• Tidak ada hasil yang ditemukan

2. TINJAUAN PUSTAKA. Universitas Kristen Petra

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "2. TINJAUAN PUSTAKA. Universitas Kristen Petra"

Copied!
13
0
0

Teks penuh

(1)

2. TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Pengertian Film Animasi

Dalam buku Animasi Pengetahuan Dasar Film Animasi Indonesia yang disusun oleh Gatot Prakoso mengatakan bahwa animasi secara luas berbicara masalah bentuk suatu benda yang berubah-ubah menciptakan gerak dan kehidupan. Oleh karena itu satu kata animasi menjadi suatu pengertian, yang berarti menciptakan suatu yang bisa hidup atau bergerak. Kata animasi menjadi sebuah pengertian yang tidak terbatas hanya untuk suatu jenis film saja tetapi juga bisa dalam bentuk berbagai hal karya seni kinetik (kinetik art) atau karya seni yang terkesan bergerak (Prakoso, 2010, p.39).

Dapat dikatakan bahwa pengertian animasi bisa bermacam-macam dan sering kali saling berlainan sebagaimana se-begitu banyak pembuat film animasi atau para seniman yang menggeluti bidang animasi (Prakoso, 2010, p.40).

Film animasi memiliki definisi yang bisa panjang dan bisa sangat pendek, tetapi sangat kompak untuk bisa menyampaikan pesan-pesan kepada penontonnya dengan mempergunakan berbagai karakter yang sering digunakan dalam sebuah film animasi (Prakoso, 2010, p.115).

2.2. Kekerasan

Kekerasan merupakan suatu tindakan yang dilakukan oleh seseorang atau sejumlah orang yang berposisi kuat atau yang tengah dipandang berada dalam keadaan lebih lemah, berdasarkan kekuatan fisiknya yang superior, dengan kesenjangan untuk dapat ditimbulkannya rasa derita dipihak yang tengah menjadi objek kekerasan itu. Namun, tak jarang pula tindak kekerasan ini terjadi sebagai bagian dari tindakan manusia untuk tak lain dari pada melampiaskan rasa amarah yang sudah tak tertahankan lagi olehnya (Wignyosoebroto, 1997).

Salah satu bentuk serangan fisik adalah serangan dengan memukul.

Serangan memukul merupakan kategori hukum yang mengacu pada tindakan ilegal yang melibatkan ancaman dan aplikasi aktual kekuatan fisik. Sebagian besar dari semua kasus serangan dengan memukul dan pembunuhan dilakukan

(2)

pada orang yang sangat dekat, dan kasus-kasus ini terjadi dalam situasi dimana interaksi antara pelaku dan korban menjadi sangat emosional dalam kualitas, sehingga berkembang agak cepat menjadi suatu tindakan kekerasan (Santoso, 2002, p.24).

Jika dikaitkan dengan penerimaan audiens aktif tentang kekerasan, audiens dapat menerima kekerasan itu sebagai hal positif maupun negatif. Mereka juga dapat menjadi pihak yang menerima dengan positif, ada yang menerima dengan negatif, dan bahkan bisa menerima positif atau negatif dengan alasan tertentu.

2.2.1. Jenis-jenis Kekerasan

Istilah kekerasan digunakan untuk menggambarkan perilaku, baik yang terbuka (overt) atau tertutup (covert), dan baik yang bersifat menyerang (offrnsive) dan bertahan (diffensive), yang disertai penggunaan kekuatan kepada orang lain. Ada empat jenis kekerasan yang diidentifikasi (Santoso, 2002, p.11):

1. Kekerasan terbuka

Kekerasan yang dapat dilihat, seperti perkelahian 2. Kekerasan tertutup

Kekerasan tersembunyi atau tidak dilakukan langsung, seperti perilaku mengancam. Perilaku mengancam mengkomunikasikan pada orang lain suatu maksud untuk menggunakan kekerasan terbuka bila diperlukan.

orang yang melakukan ancaman sesungguhnya tidak bermaksud melakukan kekerasan, orang hanya mempunyai kebenaran ancaman dan kemampuan pengancam mewujudkan ancamannya.

3. Kekerasan agresif

Kekerasan yang dilakukan tidak untuk perlindungan, tetapi untuk mendapatkan sesuatu seperti penjabaran.

4. Kekerasan difensif

Kekerasan yang dilakukan sebagai tindakan perlindungan diri. Baik kekerasan agresif maupun defensif bisa bersifat terbuka atau tertutup.

Jenis kekerasan tidak hanya bisa disebut sebagai kekerasan terbuka, kekerasan tertutup, kekerasan agresif, maupun kekerasan difensif. Jenis-jenis kekerasan memiliki berbagai macam bentuk, bisa kekerasan fisik maupun

(3)

kekerasan non fisik. Di dalam penelitian ini, audiens merupakan audiens aktif yang dapat memberikan pendapat tentang jenis-jenis kekerasan menurut mereka sendiri.

2.3. Kekerasan Dalam Film

Menurut Barbara Osborn, seorang media literacy dan jurnalis. Kekerasan adalah dasar dari banyak film, film TV, dan serangkaian tindakan. bahkan, kekersan sering identik dengan “tindakan.” karena penulis skenario, sutradara dan produser sering menggunakan kekerasan dalam banyak hal. Tiga dasar-dasar rumus dasar untuk penggambaran kekerasan di TV, film, dan video adalah:

1. Kekerasan yang membuat garis cerita

Tanpa kekerasan, tidak akan ada cerita. Sebuah kejahatan, pembunuhan, kepalan-perkelahian yang digunakan untuk memulai plot TV dan film. TV dan film plot dimulai dengan kekerasan, dan konflik yang akan datang terus mendorong cerita. Pahlawan tidak pernah aman. Bahaya selalu ada.

Sebagai cerita terungkap, wabah kekersan terhadap orang dan harta benda memastikan bahwa pemirsa duduk di kursi mereka.

2. Kekerasan tanpa konsekuensi

kekerasan TV tidak berdarah. Ada banyak tembak-menembak dan perkelahian tinju, tapi luar biasa tidak ada yang akan terluka parah. TV jarang menunjukkan akibat kekersan. secara umum, film menggambarkan pendarahan, akibat langsung dari kekerasan, lebih sering dari pada TV.

Bahkan dalam film-film ini, konsekuensi dunia nyata kekerasan-yang cacat fisik, beban keuangan dan biaya emosional-yang pernah menjadi bagian dari plot.

Mungkin aspek yang mengerikan dari penggambaran media tentang kekerasan adalah bahwa ketika orang tewas, mereka hanya menghilang.

Tidak ada yang berduka atas kematian mereka. Hidup mereka tidak penting.

3. Sebuah dunia baik dan buruk

Media kekerasan terjadi dalam dunia yang baik dan buruk. Dalam program TV dan film, emosi pemirsa harus terdaftar sangat cepat.

(4)

Akibatnya, TV dan film penjahat dikurangi menjadi karikatur. Mereka adalah 100% buruk. tidak ada yang peduli tentnag mereka. Mereka tidak memiliki keluarga. Banyak dari mereka bahkan tidak memiliki nama lengkap, hanya nick name (http://www.medialit.org/reading- room/violence-formula-analyzing-tv-video-and-movies).

Jika dikaitkan dengan penelitian, audiens dapat membagi kekerasan dalam animasi ke dalam beberapa jenis sesuai dengan teori di atas.

2.4. Penelitian Terdahulu

Menurut penelitian tentang kekerasan direpresentasikan dalam serial film kartun Tom and Jerry yang dilakukan oleh Etsa Dwiningrum (2006). Metode yang digunakan adalah Representasi. Hasil yang diperoleh menjelaskan bahwa kekerasan dalam serial kartun Tom and Jerry direpresentasikan tidak hanya melalui tindakan fisik yang superior, tetapi juga terlihat bersarankan cara tokoh bertindak menghindari serangan lawan yang lebih kuat dari diri mereka melalui kecerdikan, ketangkasan dan kemampuan mereka memakai serangan lawan menjadi senjata mereka.

Penelitian lainnya adalah penelitian tentang representasi kekerasan pada serial Doraemon yang dilakukan oleh Wiwiek (2006). Metode penelitian yang digunakan adalah semiotik. Dan hasil yang diperoleh menjelaskan bahwa serial Doraemon tidak dapat lepas dari adanya representasi kekerasan. Kekerasan yang ditampilkan pun beraneka ragam yang dapat dilihat dari jenisnya, dari alatnya maupun dari penderitaan korbannya.

Ada juga penelitian tentang penerimaan orang tua terhadap adegan kekerasan dalam komedi Opera Van Java yang dilakukan oleh Yonggi Adrian (2011). Metode penelitian yang digunakan adalah reception analysis. Dan hasil yang diperoleh menjelaskan bahwa peneliti mengkategorisasikan penerimaan informan dalam berdasar bentuk kekerasan yaitu kekerasan fisik, kekerasan psikologis, kekerasan seksual, dan kekerasan fungsional. berdasarkan temuan penetian, pada masing-masing bentuk kekerasan, penerimaan, informan digolongkan dalam tiga posisi dalam paradigma encoding-decoding yaitu dominan, negosiasi, dan oposisional. Dari hasil interpretasi yang dilakukan secara

(5)

keseluruhan menjelaskan bahwa informan masih merupakan tipikal penonton yang menerima teks yang disampaikan oleh media dan diterima informan secara mentah-mentah. Informan menjadi pihak yang pasif dalam menerima teks yang disampaikan Opera Van Java. Terkait dengan peran orang tua sebagai pembimbing anak, informan meyakini pengajaran moral dan agama yang diberikan kepada anak-anak dapat meredam anak untuk melakukan kekerasan dan perilaku agresif.

2.5. Audience Active

Biocca (1988a) telah membahas perbedaan makna dan konsep dari aktivitas khalayak, mengajukan lima versi yang berbeda yang ditemukan dalam literature, sebagaimana berikut (McQuail, 2011, p.164-165):

1. Selektivitas. Menggambarkan khalayak sebagai aktif, semakin banyak pilihan dan diskriminasi yang terjadi dalam hubungan dengan media serta konten di dalam media.

2. Utilitarianisme. Di sini , khalayak merupakan ‘perwujudan dari konsumen yang memiliki kepentingan pribadi’. konsumsi media melangangkan kepuasan dari kebutuhan yang kurang lebig dari disadari, semisalnya yang dinyatakan oleh pendekatan ‘uses and grativication’.

3. Memiliki tujuan. Seorang khalayak aktif (active audience), menurut definisi ini adalah mereka yang terlibat dalam pengolahan kognitif aktif dari informasi yang dating dan pengalaman. Hal ini seringg kali disertakan oleh berbagai bentuk langganan media.

4. Kebal terhadap pengaruh. Mengikuti alur konsep ‘khalayak yang keras kepala’ (Bauer, 1964), konsep aktivitas di sini menekankan batasan yang diatur oleh anggota khalayak untuk tidak menginginkan adanya pengaruh atau pembelajaran. Pembaca, penonton, atau pendengar tetap ‘memegang kendali’ dan tidak terpengaruh, kecuali sebagaimana yang ditentukan oleh pilihan pribadi.

5. Keterlibatan. Secara umum, semakin seorang anggota khalayak ‘terlibat’

atau ‘terjebak’ dalam pengalaman media yang terus menerus, semakin kita dapat membicarakan mengenai keterlibatan. Hal ini dapat juga disebut

(6)

dengan ‘rangsangan afektif’. Keterlibatan juga dapat diindikasikan oleh tanda-tanda, misalnya “membantah” kepada televisi.

Dalam buku McQuail (2011, p.165) mengatakan bahwa dalam kasus televisi, rating apresiasi khalayak, baik luar biasa rendah maupun tinggi, sering kali menunjukkan keberadaan di dalam khalayak program dari sekelompok penonton aktif yang merespon sangat positif atau sangat negatif. kita dapat mencatat pandangan yang akan dibahas lebi detai lebih lanjut, bahwa khalayak sering kali berpartisipasi dalam pengalaman media dengan memberikan makna terhadapnya, sehingga secara aktif memproduksi ‘teks’ media pada akhirnya (Fiske, 1987, 1992).

Teori penonton aktif atau audience active adalah teori bahwa orang menerima dan menafsirkan pesan media dengan cara yang berbeda, biasanya menurut faktor seperti usia, etnis, kelas sosial, dan lain-lain. Para penonton bukan pasif atau homogen. Katz dan Lazarsfeld pada tahun 1955 datang dengan teori dua aliran langkah di mana orang mendiskusikan teks media dalam jaringan sosial mereka di mana biasanya akan ada opini pemimpin yang mengatur nada untuk apa sisa kelompok berpikir.

Audiens aktif dalam penelitian ini adalah remaja yang berusia antara 9-18 tahun dan dewasa yang berusia 18-40 tahun.

2.6. Kriteria dewasa dan remaja

Dalam teori perkembangan psikososial, Erikson mengidentifikasi delapan periode yang berbeda dari pengembangan kepribadian. Dalam setiap tahap, menurut teorinya, individu mengalami "krisis" yang akan mengarah ke salah satu sehat atau ciri yang tidak sehat. Sebagai contoh, selama delapan belas bulan pertama kehidupan orang mengalami krisis kepercayaan dasar lawan ketidakpercayaan. Selama ini, individu benar-benar pada belas kasihan orang lain untuk memenuhi kebutuhannya. Dengan bulan usia 18 tahun, orang tersebut akan telah mengembangkan kecenderungan untuk mempercayai orang lain jika perawat telah memenuhinya atau kebutuhan secara konsisten dan tepat, atau orang akan belajar untuk orang lain ketidakpercayaan karena pengasuh yang memenuhi kebutuhan anak tidak konsisten atau tidak tepat.

(7)

Tahap psikososial menurut Erikson:

Krisis Psikososial Tahap Hidup Tahap Rentang Usia , Deskripsi lain Identitas v Peran Kebingungan Masa remaja 9-18 tahun, pubertas, remaja * Keintiman v Isolasi Dewasa muda 18-40, pacaran, orang tua awal

* Interpretasi lain dari tahap remaja umumnya menunjukkan tahap 5 dimulai sekitas 12 tahun. hal ini wajar untuk anak laki-laki kebanyakan, tetapi mengingat bahwa Erikson dan Freud menyebutkan masa pubertas sebagai awal dari tahap ini, tahap 5 dapat mulai untuk anak perempuan sejak usia 9 (Erikson, 1963).

Banyak penelitian yang mengungkapkan relasi antara kekerasan dengan tayangan televisi. Bahkan, pakar pendidikan Indonesia, prof. Arief Rachman, menyatakan bahwa kekerasan yang ditayangkan televisi sangat efektif merangsang naluri manusia yang paling rendah yang menyamai insting binatang, salah satunya adalah insting membunuh (Koran Tempo, 29 November 2006).

Erickson (dalam Monks, Knoers dan Haditono, 2001) mengatakan bahwa seseorang yang digolongkan dalam usia dewasa awal berada dalam tahap hubungan hangat, dekat dan komunikatif dengan atau tidak melibatkan kontak seksual. Bila gagal dalam bentuk keintiman maka ia akan mengalami apa yang disebut isolasi.

Hurlock (1990) mengatakan bahwa dewasa awal dimulai pada umur 18 tahun sampai kira-kira umur 40 tahun, saat perubahan-perubahan fisik dan psikologis yang menyertai berkurangnya kemampuan reproduktif. Dalam hal ini, Hurlock (1993) telah mengemukakan beberapa karakteristik dewasa awal dan pada salah satu intinya dikatakan bahwa dewasa awal merupakan suatu masa penyesuaian diri dengan cara hidup baru dan memanfaatkan kebebasan yang diperolehnya.

Orang dewasa muda yang belum menikah sering menonton film dalam rangka berpacaran. Mereka yang sudah menikah tidak lagi sering menonton film, apalagi sesudah mereka punya anak, karena mereka harus mengupah orang untuk menjaga anak, atau memilih film yang juga dapat ditonton oleh anak mereka (Hurlock, 1992, p.261). Karena itu peneliti memilih informan dewasa muda dengan usia 18-40 tahun yang belum memiliki anak dikarenakan mereka lebih memiliki banyak waktu untuk menonton televisi sebagai hiburan.

(8)

2.7. Reception Analysis (Analisis Penerimaan)

Kata recipere (Latin), reception (Inggris), yang diartikan sebagai penerimaan atau penyambutan pembaca. Dalam arti luas resepsi didefinisikan sebagai pengolahan teks, cara-cara pemberian makna terhadap karya. Aktivitas pembaca atau penonton dalam hubungan ini memegang peranan penting. dalam teori resepsi peranan pembaca sangat menonjol padahal pembaca sama sekali tidak memiliki relevansi dalam kaitannya dalam proses kreatif. Pemahaman memerlukan penjelasan yang lebih mendalam dalam kaitannya dengan anonomitas, karena didasari oleh konsep kematian pengarang (Ratna, 2009, p.165).

Reception analysis atau analisis penerimaan menunjuk pada studi kualitataif dalam penelitian khalayak yang mempelajari konteks budaya dan sosial dari manusia. Salah satu tujuan dari analisis penerimaan adalah untuk mengetahui persepsi dan dampak media dari pesan media massa (Jensen and Jankowski, 2003). Analisis penerimaan menekankan pada penggunaan media sebagai refleksi dari konteks sosial budaya dan sebagai proses pemberian makna melalui persepsi khalayak atas pengalaman dan produksi (McQuail, 1997, p.17-18).

Dalam analisis penerimaan sangat penting untuk mengetahui tentang teks, konteks, dan intertekstualitas. Menurut Budiman, teks juga bisa diartikan sebagai seperangkat tanda yag ditransmisikan dari seorang pengirim kepada seorang penerima melalui medium tertentu dan dengan kode-kode tertentu.” Pihak yang menerima – yang menerima tanda-tanda tersebut sebagai teks – segera mencoba menafsirkannya berdasarkan kode-kode yang tepat dan telah tersedia. Dalam upaya mendekati tuturan kesetaraan (literary ulterance) sebagai teks, dapat memerlukan tuturan tersebut sebagai sesuatu yang terbuka bagi interpretasi, walaupun tetap terkaitkan dengan norma-norma genetic tertentu (Sobur, 2006, p.52).

Penelitian penerimaan media menekankan studi khalayak yang mendalam sebagai ‘komunitas interpretatif’ (Lindlof, 1988). Drotner (2000) mencirikan etnografi khalayak dengan mengikuti kelompok diberbagai lokasi yang berbeda;

dan tinggal cukup lama untuk menghindari prasangka. Analisis penerimaan adalah

(9)

senjata penelitian khalayak yang efektif dari kajian budaya modern, alih-alih sebagai tradisi yang diindependen.

Ciri utama dari kultirasi (penerimaan) dari penelitian khalayak dapat dirangkum sebagai berikut (walaupun tidak semuanya eksklusif bagi pendekatan ini):

1. Teks media harus ‘dibaca’ melalui perspsi khalayaknya yang membangun makna dan kesenangan dari teks media yang ditawarkan (dan ini tidak pernah tetap atau dapat diprediksi).

2. Proses penggunaan media dan cara di mana hal ini diungkapkan di dalam konteks tertentu merupakan objek kepentingan yang utama.

3. Penggunaan media umumnya adalah dalam situasi yang spesifik dan berorientasi pada tugas sosial yang berkembang dari partisipasi di dalam

‘komunitas interpretatif’ yang terpisah yang memiliki bentuk wacana dan kerangka yang sama untuk memaknai media.

4. Khalayak tidak pernah pasif atau semuanya adalah anggota yang setara karena terdapat beberaoa yang lebih berpengalaman atau lebih aktif daripada yang lain. metode penelitian haruslah ‘kualitatif’ dan mendalam, sering kali etnografis, meneliti konten, tindakan penerimaan, dan konteks secara bersama-sama.

Istilah ‘teks’ telah banyak digunakan dalam dua makna dasar. Satu yang merujuk pada pesan fisik itu sendiri secara umum-dokumen cetak, film, program televisi, skor musik. Penggunaan alternatif yang direkomendasikan oleh Fiske adalah untuk menyediakan istilah ‘teks’ bagi keluaran yang bermakna dari pertemuan antara konten dan pembaca. Misalnya, program televisi ‘menjadi sebuah teks pada saat pembaca, yaitu ketika interaksi dengan satu dari banyak khalayak mengaktifkan sejumlah makna atau kesenangan yang mampu merangsang’ (Fiske, 1987, p.14). Dari definisi ini, dapat diketahui bahwa program televisi yang sama dapat memproduksi banyak teks yang berbeda dalam artian makna yang dicapai.

Menurut Devereux (3002, p.138), terdapat tiga paradigma yang dapat menjelaskan tentang teori reception analysis, yaitu encoding-decoding paradigma, audience ethnography dan construstionist or discursive paradigm. Tetapi dalam

(10)

penelitian ini, peneliti menggunakan paradigma encoding – decoding. Paradigma encoding decoding sangat berpengaruh dalam proses perkembangan dari teori reception. Dipengaruhi oleh semiotik, Hall (1974) fokus pada dua “saat” penting dalam proses penerimaan, yang dikenal dengan encoding yang mana merupakan tugas dari pada pekerja media dalam mengkonstruksi teks media dan proses decoding yaitu proses pemaknaan oleh penonton. Biasanya, para penonton dapat menggunakan tiga macam kode saat mengintepretasikan teks dari sebuah media, yaitu:

1. Dominant code artinya pesan yang disampaikan oleh media mendominasi penonton. Jadi pesan yang disampaikan oleh media diterima oleh penonton secara positif.

2. The negotiated code artinya kode yang dinegosiasikan yang mengakui bahwa penonton membuat adaptasinya sendiri berdasarkan situasi oleh media, penonton memiliki pertimbangan dalam memaknainya. Posisi penerimaan penonton di sini bisa menerima atau menolak namun dengan adanya alasan tertentu.

3. Oppositional code artinya kode oppositional dimana orang dalam menerima pesan yang disampaikan oleh media, melakukan pemaknaan yang sifatnya menolak dan men-decode dengan cara sebaliknya. Makna yang disampaikan oleh media, ditolak (tidak diterima) oleh penonton.

Elemen penting lain dalam pendekatan ini adalah untuk menekankan bahwa teks media (dari awal atau makna ‘program’) memiliki banyak makna alternatif potensial yang dapat menghasilkan pembacaan yang berbeda. Fiske berpendapat bahwa polisemi merupakan ciri yang penting dari budaya media popular yang sebenarnya karena semakin banyak makna potensial, semakin besar kemungkinan daya tarik bagi khalayak yang berbeda dan kategori sosial yang berbeda dalam keseluruhan khalayak.

2.8. Tiga Paradigma Dalam Analisis Penerimaan

Alasuutari (1999) menjelaskan bahwa ada tiga fase atau tiga generasi dalam penelitian penerimaan. Yakni, paradigma encoding/decoding, paradigma

(11)

etnografi khalayak, dan pendekatan konstruksionis (dalam Devereux, 2003, p.139).

Model encoding/decoding yang dikemukakan oleh Hall (1974) mengatakan bahwa didalam pertukaran pesan, perlu memberikan perhatian pada pesan yang diproduksi media professional. Paradigma ini menyatakan ada dua proses, yakni decoding dimana merupakan proses menyandikan pesan ketika media profesional mengelolah pesan media, dan decoding atau proses menguraikan sandi ketika pesan diterima khalayak.

Fase ketiga dari riset penerimaan adalah pendekatan konstruksionis.

Paradigma ini memberikan pemahaman tentang media yang menjelaskan pengalaman postmodern. Fase ketiga pendekatan ini memperluas pendekatan pada apa media itu dan penggunaan media. Adapun, tidak meninggalkan dari apa yang disebut dengan pendekatan etnografis dari analisis khalayak. Namun lebih mendapatkan pemahaman tentang budaya media, khususnya penggunaan media dalam kehidupan sehari-hari. Pemahaman khalayak dipengaruhi oleh budaya media dan latar belakang khalayak yang menerima pesan media. Generasi ketiga tertarik pada acara dan suasana acara, selanjutnya ditambahan lapisan-lapisan untuk meneliti penerimaan pesan media pada khalayak (Devereux, 2003, p.141).

Paradigma encoding/decoding sangat berpengaruh dalam perkembangan awal penelitian resepsi. Sangat dipengaruhi oleh semiotik, Hall (1974) berkonsentrasi pada dua momen penting dalam pertukaran komunikatif, yaitu encoding dilakukan oleh kalangan praktisi media dalam pembuatan pesan media telah diterima. Biasanya, penonton dapat menggunakan empat kode dalam proses menafsirkan pesan media. ini adalah kode dominan, kode profesional, kode dinegosiasikan dan kode oposisi. Encoding/decoding paradigma memungkinkan untuk agen penonton bahwa anggota audiens individu dapat merekonstruksi atau menolak pesan media. Hall (1974) model itu memunculkan sejumlah berkembang penelitian empiris tentang bagaimana khalayak memecahkan kode berbagai media. Yang paling terkenal yang ikut Morley (1980) aplikasi dari Hall encoding/decoding model yang melihat awal dari bergerak menuju menganalisis isi dan penerimaan genre televisi fiksi. Fokus wawancara kelompok dan wawancara mendalam dengan anggota audiens individu digunakan untuk

(12)

mengeksplorasi bacaan yang dibuat dari teks-teks media tertentu. pergeseran dalam penekanan memunculkan fase baru penelitian khalayak kualitatif yang terlibat dengan pertanyaan tentang realitas gender penggunaan media dan konsumsi (Devereux, 2003, p.140).

Dalam penelitian ini paradigma encoding-decoding digunakan untuk mengkronstruksi teks media dan kemudian proses pemaknaan oleh penonton.

Paradigma ini digunakan dalam penelitian reception analysis guna melihat dan mengetahui bagaimana pemaknaan tentang kekerasan yang terjadi dalam animasi Larva oleh penonton remaja dan dewasa.

2.9. Nisbah Antar Konsep

Reception analysis atau analisis penerimaan menunjuk pada studi kualitataif dalam penelitian khalayak yang mempelajari konteks budaya dan sosial dari manusia. Salah satu tujuan dari analisis penerimaan adalah untuk mengetahui persepsi dan dampak media dari pesan media massa.

Paradigma yang digunakan adalah paradigma encoding/decoding yang sangat berpengaruh dalam perkembangan awal penelitian resepsi.

Encoding/decoding paradigma memungkinkan untuk agen penonton di bahwa anggota audiens individu dapat merekonstruksi atau menolak pesan media. Fokus wawancara kelompok dan wawancara mendalam dengan anggota audiens individu digunakan untuk mengeksplorasi bacaan yang dibuat dari teks-teks media tertentu.

Normalnya, khalayak atau penonton dapat menggunkaan beberapa macam kode saat mengintepretasi teks dari sebuah media, yaitu dominant code, negotiated code, dan oppositional code. Paradigma encoding/decoding ini memperoleh khalayak untuk merekonstruksi ataupun menolak isi dari pesan tersebut.

Dari serangkaian konsep di atas diharapkan dapat mengetahui penerimaan audiens remaja dan dewasa dalam kekerasan di film animasi Larva melalui metode penelitian reception analysis.

(13)

2.10. Kerangka Pemikiran

Bagan 2.1 Kerangka pemikiran Sumber: Olahan Peneliti  

Film animasi Larva memiliki banyak konten kekerasan

Film animasi Larva ditonton oleh orang remaja dan dewasa

reception analysis (analisis penerimaan)

penerimaan audiens remaja dan dewasa terhadap kekersan dalam film animasi Larva

Encoding/Decoding

orang  dewasa  

Dominant  

Negotiated   Opposition

al    remaja  

Referensi

Dokumen terkait

Berinteraksi langsung dengan kelompok yang memiliki gaya hidup tertentu mungkin dapat memperkuat elemen gaya hidup yang ingin diadopsi, namun tidak menutup kemungkinan

Salah satu hal yang akan terjadi pada saat kelompok berkomunikasi adalah terbentuknya sebuah pengertian, pemahaman dalam kelompok tersebut, apalagi ketika kelompok tersebut

Menurut salah satu para ahli, Brady dan Loonam (2010), Entity Relationship diagram (ERD) merupakan teknik yang digunakan untuk memodelkan kebutuhan data dari

Li dan Lin (2006) menyatakan bahwa dengan adanya persebaran informasi, perusahaan dapat mencapai praktek SCM yang lebih baik, dalam hal ketepatan barang dan

Pada area yang berhubungan langsung dengan publik, material dan finishing yang digunakan harus mempunyai kualitas serta mendukung konsep dari Restoran serta murah dan

Genetic Algorithm merupakan sebuah metode untuk memindahkan satu populasi kromosom ke suatu populasi yang baru dengan menggunakan seleksi alam dan operator genetik seperti

Selain dinding yang mempunyai efek memantulkan, lantai juga mempunyai efek yang sama, malah lantai mempunyai efek memantulkan yang lebih besar dari pada dinding sebesar

Sebagaimana gambar yang telah menelurkan banyak gaya, animasi (dan ber-.. Sebagai contoh, anda tentu bisa mengidentifikasi gaya animasi buatan Jepang dengan hanya