• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II KAJIAN PUSTAKA, RERANGKA PEMIKIRAN DAN HIPOTESIS

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "BAB II KAJIAN PUSTAKA, RERANGKA PEMIKIRAN DAN HIPOTESIS"

Copied!
45
0
0

Teks penuh

(1)

BAB II

KAJIAN PUSTAKA, RERANGKA PEMIKIRAN DAN HIPOTESIS

A. Kajian Pustaka 1. Stewardship Theory

Teori Stewardship diperkenalkan sebagai teori yang berdasarkan tingkah laku, perilaku manusia (behavior), pola manusia (model of man), mekanisme psikologis (motivasi, identifikasi dan kekuasaan) dalam sebuah organisasi yang mempraktikkan kepemimpinan sebagai aspek yang memainkan peranan penting bagi sebuah pencapaian tujuan. Teori ini berakar dari ilmu psikologi dan sosiologi yang mengarah pada sikap melayani (Steward).

Menurut Donaldson dan Davis, 1989 dan 1991:

“Teori Stewardship adalah teori yang menggambarkan situasi dimana para manajer tidaklah termotivasi oleh tujuan-tujuan individu tetapi lebih ditujukan pada sasaran hasil utama mereka untuk kepentingan organisasi, sehingga teori ini mempunyai dasar psikologi dan sosiologi yang telah dirancang dimana para eksekutif sebagai steward termotivasi untuk bertindak sesuai keinginan principal, selain itu perilaku steward tidak akan meninggalkan organisasinya sebab steward berusaha mencapai sasaran organisasinya. Teori ini didesain bagi para peneliti untuk menguji situasi dimana para eksekutif dalam perusahaan sebagai pelayan dapat termotivasi untuk bertindak dengan cara terbaik pada principalnya”.

Stewardship (suatu sikap melayani), merupakan suatu pandangan baru tentang mengelola dan menjalankan organisasi, suatu pergeseran pendekatan pada konsep kepemimpinan dan manajemen yang ada sekarang dari konsep mengendalikan (control) dan mengarahkan, kearah konsep peraturan, kemitraan,

(2)

organisasi menjadi suatu miliknya ataupun satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan dari diri sendiri. (Ikhsan Suprasto 2008, dalam Uswatun Hasanah, 2015)

Dalam Teori Stewardship, manajer akan melakukan upaya demi mendapatkan kepercayaan publik. Hal ini didasari pada prinsip bahwa manajer memiliki tanggung jawab yang besar untuk mengelola sumber daya yang ada dengan cara yang bijak untuk kepentingan masyarakat luas. Para manajer tidak akan bertindak untuk kepentingannya sendiri, dan mereka (para manajer) percaya apabila mereka telah bertindak untuk kepentingan yang lebih luas, maka secara pribadi kebutuhan mereka pun telah terpenuhi. (Helena dan Therese 2005, dalam Prastanto 2013)

Implikasi teori Stewardship dalam penelitian ini adalah didasarkan hubungan kepercayaan antara bank dalam menyalurkan pembiayaan berbasis jual beli, bagi hasil dan sewa terhadap para nasabah. Sehingga pihak bank dapat memberikan pelayanan yang optimal terhadap nasabah.

2. Teori Syariah Enterprise (Syariah Enterprise Theory)

Teori Syariah Enterprise memiliki pandangan dalam distribusi kekayaan (wealth) atau nilai tambah (value added) tidak hanya berlaku pada partisipan yang terkait langsung atau patisipan yang memberikan kontribusi kepada operasi perusahaan (pemegang saham, kreditur, karyawan, pemerintah), tetapi juga terhadap pihak lain yang tidak terkait secara langsung terhadap operasi perusahaan. Oleh karena itu, syariah enterprise theory akan membawa kemaslahatan bagi stockholder, stakeholder, masyarakat dan lingkungan alam

(3)

tanpa meninggalkan kewajiban penting menunaikan zakat sebagai manifestasi ibadah kepada Allah SWT. (Slamet 2011, dalam Uswatun Hasanah, 2015)

Menurut Harahap dan Triyuwono, 1997 dan 2002:

“Konsep dasar teoritis akuntansi yang dekat dengan nilai dan tujuan syari’ah menurut aliran idealis disebut Enterprise Theory, karena menekankan akuntabilitas yang lebih luas. Meskipun dari sudut pandang syari’ah konsep ini belum mengakui adanya partisipasi lain yang secara tidak langsung memberikan kontribusi ekonomi, artinya konsep ini belum bisa dijadikan justifikasi bahwa enterprise theory menjadi konsep dasar teoritis, sebelum teori tersebut mengakui eksistensi dari indirect participants”.

Implikasi teori Syariah Enterprise pada penelitian ini adalah bank umum syariah harus berlandaskan syariah enterprise theory dalam melaksanakan tugasnya, karena bank umum syariah tidak hanya bertanggung jawab kepada pemilik melainkan kepada stakeholder dan Allah SWT. Penerapan prinsip syariah enterprise theory pada bank umum syariah akan membuat kinerja bank lebih sehat, dikarenakan manajemen akan mematuhi prinsip-prinsip yang telah ditetapkan. Semakin tinggi tingkat kepatuhan syariah maka akan semakin baik bank tersebut. Bank umum syariah juga akan lebih berhati-hati dalam melaksanakan tugasnya sehingga dapat meminimalisir tindak kecurangan yang mungkin dilakukan. Penerapan prinsip syariah enterprise theory pada bank umum syariah mengharuskan bank umum syariah memberikan informasi yang akurat dan transparan, sehingga pemilik modal yakin akan kebenaran informasi laporan keuangan yang diterbitkan oleh pihak bank umum syariah.

3. Pengertian Bank Syari’ah

Dalam istilah Internasional, perbankan syariah dikenal dengan sebutan

(4)

terlepas dari asal-usul sistem perbankan syariah itu sendiri, sehingga Bank Islam selanjutnya disebut dengan Bank Syariah. Bank syariah adalah bank yang beroperasi dengan tidak berlandaskan pada sistem bunga. Bank syariah adalah lembaga keuangan atau perbankan operasional dan produknya dikembangkan berdasarkan pada Al Qur’an dan Hadist Nabi SAW. Dengan kata lain, bank syariah adalah lembaga keuangan yang usaha pokonya memberikan pembiayaan dan jasa-jasa lainnya dalam lalu lintas pembayaran serta peredaran uang yang pengoperasiannya disesuaikan dengan prinsip syariat Islam (Muhammad 2005, dalam Ferial Nurbaya, 2013).

Sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang No.7 tahun 1992 tentang perbankan yang saat ini telah diubah dengan Undang-Undang No.10 tahun 1998, bank syari’ah adalah bank umum yang melakukan kegiatan usaha berdasarkan prinsip Syariah, termasuk unit usaha Syariah dan kantor cabang bank asing yang melakukan kegiatan usaha berdasarkan prinsip Syariah.

Dalam Undang-Undang No.7 tahun 1992 tentang Perbankan sebagaimana telah diubah dengan UU No.10 tahun 1998, juga disebutkan yang dimaksud dengan prinsip Syari’ah adalah aturan perjanjian berdasarkan hukum Islam antara bank dan pihak lain untuk penyimpanan dana dan atau pembiayaan kegiatan usaha, atau kegiatan lainnya yang dinyatakan sesuai Syariah, antara lain pembiayaan berdasarkan prinsip bagi hasil (mudharabah), pembiayaan berdasarkan prinsip penyertaan modal (musyarakah), prinsip jual beli barang dengan memperoleh keuntungan (murabahah), atau pembiayaan barang modal berdasarkan prinsip sewa murni tanpa pilihan (ijarah), atau dengan adanya pilihan

(5)

pemindahan kepemilikan atas barang yang disewa dari pihak bank oleh pihak lain (ijarah wa iqtina).

Muhammad Syafi’i Antonio dan Karnaen Purwaatmadja dalam buku ”Apa dan Bagaimana Bank Islam” menyatakan:

“Bank Islam adalah bank yang beroperasi dengan prinsip syariah Islam dan dengan tata cara operasi yang bersumber dari Al-Qur’an dan Al- Hadits. Sedangkan, bank yang beroperasi sesuai prinsip syariah Islam adalah bank yang dalam pengoperasiannya mengikuti ketentuan syariah Islam, khususnya menyangkut cara bermuamalat dalam Islam. Dalam bermuamalat harus dijauhi praktek-praktek yang mengandung unsur riba yang selanjutnya digantikan dengan aktivitas investasi atas dasar bagi hasil dan pembiayaan perdagangan”.

Dalam rangka menghindari pengoperasian bank dengan sistem bunga, Islam telah memperkenalkan prinsip-prinsip muamalah Islam. Dengan hal tersebut, bank syariah lahir sebagai pilihan solusi terhadap pertentangan antara bunga dengan riba. Bank syariah didirikan dengan tujuan untuk mempromosikan dan mengembangkan penerapan prinsip-prinsip Islam dan tradisinya ke dalam transaksi keuangan dan perbankan serta bisnis yang terkait.

Falsafah yang harus diterapkan oleh Bank Syariah (Muhammad, 2000):

a. Menjauhkan diri dari unsur riba, caranya:

1) Menghindari penggunaan sistem yang menetapkan dimuka secara pasti keberhasilan suatu usaha (QS. Luqman: 34);

2) Menghindari penggunaan sistem persentasi untuk pembebanan biaya terhadap hutang atau pemberian imbalan terhadap simpanan yang mengandung unsur melipatgandakan secara otomatis hutang/simpanan tersebut hanya karena berjalannya waktu (QS. Ali’Imron, 130);

(6)

3) Menghindari penggunaan sistem perdagangan/penyewaan barang ribawi dengan imbalan barang ribawi lainnya dengan memperoleh kelebihan baik kuantitas maupun kualitas (HR. Muslim Bab Riba No.1551 s/d 1567);

4) Menghindari penggunaan sistem yang menetapkan dimuka tambahan atas hutang yang bukan atas prakarsa yang mempunyai hutang secara sukarela (HR. Muslim, Bab Riba No. 1569 s/d 1572);

b. Menerapkan sistem bagi hasil dan perdagangan, dengan mengacu pada Al Qur’an surat Al Baqarah ayat 275 dan An Nisa ayat 29, maka setiap transaksi kelembagaan syariah harus dilandasi atas dasar sistem bagi hasil dan perdagangan atau transaksinya didasari oleh adanya pertukaran antara uang dan barang.

4. Perbedaan Sistem Bank Syariah dengan Bank Konvensional

Dalam beberapa hal, bank konvensional dan bank syariah memiliki persamaan, terutama dalam sisi teknis penerimaan uang, mekanisme transfer, teknologi computer yang digunakan, syarat-syarat umum memperoleh pembiayaan, laporan keuangan dan sebagainya. Namun ada beberapa perbedaan antara bank konvensional dan bank syariah. Perbedaan mendasar antara sistem bank syariah dan bank konvensional terletak pada pengembalian dan pembagian keuntungan yang diberikan dari nasabah ke bank maupun sebaliknya dari bank kepada nasabah. Dari hal inilah timbul istilah bunga maupun bagi hasil.

Berikut perbedaan antara sistem perbankan syariah dan sistem perbankan konvensional:

(7)

Tabel 2 . 1

Perbedaan Sistem Perbankan Syariah dan Perbankan Konvensional Perbedaan Sistem Syariah Sistem Konvensional

Dalam hal investasi Melakukan investasi pada usaha atau produk halal saja

Tidak membedakan antara yang halal dan yang

haram Prinsip yang

digunakan

Berdasarkan pada prinsip bagi hasil, jual beli atau sewa

Dengan prinsip dan perangkat bunga

Orientasi Profit dan falah (sejahtera bersama) oriented

Hanya profit Oriented Hubungan antara

Nasabah dan Bank

Bank dan Nasabah berbentuk hubungan

kemitraan

Hubungan hanya sebatas kreditur-debitur

Dewan Pengawas Penghimpunan dan penyaluran dana harus sesuai dengan fatwa Dewan Syariah

Nasional Majlis Ulama Indonesia (DSN-MUI) melalui Dewan Pengawas

Syariah

Aktivitas tanpa ketentuan syariah karena tidak

memiliki Dewan Pengawas Sejenis

Sumber: Bank Syariah dari Teori ke Praktik (2001); Muhammad Syafi’i Antonio

(8)

Karakteristik utama bank syariah adalah ketiadaan bunga sebagai representasi dari riba yang diharamkan. Karakteristik inilah yang menjadikan perbankan syariah lebih unggul pada beberapa hal termasuk pada sistem operasional yang dijalankan. Berikut dijelaskan perbedaan antara bunga dan bagi hasil:

Tabel 2.2

Perbedaan antara Bunga dan Bagi Hasil

No. Bunga Bagi Hasil

1. Penentuan bunga dibuat pada waktu akad dengan asumsi harus selalu untung

Penentuan besarnya rasio atau nisbah bagi hasil dibuat pada waktu akad dengan berpedoman pada kemungkinan untung rugi

2. Besarnya presentase berdasarkan pada jumlah uang (modal) yang dipinjamkan

Besarnya rasio bagi hasil berdasarkan pada jumlah keuntungan yang diperoleh 3. Pembayaran bunga tetap seperti yang

dijanjikan tanpa pertimbangan apakah proyek yang dijalankan oleh pihak nasabah

untung atau rugi

Bagi hasil bergantung pada keuntungan proyek yang dijalankan. Bila usaha merugi, kerugian akan ditanggung bersama oleh kedua belah pihak

4. Jumlah pembayaran bunga tidak meningkat sekalipun jumlah keuntungan berlipat atau keadaan ekonomi sedang

“booming”

Jumlah pembagian laba meningkat sesuai dengan peningkatan jumlah pendapatan

5. Eksistensi bunga diragukan oleh semua agama

Tidak ada yang meragukan keabsahan bagi hasil

(9)

5. Peranan dan Fungsi Perbankan Syariah

Peran dan fungsi bank syariah adalah sebagai lembaga intermediasi antara kelompok pemegang modal atau pihak yang kelebihan dana dengan kelompok atau pihak yang kekurangan atau membutuhkan dana. Termasuk dana yang dibutuhkan dalam usaha produktif maupun konsumtif sekalipun. Secara operasional, peran dan fungsi bank syariah tidak memiliki perbedaan mendasar dengan bank konvensional.

Peranan dan fungsi bank syariah sebagai lembaga usaha yang bergerak dibidang keuangan ditinjau dari aspek makro dan mikro sebagai berikut:

a. Sebagai Manajer Investasi

Bank syariah mengelola investasi atas dana nasabah dengan menggunakan akad bagi hasil (mudharabah) atau sebagai agen investasi.

b. Sebagai Investor

Bank syariah sebagai pihak yang menginvetasikan dana yang dimilikinya maupun dana nasabah yang dipercayakan kepadanya dengan menggunakan alat investasi yang sesuai dengan prinsip syariah dan membagi hasil yang diperoleh sesuai dengan nisbah yang disepakati antara bank dan pemilik dana.

c. Penyedia jasa keuangan dan lalu lintas pembayaran

Fungsi ini sama seperti bank konvensional sepanjang tidak bertentangan dengan prinsip syariah.

d. Pengemban fungsi sosial

Sebagai pengelola dana zakat, infaq, shadaqoh serta pinjaman kebaikan (qardhul hasan) sesuai ketentuan yang berlaku.

(10)

Peranan bank syariah dalam perekonomian relatif masih sangat kecil dengan pelaku tunggal. Hal ini disebabkan beberapa kendala dalam pengembangan perbankan syariah selama ini. Muhammad Syafi’i Antonio menyebutkan beberapa kendala tersebut antara lain:

a. Peraturan perbankan yang berlaku sepenuhnya mengakomodasi operasional bank syariah. Diantara hal tersebut misalnya; instrumen untuk mengatasi likuiditas, instrumen moneter yang sesuai dengan prinsip standar, standar akuntansi, audit pelaporan.

b. Pemahaman masyarakat yang belum baik dan tepat terhadap konsep dan operasional bank syariah. Misalnya tidak maunya masyarakat untuk menggunakan jasa bank syariah karena takut kehilangan mendapatkan penghasilan tetap berupa bunga. Padahal jika menggunakan jasa bank syariah juga memberikan keuntungan finansial yang kompetitif. Beberapa hal diatas salah satu akibat dari kurang tegasnya ulama dalam memberikan pemahaman terhadap konsep bunga dan riba serta kegiatan ekonomi lainnya.

c. Sosialisasi dan pemasaran yang masih kurang optimal. Hal ini disebabkan terbatasnya kemampuan dana dan masih kecilnya aset bank syariah jika dibandingkan dengan aset bank konvensional.

d. Jaringan kantor dan fasilitas bank syariah yang masih sangat terbatas; sumber daya manusia yang memiliki keahlian mengenai bank syariah masih sangat minim; persaingan produk dan layanan perbankan konvensional yang ketat sehingga mempersulit pangsa pasar bank syariah.

(11)

6. Prinsip Dasar Perbankan Syariah

Perbankan syariah harus menerapkan prinsip-prinsip yang sejalan dan tidak bertentangan dengan syariat Islam. Adapun prinsip-prinsip bank syariah adalah sebagai berikut:

a. Prinsip Titipan atau Simpanan (Al-Wadiah)

Al-Wadiah dapat diartikan sebagai titipan murni dari satu pihak ke pihak lain, baik individu maupun badan hukum, yang harus dijaga dan dikembalikan kapan saja si penitip menghendaki (Syafi’i Antonio: 2001).

Secara umum terdapat dua jenis al-wadiah, yaitu:

a) Wadiah Yad Al-Amanah (Trustee Depository) adalah akad penitipan barang/uang dimana pihak penerima titipan tidak diperkenankan menggunakan barang/uang yang dititipkan dan tidak bertanggung jawab atas kerusakan atau kehilangan barang titipan yang bukan diakibatkan perbuatan atau kelalaian penerima titipan. Adapun aplikasinya dalam perbankan syariah berupa produk safe deposit box.

b) Wadiah Yad adh-Dhamanah (Guarantee Depository) adalah akad penitipan barang/uang dimana pihak penerima titipan dengan atau tanpa izin pemilik barang/uang dapat memanfaatkan barang/uang titipan dan harus bertanggung jawab terhadap kehilangan atau kerusakan barang/uang titipan. Semua manfaat dan keuntungan yang diperoleh dalam penggunaan barang/uang titipan menjadi hak penerima titipan. Prinsip ini diaplikasikan dalam produk giro dan tabungan.

(12)

b. Prinsip Bagi Hasil (Profit Sharing)

Sistem ini adalah suatu sistem yang meliputi tata cara pembagian hasil usaha antara penyedia dana dengan pengelola dana. Bentuk produk yang berdasarkan prinsip ini adalah (Syafi’I Antonio, 2001):

a) Al-Mudharabah adalah akad kerjasama usaha antara dua pihak dimana pihak pertama (shahibul maal) menyediakan seluruh modal, sedangkan pihak lainnya menjadi pengelola (mudharib). Keuntungan usaha secara mudharabah dibagi menurut kesepakatan yang dituangkan dalam kontrak, sedangkan apabila rugi ditanggung oleh pemilik modal selama kerugian itu bukan akibat kelalaian si pengelola. Seandainya kerugian ini diakibatkan karena kecurangan atau kelalaian si pengelola, si pengelola harus bertanggung jawab atas kerugian tersebut.

b) Al-Musyarakah adalah akad kerjasama antara dua pihak atau lebih untuk suatu usaha tertentu dimana masing-masing pihak memberikan kontribusi dana dengan kesepakatan bahwa keuntungan dan risiko akan ditanggung bersama sesuai dengan kesepakatan.

Dua jenis al-musyarakah:

a) Musyarakah pemilikan, tercipta karena warisan, wasiat, atau kondisi lainnya yang mengakibatkan pemilikan satu aset oleh dua orang atau lebih.

b) Musyarakah akad, tercipta dengan cara kesepakatan dimana dua orang atau lebih setuju bahwa tiap orang dari mereka memberikan modal musyarakah.

(13)

c. Prinsip Jual Beli (Al-Tijarah)

Prinsip ini merupakan suatu sistem yang menerapkan tata cara jual beli, dimana bank akan membeli terlebih dahulu barang yang dibutuhkan atau mengangkat nasabah sebagai agen bank melakukan pembelian barang atas nama bank, kemudian bank menjual barang tersebut kepada nasabah dengan harga sejumlah harga beli ditambah keuntungan (margin). Implikasinya berupa:

a) Al-Murabahah adalah akad jual beli barang dengan menyatakan harga perolehan dan keuntungan (margin) yang disepakati oleh penjual dan pembeli.

b) Salam adalah akad jual beli barang pesanan dengan penangguhan pengiriman oleh penjual dan pelunasannya dilakukan segera oleh pembeli sebelum barang pesanan tersebut diterima sesuai syarat-syarat tertentu.

Bank dapat bertindak sebagai pembeli atau penjual dalam suatu transaksi salam. Jika bank bertindak sebagai penjual kemudian memesan kepada pihak lain untuk menyediakan barang pesanan dengan cara salam maka hal ini disebut salam paralel.

c) Istishna’ adalah akad jual beli antara pembeli dan produsen yang juga bertindak sebagai penjual. Cara pembayarannya dapat berupa pembayaran dimuka, cicilan, atau ditangguhkan sampai jangka waktu tertentu. Barang pesanan harus diketahui karakteristiknya secara umum yang meliputi:

jenis, spesifikasi teknis, kualitas, dan kuantitasnya. Bank dapat bertindak sebagai pembeli atau penjual. Jika bank bertindak sebagai penjual

(14)

kemudian memesan kepada pihak lain untuk menyediakan barang pesanan dengan cara istishna’ maka hal ini disebut istishna’ paralel.

d. Prinsip Sewa (Al-Ijarah)

Al-ijarah adalah akad pemindahan hak guna atas barang atau jasa, melalui pembayaran upah sewa, tanpa diikuti dengan pemindahan hak kepemilikan atas barang itu sendiri. Al-ijarah terbagi kepada dua jenis: (1) Ijarah, sewa murni. (2) ijarah al muntahiya bit tamlik merupakan penggabungan sewa dan beli, dimana si penyewa mempunyai hak untuk memiliki barang pada akhir masa sewa.

e. Prinsip Jasa (Fee-Based Service)

Prinsip ini meliputi seluruh layanan non-pembiayaan yang diberikan bank.

Bentuk produk yang berdasarkan prinsip ini antara lain:

a) Al-Wakalah adalah nasabah memberi kuasa kepada bank untuk mewakili dirinya melakukan pekerjaan jasa tertentu, seperti transfer.

b) Al-Kafalah adalah jaminan yang diberikan oleh penanggung kepada pihak ketiga untuk memenuhi kewajiban pihak kedua atau yang ditanggung.

c) Al-Hawalah adalah pengalihan utang dari orang yang berutang kepada orang lain yang wajib menanggungnya. Kontrak hawalah dalam perbankan biasanya diterapkan pada factoring (anjak piutang), Post-dated check, dimana bank bertindak sebagai juru tagih tanpa membayarkan dulu piutang tersebut.

d) Ar-Rahn adalah menahan salah satu harta milik si peminjam sebagai jaminan atas pinjaman yang diterimanya. Barang yang ditahan tersebut

(15)

memiliki nilai ekonomis. Dengan demikian, pihak yang menahan memperoleh jaminan untuk dapat mengambil kembali seluruh atau sebagian piutangnya. Secara sederhana dapat dijelaskan bahwa rahn adalah semacam jaminan utang atau gadai.

e) Al-Qardh adalah pemberian harta kepada orang lain yang dapat ditagih atau diminta kembali atau dengan kata lain meminjamkan tanpa mengharapkan imbalan. Produk ini digunakan untuk membantu usaha kecil dan keperluan sosial. Dana ini diperoleh dari dana zakat, infaq dan shadaqah.

7. Sistem Operasional Bank Syariah

Pada sistem operasi bank syariah, pemilik dana menanamkan uangnya di bank tidak dengan motif mendapatkan bunga, tapi dalam rangka mendapatkan keuntungan bagi hasil. Dana nasabah tersebut kemudian disalurkan kepada mereka yang membutuhkan (misalnya modal usaha), dengan perjanjian pembagian keuntungan sesuai kesepakatan. Sistem operasional tersebut meliputi:

a. Sistem Penghimpunan Dana

Metode penghimpunan dana yang ada pada bank-bank konvensional didasari teori yang diungkapkan Keynes yang mengemukakan bahwa orang membutuhkan uang untuk tiga kegunaan, yaitu fungsi transaksi, cadangan dan investasi. Teori tersebut menyebabkan produk penghimpunan dana disesuaikan dengan tiga fungsi tersebut, yaitu berupa giro,tabungan dan deposito. Berbeda dengan hal tersebut, bank syariah tidak melakukan pendekatan tunggal dalam menyediakan produk penghimpunan dana bagi

(16)

nasabahnya. Pada dasarnya, dilihat dari sumbernya, dana bank syariah terdiri atas: (Syafi’i Antonio: 2001)

a) Modal

Modal adalah dana yang diserahkan oleh para pemilik (owner). Dana modal dapat digunakan untuk pembelian gedung, tanah, perlengkapan, dan sebagainya yang secara tidak langsung menghasilkan (fixed asset/non earning asset). Selain itu, modal juga dapat digunakan untuk hal-hal yang produktif, yaitu disalurkan menjadi pembiayaan. Pembiayaan yang berasal dari modal, hasilnya tentu saja bagi pemilik modal, tidak dibagikan kepada pemilik dana lainnya. Mekanisme penyertaan modal pemegang saham dalam perbankan syariah, dapat dilakukan melalui musyarakah fi sahm asy-syarikah atau equity participation pada saham perseroan bank.

b) Titipan (Wadi’ah)

Salah satu prinsip yang digunakan bank syariah dalam memobilisasi dana adalah dengan menggunakan prinsip titipan. Akad yang sesuai dengan prinsip ini ialah al-wadi’ah. Dalam prinsip ini, bank menerima titipan dari nasabah dan bertanggung jawab penuh atas titipan tersebut. Nasabah sebagai penitip berhak untuk mengambil setiap saat, sesuai dengan ketentuan yang berlaku.

c) Investasi (Mudharabah)

Akad yang sesuai dengan prinsip investasi adalah mudharabah yang mempunyai tujuan kerjasama antara pemilik dana (shahibul maal) dengan pengelola dana (mudharib), dalam hal ini adalah bank. Pemilik dana

(17)

sebagai deposan di bank syariah berperan sebagai investor murni yang menanggung aspek sharing risk dan return dari bank. Deposan, dengan demikian bukanlah lender atau kreditor bagi bank seperti halnya pada bank konvensional.

b. Sistem Pembiayaan (Financing)

Pembiayaan merupakan salah satu tugas pokok bank, yaitu pemberian fasilitas penyediaan dana untuk memenuhi kebutuhan pihak-pihak yang merupakan defisit unit.

Sesuai dengan akad pengembangan produk, maka bank syariah memiliki berbagai jenis pembiayaan. Adapun jenis produk/ jasa pembiayaan pada bank syariah dapat dikelompokkan menurut beberapa aspek, diantaranya:

a) Pembiayaan menurut tujuan dibedakan menjadi:

a. Pembiayaan Modal Kerja, yaitu pembiayaan yang dimaksudkan untuk mendapatkan modal dalam rangka pengembangan usaha.

b. Pembiayaan Investasi, yaitu pembiayaan yang dimaksudkan untuk melakukan investasi atau pengadaan barang konsumtif.

b) Pembiayaan menurut jangka waktu, dibedakan menjadi:

a. Pembiayaan jangka waktu pendek, pembiayaan yang dilakukan dengan waktu 1 bulan sampai dengan 1 tahun.

b. Pembiayaan jangka waktu menengah, pembiayaan yang dilakukan dengan waktu 1 tahun sampai dengan 5 tahun.

(18)

c. Pembiayaan jangka waktu panjang, pembiayaan yang dilakukan dengan waktu lebih dari 5 tahun.

8. Pembiayaan Bank Syariah

Menurut Undang-Undang No. 10 Tahun 1998 tentang perbankan pasal 1 ayat 12 menyebutkan:

Pembiayaan berdasarkan prinsip syariah adalah penyediaan uang atau tagihan yang dapat dipersamakan dengan itu berdasarkan persetujuan atau kesepakatan antara bank dengan pihak lain yang mewajibkan pihak yang dibiayain untuk mengembalikan uang atau tagihan setelah jangka waktu tertentu dengan imbalan atau bagi hasil.

Jenis pembiayaan pada bank syariah adalah sebagai berikut:

a. Pembiayaan dengan prinsip bagi hasil

Jenis pembiayaan dengan prinsip ini meliputi:

a) Pembiayaan Mudharabah

Pembiayaan mudharabah adalah perjanjian antara penanam dana dan pengelola dana untuk melakukan kegiatan usaha tertentu, dengan pembagian keuntungan antara kedua belah pihak berdasarkan nisbah yang telah disepakati sebelumnya.

Dalam fikih mu’amalah Mudharabah dinamakan juga dengan Qiradh, yaitu bentuk kerja sama antara pemilik modal (shohibul mal/rabbul maal) dengan pengelola (mudharib) untuk melakukan usaha dimana keuntungan dari usaha tersebut dibagi diantara kedua pihak tersebut, dengan rukun dan syarat tertentu.

(19)

PSAK 105 mendefinisikan mudharabah sebagai akad kerjasama usaha antara dua pihak dimana pihak pertama (pemilik dana/ shahibul maal) menyediakan seluruh dana, sedangkan pihak kedua (pengelola dana/ mudharib) bertindak selaku pengelola, dan keuntungan dibagi di antara mereka sesuai kesepakatan sedangkan kerugian finansial hanya ditanggung oleh pemilik dana. Kerugian akan ditanggung oleh pemilik dana sepanjang kerugian itu tidak diakibatkan oleh kelalaian pengelola dana, apabila kerugian yang terjadi diakibatkan oleh kelalaian pengelola dana maka kerugian ini akan ditanggung oleh pengelola dana. PSAK 105 paragraf 18 memberikan contoh bentuk kelalaian pengelola dana, yaitu:

persyaratan yang ditentukan di dalam akad tidak dipenuhi, tidak terdapat kondisi di luar kemampuan (force majeur) yang lazim dan/ atau yang telah ditentukan dalam akad, atau merupakan hasil keputusan dari institusi yang berwenang.

Di dalam PSAK, mudharabah diklasifikasikan ke dalam 3 jenis yaitu:

1. Mudharabah Muthlaqah adalah mudharabah di mana pemilik dananya memberikan kebebasan kepada pengelola dana dalam pengelola investasinya. Mudharabah ini disebut juga investasi tidak terikat.

2. Mudharabah Muqayyadah adalah mudharabah di mana pemilik dana memberikan batasan kepada pengelola antara lain mengenai dana mengenai lokasi, cara, dan atau objek investasi atau sektor usaha.

(20)

Misalnya, tidak mencampurkan dana yang dimiliki oleh pemilik dana dengan dana lainnya, tidak menginvestasikan dananya pada transakasi penjualan cicilan tanpa penjamin atau mengharuskan pengelola dana untuk melakukan investasi sendiri tanpa melalui pihak ketiga, (PSAK par 07). Mudharabah jenis ini disebut investasi terikat.

3. Mudharabah Musytarakah adalah mudharabah dimana pengelola dana mnyertakan modal atau dananya dalam kerjasama investasi.

Sumber Hukum Akad Mudharabah Al-Quran

"Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan suka sama suka diantara kamu." (Qs. an-Nisa': 29)

“Apabila telah ditunaikan shalat maka bertebaranlah kamu di muka bumi dan carilah karunia Allah SWT.” (QS. 62:10)

“…Maka, jika sebagian kamu mempercayai sebagian yang lain, hendaklah yang dipercayai itu menunaikan amanatnya dan hendaklah ia bertakwa kepada Allah Tuhannya…” (QS. 2:283)

Al-Hadits

Dari Shalih bin Suaib r.a bahwa Rasulullah SAW bersabda, “tiga hal yang di dalamnya terdapat keberkatan: jual beli secara tangguh, muqaradhah (mudharabah), dan mencampuradukkan gandum dengan jemawut untuk keperluan rumah tangga bukan untuk dijual.” (HR. Ibnu Majah)

“Abbas bin Abdul Muthalib jika menyerahkan harta sebagai mudharabah, ia mensyaratkan kepada pengelola dananya agar tidak mengarungi lautan dan tidak menuruni lembah, serta tidak membeli hewan ternak. Jika persyaratan itu dilanggar, ia (pengelola dana) harus menanggung risikonya. Ketika persyaratan yang ditetapkan Abbas didengar Rasulullah SAW, beliau membenarkannya.” (HR. Thabrani)

(21)

b) Pembiayaan Musyarakah

Pembiayaan musyarakah adalah perjanjian diantara para pemilik dana/ modal untuk mencampurkan dana/modal mereka pada suatu usaha tertentu, dengan pembagian keuntungan diantara pemilik dana/modal berdasarkan nisbah yang telah disepakati sebelumnya.

Musyarakah berasal dari kata syirkah yang secara Bahasa berarti al-ikhtilath (penggabungan atau pencampuran). Menurut ulama Hanafiah, syirkah secara istilah adalah penggabungan harta (dan/atau keterampilan) untuk dijadikan modal usaha dan hasilnya yang berupa keuntungan atau kerugian dibagi bersama (Sabiq, 1983 dalam Hasanudin dan Mubarak, 2012: 19).

Fatwa nomor 08/DSN-MUI/IV/2000 tentang pembiayaan musyarakah menjelaskan bahwa pembiayaan musyarakah adalah pembiayaan berdasarkan akad kerja sama antara dua pihak atau lebih untuk suatu usaha tertentu; masing-masing pihak memberikan kontribusi dana (baca: untuk dijadikan modal) dengan ketentuan bahwa keuntungan dibagi secara proporsional atau sesuai dengan nisbah yang disepakati;

dan risiko ditanggung bersama secara proporsional (baca: sesuai jumlah modal yang disertakan).

PSAK 106 mendefinisikan musyarakah sebagai akad kerja sama antara dua pihak atau lebih untuk suatu usaha tertentu, dimana masing- masing pihak memberikan kontribusi dana dengan ketentuan bahwa keuntungan dibagi berdasarkan kesepakatan sedangkan kerugian

(22)

berdasarkan porsi kontribusi dana. Para mitra bersama-sama menyediakan dana untuk mendanai sebuah usaha tertentu dalam masyarakat, baik usaha yang sudah berjalan maupun yang baru, selanjutnya salah satu mitra dapat mengembalikan dana tersebut dan bagi hasil yang telah disepakati nisbahnya secara bertahap atau sekaligus kepada mitra lain. Investasi musyarakah dapat dalam bentuk kas, setara kas, atau asset non kas.

Berdasarkan Ulama Fikih, jenis-jenis akad musyarakah terbagi menjadi:

1. Syirkah Al Milk

2. Syirkah Al’uqud (kontrak), terdiri dari:

- Syirkah Abdan - Syirkah Wujuh - Syirkah ‘Inan

- Syirkah Mufawwadhah Sumber Hukum Akad Musyarakah Al-Quran

“Maka mereka berserikat pada sepertiga.” (QS. 4:12)

“Dan sesungguhnya kebanyakan dari orang-orang yang berserikat itu sebagian mereka berbuat zalim kepada sebagian yang lain kecuali orang yang beriman dan mengerjakan amal shaleh.” (QS. 38:42)

Al-Hadits

Hadis Qudsi: “Aku (Allah) adalah pihak ketiga dari dua orang yang berserikat, sepanjang salah seorang dari keduanya tidak berkhianat

(23)

Aku keluar dari keduanya.” (HR. Abu Dawud dan Al-Hakim dari Abu Hurairah)

“Pertolongan Allah tercurah atas dua pihak yang berserikat, sepanjang keduanya tidak saling berkhianat.” (HR. Muslim)

b. Pembiayaan dengan prinsip jual beli (piutang) Jenis pembiayaan dengan prinsip ini meliputi:

a) Pembiayaan Murabahah

Pembiayaan Murabahah adalah perjanjian jual beli antara bank dan nasabah dimana bank syariah membeli barang yang diperlukan oleh nasabah kemudian menjualnya kepada nasabah yang bersangkutan sebesar harga perolehan ditambah dengan margin/keuntungan yang disepakati antara bank syariah dan nasabah. Karakteristik murabahah adalah bahwa penjual harus memberi tahu pembeli mengenai harga pembelian produk dan menyatakan jumlah keuntungan yang ditambahkan pada biaya (cost) tersebut. (Wiroso 2005, dalam Ferial Nurbaya 2013).

Dalam daftar istilah buku himpunan fatwa DSN (Dewan Syariah Nasional) dijelaskan bahwa yang dimaksud dengan murabahah (DSN, 2003 dalam Wiroso 2005) adalah menjual suatu barang dengan menegaskan harga belinya kepada pembeli dan pembeli membayarnya dengan harga lebih sebagai laba.

Murabahah merupakan salah satu jenis penyaluran dana dari bank syariah yang menggunakan prinsip jual beli. Saat ini, jenis transaksi

(24)

Beberapa alasan transaksi jual beli murabahah mendominasi penyaluran dana bank syariah antara lain: (Wiroso 2005, dalam Ferial Nurbaya 2013)

1. Mudah diimplementasikan

Jual beli murabahah dengan cepat, mudah diimplementasikan dan dipahami, karena para pelaku bank syariah menyamakan murabahah ini dengan kredit investasi konsumtif.

2. Pendapatan bank dapat diprediksi

Dalam transaksi murabahah, bank syariah sudah dapat melakukan estimasi pendapatan yang akan diterima, karena dalam transaksi murabahah hutang nasabah adalah harga jual sedangkan dalam harga jual terkandung porsi pokok dan porsi keuntungan. Sehingga dalam keadaan yang normal, bank dapat memprediksi pendapatan yang akan diterima.

3. Tidak perlu mengenal nasabah secara mendalam

Dengan adanya murabahah yang pembayarannya dilakukan dengan tangguh, maka akan timbul hutang oleh nasabah. Dalam hal ini hubungan bank dan nasabah adalah hubungan hutang piutang.

Sehingga dalam keadaan bagaimanapun nasabah harus membayar hutang harga barang yang diperjualbelikan. Bank tidak perlu menganalisa dan mencari sumber pengembaliannya secara khusus, tetapi cukup secara singkat dan global.

(25)

4. Menganalogikan murabahah dengan pembiayaan konsumtif

Jika diperhatikan, sepintas memang terdapat persamaan antara jual beli murabahah dengan pembiayaan konsumtif. Murabahah merupakan bagian terpenting dari jual beli dan prinsip akad ini mendominasi pendapatan bank dari produk-produk yang ada di semua bank islam. Dalam islam, jual beli sebagai sarana tolong menolong antara sesama umat manusia yang diridhoi oleh Allah SWT.

Dalam PSAK 102: Akuntansi Murabahah menjelaskan bahwa murabahah adalah akad jual beli barang dengan harga jual sebesar biaya perolehan ditambah keuntungan yang disepakati dan penjual harus mengungkapkan biaya perolehan barang tersebut kepada pembeli.

PSAK 102: Akuntansi Murabahah paragraf 23 juga mengatur bahwa pengakuan keuntungan murabahah diakui:

(a) Pada saat terjadinya penyerahan barang jika dilakukan secara tunai atau secara tangguh yang tidak melebihi satu tahun, atau

(b) Selama periode akad sesuai dengan tingkat risiko dan upaya untuk merealisasikan keuntungan tersebut untuk transaksi tangguh lebih dari satu tahun. Metode-metode berikut ini digunakan, dan dipilih yang paling sesuai dengan karakteristik risiko dan upaya transaksi murabahah-nya:

(i) Keuntungan diakui saat penyerahan asset murabahah. Metode ini terapan untuk murabahah tangguh dimana risiko penagihan

(26)

kas dari piutang murabahah dan beban pengelolaan piutang serta penagihannya relatif kecil.

(ii) Keuntungan diakui proporsional dengan besaran kas yang berhasil ditagih dari piutang murabahah. Metode ini terapan untuk transaksi murabahah tangguh dimana risiko piutang tidak tertagih relatif besar dan/ atau beban untuk mengelola dan menagih piutang tersebut relatif besar.

(iii) Keuntungan diakui saat seluruh piutang murabahah berhasil ditagih. Metode ini terapan untuk transaksi murabahah tangguh dimana risiko piutang tidak tertagih dan beban pengelolaan piutang serta penagihannya cukup besar. Dalam praktik, metode ini jarang dipakai, karena transaksi murabahah tangguh mungkin tidak terjadi bila tidak ada kepastian yang memadai akan penagihan kasnya.

Sumber Hukum Akad Murabahah

Dalam fatwa nomor 04/ DSN-MUI/IV/2000 Tanggal 1 April 2000 tentang Murabahah, sebagai landasan syariah transaksi murabahah adalah sebagai berikut: (DSN 2000, dalam Wiroso 2005)

Al-Qur’an

a) “Hai orang-orang yang beriman! Janganlah kalian saling memakan (mengambil) harta sesamu dengan jalan yang bathil, kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan sukarela diantaramu ...”

(QS. An-Nisa:29)

b) “... Dan Allah telah menghalalkan jual-beli dan mengharamkan riba

(27)

c) “Dan jika (orang berhutang itu) dalam kesukaran, maka berilah tangguh sampai ia berkelapangan ...” (QS. Al-Baqarah: 280)

Al–Hadits

a) Hadits Nabi dari Abu Said Al-Khudri bahwa Rasulullah SAW bersabda, ”Sesungguhnya jual beli itu harus dilakukan suka sama suka.” (HR Al-Baihaqi dan Ibnu Majah, dan dinilai shahih oleh Ibnu Hibban)

b) Hadits Nabi riwayat Ibnu Majah, Rasulullah SAW bersabda, ”Ada tiga hal yang mengandung berkah: jual beli tidak secara tunai, muqaradha mudharabah), dan mencampur jewawut dan gandum untuk kepentingan rumah tangga, bukan untuk dijual” (HR Ibnu Majah dar Shuhaib)

c) Hadits Nabi riwayat Tirmidzi dari Amr bin Auf: “Perdamaian dapat dilakukan diantara kaum muslimin, kecuali perdamaian yang mengharamkan yang halal atau menghalalkan yang haram; dan kaum muslimin terikat dengan syarat-syarat mereka kecuali syarat yang mengharamkan yang halal atau menghalalkan yang haram.”

d) Hadits Nabi riwayat Jamaah: “Menunda-nunda (pembayaran) yang dilakukan oleh orang mampu adalah suatu kedzaliman ...”

e) Hadits Nabi riwayat Nasa’i, Abu Dawud, Ibnu Majah, dan Ahmad:

“Menunda-nunda (pembayaran) yang dilakukan oleh orang mampu menghalalkan harga diri dan pemberian sanksi kepadanya”

f) Hadits Nabi riwayat Abd Al-Raziq dari Zaid bin Aslam, Rasulullah ditanya tentang ‘urban (uang muka) dalam jual beli, maka beliau menghalalkannya.

b) Pembiayaan Salam

Pembiayaan Salam adalah akad jual beli barang pesanan dengan penangguhan pengiriman oleh penjual dan pelunasannya dilakukan segera oleh pembeli sebelum barang pesanan tersebut diterima sesuai syarat-syarat tertentu. Bank dapat bertindak sebagai pembeli atau penjual

(28)

kemudian memesan kepada pihak lain untuk menyediakan barang pesanan dengan cara salam maka hal ini disebut salam paralel.

PSAK 103 mendefinisikan salam sebagai akad jual beli barang pesanan (muslam fiih) dengan pengiriman di kemudian hari oleh penjual (muslam illaihi) dan pelunasannya dilakukan oleh pembeli (al muslam) pada saat akad disepakati sesuai dengan syarat-syarat tertentu. Untuk menghindari risiko yang merugikan, pembeli boleh meminta jaminan dari penjual.

Sumber Hukum Akad Salam Al-Qur’an

“Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu bermu’amalah tidak secara tunai untuk waktu yang ditentukan, hendaknya kamu menuliskannya dengan benar.” (Qs:2:282)

“Hai orang-orang beriman penuhilah akad-akad itu...” (Qs:5:1)

Dalam kaitan ayat tersebut, Ibnu Abbas menjelaskan keterkaitan ayat tersebut dengan transaksi bai’ as-salam. Hal ini tampak jelas dari ungkapan beliau, “Saya bersaksi bahwa salam yang dijamin untuk jangka waktu tertentu telah dihalalkan oleh Allah pada kitab-Nya dan diizinkan-Nya”. Beliau lalu membaca ayat tersebut di atas.

Al-Hadits

“Barang siapa melakukan salam, hendaknya ia melakukan dengan takaran yang jelas dan timbangan yang jelas pula, untuk jangka waktu yang diketahui” (HR. Bukhari Muslim).

”Tiga hal yang di dalamnya terdapat keberkahan jual beli secara tangguh mudharabah, dan mencampur gandum dengan tepung untuk keperluan rumah, bukan untuk dijual” (HR.Ibnu Majah).

(29)

c) Pembiayaan Istishna’

Pembiayaan Istishna’ adalah perjanjian jual beli dalam bentuk pemesanan pembuatan barang dengan kriteria dan persyaratan tertentu yang disepakati antara pemesan dan penjual. Cara pembayarannya dapat berupa pembayaran dimuka, cicilan, atau ditangguhkan sampai jangka waktu tertentu.

PSAK 104 mendefinisikan akad istishna’ adalah akad jual beli dalam bentuk pemesanan pembuatan barang tertentu dengan kriteria dan persyaratan tertentu yang disepakati antara pemesan (pembeli, mustashni’) dan penjual (pembuat, shani’).

Dalam PSAK 104 paragraf 8 dijelaskan barang pesanan harus memenuhi kriteria:

b. Memerlukan proses pembuatan setelah akad disepakati,

c. Sesuai dengan spesifikasi pemesan (customized), bukan produk masal, dan

d. Harus diketahui karakteristiknya secara umum yang meliputi jenis, spesifikasi teknis, kualitas, dan kuantitasnya.

Begitu akad disepakati maka akan mengikat para pihak yang bersepakat dan pada dasarnya tidak dapat dibatalkan, kecuali:

a. Kedua belah pihak setuju untuk menghentikannya, atau

b. Akad batal demi hukum karena timbul kondisi hukum yang dapat menghalangi pelaksanaan atau penyelesaian akad (PSAK 104 paragraf 12).

(30)

Sumber Hukum Akad Istishna’

Al-Qur’an

“Hai orang-orang beriman, apabila kamu bermuamalah tidak secara tunai untuk waktu yang ditentukan, hendaklah kamu menuliskannya”(QS. Al-Baqoroh:283).

Al-Hadits

Amir bin Auf berkata: “Perdamaian dapat dilakukan diantara kaum muslim kecuali perdamaian yang mengharumkan yang halal dan menghalalkan yang haram; dan kaum muslimin terikat dengan syarat- syarat mereka kecuali syarat yang mengharamkan yang halal dan menghalalkan yang haram.” (HR.Tirmidzi).

“Tiga hal yang didalamnya terdapat keberkahan: jual beli secara tangguh, muqaradhah (mudharabah) dan mencampur gandum denga tepung untuk keperluan rumah, bukan untuk dijual.”(HR. Ibnu Majjah).

c. Pembiayaan dengan prinsip sewa

Jenis pembiayaan dengan prinsip ini meliputi:

a) Pembiayaan Ijarah

Transaksi ijarah dilandasi adanya perpindahan manfaat. Bila pada jual beli objek transaksi adalah barang, maka pada ijarah objeknya jasa.

Pada akhir masa sewa, bank dapat menjual barang yang disewakannya kepada nasabah. Harga jual dan harga sewa disepakati pada awal perjanjian.

Pengertian Al-Ijarah adalah akad pemindahan hak guna atas barang atau jasa, melalui pembayaran upah sewa, tanpa diikuti dengan pemindahan kepemilikan atas barang itu sendiri. Dalam praktiknya

(31)

kegiatan ini dilakukan oleh perusahaan leasing, baik untuk kegiatan operating lease maupun financial lease.

PSAK 107 mendefinisikan akad ijarah adalah akad pemidahan hak guna (manfaat) atas suatu asset dalam waktu tertentu dengan pembayaran sewa (ujrah) tanpa diikuti dengan pemindahan kepemilikan aset itu sendiri.

Berdasarkan PSAK 107, ijarah dapat dibagi menjadi 3, namun yang telah dikenal secara luas adalah dua jenis ijarah yang disebutkan pertama, yaitu:

1. Ijarah merupakan sewa menyewa objek ijarah tanpa perpindahan risiko dan manfaat yang terikat kepemilikan asset terkait, dengan atau tanpa wa’ad untuk memindahkan kepemilikan dari pemilik (mu’jir) kepada penyewa (musta’jir) pada saat tertentu.

2. Ijarah Muntahiya Bit-tamlik adalah ijarah dengan wa’ad perpindahan kepemilikan asset yang diijarahkan pada saat tertentu.

b) Ijarah Muntahiya Bit-tamlik (IMBT)

Pembiayaan Ijarah Muntahiya Bit-tamlik/ Wa Iqtina yaitu perjanjian sewa menyewa suatu barang yang diakhiri dengan perpindahan kepemilikan barang dari pihak yang memberikan sewa kepada pihak penyewa.

Sumber Hukum Akad Ijarah Al-Qur’an

“Dan jika kamu ingin anakmu disusukan oleh orang lain, tidak dosa

(32)

Bertakwalah kamu kepada Allah dan ketahuilah Allah Maha Melihat apa yang kammu kerjakan.” (Q.S. Al Baqarah: 233)

Al-Hadits

Diriwayatkan dari Ibnu Abbas bahwa rosulullah SAW bersabda,

“Berbekam kamu, kemumdian berikanlah olehmu upahnya kepada tukang bekam itu.” (Hr. Bukhari dan Muslim).

Dari Umar bahwa Rosulullah bersabda, “Berikanlah upah pekerja sebelum kering keringatnya.” (Hr. Ibnu Majah).

9. Non Performing Financing (NPF)

a. Pengertian Non Performing Financing (NPF)

NPF (Non Performing financing) adalah suatu keadaan di mana nasabah sudah tidak sanggup lagi membayar sebagian atau seluruh kewajibannya kepada bank seperti yang telah diperjanjikan. Jika tidak ditangani dengan baik, maka pembiayaan bermasalah merupakan sumber kerugian yang sangat potensi bagi bank. Karena itu di perlukan penanganan yang sistematis dan berkelanjutan. Menurut Veithzal Rivai dan Andria (2006), ada beberapa pengertian pembiayaan bermasalah, yaitu:

a) Pembiayaan yang didalam pelaksanaannya belum mencapai atau memenuhi target yang diinginkan oleh pihak bank.

b) Pembiayaan yang memiliki kemungkinan timbulnya resiko dikemudian hari bagi bank dalam arti luas.

c) Mengalami kesulitan didalam penyelesaian kewajiban-kewajibannya, baik dalam bentuk pembayaran kembali pokoknya dan atau pembayaran bunga, denda keterlambatan serta ongkos-ongkos bank yang menjadi

(33)

d) Pembiayaan dimana pembayaran kembalinya dalam bahaya, terutama apabila sumber-sumber pembayaran kembali yang diharapkan diperkirakan tidak cukup untuk membayar kembali pembiayaan, sehingga belum memenuhi target yang diinginkan oleh bank.

e) Pembiayaan dimana terjadi cidera janji dalam pembayaran kembali sesuai perjanjian, sehingga terdapat tunggakan atau ada potensi kerugian di perusahaan nasabah sehingga memiliki kemungkinan timbulnya resiko di kemudian hari bagi bank dalam arti luas.

f) Mengalami kesulitan didalam penyelesaian kewajiban-kewajibannya terhadap bank, baik dalam bentuk pembayaran kembali pokoknya, pembayaran bunga, pembayaran ongkos-ongkos bank yang menjadi beban nasabah yang bersangkutan.

g) Pembiayaan golongan perhatian khusus, kurang lancar, diragukan dan macet serta golongan lancar yang berpotensi menunggak.

NPF (Non Performing Financing) dapat mendatangkan dampak yang tidak menguntungkan, terlebih lagi bila NPF (Non Performing Financing) tersebut dalam jumlah besar. Semakin tinggi NPF maka semakin buruk kualitas aset produktif bank tersebut yang akan mempengaruhi biaya dan permodalan bank tersebut karena dengan NPF yang tinggi akan membuat bank mempunyai kewajiban dan harus mengeluarkan biaya untuk memenuhi PPAP (Penyisihan Penghapusan Aset Produk) yang terbentuk.

Bila ini terus menerus terjadi maka modal bank akan tersedot untuk PPAP sehingga menurunkan nilai profitabilitas bank. Salah satu implikasi lain bagi

(34)

pihak bank sebagai akibat dari timbulnya pembiayaan bemasalah adalah hilangnya kesempatan untuk memperoleh income (pendapatan) dari pembiayaan yang diberikan sehingga mengurangi perolehan laba dan berpengaruh buruk bagi rentabilitas bank. Menurut ketentuan Bank Indonesia, bila jumlah kredit/pembiayaan dengan kolektibilitas bermasalah telah mencapai 7,5% dari portofolio kredit bank, maka bank tersebut bukan saja menghadapi masalah NPF (Non Performing Financing) tetapi sudah menjadi bank bermasalah.

NPF (Non Performing Financing) sangat berpengaruh terhadap pengendalian biaya dan sekaligus pula berpengaruh terhadap kebijakan pembiayaan yang akan dilakukan bank itu sendiri. Dengan melihat NPF sebelumnya (t-1), bank dapat mempertimbangkan beberapa besar pembiayaan yang akan disalurkan. Sehingga NPF (Non Performing Financing) memiliki pengaruh negatif dan signifikan. Semakin tinggi NPF (Non Performing Financing) yang dimiliki bank, maka bank akan lebih berhati-hati dengan mengurangi pembiayaan.

Untuk mengetahui besarnya NPF suatu bank, BI menginstruksikan perhitungan NPF dalam laporan keuangan perbankan nasional sesuai surat edaran No. 6/23/DPNP tanggal 31 Mei 2004, tentang perhitungan Rasio Keuangan Bank yang dirumuskan sebagai berikut:

NPF = Jumlah pembiayaan bermasalah x 100%

Total pembiayaan

(35)

Rasio tersebut ditujukan untuk mengukur tingkat permasalahan pembiayaan yang dihadapi bank syariah. Nilai Rasio Keuangan Bank ini kemudian dibandingkan dengan kriteria kesehatan NPF bank syari’ah yang ditetapkan oleh Bank Indonesia seperti yang tertera dalam tabel berikut:

Tabel 2.3

Kriteria Kesehatan Non Performing Financing (NPF) Bank Syariah

No. Nilai NPF Predikat

1 NPF = 2% Sehat

2 2% < NPF < 5% Sehat

3 5% < NPF < 8% Cukup Sehat 4 8% < NPF < 12% Kurang Sehat 5 NPF > 12% Tidak Sehat

Sumber: SE BI No. 9/24/Dpbs Tanggal 30 Oktober 2007 b. Hubungan Non Performing Financing (NPF) Dengan Pembiayaan

Profil resiko pembiayaan suatu bank dapat dilihat dari resiko pembiayaan bermasalah (Non Performing Financing). Semakin tinggi Non Performing Financing maka semakin tinggi pula resiko yang dihadapi bank tersebut. Rasio Non Performing Financing (NPF) pada bank yang tinggi dapat mengakibatkan fungsi intermediasi bank tidak bekerja secara optimal karena mengurangi atau menurunkan perputaran dana bank, sehingga memperkecil kesempatan bank memperoleh pendapatan. Apabila dana yang tersedia di bank berkurang maka juga berdampak pada pembiayaan yang

(36)

c. Hubungan Non Performance Financing (NPF) dengan Return On Assets (ROA)

Rasio yang sering digunakan dalam meneliti kualitas aset hubungannya terhadap profitabilitas bank adalah dengan menggunakan Non Performance Financing (NPF), NPF merupakan tingkat resiko yang dihadapi bank. NPF merupakan jumlah yang bermasalah dan kemungkinan tidak dapat ditagih.

Semakin besar nilai NPF maka semakin buruk kinerja bank tersebut yang memperburuk juga profitnya.

Dari hal tersebut dapat dijadikan variabel independen yang mempengaruhi ROA didasarkan hubungan dengan tingkat resiko bank yang bermuara pada profitabilitas bank (ROA). Rasio kredit yang diterima oleh bank merupakan salah satu resiko usaha bank, yang diakibatkan dari ketidakpastian dalam pengembaliannya atau yang diakibatkan dari tidak dilunasinya kembali kredit yang diberikan oleh pihak bank kepada debitur.

10. Return On Asset (ROA)

Rasio ROA merupakan indikator dari rasio profitabilitas bank. Return On Asset (ROA) mengukur tingkat laba terhadap asset yang digunakan dalam menghasilkan laba tersebut. Atau dengan kata lain, ROA adalah indikator suatu unit usaha untuk memperoleh laba atas sejumlah asset yang dimiliki oleh unit usaha tersebut. ROA dapat diperoleh dengan cara menghitung perbandingan antara laba setelah pajak dibagi dengan total asset. Rumus perhitungannya adalah sebagai berikut:

(37)

Return On Asset (ROA) = Laba Bersih x 100%

Total Aset

ROA merupakan rasio yang digunakan untuk mengukur kemampuan bank dalam memperoleh keuntungan (laba) secara keseluruhan. Semakin besar nilai rasio ini menunjukkan tingkat rentabilitas usaha bank semakin baik atau sehat.

Stabit atau sehatnya rasio ROA mencerminkan stabilnya jumlah modal dan laba bank. Kondisi perbankan yang stabil akan meningkatkan kemampuan bank dalam menyalurkan kreditnya.

11. Tinjauan Penelitian Terdahulu

Hasil penelitian Aulia Fuad Rahman dan Ridha Rochmanika (2013) menunjukkan bahwa pembiayaan bagi hasil memberikan pengaruh yang signifikan terhadap profitabilitas yang diproksikan dengan ROA. Penelitian ini juga menunjukkan bahwa Non Performing Financing (NPF) memberikan pengaruh yang signifikan terhadap profitabilitas yang diproksikan dengan ROA.

Hasil penelitian lain menurut Indriani Laela Qodriasari (2014) yang menyatakan bahwa pendapatan pembiayaan mudharabah, musyarakah, murabahah dan ijarah memiliki pengaruh negatif signifikan terhadap profitabilitas bank umum syariah. Hal tersebut menunjukkan bahwa kenaikan porsi pembiayaan tidak berdampak pada kenaikan profitabilitas bank. Dan terdapat kenaikan NPF di bank syariah karena meningkatnya kredit macet.

Berbeda dengan hasil penelitian Russely Inti Dwi Permata, Fransisca

(38)

mudharabah dan musyarakah memberikan pengaruh yang signifikan terhadap tingkat ROE secara simultan, pembiayaan mudharabah berpengaruh signifikan dan negatif terhadap tingkat ROE secara parsial, pembiayaan musyarakah berpengaruh signifikan dan positif terhadap tingkat ROE secara parsial, dan pembiayaan mudharabah merupakan pembiayaan bagi hasil yang dominan dalam memperngaruhi tingkat ROE.

Penelitian yang dilakukan ini merupakan pengembangan dari penelitian- penelitian terdahulu. Penelitian tersebut antara lain:

Tabel 2.3

Penelitian-Penelitian Terdahulu No. Peneliti, Tahun, dan

Judul Variabel

Independen Metode

Analisis Hasil Penelitian 1. Aulia Fuad Rahman

dan Ridha Rochmanika

“Pengaruh Pembiayaan Jual Beli, Pembiayaan Bagi Hasil, dan Rasio Non Performing

Financing terhadap Profitabilitas Bank Umum Syariah di Indonesia”

Pembiayaan Jual Beli, Pembiayaan Bagi Hasil, NPF

VIF, DW Test, Uji Glejser, Uji Kolmogro v-Smirnov

Penelitian berhasil mendukung hipotesis bahwa variabel

pembiayaan bagi hasil memberikan pengaruh signifikan terhadap profitabilitas yang

diproksikan dengan ROA.

Juga variabel NPF memberikan pengaruh yang signifikan terhadap profitabilitas yang

diproksikan dengan ROA.

2. Russely Inti Dwi Permata, Fransisca Yaningwati, dan Zahroh Z.A.

“Analisis Pengaruh Pembiayaan

Mudharabah dan Musyarakah

Pembiayaan Mudharabah, Pembiayaan Musyarakah, ROE

Kolmogro v-Smirnov, VIF, Analisis Korelasi, R2, Uji F, Uji t

Hasil penelitian menunjukkan bahwa pembiayaan mudharabah dan musyarakah

memberikan pengaruh signifikan terhadap tingkat ROE secara simultan, pembiayaan mudharabah

(39)

Profitabilitas (Return On Equity)

(Studi pada Bank Umum Syariah yang Terdaftar di Bank Indonesia Periode 2009-2012)”

dan negatif terhadap tingkat ROE secara parsial, pembiayaan musyarakah berpengaruh signifikan dan negatif terhadap tingkat ROE secara parsial.

3. Indriani Laela Qodriasari “Analisis Pengaruh

Pendapatan Pembiayaan Mudharabah, Musyarakah, Murabahah, dan Sewa Ijarah terhadap

Profitabilitas Bank Umum Syariah di Indonesia Periode Tahun 2011-2013”

Mudharabah, musyarakah, murabahah, ijarah, profitabilitas

Cobb- Dauglas, Common Effect OLS, Fixed Effect, Random Effect, Uji Lagrange Multiplier, Uji Hausman, Uji F

Hasil penelitian menunjukkan bahwa pendapatan pembiayaan mudharabah, musyarakah, murabahah, dan ijarah memiliki pengaruh negatif signifikan terhadap

profitabilitas bank umum syariah. Hal ini

menunjukkan bahwa kenaikan porsi pembiayaan tidak

berdampak pada kenaikan profitabilitas bank.

4. Reinissa R.D.P

“Pengaruh Pembiayaan Mudharabah, Musyarakah, dan Murabahah terhadap Profitabilitas Bank Syariah Mandiri, Tbk”

Mudharabah, musyarakah, murabahah, profitabilitas, Bank Syariah

Uji F, Uji

t, R2 Hasil penelitian menunjukkan bahwa secara simultan

pembiayaan mudharabah, musyarakah, dan

murabahah berpengaruh signifikan terhadap ROA.

Sedangkan secara parsial pembiayaan mudharabah tidak berpengaruh

signifikan namun

pembiayaan musyarakah dan murabahah

berpengaruh signifikan terhadap ROA.

(40)

5. Noor Fakhria Utami

“Pengaruh Pembiayaan Jual Beli, Pembiayaan Bagi Hasil,

Pembiayaan Sewa Terhadap Kinerja Keuangan (Studi Kasus Pada PT.

Bank Syariah Mandiri)”

Pembiayaan Jual Beli, Pembiayaan Bagi Hasil, Pembiayaan Sewa, ROA

Uji F, Uji

t, R2 Hasil penelitian menunjukkan bahwa pembiayaan jual beli, bagi hasil, dan sewa secara simultan berpengaruh signifikan terhadap ROA.

Namun pembiayaan jual beli dan bagi hasil tidak berpengaruh secara parsial terhadap ROA, sedangkan pembiayaan sewa secara parsial berpengaruh signifikan terhadap ROA.

6. Imam Rifky Saputra

“Pengaruh DPK dan NPF Terhadap Pembiayaan Yang Disalurkan (PYD) Serta Implikasinya Pada ROA”

NPF, DPK,

PYD, ROA Uji F, Uji

t, R2 Hasil penelitian ini

menunjukkan bahwa pada Substruktur I variabel DPK berpengaruh positif dan signifikan terhadap PYD, sedangkan NPF berpengaruh positif dan tidak signifikan terhadap PYD. Pada Substruktur II variabel DPK berpengaruh positif dan signifikan terhadap ROA, sedangkan NPF dan PYD

berpengaruh negatif dan signifikan terhadap ROA.

Sumber: https://scholar.google.com

B. Rerangka Pemikiran dan Pengembangan Hipotesis

1. Pengaruh Pembiayaan Jual Beli terhadap Profitabilitas Bank

Rivai dan Arviyan (2010) menyatakan bahwa prinsip jual beli dilaksanakan karena adanya perpindahan kepemilikan barang atau benda. Tingkat keuntungan bank ditetapkan di muka dan menjadi bagian atas harga barang yang diperjualbelikan.

(41)

Pembiayaan dengan prinsip jual beli pada bank syariah dilakukan melalui akad murabahah, salam, dan istishna’. Pengelolaan pembiayaan jual beli yang merupakan salah satu komponen penyusun aset terbesar pada perbankan syariah yang akan menghasilkan pendapatan berupa margin/mark up. Dengan diperolehnya pendapatan mark up tersebut, maka akan mempengaruhi besarnya laba yang akan diperoleh bank syariah. Serta pada akhirnya mampu mempengaruhi peningkatan profitabilitas yang tercermin dari ROA (Return on Assets).

Bukti empiris dari Wicaksana (2011, dalam Aulia dan Ridha) menunjukkan bahwa semakin tinggi pembiayaan murabahah yang merupakan salah satu jenis pembiayaan jual beli, maka semakin tinggi profitabilitas bank umum syariah yang diproksikan dengan ROA (Return on Assets). Sedangkan menurut Maya (2009 dalam Aulia dan Ridha) menunjukkan baawa semakin tinggi pembiayaan murabahah yang merupakan salah satu jenis pembiayaan jual beli, maka semakin kecil profitabilitas bank umum syariah yang diproksikan dengan net profit margin dan gross profit margin.

Berdasarkan kajian teori dan hasil penelitian terdahulu, maka dirumuskan hipotesis sebagai berikut:

H1: Pembiayaan jual beli berpengaruh positif terhadap profitabilitas bank umum syariah.

2. Pengaruh Pembiayaan Bagi Hasil terhadap Profitabilitas Bank

Bukti empiris dari Wicaksana (2011, dalam Aulia dan Ridha) menunjukkan bahwa semakin tinggi pembiayaan mudharabah dan musyarakah maka semakin

(42)

tinggi profitabilitas bank umum syariah yang diproksikan dengan ROA (Return on Assets). Sedangkan menurut Maya (2009 dalam Aulia dan Ridha) menunjukkan bahwa semakin tinggi pembiayaan mudharabah dan musyarakah maka semakin rendah profitabilitas bank umum syariah yang diproksikan dengan net profit margin dan gross profit margin.

Pembiayaan bagi hasil berpengaruh positif terhadap profitabilitas yang dihitung dengan Return On Asset (ROA). Semakin tinggi pembiayaan bagi hasil akan meningkatkan nisbah bagi hasil yang kemudian akan mempengaruhi tingginya Return On Asset (ROA). Sehingga, dapat disimpulkan bahwa semakin tinggi pembiayaan bagi hasil maka akan semakin tinggi pula profitabilitas bank umum syariah yang dihitung dengan Return On Asset (ROA). Hal ini didukung oleh penelitian Whendi Prasetyo (2011), yang dalam hasil penelitiannya menunjukkan bahwa semakin besar pembiayaan bagi hasil maka semakin besar pula laba yang diperoleh, sehingga akan meningkatkan Return On Asset (ROA).

Berdasarkan kajian teori dan hasil penelitian terdahulu, maka dirumuskan hipotesis sebagai berikut:

H2: Pembiayaan bagi hasil berpengaruh positif terhadap profitabilitas bank umum syariah.

3. Pengaruh Pembiayaan Sewa terhadap Profitabilitas Bank

Penelitian Indriani (2014) menyebutkan bahwa dari fungsi keuntungan Cobb-Dauglas menunjukkan bahwa fungsi tersebut dapat memaksimumkan keuntungan yang ditunjukkan dengan garis singgung positif (ke kanan).

Sedangkan dari hasil di atas diperoleh bahwa variabel pendapatan pembiayaan

(43)

mudharabah, musyarakah, murbahah, dan ijarah memiliki pengaruh negatif signifikan terhadap profitabilitas bank umum syariah. Hal tersebut mengindikasikan bahwa pendapatan pembiayaan-pembiayaan tersebut tidak berpengaruh terhadap profitabilitas bank umum syariah.

Veithzal dan Arviyan (2010), menyatakan bahwa pada umumnya bank syariah lebih banyak melaksanakan financing lease with option atau ijarah muntahiyah bit-tamlik (IMBT). Hal tersebut dikarenakan dengan menerapkan sistem pembiayaan ini lebih sederhana dari sisi pembukuan dan bank tidak perlu direpotkan oleh beban pemeliharaan asset atas barang yang disewakan.

Pendapatan yang diperoleh oleh bank atas pembiayaan sewa akan mempengaruhi besarnya laba bank yang bersangkutan, yang kemudian akan mempengaruhi Return On Asset (ROA).

Pembiayaan sewa berpengaruh positif terhadap profitabilitas yang dihitung dengan Return On Asset (ROA). Tingginya pembiayaan sewa akan menghasilkan margin pendapatan yang kemudian akan meningkatkan Return On Asset (ROA).

Sehingga, dapat disimpulkan bahwa semakin tinggi pembiayaan sewa maka akan semakin tinggi pula profitabilitas bank umum syariah yang dihitung dengan Return On Asset (ROA). Hal ini didukung dengan penelitian Yulianti (2013) yang menunjukkan hasil bahwa pembiayaan ijarah berpengaruh positif terhadap profitabilitas (ROA) pada perbankan syariah di Indonesia.

Berdasarkan kajian teori dan hasil penelitian terdahulu, maka dirumuskan hipotesis sebagai berikut:

(44)

H3: Pembiayaan sewa ijarah berpengaruh positif terhadap profitabilitas bank umum syariah.

4. Pengaruh Non Performing Financing terhadap Profitabilitas Bank Non Performing Financing (NPF) adalah suatu keadaan di mana nasabah sudah tidak sanggup lagi membayar sebagian atau seluruh kewajibannya kepada bank seperti yang telah diperjanjikan. Bukti empiris dari penelitian Santoro (2011 dalam Aulia dan Ridha) dan Nainggolan (2010 dalam Aulia dan Ridha), menunjukkan bahwa semakin tinggi rasio NPF maka akan semakin tinggi profitabilitas bank umum syariah yang diproksikan dengan ROA (Return on Assets). Sedangkan penelitian Adyani (2011 dalam Aulia dan Ridha) menunjukkan bahwa semakin tinggi rasio NPF maka akan semakin rendah profitabilitas bank umum syariah yang diproksikan dengan ROA (Return on Assets).

Non Performing Financing (NPF) berpengaruh negatif terhadap profitabilitas bank umum syariah yang dihitung dengan Return On Asset (ROA).

Semakin besar rasio Non Performing Financing (NPF) suatu bank maka semakin banyak pembiayaan bermasalah, atau dengan kata lain mengindikasikan semakin tingginya risiko pembiayaan seperti pembiayaan macet, tingginya risiko pembiayaan tersebut kemudian akan mempengaruhi menurunnya Return On Asset (ROA). Begitu juga sebaliknya, semakin rendah rasio Non Performing Financing (NPF) suatu bank maka mengindikasikan rendahnya risiko pembiayaan yang kemudian akan mempengaruhi meningkatnya Return On Asset (ROA).

(45)

Berdasarkan kajian teori dan hasil penelitian terdahulu, maka dirumuskan hipotesis sebagai berikut:

H4: Non Performing Financing (NPF) berpengaruh terhadap profitabilitas bank umum syariah.

Berdasarkan teori yang dikemukakan di atas maka dapat dibuat rerangka pemikiran yang ditunjukkan pada gambar sebagai berikut:

Gambar 2.1 Rerangka Pemikiran

Sumber: Aluisius Wishnu Nugroho (2011), Aulia Fuad Rahman dan Ridha Rochmanika (2012), dan Yulianti (2013)

Pembiayaan Jual Beli

Pembiayaan Bagi Hasil

Pembiayaan Sewa

Non Performing Financing (NFP)

Profitabilitas Bank H1

H2

H3

H4

Gambar

Gambar 2.1  Rerangka Pemikiran

Referensi

Dokumen terkait

Dari hasil dan analisis pemetaan ancaman, kerentanan, dan kapasitas dapat dihasilkan peta risiko banjir rob kota Semarang menggunakan empat metode yang telah disebutkan

Dalam rangka menjamin mutu telah dilakukan monev terhadap kinerja dosen misalnya setiap dosen harus membuat laporan Beban Kerja Dosen (BKD), bagi dosen yang

Anadara granosa yang sering disebut kerang darah karena adanya warna merah kecoklatan dari daging anadara. Warna ini terjadi karena adanya haemoglobia dalam darah. Penelitian

Kajian telah dijalankan dalam menguji nilai-nilai teras dalam beberapa konstruk yang mempengaruhi prestasi organisasi seperti kepimpinan, budaya, pengurusan perubahan serta

Berdasarkan masalah pada latar belakang di atas, maka peneliti tertarik untuk melakukan penelitian dengan judul “ Pengaruh Motivasi Belajar Terhadap Hasil Belajar Siswa

Berdasarkan ketentuan Pasal 105 huruf a ditegaskan yang pada intinya adalah pemeliharaan anak yang belum mumayyiz atau belum berumur 12 tahun, maka hak

Untuk itu pemerintah membuat program Penguatan Modal Usaha Kelompok (PMUK) melalui bantuan modal langsung kepada petani yang lebih dikenal dengan Bantuan Pinjaman Langsung Masyarakat

Desain pengembangan ini diarahkan pada desain yang menggambarkan karakter motif dari Dewi Sinta dengan teknik batik tulis dan mengolah penataannya pada kain