• Tidak ada hasil yang ditemukan

LAMPIRAN PERATURAN DEWAN PERWAKILAN DAERAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 04 TAHUN 2014 TENTANG PEDOMAN PELAKSANAAN PEMBERIAN

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "LAMPIRAN PERATURAN DEWAN PERWAKILAN DAERAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 04 TAHUN 2014 TENTANG PEDOMAN PELAKSANAAN PEMBERIAN"

Copied!
79
0
0

Teks penuh

(1)

DEWAN PERWAKILAN DAERAH REPUBLIK INDONESIA

LAMPIRAN

PERATURAN

DEWAN PERWAKILAN DAERAH

REPUBLIK INDONESIA

NOMOR 04 TAHUN 2014

TENTANG

PEDOMAN PELAKSANAAN PEMBERIAN

PERTIMBANGAN DPD RI TERHADAP RUU TENTANG

ANGGARAN PENDAPATAN BELANJA NEGARA

JAKARTA

2014

(2)

DAFTAR ISI

PEDOMAN PELAKSANAAN PEMBERIAN PERTIMBANGAN DPD RI

TERHADAP RUU TENTANG

ANGGARAN PENDAPATAN DAN BELANJA NEGARA

DAFTAR ISI ... . I

BAB I PENDAHULUAN ... 1

A. Umum ... 1

B. Maksud dan Tujuan ... 2

C. Dasar Hukum ... D. Ruang Lingkup ... 2 2 BAB II TUGAS DAN WEWENANG DPD RI DALAM PEMBERIAN PERTIMBANGAN TERHADAP RUU APBN ... 4

BAB III PERENCANAAN DAN PENGANGGARAN APBN ... 7

A. Sekilas APBN ... 7

B. Siklus APBN ... 10

C. Perencanaan ... 13

D. Penganggaran dan Penetapan APBN ... 18

E. Pelaksanaan dan Pelaporan APBN ... 23

F. Pemeriksaan dan Pertanggungjawaban APBN ... 23

G. Anggaran Daerah Dalam APBN ... 25

BAB IV PELAKSANAAN FUNGSI DPD RI DALAM PEMBERIAN PERTIMBANGAN TERHADAP KERANGKA EKONOMI MAKRO DAN POKOK-POKOK KEBIJAKAN FISKAL SERTA DANA TRANSFER DAERAH ... 32

A. Input (Masukan Informasi) ... 32

B. Proses Pembahasan dan Keluaran ... 33

C. Pengesahan dan Tindak Lanjut ... 37

D. Publikasi ... 38

BAB V PELAKSANAAN FUNGSI DPD RI DALAM PEMBERIAN PERTIMBANGAN TERHADAP RUU TENTANG APBN ... 42 A. Input (Masukan Informasi) ... 42

B. Proses Pembahasan dan Keluaran ... 42

C. Pengesahan dan Tindak Lanjut ... 45

(3)

BAB VI PELAKSANAAN FUNGSI DPD RI DALAM PEMBERIAN PERTIMBANGAN

TERHADAP RUU TENTANG PERUBAHAN APBN ... 49

A. Input (Masukan Informasi) ... 49

B. Proses Pembahasan dan Keluaran ... 49

C. Pengesahan dan Tindak Lanjut ... 52

D. Publikasi ... 52

BAB VII PELAKSANAAN FUNGSI DPD RI DALAM PEMBERIAN PERTIMBANGAN TERHADAP RUU TENTANG PERTANGGUNGJAWABAN ATAS PELAKSANAAN APBN ... 57 A. Input (Masukan Informasi) ... 57

B. Proses Pembahasan dan Keluaran ... 58

C. Pengesahan dan Tindak Lanjut ... 60

D. Publikasi ... 60

BAB VIII DUKUNGAN KEAHLIAN DAN ADMINISTRATIF PELAKSANAAN FUNGSI DPD RI DALAM PEMBERIAN PERTIMBANGAN TERHADAP RUU TENTANG APBN ... 65 BAB IX PENUTUP ... 67

BAB X LAMPIRAN ... 68

A. Rancangan Umum Agenda dan Jadwal DPD Terkait Proses Perencanaan dan Anggaran (APBN) ... 68

B. Flowchart Pertimbangan DPD terhadap RUU APBN, RUU APBN Perubahan dan RUU Pertanggungjawaban APBN ... 71

(4)

1

BAB I PENDAHULUAN

A. Umum

Dewan Perwakilan Daerah merupakan Lembaga Negara dalam cabang kekuasaan legislatif yang dibentuk berdasarkan amandemen UUD NRI Tahun 1945. Mandat kontitusional DPD RI termaktub pada Pasal 22C, Pasal 22D, Pasal 23, Pasal 23E, dan Pasal 23F Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yaitu meliputi fungsi legislasi, pengawasan, dan penganggaran.

Pasal 22D ayat (2) dan Pasal 23 ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 mengamanatkan salah satu fungsi DPD yaitu memberikan pertimbangan kepada DPR atas RUU tentang Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (RUU APBN), selain RUU lainnya yang berkaitan dengan pajak, pendidikan, dan agama. Pasal 23 Ayat (2) menegaskan bahwa rancangan undang-undang anggaran pendapatan dan belanja negara diajukan oleh Presiden untuk dibahas bersama Dewan Perwakilan Rakyat dengan memperhatikan pertimbangan Dewan Perwakilan Daerah.

Pemberian pertimbangan terhadap RUU APBN sendiri merupakan produk yang secara rutin telah dihasilkan oleh DPD melalui Komite IV. Namun demikian, pemberian pertimbangan dimaksud masih berdasarkan aturan internal yang disusun oleh Komite IV dan belum menjadi standar kelembagaan DPD.

Dalam rangka memperkuat pelaksanaan fungsi tersebut, diperlukan penguatan aturan dengan menstandardisasi pedoman pelaksanaan pemberian pertimbangan terhadap RUU APBN menjadi Keputusan DPD. Aturan standar ini penting untuk menjamin kualitas proses dan hasil penyusunan APBN dilaksanakan secara terbuka dan bertanggung jawab untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat sebagaimana amanat UUD NRI Tahun 1945.

Penyusunan pedoman ini semakin penting karena DPD terus berupaya melakukan optimalisasi pelaksanaan fungsi penganggaran pada setiap komite. Hal ini diharapkan dapat mempertajam dan memperkuat subtansi pertimbangan DPD khususnya dalam

(5)

2

memperjuangkan aspirasi daerah (menyangkut dana perimbangan, transfer daerah/desa) di dalam APBN.

B. Maksud dan Tujuan

Pedoman pelaksanaan pemberian pertimbangan DPD RI terhadap RUU APBN ini diharapkan dapat menyajikan gambaran umum proses pemberian pertimbangan terhadap RUU APBN berdasarkan ketentuan perundang-undangan. Pedoman ini juga memuat mekanisme dan tata cara pemberian pertimbangan terhadap RUU APBN sebagai pegangan DPD RI.

Dengan adanya pedoman ini diharapkan pemberian pertimbangan terhadap RUU APBN dapat dilaksanakan secara transparan dan akuntabel sehingga menjamin penganggaran negara dalam APBN yang berorientasi untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.

C. Dasar Hukum

Pemberian pertimbangan DPD RI terhadap RUU APBN didasarkan pada ketentuan perundang-undangan sebagai berikut.

1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 2) Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara 3) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara

4) Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional

5) Undang-Undang No. 17 tahun 2007 tentang Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional (RPJPN) 2005-2025

6) Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD.

D. Ruang Lingkup

Ruang lingkup pedoman pemberian pertimbangan DPD RI terhadap RUU APBN yang terdiri dari:

(6)

3

(1) Pertimbangan DPD RI Terhadap Kerangka Ekonomi Makro dan Pokok-Pokok Kebijakan Fiskal serta Dana Transfer Daerah dalam RUU APBN

(2) Pertimbangan DPD RI Terhadap RUU APBN

(3) Pertimbangan DPD RI Terhadap RUU Perubahan APBN, dan

(4) Pertimbangan DPD RI Terhadap RUU Pertanggungjawaban Atas Pelaksanaan APBN.

Pedoman ini mencakup pembahasan prinsip-prinsip, prosedur, dan mekanisme pemberian pertimbangan sehingga diharapkan pengelolaan keuangan negara dapat terselenggara secara terbuka dan bertanggung jawab untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.

(7)

4

BAB II

TUGAS DAN WEWENANG DPD RI DALAM PEMBERIAN PERTIMBANGAN TERHADAP RUU APBN

Pasal 22D ayat (2) UUD NRI Tahun 1945 menyebutkan bahwa Dewan Perwakilan Daerah ikut membahas rancangan undang-undang yang berkaitan dengan otonomi daerah, hubungan pusat dan daerah, pembentukan, pemekaran, dan penggabungan daerah, pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya, serta perimbangan keuangan pusat dan daerah, serta memberikan pertimbangan kepada Dewan Perwakilan Rakyat atas rancangan undang-undang anggaran pendapatan dan belanja negara dan rancangan undang-undang yang berkaitan dengan pajak, pendidikan dan agama.

Selanjutnya terkait pelaksanaan fungsi pertimbangan terhadap RUU APBN pada Bab Hal Keuangan Pasal 23 ayat (2) kembali ditegaskan bahwa Rancangan Undang-undang Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara diajukan oleh Presiden untuk dibahas bersama Dewan Perwakilan Rakyat dengan memperhatikan pertimbangan Dewan Perwakilan Daerah.

Ketentuan konstitusi di atas dijabarkan lebih lanjut di dalam UU Nomor 17 Tahun 2014 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD pada Pasal 282 ayat (1) yang menyebutkan bahwa terhadap rancangan undang-undang tentang APBN, DPD memberikan pertimbangan kepada DPR paling lambat 14 (empat belas) hari sebelum diambil persetujuan bersama antara DPR dan Presiden. Selanjutnya, Pasal 282 ayat (3) menegaskan bahwa pertimbangan sebagaimana dimaksud disampaikan secara tertulis oleh pimpinan DPD kepada DPR setelah diputuskan dalam sidang paripurna DPD.

Terkait pertimbangan DPD ini, Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 92/PUU-X/2012 yang memperkuat kedudukan DPD RI menegaskan bahwa hal terpenting di dalam fungsi pemberian pertimbangan DPD adalah adanya kewajiban dari DPR dan Presiden untuk meminta pertimbangan DPD atas RUU APBN. Oleh karena itu, sudah seharusnya pertimbangan DPD terhadap RUU APBN mendapatkan perhatian serius dari DPR dan Presiden dalam proses pembahasan dan persetujuan atas RUU APBN, terlebih lagi pertimbangan DPD tersebut pasti berkaitan dengan kepentingan daerah-daerah.

(8)

5

Pemberian pertimbangan DPD RI terhadap RUU APBN dilaksanakan oleh Alat Kelengkapan DPD RI yang ruang lingkupnya melaksanakan fungsi anggaran, yaitu Komite IV. Lingkup tugas Komite IV dalam pemberian pertimbangan RUU APBN diatur pada Pasal 79 ayat (1) huruf d. Peraturan DPD Nomor 1 Tahun 2014 tentang Tata Tertib (Tatib DPD) yang menyebutkan bahwa lingkup tugas Komite IV yaitu dalam hal (1)pelaksanaan fungsi anggaran terkait pertimbangan atas rancangan undang-undang APBN; serta (2) pelaksanaan fungsi pengawasan dengan melakukan pembahasan atas hasil pemeriksaan BPK untuk kepentingan penyusunan RUU APBN.

Adapun dalam pelaksanaan tugas penyusunan pertimbangan tersebut, Komite IV menerima masukan dari Komite I, Komite II, dan Komite III sebagaimana diatur dalam Pasal 76 ayat (1) huruf c menyangkut fungsi anggaran pada setiap Komite yaitu memberi masukan bahan penyusunan pertimbangan atas rancangan undang-undang Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara kepada Komite yang bersangkutan. Selanjutnya diperjelas pada Pasal 79 ayat (1) huruf a, b, dan c. Ruang lingkup Komite I, II, dan III yaitu (2) Penyampaian bahan masukan dalam rangka penyusunan pertimbangan atas rancangan undang-undang APBN sebagai pelaksanaan fungsi anggaran. Dalam rangka melaksanakan fungsi penganggaran pada tiap-tiap komite tersebut dibentuk Tim APBN di Komite I, Komite II, dan Komite III yang berjumlah masing-masing 9 (sembilan) orang mewakili gugus wilayah. Selain itu, Komite IV juga menerima masukan dari Badan Akuntabilitas Publik berdasarkan ketentuan Pasal 147 ayat (4) huruf a.Badan Akuntabilitas Publik dalam menyusun tindak lanjut hasil pemeriksaan BPK berupa masukan kepada Komite IV untuk bahan pertimbangan yang akan disampaikan dalam Sidang paripurna.

UU Nomor 17 Tahun 2014 dan Peraturan Tatib DPD menjelaskan mekanisme penyusunan pertimbangan RUU APBN sebagai berikut:

(1) Dalam melaksanakan fungsi anggaran, DPD memberikan pertimbangan kepada DPR atas rancangan undang-undang tentang Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara.

(2) Pemberian pertimbangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan dengan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Bab VII tentang Tata Cara Pelaksanaan Fungsi Legislasi, Bagian Keenam Tentang Penyusunan Pertimbangan atas Rancangan Undang-Undang dari DPR atau Presiden dari Peraturan Tata Tertib ini.

(9)

6

(3) Dalam menyusun pertimbangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Alat Kelengkapan DPD yang ditunjuk menggunakan Laporan Hasil Pemeriksaan BPK sebagai bahan.

(4) Pimpinan DPD menyampaikan pertimbangan DPD atas rancangan undang-undang tentang APBN, selambat-lambatnya 14 (empat belas) hari sejak diterimanya surat dari pimpinan DPR dan sebelum diambil persetujuan bersama antara DPR dan Presiden, disertakan nama Anggota tim DPD yang mewakili DPD.

(5) Dalam hal DPR tidak menyampaikan permintaan pertimbangan kepada DPD atas rancangan undang-undang tentang Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara, Pimpinan DPD menyampaikan surat kepada pimpinan DPR untuk menanyakan hal tersebut.

(10)

7

BAB III

PERENCANAAN DAN PENGANGGARAN APBN

A. Sekilas APBN

Anggaran pendapatan dan belanja negara, selanjutnya disebut APBN, adalah rencana keuangan tahunan pemerintahan negara yang disetujui oleh Dewan Perwakilan Rakyat (Pasal 1 Angka 7 UU 17/2003). APBN merupakan wujud dari pengelolaan keuangan negara yang ditetapkan setiap tahun dengan undang-undang dan dilaksanakan secara terbuka dan bertanggung jawab untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. RUU APBN diajukan oleh Presiden untuk dibahas bersama dengan DPR dengan memperhatikan pertimbangan DPD (Pasal 23 UU NRI Tahun 1945). Tahun anggarannya meliputi masa satu tahun, mulai dari tanggal 1 Januari sampai dengan tanggal 31 Desember (Pasal 4 UU 17/2003). Setelah APBN ditetapkan dengan undang-undang, pelaksanannya dituangkan lebih lanjut dengan Keputusan Presiden.

Dalam pengelolaan keuangan negara, APBN dikelola secara tertib, taat pada peraturan perundang-undangan, efisien, ekonomis, efektif, transparan, dan bertanggung jawab dengan memperhatikan rasa keadilan dan kepatutan (Pasal 3 Ayat (1) UU 17/2003). Pengelolaan dimaksud mencakup keseluruhan kegiatan perencanaan, penguasaan, penggunaan, pengawasan, dan pertanggungjawaban. Dokumen APBN yang dihasilkan yakni APBN (disebut APBN Induk), perubahan APBN, dan pertanggungjawaban pelaksanaan APBN yang setiap tahun ditetapkan dengan undang-undang.

Berdasarkan aspek pendapatan, prinsip penyusunan APBN ada tiga, yaitu (1) intensifikasi penerimaan anggaran dalam jumlah dan kecepatan penyetoran, (2) intensifikasi penagihan dan pemungutan piutang negara, (3) penuntutan ganti rugi atas kerugian yang diderita oleh negara dan penuntutan denda. Sementara berdasarkan aspek pengeluaran, prinsip penyusunan APBN adalah (1) hemat, efesien, dan sesuai dengan kebutuhan, (2) terarah, terkendali, sesuai dengan rencana program atau kegiatan, (3) semaksimal mungkin menggunakan hasil produksi dalam negeri dengan memperhatikan kemampuan atau potensi nasional.

(11)

8

1. Fungsi dan Peran APBN

Dalam rangka mendorong perekonomiam nasional, pemerintah menerapkan kebijakan fiskal melalui APBN. Tujuannya agar target-target pembangunan nasional tercapai. Peran tersebut dilakukan pemerintah melalui fungsi APBN yakni fungsi otorisasi, perencanaan, pengawasan, alokasi, distribusi, dan stabilisasi. (Pasal 3 Ayat (4) UU 17/2003). Fungsi otorisasi, mengandung arti bahwa anggaran negara menjadi dasar untuk melaksanakan pendapatan dan belanja pada tahun yang bersangkutan, Dengan demikian, pembelanjaan atau pendapatan dapat dipertanggungjawabkan kepada rakyat. Fungsi perencanaan, mengandung arti bahwa anggaran negara dapat menjadi pedoman bagi negara untuk merencanakan kegiatan pada tahun tersebut. Bila suatu pembelanjaan telah direncanakan sebelumnya, maka negara dapat membuat rencana-rencana untuk medukung pembelanjaan tersebut. Misalnya, telah direncanakan dan dianggarkan akan membangun proyek pembangunan jalan dengan nilai sekian miliar. Maka, pemerintah dapat mengambil tindakan untuk mempersiapkan proyek tersebut agar bisa berjalan dengan lancar.

Fungsi pengawasan, berarti anggaran negara harus menjadi pedoman untuk menilai apakah kegiatan penyelenggaraan pemerintah negara sesuai dengan ketentuan yang telah ditetapkan. Dengan demikian akan mudah bagi rakyat untuk menilai apakah tindakan pemerintah menggunakan uang negara untuk keperluan tertentu itu dibenarkan atau tidak. Fungsi alokasi, berarti bahwa anggaran negara harus diarahkan untuk mengurangi pengangguran dan pemborosan sumber daya serta meningkatkan efesiensi dan efektivitas perekonomian. Fungsi distribusi, berarti bahwa kebijakan anggaran negara harus memperhatikan rasa keadilan dan kepatutan. Fungsi stabilisasi, memiliki makna bahwa anggaran pemerintah menjadi alat untuk memelihara dan mengupayakan keseimbangan fundamental perekonomian

2. Asumsi Dasar dan Postur APBN

Secara umum struktur APBN adalah, (a) Pendapatan Negara dan Hibah, (b) Belanja Negara, (c) Keseimbangan Primer, (d) Surplus/Defisit Anggaran, (e) Pembiayaan.

(12)

9

Struktur APBN dituangkan dalam format yang disebut i-account atau yang sering disebut postur APBN. Postur APBN disusun dengan mempertimbangkan asumsi dasar makro ekonomi sebagai basis perhitungan. Asumsi makro ekonomi yang dimaksud yakni pertumbuhan ekonomi (%), inflasi (%), tingkat suku bunga Surat Perbendahaan Negara (SPN) 3 bulan (5), nilai tukar (Rp/US$1), harga minyak (US$/barrel), Lifting minyak (ribu barrel/hari), lifting gas (MBEOPD atau setara ribu barrel/hari). Apabila variabel asumsi dasar makro ekonomi mengalami perubahan dari yang semula ditetapkan, maka besaran pendapatan negara, belanja negara, defisit dan pembiayaan anggaran dalam postur APBN juga akan berubah.

Tabel 3.1. Postur Utama APBN

(13)

10

Kementrian Keuangan (2014) mencatat bahwa peningkatan pertumbuhan ekonomi, inflasi, serta kenaikan lifting minyak dan gas bumi akan berdampak positif terhadap postur APBN. Peningkatan pertumbuhan ekonomi akan berdampak langsung pada kenaikan perpajakan dan berdampak tidak langsung terhadap kenaikan anggaran transfer ke daerah, terutama dana bagi hasil (DBH), dana alokasi umum (DAU), dan Dana Otonomi Khusus. Dampak peningkatan pertumbuhan ekonomi terhadap kenaikan penerimaan perpajakan jauh lebih besar jika dibandingkan dengan kenaikan belanja negara sehingga secara total peningkatan pertumbuhan ekonomi akan berdampak positif terhadap postur APBN. Sementara, tingkat inflasi mempengaruhi besaran APBN melalui perubahan PDB nominal. Selanjutnya perubahan lifting minyak dan gas akan mempengaruhi besaran APBN pada anggaran yang bersumber dari penjualan minyak mentah Indonesia, baik melalui penerimaan PPh migas, PNBP SDA migas, dan DBH migas.

Namun demikian, kenaikan tingkat suku bunga SPN 3 bulan, depresiasi nilai tukar dan peningkatan harga minyak mentah Indonesia (Indonesia Crude Price/ICP) akan berdampak negatif terhadap postur APBN. Perubahan tingkat bunga SPN 3 bulan hanya akan berdampak pada sisi belanja negara, terutama pembayaran bunga utang. Sementara, fluktuasi nilai tukar rupiah terhadap dolar AS memiliki dampak pada semua sisi APBN, baik pendapatan negara, belanja negara, maupun pembiayaan anggaran terutama pada anggaran yang menggunakan mata uang dollar AS sebagai komponen perhitungannya.

Selanjutnya, perubahan ICP mempengaruhi besaran APBN terutama pada anggaran yang menggunakan harga minyak mentah sebagai perhitungan. Kenaikan ICP berdampak positif terhadap penerimaan migas, namun dilain pihak kenaikan subsidi energi dan DBH migas jauh lebih besar, sehingga secara total kenaikan ICP akan berdampak pada peningkatan defisit APBN.

B. Siklus APBN

Siklus APBN merupakan tahapan yang berisikan rangkaian kegiatan dan selalu berulang dalam jangka waktu tertentu. Siklus APBN dimulai dari proses perencanaan sampai dengan perhitungan anggaran hingga disahkannya undang-undang APBN, termasuk

(14)

11

pertanggungjawaban atas pelaksanaan APBN. Siklus APBN saling beririsan pada satu tahun anggaran. Misalnya pada tahun anggaran 2015 terdapat sebagian siklus APBN tahun 2014 (tahap pemeriksaaan dan pertanggungjawaban APBN), sebagian siklus APBN tahun anggaran 2015 (tahap pelaksanaan), dan sebagian siklus APBN tahun anggaran 2016 (tahap perencanaan dan penganggarannya).

Dengan proses tersebut maka secara mendasar siklus APBN dilaksanakan melalui beberapa tahapan yakni;

(1) Tahapan perencanaan

Pada bagian ini merupakan satu kesatuan dalam sistem perencanaan pembangunan nasional. Pada tahap ini juga dilakukan dalam proses internal di pemerintahan untuk menghasilkan Rencana Kerja Pemerintah (RKP) serta proses pembahasan RKP dengan DPR. Pada proses internal dimulai dengan Mentri PPN/Bappenas melakukan evaluasi pencapaian RPJM serta menyampaikan surat edaran Menteri PPN/Kepala Bappenas tentang Penyusunan Inisiatif Baru kepada Kementrian/Lembaga (K/L). Proses internal ini berhenti hingga Penetapan Peraturan Presiden tentang RKP. Sementara pada tahap pembahasan RKP dengan DPR ini, dimulai dengan pembahasan RKP serta Kebijakan Ekonomi Makro dan Pokok-Pokok Kebijakan Fiskal. Dalam proses ini dibahas pagu indikatif Kementrian/Lembaga. Proses dengan DPR ini selesai hingga Rapat Paripurna DPR dengan agenda penyampaian laporan hasil pembahasan tentang RKP dan Pembicaraan Pendahuluan RAPBN di Badan Anggaran (Banggar) DPR.

(15)

12

Gambar 3.1. Siklus Penyusunan, Pelaksanaan dan Pertanggungjawaban APBN

Sumber : Kementrian Keuangan 2014 (diolah)

(2) Tahapan Penganggaran dan Penetapan APBN

Pada tahap ini penganggaran APBN dibagi dalam dua proses pula yakni pada internal di pemerintah serta pembahasan dengan DPR untuk penetapan APBN. Pada pembahasan internal pemerintah dimulai dengan Menteri Keuangan bersama Menteri PPN/Kepala Bappenas menyusun Pagu Indikatif (untuk belanja K/L). Proses internal ini selesai ketika Kementrian Keuangan menghimpun RKA-K/L hasil penelahaan untuk digunakan sebagai bahan penyusunan nota keuangan, rancangan APBN, rancangan undang-undang tentang APBN. Sedangkan pembahasan dengan DPR untuk penetapan APBN dimulai dari pengajuan RUU APBN dan Nota Keuangannya oleh Presiden untuk dibahas bersama DPR dengan memperhatikan pertimbangan DPD. Proses ini selesai saat penetapan APBN dalam sidang paripurna DPR. Proses yang sama juga dilakukan untuk APBN Perubahan dimana Presiden mengajukan RUU APBN Perubahan dan Nota Keuangannya hingga penetapan APBN Perubahan dalam sidang paripurna DPR.

(16)

13

(3) Tahapan Pelaksanaan dan Pelaporan

Tahapan pelaksanaan APBN dimulai pada tahun anggaran berjalan dimulai dari Mentri Keuangan menyusun rincian APBN sesuai RKA-K/L yang ditetapkan melalui Keputusan Presiden. Proses pelaksanaan APBN ini selesai hingga pelaksanaan program dan kegiatan oleh Kementrian/Lembaga selaku pengguna anggaran juga selesai dilakukan pada akhir Desember tahun berjalan. Sementara pelaporan APBN dimulai setelah pelaksanaan APBN berjalan 1 semester serta memperkirakan perkembangan pelaksanaan APBN untuk 1 semester berikutnya (prognosis). Pelaporan APBN ini dibahas oleh Badan Anggaran DPR dengan melibatkan komisi DPR terkait dan alat kelengkapan lainnya di DPR.

(4) Tahapan Pemeriksaan dan Pertanggungjawaban

Tahapan pemeriksanaan dilakukan oleh Badan Pemeriksa Keuangan pada Laporan Keuangan Pemerintah Pusat sebagai laporan pertanggunjawaban APBN Presiden kepada DPR. Proses ini dimulai dari Pemerintah menyampaikan RUU Pertanggungjawaban APBN atas pelaksanaan APBN hingga paripurna DPR untuk penetapan UU pertanggunjawaban APBN atas Pelaksanaan DPR.

C. Perencanaan

Undang-Undang 25 Tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional (SPPN) mendefinisikan perencanaan adalah satu kesatuan tata cara perencanaan pembangunan untuk menghasilkan rencana-rencana pembangunan dalam jangka panjang, menengah, dan tahunan yang dilaksanakan oleh unsur penyelenggara negara dan masyarakat di tingkat pusat dan daerah. Perencanaan merupakan proses terpenting sebelum melakukan suatu kegiatan dengan tujuan mendukung antar pelaku pembangunan, menjamin adanya integrasi, sinkronisasi, dan sinergi serta menjamin keterkaitan dan konsistensi, antara perencanaan, penganggaran, pelaksanaan dan pengawasan, mengoptimalkan partisipasi masyarakat, menjamin tercapainya penggunaan sumberdaya secara efesien, efektif, berkeadilan dan berkelanjutan.

Dalam UU tersebut, di tingkat nasional, dokumen perencanaan dibagi dalam beberapa bentuk yakni terdiri dari: (i)Rencana Pembangunan Jangka Panjang (RPJP); (ii)

(17)

14

Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN); (iii) Rencana Kerja Pemerintah (RKP); (iv) Rencana Strategis (Renstra) Kementrian/Lembaga; serta (v) Rencana Kerja (Renja) Kementrian Lembaga. Hal yang sama di tingkat daerah terdapat beberapa dokumen perencanaan yakni: (i)Rencana Pembangunan Jangka Panjang Daerah (RPJPD); (ii) Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD); (iii) Rencana Kerja Pemerintah Daerah (RKPD); (iv) Rencana Strategis Satuan Kerja Perangkat Daerah (Renstra SKPD); serta (v) Rencana Kerja SKPD.

Penjelasan beberapa dokumen diatas, diantaranya yakni RPJP merupakan dokumen perencanaan yang menjabarkan lebih lanjut dari tujuan pemerintahan negara Indonesia yang berisi visi, misi dan arah pembangunan nasional. Dokumen ini memiliki rentang waktu 20 (dua puluh) tahun. RPJM sendiri yakni dokumen perencanaan yang menjabarkan visi, misi dan program presiden untuk periode 5 (lima) tahun yang penyusunannnya berpedoman pada RPJP Nasional. Dokumen dengan status legalnya peraruran presiden berisi strategi pembangunan nasional, kebijakan umum, kerangka ekonomi makro dan program kementrian, lintas kementrian dan kewilayahan yang memuat kerangka regulasi dan kerangka pendanaan. Sementara RKP merupakan dokumen perencanaan tahunan yang berisi prioritas pembangunan nasional, rencana kerangka ekonomi makro, arah kebijakan fiskal, program kementrian dan kewilayahan yang memuat program dalam kerangka regulasi dan kerangka pendanaan.

Selain itu, Renstra K/L adalah dokumen perencanaan Kementrian/Lembaga untuk periode 5 (lima) tahun. Renstra K/L memuat visi, misi, tujuan, strategi, kebijakan serta program dan kegiatan pokok sesuai dengan tugas dan fusngi kementrian/lembaga denfan berpedoman pada Rancangan Awal RPJM Nasional. Sementara Renja K/L adalah dokumen perencanaan Kementrian/Lembaga untuk periode 1 (satu) tahun yang memuat kebijakan, program dan kegiatan sebagai penjabaran Renstra K/L. Pola yang sama juga berlaku pada tingkat daerah dengan beberapa penyesuaian, baik untuk RPJPD, RPJMD, RKPD, Renstra SKPD, Renja SKPD.

Untuk menghasilkan dokumen-dokumen di atas dilakukan proses perencanaan dengan pendekatan politik, teknokratik, partipastif, serta proses top-down dan bottom-up. Pendekatan politik dilakukan Pemilihan Presiden/Kepala Daerah menghasilkan rencana pembangunan hasil proses politik (public choice theory of planning), khususnya penjabaran

(18)

15

Visi dan Misi dalam RPJM/D. Proses Teknokratik dilakukan menggunakan metode dan kerangka berpikir ilmiah oleh lembaga atau satuan kerja yang secara fungsional bertugas untuk itu. Kemudian, pendekatan partisipatif dilaksanakan dengan melibatkan seluruh stakeholders, antara lain melalui Musrenbang. Mulai dari Musrenbang Desa, Musrenbang Kecamatan, Musrenbang Kabupaten/Kota, Musrenbang Provinsi hingga Musrenbang Nasional. Terakhir, yakni pendekatan top-down dan bottom-up yang dilaksanakan menurut jenjang pemerintahan.

Pola hubungan dokumen perencanaan memiliki hubungan yang terikat dimana hirarki di tingkat pemerintahan pusat, RPJP menjadi pedoman dalam penyusunan RPJM, RPJM menjadi pedoman dalam penyusunan Renstra K/L, RPJM dijabarkan dalam RKP. Kemudian, Renstra K/L dipedomani dalam penyusunan Renja K/L serta RKP menjadi acuan dalam penyusunan Renja K/L. Di tingkat daerah, pola serupa juga terjadi dalam penyusunan dokumen perencanaan daerah, misalnya RPJPD menjadi pedoman dalam penyusunan RPJMD hingga dokumen RKPD menjadi acuan dalam penyusunan dokumen Renja SKPD.

Dokumen perencanaan yang telah disusun ini ditindaklanjuti dalam bentuk dokumen penganggaran. Mekanisme penganggaran ini diatur lebih lanjut oleh beberapa peraturan perundang-undangan diantaranya UU 17 tahun 2003 tentang Keuangan Negara, UU 1 tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara, dan UU 33 tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah, beserta dengan peraturan turunannya. Dalam peraturan tersebut juga diatur mengenai hubungan antara APBN, APBD, dan transfer fiskal. Secara teoritis, praktek antara perencanaan dan penganggaran merupakan suatu siklus yang bersifat kontiyu dan berhubungan satu dengan yang lainnya, seperti yang diilustrasikan oleh Gambar di bawah. Hubungan antara perencanaan dan penganggaran merupakan hubungan yang bersifat resiprokal, artinya kedua hal tersebut bersifat dinamis tetapi juga bersifat saling mengikat antara satu dengan yang lainnya. Keterkaitan perencanaan dan penganggaran dapat dilihat dalam gambar dibawah ini.

(19)

16

Gambar 3.2. Alur Perencanaan dan Penganggaran

Sumber : Bappenas (2013)

Berdasarkan penjelasan diatas, proses perencanaan tahunan menghasilkan dokumen RKP. Penyusunan RKP dilakukan dalam dua proses. Pertama, dilakukan oleh internal pemerintah untuk menghasilkan RKP versi Pemerintah. Kedua, kegiatan yang melibatkan pihak legislatif untuk menghasilkan RKP hasil kesepakatan pemerintah dan DPR.

Pada proses pertama diatas dimulai bulan Januari pada saat presiden memberi arahan dalam kebijakan pembangunan untuk tahun mendatang. Langkah selanjutnya yakni:

(1) Bappenas akan mengevaluasi target-target Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJM)

(2) Bappenas menyampaikan surat edaran Menteri PPN/Kepala Bappenas tentang Penyusunan Inisiatif Baru kepada Kementrian/Lembaga (K/L)

(3) K/L menyampaikan inisiatif baru kepada Bappenas dan Kemenkeu c.q DJA dengan melihar arahan Presiden, hasil evaluasi kebijakan berjalan dan peningkatan efektifitas dan efesiensisan pendanaan program dan kegiatan

(4) Bappenas melakukan penyelerasan kapasitas fiskal, baseline, dan inisiatif baru tahap 1 (pertama)

(20)

17

(5) Sidang Kabinet tentang Rancangan Awal RKP dan Pagu Indikatif APBN t+1 (6) Menteri PPN/Kepala Bappenas dan Menkeu menyampaikan Rancangan Awal RKP

dan Pagu Indikatif APBN t+1 kepada K/L pada minggu ketiga Maret

(7) Pelaksanaan pertemuan tiga pihak (Trilateral Meeting), Musyawarah Perencanaan Pembangunan Nasional (Musrenbangnas)

(8) Sidang Kabinet dalam rangka penetapan Rancangan Akhir RKP untuk APBN t+1 (9) Penetapan Peraturan Presiden tentang RKP sekitar bulan Mei.

Selanjutnya pada proses kedua adalah perencanaan untuk menghasilkan RKP hasil kesepakatan bersama dengan DPR. Pada tahapan ini dibahas kerangka ekonomi makro dan pokok-pokok kebijakan fiskal sebagai dasar RUU APBN. Tahapannya dimulai pada pertengahan bulan Mei dengan penyampaian Kepres tentang Rencana Kerja Pemerintah oleh Pemerintah kepada DPR untuk dibahas bersama DPR.

Kemudian pada tanggal 20 Mei atau sehari sebelumnya (jika tanggal tersebut jatuh pada hari libur) dilaksanakan Rapat Paripurna DPR RI dengan agenda Pemerintah menyampaikan pokok-pokok pembicaraan RAPBN yang meliputi:

(1) Kerangka ekonomi makro dan pokok-pokok kebijakan fiscal (2) Kebijakan umum dan prioritas anggaran K/L

(3) Rincian unit organisasi, fungsi dan program

Pada minggu berikutnya (Minggu III Mei) dilaksanakan Rapat Paripurna DPR RI dengan agenda Pandangan Fraksi-Fraksi atas Kerangka Ekonomi Makro dan Pokok-Pokok Kebijakan Fiskal dalam RAPBN yang diajukan oleh Pemerintah. Lalu, pada Minggu IV dilaksanakan Rapat Paripurna DPR RI dengan agenda Tanggapan Pemerintah terhadap pandangan Fraksi-Fraksi atas Kerangka Ekonomi Makro dan Pokok-Pokok Kebijakan Fiskal dalam RAPBN yang diajukan oleh Pemerintah.

Pada Minggu I Juni dilaksanakan Rapat Kerja Badan Anggaran (Banggar) dengan Pemerintah (Menteri PPN/Kepala Bappenas & Menteri Keuangan) dan Gubernur BI dengan agenda penyampaian RKP & Kerangka Ekonomi Makro dan Pokok-Pokok Kebijakan Fiskal dalam RAPBN dan pembentukan Panja.

(21)

18

Selanjutnya pada Minggu I-II Juni dilaksanakan Raker Komisi VII dan XI DPR RI dengan Mitra Kerjanya dengan agenda pembahasan asumsi dasar. Pada saat yang sama dilaksanakan Raker Komisi I s.d XI DPR RI dengan Mitra Kerjanya masing-masing dengan agenda membahas Rencana Kerja dan Anggaran K/L (hasilnya disampaikan secara tertulis kepada Banggar untuk disinkronisasi).

Pada Minggu IV Juni dilaksanakan Rapat Kerja Banggar dengan Pemerintah (Menteri PPN/Kepala Bappenas & Menkeu) dan Gubernur BI dengan agenda laporan dan pengesahan hasil panja-panja tentang RKP dan Kerangka Ekonomi Makro dan Pokok-Pokok Kebijakan Fiskal dalam RAPBN. Selanjutnya sesuai pembahasan Banggar tersebut, Komisi-Komisi menggelar Raker/RDP dengan Mitra Kerjanya guna menyempurnakan alokasi anggaran menurut fungsi, program, dan kegiatan kementerian/lembaga (Minggu I Juli).

Pada Minggu II-IV Juni dilaksanakan Rapat Panja-Panja dengan agenda pembahasan RKP dan Kerangka Ekonomi Makro dan Pokok-Pokok Kebijakan Fiskal serta penyampaian sinkronisasi oleh komisi-komisi dengan mitra kerjanya kepada Banggar dan Menteri Keuangan untuk bahan penyusunan RUU APBN dan Nota Keuangannya. Tahapan ini ditutup dengan Rapat Paripurna dengan agenda penyampaian laporan hasil pembahasan tentang RKP dan Pembicaraan Pendahuluan RAPBN di Banggar DPR (paling lambat Juli).

D. Penganggaran dan Penetapan APBN

Proses penganggaran akan menghasilkan APBN dilakukan dalam dua proses yakni pertama, melalui mekanisme internal pemerintah untuk menghasilkan APBN usulan pemerintah (Rancangan APBN dan Nota Keuangan). Kedua, kegiatan yang melibatkan pihak legislatif untuk menghasilkan APBN hasil kesepakatan pemerintah dan DPR. Dengan kata lain terdapat proses penetapan APBN. Dalam proses ini, DPD turut memberikan pertimbangan kepada DPR terhadap RUU APBN beserta nota keuangannya.

Pada proses pertama diatas untuk menghasilkan Rancangan APBN tersebut, Menteri Keuangan bersama Menteri PPN/Kepala Bappenas menyusun Pagu Indikatif

(22)

19

(untuk belanja K/L) dengan memperhatikan kapasitas fiskal dan pemenuhan prioritas pembangunan nasional. Pagu indikatif tersebut dirinci menurut organisasi, program dan indikasi pendanaan untuk menjabarkan kebijakan yang ditetapkan Presiden.

Pagu indikatif diatas yang kemudian dibahas dengan DPR melalui rapat pembicaraan pendahuluan APBN yang juga telah dibahas sebelumnya. Berdasarkan masukan dari DPR dan juga pertimbangan DPD ini maka Kementrian Keuangan akan menyusun pagu anggaran kementrian/lembaga yang selanjutnya menjadi dasar Kementrian/Lembaga menyusun Rencana Kerja dan Anggaran Kementrian/Lembaga (RKA- K/L). Pagu anggaran K/L diatas merupakan batas tertinggi anggaran yang dialokasikan kepada K/L dalam penyusunan RKA-K/L.

Penyusunan RKA K/L oleh Kementrian/Lembaga berdasarkan pagu anggaran, renja K/L, RKP hasil kesepakatan Pemerintah dan DPR serta standar biaya. Penyusunan RKA-K/L tersebut menggunakan pendekatan Kerangka Pengeluaran Jangka Menengah (KPJM), penganggaran terpadu dan penganggaran berbasis kinerja. K/L menyusun RKA-K/L secara terstruktur dan dirinci menurut klasifikasi anggaran yang meliputi klasifikasi organisasi dan klasifikasi fungsi. Kemudian, RKA-K/L tersebut ditelaah dalam forum penelaahan antara K/L dengan Kementrian Keuangan dan Kementrian PPN/Kepala Bappenas.

Proses selanjutnya, Kementrian Keuangan menghimpun RKA-K/L hasil penelahaan untuk digunakan sebagai bahan penyusunan nota keuangan, rancangan APBN, rancangan undang-undang tentang APBN. Dokumen-dokumen tersebut disampaikan ke DPR untuk dilakukan pembahasan bersama antara pemerintah dengan DPR pada bulan Agustus tahun sebelumnya.

Pada proses kedua yakni penetapan APBN. Pada proses ini merupakan proses pengajuan UU APBN dan Nota Keuangannya oleh Presiden untuk dibahas bersama DPR dengan memperhatikan pertimbangan DPD. Pengambilan keputusan oleh DPR mengenai RUU tentang APBN dilakukan selambat-lambatnya 2 (dua) bulan sebelum tahun anggaran yang bersangkutan dilaksanakan atau pemerintah menyelasaikan pembhaasan Rancangan APBN dan Rancangan Undang-Undang APBN dengan DPR paling lambat akhir bulan

(23)

20

Oktober. Setelah DPR RI menerima RUU APBN beserta Nota Keuangan dan dokumen pendukung sebagaimana dimaksud, Pimpinan DPR memberitahukan rencana pembahasan RUU APBN kepada Pimpinan DPD.

Pada Minggu III Agustus dilaksanakan Rapat Paripurna DPR RI dengan agenda Pemandangan Umum Fraksi-Fraksi terhadap RUU APBN beserta Nota Keuangannya. Pada Paripurna berikutnya (Minggu IV Agustus) Pemerintah menyampaikan jawaban terhadap Pemandangan Umum Fraksi-Fraksi tersebut.

Rangkaian agenda dilanjutkan dengan Raker Banggar DPR RI dengan Pemerintah (Menteri Keuangan) dan Gubernur BI dengan agenda:

(1) Penyampaian pokok-pokok RUU APBN dan Nota Keuangannya (2) Pembentukan Panja dan Tim Perumus draft RUU APBN.

Selanjutnya, dilaksanakan Raker Komisi VII dan XI DPR RI dengan Mitra Kerjanya dengan agenda pembahasan asumsi dasar dalam RUU APBN. Pada saat yang sama dilaksanakan Raker Komisi I s.d XI DPR RI dengan Mitra Kerjanya masing-masing dengan agenda membahas Rencana Kerja dan Anggaran K/L (pada Minggu IV Agustus – Minggu I September). Hasil Raker Komisi-Komisi dengan Mitra Kerjanya disampaikan kepada Banggar.

Sebagai tindak lanjut, dilaksanakan Rapat Panja-Panja pembahasan RUU APBN beserta Nota Keuangannya (Minggu I-IV September). Pada kesempatan ini, DPD menyampaikan pertimbangan terhadap RUU APBN kepada DPR paling lambat 14 (empat belas) hari sebelum diambil persetujuan bersama antara DPR dan Pemerintah. Rapat Panja dilanjutkan dengan Rapat Tim Perumus draf RUU APBN (Minggu IV September).

Pada Minggu IV September dilaksanakan Rapat Kerja Banggar dengan Pemerintah (Menteri Keuangan dan Menteri PPN/Kepala Bapenas) dan Gubernur BI dengan agenda:

(1) Laporan dan pengesahan hasil Panja dan Tim Perumus RUU APBN (2) Pendapat Akhir Mini Fraksi sebagai sikap akhir

(3) Pendapat Pemerintah

(24)

21

Anggota Banggar dari komisi menyampaikan hasil pembahasan Banggar kepada komisi yang bersangkutan secara tertulis. Selanjutnya Komisi-Komisi melaksanakan Raker dengan Mitra Kerjanya dengan agenda penyesuaian RKA/KL sesuai hasil pembahasan Banggar (selama 7 hari kerja untuk disampaikan kembali ke Banggar untuk ditetapkan) (Minggu I Oktober). Rangkaian tahapan diakhiri pada Rapat Paripurna DPR RI dengan agenda:

(1) Penyampaian laporan hasil pembahasan tingkat I di Badan Anggaran DPR RI (2) Pernyataan persetujuan/penolakan dari setiap Fraksi secara lisan yang diminta oleh

Pimpinan Rapat Paripurna

(3) Penyampaian Pendapat Akhir Pemerintah

Jika rancangan APBN disetujui dan ditetapkan oleh DPR menjadi APBN, tugas pemerintah selanjutnya adalah menetapkan alokasi anggaran K/L sebagai batas tertinggi anggaran pengeluaran yang dialokasikan kepada K/L. Alokasi ini berpedoman pada hasil pembahasan APBN yang dituangkan dalam berita acara hasil kesepakatan pembahasan rancangan APBN antara Pemerintah dan DPR. Alokasi anggaran tersebut ditetapkan dengan Keputusan Presiden paling lambat tanggal 30 November dan merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari Undang-Undang tentang APBN.

Proses penetapan APBN diatas juga berlaku untuk APBN Perubahan (APBN-P). Tahapan ini diawali dengan pengumuman dalam Rapat Paripurna tentang Perubahan RUU APBN beserta Nota Perubahannya dan akan dibahas oleh Badan Anggaran dan komisi terkait. Jika tidak terjadi perubahan asumsi ekonomi makro dan/atau perubahan postur APBN yang sangat signifikan, pembahasan dilakukan di Badan Anggaran dan pelaksanaannya disampaikan dalam laporan keuangan pemerintah.

Menindaklanjuti hal di atas, dilaksanakan Rapat Kerja Banggar dengan Pemerintah (Menteri Keuangan) dan Gubernur BI dengan agenda:

(1) Penyampaian pokok-pokok RUU Perubahan APBN dan Nota Perubahannya; (2) Pembentukan panja dan tim perumus draf RUU Perubahan APBN

(25)

22

Dalam rangkaian tidak lanjut, dilaksanakan Rapat Kerja Komisi VII dan XI dengan Mitra Kerjanya dengan agenda pembahasan asumsi dasar dalam RUU Perubahan APBN. Pada saat yang sama dilaksanakan Rapat Kerja/RDP Komisi-Komisi dengan Mitra Kerjanya dengan agenda pembahasan perubahan RKA/KL. Selanjutnya, Banggar DPR RI melaksanakan Rapat Intern dengan agenda penyampaian hasil Rapat Kerja/RDP Komisi dengan Mitra Kerjanya dalam rangka pembahasan Perubahan RKA/KL.

Kemudian dilaksanakan Rapat Panja-Panja dengan agenda Pembahasan RUU Perubahan APBN beserta Nota Perubahannya. Selanjutnya, dilaksanakan Rapat Tim Perumus dengan agenda Draf RUU Perubahan APBN. Setelah rumusan Draf RUU Perubahan APBN siap, dilaksanakan Rapat Kerja Badan Anggaran dengan Pemerintah (Menteri Keuangan) dan Gubernur BI dengan agenda:

(1) Laporan dan pengesahan hasil panja dan tim perumus RUU Perubahan APBN (2) Pendapat akhir mini Fraksi sebagai sikap akhir

(3) Pendapat Pemerintah

(4) Pengambilan keputusan untuk dilanjutkan ke Tingkat II

Raker di atas ditindaklanjuti dengan Rapat Kerja/RDP Komisi-Komisi dengan Mitra Kerjanya dengan agenda penyempurnaan Perubahan RKA K/L sesuai hasil pembahasan Banggar. Dilanjutkan dengan penyampaian hasil penyempurnaan oleh Komisi-Komisi dengan Mitra Kerjanya kepada Banggar dan Menteri Keuangan.

Tahapan ini diakhiri dengan pelaksanaan Rapat Paripurna DPR RI, yang dilaksanakan paling lama satu bulan dalam masa sidang setelah RUU Perubahan diajukan oleh Pemerintah ke DPR RI. Rapat Paripurna DPR RI dimaksud dengan agenda:

(1) Penyampaian laporan hasil pembahasan tingkat I di Banggar

(2) Penyataan persetujuan/penolakan dari setiap Fraksi secara lisan yang diminta oleh Pimpinan Rapat Paripurna

(26)

23

E. Pelaksanaan dan Pelaporan APBN

Pelaksanaan APBN dilakukan pada tahun APBN berjalan yang didasarkan atas Rencana Kerja dan Anggaran Kementrian/Lembaga yang ditetapkan dalam APBN tahun sebelumnya. Prosesnya dimulai dari Mentri Keuangan menyusun rincian APBN sesuai RKA-K/L yang ditetapkan melalui Keputusan Presiden. Selanjutnya Mentri Keuangan menyusun dan menetapkan Daftar Isian Pelaksanaan Anggaran (DIPA) berdasarkan rincian APBN tersebut. DIPA tersebut kemudian diserahkan kepada Kementrian/Lembaga selaku pengguna anggaran untuk selanjutnya dilakukan pelaksanaan APBN, baik melalui proses pengadaan barang dan jasa pemerintah dan lain sebagainya.

Untuk melihat perkembangan dan capaian pelaksanaan APBN maka pemerintah wajib menyusun laporan pelaksanaan APBN. Pelaporan APBN dilaksanakan secara periodik dalam rangka transparansi dan akuntabilitas akuntabilitas penyelenggaraan negara. Pelaporan APBN dilakukan dalam bentuk laporan realisasi pelaksanaan APBN semester 1 (satu) dan prognosis 6 (enam) bulan berikutnya. Laporan realisasi pelaksanaan APBN memuat Laporan Realisasi Anggaran (LRA), Neraca dan Laporan Arus Kas, serta Catatan Atas Laporan Keuangan yang sesuai dengan Standar Akuntansi Pemerintah. Laporan realisasi tersebut disampaikan kepada DPR dan DPD. DPD memberikan pertimbangan kepada DPR terhadap laporan realisasi pelaksanaan APBN sebelum dilakukan pembahasan antara DPR dan pemerintah yang diwakili oleh Menteri Keuangan dan Menteri Perencanaan.

Badan Anggaran sebagai alat kelengkapan DPR bersama menteri Keuangan dan Menteri perencanaan melakukan pembahasan atas laporan realisasi APBN beserta capaian kinerjanya. Hasil pembahasan laporan realisasi APBN menjadi bahan masukan DPR dan Pemerintah dalam pembahasan RUU Pertanggungjawaban atas Pelaksanaan APBN.

F. Pemeriksaaan dan Pertanggungjawaban APBN

Tahapan pertanggungjawaban atas pelaksanaan APB dimulai pada bulan Juli, yaitu diawali dengan Rapat Paripurna DPR RI dengan agenda Pemerintah menyampaikan

(27)

24

RUU Pertanggungjawaban APBN atas pelaksanaan APBN (laporan keuangan yang telah diperiksa BPK). Paripurna DPR RI berikutnya mengagendakan Pandangan Fraksi terhadap RUU Pertanggungjawaban atas Pelaksanaan APBN. Selanjutnya, dilaksanakan Rapat Paripurna DPR RI dengan agenda BPK menyampaikan laporan keuangan pemerintah pusat.

Sebagai tindak lanjut rangkaian Rapat Paripurna di atas, dilaksanakan Rapat Kerja Banggar dengan Pemerintah (Menteri Keuangan) dengan agenda:

(1) Penyampaian pokok-pokok RUU Pertanggungjawaban atas Pelaksanaan APBN (2) Pembentukan Panja dan Tim Perumusa Draf RUU

Pada saat yang sama dilaksanakan Rapat Kerja Komisi-Komisi dengan Mitra Kerjanya dengan agenda pembahasan laporan keuangan negara. Hasil pembahasan laporan keuangan negara dalam Rapat Kerja Komisi dengan Mitra Kerjanya sebagaimana dimaksud disampaikan kepada Banggar. Sesuai kewenangan, DPD menyampaikan pertimbangan kepada DPR atas hasil pemeriksaan atas keuangan negara dari BPK.

Agenda dilanjutkan dengan Rapat Panja-Panja dengan agenda Pembahasan RUU Pertanggungjawaban atas pelaksanaan APBN. Setelah hasil pembahasan Panja-Panja diperoleh dilanjutkan dengan Rapat Kerja Banggar dengan Pemerintah (Menteri Keuangan) dengan agenda:

(1) Laporan dan pengesahan hasil panja dan tim perumus RUU Pertanggungjawaban atas Pelaksanaan APBN

(2) Pendapat akhir mini Fraksi sebagai sikap akhir

(3) Pengambilan keputusan untuk dilanjutkan ke Tingkat II

Selanjutnya dilaksanakan Rapat Kerja dengan agenda penyampaian hasil penyempurnaan oleh komisi-komisi dengan mitra kerjanya kepada Banggar dan Menteri Keuangan untuk ditetapkan. Kemudian, pada bulan September dilaksanakan Rapat Paripura dengan agenda:

(28)

25

(2) Penyataan persetujuan atau penolakan dari setiap Fraksi secara lisan yang diminta oleh Pimpinan Rapat Paripurna

(3) Penyampaian pendapat akhir Pemerintah

Hasil penetapan pertanggungjawaban APBN dilakukan dalam waktu paling lama 3 bulan setelah pemerintah menyampaikan RUU Pertangggungjawaban atas Pelaksanaan APBN disampaikan ke DPR maupun DPD.

G. Anggaran Daerah Dalam APBN

Anggaran daerah dalam APBN merupakan alokasi dalam APBN yang bersumber dari belanja maupun pembiayaan. Dari sisi belanja dapat bersumber dari belanja pemerintah pusat dan transfer daerah. Sementara dari sisi pembiayaan dialokasikan melalui pinjaman daerah, baik dalam bentuk obligasi daerah maupun bentuk lainnya. Pada sisi transfer daerah dan pembiayaan masuk melalui APBD. Namun demikian, pada belanja pemerintah pusat (kementrian/lembaga) juga dapat masuk ke APBD melalui hibah kepada daerah.

Anggaran daerah dalam APBN melalui belanja pemerintah pusat dilakukan dalam beberapa bentuk. Pertama, mendanai kewenangan 6 urusan pemerintah pusat yang bersifat absolut, seperti politik luar negeri, pertahanan, keamanan, yustisi, moneter dan fiskal nasional dan agama. Untuk mendanainya dilakukan melalui dana vertikal di daerah sesuai dengan nomenklatur struktur kelembagaan, program dan kegiatan masing-masing Kementrian/Lembaga yang bertanggungjawab pada urusan tersebut. Misalnya saja keberadaan kantor wilayah Kementrian Agama pada masing-masing propinsi.

Kedua, mendanai urusan pemerintahan yang bersifat Konkuren serta urusan Pemerintahan Umum. Urusan konkururen yakni urusan pemerintahan yang dibagi antara Pemerintah Pusat dan Daerah Provinsi serta Daerah Kabupaten/Kota. Urusan kongkuren ini dibagi untuk urusan yang sifatnya wajib, seperti pendidikan, kesehatan, pekerjaan umum dan penataan ruang hingga kearsipan. Sementara urusan konkuren yang sifatnya pilihan yakni kelautan perikanan, pariwisata, pertanian hingga transmigrasi. Selanjutnya urusan pemerintahan umum berkaitan dengan pembinaan wawasan kebangsaan dan ketahanan nasional, kerukunan antar sukubangsa, koordinasi pelaksanaan tugas

(29)

26

antarinstansi hingga pelaksanaan urusan pemerintahan yang bukan merupakan kewenangan daerah dan tidak dilaksanakan oleh instansi vertikal.

Dalam melaksanakan urusan pemerintahan konkuren dan pemerintahan umum terdapat beberapa anggaran kementrian/lembaga yang ada di daerah. Utamanya adalah Dana Dekonsentrasi dan Tugas Pembantuan. Dana dekonsentrasi digunakan untuk mendanai pelimpahan urusan yang menjadi kewenangan Pemerintah Pusat; (i) kepada Gubernur sebagai wakil Pemerintah Pusat, (ii) kepada instansi vertikal di wilayah tertentu; (iii) dan/atau kepada gubernur dan bupati/walikota sebagai penanggungjawab urusan pemerintahan umum. Sementara dana tugas pembantuan yakni dana yang digunakan untuk membiayai penugasan dari Pemerintah Pusat kepada daerah otonom untuk melaksanakan sebagian Urusan Pemerintahan yang menjadi kewenangan Pemerintah Pusat atau dari Pemerintah Daerah provinsi kepada Daerah Kabupaten/Kota untuk melaksanakan sebagian urusan Pemerintahan yang menjadi kewenangan Daerah Provinsi.

Selain dana dekonsentrasi dan tugas pembantuan, dana APBN yang berasal dari kementrian/lembaga juga dapat berupa program dan kegiatan. Misalnya saja anggaran APBN untuk program jaminan kesehatan nasional yang saat ini dalam bentuk BPJS, Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat (PNPM) Mandiri, dan lain sebagainya. Bentuk lainnya adalah dalam bentuk subsidi untuk program-program Kementrian/Lembaga, seperti subsidi benih, pupuk dan lain sebagainya. Selanjutnya dalam bentuk hibah kepada pemerintah daerah, misalnya hibah program Mass Rapit Transport (MRT) dari Pemerintah Pusat ke Pemerintah Provinsi DKI Jakarta.

Sumber utama anggaran daerah dalam APBN dalam bentuk transfer daerah. Kementran Keuangan (2013) mencatat bahwa transfer daerah dalam APBN memiliki tujuan untuk; (1) mempercepat pembangunan daerah dan meningkatkan kualitas pelayanan publik di daerah dan mengurangi ketimpangan pelayanan publik antar daerah; (2) Meningkatkan kemampuan keuangan daerah dan mengurangi perbedaan (gap) antara pusat dan daerah dan antar daerah terutama dalam rangka mendanai pembangunan infrastruktur, pendidikan dan kesehatan di daerah; (3) mendukung kesinambungan fiskal nasional (fiscal sustainability) dalam rangka kebijakan ekonomi makro; (4) meningkatkan kemampuan keuangan daerah dalam menggali potensi ekonomi daerah; (5) meningkatkan singkronisasi

(30)

27

antara rencana pembangunan nasional dengan rencana pembangunan daerah; serta (6) mempercepat pembangunan di beberapa provinsi khusus melalui pembangunan dan pemeliharaan infrastruktur, pemberdayaan ekonomi rakyat, pengentasan kemiskinan, serta pendanaan pendidikan, sosial dan kesehatan.

Transfer daerah dapat berupa dana perimbangan, dana otonomi khusus dan dana penyesuaian serta dana desa. Dana perimbangan merupakan merupakan dana yang bersumber dari pendapatan APBN yang dialokasikan kepada daerah untuk mendanai kebutuhan daerah dalam rangka pelaksanaan desentralisasi. Jumlah Dana Perimbangan ditetapkan setiap tahun anggaran dalam APBN. Dana perimbangan yang meliputi Dana Bagi Hasil (DBH), Dana Alokasi Umum (DAU), dan Dana Alokasi Khusus (DAK).

Gambar 3.3. Ruang Lingkup Transfer Daerah Dalam APBN

(31)

28

DAU adalah dana yang bersumber dari pendapatan APBN yang dialokasikan kepada daerah dengan tujuan pemerataan kemampuan keuangan antar daerah untuk mendanai kebutuhan daerah dalam rangka pelaksanaan desentralisasi. DAU tersebut dialokasikan dalam bentuk block grant yaitu penggunaannya diserahkan sepenuhnya kepada daerah. Besaran DAU nasional ditetapkan dalam APBN yaitu sekurang-kurangnya 26 persen dari Pendapatan Dalam Negeri (PDN) neto. Kebijakan PDN neto digunakan dengan mempertimbangkan unsur-unsur pengurang PDN dengan tetap menjaga peningkatan riil alokasi DAU setiap tahun.

Sementara, DBH adalah dana yang bersumber dari pendapatan APBN yang dialokasikan kepada daerah penghasil berdasarkan angka persentase tertentu dengan tujuan mengurangi ketimpangan kemampuan keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah. Prinsip DBH yakni By Origin dimana daerah penghasil mendapat porsi yang lebih besar dari daerah lain yang berada dalam provinsi tersebut (pemerataan). Selain itu penyaluran keseluruhan DBH didasarkan pada realisasi penerimaannya. DBH terdiri atas DBH pajak dan DBH sumberdaya alam.

DAK sendiri adalah dana yang bersumber dari pendapatan APBN yang dialokasikan kepada daerah tertentu dengan tujuan untuk membantu mendanai kegiatan khusus yang merupakan urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan daerah sesuai dengan prioritas nasional. Prioritas tersebut termuat dalam Rencana Kerja Pemerintah dalam tahun anggaran bersangkutan. Saat ini, DAK dibagi dalam dua kelompok besar yakni DAK Pelayanan Dasar dan DAK Non Pelayanan Dasar yang semuanya berjumlah 14 bidang. DAK pelayanan dasar meliputi (1) DAK Bidang Pendidikan, (2) DAK Bidang Kesehatan, (3) DAK Bidang Infrastruktur Irigasi, (4) DAK Bidang Infrastruktur Sanitasi dan Air Minum, (5) DAK Bidang Transportasi dan (6) DAK Bidang Energi Perdesaan. Kelompok kedua yakni DAK nonpelayanan dasar yakni (1) DAK Bidang Kelautan dan Perikanan, (2) DAK Bidang Pertanian, (3) DAK Bidang Prasaranan Pemerintah Daerah, (4) DAK Bidang Lingkungan Hidup, (5) DAK Bidang Kehutanan, (6) DAK Bidang Keluarga Berencana, (7) DAK Bidang Sarana Perdagangan dan (8) DAK Bidang Perumahan dan Permukiman. Perhitungan DAK untuk masing-masing bidang diatas

(32)

29

menggunakan Kriteria Umum, Kriteria Khusus serta Kriteria Teknis yang disesuaikan kebijakan masing-masing bidang diatas.

Selain Dana Perimbangan diatas juga terdapat Dana Otonomi Khusus dan Dana Keistimewaan. Dana otonomi khusus sesuai amanat UU No. 35 Tahun 2008 tentang Penetapan Perpu No. 1 Tahun 2008 tentang Perubahan atas UU No. 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus bagi Papua menjadi Undang-Undang. Dana otonomi khusus Provinsi Papua dan Propinsi Papua Barat dialokasikan dengan besaran setara dua persen DAU nasional. Alokasinya 70 persen untuk Provinsi Papua dan 30 persen untuk Papua Barat. Penggunaan dana otonomi khusus terutama ditujukan untuk pendanaan di bidang pendidikan dan kesehatan. Sedangkan otonomi khusus Provinsi Aceh dialokasikan dengan besaram setara dua persen dari DAU nasional sesuai UU No. 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh. Penggunaannya diarahkan untuk mendanai pembangunan dan pemeliharaan infrastruktur, pemberdayaan ekonomi rakyat, pengentasan kemiskinan serta pendanaan pendidikan, sosial dan kesehatan.

Selanjutnya Dana Keistimewaan DI Yogyakarta yang dialokasikan dalam rangka penyelenggaraan kewenangan keistimewaan DIY. Keistimewaan tersebut adalah wewenang tambahan tertentu yang dimiliki DIY selain wewenang yang ditentukan dalam UU Pemerintah Daerah yakni; (1) tata cara pengisian jabatan, kedudukan, tugas dan wewenang Gubernur dan Wakil Gubernur; (2) kelembagaan Pemerintah Daerah DIY; (3) kebudayaan; (4) pertanahan; dan (5) tata ruang. Alokasi dana keistimewaan DIY diajukan oleh Pemda DIY, dibahas dengan Kementrian Dalam Negeri dan Kementrian/lembaga terkait, yang kemudian dianggarkan dan ditetapkan dalam APBN sesuai dengan kemampuan keuangan negara.

Komponen dana transfer daerah berikutnya yakni Dana Transfer lainnya. Dana Transfer lainnya adalah dana yang dialokasikan untuk membantu daerah dalam rangka melaksanakan kebijakan tertentu sesuai dengan ketentuan peraturan perundangan. Dana transfer lainnya terdiri atas dana Tunjangan Profesi Guru Pegawai Negeri Sipil Daerah (PNSD), dana Tambahan Penghasilan Guru PNSD, dana Bantuan Operasional Sekolah, dana Insentif Daerah dan dana Proyek Pemerintah Daerah dan Desentralisasi. Dana Tunjangan Profesi Guru PNSD diberikan kepada guru PNSD yang telah memperoleh

(33)

30

sertifikat pendidik dan memenuhi persyaratan lainnya sesuai peraturan perundangan. Dana ini diberikan sebesar satu kali gaji pokok PNS yang bersangkutan tidak termasuk untuk bulan ke-13. Sementara Dana Tambahan Penghasilan Guru PNSD diberikan bagi Guru PNSD khususnya bagi yang belum menerima tunjangan profesi, sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan diberikan tambaham penghasilan tiap bulan sebesar Rp. 250.000,00. Hal ini sesuai dengan Peraturan Presiden No. 52 Tahun 2009 tentang Tambahan Penghasilan bagi Guru PNSD.

Dana BOS sendiri dialokasikan untuk mendukung penyelenggaraan pendidikan dasar yang merupakan urusan daerah. Alokasi BOS yang diterima sekolah dihitung berdasarkan jumlah siswa per sekolah dan satuan biaya BOS satuan pendidikan dasar. Mekanismenya adalah hibah dan merupakan stimulus bagi daerah dan bukan pengganti (subsitusi) dari kewajiban daerah untuk menyediakan anggaran pendidikan. Selanjutnya, komponen dana transfer lainnya yakni Dana Insentif Daerah. Dana ini dialokasikan kepada daerah sebagai penghargaan atas pencapaian kinerja daerah di bidang pengelolaan keuangan, kinerja pendidikan dan kinerja ekonomi dan kesejahteraan. Dana ini ditujukan untuk membantu daerah dalam rangka melaksanakan fungsi pendidikan sebagai salah satu kebijakan pemerintah pusat.

Terakhir, Dana Transfer Lainnya yakni Dana Proyek Pemerintah Daerah dan Desentralisasi (P2D2). Dana ini merupakan dana pinjaman dari Bank Dunia yang ditandatangani pada tanggal 23 Juni 2010 yang akan berakhir pada 31 Desember 2015. Dana P2D2 bersumber dari APBN (pinjaman luar negeri) yang dialokasikan sebagai insentif kepada provinsi, kabupaten dan kota daerah percontohan P2D2 berdasarkan hasil keluaran sesuai dengan perjanjian pinjaman antara Pemerintah RI dengan Bank Dunia. Verikasi keluaran (output) adalah proses verifikasi atas keluaran pelaksanaan DAK bidang infrastruktur jalan, infrastruktur irigasi, dan infrastruktur air minum yang dilakukan oleh Badan Pengawas Keuangan dan Pembangunan (BPKP).

Selain itu, diluar dana transfer daerah lainnya terdapat Dana Desa yang baru saja disahkan oleh parlemen. Dana Desa menurut UU No. 6 Tahun 2014 tentang Desa merupakan dana yang bersumber dari APBN yang dialokasikan kepada setiap desa dan digunakan untuk mendanai urusan yang menjadi kewenangan Desa yang meliputi

(34)

31

penyelenggaraan pemerintahan, pembangunan, pemberdayaan masyarakat dan kemasyarakatan. Alokai Dana Desa dalam APBN bersumber dari Belanja Pusat dengan mengefektifkan program yang berbasis desa secara merata dan berkeadilan. Selain itu, dana desa juga bersumber dari bagian hasil pajak daerah dan retribusi daerah kabupaten/kota paling sedikit 10 % dari pajak dan retribusi daerah. Kemudian, alokasi dana desa juga paling sedikit 10 % dari dana perimbangan yang diterima Kabupaten/Kota dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara setelah dikurangi Dana Alokasi Khusus (DAK).

(35)

32

BAB IV

PELAKSANAAN FUNGSI DPD RI DALAM PEMBERIAN PERTIMBANGAN TERHADAP KERANGKA EKONOMI MAKRO DAN POKOK-POKOK

KEBIJAKAN FISKAL SERTA DANA TRANSFER DAERAH

A. Input (Masukan Informasi)

Berkenaan dengan pelaksanaan fungsi pertimbangan terhadap kerangka ekonomi makro dan pokok-pokok kebijakan fiskal serta dana transfer daerah, terdapat dua tahap kegiatan yang dilakukan yaitu: Tahap Pra Rencana Kerja Pemerintah (Pra-RKP) dan Tahap pemberian pertimbangan itu sendiri. Pada dua tahap kegiatan dimaksud masukan informasi diperoleh melalui:

1) Hasil serap aspirasi daerah.

Pada Tahap Pra-RKP: serap aspirasi ini dilaksanakan dalam rangka pelaksanaan fungsi representasi. Anggota melakukan serap aspirasi daerah melalui kegiatan di daerah (reses). Kategori aspirasi yang dihimpun oleh anggota ada dua: (1) Aspirasi menyangkut daerah masing-masing, disampaikan langsung kepada pemerintah daerah sebagai bahan masukan Musrenbangda. (2) Aspirasi pusat, disampaikan/diproses secara kelembagaan DPD.

Pada Tahap Pertimbangan: serap aspirasi dalam bentuk menerima, merumuskan, dan menindaklanjuti masukan hasil Musrenbangda, selain memperkuat aspirasi yang telah disampaikan pada tahap Pra-RKP.

2) Hasil pengawasan.

Pengawasan dilaksanakan oleh Alat Kelengkapan DPD sesuai dengan tupoksinya. Terdapat dua jenis pengawasan yang dilakukan oleh Alat Kelengkapan DPD, yaitu: (1) Pelaksanaan pengawasan terhadap UU Sektoral dan (2) Pelaksanaan pengawasan terhadap UU APBN Sektor yang terkait.

3) Masukan dari Budget Office (BO) dan Puskada

Pada Tahap Pra-RKP: BO memberikan masukan berupa panduan (daftar isian) yang diperlukan dalam rangka menghimpun aspirasi daerah.

(36)

33

Pada Tahap Pertimbangan: Fokus kajian BO : (1) mengevaluasi keterkaitan RPJPN, RPJPD, RPJMN, RPJMD dan akomodasinya pada RKPN, RKPD. (2) pertimbangan atas Indikator ekonomi makro APBN, IPM, dan IDI. Sementara Puskada bertugas menghimpun dan merumuskan seluruh aspirasi daerah dalam program pembangunan.

B. Proses Pembahasan dan Keluaran

1. Tahapan Pra-RKP

DPD mendahului pembahasan (pembicaraan) pendahuluan dengan Pemerintah sebelum DPR melakukan agenda tersebut dengan Pemerintah. Tahapan pembicaraan pendahuluan dengan Pemerintah ini dalam rangka menyampaikan aspirasi resmi DPD agar masuk di dalam Rencana Kerja Pemerintah. Langkah ini dilakukan sebagai strategi DPD agar usulan anggaran prioritas daerah dapat masuk dan diterima terlebih dahulu oleh Pemerintah untuk diperjuangkan di dalam RKP.

Adapun tahapan kegiatan pada Pra-RKP adalah sebagai berikut:

(1) Setiap Anggota DPD melakukan serap aspirasi daerah masing-masing pada Reses Masa Sidang I (Desember-Januari). BO mempersiapkan petunjuk teknis berupa panduan (daftar isian) yang diperlukan dalam rangka menghimpun aspirasi daerah serta memberikan hasil kajian yang berfokus pada analisa dan proyeksi RKP tahun yang akan datang apakah ada perubahan atau tidak ada perubahan dari RKP tahun sebelumnya.

Hasil serap aspirasi selama Reses tersebut dikonsolidasikan oleh Kelompok Provinsi dan dipilah mana yang merupakan aspirasi yang ditujukan untuk daerah masing-masing dan aspirasi untuk disampaikan kepada pemerintah pusat. Terkait aspirasi daerah masing-masing, Kelompok Provinsi melaksanakan Raker dengan Pemda untuk menyampaikan aspirasi dimaksud sebagai materi masukan untuk Musrenbangda. Terkait aspirasi untuk pemerintah pusat disampaikan kepada dan diproses secara kelembagaan DPD melalui komite-komite terkait. Aspirasi untuk pemerintah pusat tersebut dihimpun dan dirumuskan oleh Puskada dan hasilnya disampaikan kepada komite-komite sebagai bahan rapat kerja dengan pemerintah. Selain itu

(37)

34

Puskada juga merumuskan hasil-hasil pengawasan yang dilaksanakan oleh komite-komite.

(2) Memasuki Masa Sidang II (Januari-Februari), Komite I, II, III, dan IV serta Kelompok Provinsi melakukan konsolidasi hasil serap aspirasi dan pengawasan selama Reses Masa Sidang I dengan menerima dan membahas masukan dari Puskada. Konsolidasi hasil serap aspirasi di masing-masing Komite dilakukan oleh Tim APBN masing-masing Komite. Selanjutnya, tiap-tiap komite melaksanakan Raker dengan kementerian sektoral dalam rangka memasukkan aspirasi masing-masing komite agar diakomodir di dalam Rencana Kerja kementerian/lembaga terkait. Raker ini menghasilkan kesepakata Pra-RKP sektoral (Minggu I Februari).

Catatan: Raker dengan kementerian sektoral dimaksud dilakukan maksimal dengan menteri/kepala lembaga atau yang mewakili (Dirjen/Eselon I) atau jika tidak memungkinkan bisa dalam bentuk konsultasi/komunikasi dengan pejabat terkait yang terpenting target memasukkan aspirasi tercapai.

(3) Hasil kesepakatan Pra-RKP sektoral sebagaimana poin (2) dikonsolidasikan oleh Komite IV dalam Ragab Komite IV dengan Tim APBN Komite I, II, dan III sebagai usulan resmi aspirasi DPD. Usulan tersebut selanjutnya disampaikan kepada Pemerintah dalam Raker Komite IV dengan Menteri PPN/Kepala Bappenas dan Menkeu dengan mengikutsertakan Tim APBN Komite I, II, dan III. Raker ini dilaksanakan dalam rangka penguatan kesepakatan Pra-RKP sektoral dan hasil yang diharapkan adalah adanya kesepakatan Pra-RKP dengan Menteri PPN/Bappenas dan Menkeu (Minggu II Februari). Secara internal, hasil kesepakatan ini menjadi bahan/informasi bagi anggota untuk Musrenbangda.

2. Tahapan Pertimbangan

Pelaksanaan pembahasan pertimbangan atas kerangka ekonomi makro dan pokok-pokok kebijakan fiskal serta dana transfer daerah sebagai pembicaraan pendahuluan RUU APBN dilaksanakan oleh DPD menyesuaikan dengan tahapan dan waktu pembahasan pembicaraan pendahuluan yang dilakukan oleh DPR dan Pemerintah.

(38)

35

DPD menyampaikan pertimbangan atas kerangka ekonomi makro dan pokok-pokok kebijakan fiskal serta dana transfer daerah secara komprehensif, sekurang-kurangnya mencakup:

(1) Pertimbangan terhadap kerangka ekonomi makro (2) Pertimbangan terhadap kebijakan fiskal

(3) Pertimbangan terhadap kebijakan pendapatan negara (4) Pertimbangan terhadap kebijakan belanja negara (5) Pertimbangan terhadap prioritas pembangunan daerah

Pembicaraan Pendahuluan RAPBN dilaksanakan oleh DPR bersama Pemerintah dimulai pada pertengahan bulan Mei dengan penyampaian Kepres tentang Rencana Kerja Pemerintah oleh Pemerintah kepada DPR untuk dibahas bersama DPR.

Paralel dengan kegiatan yang dilakukan oleh DPR dan Pemerintah, pada tahapan ini DPD memberikan pertimbangan terhadap Kerangka Ekonomi Makro, Pokok-Pokok Kebijakan Fiskal, dan Dana Transfer Daerah. Pertimbangan DPD disampaikan kepada DPR pada bulan Juli sebelum penyampaian Nota Keuangan dan RUU APBN oleh Presiden tanggal 16 Agustus. Hal ini dilakukan agar usulan prioritas setiap daerah dapat diperjuangkan dalam anggaran kementerian/lembaga.

Adapun kegiatan yang dilakukan oleh DPD dalam rangka pembahasan pertimbangan dimaksud adalah sebagai berikut.

(1) Proses penyusunan pertimbangan dilakukan pada saat DPD menerima dokumen kerangka ekonomi makro dan pokok-pokok kebijakan fiskal serta Rencana Kerja Pemerintah. Dalam rangka memberikan pertimbangan dimaksud diharapkan sebelumnya setiap Anggota DPD mendampingi daerah dalam melakukan Musrenbang Provinsi untuk menyerap aspirasi prioritas daerah (berbekal hasil kesepakatan Pra-RKP pada tahap sebelumnya). Selanjutnya, Pimpinan DPD dan Komite IV diharapkan menghadiri Musrenbangnas untuk untuk menyerap aspirasi prioritas daerah dalam rangka pembicaraan pendahuluan RAPBN.

Sebagai bahan awal (masukan/input) komite-komite menerima hasil kajian BO dan masukan Puskada. Hasil kajian BO berfokus pada (1) evaluasi keterkaitan RPJPN,

(39)

36

RPJPD, RPJMN, RPJMD dan akomodasinya pada RKPN, RKPD, (2) pertimbangan atas Indikator ekonomi makro APBN, Indeks Pembangunan Manusia, dan Indeks Demokrasi Indonesia. Sementara masukan Puskada berupa rumusan hasil serap asiprasi daerah dalam program pembangunan yang telah disepakati dengan pemerintah pada tahap Pra-RKP serta hasil-hasil pengawasan komite sebelumnya untuk dijadikan masukan dalam rangka penyusunan pertimbangan.

(2) Dalam rangka persipan penyusunan pertimbangan, Komite IV melaksanakan Rapat Pleno dengan agenda pembahasan/pengkajian Kerangka Ekonomi Makro, Pokok-Pokok Kebijakan Fiskal, dan Dana Transfer Daerah dengan membahas hasil kajian BO dan masukan Puskada. Komite IV juga dapat mengundang pakar, akademisi, dan pihak-pihak terkait dalam forum Rapat Dengar Pendapat Umum (RDPU) guna memperoleh masukan.

(3) Sebagai tindak lanjut hasil pembahasan/persiapan penyusunan pertimbangan, Komite IV melaksanakan Raker dengan Pemerintah (Menteri Keuangan dan Menteri PPN/Kepala Bappenas) dan Gubernur BI mengikutsertakan Tim APBN Komite I, II, dan III, dan Panitia Urusan Rumah Tangga DPD dengan agenda untuk mendapatkan informasi umum tentang:

(a) Kerangka ekonomi makro dan pokok-pokok kebijakan fiscal (b) Kebijakan umum dan prioritas anggaran K/L

(c) Rincian unit organisasi, fungsi, program, dan kegiatan

Fokus bahasan yang ingin didalami oleh DPD pada Raker ini adalah pagu indikatif kementerian/lembaga (termasuk pagu DPD) serta perhatian khusus terhadap isu-isu tertentu antara lain rekening-rekening bantuan sosial ke daerah.

(4) Hasil Raker sebagaimana dimaksud pada poin (3) ditindaklanjuti oleh Komite-Komite dengan Raker Komite-Komite I-IV bersama Kementerian Sektoral masing-masing guna membahas RKP pada masing-masing kementerian. Tujuan utama dari Raker ini adalah (1) memastikan usulan resmi aspirasi daerah yang disampaikan pada Tahap Pra-RKP (bulan Januari) telah masuk dalam RKP kementerian sektoral, (2) memasukkan usulan baru aspirasi daerah hasil Musrenbang Provinsi.

Gambar

Tabel 3.1.    Postur Utama APBN
Gambar  3.1.  Siklus Penyusunan, Pelaksanaan   dan Pertanggungjawaban APBN
Gambar 3.2.  Alur Perencanaan dan Penganggaran
Gambar  3.3.  Ruang Lingkup Transfer Daerah Dalam APBN
+5

Referensi

Dokumen terkait

Sedangkan 2 kabupaten/kota lainnya ( Tana Tidung dan Tarakan) masih mengalami kenaikan produksi masing-masing sebesar 248 ton dan 182 ton.. Kemudian mengalami penurunan

Alasan-alasan yang dikemukakan seperti : terpidana memilih untuk melaksanakan pidana subsider dari pada membayar pidana uang pengganti karena dianggap lebih

Pengaruh perubahan penggunaan lahan hutan alam menjadi HTI (Hutan Tanaman Industri) Acacia crassicarpa terhadap sebaran partikel tanah gambut disajikan pada

Di setiap sekolah terdapat berbagai macam jenis ekstrakurikuler, yang mana melalui ekstrakurikuler ini mereka dapat menyalurkan bakatnya sesuai dengan minat

bahwa sehubungan dengan bahan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a, huruf b, huruf c, dan huruf d, Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia melalui Komite IV sesuai

Hasil penelitian ini sesuai dengan hasil penelitian Budiwati (2012) pada Mahasiswa Prodi Psikologi UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta angkatan 2008 dan 2011,

Jadi sistem pakar Æ kepakaran ditransfer dari seorang pakar (atau sumber kepakaran yang lain) ke komputer, pengetahuan yang ada disimpan dalam komputer, dan pengguna

Hasil yang didapatkan berupa peta bathymetri perairan dangkal gugus Pulau Pari, Kepulauan Seribu, Jakarta skala 1 : 8.000 dari perbandingan antara data citra satelit dengan