• Tidak ada hasil yang ditemukan

2. TINJAUAN PUSTAKA. 9 Universitas Kristen Petra

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "2. TINJAUAN PUSTAKA. 9 Universitas Kristen Petra"

Copied!
31
0
0

Teks penuh

(1)

2. TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Bauran Pemasaran

Sekarang ini, pemasaran tidak hanya menghasilkan penjualan namun juga untuk memuaskan kebutuhan konsumen. Menurut Kotler & Armstrong (2013), pemasaran didefinisikan sebagai proses dimana perusahaan menciptakan nilai untuk konsumen dan membangun hubungan yang kuat dengan konsumen dimana bertujuan untuk memperoleh nilai dari konsumen sebagai balasannya.

Kotler & Fox (1995) mendefinisikan educational marketing sebagai analisa, perencanaan, implementasi, dan kontrol terhadap program yang dirumuskan secara hati-hati yang didesain untuk menghasilan pertukaran nilai secara sukarela dengan target pasar untuk mencapai tujuan organisasi. Menurut Glava & Glava (2015), ada perbedaan besar antara traditional marketing dan educational marketing. Perbedaan pertama adalah fakta bahwa sekolah sebagai institusi yang menawarkan jasa berbeda dengan institusi bisnis yang menawarkan barang. Kedua, akuisisi dari pembeli jasa pendidikan tidak berwujud. Karena jasa pendidikan bukan merupakan produk dalam bentuk fisik, maka harus dianalisa melalui kesan yang mereka berikan kepada klien potensial. Ketiga, fakta bahwa jasa pendidikan mungkin mengandalkan kepada reputasi dari perorangan. Orang tua mungkin memilih sekolah karena guru tertentu dan hal ini bisa menjadi satu-satunya alasan dalam memilih sekolah. Keempat, fakta bahwa sangat sulit membandingkan kualitas dari jasa pendidikan yang mirip. Kelima adalah pembeli tidak dapat mengembalikan produk pendidikan ketika mereka sudah memilih dan menggunakan produk tersebut. Terakhir adalah ketidakmungkinan dari pengulangan penggunaan dari jasa pendidikan, tidak seperti pengunaan barang atau jasa lainnya.

Menurut Kotler & Armstrong (2013), bauran pemasaran didefinisikan sebagai sekumpulan alat pemasaran yang bekerja sama untuk memuaskan kebutuhan konsumen dan membangun hubungan dengan konsumen. Dalam traditional marketing mix terdiri dari 4Ps yaitu, product, place, promotion, dan price. Menurut Zeithaml et al. (2009), jasa biasanya diproduksi dan dikonsumsi secara bersamaan, konsumen ikut dalam proses produksi jasa, berinteraksi secara

(2)

langsung dengan karyawan perusahaan, dan sebenarnya konsumen merupakan bagian dari proses produksi jasa tersebut. Karena jasa tidak berwujud, konsumen seringkali akan mencari petunjuk yang berwujud untuk membantu mereka dalam memahami sifat alami dari pengalaman penggunaan jasa. Pengakuan atas pentingnya variabel tambahan ini mendorong services marketers untuk mengadopsi konsep dari expanded marketing mix untuk jasa dimana terdapat tiga tambahan elemen dalam services marketing mix. Sehingga dalam services marketing mix menggunakan pendekatan 7Ps. Dengan menambahkan tiga variabel ke dalam traditional marketing mix (people, physical evidence, dan process), institusi pendidikan dapat menggunakan strategi pemasaran yang lengkap untuk mengatasi situasi pasar dan mencapai tujuan yang telah ditetapkan.

2.1.1. Product

Menurut Kotler & Armstrong (2013), produk adalah segala sesuatu yang dapat ditawarkan kepada pasar untuk mendapatkan perhatian, akuisisi, penggunaan atau konsumsi yang mungkin dapat memuaskan sebuah keinginan atau kebutuhan. Produk tidak hanya meliputi objek yang berwujud namun juga termasuk jasa, acara, orang, tempat, organisasi, ide, dan campuran dari semua hal tersebut. Produk merupakan elemen kunci dari keseluruhan penawaran pemasaran. Bauran pemasaran dimulai dengan membangun penawaran yang memberikan nilai kepada konsumen. Penawaran ini menjadi dasar dimana perusahaan membangun hubungan yang menguntungkan dengan konsumen. Sekarang ini, untuk membedakan penawaran mereka dengan pesaingnya, perusahaan tidak hanya sekedar menghasilkan produk dan memberikan jasa, namun mereka menciptakan dan mengatur pengalaman konsumen terhadap brand atau perusahaan. Sama halnya dengan Kotler & Armstrong, Enache (2011), menyatakan bahwa dalam traditional marketing mix, produk memiliki peran utama dalam bauran pemasaran.

Dalam Kotler & Fox (1995), produk dalam bidang pendidikan diberi istilah lain yaitu program. Program adalah keputusan paling dasar yang harus dibuat oleh institusi pendidikan. Program dari sebuah institusi pendidikan menunjukkan

(3)

mengenai identitas dan posisi dari institusi tersebut jika dibandingkan dengan institusi pendidikan lainnya dalam pikiran konsumen. Institusi pendidikan yang memiliki program yang hampir sama satu dengan lainnya akan mengetahui bahwa masyarakat membedakan institusi pendidikan berdasarkan program dan kualitas yang dimiliki oleh institusi tersebut.

Menurut Enache (2011), walaupun dalam educational marketing peran produk tidak dikurangi, namun dapat ditingkatkan dengan keenam komponen lainnya dalam strategi pemasaran. Artinya, educational product tidak dapat dipisahkan dari physical evidence dan juga people. Hal ini dikarenakan educational product memiliki karakteristik yang sama dengan service. Educational product merupakan produk yang tidak berwujud, maka dibutuhkan physical evidence untuk sebagai solusi dari karakterisik tersebut. Educational product juga tidak dapat dipisahkan dari people selama people merupakan pihak yang menciptakan jasa pendidikan. Dalam penelitian ini, strategi produk dapat dilihat dari dua perspektif yang berbeda. Perspektif pertama adalah produknya adalah jasa pendidikan dan konsumennya adalah siswa sedangkan perspektif kedua adalah siswa sebagai produk yang diberikan kepada pasar tenaga kerja. Dalam perspektif pertama, jika siswa adalah konsumen maka institusi pendidikan akan fokus kepada permintaan konsumen dan mencoba untuk memenuhinya. Sedangkan perspektif kedua, institusi pendidikan akan lebih memperhatikan kebutuhan pengetahuan yang diperlukan oleh siswa agar sukses berkarir daripada kebutuhan siswa sendiri.

Dalam penelitian milik Ivy (2008), produk merupakan segala sesuatu yang telah dijual. Produk bukan hanya sekumpulan fitur yang berwujud namun lebih kepada sekumpulan manfaat kompleks yang dapat memuaskan kebutuhan konsumen. Senada dengan definisi produk milik Enache, Ivy juga menyatakan bahwa terdapat dua perspektif dalam mendefinisikan produk pendidikan. Dalam penelitiannya, Ivy lebih cenderung mengartikan produk adalah siswa. Desain dari lulusan, merupakan pusat dari elemen produk dari bauran pemasaran. Kurikulum harus dikembangkan dan diadaptasi untuk memenuhi kebutuhan siswa. Dari pernyataan tersebut, dapat diketahui bahwa Ivy lebih mengutamakan kebutuhan

(4)

siswa daripada kebutuhan pengetahuan yang diperlukan agar siswa sukses di pasar tenaga kerja. Dalam penelitian ini, elemen produk dimasukkan ke dalam elemen premiums dan program setelah dilakukan analisa faktor. Premiums adalah segala sesuatu yang bertindak sebagai insentif atau sesuatu yang menambahkan nilai spesial dalam sebuah penawaran. Premiums terdiri dari akomodasi, modul, program pertukaran pelajar, fasilitas komputer, residential requirements, dan ukuran kelas. Dari variabel yang terdapat dalam elemen premiums, variabel yang menggambarkan mengenai elemen produk adalah program pertukaran pelajar. Elemen program terdiri dari rentang pilihan mata kuliah fakultatif dan pilihan mata kuliah pokok.

Penelitian milik Mustafa et al. (2014) serta Ogunnaike et al. (2014) mendefinisikan produk sebagai intangible product dimana hal ini sama dengan penelitian milik Enache (2011) dan Ivy (2008). Mustafa et al. mendefinisikan produk sebagai performance siswa sedangkan Ogunnaike et al. mendefinisikan produk sebagai kegiatan belajar mengajar.

Li & Hung (2009) serta Alipour et al. (2012), mendefinisikan produk lebih kepada fasilitas sekolah. Menurut Li & Hung (2009), product mix merujuk kepada infrastruktur sekolah seperti perpustakaan, komputer, dan fasilitas pembelajaran sedangkan menurut Alipour et al. (2012), produk dalam sektor pendidikan berhubungan dengan fasilitas sekolah seperti laboratorium training, workshop, dan perpustakaan. Sehingga, elemen produk menurut definisi tersebut mirip dengan elemen physical evidence.

Dari paparan teori di atas, terdapat beberapa definisi dari produk. Definisi pertama menyatakan bahwa produk adalah tangible product dimana definisi product disama artikan dengan physical evidence. Sedangkan definisi kedua menyatakan bahwa produk adalah intangible product yang diartikan sebagai program yang ditawarkan oleh sekolah, performance siswa, desain dari lulusan, serta kegiatan belajar mengajar. Dalam penelitian ini, produk lebih condong kepada definisi kedua karena produk utama dari pendidikan merupakan intangible product.

(5)

2.1.2. Price

Harga adalah jumlah uang yang harus dikeluarkan untuk mendapatkan produk atau jasa. Lebih luas lagi, harga adalah jumlah semua nilai yang konsumen berikan untuk mendapatkan manfaat dari memiliki atau menggunakan produk atau jasa (Kotler & Armstrong, 2013). Menurut Zeithaml et al. (2009), ada tiga perbedaan dalam hal evaluasi konsumen mengenai penetapan harga untuk barang dan jasa:

1. Konsumen seringkali memiliki referensi yang tidak tepat atau terbatas mengenai harga untuk jasa tertentu. Ada banyak alasan mengenai hal ini, yaitu variabilitas jasa membatasi pengetahuan, provider tidak bersedia untuk mengestimasi harga, kebutuhan tiap konsumen berbeda-beda, kumpulan informasi harga dalam bidang jasa terlalu banyak, dan harga tidak terlihat.

2. Harga adalah sinyal kunci dari kualitas jasa. Pembeli sering menggunakan harga sebagai indikator dari biaya jasa dan kualitas jasa; harga bisa menjadi variabel yang menarik ataupun malah berakibat penolakan. Karena konsumen menganggap harga sebagai petunjuk dari kualitas dan karena harga membentuk ekspektasi dari kualitas, maka harga jasa harus ditentukan dengan hati-hati. Agar bisa menutupi biaya dan menandingi kompetitor, harga harus mencerminkan signal kualitas yang sesuai. 3. Harga dalam bentuk moneter bukan merupakan satu-satunya harga yang

relevan bagi konsumen jasa. Ekonom menyatakan bahwa harga dalam bentuk moneter bukan merupakan satu-satunya pengorbanan yang dilakukan konsumen untuk mendapatkan produk dan jasa. Biaya nonmoneter merupakan pengorbanan lainnya yang dipersepsikan oleh konsumen ketika membeli dan menggunakan jasa. Biaya nonmoneter terdiri dari time costs, search costs, convenience costs, psychological costs, dan reducing nonmonetary costs.

Menurut Kotler & Fox (1995), harga terdiri dari biaya moneter dan juga biaya lainnya seperti effort cost, psychological cost dan time cost. Tanpa memperhatikan daftar harga sekolah, calon siswa dan keluarga tertarik untuk lebih melihat kepada

(6)

effective price (jumlah sebenarnya mereka bayarkan untuk mendapatkan manfaat pendidikan) dan nilai yang mereka terima. Effective price adalah jumlah bersih yang sebenarnya dibayarkan setelah dikurang bantuan keuangan dan diskon lainnya.

Menurut Enache (2011), harga dari program pendidikan adalah uang sekolah yang dipengaruhi oleh biaya, permintaan dan harga kompetitor. Strategi harga merupakan satu-satunya strategi yang mampu mempengaruhi secara langsung pendapatan dari institusi pendidikan. Jika program pendidikan memiliki permintaan yang kuat di pasar maka uang sekolah akan meningkat. Jika program tersebut unik di pasar (kolaborasi antara dua institusi pendidikan yang kuat dimana menawarkan kesempatan tambahan, dan sebagainya) atau kompetisi di segmen tersebut tidak terlalu kuat maka harga akan lebih tinggi. Strategi harga juga merupakan pernyataan brand yang penting. Biaya yang tinggi dari sebuah program pendidikan dapat mengisyaratkan bahwa institusi pendidikan atau fakultas tersebut lebih baik dibandingkan dengan kompetitornya. Harga yang tinggi juga bisa mengisyaratkan bahwa program pendidikan tersebut baru atau langka di pasar.

Sama halnya dengan penjelasan milik Enache dimana harga juga berdampak kepada persepsi kualitas, Ivy (2008) juga menyatakan bahwa elemen harga tidak hanya mempengaruhi pendapatan yang didapatkan oleh institusi pendidikan dari pendaftaran siswa, namun juga mempengaruhi persepsi siswa atas kualitas. Elemen harga dari bauran pemasaran didominasi dari apa yang dibebankan dalam uang sekolah, yang dibutuhkan untuk mendaftar di institusi pendidikan. Elemen harga merupakan hal yang penting untuk operasional sehari-hari dalam banyak sekolah. Elemen harga dari bauran pemasaran di sekolah didominasi oleh fleksibilitas pembayaran dan jumlah dari uang sekolah. Ho (2014) menyatakan bahwa jika persepsi harga dari suatu produk lebih tinggi dibandingkan dengan persepsi nilai yang diterima oleh konsumen, maka hal tersebut akan mengakibatkan konsumen enggan menggunakan produk tersebut lagi. Sebaliknya, jika persepsi harga terlalu rendah, maka konsumen akan khawatir mengenai

(7)

kualitas dari produk tersebut.

Harga dalam bidang pendidikan didefinisikan sebagai uang sekolah yang dibayarkan oleh orang tua siswa (Alipour et al., 2012; Mustafa et al., 2014; Ogunnaike et al., 2014). Khususnya penelitian milik Alipour et al. serta Mustafa et al. mendukung mengenai fleksibilitas pembayaran dimana penelitian ini menyatakan bahwa kebijakan seperti cicilan uang sekolah dan memiliki pendekatan yang fleksibel dapat meningkatkan pendaftaran secara efektif. Pendekatan fleksibel berarti, misalnya, memberikan diskon uang sekolah kepada siswa tertentu. Uang sekolah yang dibayarkan oleh orang tua untuk pendidikan anak mereka merupakan harga yang sesuai dalam sektor pendidikan. Harga yang relevan dengan isu uang sekolah memiliki efek untuk mendorong orang tua untuk mendaftar. Penggunaan uang sekolah dan detailnya dipublikasikan di website sekolah. Hal ini mengakibatkan kepercayaan orang tua siswa terhadap sekolah semakin bertambah.

Definisi harga paling kontras adalah milik penelitian Li & Hung (2009). Dalam penelitian ini, price mix mengacu kepada beasiswa dikarenakan Departemen Pendidikan di Taiwan memberlakukan bahwa seluruh sekolah dasar harus memiliki tarif uang sekolah yang sama. Namun, di dalam kuesioner studi ini memiliki indikator price mix yang tidak dibahas sama sekali dalam literature review. Dari lima indikator price mix, terdapat tiga indikator muncul tanpa memiliki pembahasan dalam literature review yaitu sekolah dapat menawarkan makan siang siswa dengan harga yang kompetitif, orang tua mengetahui secara jelas mengenai detail dan penggunaan dari uang sekolah, dan uang sekolah serta biaya lainnya masuk akal.

Dari penjelasan di atas, dalam penelitian ini harga didefinisikan sebagai uang sekolah yang dibayarkan oleh orang tua siswa.

(8)

2.1.3. Place

Place merujuk kepada aktivitas perusahaan yang mengakibatkan produk dapat tersedia kepada target konsumen (Kotler & Armstrong, 2013). Menurut Lockhart (2011), dalam lingkungan sekolah, kategori place merujuk kepada dimana/where produk atau jasa diberikan tetapi juga bagaimana/how. Where meliputi lingkungan fisik sekolah. Bagaimana siswa dapat mengakses pendidikan termasuk dalam elemen place. Kesulitan atau banyaknya waktu yang dibutuhkan siswa untuk ke sekolah atau jika orang tua enggan untuk mengijinkan anaknya naik kendaraan umum karena adanya isu ketidakamanan. How meliputi bagaimana produk tersebut diberikan. Misalnya metode pengajaran, apakah tradisional atau inovatif, bisa menjadi aset atau kelemahan.

Menurut Enache (2011), placement strategy memiliki dua perspektif. Pertama, dengan mempertimbangkan bahwa jasa pendidikan adalah produknya, placement strategy akan mencari metode paling efisien untuk mentransferkan ilmu kepada siswa. Kedua, jika produknya adalah mahasiswa yang telah lulus, kebijakan placement akan mengembangkan cara untuk menempatkan siswa secara efisien di pasar tenaga kerja. Untuk kasus pertama, teknologi baru memiliki peran yang bertambah penting. Akses kepada informasi menjadi lebih mudah dan lebih cepat. Misalnya, universitas dapat menggunakan internet portal untuk mengurangi beban kerja untuk staf administrasi dengan menyediakan informasi secara online. Portal yang sama dapat digunakan untuk fasilitas pembelajaran jika dosen dan informasi lainnya tersedia untuk mahasiswa. Untuk kasus kedua, kontak dengan sektor ekonomi menjadi semakin penting. Jika desain dari produk pendidikan memperhatikan kebutuhan ekonomi yang ada, placement strategy akan sukses. Sebaliknya, pengetahuan yang ditransferkan kepada siswa tidak akan relevan dengan kebutuhan pasar tenaga kerja atau masyarakat.

Dalam penelitian milik Kotler & Fox (1995), Ivy (2008) dan Ogunnaike et al. (2014), peneliti mendefinisikan place senada dengan milik Enache yaitu mengacu kepada how artinya bagaimana produk tersebut diberikan. Kegiatan belajar mengajar tidak dibatasi oleh waktu dan batasan geografi, sehingga pendidikan

(9)

dapat selalu tersedia dan dapat diakses. Hal ini dapat terwujud dengan adanya bantuan informasi teknologi. Place adalah metode distribusi yang diadopsi oleh institusi untuk menyediakan bimbingan kepada para siswa yang dapat memenuhi harapan siswa. Pengembangan metode alternatif dari pengajaran secara tatap muka telah tumbuh dengan signifikan; siswa tidak lagi dibatasi oleh ruang kelas dan guru untuk mendapatkan ilmu yang mereka butuhkan. Akses kepada guru dan materi pendukung telah meningkat dimana tersedia melalui media pembelajaran virtual. Setelah dilakukan analisa faktor, elemen place dimasukkan ke dalam elemen people dimana salah satu indikatornya adalah menyediakan bimbingan tatap muka. Elemen place juga terkandung dalam elemen product yaitu terkait dengan akomodasi.

Menurut Li & Hung (2009), Alipour et al. (2012), dan Mustafa et al. (2014), place merujuk kepada where artinya bagaimana siswa dapat mengakses pendidikan. Ketiga penelitian tersebut mendefinisikan place sebagai apakah lokasi sekolah mudah diakses dan menyediakan kenyamanan dalam hal transportasi. Place terlihat seperti fenomena heterogen, yang dibentuk oleh tiap sekolah di tiap tempat. Kenyamanan lokasi mengurangi waktu dari orang tua dan siswa untuk pulang pergi dari sekolah setiap harinya, maka dari itu mereka merasa mendapatkan nilai tambahan dari sekolah. Lokasi juga berpengaruh terhadap biaya dimana hal tersebut merupakan faktor yang signifikan dalam proses memilih institusi pendidikan. Hal ini mendorong para siswa untuk mempertimbangkan memilih institusi pendidikan yang dekat dengan rumah (Price et al., 2003). Peningkatan nilai dihasilkan dari pengurangan waktu yang dikorbankan orang tua untuk mengantar anaknya ke sekolah menghasilkan persepsi orang tua yang lebih tinggi terhadap school image (Yoo et al., 2000). Dalam penelitian Alipour et al., setelah dilakukan analisa faktor elemen place dihilangkan dari elemen bauran pemasaran karena setelah dilakukan interview dengan kepala sekolah swasta, elemen place tidak termasuk di dalam bauran pemasaran.

(10)

Dari paparan teori di atas, dalam penelitian ini place lebih condong kepada where. Place didefinisikan sebagai apakah lokasi sekolah mudah diakses dan menyediakan kenyamanan dalam hal transportasi.

2.1.4. Promotion

Promosi adalah aktivitas yang mengkomunikasikan manfaat dari produk dan membujuk target konsumen untuk membelinya (Kotler & Armstrong, 2013). Dalam buku Zeithaml et al. (2009), marketing communication khususnya external marketing communication dan interaction marketing merupakan istilah dari promosi. External marketing communication terdiri dari iklan, sales promotion, public relations, dan direct marketing sedangkan interaction marketing terdiri dari personal selling, customer service center, service encounter, dan servicescape. Konsumen jasa merupakan target dari dua tipe komunikasi tersebut.. Sekarang ini, marketing communication semakin kompleks. Di masa lalu, konsumen menerima informasi marketing mengenai barang dan jasa dari jumlah sumber yang terbatas, biasanya sumber komunikasi massa seperti jaringan televisi dan surat kabar. Dengan sumber yang terbatas, marketer dengan mudah dapat membentuk brand image yang seragam dan mengkoordinasikan janji-janji. Bagaimanapun juga, konsumen di jaman sekarang ini menerima komunikasi dari berbagai macam perantara pamasaran seperti websites, direct mail dan lain sebagainya.

Menurut Enache (2011), institusi pendidikan memiliki banyak channel yang penting dimana harus diberi informasi. Strategi promosi fokus kepada pencarian cara yang efisien untuk mencapai pihak penerima. Salah satu kategori paling penting dari penerima adalah siswa. Tantangan pertama adalah menyajikan dan menjelaskan produk pendidikan dengan cukup kepada siswa potensial. Dalam hal ini, website merupakan saluran komunikasi yang paling penting. Kemudian institusi pendidikan perlu untuk mengkomunikasikan dengan cara yang efisien mengenai permintaan dan kesempatan yang dimiliki oleh institusi pendidikan tersebut. Public relation juga dapat menjadi alat yang kuat, mampu meningkatkan strategi promosi institusi pendidikan. Dalam Kotler & Fox (1995) menyatakan

(11)

bahwa tipe utama dari marketing communication adalah public relations, marketing publications, dan iklan.

Berkebalikan dengan penelitian Enache, dalam penelitian milik Ivy (2008) menyatakan bahwa karena luasnya variasi masyarakat, hanya dengan menggunakan website institusi untuk berkomunikasi tidak mungkin efektif. Dalam penelitian ini, promosi adalah semua alat yang dapat digunakan institusi pendidikan untuk memberikan informasi kepada pasar mengenai tawaran yang dimiliki: iklan, publikasi, public relation, dan usaha promosi penjualan. Calon siswa sangat penting sehingga sejumlah alat promosi akan digunakan kepada mereka untuk tujuan rekrutmen misalnya open days, pameran pendidikan, konvensi, email dan iklan secara langsung. Namun sangat sedikit alat yang digunakan institusi pendidikan untuk menginformasikan, mengingatkan, dan membujuk calon siswa untuk memilih institusi tersebut. Setelah dilakukan analisa faktor, studi ini membagi aktivitas promosi ke dalam tiga elemen yaitu promotion, prospectus, dan prominence. Promotion terdiri dari press advertising, publisitas dan pemasaran elektronik sedangkan prospectus terdiri dari hard copy dari prospectus dan direct mail. Dalam studi ini, prospectus seharusnya digabungkan dengan elemen promosi dimana item yang ada di dalam prospectus termasuk dalam aktivitas promosi karena dari definisi mengenai prospectus tidak ada indikasi yang mengharuskan elemen tersebut untuk terpisah dengan promosi. Dalam elemen people terdapat indikator kontak personal dengan alumni serta open days, dimana seharusnya indikator ini lebih tepat dimasukkan ke dalam elemen promosi. Dalam elemen prominence terdapat indikator league tables dan informasi online dari website institusi. Kedua indikator tersebut lebih cocok dimasukkan ke dalam elemen promosi karena keduanya bisa digunakan sebagai alat untuk mempromosikan sekolah kepada orang tua siswa.

Li & Hung (2009), Alipour et al. (2012), Mustafa et al. (2014), dan Ogunnaike et al. (2014), memberikan definisi yang sama mengenai promotion. Promotion merupakan elemen kunci dalam bauran pemasaran sekolah. Promotion merujuk kepada pembagian informasi kepada orang tua melalui media formal atau

(12)

informal (misalnya, pamflet, surat, brosur, internet portal atau pertemuan POMG). Memang, sebagian besar dari usaha pemasaran yang dilakukan di sekolah diklasifikasikan sebagai promosi (Oplatka & Hemsley-Brown, 2004). Tujuan dari promosi adalah komunikasi dengan target pasar. Konsep yang sama sekarang ini memiliki peran yang signifikan dalam menciptakan keunggulan kompetitif untuk organisasi melawan kompetitor. Rencana tidak akan sukses tanpa rencana promosi yang efektif. Beberapa aktivitas promosi yang biasa digunakan di sekolah swasta, yaitu:

a. Public relation (PR)

PR menciptakan mentalitas sekolah yang menguntungkan di antara grup yang berbeda-beda dalam target pasar, tanpa perlu membayar. Peran PR adalah untuk meningkatkan usaha marketing di sekolah. Tujuan pentingnya adalah membentuk cara untuk memperkenalkan dan menciptakan kesadaran masyarakat mengenai pencapaian sekolah. Salah satu tipe umum dari non media public relations adalah PTA (Parent Teacher Association)

b. Expo

Expo merupakan hal yang biasa di antara sekolah swasta. Pameran ini merupakan bagian dari pengaturan persepsi orang tua. Expo melindungi dari beredarnya rumor mengenai sekolah (Oplatka & Hemsley-Brown, 2004) dan akan membiasakan orang tua dengan karakteristik dan pencapaian sekolah. Juga akan memperluas komunikasi antara sekolah dan orang tua.

c. Brosur

Brosur paling banyak digunakan di sekolah dibandingkan dengan elemen pengiklanan lainnya. Seringkali brosur merupakan kontak pertama orang tua dan sekolah. Brosur dapat menciptakan dan mengembangkan image yang menguntungkan image sekolah dalam pikiran orang tua.

Dalam penelitian Alipour et al. (2012), setelah dilakukan analisa faktor, studi ini membagi aktivitas dari elemen promosi menjadi dua yaitu promosi, PTC (Parent Teacher Communication), dan privilege. Elemen promosi terdiri dari brosur dan expo. PTC merujuk kepada kecenderungan untuk melakukan komunikasi secara

(13)

langsung atau tidak langsung dengan guru sekolah. Elemen PTC terdiri dari komunikasi melalui PTA, komunikasi dengan guru sekolah melalui website, dan menghubungkan orang tua dan guru dengan IVR (Interactive Voice Response). Elemen privilege merujuk kepada elemen yang memiliki peran penting dalam menciptakan image positif di mata orang tua. Indikator yang digunakan adalah tingkat penerimaan siswa sekolah di universitas dan rasio kelulusan ujian nasional siswa. Elemen privilege ini senada dengan elemen prominence dalam penelitian Ivy (2008) dimana terdapat indikator league tables yang menunjukkan ranking sekolah dibandingkan dengan kompetitornya.

Dari paparan teori di atas, definisi promosi adalah merujuk kepada pembagian informasi kepada orang tua melalui media formal atau informal (misalnya, pamflet, surat, brosur, internet portal atau pertemuan POMG).

2.1.5. People

Menurut Zeithaml et al. (2009), people adalah semua aktor manusia yang memiliki bagian dalam memberikan jasa dan maka dari itu mempengaruhi persepsi pembeli yaitu staf perusahaan, konsumen dan konsumen lainnya di dalam lingkungan jasa. Semua aktor berpartisipasi dalam memberikan jasa dimana hal ini memberikan petunjuk kepada konsumen terkait dengan sifat alami dari jasa tersebut. Sikap dan perilaku mereka, bagaimana mereka berpakaian, dan penampilan personal mereka, semuanya mempengaruhi persepsi konsumen terhadap jasa. Faktanya, bagi beberapa jenis jasa, seperti konsultasi, konseling, mengajar, dan jasa berdasarkan hubungan professional lainnya, provider (penyedia jasa) yang menjadi jasanya. Dalam banyak situasi layanan, konsumen sendiri dapat mempengaruhi penyaluran jasa, maka dari itu mempengaruhi kualitas layanan dan kepuasan mereka sendiri. Konsumen tidak hanya mempengaruhi hasil dari jasa mereka sendiri dapatkan, namun mereka dapat mempengaruhi konsumen lainnya.

Menurut Enache (2011), jasa pendidikan berhubungan sangat kuat dengan orang yang terlibat dalam penyaluran jasanya. Staf pengajar dan staf administrasi

(14)

merupakan hal yang sangat penting untuk menarik siswa, dana serta dalam memberikan layanan yang memuaskan. People strategy merupakan faktor pengaruh yang kuat terhadap strategi produk, strategi harga, strategi proses, dan strategi promosi. Staf administrasi memiliki peran penting ketika harus berurusan dengan permintaan siswa potensial yaitu pada proses pendaftaran. Jawaban dari permintaan ini akan membentuk kesan pertama. Staf pengajar merupakan komponen kunci dari keseluruhan marketing mix. Jika sebuah institusi pendidikan mampu mempromosikan dan memotivasi pengajar yang baik maka akan mendapat banyak keuntungan yaitu produk pendidikan yang lebih baik, meningkatkan image, dan memuaskan siswa dan masyarakat.

Dalam Kotler & Fox (1995), Ivy (2008) dan Ogunnaike et al. (2014), juga mendefinisikan elemen people dalam marketing mix meliputi semua staf insitusi pendidikan yang berinteraksi dengan calon siswa dan mereka yang telah mendaftar di institusi pendidikan. Dapat terdiri dari staf administrasi dan staf pengajar. Staf administrasi yang berada di baris depan dan di belakang layar juga memiliki peran penting karena dapat memberikan dampak kepada persepsi siswa terhadap kualitas layanan. Dalam penelitian milik Ivy, setelah dilakukan analisa faktor, indikator staf administrasi tidak dimasukkan ke dalam elemen ini. Elemen people terdiri dari menyediakan bimbingan tatap muka dimana tempat saya tinggal, kontak personal dengan alumni MBA, serta open days dan information evenings. Bimbingan tatap muka dan lebih tepat dimasukkan ke dalam elemen place, sedangkan kontak personal dengan alumni serta open days lebih tepat dimasukkan ke dalam elemen promosi. Elemen people berada di dalam elemen prominence. Dalam elemen ini terdapat indikator yaitu reputasi staf pengajar. Seharusnya indikator ini lebih tepat dimasukkan ke dalam elemen people dimana staf pengajar merupakan salah satu kunci utama dari reputasi institusi pendidikan.

Senada dengan Ivy (2008), awalnya Alipour et al. (2012) menyatakan bahwa elemen people dapat dihubungkan dengan seluruh staf, karyawan dan anggota, termasuk kepala sekolah dan juga guru. Namun setelah dilakukan analisa faktor,

(15)

elemen people hanya fokus kepada indikator guru dan diubah namanya menjadi professor dimana elemen ini lebih mengacu kepada karakteristik guru.

Dalam penelitian Li & Hung (2009) elemen people hanya sebatas dari kemampuan guru, tidak memperhatikan staf administrasi. Menurut Li & Hung (2009), people adalah kemampuan, keahlian, pengetahuan, pengalaman, dan kepedulian guru tehadap siswa.

Sedangkan dalam penelitian Mustafa et al. (2014), people terdiri dari manager, guru, orang tua, dan siswa. Setiap pihak memiliki bagian penting untuk mencapai tujuan yang ditetapkan oleh sekolah swasta. Manager harus mengembangkan strategi dari tahap perencanaan, dan guru akan mengimplementasikan rencana sebagaimana yang diperintahkan oleh manager. Orang tua harus bekerja sama dengan guru dalam hal memonitor pekerjaan runah yang diberikan oleh guru. Menghadiri program konsultasi yang disediakan oleh manajemen sekolah akan lebih memberikan pemahaman terkait dengan penilaian anak mereka dalam hal akademik dan nilai moral. Siswa disediakan lingkungan yang baik di usia dini akan menciptakan individu dengan sikap dan cara pikir yang positif.

Dari paparan teori di atas, terdapat tiga definisi dari people. Definisi pertama, people diartikan sebagai semua pihak yang terkait dengan proses pendidikan yaitu manager, guru, orang tua dan siswa. Definisi kedua, people terdiri dari guru dan staf administrasi dan definisi ketiga people hanya didefinisikan sebagai guru. Dalam penelitian ini, definisi people mengambil definisi ketiga dimana people diartikan sebagai kemampuan, keahlian, pengetahuan, pengalaman, dan kepedulian guru tehadap siswa.

2.1.6. Physical Evidence

Physical evidence adalah lingkungan dimana jasa diberikan dan dimana perusahaan dan konsumen berinteraksi, dan semua komponen berwujud yang memfasilitasi kinerja atau komunikasi dari jasa. Physical evidence dari jasa meliputi seluruh perwakilan berwujud dari jasa seperti brosur, kop surat, kartu

(16)

bisnis, laporan, papan nama dan peralatan. Dalam beberapa kasus physical evidence juga meliputi fasilitas fisik dimana jasa tersebut ditawarkan, yang disebut sebagai servicescape. Ketika konsumen hanya memiliki sedikit petunjuk untuk menilai jasa, maka mereka akan menilai jasa berdasarkan petunjuk tersebut, sama halnya dengan mereka mengandalkan petunjuk dari people dan process. Petunjuk dari physical evidence memberikan kesempatan yang bagus bagi perusahaan untuk mengirimkan pesan yang kuat dan konsisten terkait dengan tujuan organisasi, segmen pasar yang ditargetkan, dan sifat alami dari jasa (Zeithaml et al., 2009).

Menurut Enache (2011), karena produk pendidikan tidak berwujud maka physical evidence memiliki peran penting sebagai bukti dari produk yang akan diberikan dalam fase pendaftaran dan sebagai bukti dari pengetahuan yang didapatkan oleh lulusan yaitu ijazah. Dalam fase pendaftaran, gedung dan fasilitas kampus, hardware dan semua bukti berwujud lainnya mencerminkan kualitas dari jasa yang akan diberikan. Semua komponen physical evidence berkontribusi kepada kesan pertama. Physical evidence merupakan strategi yang bertanggung jawab dalam makna yang berwujud dari tawaran pendidikan. Dalam penelitian ini, physical evidence dilihat dalam dua hal yaitu fasilitas dan ijazah. Ijazah dipandang sebagai physical evidence kurang tepat karena physical evidence merupakan komponen berwujud yang memfasilitasi kinerja atau komunikasi dari jasa. Ijazah bukan merupakan fasilitator namun lebih merupakan hasil akhir yang diterima lulusan dalam bentuk berwujud. Lebih tepat jika materi pengajaran dimasukkan ke dalam elemen physical evidence karena materi pengajaran merupakan fasilitator untuk melakukan transfer ilmu kepada siswa dimana aktivitas tersebut merupakan aktivitas jasa. Hal ini sesuai dengan penelitian Ivy (2008), yang mengartikan physical evidence sebagai komponen berwujud dari tawaran jasa. Variasi dari aspek berwujud dievaluasi oleh target pasar institusi pendidikan, dimulai dari materi pengajaran sampai kepada penampilan gedung dan fasilitas pengajaran di universitas. Dalam penelitian ini, setelah melakukan analisa faktor, elemen physical evidence dimasukkan ke dalam elemen premiums yang terdiri dari modul, fasilitas komputer, residential requirements, dan ukuran kelas.

(17)

Dalam penelitian milik Kotler & Fox (1995), Ogunnaike et al. (2014) dan Mustafa et al. (2014), physical evidence hanya diartikan sebagai fasilitas. Dalam penelitian Mustafa et al. (2014), physical evidence dengan fasilitas yang modern dan aman membantu untuk meningkatkan ketertarikan dari sekolah swasta, seperti papan pemberitahuan yang informatif dan gedung yang bagus. Peralatan dari taman bermain dalah salah satu kunci untuk menarik siswa agar merasa senang selama proses pembelajaran di sekolah tersebut. Pengertian physical evidence dalam penelitian ini kurang tepat karena, di dalam pengertian physical evidence milik Zeithaml et al. (2009), physical evidence tidak hanya sebatas fasilitas namun juga sampai dengan bukti berwujud lainnya yang digunakan sebagai fasilitator dalam memberikan jasa.

Penelitian Li & Hung (2009) sama dengan penelitian milik Alipour et al. (2012) dimana elemen physical evidence dimasukkan ke dalam elemen produk. Dalam penelitian Li dan Hung, physical evidence tidak dimasukkan ke dalam 5Ps marketing mix. Dalam penelitian ini, tidak dipaparkan asal muasal dari 5Ps studi, mengapa hanya mengadopsi 4Ps dalam traditional marketing kemudian ditambahkan 1P dari services marketing yaitu people. Dilihat dari arti elemen physical evidence menurut Zeithaml et al. (2009), Li dan Hung menggabungkan antara elemen produk dengan physical evidence dimana elemen produk dalam studi ini hanya mengacu kepada fasilitas sekolah. Sedangkan dalam penelitian Alipour et al., elemen physical evidence digabungkan ke dalam elemen produk setelah dilakukan analisa faktor.

Dari paparan teori di atas, diketahui bahwa physical evidence merupakan pembuktian dari produk pendidikan. Dalam penelitian ini, physical evidence didefinisikan sebagai komponen berwujud dari tawaran jasa, mulai dari materi pengajaran sampai dengan fasilitas.

2.1.7. Process

Zeithaml et al. (2009), mendefinisikan proses sebagai prosedur, mekanisme, dan alur aktivitas yang sebenarnya ketika jasa diberikan; penyaluran

(18)

jasa dan sistem operasi. Langkah-langkah pemberian jasa yang dialami oleh konsumen, atau alur operasional dari jasa, juga memberikan bukti kepada konsumen untuk menilai service tersebut. Beberapa service bersifat sangat kompleks dan membutuhkan konsumen untuk mengikuti sekumpulan tindakan yang rumit untuk menyelesaikan sebuah proses. Jasa yang memiliki birokrasi yang tinggi akan mengakibatkan konsumen tidak mau menggunakan lagi jasa tersebut. Karakteristik lain dari proses adalah bahwa proses dapat memberikan bukti kepada konsumen apakah jasa yang diberikan menggunakan pendekatan yang terstandarisasi atau menggunakan pendekatan kustomisasi. Proses merupakan bentuk lain dari bukti yang digunakan konsumen untuk menilai jasa. Proses merujuk kepada cara sebuah institusi melakukan bisnis, dan hal ini berhubungan dengan keseluruhan sistem administrasi.

Proses adalah bagaimana sesuatu terjadi di dalam institusi, seperti proses manajemen, pendaftaran, pengajaran, pembelajaran, sosial dan bahkan aktivitas olahraga (Kotler & Fox, 1995). Mustafa et al. (2014) mendefinisikan proses senada dengan milik Kotler & Fox. Proses dari pendidikan pra-sekolah yaitu pendaftaran, educational trip, learning session, aktivitas sosial dan graduation day. Proses komunikasi yang baik antara guru dengan murid memenuhi kriteria atas image yang baik dalam TK swasta.

Menurut Enache (2011), strategi proses bertanggung jawab dalam menyalurkan jasa secara lancar. Selama produk pendidikan menyiratkan dokumen dan birokrasi, strategi proses dapat dipertimbangkan menjadi faktor penting yang dapat mengurangi ketidakpuasan diantara orang-orang yang terlibat. Salah satu peran utama dari strategi proses adalah proses pendaftaran. Menjadi satu-satunya proses yang mengubah dari kandidat siswa menjadi siswa., semua strategi yang terlibat di dalamnya bersifat penting. Bekerja sama dengan strategi people dan strategi physical evidence, strategi proses mampu meningkatkan image institusi dan untuk menarik lebih banyak kandidat. Proses pendaftaran yang sukses mampu memeberikan siswa yang sudah matang, sehingga bisa mengambil transfer ilmu lebih mudah dilakukan. Hal ini akan mempengaruhi kualitas dari educational

(19)

product dan hasil dari institusi pendidikan (tingkat dropout yang lebih rendah). Dalam penelitian ini, definisi proses terlalu sempit dimana hanya sebatas dalam proses pendaftaran atau proses penyeleksian siswa. Padahal, definisi proses menurut Zeithaml et al. (2009), proses merupakan prosedur ketika jasa diberikan. Di dalam sekolah, proses selalu terjadi karena sebagian besar aktivitas yang diberikan di sekolah adalah aktivitas jasa sehingga proses terus terjadi mulai dari siswa tersebut mendaftar di sekolah sampai dengan siswa tersebut lulus.

Hal tersebut sesuai dengan penelitian Ivy (2008), dimana penelitian ini mendefinisikan proses sebagai seluruh fungsi administrasi dan birokrasi dari institusi pendidikan: dari mengatasi permintaan keterangan mengenai pendaftaran, dari evaluasi mata pelajaran sampai pemeriksaan, dari penyebaran hasil sampai kelulusan. Produk pendidikan memiliki proses yang berbeda dengan produk berwujud. Proses dalam mengkonsumsi produk berwujud dimulai dari konsumen membeli produk, melakukan pembayaran, terjadi pergantian kepemilikan kemudian konsumen bisa langsung mengkonsumsi produk tersebut. Sedangkan produk pendidikan membutuhkan pembayaran sebelumnya untuk mengkonsumsi, pergantian kepemilikan tidak terjadi dan sering terjadi hubungan jangka panjang dan tatap muka yang lebih intens. Namun setelah dilakukan analisa faktor, elemen proses dihilangkan dalam penelitian ini.

Dalam penelitian Alipour et al. (2012) dan Ogunnaike et al. (2014), definisi proses diambil dari definisi milik Ivy (2008). Dalam penelitian milik Alipour et al., setelah dilakukan analisa faktor, elemen proses dihilangkan dari elemen bauran pemasaran karena setelah dilakukan interview dengan kepala sekolah swasta, elemen proses tidak termasuk di dalam bauran pemasaran.

Sedangkan dalam penelitian Li & Hung (2009), elemen proses sama sekali tidak dibahas. Hal ini dikarenakan Li dan Hung tidak mengadopsi services marketing mix dalam penelitiannya, namun penelitian ini menambahkan elemen people ke dalam bauran pemasaran.

(20)

Dari penjelasan di atas, dalam penelitian ini process didefinisikan sebagai seluruh fungsi administrasi dan birokrasi dari institusi pendidikan.

Tabel 2.1. Rangkuman Teori dari Bauran Pemasaran

Zeithaml et al. (2009)

Definisi Sumber

Product  Tangible product dimana definisi produk disama

artikan dengan physical evidence

Intangible product yang diartikan sebagai program

yang ditawarkan oleh sekolah, performance siswa, desain dari lulusan, serta kegiatan belajar mengajar

Li & Hung (2009); Alipour et al. (2012)

Kotler & Fox (1995); Enache (2011); Ivy (2008); Mustafa et al. (2014); Ogunnaike et al. (2014) Price  Terdiri dari biaya moneter dan juga biaya lainnya

seperti effort cost, psychological cost dan time cost  Uang sekolah yang dipengaruhi oleh biaya,

permintaan dan harga kompetitor

 Apa yang dibebankan untuk uang sekolah yang dibutuhkan untuk mendaftar di institusi pendidikan  Uang sekolah yang dibayarkan oleh orang tua siswa  Mengacu kepada beasiswa

Kotler & Fox (1995) Enache (2011) Ivy (2008)

Alipour et al. (2012); Mustafa et al. (2014); Ogunnaike et al. (2014) Li & Hung, (2009)

Place  How meliputi bagaimana produk tersebut diberikan.

Where meliputi lingkungan fisik sekolah

Kotler & Fox (1995); Enache (2011); Ivy (2008); Ogunnaike et al. (2014)

Li & Hung (2009); Alipour et al. (2012); Mustafa et al. (2014) Promotion Merujuk kepada pembagian informasi kepada orang tua

melalui media formal atau informal (misalnya, pamflet, surat, brosur, internet portal atau pertemuan POMG).

Seluruh sumber

People  Semua pihak yang terkait dengan proses pendidikan yaitu manager, guru, orang tua dan siswa.

 Terdiri dari guru dan staf administrasi

 Hanya didefinisikan sebagai guru yaitu kemampuan, keahlian, pengetahuan, pengalaman, dan kepedulian guru tehadap siswa.

Mustafa et al. (2014) Kotler & Fox (1995); Enache (2011); Ogunnaike et al. (2014); Ivy (2008)

Li & Hung (2009); Alipour et al. (2012)

Physical evidence

 Fasilitas dan ijazah

 Komponen berwujud dari tawaran jasa, dimulai dari materi pengajaran sampai kepada penampilan gedung dan fasilitas pengajaran di universitas.  Diartikan khusus sebagai fasilitas

Digabungkan ke dalam elemen product

Enache (2011) Ivy (2008)

Kotler & Fox (1995); Ogunnaike et

al. (2014); Mustafa et al. (2014)

Alipour et al. (2012) Process  Bagaimana sesuatu terjadi di dalam institusi, seperti

proses manajemen, pendaftaran, pengajaran, pembelajaran, sosial dan bahkan aktivitas olahraga  Diartikan khusus dalam hal proses pendaftaran  Seluruh fungsi administrasi dan birokrasi dari

institusi pendidikan

Kotler & Fox (1995); Mustafa et al. (2014)

Enache (2011)

Ivy (2008); Ogunnaike et al. (2014); Alipour et al. (2012)

(21)

2.2. School Image

Brand image adalah persepsi mengenai sebuah brand yang digambarkan oleh brand association yang ada di dalam ingatan konsumen (Keller, 1993). Brand associations adalah segala sesuatu yang berhubungan dengan brand dalam ingatan konsumen (Aaker, 1997). Menurut Ergin et al. (2006), hubungan ini semakin kuat ketika hal ini berdasarkan frekuensi pengalaman konsumen terhadap brand tertentu. Brand associations memberikan nilai yang bagus karena mereka merepresentasikan dasar dari keputusan pembelian konsumen dan juga level dari brand loyalty. Brand associations memungkinkan perusahaan untuk membedakan brand mereka dalam pasar dan hal ini terbukti menjadi kunci dari keunggulan kompetitif. Keller (1993) mengklasifikasikan brand associations ke dalam tiga kategori utama yaitu:

1. Attributes (atribut)

Atribut adalah fitur deskriptif yang mengkarakteristikkan sebuah produk atau jasa; apa yang dipikirkan konsumen mengenai produk atau jasa tersebut dan apa yang dilibatkan dalam pembelian atau penggunaan produk atau jasa tersebut.

a. Product related attributes (atribut produk)

Didefinisikan sebagai bahan-bahan yang diperlukan agar fungsi produk atau jasa yang dicari oleh konsumen dapat bekerja. Oleh karena itu, atribut produk berhubungan dengan komposisi fisik produk atau persyaratan dari suatu jasa.

b. Non-product related attributes (atribut non-produk)

Merupakan aspek eksternal dari suatu produk atau jasa yang berhubungan dengan pembelian dan konsumsi suatu produk atau jasa. Ada empat tipe dari atribut non-produk yaitu, informasi harga, informasi kemasan dan desain produk, citra pengguna atau user imagery (misalnya, tipe orang seperti apa yang menggunakan produk atau jasa tersebut), dan citra penggunaan atau usage imagery (misalnya, dimana dan tipe situasi seperti apa produk atau jasa tersebut digunakan).

(22)

2. Benefit (Keuntungan)

Nilai personal konsumen yang melekat kepada brand attributes, artinya yang konsumen pikirkan mengenai apa yang bisa dilakukan brand tersebut kepada mereka.

a. Functional benefits

berhubungan dengan pemenuhan kebutuhan dasar seperti kebutuhan fisik dan keamanan atau pemecahan masalah

b. Experential benefits

berhubungan dengan perasaan yang muncul dengan menggunakan suatu produk atau jasa.

c. Symbolic benefits

berhubungan dengan kebutuhan akan persetujuan sosial atau ekpresi personal dan self-esteem seseorang. konsumen akan menghargai nilai-nilai prestise, eksklusivitas, dan gaya fashion merek karena hal ini berhubungan dengan konsep diri mereka.

3. Brand attitude (sikap merek)

Didefinisikan sebagai evaluasi keseluruhan atas suatu merek, apa yang dipercayai oleh konsumen mengenai merek-merek tertentu, sejauh apa konsumen percaya bahwa produk atau jasa tersebut memiliki atribut atau keuntungan tertentu, dan penilaian evaluatif terhadap kepercayaan tersebut bagaimana baik atau buruknya suatu produk jika memiliki atribut atau keuntungan tertentu.

Sehingga, berbagai macam tipe dari brand association membangun brand image termasuk atribut produk atau non-produk; keuntungan fungsional, experential, atau simbolis; dan sikap merek secara keseluruhan. Asosiasi ini dapat berbeda-beda tergantung dari keuntungan (favorability), kekuatan (strength), dan keunikan (uniqueness).

Kotler & Fox (1995) mendefinisikan image sebagai penjumlahan dari keyakinan, ide dan kesan yang dimiliki seseorang atas suatu obyek. Orang membentuk image dari institusi pendidikan dengan informasi yang terbatas dan bahkan tidak akurat, tetapi image ini akan mempengaruhi kemungkinan dari orang untuk menghadiri,

(23)

merekomendasikan, mendonasikan atau bergabung dalam staf institusi pendidikan tersebut. Kualitas institusi sebenarnya seringkali kalah penting dibandingkan dengan gengsinya, atau reputasi dari kualitas, karena faktanya bahwa persepsi keunggulan institusi pendidikan memandu keputusan dari calon siswa dan lulusan untuk mempertimbangkan tawaran kerja dan badan pemerintah untuk memberikan hibah. Stakeholder paling penting dari perusahaan adalah konsumen. Mereka yang menghasilkan penjualan dan pendapatan bagi perusahaan. Dalam industri jasa pendidikan, siswa menjadi salah satu pembeli atau stakeholder paling penting, dimana siswa merupakan sumber utama yang menghasilkan pendapatan uang sekolah (Helgesen & Nesset, 2007). Dengan adanya pernyataan tersebut, maka orang tua dapat dilihat sebagai stakeholder dan sumber utama dalam menghasilkan pendapatan bagi sekolah. Maka dari itu, ada justifikasi yang kuat untuk mempelajari pandangan orang tua terkait dengan school image. Orang tua memiliki pengaruh yang penting dalam hal masa depan dan pendapatan sekolah (Malik et al., 2015). Karena pelayanan pendidikan bersifat intangible, maka orang tua sulit untuk mengevaluasi jasa pendidikan. Sektor jasa termasuk sekolah memiliki dampak yang kuat jika sekolah tersebut kehilangan reputasi dan rumor yang dapat berpengaruh sangat kuat terhadap school image.

Menurut Ivy (2001), image institusi pendidikan tidak absolut namun bersifat relative tergantung dari image yang disampaikan oleh institusi lainnya. Image merupakan fungsi dari strategi yang digunakan oleh institusi, dan bagaimana persepsi masyarakat terhadap mereka. Institusi pendidikan harus memahami image yang mereka gambarkan dan memastikan bahwa image tersebut dapat mencerminkan informasi yang akurat dan menguntungkan bagi institusi. Image ini dibentuk dari word of mouth, pengalaman sebelumnya, dan aktivitas marketing dari institusi.

Menurut Nguyen & LeBlanc (2001) institutional image merupakan persepsi eksternal dari organisasi. Awalnya adalah gambaran organisasi yang dibuat di dalam pikiran konsumen sementara setelah itu adalah tingkat kepercayaan (atau ketidak percayaan) dalam kemampuan organisasi untuk memenuhi harapan pelanggan berdasarkan atribut yang ada. Institutional image adalah hasil dari

(24)

sekumpulan proses dimana masyarakat membandingkan berbagai macam atribut dari organisasi. Institutional image merupakan sekumpulan proses yang menyertakan sejumlah informasi yang digunakan dalam persepsi konsumen terhadap organisasi. Bahkan untuk orang yang belum memiliki pengalaman dengan organisasi, persepsi ini mungkin dibentuk dari sumber lainnya. Dimensi ini dinyatakan dalam sikap dan kepercayaan konsumen yang mendasarkan kepada tindakan organisasi di masa lalu atau pengalaman sebelumnya dengan organisasi. Dalam hal jasa, dimana sebagian besar dikategorikan sebagai experience products dimana kualitasnya hanya bisa dievaluasi setelah dikonsumsi, institutional image dapat digunakan sebagai alat untuk memprediksi hasil di masa depan dari proses produksi jasa dan mungkin sebagai petunjuk yang paling dapat dipercaya untuk mengisyaratkan kemampuan organisasi jasa untuk memuaskan hasrat konsumen.

Menurut Li & Hung (2009), school image dapat dibentuk oleh berbagai macam faktor dan merupakan hasil dari sejumlah proses yang menyertakan pengalaman dari waktu ke waktu, berbagai macam informasi, dan aktivitas pemasaran sekolah. Orang tua membentuk image sebuah sekolah berdasarkan asosiasi yang mereka ingat terhadap sekolah tersebut. Maka dari itu, school image merupakan hasil dari kumpulan proses dimana orang tua membandingkan berbagai macam atribut sekolah.

Dari ketiga jurnal di atas, diketahui bahwa school image hanya berupa persepsi, artinya school image hanya sebatas janji-janji yang dinyatakan oleh sekolah dalam membangun persepsi yang bagus di mata orang tua namun belum bisa dibuktikan. Image ini terbentuk dari berbagai macam atribut sekolah yang dibandingkan oleh orang tua. Orang tua belum tahu apakah sekolah mampu memenuhi janji-janji yang telah dinyatakan sebelumnya karena mereka belum selesai mengkonsumsi produk pendidikan sekolah tersebut. Image berbeda dari reputasi dimana reputasi adalah pembuktian janji-janji dari sekolah tersebut.

(25)

2.3. Loyalitas Orang Tua

Aktivitas pemasaran dilakukan oleh organisasi untuk memberikan hasil tertentu, seperti meningkatkan keuntungan, pangsa pasar, dan menjadikan konsumen yang loyal (Malik et al., 2015). Menurut Oliver (1999), loyalitas didefinisikan sebagai komitmen yang dipegang secara mendalam untuk membeli kembali atau berlangganan produk atau jasa yang disukai secara konsisten di masa depan, sehingga mengakibatkan pengulangan pembelian merek yang sama, tanpa memperdulikan pengaruh dari situasi dan usaha pemasaran yang memiliki potensi untuk mengakibatkan perubahan perilaku. Menurut teori, konsumen akan menjadi loyal diawali dengan cognitive sense terlebih dahulu, kemudian diikuti affective sense kemudian conative manner, dan yang paling terakhir adalah behavioral manner yang dideskripsikan sebagai “action inertia”

1. Cognitive loyalty

Dalam fase loyalitas yang pertama, informasi dari atribut merek tersedia kepada konsumen mengindikasikan bahwa ada satu brand yang lebih disukai dibandingkan dengan lainnya. Tahap ini disebut sebagai cognitive loyalty atau loyalitas yang hanya didasarkan sebagai brand belief.

2. Affective loyalty

Di fase yang kedua dari pengembangan loyalitas, perilaku terhadap brand telah berkembang dengan dasar dari penjumlahan dari penggunaan yang memuaskan. Hal ini mencerminkan dimensi kesenangan dari definisi kepuasan yaitu pemenuhan kesenangan. Komitmen dalam fase ini ditujukan sebagai affective loyalty dan dikodekan dalam pikiran konsumen sebagai cognition (pengetahuan) dan affect (perasaan/emosi).

3. Conative loyalty

Fase berikutnya dari pengembangan loyalitas adalah tahap conative (behavioral intention), yang dipengaruhi oleh pengulangan peristiwa atau perasaan/emosi yang positif terhadap brand. Conation menyiratkan komitmen terhadap brand tertentu untuk melakukan pembelian kembali. Komitmen ini baru sebatas intention (niat) untuk membeli kembali brand tersebut dan lebih mirip dengan motivasi.

(26)

4. Action loyalty

Dalam tahap ini, intention (niat) dari tahap sebelumnya sudah berubah menjadi kesiapan untuk bertindak. Paradigma dari action control menyatakan bahwa dalam tahap ini harus disertai dengan hasrat tambahan untuk mengatasi tantangan yang mungkin menghalangi dari tindakan tersebut. Tindakan dipersepsikan sebagai hasil yang dibutuhkan untuk mengikat kedua tahap yaitu conative loyalty dan action loyalty. Jika keterikatan ini berulang, action inertia berkembang, sehingga dapat memfasilitasi terjadinya pembelian kembali.

Menurut Li & Hung (2009), orang tua yang loyal akan memperbolehkan anaknya untuk belajar di sekolah dasar yang sama sampai pendidikan mereka selesai. Orang tua yang loyal juga dapat menjadi penasehat yang baik; merekomendasikan sekolah kepada orang tua lainnya dan mendorong anak-anak lainnya untuk bersekolah di sana sehingga membantu untuk menarik siswa baru.

Malik et al. (2015) menyatakan dampak dari loyalitas orang tua yang senada dengan penelitian Li & Hung (2009). Loyalitas orang tua berarti orang tua memegang kewajiban yang mendalam untuk mendaftarkan anaknya di institusi yang dipilih tersebut dari waktu ke waktu di masa depan, memberikan positive word of mouth, menyarankan jasa institusi tersebut kepada pihak lain, dan membujuk pihak lain untuk menggunakan jasa tersebut.

Dalam penelitian milik De Guzman et al. (2008), level loyalitas dibedakan menjadi tiga. Level pertama adalah low loyalty dikarakteristikkan sebagai kurangnya kepercayaan orang tua terhadap kemampuan sekolah untuk memenuhi kebutuhan dan ketertarikan anak mereka. Tipe loyalitas ini mengakibatkan orang tua akan berpindah ke sekolah lainnya untuk memenuhi kebutuhan pendidikan anaknya. Level kedua adalah moderate loyalty dikarakteristikkan sebagai orang tua yang memiliki kecenderungan untuk mengirimkan anaknya di sekolah lainnya karena adanya alasan keuangan, jarak antara sekolah dengan rumah, dan pengalaman dan perilaku negatif yang pernah dialami di sekolah sebelumnya.

(27)

Level ketiga adalah high loyalty didefinisikan sebagai komitmen dan dukungan sepenuhnya dari orang tua kepada almamater mereka yang diakibatkan oleh pengalaman menyenangkan yang tidak terlupakan dan penyaluran jasa pendidikan yang hebat.

Dari ketiga paparan teori di atas, terdapat persamaan bahwa loyalitas orang tua dapat memberikan dampak positif kepada sekolah baik dalam hal menarik siswa baru maupun mempertahankan siswa yang telah ada. Dari ketiga studi di atas, diketahui bahwa definsi operasional loyalitas orang tua tidak hanya berupa conative loyalty namun sudah sampai kepada action loyalty.

Menurut López et al. (2012), ada tiga jenis pendekatan dalam hal keterlibatan orang tua di dunia pendidikan yaitu proyek pendidikan neo-liberal (the neo-liberal project of education), gerakan masyarakat sipil dalam pendidikan (the civil-rights movement in education), dan pendekatan emansipatori terhadap pendidikan (the emancipatory approach to education). Dalam pendekatan neo-liberal, pendekatan ini melihat orang tua siswa sebagai konsumen dan klien. Reformasi neo-liberal mendukung usaha swasta, karena sekolah dilihat mampu bersaing satu sama lain dalam ekonomi berbasis pasar. Dalam hal ini, orang tua siswa dilihat sebagai klien, bertanggung jawab dalam mengkonsumsi jasa pendidikan. Mereka dianggap mampu untuk memilih pilihan pendidikan terbaik bagi anak mereka. Pendekatan neo-liberal mengkarakteristikkan orang tua siswa sebagai konsumen produk, dalam hal ini yaitu jasa pendidikan, yang ditawarkan oleh pasar dimana mereka memiliki hak dan kebebasan untuk memilih, berdasarkan kualitas dan kriteria yang telah mereka tentukan.

2.4. Hubungan antara Bauran Pemasaran dengan Loyalitas Orang Tua

Beberapa penelitian telah menunjukkan bahwa bauran pemasaran memiliki pengaruh terhadap loyalitas konsumen. Dalam penelitian Thalib (2015), menyatakan bahwa semakin tinggi kualitas dari bauran pemasaran maka loyalitas siswa akan semakin tinggi. Kinerja dari bauran pemasaran adalah menilai apa

(28)

yang baik, sementara loyalitas siswa adalah mendekati sesuatu yang lebih baik, sehingga kinerja pemasaran harus ditingkatkan.

Menurut Ogunnaike et al. (2014), bauran pemasaran bertujuan untuk menghasilkan produksi barang maupun jasa yang telah diteliti secara hati-hati dan didesain untuk menarik konsumen di pasar sehingga dapat memberikan nilai yang tinggi kepada konsumen. Hal ini mengakibatkan hubungan antara bauran pemasaran dengan loyalitas konsumen menjadi tidak terbantahkan.

Sukamto & Lumintan (2015) melakukan penelitian mengenai dampak dari bauran pemasaran terhadap loyalitas konsumen Blackberry. Hasil penelitian menunjukkan bahwa bauran pemasaran berpengaruh terhadap loyalitas konsumen. Elemen dari bauran pemasaran sebaiknya tidak dijalankan secara masing-masing namun sebagai satu kesatuan sehingga bauran pemasaran memiliki dampak terhadap loyalitas konsumen.

Dalam penelitian Malik et al. (2015), menunjukkan bahwa adanya hubungan positif yang kuat antara bauran pemasaran dengan loyalitas orang tua. Elemen people dan process merupakan elemen yang paling berpengaruh dalam membangun loyalitas orang tua.

2.5. Hubungan antara Bauran Pemasaran dengan School Image

Dalam penelitian milik (Samia et al., 2014), menyatakan bahwa ada hubungan antara bauran pemasaran dengan persepsi image konsumen. Penelitian menyatakan bahwa price dan people merupakan elemen dalam services marketing mix yang berpengaruh terhadap persepsi image konsumen. Penelitian ini meneliti mengenai perusahaan transportasi publik dimana perusahaan tersebut mulai kehilangan banyak konsumen karena para konsumennya mulai berpindah ke perusahaan transportasi swasta. Dari hasil penelitian ditemukan bahwa perusahaan tidak mempertimbangkan seluruh dimensi dalam bauran pemasaran sehingga mengakibatkan munculnya image negatif terhadap layanan perusahaan.

Dabija & Chis (2013), melakukan penelitian mengenai dampak dari elemen bauran pemasaran dalam membangun image dari tourist accomodation yaitu hotel bintang dua, bintang tiga, bintang empat serta guesthouse. Hasil penelitian ini menyatakan bahwa dengan menggunakan bauran pemasaran maka

(29)

dapat membantu tourist accomodation dalam membangun image di benak para konsumennya.

Ebeid (2014), melakukan penelitian terhadap pasar di Mesir untuk menginvestigasi mengenai peran dari elemen bauran pemasaran dalam membentuk image perusahaan. Dalam penelitian ini, elemen bauran pemasaran terdiri dari price, advertising spend, monetary promotion dan product. Hasil penelitian menunjukkan bahwa keempat elemen tersebut memiliki pengaruh terhadap image perusahaan.

Menurut penelitian Li & Hung (2009) menemukan bahwa seluruh elemen dalam bauran pemasaran memiliki pengaruh yang baik terhadap school image. Semakin tinggi persepsi orang tua terhadap usaha pemasaran, maka school image akan semakin baik.

2.6. Hubungan antara School Image dengan Loyalitas Orang Tua

Dalam penelitian milik Ogba & Tan (2009), menunjukkan bahwa ada dampak positif dari brand image terhadap loyalitas dan komitmen konsumen. Brand image yang bagus berdampak secara positif terhadap loyalitas konsumen serta persepsi kualitas dan juga berdampak kepada level dimana konsumen mempersepsikan tawaran pasar dan menunjukkan kepuasan terhadap tawaran tersebut dalam jangka panjang dan menghasilkan keuntungan yang berkelanjutan.

Dalam penelitian milik Mohamad & Awang (2009), menyatakan bahwa image universitas berpengaruh terhadap loyalitas mahasiswa. Temuan dalam penelitian ini memberikan dampak penting bagi manajemen dimana hasil penelitian ini menyarankan bahwa dengan menjaga image universitas maka universitas akan mendapatkan loyalitas dari para sarjana S-1 untuk meneruskan studi pasca sarjana mereka di universitas yang sama.

Alves & Raposo (2007) menyatakan bahwa image universitas berpengaruh terhadap loyalitas mahasiswa. Pengukuran image universitas terhadap mahasiswa merupakan langkah pertama yang harus dilakukan agar universitas dapat berkompetisi melalui image yang dimiliki.

Dalam penelitian Li & Hung (2009), menyatakan bahwa school image dapat berperan sebagai alat yang berguna untuk memprediksi loyalitas orang tua.

(30)

H1

H2 H3

Ketika image dari sekolah tersebut bagus, maka kesan positif akan meningkatkan kemungkinan bahwa sekolah tersebut akan dipilih, bertahan, dan menghasilkan positive word of mouth.

2.7. School Image sebagai Variabel Mediator

Dalam penelitian Malik et al. (2015) yang dilakukan di sekolah-sekolah dasar di Pakistan, menemukan bahwa school image terbukti berperan sebagai variabel mediator antara bauran pemasaran dengan loyalitas orang tua. Terlebih lagi, untuk jasa yang kompleks, memiliki resiko yang besar dan mahal, serta jarang digunakan; dalam kasus seperti itu, image menjadi sesuatu hal yang penting daripada kepuasan dan merupakan prediktor kunci dari loyalitas.

Li & Hung (2009) melakukan penelitian di sekolah-sekolah dasar di Taiwan. Dalam penelitian tersebut, menemukan bahwa school image memiliki peran sebagai mediator terhadap bauran pemasaran dengan loyalitas orang tua. Penelitian tersebut menyatakan bahwa bauran pemasaran memiliki pengaruh terhadap school image dan school image memiliki pengaruh terhadap loyalitas orang tua.

2.8. Kerangka Konseptual

Gambar 2.1. Model Konseptual

BP

SI

(31)

Keterangan:

1. BP = Bauran Pemasaran 2. SI = School Image 3. PL = Parents’ Loyalty Hipotesis:

H1: Bauran pemasaran berpengaruh terhadap loyalitas orang tua H2: Bauran pemasaran berpengaruh terhadap school image H3: School image berpengaruh terhadap loyalitas orang tua.

Gambar

Tabel 2.1. Rangkuman Teori dari Bauran Pemasaran
Gambar 2.1. Model Konseptual

Referensi

Dokumen terkait

Berinteraksi langsung dengan kelompok yang memiliki gaya hidup tertentu mungkin dapat memperkuat elemen gaya hidup yang ingin diadopsi, namun tidak menutup kemungkinan

Salah satu hal yang akan terjadi pada saat kelompok berkomunikasi adalah terbentuknya sebuah pengertian, pemahaman dalam kelompok tersebut, apalagi ketika kelompok tersebut

Menurut salah satu para ahli, Brady dan Loonam (2010), Entity Relationship diagram (ERD) merupakan teknik yang digunakan untuk memodelkan kebutuhan data dari

Kepada responden yang terhormat kami mahasiswa Universitas Kristen Petra yang sedang melakukan penelitian dengan judul “Pengaruh Kualitas Makanan dan Persepsi Harga

Genetic Algorithm merupakan sebuah metode untuk memindahkan satu populasi kromosom ke suatu populasi yang baru dengan menggunakan seleksi alam dan operator genetik seperti

Selain dinding yang mempunyai efek memantulkan, lantai juga mempunyai efek yang sama, malah lantai mempunyai efek memantulkan yang lebih besar dari pada dinding sebesar

Sebagaimana gambar yang telah menelurkan banyak gaya, animasi (dan ber-.. Sebagai contoh, anda tentu bisa mengidentifikasi gaya animasi buatan Jepang dengan hanya

Elemen penting lain dalam pendekatan ini adalah untuk menekankan bahwa teks media (dari awal atau makna ‘program’) memiliki banyak makna alternatif potensial yang