BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Konsep Anak
2.1.1 Definisi Anak
Dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, pasal 1 Ayat 1, anak merupakan seseorang yang belum berusia 18 tahun termasuk anak dalam kandungan.
Menurut UNICEF (2019), anak didefinisikan setiap individu yang berusia dibawah 18 tahun. Sedangkan menurut definisi WHO (2013), anak adalah orang berusia 19 tahun atau lebih muda kecuali hukum nasional menetapkan seseorang untuk menjadi orang dewasa pada usia yang lebih dini. Namun, dalam pedoman WHO ini, ketika seseorang termasuk dalam kategori usia 10 hingga 19 tahun, mereka disebut sebagai remaja.
Bisa disimpulkan bahwa batasan usia anak adalah mulai dalam kandungan hingga usia 18 tahun.
2.1.2 Perkembangan Anak
Perkembangan (development) adalah adanya pertambahan kemampuan serta struktur dan fungsi tubuh yang lebih kompleks dalam pola yang teratur. Hal tersebut dapat diperkirakan dan diramalkan sebagai hasil dari proses diferensiasi sel, jaringan tubuh, organ-organ dan sistem organ yang terorganisasi dan berkembang sedemikian rupa sehingga masing-masing dapat memenuhi fungsinya. Dalam hal ini perkembangan yang termasuk seperti perkembangan emosi, intelektual
9
dan perilaku sebagai hasil interaksi dengan lingkungan (Soetjiningsih, 2012).
Berdasarkan pengertian di atas dapat disimpulkan bahwa perkembangan ini berkaitan dengan adanya pematangan fungsi organ/individu yang merupakan hasil interaksi kematangan susunan saraf pusat dengan organ yang dipengaruhinya, contohnya perkembangan sistem neuromuskuler, kemampuan bicara, emosi dan sosialisasi (kualitas). Semua fungsi tersebut berperan penting dalam kehidupan manusia secara utuh. Pembagian kelompok usia berdasarkan tahap perkembangannya:
1. Masa prenatal : Ovum menjadi suatu organism dan terbentuknya manusia.
2. Masa Neonatus : 0-28 hari 3. Masa Bayi : 0-2 tahun 4. Masa Pra sekolah : 2-6 tahun 5. Masa sekolah : 7-12 tahun 6. Masa Remaja
a. Pra remaja : 10–12 tahun b. Remaja awal: 12–15 tahun
c. Remaja tengah : 15–18 tahun d. Remaja akhir : 18–21 tahun 2.1.3 Faktor yang Mempengaruhi Perkembangan Anak
Menurut Nurlaila, Utami, dan Cahyani (2018) mengemukakan bahwa faktor-faktor yang mempengaruhi tahap perkembangan anak adalah sebagai berikut.
1. Faktor genetik
2. Faktor lingkungan meliputi lingkungan prenatal dan lingkungan postnatal seperti gizi ibu selama hamil, toksin atau zat kimia, radiasi, stress, anoksia embrio, imunitas, infeksi, dan lain-lain.
3. Faktor biologis meliputi ras, jenis kelamin, umur, gizi, perawatan kesehatan,kepekaan terhadap penyakit, penyakit kronis, fungsi metabolism, hormone.
4. Faktor fisik meliputi cuaca, keadaan rumah,sanitasi, dan radiasi.
5. Faktor psikososial: stimulasi, ganjaran/hukuman yang wajar, motivasi belajar, keluarga sebaya, sekolah, stress, cinta, dan kasih sayang, kualitas interaksi anak dan orang tua.
6. Faktor keluarga dan adat istiadat meliputi pekerjaan/pendapatan keluarga, pendidikan ayah dan ibu, jumlah saudara, jenis kelamin dalam keluarga, stabilitas rumah tangga, kepribadian ayah dan ibu, adat istiadat, norma, agama, dan lain-lain.
2.1.4 Aspek Perkembangan Anak
Menurut Departemen Kesehatan Republik Indonesia (2009) dalam buku “Buku Ajar Keperawatan Anak” oleh Nurlaila, Utami, dan Cahyani (2018) menyebutkan aspek-aspek perkembangan yang dapat dipantau meliputi gerak kasar, gerak halus, kemampuan bicara dan bahasa, serta sosialisasi dan kemandirian.
1. Gerak kasar atau motorik kasar adalah aspek yang berhubungan dengan kemampuan anak melakukan pergerakan dan sikap tubuh yang melibatkan otot-otot besar, seperi duduk, berdiri dan sebagainya.
2. Gerak halus atau motorik halus adalah aspek yang berhubungan dengan kemampuan anak melakukan gerakan yang melibatkan bagian- bagian tubuh tertentu dan dilakukan oleh otot-otot kecil, tetapimemerlukan koordinasi yang cermat seperti mengamati sesuatu, menulis dan sebagainya.
3. Kemampuan bicaradan bahasa adalah aspek yang berhubungan dengan kemampuan untuk memberikan respons terhadap suara, berbicara, berkomunikasi, mengikuti perintah, dan sebagainya.
4. Sosialisai dan kemandirian adalah aspek yang berhubungan dengan kemampuan mandiri anak (makan sendiri, membereskan mainan selesai bermain), berpisah dengan ibu/pengasuh anak, bersosialisasi dan berinteraksi dengan lingkungannya.
2.1.5 Tahap Perkembangan Anak
Tahap perkembangan anak mempunyai cirinya masing-masing dan ditentukan oleh masa atau waktu dari kehidupan anak tersebut. Berikut ini tahap perkembangan terdiri dari masa bayi hingga remaja (Nurlaila, Utami, & Cahyani, 2018).
1. Masa Bayi (0-2 tahun)
Pada masa ini terdapat dua tahap yaitu tahap peridevital (1-12 bulan)yang merupakan tahap mempertahankan kehidupannya agar dapat melaksanankan perkembangan lanjutan dengan beberapa kemampuan seperti insting, reflex, dan kemampuan belajar.
Kemudian tahap kedua (1-2 tahun) yang meriupakan tahap dimana kecepatan pertumbuhan menurun dan adanya percepatan pada perkembangan motorik.
2. Masa prasekolah (2-6 tahun)
Pada masa ini dapat berlangsung stabil dan terjadi peningkatan pertumbuhan dan perkembangan, khususnya pada aktivitas fisik dan kemampuan kognitif. Menurut teori Erikson (dalam Nursalam, 2005;
Nurlaila & Cahyani, 2018 ), pada usia ini anak berada pada fase inisiatif vs rasa bersalah (initiative vs guilty). Anak memliki rasa ingin tahu (curious) dan berkembangnya imajinasi anak sehingga anak memiliki banyak pertanyaan tentang segala sesuatu yang tidak diketahuinya di sekelilingnya. Jika orang tua mematikan inisiatifnya maka hal tersebut membuat anak merasa bersalah. Sedangkan, menurut teori Sigmund Freud, anak berada pada fase phalik, di mana anak mulai mengenal perbedaan jenis kelamin perempuan dan laki- laki. Anak juga akan mengidentifikasi figur atau perilaku kedua orang tuanya sehingga kecenderungan untuk meniru tingkah laku orang dewasa di sekitarnya.
Pada masa usia prasekolah anak mengalami proses perubahan dalam pola makan di mana pada umumnya anak mengalami kesulitan untuk makan. Proses eliminasi pada anak sudah menunjukkan proses kemandirian dan perkembangan kognitif sudah mulai menunjukkan perkembangan, anak sudah mempersiapkan diri untuk memasuki sekolah (Nurlaila, Utami, & Cahyani, 2018).
3. Masa sekolah
Perkembangan masa sekolah ini lebih cepat dalam kemampuan fisik dan kognitif dibandingkan dengan masa usia prasekolah.
a. Perkembangan motorik kasar: Anak pada umur 7-10 tahun memiliki aktivitas motorik kasar di bawah kendali keterampilan kognitif dan kesadaran, secara bertahap meningkatkan irama, kehalusan, dan keanggunan gerakan otot, meningkatkan minat dalam penyempurnaan. Keterampilan fisik, kekuatan, dan daya tahan juga meningkat. Sedangkan pada umur 10-12 tahun tingkat energi tinggi dan peningkatan arah dan kendali dari kemampuan fisik.
b. Pada perkembangan motorik halus terdapat peningkatan dan perbaikan keterampilan karena bertambahnya mielimisasi sistem saraf pusat seperti menunjukkan perbaikan keseimbangan dan koordinasi mata dan tangan; dapat menulis daripada mengucapkan kata-kata saat berusia 8 tahun; menunjukkan peningkatan, kemampuan untuk mengungkapkan secara individual dan perhatian khusus seperti menjahit; menunjukkan keterampilan motorik halus yang sama dengan orang dewasa saat berusia 12 tahun.
c. Pada perkembangan kognitif anak usia 7-12 tahun menunjukkan pemikiran menjadi sangat abstrak dan simbolik;
mempertimbangkan sejumlah alternative dalam menemukan pemecahan terbaik; dapat membalikkan cara kerja, dapat melacak urutan kejadian kembali sejak awal; memahami konsep dulu,
sekarang, dan yang akan dating; dapat menyebutkan waktu; apat menggolongkan objek sebagai golongan; memahami konsep tinggi, berat, dan volume; serta dapat berfokus lebih dari satu aspek situsi.
d. Pada perkembangan bahasa, anak dapat menggunakan bahasa sebagai alat pertukaran verbal; pemahaman terhadap pembicaraan mungkin tertinggal dari pengertiannya; tidak begitu egosentris dalam orientasi; mengerti kebanyakan kata-kata abstrak; memakai semua bagian pembicaraan, termasuk kata sifat, kata keterangan, dan penghubung; ikut memakai kalimat majemuk dan gabungan;
Kosa katanya mencapai 50.000 kata.
4. Masa remaja
Pada tahap perkembangan remaja terjadi perbedaan pada perempuan dan laki-laki. Pada umumnya wanita 2 tahun lebih cepat untuk masuk ke dalam tahap remaja/pubertas dibandingkan dengan anak laki-laki dan perkembangan ini ditunjukkan pada perkembangan pubertas. Kemampuan sosial meningkat, reaksi dengan teman wanita/pria, tetapi lebih penting dengan sejenis, penampilan fisik sangat penting, peranan ortu keluarga sudah dianggap tidak penting.
Menurut Havighurst (1961) mengemukakan tugas perkembangan sebagai tugas yang harus diselesaikan individu pada fase-fase atau periode kehidupan tertentu dan apabila berhasil mencapainya mereka akan bahagia, tetapi sebaliknya apabila mereka gagal akan kecewa dan dicela orang tua atau masyarakat dan perkembangan selanjutnya juga akan mengalami kesulitan. Sumber- sumber tugas perkembangan adalah kematangan fisik, tuntunan
masyarakat atau budaya dan nilai-nilai danaspirasi individu.
Pembagian tugas perkembangan anak dari sejak masa bayi hingga remaja dikemukakan sebagai berikut (Nurlaila, Utami, & Cahyani, 2018).
1. Pada masa bayi, tugas pekembangan individu mulai merasa percaya mencapai harapan, dapat mengahadapi frustasi dalam jumlah kecil, dan mengenal ibu sebagai orang lain dan berbeda dari diri sendiri.
Bila tugas tersebut tidak tercapai, individu akan merasa tidak percaya.
2. Pada masa bermain, tugas perkembangan individu mulai mandiri, mencapai keinginan, memulai kekuatan baru dan menerima kenyataan dan prinsip kesetiaan. Bila tidak tercapai,individu akan merasa malu dan ragu-ragu.
3. Pada masa pra sekolah, tugaa perkembangan individu berinisiatif mencapi tujuan, menyatakan diri sendiri dan lingkungan, dan dapat membedakan jenis kelamin. Bila tugas tidak tercapai, individu mulai merasa bersalah.
4. Pada masa sekolah, individu timbul perasaan untuk berprestasi dan menerima dan melaksanakan tugas dari orang tua dan guru.bila tugas tidak tercapai, individu akan merasa rendah diri.
5. Pada masa remaja, individu merasa memiliki identitas,mencapai kesetiaan yang menuju pada pemahaman heteroseksual, memilih pekerjaan dan mencapai keutuhankepribadian. Bila tidak tercapai, individu mengalami difusi identitas.
6. Pada masa remaja akhir dan dewasa muda, individu memiliki rasa keintiman dan solidaritas,memperoleh cinta, mampu berhubungan dengan lawan jenis, belajar kreatif dan produktif. Bila tugas ini tidak tercapai individu akan mengalami isolasi diri.
2.2 Konsep LabioPalatoskizis
2.2.1 Pengertian LabioPalatoskizis
Labiopalatoskizis atau orofacial cleft atau Sumbing orofasial merupakan anomali kraniofasial yang paling umum. Kummer (2020) menyatakan labiopalatoskizis adalah suatu kondisi kongenital dimana adanya pembukaan abnormal atau celah dalam struktur anatomi yang biasanya tertutup pada bibir atau langit-langit ataupun keduanya (Kummer A. W., 2020). Menurut Prawirohartono (2018), cleft (Celah, pemisahan, atau sumbing) dapat terjadi di bibir (labioschisis) dan langit- langit (palatoschisis) atau gabungan dari keduanya yaitu sebagian atau seluruhnya (labiopalatoschisis) (Prawirohartono, 2018). Jadi dapat disimpulkan labiopalatoskizis adalah suatu kelainan sejak lahir dimana adanya celah pada bagian bibir, langit-langit, ataupun keduanya.
2.2.2 Etiologi LabioPalatoskizis
Menurut Kummer (2020), labiopalatoskizis dapat disebabkan faktor keturunan (genetik atau kromosom) dan faktor lingkungan. Faktor keturunan sebagai endogenous (faktor internal) dan lingkungan sebagai exogenous (faktor eksternal). Etiologi setiap individu kompleks kedua faktor tersebut saling berhubungan. Kombinasi dari kedua faktor ini disebut turunan multifaktor (Kummer A. W., 2020).
1. Faktor keturunan
Terdapat banyak penelitian yang telah dilakukan untuk mengetahui genetik yang menyebabkan labiopalatoskizis nonsindrom, telah ditemukan 17 gen yang berhubungan dengan labiopalatoskizis nonsindrom seperti MSX1 dan IRF6.
2. Faktor lingkungan
Teratogen dan gangguan kondisi fisik selama perkenbangan bayi termasuk dalam faktor lingkungan. Teratogen yang berhubungan dengan labiopalatoskizis yaitu asap rorok, alkohol, obat-obatan (dilantiin, valium, antikolvusan, dan kortikosteroid), polusi, virus termasuk influenza dan rubella, dan gangguan nurtrisi maternal.
Gangguan kondisi fisik dapat berdampak pada perkembangan embrio seperti miccrognthia (bentuk mandibula kecil) dapat mengganggu fisik dengan fusi palatum dan juga omniotic band (pecahnya membran amnion).
Dalam review oleh Agbenorku (2013) mengemukakan etiologi labiopalatoskizis kompleks, kemungkinan penyebabnya faktor genetik dan lingkungan. Labioskizis sering terjadi terkombinasi dengan berbagai kelainan kromosom dan sindrom (trisomi 13, amniotik band anomalad, sindrom Fryns, sindrom Meckel, sindrom Stickler, sindrom Treacher Collins, sindrom van der Woude, sindrom Velocardiofacial, dll.) dan faktor lingkungan seperti obat-obatan selama kehamilan, konsumsi alkohol ibu dan merokok, kekurangan makanan dan vitamin, diabetes, toxin lingkungan, ketinggian, urutan kelahiran, status sosial ekonomi, dan usia orang tua. Faktor genetik lain yang dapat mempengaruhi
kehadiran labiopalatoskizis termasuk kemampuan ibu untuk mempertahankan konsentrasi zinc sel darah merah dan konsentrasi myoinositol (alkohol gula hexahydroxycyclohexane). Kemampuan ibu untuk mempertahankan tingkat vitamin B6 dan B12 yang memadai dan kemampuan janin untuk memanfaatkan nutrisi ini juga dilihat sebagai faktor dalam pengembangan labioskizis ketika nutrisi ini tidak dimetabolisme dengan baik karena kesalahan dalam sintesis DNA dan transkripsi dapat terjadi (Agbenorku, 2013).
Obat-obatan memainkan peran terbatas dalam etiologi labiopalatoskizis; amoksisilin, fenitoin, oxprenolol, dan tietilperazin mungkin memiliki beberapa hubungan dengan labiopalatoskizis, sementara carbamazepine dan oxytetracycline mungkin memiliki beberapa hubungan dengan palatoskizis posterior selama tahap awal kehamilan. Selain itu, ibu dengan genotip methylenetetrahydrofolate reductase (MTHFR) 677TT atau 1298CC dan asupan folat perikonsepsi rendah ditemukan memiliki risiko lebih tinggi untuk labiopalatoskizis di antara keturunan mereka. Obat-obatan yang mengganggu metabolisme folat, seperti fenitoin, diketahui memiliki efek teratogenik yang meliputi labioskizis, retardasi pertumbuhan, cacat tungkai, dan kelainan bentuk kraniofasial lainnya. Asupan ibu dari obat-obatan vasoaktif yang meliputi pseudoefedrin, aspirin, ibuprofen, dan amfetamin serta merokok telah dikaitkan dengan risiko yang lebih tinggi dari celah mulut. Obat antikonvulsan seperti fenobarbital, trimethadione, valproate, dan dilantin juga telah didokumentasikan untuk dapat meningkatkan kejadian labiopalatoskizis. Obat lain seperti obat jerawat yang mengandung
accutane dan metotreksat, obat yang biasa digunakan untuk mengobati kanker, radang sendi, dan psoriasis, juga dapat menyebabkan labiopalatoskizis (Agbenorku, 2013).
2.2.3 Faktor Risiko LabioPalatoskizis
Berdasarkan review oleh Kawalec, Nelke, Pawlas, & Gerber (2015) mengidentifikasi ada 7 faktor risiko yang dapat menyebabkan celah orofasial yaitu:
1. Faktor geografis
2. Riwayat keluarga dan factor genetic 3. Alkohol dan rokok
4. Diet
5. Asupan obat-obatan selama kehamilan 6. Infeksi
7. Faktor okupasional
Berdasarkan Watkins, Meyer, Strauss, dan Aylsworth (2014) mengemukakan ada 3 faktor risiko labiopalatoskizis, yaitu:
1. Jenis kelamin, ras, dan etnis
2. Faktor lingkungan seperti maternal smoking, nutrisi maternal, konsumsi alkohol di trisemester pertama, asupan multivitamin, konsumsi obat-obat pada masa kehamilan, penyakit maternal, dan polusi udara, kontaminasi lingkungan, dan terpapar organic solventdan.
3. Faktor genetik
2.2.4 Patofisiologi LabioPalatoskizis
Patofisiologis labiopalatoskizis berkaitan dengan perkembangan embriologi wajah dan palato yang bergantung pada formasi sel neural
crest di embrio. Sel-sel ini bermigrasi pada tingkat dan waktu yang berbeda untuk membentuk struktur wajah dan rongga mulut. Bila ada penundaan ataupun gangguan bisa mengakibatkan terjadinya celah (Kummer A. W., 2020)..
Penutupan embrio bibir (dan alveolar ridge) dimulai sekitar minggu ke 7 masa kehamilan, sedangkan penutupan langit-langit dimulai sekitar minggu 9 masa kehamilan. Perkembangan embrio berlansung dari incisive foramen keluar ke perifer. Pola clefting bermula pada perifer dan mengikuti garis dari fusi embriologi normal menuju incisive foramen yang mengalami gangguan. Klasifikasi sumbing berdasarkan perkembangan embriologi dengan incisive foramen sebagai titik pemisah antara langit-langit primer dan langit-langit sekunder (Kummer A. W., 2020).
Gambar 2.1 Perkembangan embriologi dan pola clefting.
Alveolar ridge merupakan struktur pertama yang terbentuk. Dimulai dari area incisive foramen, proses fusi dari anterior untuk membentuk
dinding alveolar melalui fusi premaxilla dengan tulang maxilariadi garis gigi seri bilateral. Kemudian penutupan membentuk dasar hidung luarlalu turun ke bawah membentuk bibir atas. Prolabium dan dua segmen bibir lateral bibir atas kemudian menyatu, membentuk philtrum dan ridge philtral.
Bagian terakhir dari bibir atas yang harus diisi adalah vermilion (Kummer A. W., 2020)..
Sebelum fusi palatal, lidah berada pada posisi superior dan posterior di nasofaring. Selain itu, tulang palatal vertikal dan diposisikan di setiap sisi lidah. Sekitar usia kehamilan 7 atau 8 minggu, mandibula mulai jatuh ke bawah dan ke depan, membawa lidah ke bawah dan ke depan dengan itu. Setelah lidah keluar dari jalan, tulang palatal bergerak dari posisi vertikal ke horizontal. Tulang palatal kemudian mulai menyatu dengan premaxilla di daerah foramen tajam. Proses fusi dalam kasus ini bergerak ke arah posterior untuk memadukan tulang palatal di garis tengah sepanjang garis median palatine untuk menyelesaikan pembentukan palatum keras. Tulang vomer, yang membentuk bagian septum hidung, bergerak ke bawah untuk menyatu dengan permukaan superior palatum keras, sehingga melengkapi pemisahan rongga hidung menjadi dua bagian. Setelah langit-langit keras terbentuk, velum menyatu di garis tengah, membentuk median raphe. Terakhir, uvula terbentuk.
Penggabungan palatum keras dan velum biasanya selesai pada usia kehamilan 12 minggu (Kummer A. W., 2020).
2.2.5 Klasifikasi LabioPalatoskizis
Ada beberapa klasifikasi celah orofasial yang diberikan oleh beberapa penulis. Namun pada dasarnya, dalam review Subramanyam (2020), klasifikasi dibagi menjadi 2 kategori, yaitu:
1. Klasifikasi embriologi a. Embriologi labioskizis
Labioskizis unilateral terjadi akibat dari kegagalan proses maxillarymenyatu dengan proses hidung medial di salah satu sisi, sedangkan pada labioskizis bilateral merupakan hasil dari kegagalan proses maxillary untuk bergabung dengan proses hidung medial di kedua sisi, labioskizis median dihasilkan dari kegagalan hidung medial proses untuk menggabungkan dan membentuk segmen intermaxillary, labioskizis miring hasil dari kegagalan proses maxillary untuk menyatu dengan proses hidung lateral.
b. Embriologi palatoskizis
Palatoskizis anterior terjadi akibat kegagalan fusi proses palatina lateral yang gagal menyatu dengan langit-langit primer, palatoskizis posterior terjadi akibat kegagalan fusi proses palatina lateral dengan satu sama lain & dengan septum hidung, langit palatoskizis lengkap (anterior & posterior) hasil dari kegagalan fusi proses palatina lateral satu sama lain, dengan septum hidung dan palatum primer.
2. Klasifikasi morfologi
a. David dan Ritchie mengklasifikasikan celah menjadi 3 grup, yaitu:
celah pre-alveolar, celah post-alveolar, dan celah alveolar. Terdapat subklasifikasi celah unilateral, celah median, dan celah bilateral.
Gambar 2.2 Klasifikasi David Ritchie
b. Fogh-Anderson mengklasifikasikan celah menjadi 3 grup, yaitu:
celah bibir, celah palate, serta celah bibir dan langit-langit. Terdapat subklasifikasi celah unilateral dan celah bilateral.
c. Veau mengklasifikasikan celah bibir menjadi empat kelompok besar; Grup 1: Bentukan unilateral vermillion, Grup 2: Celah pada vermillion dan bibir, Grup 3: Celah pada vermillion, bibir dan lantai hidung, Grup 4: Celah bilateral bibir lengkap.
Gambar 2.3 Klasifikasi celah bibir Veau
Veau juga mengklasifikasikan celah langit-langit menjadi empat kelompok utama; Grup A: celah langit-langit lunak, Grup B:
celah langit-langit lunak dan keras, Grup C: celah langit-langit
keras, lunak, alveolus dan bibir (unilateral), Grup D: celah langit- langit keras, lunak, alveolus dan bibir (bilateral).
Gambar 2.4 Klasifikasi celah palatum Veau.
2.2.6 Komplikasi LabioPalatoskizis
Adanya kondisi labiopalatoskizis ini dapat menyebabkan beberapa masalah yang kemungkinan muncul tergantung bentuk celahnya.
Menurut Kummer (2020), permasalahan yang muncul yaitu:
1. Gangguan makan akibat kondisi celah
2. Developmental delay akibat sindrom kraniofasial dan riwayat celah palatum.
3. Deficit bahasa dan gangguan perkembangan suara.
4. Aspek psikososial
a. Masalah keluarga seperti shock, malu, stres
b. Masalah sekolah seperti kemampuan belajar, interaksisosial, bullying, persepsi diri.
c. Masalah social seperti kualitas bicara, gangguan pendengaran, stigma
d. Masalah tingkah laku, mental dan kualitas hidup
2.2.7 Manajemen Klinis LabioPalatoskizis
Zajac dan Vallino (2017) membagi manajemen klinis labiopalato- skizis berdasarkan prespektif perkembangan anak, yaitu
1. Dari lahir hingga usia 3 tahun
Bayi yang terlahir dengan labiopalatoskizis mungkin menghadapi prosedur medis dan gigi selama tahun pertama kehidupan. Tabel 2.3 dibawah ini menunjukkan prosedur medis yang mungkin dihadapi anak.
Tabel 2.1 Prosedur medis pada bayi
Prosedur Perkiraan umur
Rekonstruksi bibir atau hidung 2-3 bulan Primary alveolar bone grafting 12 bulan
Gingivoperiosteoplasty Saat perbaikan bibir
Perbaikan palatum 8-14 bulan
Myringotomy/tubes Saat perbaikan palatum
Glossopexy 1-2 minggu (bayi dengan Pierre
Robin) Pemanjangan mandibula dengan
distraksi osteogenesis 1-2 bulan (bayi dengan Pierre Robin)
Selain prosedur diatas, gangguan pendengaran juga menjadi komplikasi celah orofasial. Gangguan ini dapat berdampak pada perkembangan bicara dan bahasa dan aspek lain kehidupan anak.
Kerugian bisa bersifat sementara atau permanen, ringan atau berat.
Dalam setiap dan semua kasus, ahli patologi bahasa bicara harus memiliki pemahaman lengkap tentang gangguan dan etiologinya.
Perawatan standar termasuk pemantauan dan tindak lanjut otologis dan audiologis rutin. Pengasuh harus diberitahu tentang kondisi otopatologis yang mempengaruhi pendengaran anak mereka dan dampaknya. Saat merawat anak dengan sumbing, ahli patologi bahasa- bicara harus mengetahui riwayat pendengaran anak dan status
pendengaran dan pendengaran anak saat ini, dan merujuk untuk pengujian jika atau ketika kekhawatiran timbul. Berbicara dan berbahasa harus dimonitor pada awal tahun ketiga.
2. Usia dini hingga usia sekolah menengah
Selain dilakukan pemeriksaan fungsi bahasa dan bicara, pemberian support linguistic, kognitif dan juga sosial juga diperlukan.
Karena pada masa ini anak mulai berinteraksi dengan teman sebaya dan orang lain. Dalam sebuah review ditemukan bahwa anak dapat mengalami masalah perilaku, dan bullying, temperamen buruk, konsep diri yang rendah.
Ada juga terapi yang dilakukan untuk manajemen secondary ketidakadekuatan velofaringeal (VPI). Gejala wajib VPI seperti asperperalitas, tekanan udara mulut yang lemah, dan emisi udara hidung tetap ada pada beberapa anak dengan celah yang sudah diperbaiki. Dalam beberapa kasus, pendekatan perilaku seperti biofeedback instrumental selama berbicara mungkin efektif dalam mengurangi atau menghilangkan gejala. Namun, dalam banyak kasus, manajemen fisik mekanisme velopharyngeal melalui pembedahan atau prosthetics akan diperlukan untuk menghilangkan gejala.
Perbaikan celah alveolar merupakan tonggak penting bagi pasien yang lahir dengan bibir sumbing dan langit-langit mulut. Ini melengkapi pemisahan anatomi yang tepat dari rongga mulut dan hidung dengan menyatukan segmen rahang yang pernah dipisahkan oleh celah. Dengan demikian, ini memberikan manfaat struktural, fungsional, dan estetika kepada pasien. Evaluasi dan perawatan
menyeluruh dari pasien dan efek dari sumbing pada bicara, pertumbuhan gigi, dan kerangka wajah membutuhkan komunikasi, kerja sama yang erat, dan koordinasi perawatan di antara berbagai disiplin ilmu, termasuk ahli patologi bahasa-bahasa, ahli bedah, dan spesialis gigi.
3. Remaja hingga dewasa
Pada usia ini defisiensi midface adalah fitur bawaan yang umum dari beberapa anomali kraniofasial, kehadirannya pada pasien dengan bibir sumbing dan langit-langit mulut dapat menjadi iatrogenik.
Kemajuan teknologi dalam pengobatan, yaitu, osteogenesis gangguan, telah memungkinkan untuk koreksi yang sangat baik dari kelainan struktural dengan peningkatan penampilan wajah dan hubungan oklusal fungsional. Efek perawatan pada bicara, meskipun campuran, sangat sering salah satu perbaikan. Secara keseluruhan, pasien tampaknya puas dengan hasil fungsional dan estetika. Dukungan pasien dan pengasuh adalah komponen penting dalam manajemen keseluruhan pada mereka yang menjalani operasi rahang atas.
Penilaian pretreatment dan posttreatment terstandar adalah kunci dalam mengevaluasi efek perawatan dari waktu ke waktu. Termasuk langkah- langkah QOL, seperti kepuasan pengobatan dan fungsi sosial, konsisten dengan dorongan menuju perawatan berkualitas dan perbaikan berkelanjutan.
2.3 Konsep Kualitas Hidup yang Terkait Kesehatan Mulut (OHRQoL)
2.3.1 Definisi Kualitas Hidup yang Terkait Kesehatan Mulut (OHRQoL) Baiju et al (2017) mengemukakan bahwa terdapat beberapa definisi OHRQoL, beberapa definisi sebagai berikut.
Tabel 2.2 Definisi Kualitas Hidup terkait dengan Kesehatan Mulut
Nama, tahun Definisi Kualitas Hidup yang terkait Kesehatan Mulut Gift, Atchison &
Dayton (1997) Self-report yang khusus tentang kesehatan mulut yang berkaitan dengan dampak fungsional, sosial, dan psikologis dari penyakit mulut
Locker, Clarke, &
Payne (2000;2002) Gejala dan dampak fungsional dan psikososial yang berasal dari penyakit dan gangguan mulut
NIDCR US Surgeon
Generals Report (2000) Konstruksi multidimensi yang mencerminkan kenyamanan individu saat makan, tidur, ber interaksi sosial; harga diri mereka; dan kepuasan mereka berhubungan dengan kesehatan mulut mereka
Inglehart &
Bagramian (2011) Penilaian individu tentang hal-hal yang mempengaruhi kesejahteraannya yaitu faktor fungsional, faktor psikologis, faktor sosial, dan pengalaman nyeri / ketidaknyamanan terkait masalah orofasial
Dapat disimpulkan definisi OHRQoL merupakan penilaian subjektif individu tentang dampak kondisi kesehatan mulut terhadap fungsi kesehariannya. Domain dari OHRQoL yaitu faktor fungsional, faktor psikologis, faktor sosial, dan pengalaman nyeri/ketidaknyamanan.
Pengukuran kualitas hidup anak sangat penting. Sekitar 2,5 miliar atau sekitar 32% populasi dunia berusia di bawah 20 tahun (United Nations, 2015). Anak merupakan kelompok yang rentan. Anak-anak tidak dapat mengidentifikasi dan memenuhi kebutuhan mereka sendiri, bergantung pada orang dewasa untuk bertindak atas hak mereka, termasuk hak untuk hidup yang berkualitas. Selain itu, kualitas hidup anak-anak penting untuk diperiksa karena untuk menentukan apakah ada
peningkatan atau penurunan sebagai respons terhadap perubahan yang dapat mempengaruhi anak (Wallander & Koot, 2016).
2.3.2 Dimensi OHRQoL
*Kecuali grup non pasien
Skema 2.1. Dimensi OHRQoL
Menurut Sischo dan Broder (2011) mengemukakan dimensi- dimensi yang biasa terdapat di instrumen OHRQoL adalah sebagai berikut.
a. Dimensi Kesehatan Mulut; kondisi kesehatan mulut mempengaruhi kemampuan individu dalam melakukan aktivitas. Kesehatan mulut ini mencakup nyeri, gusi berdarah, jarak antara gigi.
b. Dimensi Fungsi; keterbatasan fungsional seperti menguyah atau berbicara dapat berdampak terhadap keguatan sehari-hari.
c. Dimensi Lingkungan; lingkungan seperti sekolah atau pekerjaan merupakan tempat untuk melakukan aktivitas keseharian, termasuk juga sarana dan prasarana yang dapat menunjang kehidupan.
OHRQoL Kesehatan Mulut
•Nyeri
•Gusi berdarah
•Jarak antara gigi
Fungsi
•Menguyah
•Berbicara
Ekspektasi pengobatan*
•Kepuasan Lingkungan
•Sekolah
•Pekerjaan Sosial/
Emosional
•Kecemasan
•Ketertarikan
•Ketidaksenangan
d. Dimensi Sosial/Emosional; dimensi yang berkaitan dengan ekspresi emosional individu terhadap suatu kondisi serta hubungan atau interaksi individu dengan orang lain yang juga merujuk pada perasaan atau pikiran. Dimensi ini mencakup kecemasan, ketertarikan, dan ketidaksenangan
e. Dimensi Ekspektasi pengobatan; dimensi yang hanya terdapat pada individu yang sedang menjalani pengobatn. Dimensi ini mencakup kepuasan individu.
2.3.3 Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Kualitas Hidup Anak
Menurut hasil proyeksi penduduk Badan Pusat Statistik (BPS) pada tahun 2018 menunjukkan bahwa kurang lebih sepertiga penduduk di Indonesia merupakan anak-anak yaitu sebesar 30,1 persen atau 79,55 juta jiwa penduduk berusia 0-17 tahun (Windiarto dkk, 2019). Setiap anak memiliki hak untuk memiliki kualitas hidup yang baik. Menurut Sischo dan Broder (2011) yang mengembangkan model konsep dari Wilson dan Cleary (1995) yang menghubungkan status kesehatan atau variabel klinis (misalnya jenis/tingkat kelainan), status fungsional (misalnya bicara), penampilan mulut-wajah, status psikologis, OHRQoL, dan kualitas hidup secara umum. Model tersebut menunjukkan efek faktor lingkungan atau kontekstual (misalnya faktor sosial budaya, pendidikan, struktur keluarga) dan akses perawatan terhadap persepsi kesehatan mulut dan kualitas hidup terkait kesehatan mulut.
Skema 2.2 Kerangka teori OHRQoL Broder dan Sischo (2011)
OHRQoL dapat dipengaruhi oleh beberapa faktor. Menurut Kragt-de Roos (2017), terdapat beberapa faktor non klinis yang mempengaruhi OHRQoL, yaitu seperti faktor lingkungan dan kualitas personal, kebutuhan subjektif perawatan ortodontik, umur, jenis kelamin, etnis, harga diri dan faktor sosial ekonomi. Dalam review Malele-Kolisa et al (2019), faktor yang mempengaruhi OHRQoL yaitu karies gigi, kondisi mulut selain karies gigi, status sosio-ekonomi, area penduduk, kepuasan terhadap kesehatan mulut, perawatan gigi dan infeksi gingiva. Selain itu masih ada 7 faktor lain dikutip oleh penulis lain yaitu: visual impairment, efikasi diri rendah, afilasi religious, kehilangan gigi, frekuensi menggosok gigi, indeks plak, dan intake snak manis. Menurut analisis model konsep yang dilakukan oleh Buldur dan Guvendi (2019), faktor yang mempengaruhi OHRQoL anak yaitu status sosioekonomi orang tua.
Dental anxiety, childhood dental anxiety, kebiasaan dalam kesehatan mulut dan OHRQoL.
2.3.4 Alat Ukur OHRQoL Anak
Pengukuran self-report OHRQoL terhadap anak merupakan sebuah tantangan karena anak yang masih sangat kecil cenderung menjadi informan yang tidak bisa diandalkan. Anak akan terus tumbuh dan berkembang sehingga diperlukan pengukuran yang berbeda untuk berbagai usia. Pada tahun 2000, Broder, Reisine, dan Locker menyusun kuisioner anak yaitu Child Perceptions Questionnaire (CPQ) dan Child Oral Health Impact Profile (COHIP). Adapula tinjauan pengukuran OHRQoL anak yang memerlukan pengasuh sebagai informan seperti Parent-CPQ, Early Childhood Oral Health Impact Scale (ECOHIS), dan COHIP-Preschool (Thomson & Broder, 2017). Menurut Gilchrist et al (2014) secara sistematis terdapat 3 intrumen self-report OHRQoL anak yang sering digunakan yaitu CPQ, Child-OIDP (Child Oral Impacts on Daily Performance), dan COHIP.
Tabel 2.3 Tinjauan Instrumen OHRQoL anak
Instrumen Rentang
umur Jumlah
Item Short Form Anak sebagai informan
Child Perceptions Questionnaire (CPQ) 8–14 37 Ada (16 item dan 8 item)
Child Oral Impacts on Daily
Performances (Child-OIDP) 10–12 8 Tidak ada
Child Oral Health Impact Profile
(COHIP) 7–18 34 Ada (19 items)
Scale of Oral Health Outcome 5 5 Tidak ada
Wakil sebagai informan Early Childhood Oral Health
Impact Scale (ECOHIS) <8 9 Tidak ada
COHIP-Preschool <2-6 9 Tidak ada
Parent-CPQ <8 33 Ada (8 item dan
16 item)
Dari semua instrument diatas, COHIP merupakan satu-satunya intrumen yang telah diuji dan divalidtas menggunakan populasi labiopalatoskizis. Selain itu, COHIP sejalan dengan perspektif QoL teoritis saat ini yang mengukur dampak negatif dan positif (Broder, Wilson-Gendersonn, & Sischo, 2012). COHIP pertama kali dikembangkan oleh Broder et al pada tahun 2007 untuk menilai dampak sosial dari kelainan gigi dan rongga mulut pada anak usia sekolah.
COHIP versi asli dalam bahasa Inggris, Spanyol, dan Perancis, namun telah diterjemahkan ke dalam bahasa Belanda, Korea, Persia dan Indonesia yang telah diuji dan terbukti dapat diandalkan. Instrument ini terdiri dari 34 item dengan lima domain terpisah yaitu kesehatan Mulut mencakup gejala mulut yang bervariasi/spesifik (misalnya, sakit gigi, gusi berdarah); kesejahteraan fungsional mengungkapkan kemampuan untuk melakukan fungsi sehari-hari (misalnya, makan, berbicara dengan jelas); socioemotional Well-being membahas interaksi teman sebaya dan suasana hati; Sekolah/lingkungan melibatkan tugas-tugas yang berhubungan dengan sekolah; dan harga diri menggabungkan perasaan positif tentang diri sendiri. COHIP menggunakan skala lima poin mulai dari 'tidak pernah' hingga 'hampir selalu' (Broder &
Wilson-Genderson, 2007).
Sejak tahun 2012 instrumen ini telah dipersingkat dan dikembangkan menjadi Child Oral Health Impact Profile-Short Form (COHIP-SF 19) disingkat menjadi 19 item dan 3 subskala yaitu oral health, functional well-being, dan socio- emotional well-being (Karamoy, Darwita, & Maharani, 2014). Kemudian pada tahun 2017 juga telah dikembangkan COHIP Preschool untuk anak usia 2-5 tahun (Ruff, Broder, Sischo, & Chinn, 2017).