PNEUMOKONIOSIS
I Made Bagiada
Program Stud Spesialis Ilmu Penyakit Paru,
Fakultas Kedokteran Universitas Udayana - RSUP Sanglah Denpasar
ABSTRACT
Pneumoconiosis as an abnormality that results from accumulation of dust in the lungs that causes tissue reactions to the dust. The main reaction due to dust exposure in the lungs is fibrosis. The literature of pneumoconiosis depends on the dust causes, asbestos exposure causes asbestosis, silica dust is related to silicosis, coal dust causes coal pneumoconiosis and others. The main factors that play a role in the pathogenesis of pneumoconiosis are dust particles and the response of the body, especially the airways to these dust particles.
Chemical composition, physical properties, dosage and duration of exposure determine whether or not pneumoconiosis occurs. The pathogenesis of pneumoconiosis begins with the response of alveolar macrophages to dust entering the lung respiration unit. Dust phagocytosis occurs by macrophages and the subsequent process is very dependent on the toxicity of dust particles. Pneumoconiosis will not regress, disappear or decrease its progression only by avoiding exposure. Medical management is generally limited to symptomatic
treatment. There is no effective treatment that can induce regression of abnormalities or stop pneumoconiosis progression.
Keywords: Pneumoconiosis, Silicosis, Asbestosis, Coal Pneumoconiosis
ABSTRAK
Pneumokoniosis sebagai suatu kelainan yang terjadi akibat penumpukan debu dalam paru yang menyebabkan reaksi jaringan terhadap debu tersebut. Reaksi utama akibat pajanan debu di paru adalah fibrosis. Penamaan pneumokoniosis tergantung pada debu penyebabnya, pajanan asbes menyebabkan asbestosis, debu silika berhubungan dengan silikosis, debu batubara menyebabkan pneumokoniosis batubara dan lain-lain. Faktor utama yang berperan pada patogenesis pneumokoniosis adalah partikel debu dan respons tubuh khususnya saluran napas terhadap partikel debu tersebut.
Komposisi kimia, sifat fisis, dosis dan lama pajanan menentukan dapat atau mudah tidaknya terjadi pneumokoniosis. Patogenesis pneumokoniosis dimulai dari respons makrofag alveolar terhadap debu yang masuk ke unit respirasi paru. Terjadi fagositosis debu oleh makrofag dan proses selanjutnya sangat tergantung pada sifat toksisitas partikel debu. Pneumokoniosis tidak akan mengalami regresi, menghilang ataupun berkurang progresivitasnya hanya dengan menjauhi pajanan. Tata laksana medis umumnya terbatas hanya pengobatan simptomatik. Tidak ada pengobatan yang efektif yang dapat
menginduksi regresi kelainan ataupun menghentikan progesivitas pneumokoniosis.
Kata Kunci : Pneumokoniosis, Silikosis, Asbestosis, Pneumokoniosis Batu Bara
Pendahuluan
Pesatnya perkembangan industri beserta produknya memiliki dampak positif terhadap kehidupan manusia berupa makin luasnya lapangan kerja, kemudahan dalam komunikasi dan transportasi sehingga akhirnya juga berdampak pada peningkatan sosial ekonomi masyarakat. Disisi lain dampak negatif yang terjadi adalah timbulnya penyakit akibat pajanan bahan-bahan selama proses industri atau dari hasil produksi itu sendiri.
Penyakit paru akibat kerja merupakan penyakit atau kelainan paru yang terjadi akibat terhirupnya partikel, kabut, uap atau gas yang berbahaya saat seseorang sedang bekerja. Tempat tertimbunnya bahan- bahan tersebut pada saluran pernafasan atau paru dan jenis penyakit paru yang terjadi tergantung pada ukuran dan jenis partikel yang terhirup. Beberapa jenis partikel yang di antaranya bisa menyebabkan penyakit paru yaitu partikel organik dan anorganik. Selain itu gas dan bahan aerosol lain seperti gas dari hidrokarbon, bahan kimiawi insektisida, serta gas dari pabrik plastik dan hasil pembakaran plastik.
Masa waktu untuk timbulnya penyakit ini cukup lama.
Pneumokoniosis adalah penyakit saluran pernapasan yang disebabkan oleh adanya partikel (debu) yang masuk atau mengendap di dalam paru. Penyakit pneumokoniosis banyak jenisnya, tergantung dari jenis partikel (debu) yang masuk atau terhisap ke dalam paru. Beberapa jenis penyakit pneumokoniosis yang banyak dijumpai di daerah yang memiliki banyak kegiatan industri dan teknologi, yaitu silikosis, asbestosis, pneumokoniosis batu bara dan bentuk lainnya.2,3
Definisi
Pneumokoniosis berasal dari bahasa yunani yaitu pneumo yang berarti paru dan conis yang berarti debu. Terminologi pneumokoniosis pertama kali digunakan untuk menggambarkan penyakit paru yang berhubungan dengan inhalasi debu mineral. Definisi pneumokoniosis adalah deposisi debu di dalam paru dan terjadinya reaksi jaringan paru akibat deposisi debu tersebut. International Labour Organization (ILO) mendefinisikan pneumokoniosis sebagai suatu kelainan yang terjadi akibat penumpukan debu dalam paru yang menyebabkan reaksi jaringan terhadap debu tersebut. Reaksi utama akibat pajanan debu di paru adalah fibrosis. Pneumokoniosis dibatasi pada kelainan reaksi non- neoplasma akibat debu tanpa memasukkan asma, penyakit paru obstruktif kronik dan pneumositis hipersensitif walaupun kelainan tersebut dapat terjadi akibat pajanan debu dalam jangka waktu lama. 4 Epidemiologi
Pneumokoniosis terbanyak adalah silikosis, asbestosis dan pneumokoniosis batubara. Data di Australia tahun 1979-2002 menyebutkan, terdapat >1000 kasus pneumokoniosis terdiri atas 56%
asbestosis, 38% silikosis dan 6% pneumokoniosis batubara. Prevalensi pneumokoniosis batubara di berbagai pertambangan di Amerika Serikat dan Inggris bervariasi (2,5-30%) tergantung besarnya kandungan batubara pada daerah pertambangan tersebut. Prevalensi pneumokoniosis di negara bagian Amerika pada tahun 1960 sekitar 30%
dan angka ini jauh menurun pada tahun 2002 hanya sekitar 2.5%. setiap
tahun angka kejadian pneumokoniosis berkurang hal ini dapat dikarenakan kontrol dari perusahaan yang kian meningkat.6
Prevalensi pneumokoniosis batu bara di Indonesia belum ada penelitian khusus mengenai prevalensi penyakit ini hanya pada skala kecil yang mencakup suatu perusahaan saja. Penelitian Darmanto et al.
di tambang batubara tahun 1989 menemukan prevalensi pneumokoniosis batubara sebesar 1,15%. Data penelitian di Bandung tahun 1990 pada pekerja tambang batu menemukan kasus pneu- mokoniosis sebesar 3,1%. Penelitian oleh Bangun et al. tahun 1998 pada pertambangan batu di Bandung menemukan kasus pneumokoniosis sebesar 9,8%. Kasmara (1998) pada pekerja semen menemukan kecurigaan kecurigaan pneumokoniosis 1,7%. Penelitian OSH center tahun 2000 pada pekerja keramik menemukan silikosis sebesar 1,5%.
Penelitian Pandu et al. di pabrik pisau baja tahun 2002 menemukan 5%
gambaran radiologis yang diduga pneumokoniosis. Damayanti et al.
pada pabrik semen menemukan kecurigaan pneumokoniosis secara radiologis sebesar 0,5%.7,8,9
Klasifikasi
Klasifikasi pneumokoniosis digolongkan berdasarkan debu penyebabnya. Pajanan silika menyebabkan silikosis, pajanan asbes menyebabkan asbestosis dan debu batubara menyebabkan pneumokoniosis batubara. Evaluasi medis menyeluruh harus dilakukan untuk menentukan apakah penyakit paru yang terjadi berhubungan dengan pekerjaan.4
Tabel 1. Beberapa Jenis Pneumokoniosis Berdasarkan Debu Penyebabnya 1
Jenis Debu Pneumokoniosis
Asbes Asbestosis
Silika Silikosis
Batubara Pneumokoniosis Batubara
Besi Siderosis
Berilium Beriliosis
Timah Stanosis
Aluminium Aluminosis
Grafit Pneumokoniosis grafit
Antimony Antimony Pneumokoniosis
Debu Mineral Barite Baritosis
Debu Karbon Pneumokoniosis Karbon
Debu Polyvinyl Chloride (PVC) Pneumokoniosis PVC
Debu Bakelite Pneumokoniosis Bakelite
Titanium Oksida Pneumokoniosis Titanium
Zirkonium Pneumokoniosis Zirkonium
Silicon Carbide Carborundum Pneumokoniosis
Hard Metal Tungsten Carbide Pneumokoniosis
Nylon Flock Flock Worker’s Lung
Debu Campuran :
Campuran Silika dan Besi Silikosiderosis
Silikat Silikatosis
Slate (campuran mica, feldspar, crystalline quartz)
Slate worker’s Pneumokoniosis
Kaolin Pneumokoniosis Kaolin
Mica Mica Pneumokoniosis
Patogenesis
Faktor utama yang berperan pada patogenesis pneumokoniosis adalah partikel debu dan respons tubuh khususnya saluran nafas
terhadap partikel debu tersebut. Komposisi kimia, sifat fisis, dosis dan lama pajanan menentukan mudah atau tidaknya terjadi pneumokoniosis. Sitotoksisitas partikel debu terhadap makrofag alveolar memegang peranan penting dalam patogenesis pneumokoniosis. Patogenesis dimulai dari respons makrofag alveolar terhadap debu yang masuk ke unit respirasi paru. Terjadi fagositosis debu oleh makrofag dan proses selanjutnya tergantung sitotoksisitas partikel debu. Debu inert akan tetap berada di makrofag sampai terjadi kematian makrofag karena umurnya. Makrofag lain akan memfagosit debu yang keluar tersebut.4
Partikel debu akan menyebabkan kehancuran makrofag yang diikuti dengan fibrositosis pada debu yang bersifat sitotoksik. Mediator yang paling banyak berperan dalam Tumor Necrosis Factor (TNF)-α, Interleukin (IL)-6, IL-8, platelet derived growth factor (PDGF) dan transforming growth factor (TGF)-β. Sebagian besar mediator tersebut sangat penting untuk proses fibrogenesis. Mediator makrofag penting yang bertanggung jawab terhadap kerusakan jaringan, pengumpulan sel dan stimulasi pertumbuhan fibroblas adalah spesies oksigen reaktif dan proteases.4
Debu-debu yang masuk ke dalam saluran pernapasan menyebabkan timbulnya reaksi pertahanan non-spesifik, antara lain batuk, bersin, gangguan transport mukosilier dan fagositosis oleh makrofag. Otot polos disekitar jalan napas dapat terangsang sehingga menimbulkan penyempitan bronkus. Keadaan ini terjadi bila kadar debu melebihi nilai ambang batas. Sistem mukosilier juga mengalami gangguan dan menyebabkan produksi lendir bertambah. Bila lendir
makin banyak & mekanisme pengeluaran tidak sempurna, dapat menyebabkan obstruksi saluran napas, sehingga resistensi jalan napas meningkat. Sedangkan apabila partikel debu masuk ke dalam alveoli akan membentuk fokus dan berkumpul, lalu dengan sistem limfatika terjadi proses fagositosis debu oleh makrofag. Debu yang bersifat toksik terhadap makrofag seperti silika bebas menyebabkan terjadinya autolisis. Makrofag yang lisis bersama silika bebas merangsang terbentuknya makrofag baru. Makrofag baru memfagositosis silika bebas lagi terjadi autolisis lagi, keadaan ini terjadi berulang-ulang.
Pembentukan dan destruksi makrofag yang terus menerus berperan penting pada pembentukan jaringan ikat kolagen dan pengendapan hialin pada jaringan ikat tersebut. Fibrosis ini terjadi pada parenkim paru, yaitu pada dinding alveoli dan jaringan interstisial. Akibat fibrosis, paru menjadi kaku sehingga dapat menyebabkan gangguan pengembangan paru, kelaianan fungsi paru yang restriktif. 1
Gambar 1. Patogenesis Pneumokoniosis
Penyakit paru yang dapat timbul karena debu selain tergantung dari sifat-sifat debu, juga jenis debu, lama paparan dan kepekaan individu. Pneumokoniosis biasanya timbul setelah paparan bertahun- tahun. Apabila kadar debu tinggi / kadar silika bebas tinggi dapat terjadi silikosis akut yang menimbulkan manifestasi setelah terpapar 6 bulan.
Dalam masa paparan yang sama, kelainan yang timbul pada pekerja yang berbeda, dampaknya bisa berbeda pula. Hal ini karena perbedaan kepekaan tubuh antar para pekerja. 1
Adapun mekanisme terjadinya pneumokoniosis dibagi menjadi tiga tahap yakni tahap impaksi, sedimentasi dan difusi.
1. Impaksi
Mekanisme impaksi adalah kecenderungan partikel tidak dapat berubah arah pada percabangan saluran napas. Akibat hal tersebut banyak partikel tertahan di mukosa hidung, faring ataupun percabangan saluran napas besar. Sebagian besar partikel berukuran lebih besar dari 5 mm tertahan di nasofaring.
Mekanisme impaksi juga terjadi bila partikel tertahan di percabangan bronkus karena tidak bisa berubah arah.10
2. Sedimentasi
Sedimentasi adalah deposisi partikel secara bertahap sesuai dengan berat partikel terutama berlaku untuk partikel berukuran sedang (1-5 mm). Umumnya partikel tertahan di saluran napas kecil seperti bronkiolus terminal dan bronkiolus respiratorius. Debu ukuran 3-5 mikron akan menempel pada mukosa bronkioli sedangkan ukuran 1-3 mikron (debu respirabel) akan langsung ke permukaan alveoli paru. Mekanisme terjadi karena kecepatan aliran udara sangat berkurang pada saluran napas tengah. Sekitar 90% dari konsentrasi 1000 partikel per cc akan dikeluarkan dari alveoli, 10% sisanya diretensi dan secara lambat dapat menyebabkan pneumokoniosis.10,11
3. Difusi
Difusi adalah gerakan acak partikel akibat kecepatan aliran udara.
Terjadi hanya pada partikel dengan ukuran kecil. Debu dengan ukuran 0,1 mm sampai 0,5 mm keluar masuk alveoli, membentur alveoli sehingga akan tertimbun di dinding alveoli (gerak Brown).10,11
Gejala dan Tanda
Penyakit paru akibat debu industri mempunyai gejala dan tanda yang mirip dengan penyakit paru lain yang tidak disebabkan oleh debu di lingkungan kerja. Untuk menegakan diagnosis perlu dilakukan anamnesis yang teliti meliputi riwayat pekerjaan, dan hal-hal yang berhubungan dengan pekerjaan, karena penyakit biasanya baru timbul setelah paparan yang cukup lama. Anamnesis mengenai riwayat pekerjaan yang akurat dan rinci sangat diperlukan, apabila penderita sering berganti tempat kerja. Berbagai faktor yang berhubungan dengan pekerjaan dan lingkungan perlu diketahui secara rinci. Karena menunjang penegakan diagnosa penyakit paru yang mungkin diakibatkan oleh pekerjaan / lingkungan pekerjaan. 4
Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan penunjang yang penting untuk menegakkan diagnosis dan menilai kerusakan paru akibat debu adalah pemeriksaan radiologis dan pemeriksaan faal paru dengan spirometri. Pemeriksaan foto thorax sangat berguna untuk melihat kelainan yang ditimbulkan oleh debu pada pneumokoniosis. Klasifikasi standar menurut ILO dipakai
untuk menilai kelainan yang timbul. Pembacaan foto thorax pneumokoniosis perlu dibandingkan dengan foto standar untuk menentukan klasifikasi kelainan. Pemeriksaan penunjang lain yang bisa digunakan untuk keperluan penegakan diagnosis adalah CT Scan, BronchoAlveolar Lavage (BAL) dan Biopsi. 4
Pemeriksaan Radiologi
a. Foto Toraks
Pada pneumokoniosis digunakan klasifikasi standar menurut International Labour Organization (ILO) untuk interpretasi gambaran radiologi kelainan parenkim difus yang terjadi. Klasifikasi ini digunakan untuk keperluan epidemiologik penyakit paru akibat kerja dan mungkin untuk membantu interpretasi klinis.1
b. Computed Tomography (CT) Scan
Computed Tomography (CT) Scan bukan merupakan bagian dari klasifikasi pneumokoniosis secara radiologi. Pemeriksaan CT mungkin sangat bermanfaat secara individual untuk memperkirakan beratnya fibrosis interstisial yang terjadi, menilai luasnya emfisema dan perubahan pleura atau menilai ada tidaknya nekrosis atau abses yang bersamaan dengan opasiti yang ada. High Resolution CT (HRCT) lebih sensitif dibanding radiologi konvensional untuk evaluasi abnormalitas parenkim pada asbestosis, silikosis dan pneumokoniosis lainnya.
Gambaran paling sering HRCT pada pneumokoniosis adalah nodular sentrilobular atau high attenuation pada area percabangan seperti gambaran lesi bronkiolar. Fibrosis interstisial mungkin bermanifestasi
bronkiektasis traksi, sarang tawon/honey comb atau hyperattenuation.
Gambaran HRCT yang khas pada silikosis, pneumokoniosis batubara dan asbestosis adalah terdapat opasitas halus (small nodular opacities) yang predominan pada zona paru atas (upper zone). Gambaran opasitas halus pada HRCT ada 2 karakteristik (1) ill defined fine branching lines dan (2) well defined discrete nodules. Asbestosis menunjukkan gambaran garis penebalan interlobular dan intralobular, opasitas subpleura atau curvilinier dan honey comb, predominan terdistribusi pada basal paru.1
Pemeriksaan Faal Paru
Pemeriksaan faal paru yang sederhana, cukup sensitif dan bersifat reprodusibel serta digunakan secara luas adalah pemeriksaan kapasitas vital paru dan volume ekspirasi paksa pada detik pertama.
Selain berguna untuk menunjang diagnosis juga perlu untuk melihat laju penyakit, efektivitas pengobatan dan menilai prognosis. Pemeriksaan sebelum seseorang bekerja dan pemeriksaan berkala setelah bekerja dapat mengidentifikasi penyakit dan perkembangannya, pada pekerja yang sebelumnya tidak memiliki gejala.
Pemeriksaan faal paru lain yang lebih sensitif untuk mendeteksi kelainan di saluran napas kecil adalah pemeriksaan Flow Volume Curve dan Volume of Isoflow. Pengukuran kapasitas difusi paru (DLCO) sangat sensitif untuk mendeteksi kelainan di interstisial, tetapi pemeriksaan ini rumit dan memerlukan peralatan yang lebih canggih, dan tidak dianjurkan digunakan secara rutin. Pekerja yang pada pemeriksaan awal tidak menunjukkan kelainan, kemudian menderita kelainan setelah
bekerja dan penyakitnya terus berlanjut, dianjurkan untuk menukar pekerjaannya. Ini bisa berarti beralih pekerjaan, atau pindah pada bagian/divisi yang lain di dalam komunitas para pekerja. 1
Diagnosis
Diagnosis pneumokoniosis tidak dapat ditegakkan hanya dengan gejala klinis. Ada tiga kriteria mayor yang dapat membantu untuk diagnosis pneumokoniosis. Pertama, pajanan yang signifikan dengan debu mineral yang dicurigai dapat menyebabkan pneumokoniosis dan disertai dengan periode laten yang mendukung.
Dokter paru memerlukan anamnesis mengenai kadar debu di lingkungan kerja, lama pajanan dan penggunaan alat pelindung diri serta kadang diperlukan pemeriksaan kadar debu di lingkungan kerja.
Kedua, gambaran spesifik penyakit terutama kelainan radiologi. Ketiga, tidak dapat dibuktikan ada penyakit lain yang menyerupai pneumokoniosis. Pneumokoniosis memiliki kemiripan dengan penyakit interstitial paru difus seperti sarkoidosis, idiophatic pulmonary fibrosis (IPF) atau interstitial lung diseases (ILD) yang berhubungan dengan penyakit kolagen vaskular. 1
Pneumokoniosis yang sering terjadi yaitu:
1. Silikosis
Silikosis merupakan penyakit parenkim paru yang diakibatkan inhalasi silikon dioksida atau silika. Silika merupakan komponen utama batu atau pasir. Silikon dioksida atau silika adalah mineral yang terbanyak tersebar di bumi. Patogenesis silikosis terjadi terutama pada
interaksi antara sel-sel paru pada partikel silika yang terinhalasi serta respons sekunder yang dicetuskan interaksi tersebut. Bagian permukaan partikel silika berinteraksi dengan makrofag alveolar, limfosit dan neutrofil menimbulkan inflamasi, proliferasi fibroblas dan deposit bahan-bahan matriks jaringan ikat dalam jumlah besar. Partikel yang ditimbun di alveoli semula terletak pada fagosom tetapi karena efek toksik silika maka fagosom hancur dan partikel silika terletak bebas dalam sitoplasma.
Enzim lisosom dilepaskan dari fagosom yang hancur sehingga menyebabkan makrofag cepat mati dan silika terlepas ke jaringan ekstraseluler. Kematian makrofag akan merangsang pembentukan kolagen oleh fibroblas di jaringan sekitarnya sehingga terbentuk nodul silika bebas. Analisis BAL pada pekerja yang terpajan silika menunjukkan fungsi makrofag yang masih baik meskipun silika berperan toksik terhadap makrofag. Limfositosis ringan juga dilaporkan terjadi dibandingkan kontrol. Schuyler dkk melaporkan penemuan sel pneumosit tipe II pada cairan BAL sedangkan pada sampel kontrol tidak ditemukan.
Begin dkk mengevaluasi 22 pasien yang terpajan silika selama 31 tahun. Penelitian tersebut dibagi menjadi 3 group yaitu 7 orang tanpa kejadian silikosis, 9 orang dengan silikosis ringan dan 6 orang dengan silikosis berat. Makrofag, limfosit dan neutrofil jumlah selnya meningkat 2 kali lipat. Berbeda dengan Schuyler dkk.yang hanya menemukan peningkatan sel pneumosit tipe II pada 6 pasien silikosis dibanding kontrol.
Hasil BAL menunjukkan 5 dari 9 orang pekerja terdapat peningkatan limfosit secara bermakna dibandingkan kontrol. Makrofag alveolar yang mengandung partikel juga meningkat persentasenya dihubungkan dengan lamanya masa terpajan debu granit tersebut.
Peran bronchoalveolar lavage sebagai modalitas diagnosis pada pekerja yang terpajan silika dan pekerja dengan silikosis memiliki karakteristik peningkatan jumlah makrofag serta makrofag yang berisi partikel silika.
Peran BAL dalam prognosis yaitu bila didapatkan peningkatan jumlah limfosit dan neutrofil maka hal ini berhubungan dengan perjalanan penyakit menjadi silikosis. 4
Penyakit ini terjadi karena inhalasi dan retensi debu yang mengandung kristalin silikon dioksida atau silika bebas. Pada berbagai jenis pekerjaan yang berhubungan dengan silika, penyakit silikosis ini dapat terjadi , seperti pada pekerja :
1. Pekerja tambang logam dan batubara 2. Penggali terowongan untuk membuat jalan 3. Pemotongan batu seperti untuk patung, nisan 4. Pembuat keramik dan batubara
5. Penuangan besi dan baja
6. Industri yang memakai silika sebagai bahan, misalnya pabrik amplas & gelas
7. Pembuat gigi enamel 8. Pabrik semen
Usaha untuk menegakkan diagnosis silikosis secara dini sangat penting, oleh karena penyakit dapat terus berlanjut meskipun paparan
telah dihindari. Pada penderita silikosis, insidensi tuberkulosis lebih tinggi dari populasi umum. 3
Secara klinis terdapat 3 bentuk silikosis, yakni silikosis akut, silikosis kronik, silikosis terakselerasi.9
a. Silikosis Akut
Penyakit dapat timbul dalam beberapa minggu, bila pekerja terpapar dengan konsentrasi sangat tinggi. Perjalanan penyakit sangat khas, yaitu gejala sesak napas yang progresif, demam, batuk dan penurunan berat badan setelah paparan silika konsentrasi tinggi dalam waktu relatif singkat. Lama paparan silika berkisar antara beberapa minggu hingga 4 atau 5 tahun. Kelainan faal paru yang timbul adalah restriksi berat dan hipoksemia disertai penurunan kapasitas difusi.
b. Silikosis Kronik
Kelainan pada penyakit ini mirip dengan pneumokoniosis pekerja tambang batubara, yakni terdapat nodul yang biasanya dominan di lobus atas. Bentuk silikosis kronik paling sering ditemukan, terjadi setelah paparan 20 hingga 45 tahun oleh kadar debu yang relatif rendah. Pada stadium simple, nodul di paru biasanya kecil dan tanpa gejala/ minimal. Walaupun paparan tidak ada lagi, namun kelainan paru dapat menjadi progresif sehingga terjadi fibrosis yang masif.
Pada silikosis kronik yang sederhana, foto thorax menunjukkan nodul terutama di lobus atas dan mungkin disertai kalsifikasi. Pada bentuk lanjut terdapat massa yang besar yang tampak seperti sayap malaikat (angel’s wing). Sering terjadi reaksi pleura pada lesi besar yang
padat. Kelenjar hilus biasanya membesar dan membentuk bayangan egg shell calcification. Jika fibrosis masif progresif terjadi, volume paru berkurang dan bronkus mengalami distorsi. Faal paru menunjukkan gangguan restriksi, obstruksi atau campuran. Kapasitas difusi dan komplian menurun. Timbulnya gejala sesak napas, biasanya disertai batuk dan produksi sputum. Sesak pada awalnya terjadi saat aktivitas, kemudian pada waktu istirahat dan akhirnya timbul gagal kardiorespirasi.
c. Silikosis Terakselerasi
Bentuk kelainan ini serupa dengan silikosis kronik, hanya saja perjalanan penyakit lebih cepat dari biasanya, menjadi fibrosis masif, sering terjadi infeksi mikobakterium tipikal / atipik. Setelah paparan 10 tahun sering terjadi hipoksemia yang berakhir dengan gagal napas
A B
Gambar 2. Gambar diatas menunjukkan silikosis. A. Nodul paling banyak terdapat pada bagian atas paru dimana disana terdapat massa silikotik
yang terkumpul pada satu titik. B. Gambaran mikroskopik menunjukkan gambaran silikotik menyebar pada jaringan paru normal.5
Penatalaksanaan Silikosis
Tidak ada pengobatan spesifik dan efektif pada penyakit paru yang disebabkan oleh debu industri. Penyakit biasanya memberi gejala bila kelainan telah lanjut. Pengobatan umumnya bersifat simtomatis, yaitu hanya mengobati gejala saja. Obat-obat yang diberikan bersifat suportif. 2
Silikosis bersifat ireversibel dan pengobatannya adalah simptomatis untuk mencegah komplikasi. Upaya yang dapat dilakukan adalah :
Menghentikan pajanan silika termasuk berhenti merokok
Pengobatan profilaksis tuberkulosis pada pasien dengan TB laten (IGRA +)
Pengobatan OAT untuk silikosis dengan tuberkulosis aktif
Oxigen untuk penderita hipoksemia kronis
Bronkodilator
Antibiotik untuk infeksi bakteri
BAL untuk silikosis akut
Transplantasi paru?
Terapi eksperimental
Terapi kortikosteroid
Inhalasi powder aluminium, d-penicilamin dan polivinyl-pyridin- N-oxide
Herbal exact tentradine memperlambat progresivitas dari silikosis
2. Asbestosis
Asbestosis adalah penyakit paru yang timbul akibat inhalasi debu serat asbes. Penyakit ini ditandai dengan fibrosis interstitial difus pada paru. Orang yang berisiko tinggi adalah pekerja konstruksi, mekanik kendaraan, pekerja elektrik, pekerja galangan kapal dan pekerja lain yang berhubungan dengan serat asbes. Patogenesisnya bermula pada penumpukan serat asbes di bronkiolus respiratorius pada saluran nafas bawah. Sistem mukosilier membersihkan serat-serat tersebut atau ditransportasikan melalui sel epitel alveolar tipe I ke dalam jaringan interstitial. Lesi pertama pada paru terjadi karena penumpukan makrofag alveolar di duktus alveolaris dan daerah peribronkial yang berdekatan dengan bronkiolus terminalis.
Serat asbes dapat menstimulasi makrofag alveolar untuk menarik neutrofil dari sirkulasi dan menyebabkan kerusakan jaringan paru akibat produknya. Pemeriksaan BAL dapat digunakan untuk diagnosis klinis asbestosis. Karakteristiknya berupa peningkatan jumlah sel makrofag, neutrofil, eosinofil dan ditemukannya asbsetos body.
Asbestos body adalah serat asbes dengan selaput protein-besi.
Penelitian lain menemukan limfositosis pada sitologi BAL yaitu 20-28%.
Pada fase akut tampak alveolitis limfositik namun pada fase lanjut (fibrosis) ditemukan peningkatan neutrofil. Peningkatan rasio CD4/CD8 pada alevolitis limfositik juga terlihat pada asbestosis. Peran sitologi BAL
dalam diagnosis pasien terpajan asbes dan pasien asbestosis memiliki gambaran peningkatan pada semua tipe sel-selnya. Penemuan asbestos body pada cairan BAL merupakan baku emas diagnosis asbestosis.
Asbestos body pada mikroskop elektron dapat dilihat pada gambar 3 : 2,5
Penatalaksanaan Asbestosis
Penatalaksanaan asbestosis bersifat paliatif tergantung gejala yang timbul dan sampai saat ini tidak ada penatalaksanaan yang efektif.
Pengobatan suportif untuk mengatasi gejala yang timbul adalah membuang lendir/dahak dari paru melalui prosedur postural drainage, perkusi dada dan vibrasi. Dapat diberikan bronkodilator dan oksigen jangka panjang. 12
3. Pneumokoniosis Pekerja Tambang Batu Bara / Coal Workers Pneumoconiosis
Penyakit terjadi akibat penumpukan debu batubara di paru dan menimbulkan reaksi jaringan terhadap debu tersebut. Penyakit ini terjadi bila paparan cukup lama , biasanya setelah pekerja terpapar > 10 tahun. Berdasarkan gambaran foto Thorax dibedakan atas bentuk simple dan complicated.
Simple Coal Workers Pneumoconiosis (Simple CWP) terjadi karena inhalasi debu batubara saja. Gejalanya hampir tidak ada, dan bila paparan tidak berlanjut maka penyakit ini tidak akan memburuk.
Penyakit ini dapat berkembang menjadi bentuk complicated. Kelainan foto thorax pada simple CWP berupa perselubungan halus bentuk lingkar, perselubungan dapat terjadi di bagian mana saja pada lapangan paru, yang paling sering di lobus atas. Sering ditemukan perselubungan bentuk p dan q. Pemeriksaan faal paru biasanya tidak menunjukkan kelainan. Nilai VEP₁ dapat sedikit menurun sedangkan kapasitas difusi biasanya normal.
Complicated Coal Workers Pneumoconiosis atau Fibrosis Masif Progresif (PMF) ditandai adanya daerah fibrosis yang luas hampir selalu terdapat di lobus atas. Fibrosis biasanya terjadi karena satu atau lebih faktor berikut :
1. Terdapat silika bebas dalam debu batubara.
2. Konsentrasi debu yang sangat tinggi.
3. Infeksi Mycobacterium tuberculosis atau atipik 4. Imunologi penderita buruk.
Pada daerah fibrosis dapat timbul kavitas dan ini bisa menyebabkan pneumotoraks; foto thorax pada PMF sering mirip tuberkulosis, tetapi sering ditemukan bentuk campuran karena terjadi emfisema. Tidak ada korelasi antara kelainan faal paru dan luasnya lesi pada foto thorax. Gejala awal biasanya tidak khas. Batuk dan sputum menjadi lebih sering, dahak berwarna hitam (melanoptisis). Kerusakan
A B
Gambar 4.
A. Gambar A menunjukkan pneumokoniosis batu bara tipe simpel terdiri dari makula batu bara dan nodul yang berhubungan dengan fokal emfisema.
B. Gambar B menunjukkan pneumokoniosis tipe komplikata. Tambahan pada deposit debu fokal terdapat area yang luas dari fibrosis yang masif pada lobus atas.5
yang luas menimbulkan sesak napas yang makin bertambah, pada stadium lanjut terjadi kor hipertensi pulmonal, gagal ventrikel kanan dan gagal napas.
Penatalaksanaan Pneumokoniosis Batu Bara
Untuk penatalaksanaan dari kasus ini hanya diberikan terapi medikamentosa untuk mengatasi simtomatisnya dan mengurangi kemungkinan komplikasi yang akan muncul. Hal ini dikarenakan CWP bersifat progresif yang tidak akan bisa sembuh hanya dengan menjauhi pajanan. Selebihnya para pekerja wajib dilakukan pemeriksaan berkala serta pengontrolan kadar debu di lingkungan kerja. Selain itu, pemeliharaan kesehatan juga penting seperti menghindari merokok yang akan memperburuk kondisi saluran pernapasan dan menghindari infeksi misalnya dengan melakukan vaksinasi. 13,14
Pencegahan Pneumokoniosis
Tindakan pencegahan merupakan tindakan yang paling penting pada penatalaksanaan penyakit paru akibat debu industri. Pencegahan merupakan tindakan yang paling penting. Regulasi dalam pekerjaan dan kontrol pajanan debu telah dilakukan sejak lama terutama di negara industri dan terus dilakukan dengan perbaikan-perbaikan. Pada bentuk pneumokoniosis sub akut dengan manfaat yang didapat untuk efek jangka panjangnya terutama jika bahan penyebab masih ada di paru.
Menjaga kesehatan dapat dilakukan dengan cara : 13-17
a. Berhenti merokok
b. Pengobatan dilakukan bila dicurigai terdapat penyakit paru obstruktif kronik
(PPOK)
c. Gunakan APD seperti Masker
d. Pencegahan infeksi dengan vaksinasi dapat dipertimbangkan
KESIMPULAN DAN SARAN
Debu industri di tempat kerja dapat menimbulkan kelainan dan penyakit paru. Berbagai faktor berperan pada mekanisme timbulnya penyakit, diantaranya adalah jenis, konsentrasi , sifat kimia debu, lama paparan dan faktor individu pekerja. Pneumokoniosis adalah penyakit saluran pernapasan yang disebabkan oleh adanya partikel (debu) yang masuk atau mengendap di dalam paru. Penyakit pneumokoniosis banyak jenisnya, tergantung dari jenis partikel (debu) yang masuk atau terhisap ke dalam paru. Beberapa jenis penyakit pneumokoniosis yang banyak dijumpai di daerah yang memiliki banyak kegiatan industri dan teknologi, yaitu silikosis, asbestosis, pneumokoniosis batu bara dan bentuk lainnya. Timbulnya penyakit seperti pneumokoniosis ini terjadi karena paparan debu yang lama. Sehingga berbagai tindakan pencegahan perlu dilakukan untuk mencegah timbulnya penyakit / mengurangi laju penyakit akibat kerja. Kadar debu pada tempat kerja diturunkan serendah mungkin dengan memperbaiki teknik pengolahan bahan, misalnya pemakaian air untuk mengurangi debu yang berterbangan. Bila kadar debu tetap tinggi, pekerja diharuskan memakai alat pelindung. Pemeriksaan faal paru dan radiologis sebelum
seorang menjadi pekerja dan pemeriksaan secara berkala untuk mendeteksi secara dini kelainan yang timbul. Pekerja yang merokok hendaknya mengurangi konsumsi rokok sedikit-demi sedikit, terutama bila bekerja di tempat-tempat yang berisiko terjadi penyakit bronkitis industri dan kanker paru, karena konsumsi rokok dapat meninggikan risiko timbulnya penyakit. Pengobatan penyakit paru akibat debu industri hanya bersifat simtomatis (mengurangi gejala) dan suportif.
Sehingga usaha pencegahan merupakan langkah penatalaksanaan yang penting.
DAFTAR PUSTAKA
1. Susanto, Agus Dwi. Pneumokoniosis. Pengembangan Pendidikan Keprofesian Berkelanjutan- IDI. J Indon Med Assoc;
2011 (61): 12.
2. Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. 2009. Bunga Rampai Penyakit Paru Kerja dan Lingkungan. Seri 1. Ed Mukhtar Ikhsan, Faisal Yunus, Agus Dwi Susanto. Jakarta:Balai penerbit FKUI.
3. Yunus F. Pneumokoniosis paru. 1994;14:22-5
4. Susanto DA, Yunus F, Ikhsan M, Fitriani F. Penyakit Paru Kerja Dan Lingkungan. Universitas Indonesia (UI-Pres), 2017.
5. Corrin B, Nicholson A. Occupational, environmenttal and iatrogenic lung disease. Chapter 7 in Pathology of Lungs, pp 327-399. Januari 2011.
6. Smith DR, Leggat PA. 24 years of pneumoconiosis mortality surveillance in Australia. J Occup Health. 2006; (48):309-13.
7. Laney AS , Attfi eld MD . Quartz exposure can cause pneumoconiosis in coal workers . J Occup Environ Med . 2009
;51 ( 8 ): 867.
8. Bangun U, Widjaya M. Analisis epidemiologis pneumokoniosis berdasarkan X ray paru klasifikasi standar international labour organization (ILO) pada pekerja tambang batu P.T. A di Bandung Jawa Barat [Thesis]. Jakarta: Universitas Indonesia; 1998.
9. National and Occupational Safety and Health Center.
Pneumoconiosis in Indonesia. Presented at: The ILO/OSH Center national training workshop. Prevention of pneumoconiosis.
Using the ILO International Classification of radiographs of pneumoconiosis, 2000. Jakarta, 19-22 November 2007.
10. Morgan WKC. The depotition and clearance of dust from the lungs. Their role in etiology of occupational lung disease. In:
Morgan WKC, Seaton A, editors. Occupational lung disease. 3rd ed. Philadelphia: WB Saunders Company; 1995 (41): 111-26.
11. West JB. Enviromental and other diseases. In: West JB.
Pulmonary pathopysiology. The essentials. 6th ed. Baltimore:
Lippincott Williams & Wilkins; 2003: 123-41.
12. Cowie RL, Murray JF, Becklake MR. Pneumoconiosis. In: Mason RJ, Broaddus VC, Murray JF, Nadel JA, editors. Textbook of Respiratory Medicine. 4th Ed. Philadelphia: Elsevier Saunders;
2005: 1748-82.
13. Demedts M, Nemey B, Elnes P. Pneumoconioses. In: Gibson GJ, Gedder DM, Costales U, Sterk PJ, Cervin B, editor. Respiratory Medicine. 3rd ed. London: Elsevier Science; 2003: 675-92.
14. Kuempel ED, Wheeler MW, Smith RJ, et al. Contributions of dust exposure and cigarette smoking to emphysema severity in coal miners in the United States. Am J Respir Crit Care Med 2009;
180: 257–64.
15. World Health Organization. Occupational and work-related disease [internet]. Geneva: WHO; 2015. Tersedia dari:
http://www.who.int
16. Harrington JM, Gill FS. Buku saku kesehatan kerja. Jakarta:
Penerbit ECG; 2005.
17. Centers for Disease Control and Prevention (CDC) . Coal workers’ pneumoconiosisrelated years of potential life lost before age 65 years - United States, 1968-2006 .