• Tidak ada hasil yang ditemukan

2. LANDASAN TEORI. 9 Universitas Kristen Petra

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "2. LANDASAN TEORI. 9 Universitas Kristen Petra"

Copied!
12
0
0

Teks penuh

(1)

2. LANDASAN TEORI

2.1 Leader Member Exchange (LMX) 2.1.1 Pengertian Leader Member Exchange

LMX adalah sebuah teori yang berfokus pada kualitas hubungan antara pemimpin dan bawahan untuk memahami pengaruh peran pemimpin terhadap member, tim atau organisasi(Berrin, E., & Bauer, T, N, 2014). Teori LMX mengatakan bahwa seorang pemimpin membedakan relasi dengan bawahan.

Terdapat kemungkinan pemimpin membentuk hubungan secara merata pada seluruh bawahannya tetapi membentuk hubungan baik membutuhkan pengorbanan waktu dan energi dan karyawan memiliki kualitas kerja dan motivasi yang berbeda sehingga pemimpin akan lebih sering membeda–bedakan relasi pada karyawan organisasi (Liden, R. C., & Graen, G, 1980). Pembedaan hubungan antara pemim- pin dan bawahan dikategorikan menjadi dua yaitu in–group dan out–group.

Dasar dibalik teori LMX adalah pemimpin membuat dua kelompok dimana masing–masing kelompok membangun jenis relasi yang berbeda dengan pemimpin.

Teori LMX berbeda dengan kebanyakan teori kepemimpinan lain yang berasumsi bahwa pemimpin berperilaku sama terhadap setiap member bawahan. LMX berfokus pada pembahasan hubungan pemimpin dan bawahan secara independen daripada hubungan pemimpin pada bawahan secara keseluruhan dimana terdapat pembedaan kualitas hubungan pada individu yang berbeda (dalam Lunenburg, FC, 2010). Kualitas LMX yang baik ditandai dengan adanya sikap saling support antara pemimpin dan bawahan, rasa saling percaya, komunikasi yang baik dan nyaman, kesetiaan terhadap sesama serta daya tarik interpersonal yang baik sedangkan kualitas LMX yang rendah ditandai dengan pengaruh dan support timbal balik yang terbatas antara pemimpin dan bawahan. Pemimpin juga memberlakukan otoritas formal dan memberikan benefit hanya sebatas standar organisasi kepada bawahan(Deluga, R. J, 1998).

(2)

2.1.2 Diferensiasi Leader Member Exchange

Kategori in–group dalam teori LMX terdiri dari bawahan yang terpercaya dan memiliki tanggung jawab yang lebih bedasarkan negosiasi peran dengan pemimpin.

Kategori out–group terdiri dari bawahan lain yang masih memiliki hubungan atau relasi lebih formal terhadap pemimpin (Kang, D., & Stewart, J., 2006). Proses pengembangan relasi dua arah ini secara teoritis didasarkan pada role theory (Katz, D. & Kahn, R.L, 1978) dan social exchange theory (Emerson, 1962). Kedua teori tersebut membantu bagaimana teori LMX terbentuk.

Menurut Liden, R. C., & Graen, G (1980), seseorang dipilih menjadi anggota in-group karena tiga alasan yaitu kompetensi atau skill yang dimiliki, kepercayaan atau seberapa besar seseorang tersebut dapat dipercaya oleh pemimpin dan terakhir adalah motivasi seseorang untuk memikul tanggung jawab yang lebih besar daripada tugas yang diberikan. Individu yang masuk dalam kelompok in-group akan berkontribusi lebih daripada sekedar tugas formal yang diberikan sehingga mendapat perhatian, support dan sensitifitas lebih dari pemimpinnya. Individu yang berada pada kategori out-group hanya berkontribusi sesuai tugas rutin dan formal yang diberikan dan memiliki hubungan yang formal terhadap pemimpinnya.

2.1.3 Pengertian Role Theory dan Social Exchange Theory

Pada role theory, seorang pemimpin memiliki ekspektasi peran terhadap bawahan dan sejauh mana bawahan dapat memenuhi harapan pemimpin tersebut akan membantu pembentukan relasi (Kang, D., & Stewart, J, 2006). Graen &

Scandura (1987) mengusulkan model tiga fase pengembangan LMX yaitu role taking ketika individu menerima tanggung jawab, role making ketika bawahan mengerjakan tugas dan role routinisation dimana peran dijalankan secara rutin.

Dalam tahapan role making, derajat dimana bawahan menyanggupi tugas dan menunjukan kelayakannya dalam melakukan tugas tersebut dapat turut mempengaruh jenis relasi LMX yang terbentuk. Kualitas LMX yang terbentuk, me- nentukan tugas dan autonomi yang diberikan pemimpin kepada bawahan, dalam hal

(3)

ini pemimpin dan bawahan memiliki relasi yang didasarkan pada peran (Dienesch &

Liden, 1986).

Social exchange theory berfokus pada pertukaran antara atasan dan bawahan yang tidak didasarkan oleh peran. Menurut Blau (1964, p. 91) social exchange merujuk pada aksi volunter individu yang termotivasi oleh ekspektasi return atau keuntungan dari interaksi sosial tersebut sebagai urutan awal dari pembentukan relasi antara kedua pihak tetapi ekspekasi tersebut tidaklah pasti (dalam Cook, K. S.,

& Rice, E, n.d.). Menurut Uhl-Bien, M., Graen, G & Scandura, T (2000) social exchange merupakan interaksi awal diikuti dengan pertukaran sosial dimana individu melakukan tes untuk memutuskan apakah mereka mampu membangun komponen relasi kepercayaan, rasa hormat dan hal lain yang dibutuhkan untuk membangun kualitas pertukaran sosial yang baik. Kualitas LMX yang akan terbentuk ditentukan oleh ekspektasi dari pertukaran sosial dan kepuasan terhadap perilaku pertukaran sosial tersebut.

2.1.4 Dimensi Leader Member Exchange

Menurut Dienesch & Liden (1986) terdapat beberapa dimensi dari LMX, antara lain:

1) Contribution adalah persepsi kinerja yang ditunjukan oleh setiap anggota pada tujuan bersama (baik secara eksplisit atau implisit) Dienesch & Liden (1986).

2) Loyalty adalah sejauh mana baik pemimpin maupun bawahan secara terbuka mendukung satu sama lain baik dari segi aksi dan karakter.

3) Affect adalah afeksi yang dimiliki kedua pihak terhadap satu sama lain yang di- dasarkan pada atraksi interpersonal daripada nilai–nilai profesional atau pekerjaan. Dienesch & Liden (1986).

4) Other Dimensions, ketiga dimensi diatas bukanlah satu–satunya dimensi dari LMX. Dienesch & Liden (1986) menyadari bahwa terdapat kemungkinan bahwa terdapat dimensi lain yang turut berperan dalam pengembangan teori LMX. Contoh dimensi lain dari LMX mungkin terdiri dari trust, respect, openness dan honesty (dalam Graen, G. B., & Scandura, T. A, 1987).

2.1.5 Indikator Leader Member Exchange

(4)

Indikator yang akan digunakan untuk LMX adalah indikator yang dikem- bangkan dari angket LMX–7 menurut Graen & Uhl-Bien (1995). Joseph, D. L., Newman, D. A & Sin, H. P (2011) mengatakan bahwa sebanyak 66 prosen penelitian LMX dari total sebanyak 241 penelitian setelah tahun 1999 hingga tahun 2010 mengukur LMX dengan LMX–7 dan sebanyak 19 prosen penelitian menggunakan LMX-MDM (Liden & Maslyn, 1998). Sebelum tahun 1999, sebanyak 22 prosen penelitian menggunakan LMX–7 (Graen & Uhl-Bien, 1995) sebagai instrumen pengukuran sedangkan sub-indikator terinspirasi oleh hasil penelitian (Wibowo, N, 2013). Indikator LMX–7 dan sub–indikator ditunjukan sebagai berikut:

1. Respect sebagai syarat pembentukan hubungan antara atasan dan bawahan.

Respect akan diukur dengan sub-indikator sebagai berikut:

Pemimpin mengetahui permasalahan dan kebutuhan dalam peker-jaan karyawan sehingga timbul rasa hormat pada karyawan terhadap pemimpin.

Pemimpin mengakui dan menghargai potensi karyawan sehingga karyawan juga menghargai pemimpin.

2. Trust, tanpa ada rasa saling percaya yang timbal balik maka hubungan antara atasan dan bawahan akan sulit terbentuk. Trust akan diukur dengan sub- indikator sebagai berikut:

Karyawan memiliki rasa percaya untuk dapat berpihak atau membela pemimpinnya dan sebaliknya.

Karyawan dipercaya untuk dapat melakukan pekerjaan secara independen oleh pemimpin artinya terdapat unsur kepercayaan pemim- pin kepada kinerja karyawan.

3. Obligation, pengaruh kewajiban akan berkembang menjadi suatu hubungan kerja antara atasan dengan bawahan.

Pemimpin bersedia menolong karyawan dalam menyelesaikan masa- lah pekerjaan.

(5)

Pemimpin bersedia menjamin karyawan yang berada dalam masalah dengan apa yang ia miliki.

Karyawan memiliki keyakinan terhadap pemimpinnya sehingga kar- yawan akan membela dan mempertahankan keputusan pemimpin.

Hubungan kerja antara pemimpin dan karyawan yang efektif.

2.2 Work–Life Balance

2.2.1 Pengertian Work–Life Balance

Menurut Parkes & Langford (2008), work–life balance merupakan kondisi dimana individu yang mampu berkomitmen dalam pekerjaan dan keluarga, serta bertanggung jawab baik dalam kegiatan non-pekerjaan. Brough, Timms, O’Driscoll, Kalliath, Siu, Sit & Lo (2014) mendefinisikan Work–Life Balance sebagai penilaian subjektif individu terhadap kesesuaian antara kegiatan pekerjaan dan yang tidak menyangkut pekerjaan dan kehidupan (dalam Gravador, L. N., & Teng-Calleja, M., 2018). Pengertian work–life balance juga didapat dari Greenhaus & Allen (2011, p.

174) mendefinisikan work–life balance sebagai penilaian dimana efektifitas dan kepuasan individu terhadap peran pekerjaan dan keluarga konsisten dengan nilai kehidupan yang dianut individu tersebut pada suatu waktu.

2.2.2 Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Work–life Balance

Menurut Schabracq (2003), terdapat beberapa faktor yang dapat memengaruhi Work–life balance seseorang, yaitu sebagai berikut:

1. Karakteristik Kepribadian. Hal ini berpengaruh terhadap kehidupan kerja dan di luar kerja. Terdapat hubungan antara tipe attachment yang didapatkan individu ketika masih kecil dengan work–life balance. Individu yang memiliki secure attachment atau keterikatan emosional yang baik dengan keluarga cen- derung mengalami positive spillover dibandingkan individu yang memiliki insecure attachment atau keterikatan emosional yang tidak baik.

2. Karakteristik Keluarga adalah aspek yang dapat turut menentukan adanya konflik antara pekerjaan dan kehidupan pribadi.

(6)

3. Karakteristik Pekerjaan mengacu pada beban kerja, pola bekerja dan waktu kerja yang dapat memicu adanya benturan dalam pekerjaan dan kehidupan pribadi.

4. Sikap yaitu aspek yang menyinggung komponen pengetahuan, perasaan dan kecenderungan berperilaku. Sikap dari masing-masing individu merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi work–life balance.

Berbagai peneliti dan pakar pada bidang work–life balance sepakat bahwa jumlah jam kerja, jadwal bekerja, kehidupan pribadi karyawan dan tanggung jawab pribadi, cuti karir dan keterlibatan serta komitmen top management adalah faktor utama yang berkontribusi terhadap work–life balance. Praktik work–life balance yang baik akan meningkatkan kepuasan karyawan, kesetiaan karyawan terhadap perusahaan dan produktivitas karyawan (Dizaho, E & Othman, M, 2013).

2.2.3 Dimensi Work–life Balance

Menurut Fisher, G, Bulger, C & Smith, C. S (2009), terdapat empat dimensi work-life balance, yaitu:

1. Work Interference with Personal Life (WIPL) Dimensi ini mengacu pada sejauh mana pekerjaan dapat mengganggu kehidupan pribadi individu

2. Personal Life Interference With Work (PLIW). Dimensi ini mengacu pada sejauh mana kehidupan pribadi individu mengganggu kehidupan pekerjaan- nya.

3. Personal Life Enhancement Of Work (PLEW). Dimensi ini mengacu pada sejauh mana kehidupan pribadi seseorang dapat meningkatkan performa individu dalam dunia kerja

4. Work Enhancement Of Personal Life (WEPL). Dimensi ini mengacu pada sejauh mana pekerjaan dapat meningkatkan kualitas kehidupan pribadi individu.

2.2.4 Indikator Work–life Balance

Indikator yang digunakan untuk mengukur Work–life balance menurut Greenhaus, J. H., Collins, K. M., & Shaw, J. D (2003) antara lain:

(7)

1. Time balance merujuk pada ketersediaan waktu individu baik bagi pekerjaannya maupun keluarga.

2. Involvement balance merujuk pada keterlibatan individu secara psikologis dan komitmen dalam pekerjaannya maupun keluarga.

3. Satisfaction balance merujuk pada kepuasan individu dalam menjalani kegiatan pekerjaannya maupun kegiatan keluarga.

2.3 Turnover Intention

2.3.1 Pengertian Turnover Intention

Menurut Carmeli & Weisberg (2006), istilah turnover intention merujuk pada tiga elemen dalam proses kognitif yaitu pikiran untuk keluar dari pekerjaan, intensi untuk mencari pekerjaan lain dan pikiran untuk berhenti bekerja (dalam Rahman, Wali & Nas, Zekeriya, 2013). Menurut Robbins & Judge (2009) turnover intention adalah tindakan pengunduran diri secara permanen yang dilakukan oleh karyawan baik secara sukarela atau tidak. Turnover dapat berupa pengunduran diri, perpindahan keluar unit organisasi, pemberhentian atau kematian anggota organisasi. Saeed, I., Waseem, M., Sikander, S & Rizwan, M (2014) dalam penelitiannya mendefinisikan turnover intention sebagai rencana karyawan perusahaan untuk meninggalkan peru- sahaan atau rencana perusahaan untuk memecat karyawan. Ronald & Milkha (2014, p.5) mengemukakan bahwa Turnover Intention merupakan kecenderungan atau intensitas keinginan individu untuk meninggalkan organisasi dengan berbagai alasan dan diantaranya untuk mendapatkan pekerjaan yang lebih baik.

2.3.2 Faktor-Faktor penyebab Turnover Intention

Penelitian meta–analisis yang dilakukan oleh Cotton, J. L., & Tuttle, J. M.

(1986) mengidentifikasi 24 variabel yang berdampak pada turnover dan mengklasifi- kasikan variabel tersebut menjadi tiga jenis kategori korelasi yaitu faktor eksternal, faktor pekerjaan dan faktor pribadi. Hal yang masih belum diketahui adalah variabel manakah yang berpengaruh signifikan terhadap turnover di organisasi kemanusiaan.

Penelitian faktor turnover sangat berguna bagi peneliti dan praktisioner. Meninjau

(8)

penelitian Cotton, J. L., & Tuttle, J. M. (1986) maka Dubey, Gunasekaran, Altay, Childe & Papadopoulos (2016) mengolah klasifikasi tersebut menjadi tiga kategori yang akan dibahas sebagai berikut.

1. Faktor Eksternal yang meliputi presensi serikat pekerja, presepsi terhadap jabatan, tingkat pengangguran. Tingkat turnover yang tinggi secara garis besar dapat dijelaskan dengan teori kebudayaan dan teori perkembangan negara.

2. Faktor yang berhubungan dengan pekerjaan, yaitu gaji, performa kerja, kejelasan peran, repetitif pekerjaan, kepuasan terhadap gaji, kepuasan terhadap pekerjaan itu sendiri, kepuasan terhadap kesempatan promosi dan komitmen organisasional.

3. Faktor pribadi, pada faktor ini Cotton, J. L., & Tuttle, J. M. (1986) telah mengi- dentifikasi bahwa faktor pribadi mencangkup usia, masa kerja, jenis kelamin, in- formasi biografi, pendidikan, status perkawinan, jumlah tanggungan, kemampuan atau bakat, kecerdasan, intensi perilaku dan ekspektasi murni.

Penelitian Dubey et al (2016) menemukan bahwa variabel yang telah diidentifikasi oleh Cotton, J. L., & Tuttle, J. M. (1986) telah digunakan pada konteks penelitian yang berbeda oleh berbagai peneliti. Pada tahun 2015, Atique Siddiqui, Atif & Jamil, R, melakukan penelitian berkaitan dengan hal yang menyebabkan gejala turnover intention pada 176 responden berasal dari institusi edukasi yang berbeda. Hasil penelitian tersebut menyatakan bahwa stress kerja adalah faktor utama penyebab karyawan berpikir untuk keluar dari pekerjaan. Temuan penelitian milik Atique Siddiqui, Atif & Jamil, R (2015) dan Dubey et al (2016) didukung oleh kesimpulan hasil penelitian Zentner, Aeron (2014) dimana personal factors dan fak- tor organisasional atau pekerjaan juga menjadi faktor yang mempengaruhi turnover intention.

2.3.3 Jenis-Jenis Turnover Intention

Pengelompokan jenis turnover oleh Mathis & Jackson (2001) dibedakan menjadi tiga jenis utama yaitu turnover bedasarkan kesediaan karyawan, tingkat fungsionalitas dan bentuk pengendaliannya.

(9)

1. Turnover bedasarkan kesediaan karyawan terdiri dari turnover secara sukarela yaitu karena keinginan pribadi dan tidak secara sukarela misalnya dikarenakan pemecatan akibat kinerja yang buruk.

2. Turnover dari segi fungsionalitas dibedakan menjadi dua yaitu fungsional dan disfungsional. Turnover fungsional artinya karyawan yang melakukan turnover memiliki kinerja yang rendah dan menganggu rekan kerja sehingga menganggu performa perusahaan. Turnover disfungsional adalah turnover yang dilakukan oleh karyawan yang memiliki peran penting dan kinerja baik dan meninggalkan perusahaan di saat yang penting.

3. Turnover dari bentuk pengendalian ada dua yaitu turnover yang tidak dapat dikendalikan karena dipengaruhi dari faktor diluar kendali pemberi kerja atau organisasi misalnya karyawan berhenti kerja karena alasan keluarga. Turnover yang dapat dikendalikan perusahaan misalnya perusahaan mampu memelihara dan membantu karyawan menyelesaikan permasalahan kerja sehingga tidak jadi melakukan turnover.

2.3.4 Indikator Turnover Intention

Tingkat turnover intention diukur dengan skala pengukuran menurut Harnoto (2002, p. 2) yaitu sebagai berikut:

1. Absention, yaitu keinginan karyawan untuk melakukan absensi yang tinggi, disertai dengan tingkat tanggung jawab karyawan yang kurang baik.

2. Work Attitude, yaitu perilaku dan sikap kerja karyawan seperti pelanggaran tata tertib, perilaku protes terhadap atasan, kemalasan bekerja.

2.4 Hubungan Antar Konsep

2.4.1 Hubungan Leader Member Exchange terhadap Turnover Intention

Para ahli di bidang turnover, baik akademik maupun praktisioner telah la- ma menekankan bahwa pengawasan terhadap karyawan memiliki peran penting dalam keputusan turnover secara sukarela (Morrow, P., Suzuki, Y., Crum, M., Ruben, R., & Pautsch, G, 2005). Kualitas hubungan atasan dan bawahan diidentifikasi sebagai kerangka berpikir yang mungkin mampu menjelaskan perilaku pengawasan yang mempengaruhi keinginan turnover (Gaertner, 1999). Penemuan

(10)

beberapa penelitian meta-analisis walaupun memiliki jumlah sampel yang kecil namun hasil penemuan menunjukan adanya indikasi bahwa kualitas LMX berpengaruh negatif terhadap keinginan melakukan turnover dan turnover actual (Gerstner & Day, 1997). Pernyataan bahwa terdapat pengaruh negatif LMX terhadap turnover intention didukung penelitian Day & Gerstner (1997) dimana hasil penelitian mereka menunjukan terdapat korelasi LMX negatif signifikan terhadap turnover intention.

Penelitian terdahulu oleh Saeed, I., Waseem, M., Sikander, S & Rizwan, M (2014) dengan jumlah sampel sebanyak 200 karyawan menyatakan bahwa terdapat hubungan negatif secara signifikan antara LMX dan turnover intention. Analisis Saeed, I., Waseem, M., Sikander, S & Rizwan, M (2014) membuktikan hipotesis mereka bahwa LMX memiliki asosiasi negatif secara langsung terhadap turnover intention. Hasil yang identik didapat dari penelitian Hossam, M & Abu, E (2014) dengan sampel sebanyak 241 karyawan pada 15 organisasi menyatakan bahwa kualitas LMX memiliki pengaruh fungsional terhadap turnover intention karyawan secara negatif. Mayer, D. M. & Nishii, L. H. (2009) pada penelitiannya dengan sampel sebanyak 1800 orang pada berbagai departemen supermarket di United States menunjukan bahwa terdapat hubungan positif signifikan antara diversitas demografis dan turnover pada nilai group mean LMX yang rendah dan hubungan tersebut melemah ketika nilai mean LMX tinggi.

Penelitian Mayer, D. M. & Nishii, L. H. (2009) memiliki makna bahwa LMX memainkan peran pengaruh pada hubungan diversitas demografi pada tingkat turnover dan tingkat turnover itu sendiri secara tidak langsung. Merujuk pada berbagai ulasan diatas maka dibentuklah hipotesis seperti yang dicantumkan dibawah.

H1: Diduga leader Member Exchange berpengaruh terhadap turnover intention pada karyawan divisi produksi PT Mustika Dharmajaya.

2.4.2 Hubungan Work–life Balance terhadap Turnover Intention

Penelitian terdahulu menampilkan bukti empiris bahwa presepsi terhadap kualitas kehidupan bekerja berhubungan secara negatif terhadap turnover intentions

(11)

bahwa karyawan yang memiliki akses kepada praktik yang bersifat family-responsive memperlihatkan komitmen organisasional yang lebih dan turnover intention yang lebih rendah (Huang, T. C, et al., 2007). Penelitian terdahulu Huang, T. C, et al.

(2007) dengan random sampel sebanyak 600 pekerja pada empat perusahaan akunting terbesar di Taiwan menunjukan bahwa empat faktor kualitas kehidupan bekerja secara negatif berhubungan dengan turnover intention. Hasil penelitian diatas juga menunjukan bahwa beberapa aspek kulitas kehidupan bekerja berdampak secara langsung terhadap turnover intention dan beberapa aspek lainnya berdampak secara tidak langsung melalui mediasi aspek karir dan komitmen afeksi.

Hubungan work–life Balance terhadap Turnover Intention, dibuktikan dengan sebuah penelitian terdahulu yang dilakukan oleh Suifan, T & Abdallah, A & Diab, H (2016) dengan ukuran sampel sebanyak 382 karyawan. Penelitian tersebut berhasil membuktikan bahwa praktik Work–life Balance lebih efektif dalam mempengaruhi tingkat turnover intention sehingga bedasarkan penelitian ini oleh Suifan, T, Abdallah, A & Diab, H (2016) menyimpulkan Work–life Balance memiliki peran vital dalam mengurangi tingkat turnover intention. Penelitian ini juga menunjukan bahwa terdapat hubungan yang signifikan antara work-life conflict dan turnover in- tention.

Semakin banyak konflik antara pekerjaan dan kehidupan pribadi maka akan semakin sulit bagi karyawan tersebut untuk menjaga keseimbangan dan akhirnya berujung pada pengunduran diri dari pekerjaan(Houston & Waumsley, 2003).

Kualitas work-life balance yang baik dapat menghasilkan keuntungan finansial secara langsung dari berkurangnya rasio turnover dan pilihan rekruitmen karyawan yang lebih baik dengan mempekerjakan karyawan berkinerja tinggi yang menghargai work-life balance (Suifan, T, Abdallah, A & Diab, H.,2016). Merujuk pada berbagai ulasan diatas maka dibentuklah hipotesis seperti yang dicantumkan dibawah.

H2: Diduga Work–life Balance berpengaruh terhadap terhadap turnover intention pada karyawan divisi produksi PT Mustika Dharmajaya.

(12)

2.5 Kerangka Penelitian

Gambar 2.1 Kerangka Penelitian

Sumber: Graen & Uhl-Bien (1995), Greenhaus, J. H., Collins, K. M., & Shaw, J. D.

(2003), Harnoto (2002, p.2).

Gambar di atas menunjukkan adanya tiga variabel dalam penelitian ini, yaitu Leader Member Exchange (X1), Work–life Balance (X2) dan garis anak panah menunjukan hubungan pengaruh variabel X1 dan X2 terhadap variabel Turnover intention (Y) sehingga menghasilkan dua hipotesis yang akan diuji. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis dan membuat kesimpulan pengaruh pada masing-masing variabel X1 dan X2 terhadap variabel Y.

Gambar

Gambar 2.1 Kerangka Penelitian

Referensi

Dokumen terkait

Berdasarkan dari beberapa pengertian diatas dapat disimpulkan bahwa financial literacy atau pengetahuan akan keuangan merupakan kemampuan seseorang dalam memahami hal-hal

Konsumen yang merasa kurang puas dengan layanan yang diberikan, dapat membuat konsumen beralih atau mencari layanan yang dianggap lebih baik dari pelayanan

Septiadi (2001:225) menyatakan: “Sesuatu yang dapat dijadikan patokan bagi perusahaan untuk tetap menjaga hubungan antara konsumen dan perusahaan adalah “kesesuaian”, yaitu

David (2010, p. 131), pemerintah pusat maupun pemerintah daerah merupakan pembuat regulasi, deregulasi, penyubsidi, pemberi kerja, dan konsumen utama organisasi. Karenanya faktor

Jika kinerja lingkungan perusahaan baik maka terdapat kemungkinan kinerja keuangan juga dapat meningkat, hal ini sejalan dengan teori legitimasi karena perusahaan yang

External failure cost merupakan biaya yang terjadi setelah pengiriman produk ke konsumen atau pengguna yang mengalami ketidaksesuaian atau kecacatan seperti biaya terhadap

Fungsi utama lainnya dari sistem informasi akuntansi dalam siklus penggajian adalah menyediakan pengendalian yang memadai agar dapat terpenuhinya tujuan-tujuan

Ruang konser, opera, studio rekam, dan ruang lain dengan tingkat akustik yang sangat detail Rumah sakit, dan ruang tidur/istirahat pada rumah tinggal, apartemen, motel, hotel, dan