan lengkap dalam buku Soekarno berjudul “Di Ba

wah

(4)

sebagai contoh. Turki modern, bagi Soekarno, adalah Turki yang “anti kolot”, anti soal-soal lahir dalam ibadat, tetapi tidak anti agama.8 Dengan memisahkan agama dengan negara maka agama akan tetap memiliki pengaruh bagi negara.

Sebaliknya, jika agama dan negara tidak dipisahkan, hal yang akan terjadi ialah

agama kehilangan pengaruhnya karena diikat oleh rantai politik pemerintah.

Negara, dalam hal ini pun, akan merdeka dari ikatan anggapan-anggapan agama

yang jumud yakni hukum tradisi dan paham-paham agama yang “kolot” yang sebenarnya bertentangan dengan jiwa sejati agama itu. Konsep ini, menurut

Soekarno relevan dengan negara yang menganut sistem demokrasi seperti

Indonesia. Perwakilan-perkalian rakyat dapat memasukkan segala macama “keagamaannya” ke alam tiap-tiap tindakan negara, ke dalam tiap undang-undang yang dipakai di dalam negara, ke dalam tiap-tiap politik yang dilakukan oleh

negara.9

Cinta tanah air yang kemudian terwujud dalam partisipasi pembangunan bangsa bukanlah dosa “ashabiyah” sebagaimana pendapat kaum “Muhammadiyah

tua”.10

Menurut Seokarno, umat Islam dapat berkontribusi optimal di

tengah-tengah bangsa ini, maka sangat perlu pemahaman keagamaan Islami dimudakan

(dibaharui). Pembaruan itu ditempuh melalui penyelidikan dan pengoreksian

terhadap paham – paham kegamaan yang menempatkan rasionalitas sebagai

prasyarat. Hal ini sangat perlu bagi setiap agama, mengingat ajaran-ajaran

keagamaan lahir pada waktu dan konteks yang berbeda dengan waktu dan konteks penganutnya di masa kini. Ajaran-ajaran keagamaan telah “membeku” pada zamannya sedangkan masyarakat terus mengalami perkembangan baik dengan

cara evolusi mau pun revolusi. Berbicara soal pembaruan, tidak berarti bahwa

agama harus dicabut dari akarnya. Pembaruan yang dimaksudkan ialah sebuah

upaya beragama yang baru, yakni dengan rasionalisme. Dari upaya merasionalkan

pemahaman keagamaan inilah terbuka pintu bagi terciptanya konsep

8

Soekarno, “Jangan Sekali-kali, 453.

9Soekarno, “Jangan

Sekali-kali, 456.

10Soekarno, “Me –“Muda” –Kan Pengertian Islam” dalam Di Bawah Bendera Revolusi

Jilid I (Jakarta: Yayasan Bung Karno dan Penerbit Media Pressindo, 2005), 413. Kata ashabiyah

adalah sifat dari kata “ashabah” dalam bahasa Arab yang berarti kerabat atau dari pihak bapak.

(5)

keberagamaan yang baru. Konsep keberagamaan tersebut ialah konsep

keberagamaan Pancasila yang lahir dari hasil dinamisasi sosial bangsa Indonesia

terhadap keragaman budaya mereka.11 Di sini letak fungsi agama yang berbeda dari apa yang dikemukan oleh Momen dalam teorinya. Agama, oleh Soekarno

tidak hanya berfungsi untuk melegitimasi kekuasaan dan otoritas pemerintah, struktur sosial atau perang tetapi juga menjadi salah satu “bahan baku” ideologi baru yaitu Pancasila di samping Nasionalisme dan Sosialisme.

Konsep keberagamaan Pancasila inilah yang kemudian menjadi civil religion-nya” bangsa Indonesia. Di sinilah puncak peran agama-agama dalam

nation building menurut Soekarno yakni membangun karakter-karakter bangsa yang sesuai dengan civil religion-nya. Civil religion bukanlah tandingan bagi agama-agama yang telah ada di Indonesia sebab ia bukanlah agama yang

sesungguhnya seperti praktik religiu yang ada, ia merembes ke dalam

agama-agama atau tradisi-tradisi konvensional.12 Teologi sipil tidak menghalangi kesetiaan seseorang pada tradisi konvensionalnya sebab ia dituntun oleh kesetiaan

lain, yang hasilnya tercipta sebuah kesetiaan pada apa pun yang ditujukan bagi

keterbukaan sejati dlam lingkup budaya dan sekitarnya. Dengan menganut agama

masing-masing lalu menganut Pancasila sebagai civil religion, bangsa Indonesia

mampu berkontribusi nyata dan optimal dalam upaya nation building di negeri tercinta ini.

11

John A. Titaley, Religiositas di Alinea Tiga (Salatiga: Satya Wacana University Press, 2013), 153.

12

Referensi

Dokumen terkait

Tengah dalam artian surat kabar ini telah hidup dan besar bersama gerak dan dinamika masyarakat Jawa Tengah. Oleh karena itu, strong point pemberitaan dan kebijakan redaksional

Pada saat tanggapan, pihak yang ingin menanggap Kesenian Tari Dolalak juga harus menyediakan sesaji yang terdiri dari ingkung bakar, degan/kelapa muda, minyak wangi

Observasi dilakukan selama proses wawancara berlangsung, dari hasil observasi dapat diketahui bahwa subjek merupakan seorang perempuan muda berumur 22 tahun. Subjek

Sebelum dialog antara Pilatus dan Yesus, maka sudah ada tuduhan-tuduhan yang dilontarkan oleh para sidang yang hadir pada saat itu di mana tuduhan-tuduhan ini yang

Pasukan Indonesia mendapat tugas dari Soedirman untuk menguasai jalan besar yang menghubungkan Ambarawa dan Semarang.. Pada pukul 16.00 telah ada laporan bahwa mereka

Lalu pada Desember 1999, Rehobot Publishing menambah satu buku renungan harian yang bersegmentasi bagi anak muda yakni, Future Generation (FG).. Tujuan dibentuknya

Pada tahun 1971, hubungan antara surat kabar dan partai politik Katolik semakin meningkat, sementara pemerintah berusaha memperkecil loyalitas primordial antara keduanya.Dua

Petani untuk mendapatkan pupuk urea, sp-36, ZA, Pupuk Petro Organik melalui penyusunan RDKK (Rencana Definitif Kebutuhan Kelompok Tani), yaitu rencana kebutuhan sarana