• Tidak ada hasil yang ditemukan

TEMA ISLAMI DALAM GENRE FILM DI INDONESIA TAHUN 1959-2008 SKRIPSI

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2019

Membagikan "TEMA ISLAMI DALAM GENRE FILM DI INDONESIA TAHUN 1959-2008 SKRIPSI"

Copied!
79
0
0

Teks penuh

(1)

TEMA ISLAMI DALAM GENRE FILM DI

INDONESIA TAHUN 1959-2008

SKRIPSI

Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana

Humaniora (S.Hum)

Oleh :

EDO NABIL AROVI

216-14-003

JURUSAN SEJARAH PERADABAN ISLAM

FAKULTAS USHULUDDIN, ADAB DAN HUMANIORA

INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI

(2)
(3)

PERNYATAAN KEASLIAN TULISAN

DAN

KESEDIAAN DIPUBLIKASIKAN

Saya yang bertanda tangan di bawah ini :

Nama : Edo Nabil Arovi

NIM : 21614003

Fakultas : Ushulluddin, Adab dan Humaniora

Jurusan : Sejarah Peradaban Islam

Menyatakan bahwa naskahskripsi saya berjudul “Tema Islami dalam Genre Film di Indonesia Tahun 1959-2008“ adalah benar-benar hasil penelitian/karya saya sendiri, kecuali pada bagian-bagian yang dirujuk sumbernya berdasakan kode etik ilmiah, dan bebas dari plagiatisme. Jika kemudian hari terbukti ditemukan plagiarisme, maka saya siap ditindak sesuai dengan ketentuan yang berlaku.

Salatiga, 08Oktober 2018 Yang menyatakan,

(4)

PERSETUJUAN PEMBIMBING

Setelah dikoreksi dan diperbaiki, maka skripsi Saudara:

Nama : Edo Nabil Arovi

NIM : 21614003

Fakultas : Ushuluddin, Adab dan Humaniora

Program Studi : Sejarah Peradaban Islam

Judul : Tema Islami dalam Genre Film di

Indonesia Tahun 1959-2008

telah kami setujui untuk dimunaqosyahkan.

Salatiga, 08 Oktober 2018

Pembimbing

(5)

PENGESAHAN KELULUSAN

Skripsi Saudara Edo Nabil Arovi dengan Nomor Induk Mahasiswa 21614003 yang

(6)

MOTTO DAN PERSEMBAHAN

MOTTO

Masa depan bergantung dari sekarang, jika anda melakukannya dengan sangat baik bagi hidup anda, maka sejarah anda akan bermakna.

Jangan pernah mengeluh dan mengatakan tidak bisa, lakukan hal

apapun (jika itu baik) dengan selalu bersyukur dan ikhlas”.

(Edo Nabil Arovi)

PERSEMBAHAN

Skripsi ini saya persembahkan untuk kedua orang tua saya tercinta yang

telah memberi dukungan materi dan moral serta tak pernah lelah

mendoakan saya.

Untuk Bapak Haryo Aji yang selalu sedia membimbing disetiap kesulitan

saya dalam menyelesaikan skripsi ini.

Teruntuk Ayahanda tercinta, Mohammad Akhsin, yang selalu bekerja

keras demi kelangsungan hidup saya.

Teruntuk Ibunda tercinta, Dyah Anggraini, yang selalu mendoakan saya

dalam keadaan apapun.

Teruntuk Kakak Tercinta. Hanif Aditya Iga Nugraha, yang menjadi

(7)

Teruntuk keluarga besar Bani Rastawi dan Keluarga Mbah Suwarno yang

selalu mendukung dan memberi semangat kepada saya.

Teruntuk orang terkasih yang selalu mensuport dan membantu saya

dalam penyelesaian skripsi ini.

Teruntuk sahabat dan keluargaku mahasiswa Sejarah Peradaban Islam

angkatan 2014.

Teruntuk teman-teman HMI Cabang Salatiga yang telah membantu saya

memberikan inspirasi dan pengalaman hidup saya.

Teruntuk keluarga besar IMKS yang telah bersediameluangkan waktunya

untuk berbagi inspirasi.

Untuk teman-teman seperjuangan yang selama ini menemai saya hingga

(8)

ABSTRAK

Perkembangan film religi Islam telah banyak mewarnai wajah perfilman Indonesia yang tidak bisa terlepas dari pengaruh modernisasi terhadap nilai-nilai budaya Islam dalam masyarakat. Film religi Islam merupakan kajian media visual berisikan nilai-nilai dasar dan simbol-simbol agama Islam dengan tujuan dakwah yang dimaksudkan untuk mengenalkan Islam dalam ruang publik. Mengenai film bertemakan Islam tidak bisa terlepas dari pengaruh kebangkitan Islam pasca kemerdekaan Indonesia, dimana terjadi pergulatan politik antar dua kubu besar, yaitu Komunis dan Islam. di Indonesia pada masa Orde Baru memang baru menggeliatnya kajian atau budaya Islamisme yang menginspirasi para mahasiswa dan orang-orang kelas menengah untuk gencar-gencarnya membuat gerakan Islamisasi. Meningkatnya jumlah perempuan berjilbab dan munculnya budaya pop bertema Islam, seperti novel, progam televisi, sinetron, lagu-lagu dan sebagainya menjadi indikator yang signifikan yang menunjukkan identitas Islam yang di ekspresikan dalam ruang publik.

Jenis penelitian ini menggunakan metode penelitian sejarah, dimana terdapat metode heuristik, verifikasi, intepretasi, dan hisoriografi

dengan menggunakan perspektif Islam. Penelitian ini dilakukan karena melihat banyaknya perbincangan mengenai film-film bertemakan Islam yang relatif potensial untuk dijual.

(9)

KATA PENGANTAR

Segala puji dan syukur hanya bagi allah swt, tuhan semesta alam, yang telah memberikan rahmat dan hidayah-nya kepada kita semua. Sehingga penulis mampu menyelesaikan karya tulis yang berbentuk skripsi ini dengan lancar. Shalawat serta salam semoga tetap tercurahkan kepada nabiyullah nabi muhammad saw beserta keluarga, sahabat-sahabatnya, dan tabiin-tabiin. Sungguh suatu pekerjaan yang tidak mudah bagi penulis dalam mencari, mengumpulkan, menyeleksi, menganalisis, dan menulis data-data yang berkaitan dengan masalah yang diteliti. Namun berkat usaha, kesabaran, dan do‟a akhirnya skripsi ini dapat terselesaikan.

Skripsi ini penulis susun dalam rangka memenuhi tugas dan melengkapi syarat guna untuk memperoleh gelar sarjana humaniora. Adapun judul skripsi ini adalah “Tema Islami dalam Genre Film di Indonesia Tahun 1959-2008” penulis menyadari bahwa penyelesaian skripsi ini dapat terlaksana berkat bantuan dari berbagai pihak. Oleh karena itu, perkenankanlah penulis menyampaikan ucapan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada:

1. Bapak Dr. Rahmat Hariyadi, M.Pd. selaku Rektor IAIN Salatiga

2. Bapak Dr. Benny Ridwan, M.Hum. selaku Dekan Fakultas Ushuluddin, Adab, dan Humaniora IAIN Salatiga.

3. Bapak Haryo Aji Nugroho, S.Sos. M.A. selaku Ketua Jurusan Sejarah Kebudayaan Islam IAIN Salatiga dan selaku Dosen Pembimbing Skripsi penulis yang berkenan memberikan pengarahan, meluangkan waktu serta mencurahkan waktu dalam membimbing penulis untuk menyelesaikan skripsi ini.

(10)
(11)

DAFTAR ISI

Halaman Judul ... i

Pernyataan Keaslian Tulisan ... ii

Persetujuan Pembimbing... iii

Pernyataan Kelulusan ... iv

Motto Dan Persembahan ... v

B. Rumusan Masalah dan Ruang Lingkup Penelitian ... 4

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian ... 5

D. Tinjauan Pustaka ... 6

E. Kerangka Konseptual ... 7

F. Metode Penelitian ... 10

G. Sistematika Penulisan ... 14

II. PERFILMAN NASIONAL TAHUN 1900-1959... 16

A. Lahir dan Perkembangan Indusri Film di Indonesia .... 16

B. Perfilman Indonesia Masa Penjajahan hingga Peralihan ... 20

1. Film Propaganda ... 20

2. Film Perjuangan ... 24

C. Perkembangan Film Nasional di Indonesia ... 26

III. AKHLAK ISLAMIYAH DALAM FILM RELIGI ISLAM TAHUN 1959-2000 ... 29

A. Lonjakan Pertama Film “Titian Serambut Dibelah Tujuh” ... 29

B. Genre Film Religi bertemakan Islam ... 31

(12)

2. Film Religi Drama-Musikal ... 34

3. Film Religi Horor ... 35

C. Pengaruh Islam dalam Film Indonesia Masa Orde Baru ... 36

IV. DOMINASI PERCINTAAN DALAM FILM RELIGI ISLAM TAHUN 2000-2008 ... 40

A. Dari Foklor hingga Ekranisasi Novel ... 40

B. Film Ayat-Ayat Cinta : “Booming-nya” Film Religi Islam di Indonesia ... 42

V. PENUTUP ... 46

A. Kesimpulan ... 46

B. Saran... 48

DAFTAR PUSTAKA ... 49 LAMPIRAN

(13)
(14)

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Film layar lebar sudah menjadi tontonan yang relatif diminati oleh masyarakat secara luas di Indonesia. Dua dekade terakhir, produksi film di Indonesia telah meningkat pesat baik kualitas maupun kuantitas, yang bukan hanya diminati oleh warga Indonesia sendiri, namun dikenal di negara lain juga menikmati film indonesia. Seperti misalnya, film Tjoet Nja’ Dhien (1988), film yang menceritakan tentang perjuangan Pahlawan Naional melawan penjajah yang dibintangi oleh Cristine Hakim dan disutradarai oleh Eros Djarot berhasil mengundang penonton sebanyak 214 ribu penonton dan menjadi film pertama yang diputar dalam Festival Film Channes.1 Kemudian film The Mirror Never Lies atau Laut Bercermin (2001) dengan sutradaranya Kamila Adini berhasil diputar di sejumlah festival internasional, seperti Busan International Film Festival,Vancouver International Film Festival, Mumbai Film Festival, Tokyo International Film Festival, Seattle International Film Festival, dan Melbourne International Film Festival. Film Ini juga memenangkan Naskah Asli Terbaik dalam Festival Film Indonesia tahun 2001.2 Itulah beberapa prestasi yang diraih para sineas Indonesia yang sukses dengan filmnya.

Namun, jika dilihat dari perkembangannya, kemunculan “gambar Idoep” atau perfilman Indonesia mulai dikenal oleh masyarakat Indonesia sejak awal abad ke-20.3 Hal ini dapat dilihat dari sejumlah iklan di surat kabar pada masa itu.4 Kemunculan film Indonesia tidak terlepas dari

1

https://www.liputan6.com/showbiz/read/2471476/8-film-indonesia-yang-sukses-mendunia, diakses pada 4 September 2018 pukul 11.31 WIB.

2

Ibid.

3

Biran, Misbach Yusa,Sejarah Film 1900-1950,Cet. II, Komunitas Bambu dan Dewan Kesenian Jakarta, (Jakarta: 2009), hlm. xvi.

4

(15)

kebudayaan yang dibawah oleh orang-orang Eropa untuk menonton sebuah panggung hiburan yang bertransformasi dari era tradisional seperti pertunjukan opera menuju ke era digital seperti film.

Pada awalnya hanya dikenal film hitam putih dan tanpa suara atau

dikenal dengan sebutan “film bisu”. Di Indonesia, film bisu pertama kali

diproduksi tahun 1926 dengan judul “Loetoeng Kasaroeng” oleh perusahaan NV Java Film Company, dan diputar pertama kali pada Jum’at malam, 31

Desember 1926, di Bioskop Elita dan Oriental.5 Setelah berakhirnya film bisu, kemudian berkembang pula “film bicara” yang dibuat untuk penonton

utama kalangan Cina yang berjudul “Boenga Roos dari Tjikembang” oleh

perusahaan Cino Motion Picture pada tahun 1931.6

Seiring perkembangannya, film Indonesia memproduksi berbagai macam film dengan genre yang cukup bervariasi. Misalnya film horror, komedi, drama, action,thriller, bahkan religi yang bertemakan Islam dalam dua dekade terakhir.

Sebenarnya, film-film bertemakan Islam pada dasarnya cukup mendominasi dalam berbagai genre yang berkembang. Apabila dari film tersebut menceritakan tokoh Kyai atau sesuatu yang mengidentik-kan agama Islam seperti sholat, mengaji, dakwah, dan lain sebagainya, itu sudah menunjukkan identitas Islam dalam film dan bisa disebut film religi Islam. Namun ada beberapa faktor yang masih diperbincangkan mengenai karakter film religi Islam.

nanti kasi lihat tontonan amat bagoes jaitu gambar-gambar idoep dari banyak hal...”. Dalam suratkabar yang sama terbitan Selasa 4 Desember 1900, ada iklan yang berbunyi“...besok hari Rebo 5 Desember PERTOENJOEKAN BESAR JANG PERTAMA di dalam satoe roemah di Tanah Abang Kebondjae (MANAGE) moelain poekoel TOEDJOE malem...”.

5

Ibid, hlm. 68.

6

(16)

Genre film religi Islam sendiri mulai menggeliat ketika masa Orde Baru, ketika revolusi Islam besar-besaran yang terjadi di Iran tahun 1979 membuat banyak negara di kawasan Asia Tenggara khususnya Indonesia mulai mengadopsi budaya pop bertema Islam, seperti novel, progam televisi, sinetron-film, lagu-lagu dan sebagainya merupakan indikator yang signifikan yang menunjukkan bagaimana identitas Islam telah diekspresikan dalam ruang publik.7 Didukung pula dengan menggeliatnya para pelajar dan cendekiawan muslim di Indonesia yang mencoba mengapresiasikan identitas Islam dalam ruang publik melalui berbagai media, termasuk film.

Asrul Sani, seorang sutradara legendaris, telah memproduksi beberapa film religi, seperti “Titian Serambut Dibelah Tujuh” dan “Al

-Kautsar”. Film-film lain yang cukup populer di era 80-an adalah film

“Sunan Kalijaga” atau “Walisongo”. Namun film-film religi pada periode revormasi berbeda dengan film-film pada periode Orde Baru. Film-film religi dalam dua dekade terakhir dinilai sebagai komoditas yang potensial untuk dijual. Akibatnya film-film religi seringkali dituduh hanya menjadikan nilai-nilai Islam sebagai bagian dari strategi pemasaran. Nilai-nilai Islam yang ditampilkan hanyalah kemasan yang membungkus kisah romantik yang menjadi narasi dari film tersebut.8

Namun dari kalangan lain, khususnya anak muda, belakangan mulai menaruh perhatiannya terhadap film yang bertemakan cinta, oleh karena itu Hanung Bramantyo, seorang sutradara, melihat peluang untuk membuat film

yang diangkat dari novel yang berjudul “Ayat-Ayat Cinta” karangan Habiburrahman Saerozi yang merupakan film bertemakan cinta dibalut dengan nuansa Islami. Film ini menjadi histori tersendiri, mengingat film ini berhasil meraih jumlah penonton yang relatif sukses yakni sebanyak tiga juta penonton hanya dalam tiga minggu pertama sejak film itu diputar.

(17)

Pencapaian lain dari film ini adalah film ini disaksikan oleh masyarakat dari berbagai kelas dalam masyarakat, yang menarik adalah film ini berhasil membawa komunitas religiusuntuk pergi ke bioskop, padahal sebelumnya mereka tidak pernah berkunjung ke bioskop karena dianggap sebagai tempat yang tidak Islami.9

Karena hal tersebut maka peneliti ingin meneliti lebih mendalam tentang film religi bertemakan Islam utamaya mengenai pengertian, karakter, dan perkembangannya dengan latar belakang budaya keagamaan dan politik tertentu terkait film religi Islam yang belakangan banyak diadopsi dari novel-novel tentang percintaan, persahabatan, baik dari kalangan remaja, hingga dewasa sehingga nantinya dapat menjadikan bahan diskusi yang menarik untuk dibicarakan.

B. Batasan dan Rumusan Masalah

1. Batasan Spasial

Dalam penelitian ini, peneliti akan meneliti tentang film religi Islam tahun 1959 sampai tahun 2008 mulai dari sejarah perfilman nasional, jenis-jenis perfilman nasional, munculnya genre film religi bertemakan Islam, perkembangan film religi Islam masa orde baru, sampai citra film religi Islam pasca orde baru (masa reformasi) dan tanggapan masyarakat mengenai film religi Islam di Indonesia.

2. Batasan Temporal

Pada penelitian ini peneliti akan membatasi kajian penelitian mulai dari tahun 1959, karena pada tahun tersebut mulai berkembang film-film bertemakan Islam yang awalnya adalah untuk mengajarkan ajaran agama

Islam dan akhlak dalam hidup melalui film “Titian Serambut dibelah Tujuh

yang nantinya seiring dengan perkembangannya film religi mulai terdapat

unsur percintaan seperti yang terdapat dalam film “Ayat-Ayat Cinta” tahun 2008.

9

(18)

Berdasarkan pada latar belakang dan jenis penelitian, maka perumusan masalah dari penelitian ini adalah :

1. Bagaimana kondisi perfilman nasional tahun 1900-1959 ?

2. Bagaimana perkembangan film religi bertemakan Islam tahun 1959-2000 ?

3. Mengapa unsur percintaan mendoninasi film religi bertemakan Islam tahun 2000-2008 ?

C. Tujuan dan Kegunaan Penelitian

a. Tujuan

Penelitian tentang perkembangan film religi di Indonesia pada tahun 1959-2008 mempunyai tujuan sebagai berikut :

1. Mengetahui kondisi perfilman nasional tahun 1900-1959.

2. Mengetahui perkembangan film religi bertemakan Islam tahun 1959-2000.

3. Mengetahui alasan unsur percintaan mendominasi film religi bertemakan Islam tahun 2000-2008.

b. Kegunaan Penelitian

Adapun kegunaan dari penelitian ini adalah :

1. Sebagai bahan untuk menambah pengetahuan di bidang sejarah maupun perfilman bahwa perfilman Indonesia khususnya film religi bertemakan Islam merupakan suatu perkembangan media massa visual dengan latar belakang budaya keagamaan dan politik tertentu yang dapat menjadi inspirasi bagi penelitian selanjutnya terkait film religi di Indonesia.

(19)

D. Kajian Pustaka

Kepustakaan merupakan bahan-bahan yang dapat dijadikan acuan dan berhubungan dengan pokok permasalahan yang akan dibahas pada sebuah penulisan skripsi maupun karya tulis. Pada tema diatas, pembicaraan mengenai perfilman Indonesia dan perkembangannya memang bukan merupakan suatu hal yang baru, akan tetapi karya tulis yang meneliti tentang perkembangan film religi Islam dari tahun 1959-2008 belum ditemukan.

Diantara beberapa karya ilmiah yang pernah mengupas tentang perkembangan film di Indonesia adalah buku karangan Misbach Yusa Biran

yang berjudul “Sejarah Film 1900-1950” membahas tentang kemunculan, pembuatan, serta perkembangan film di Indonesia. Dimana pada awalnya masyarakat Indonesia membutuhkan suatu hiburan seperti seni pertunjukan Opera, Wayang dan seni tari lainnya. Namun setelah kemunculan film, panggung hiburan banyak berubah menjadi tempat Layar Tancep (Bioskop). Pasang surut industri perfilman pun cukup mewarnai pertumbuhan film indonesia, mulai dari pemikiran para produser menganut pada penonton, orang panggung tidak berkembang, serta pada saat penjajahan jepang, film dijadikan sebagai media propaganda, yang membuat para produser film tidak dapat berekspresi dengan bebas.Namun di dalam buku tersebut tidak menjelaskan tentang pemikiran religiusitas, sehingga tidak dapat menjelaskan tentang pertumbuhan, serta perkembangan film religi.

Dalam sumber lain, peneliti juga menemukan skripsi karya Nur

(20)

Peneliti juga menemukan tulisan lain, dalam jurnal yang berjudul

“New Wave of Islamic Feminism in the Religious Film Ketika Cinta Bertasbih 2” karya Lukman Hakim, yang membahas tentang warna baru dalam islam feminim diimplementasikan dalam film Religi Ketika Cinta Bertasbih 2. Yang merupakan representasi dari gerakan feminism Islam yang mencoba mendekonstruksi pandangan para muslim fundamentalis yang mensubordinasi perempuan dalam relasinya dengan laki-laki, baik di ranah pendidikan, politik, ekonomi, sosial maupun di ruang domistik, dengan tetap mendasarkan pada rasionalitas agama yang dikontekstualisasikan dengan realitas sosial kontemporer dan tradisi lokal. Namun peneliti tidak menemukan sisi perkembangan film religinya, melainkan lebih menjelaskan tentang karakter feminisme Islam dalam film religi KCB 2.

Dalam jurnal lain dengan judul “Dakwah Dalam Film Islam di Indonesia (Antara Idealisme dan Komoditas Agama)” karya Hakim Syah, yang hampir menyerupai penelitian ini menjelaskan tentang pengertian film Islam dan perkembangan film Islam di Indonesia secara garis besar, namun peneliti tidak menemukan kesamaan antara karya tulis tersebut dengan penelitian ini,melainkan karya tulis tersebut lebih mengarah tentang ideologisme dalam film Islam, berbeda dengan penelitian ini yang lebih membahas tentang perkembangan secara lebih spesifik tentang film religi Islam.

E. Kerangka Konseptual

(21)

terkandung ide, gagasan, pesan, ajaran yang diungkapkan dalam bentuk cerita dan selanjutnya divisualisasikan.10

Lebih jauh, film merupakan gambaran dan realitas sosial yang terjadi di masyarakat yang disajikan kembali dengan logika dan sistematik. Media film ini juga sebagai salah satu sarana bagi umat Islam dalam melaksanakan kewajiban menyampaikan pesan untuk mengajak kepada kebaikan. Seiring dengan perkembangan zaman, film pun mengalami perkembangan genre, mulai dari film bergenre horror, komedi, drama,

action, thriller, bahkan religi dalam dua dekade terakhir, yang mana ini merupakan kabar gembira bagi kita umat Islam untuk proses penyampaian pesan kebaikan kepada khalayak umat.

Menurut The Liang Gie (1976), tema merupakan ide pokok yang dipersoalkan dalam karya seni. Ide pokok suatu karya seni dapat dipahami atau dikenal melalui pemilihan subject matter (Pokok soal) dan judul karya. Pokok soal dapat berhubungan dengan nilai estetis atau nilai kehidupan. Contohnya dalam kajian ini adalah mengenai film religi Islam di Indonesia.

Menurut Alicia, dalam bukunya Gender and Islam in Indonesian Cinema, menjelaskan bahwa film bergenre religi Islam adalah film yang dibuat oleh orang Islam untuk tujuan dakwah dan dibuat sebagaimana mungkin menggunakan audiovisual sehingga para penonton bisa mengetahui dan beranggapan bahwa film tersebut adalah film Islam.11

Sedangkan menurut M.J. Wright, dalam bukunya, Religion and film: an introduction(2007). Film religi merupakan film yang didalamnya terdapat unsur atau gagasan-gagasan agama yang bersumber dari kitab suci,ritual atau aktivitas kegamaan, serta komunitas agama, bahkan menampilkan

10

Sifaul Fauziyah, Representasi Pesan Sedekah dalam Film Kun Fayakun, Yogyakarta : Fakultas Dakwah dan komunikasi Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan Kalijaga, 2012, hlm. 6.

11

(22)

secara implisit tentang ideologi, life style, keramahtamahan, dan lain sebagainya yang berkaitan dengan tema-tema keagamaan.12

Dalam beberapa film religi yang ditayangkan di Indonesia, selain untuk menunjukkan citra Islam tujuan lainnya adalah untuk berdakwah. Samsul Munir Amin, dalam bukunya Ilmu Dakwah (2009) menyebutkan bahwa dakwah merupakan bagian yang sangat esensial dalam kehidupan seorang muslim, dimana esensinya berada pada ajakan dorongan (motivasi), rangsangan serta bimbingan terhadap orang lain untuk menerima ajaran agama Islam dengan penuh kesadaran demi keuntungan dirinya dan bukan untuk kepentingan pengajaknya.13

Sejalan dengan gagasan yang dikemukakan budayawan

Kuntowijoyo, dalam bukunya, Muslim Tanpa Masjid (2001), hendaknya umat Islam juga memahami dan menyeru kepada kebaikan, terutamanya dalam hal menyampaikan dakwah secara terang-terangan dalam bentuk media apapun.14 Lebih jauh, kuntowijoyo mengatakan bahwa umat Islam dalam berdakwah sebenarnya mempunyai pekerjaan rumah. Salah satunya adalah perubahan sistem pengetahuan. Yaitu pengetahuan tentang aktualisasi Islam dalam masyarakat luas.15 Melalui media film religi bisa menjadi bagian dari aktualisasi Islam dalam masyarakat luas, sehingga dapat tersampaikan nilai-nilai Islam di dalam masyarakat modern yang dimulai dalam satu dekade terakhir.

Setelah melakukan dakwah maka output-nya adalah akhlak yang baik. Imam Al-Ghazali, dalam bukunya Ihya’ Ulum al-Din, Juz III, menjelaskan bahwa akhlak adalah sifat yang tertanam dalam jiwa manusia yang melahirkan tindakan-tindakan mudah dan gampang tanpa memerlukan

12

M.J. Wright, Religion and film: an introduction, ib. Tauris, London & New York, 2007, hlm. 2-6.

13

Samsul Munir, Ilmu Dakwah, Jakarta, Amzah, 2009, hlm. 6.

14

Kuntowijoyo.,Muslimtanpa Masjid, Bandung : Mizan, 2001, hlm. 136.

15

(23)

pemikiran ataupun pertimbangan.16 Akhlak sendiri menempati posisi yang sangat penting dalam Islam, sehingga setiap aspek dari ajaran agama Islam itu selalu berorientasi pada pembentukan dan pembinaan akhlak yang mulia, yang disebut al-akhlâq alkarîmah. Akhlakiyah (moralisme) menjadi karakter Islam karena akhlakiyah merasuk kedalam semua eksistensi Islam dan dalam semua ajarannya, sampai kepada akidah, ibadah, dan mu'amalah, serta masuk ke dalam politik dan ekonomi.17

Kemudian konsep yang terakhir adalah mengenai percintaan dalam perspektif Islam. Erich Fromm dalam bukunya The Art of loving, Erich Fromm (1983) menyatakan bahwa cinta sebagai alat untuk mengatasi keterpisahan manusia,sebagai pemenuhan kerinduan akan kesatuan.tetapi di atas kebutuhan eksistensi dan menyeluruh itu, timbul suatu kebutuhan biologis, yang lebih spesifik yaitu keinginan untuk menyatu antara kutub-kutub jantan dan betina. Ide pengutupan ini diungkapkan dengan adanya mitos bahwa pada mulanya laki-laki dan wanita adalah satu, kemudian mereka dipisahkan menjadi setengah setengah dan sejak itu sampai seterusnya, setiap laki-laki terus mencari belahan wanita yang hilang dari dirinya untuk bersatu kembali dengannya.18

F. Metode Penelitian

Dalam penelitian sejarah, peneliti menggunakan metode penelitian sejarah diantaranya yaitu :

A. Heuristik

Tahap pertama adalah heuristik atau mencari sumber. Sumber sejarah dapat berupa bukti yang ditinggalkan manusia

16 Imam Al-Ghazali, Ihya’ Ulum al-Din, Juz III, (Mesir: Isa Bab al-Halaby, tt.),

hlm. 53.

17

Mahmud Thohier, Kajian Islam Tentang Akhlak dan Karakteristiknya, (Jurnal Sosial dan Pembangunan: Volume XXIII No. 1 Januari-Maret 2007), LPPM-UNISBA, 2007, hlm. 2.

18

(24)

yang menunjukkan segala aktivitasnya di masa lampau baik berupa peninggalan-penilnggalan maupun catatan-catatan.19 Pada tahap ini, peneliti akan mencari sumber yang berkaitan dengan film religi, perkembangan film religi di Indonesia sejak

kemunculan film “Titian Serambut dibelah Tujuh” (1959)

sampai film “Ayat-Ayat Cinta (2008).

Adapun langkah-langkah yang dilakukan untuk

mendapatkan data-data dan informasi yang dibutuhkan untuk menyusun penelitian ini yaitu :

Lokasi atau tempat penelitian berada di Sinematek Indonesia, tepatnya Gedung Pusat Perfilman Nasional H. Usmar Ismail, yang berada di Jl. HR. Rasuna Said, RT.2/RW.5, Karet Kuningan, Setia Budi, Jakarta Selatan. Peneliti menjadikan lokasi tersebut sebagai prioritas utama dan selanjutnya di Perpustakaan Nasional Republik Indonesia, yang berada di Jl. Medan Merdeka Selatan No. 11 Senen, Gambir, RT.11/RW.2, Gambir, Jakarta Pusat, sebagai lokasi kedu. Alasan lain peneliti mengadakan penelitian di daerah tersebut adalah dikarenakan sumber-sumber yang berkaitan dengan penelitian berada di daerah tersebut.Adapun sumber fisik dalam penelitian ini adalah koran, arsip, buku, karya tulis, jurnal, maupun film yang berkaitan dengan tema penelitian.

Adapun sumber-sumber yang penulis dapatkan dari Sinematek Indonesia adalah sumber berupa, buku katalog film tahun 1926-2007, buku karangan Usmar Ismail, daftar bioskop di Indonesia, daftar penonton tahun 1926-2007, foto tokoh pendiri industri film pertama di Indonesia, The Teng Chun, dan tokoh yang mempengaruhi perkembangan film di Indonesia, Asrul Sani, dan Misbach Yusa Biran. Dan beberapa kliping berisi koran-koran tentang film Darah dan Do’a, Untuk Sang

19

(25)

Merah Putih, Kenangan Revolusi, Bungan Bangsa, Sunan Kalijaga, Walisongo, poster Tengkorak Hidoep, poster Loetoeng Kasaroeng, dan Ayat-Ayat Cinta.

Sumber lain yang penulis dapatkan pula dari Perpustakaan Nasional adalah daftar buku berisikan sinopsis dari judul film dari tahun 1950-1990, buku-buku tentang perkembangan perfilman di Indonesia, terutama pada masa orde baru.

B. Verifikasi

Dalam penulisan sejarah dikenal ada dua macam jenis sumber yaitu sumber primer dan sumber sekunder, sumber primer adalah kesaksian dari seseorang dengan mata kepala sendiri atau saksi dengan panca indra yang lain atau dengan alat mekanis. Sumber sekunder, merupakan kesaksian dari siapapun yang bukan saksi mata, yakni dari orang yang tidak hadir pada peristiwa yang dikisahkan.

Pada tahap ini, peneliti mencoba memilah dan memilih sumber-sumber yang telah ditemukan, antara lain adalah sumber primer berupa dokumen, berupa lampiran yang berisi daftar judul film dari tahun 1926-2007 berbentuk buku katalog, dari sumber tersebut penulis dapat mengetahui film-film yang berkaitan dengan film Religi bertemakan Islam, dengan cara melihat sinopsis dari setiap film yang penulis kaji. Lampiran koran yang berisi tentang berita, opini, kritikan tentang film

(26)

proses perjalanan film religi dari masa Orde Baru hingga Masa Revormasi.

Sumber primer berupa foto dan video, yaitu foto pendiri industri perfilman pertama di Indonesia, The Teng Chun, dan beberapa foto tokoh yang sangat berperan dalam perkembangan dunia film di Indonesia, H. Usmar Ismail, Asrul Sani, Misbach Yusa Biran, dan foto-foto bioskop masa lalu dari berbagai kota di Indonesia. Termasuk juga film Titian Serambut di Belah Tujuh, Al-Kaustar, Sunan Kalijaga, Darah dan Do’a, Ayat-Ayat Cinta.

Sumber sekunder diperoleh dari beberapa referensi buku, jurnal, ataupun artikel yang berkaitan dengan film religi bertemakan Islam.

C. Interpretasi

Tahap selanjutnya adalah intepretasi atau penafsiran sejarah. Dalam tahap ini dilakukan analisis berdasarkan data-data atau sumber-sumber yang diperoleh yang akhirnya dihasilkan suatu sintesis dari seluruh hasil penulisan yang utuh atau disebut dengan historiografi. Setelah peneliti mengkomunikasikan hasil penelitiannya maka disebut tulisan atau karya sejarah. Interpretasi adalah menafsirkan fakta sejarah dan merangkai fakta tersebut hingga menjadi suatu kesatuan yang harmonis dan masuk akal.20

D. Historiografi

Setelah melakukan proses analisis dan sintesis, proses kerja mencapai tahap akhir yaitu historiografi atau penulisan sejarah. Proses penelitian dilakukan agar fakta-fakta yang sebelumnya terlepas satu sama lain dapat disatukan, sehingga

20

(27)

menjadi satu perpaduan yang logis dan sistematis dalam bentuk narasi kronologis.

Historiografi adalah proses penyusunan fakta-fakta sejarah dan berbagai sumber yang telah diseleksi dalam sebuah bentuk penulisan sejarah. Setelah melakukan penafsiran terhadap data-data yang ada, sejarawan harus sadar bahwa tulisan itu bukan hanya sekedar untuk kepentingan dirinya, tetapi juga untuk dibaca orang lain. Oleh karena itu, perlu dipertimbangkan struktur dan gaya bahasa penulisannya. Sejarawan harus menyadari dan berusaha agarorang lain dapat mengerti pokok-pokok pemikiran yang diajukan.

G. Sistematika Penulisan

Pada sistematika penulisan, peneliti akan membahas beberapa hal yang sekiranya penting dan bersangkutan dengan tema atau judul dalam penelitian ini.Pada bab satu, peneliti akan membahas mengenai latar belakang permasalahan, rumusan masalah yang ada dalam penelitian tersebut, tujuan dan kegunaan penelitian, kerangka konseptual yang digunakan dalam penelitian, kajian pustaka, metode penelitian dan sistematika penelitian.

Pada bab dua, peneliti akan mengutarakan kondisi perfilman nasional indonesia tahun 1900-1959. Mulai dari lahir dan berkembangnya industri film di Indonesia, Perfilman Indonesia masa penjajahan hingga peralihan meliputi film propaganda, film perjuangan, dan film hiburan. Dan perkembangan film nasioanl di Indonesia.

Pada bab tiga peneliti lebih meneliti tentang perkembangan film religi bertemakan Islam tahun 1959-2000. Mulai dari lonjakan pertama dari

film ”Titian Serambut Dibelah Tujuh”, genre film bertemakan Islam

(28)

Pada bab empat ini, peneliti akan menjelaskan tentang dominasi percintaan dalam film religi Islam tahun 2000-2008. Mulai dari foklor hingga ke ekranisasi novel, danfilm Ayat-Ayat Cinta : Boomingnya” film religi Islam di Indonesia.

(29)

BAB II

PERFILMAN NASIONAL TAHUN 1900-1959

A. Lahir dan Perkembangan Industri Film di Indonesia

Pada tahun 1911-an, film-film di wilayah Hindia Belanda mulai bermunculan dan hanya membuat sebuah film dokumenter, atau hanya sekedar mendokumentasikan apa yang nampak, bahkan cara perekamannya sangat kuno, yaitu hanya dengan meletakkan kamera di sudut ruangan atau dengan merekam secara langsung dari aktivitas atau kegiatan yang dilakukan oleh orang-orang Belanda dan pribumi pada waktu tersebut. Salah satu contoh dari film Dokumenter yang dibuat di Hindia Belanda adalah film rekaman Pasar Gambir (Miniatur Jakarta Fair) yang film-film tersebut masih tersimpan baik di Pusat Audio-Visual Kerajaan Belanda.21 Industri film sendiri di wilayah Hidia Belanda mulai berdiri pada tahun 1926, yaitu perusahaan NV Java Film Company yang didirikan oleh L. Heuveldorp dari Batavia dan G. Krugers dai Bandung, dengan film pertamanya berjudul

Loetoeng Kasaroeng buatan L. Hoveldorp.22

Pertunjukan perdana film Loetoeng Kasaroeng diadakan pada Jumat malam, 31 Desember 1926, di Bioskop Elita dan Oriental. Sejak 30 Desember 1926, iklannya antara lain dimuat di koran Kaoem Moeda dan De Indische Telegraaf.23Dan ketika film tersebut dimuat di dalam koran, sudah wajar jika film tersebut ditambah bubu propaganda. Dalam Kaoem Moeda,

film Loetoeng Kasaroeng disebut film yang ditunggu-tunggu oleh penduduk Bandung, karena pembuatan film tersebut berada di sekitar Bandung.

Setelah keberhasilan film Loetoeng Kasaroeng, garapan selanjutnya adalah film Eulis Atjih, sebuah film rumah tangga modern, bukan lagi cerita dongeng kuno. Setelah selesai diproduksi, film tersebut diputar pertama kali

21

Misbah Yusa bIran, Sejarah Film tahun 1900-1950, hlm. 54.

22

Ibid,hlm. 60.

23

(30)

di Bioskop Bandung pada Agustus 1927. Hasilnya kurang memuaskan, karena penataannya masih kurang sempurna, walaupun tekniknya tidak kalah dari film luar negeri. Namun setelah film Eulis Atjih di putar di Singapura, Eropa, dan Amerika, Universal Picture Coy. di Amsterdam, First National di Singapura, dan Film Arts Guild di New York memberikan pinjaman obligasi sebesar f 25.00. yang terbagi dalam kupon dari f 100, 250, 500, 1000 dengan bunga sebesar 9% dan tiap bulannya ditebus f 1000.24

Setelah keberhasilan dua film tersebut, banyak perusahaan film yang mencoba membuat film cerita yang ditandai dengan kedatangan para pengusaha dari Thionghoa, yang sebelumnya mereka hanya menjadi pengusaha bioskop dan importir film. Secara perlahan para pengusaha Thionghoa mulai menguasai pasar, karena banyka film-film China yang laku di pasaran dan mulai menggeser pengusaha dari orang kulit putih. Pada periode ini sampai masa kependudukan Jepang, perusahaan dari Thionghoa yang berkuasa di pasaran.

Pada tahun 1926 sampai tahun 1930, tercatat ada sekitar delapan perusahaan film di Indonesia, yaitu Java Film Company dan Cosmos Film

(keduanya berasal dari Bandung), serta Halimoen Film, Batavia Motion Pictures, Nangsin Film Coorporation, Tan Film, Prod. Tan Boen Soan, dan

Kruger Film Bedrijf dari Batavia. Dari semua perusahaan film tersebut, hanya dua perusahaan film yang menjadi milik orang kulit putih, yaitu

Cosmos Film milik Carli dan Kruger Film Bedrijf milik Kruger, selebihnya milik orang-orang Thionghoa. Rata-rata pada periode ini perusahaan film hanya memproduksi sekitar dua sampai tiga film saja, kecuali Tan’s Film yang bisa memproduksi sampai lima film. Dan pada periode ini juga banyak perusahaan yang mengalami kebangkrutan salah satunya adalah perusahaan

Nangsin Film karena pemborosan produksi film yaitu dengan mendatangkan

24

(31)

secara langsung artis dari Sanghai China, Olive Young, untuk membintang film Resia Boroboedoer yaitu sebesar 10.000 gulden untuk artis tersebut.25

Pada tahun 1930, muncul perusahaan yang menjadi cikal-bakal terbentuknya Java Industrial Film, perusahaan tersebut yaitu Cino Motion Pictures oleh The Teng Chun yang sudah berpengalaman dalam urusan bisnis film. Perusahaan Cino Motion Pictures memproduksi film dengan cerita Thionghoa, antara lain : Sam Pek Eng Tay (1931), Pat Bie To (1932),

Pat Kiam Hiap (1933), serta Ouw Phe Tjoa(1934). Setelah memproduksi film tersebut, The Teng Chun mengganti nama perusahaan tersebut menjadi

Java Industrial Film pada 1935. Kemudian perusahaannya meneruskan produksi-produksi film klasik Tionghoa, seperti Lima Siloeman Tikoes

(1935), Pan Sie Tong (1935), The Pat Kai Kawin (1935), Ouw Phe Tjoa II

(1936), dan Hong Lian Sie (1937).26

Pada tahun 1937, perusahaan ANIF (Algemeene Nederlandsch Indie Film Syndicaat) dengn sutradaranya Albert Balink, memproduksi sebuah film Terang Boelan yang sangat laku di pasaran, karena komposisi sistem bintangnya dan adegan-adegan yang disukai publik pada masa itu. Adegan seperti nyanyian, lelucon, perkelahian, dan keajaiban adalah yang paling banyak disukai publik penikmat film.

(32)

tersebut film-film tersebut hasil produksi dari perusahaan Java Industrial Film milik The Teng Chun.27

Salah satu yang menjadi tonggak kesuksesan dari The Teng Chun adalah dengan mempergunakannya aktris-aktris dari perkumpulan sandiwara yang ada untuk bermain dalam film hasil dari produksi mereka. Strategi ini dipergunakan untuk meningkatkan mutu film dan untuk menarik minat penonton sebesar-besarnya.

Besar kemunkinan, The Teng Chun mempergunakan artis mantan anggota Dardanella karena perkumpulan tersebut adalah perkumpulan besar pada dekade 1926-1935 dan pemain-pemainnya sudah dikenal masyarakat dan sangat berpengalaman di atas panggung, seperti Astaman, Ali Yugo, M. Rasjid Manggis, Ferry Kock dan istrinya Dewi Mada, Tan Tjeng Bok (ketiga-nya dari perkumpulan Sandiwara Dardanella), dan Inoe Perbatasari (dari perkumpulan Bolero), serta beberapa pemain lain seperti Raden Ismail, Ludi Mara, dan Aisyah.

Pada perkembangan selanjutnya, perusahaan The Teng Chun membentuk dua anak perusahaan, yaitu Jacatra Film dan Action Film. dan ketika itu pula perusahaan Java Industrial Film berubah nama menjadi New Java Industrial Film. Antara tahun 1940 hingga akhir 1941, perusahaan in menghasilkan 15 judul film, yaitu Rentjong Atjeh, Dasima, Melatie van Agam, Soerga Palsoe, Matoela, Serigala Item, Matjan Berbisik, Si Gomar, Singa Laoet, Kartinah, Elang Darat, Ratna Moetoe Mankam, Poetri Rimba, Tengkorang Hidoep, dan Noesa Penida.28

Hampir seluruh film produksi Java Industrial Film laku di pasaran. Namun sayangnya, banyak yang menyadap dari film-film luar negeri/Amerika. Seperti film Zorro disadap menjadi film Serigala Item dan

Singa laoet, serta film Tarzan yang diadaptasi menjadi film Rentjong Atjeh

27

Ibid, hlm. 142.

28

(33)

dan Alang-Alang. Mungkin strategi ini merupakan alasan suksesnya film

Terang Boelan yang diadaptasi dari film The Jungle Princess yang dibintangi oleh Dorothy Lamour, yang film tersebut sudah beredar di Batavia pada tahun 1936. Kemudian Java Industrial Film mengakhiri riwayatnya setelah ditutup paksa oleh tentara Jepang pada tahun 1942. Pemerintah Jepang meyatukan seluruh perusahaan film dalam Jawa Eiga Kosha (perusahaan Film Jawa).

B. Perfilman Indonesia Masa Penjajahan Hingga Peralihan

Setelah melihat perkembangan perusahaan film dari tahun 1926 hingga 1942, sudah dapat dirasakan bahwa masyarakat Indonesia pada periode tersebut mulai melirik bidang perfilman, yaitu sebagai penonton yang setia menunggu hiburan sesuai dengan minatnya masing-masing. Dari perkembangan tersebut pula, dapat dilihat bahwa pertumbuhan bioskop di kota-kota besar mulai didirikan, mulai dari kota Batavia (sekarang Jakarta), Bandung, Surabaya, Malang, Semarang, hingga Yogyakarta. Para sineas film pun meng-kategori-kan karakter/genre dari masing-masing film yang diproduksi, mulai dari film-film yang dianggap propaganda, dari masa kependudukan Jepang, film-film Perjuangan, yaitu film-film pasca kemerdekaan, dan film-film hiburan, yang dianggap sebagai pertumbuhan kembali perfilman nasional.

1. Film Propaganda

(34)

musik/lirik Cornel Simanjuntak dan Usmar Ismail serta lagu Bekerja karya bersama Nobuo Iida dan Inoe Kertapati. Jepang juga menguasai radio dan media cetak untuk mempengaruhi penduduk kota yang bisa baca tulis. Bahkan Jepang juga memanfaatkan wayang kulit untuk alat propaganda, disamping sandiwara dan film.29

Di Jepang sendiri, pemerintah menggariskan dengan tajam panduan tentang peraturan perfiman Jepang30 :

1. Ide hidup individualistik pengaruh barat harus dilenyapkan.

2. Semangat Jepang, khususnya megenai keindahan sistem hidup kekeluargaan harus diangkat, dan semangat pengorbanan diri demi kepentingan bangsa dan masyarakat harus didorong.

3. Film harus mengambil peran yang positif dalam mendidik massa, khususnya dalam menghilangkan westernisasi di kalangan anak muda, terutama anak perempuan.

4. Perbuatan dan ucapan yang sembarangan dan sembrono harus dihilangkan dari layar serta harus dilakukan dorongan untuk memperkuat rasa dan sikap hormat kepada yang lebih tua.

Pada tahun 1940, tambahan pengarahan diberikan kepada Departemen Dalam Negeri sebagai berikut31:

1. Apa yang diinginkan adalah hiburan melalui suara dan gambar dengan tema positif.

2. Penampilan dan dialog lawak yang biasanya tidak lazim pada sajian film harus dikurangi untuk mengurangi akibat buruk. 3. Hal-hal berikut harus dilarang:

a. Cerita tentang tokoh Borjuis kecil.

29

Taufik Abdullah, dkk, Film Indonesia Bagian I , 1993, Jakarta:Perum Percetakan Negara RI, hlm. 289.

30

Misbach Yusa Biran, Sejarah Film 1900-1950, hlm. 333.

31

(35)

b. Cerita yang mengkisahkan hanya tentang kebahagiaan orang secara individu.

c. Adegan wanita merokok.

d. Adegan cafe (tempat hiburan yang menyajikan minuman keras).

e. Watak sembrono dan sembarangan.

4. Direkomendasikan film yang menceritakan sektor produktif dari masyarakat, seperti kehidupan pedesaan.

5. Skrip harus disensor secara ketat, jika terdapat masalah maka harus dikembalikan da ditulis ulang.

Hampir semua film Jepang yang ditayagkan di Jawa adalah film-film yang

mematuhi “kebijakan nasional tentang film” tersebut.

Jepang sangat menyadari amat pentingnya media film sebagai alat propaganda. Hal ini terlihat ketika Gunseikanbu mendirikan Sindenbu (badan propaganda). Pada Oktober 1942, badan ini juga segera mendirikan Jawa Eiga Kosha (Perusahaan Film Jawa). Pimpinannya diserahkan kepada Soichi Oya. Sebelum itu, pemerintah Jepang telah menentukan kebijaksanaan bagi film propaganda di wilayah Asia Tenggara (Nampo Eiga Kosha).

Pada mulanya, kegiatan bidang film adalah hanya memutar film yang didatangkan dari Jepang. Film yang berbahasa Jepang itu diberi

subtitle atau teks bahasa Indonesia. Beberapa film Jepang yang khusus dibuat untuk penduduk Asia Tenggara, termasuk Indonesia, narasi bahasa Indonesianya dibuat di Tokyo. Akan tetapi, sebagian besar film tidak meggunakan subtitle maupun narasi.32

32

(36)

Mengenai hal itu, akibat dari Perang Dunia ke-II, film-film impor terutama Amerika diberhentikan, karena Amerika merupakan musuh dari Jepang, dan pasokan impor menjadi tidak terurus. Sehingga yang ditayangkan di bioskop-bioskop adalah film-film dalam negeri dan sisa-sisa film Jerman (sekutu Jepang) yang diimpor sebelum Perang Dunia ke-II. Diantaranya film-film tersebut yang dibintangi aktris populer Roekiah, seperti Gagak Item (1939), Roekihati (1940) dan Koeda Sembrani (1941).

Dalam surat kabar Tjahaya (Bandung) terbitan 23 Juli 1944 juga mengabarkan bahwa bioskop Tayo memutar film Indonesia, Moestika dari Djemar (1941) dengan bintang utamanya Rd. Mochtar dan Dhalia. Sedangkan bioskop Fuji memutar film Jerman, Es Leuchten die Sterne. Di bioskop Futaba maupun Nippon diputar film Cina, masing-masing Tien Lun

dan Pai Sheek Kung Tjoe.33

Sebelumnya, pada bulan Juli 1938, Departemen Dalam Negeri Jepang pernah mengeluarkan undang-undang film (Eiga Ho). Kemudian undang-undang film (Eiga Ho) diperbaiki kembali pada bulan Oktober 1939, dan diberlakukan juga di Indonesia, karena untuk menghindari pikiran individualistis ala Barat,dan harus mengambil peranan positif dalam mendidik massa, dengan cara menghilangkan sikap santai dan berani berkorban demi kejayaan bangsa.

Selanjutnya, dampak dari pertunjukan film, baik film perang yang didatangkan dari Jepang, maupun film propaganda yang dibuat Nippon Eigasha, sangat besar pengaruhnya bagi rakyat jelata. Film mengenai praktik gotong royong dalam mengangkut air untuk memadamkan kebakaran, secara beranting, segera dijadikan cara praktis untuk mengerjakan sesuatu bersama-sama. Film tentang Tonari Gumi, melahirkan organisasi warga, yang sampai sekarang menjadi organiasasi Rukun Tetangga (RT) dan Rukun Warga (RW). Pertunjukan film perang, yang selalu dipertotonkan adalah mengenai

33

(37)

kemenangan bala tetara Jepang yang selalu menang melawan musuh, yang dianggap kekuatan tetara Jepang yang sangat hebat, namun masyarakat terkejut ketika pada tahun 1945 tentara Jepang kalah dengan pasuka Amerika.

2. Film Perjuangan

Pasca kemerdekaan Indonesia, yaitu pada tanggal 17 Agustus 1945 yang diprokalamasikan oleh Ir. Soekarno dan Moh. Hatta, kaum pemuda hingga pejuang mulai mengobarkan semangat revolusi dari penjajahan Jepang. Mereka melulucti tentara Jepang dan mulai mengambil alih dan menguasai alat-alat propaganda tersebut, dan semuanya menjadi alat perjuangan.

Beberapa hari sesudah proklamasi, para seniman yang bekerja di Pusat Kebudayaan, Keimin Bunka Shidoso Jakarta, mendirikan Badan Perjuangan dengan nama Seniman Merdeka. Didukung oleh Usmar, Djajakusuma, Cornel, Surjosumanto, Hamidi T. Djamil serta Malidar. Setelah mereka berhasil mengambil alih Kantor Pusat Kebudayaan, mereka mengganti kantor tersebut dengan nama Badan Perjoeangan Seniman Merdeka. Rombongan sandiwara Seniman Merdeka ini berkeliling kampung hingga kota menerangkan bahwa rakyat Indonesia sudah merdeka dan terbebas dari penjajahan manapun.

Pada saat penyerbuan gedung-gedung milik tentara Jepang pasca kemerdekaan, karyawan film Indonesia yang berada di studio film milik Jepang, merebut Nippon Eiga Sha atas perintah dari R.M. Soetarto, dan mengubah namanya menjadi Berita Film Indonesia (BFI). Pada tanggal 6 Oktober 1945, studio tersebut secara resmi diserahkan oleh Ishimoto kepada pemerintah Indonesia, yang diwakili R.M. Soetarto, dengan disaksikan oleh menteri penerangan RI.

(38)

menganggap bahwa kantor tersebut milik Belanda (Multi Film) dan membebaskan J.C. Moll dan V. Fedoroff , selaku pimpinan Multi Film. akibat daripada itu, Usmar dan teman-temannya termasuk studio BFI dipindahkan ke Solo, kemudian ke Yogyakarta.

Di Yogyakarta, Seniman Merdeka mulai membuat suatu kegiatan yang tujuannya agar masyarakat Yogya merasa terhibur dengan pertunjukan yang diberikan dengan mengelilingi Daerah Istimewa Yogyakarta dan memberikan penerangan kepada masyarakat tentang pendidikan sandiwara.Dari Yogya pula, tepatnya di Jl. Sumbing No. 5, pendidikan Sinematografi mulai diadakan, meski hanya bersifat Lingkaran Studi, tetapi hasil dari pendidikan ini melahirkan tokoh-tokoh perfilman Nasional, sperti : Usmar, Gayus, Djajakusuma, Surjosumanto, Soemarjono, dan lain-lain.

Pada periode ini pula, pertumbuhan perusahaan film mulai lahir, yang pertama dari perusahaan film bernama Kino Drama Atelier, yang dipimpin oleh Huyung, mantan prajurit Jepang keturunan Korea, dengan film pertamanya Antara Bumi dan Langit (1950), film tersebut termasuk film hiburan karena menceritakan tentang percintaan antara seorang pribumi yang mencintai gadis Belanda, dan belum termasuk film perjuangan karena film pertama tersebut sebagai batu loncatan untuk film-film selanjutnya, sekaligus memancing para penonton yang kala itu masih menginginkan panggung hiburan.

Adanya film-film perjuangan dirasa masyarakat Indonesia masih merasakan dampak dari penjajahan Jepang sebelum kemerdekaan. Film-film perjuangan diharapkan dapat menggugah semangat masyarakat Indonesia dengan mengingat kembali perjuangan tentara Indonesia dalam memerdekakan NKRI. Adapun judul film-film perjuangan yang diproduksi tahun 1950-1959, antara lain : Djembatan Merah (1950), Darah dan Doa

(39)

di Djogdja (1951), Peristiwa 10 Nopember (1956), Bunga dan Samurai

(1958), dan Detik-Detik Revolusi (1959).34

C. Perkembangan Film Nasional di Indonesia

Salah satu tanda bahwa Indonesia dikatakan sedang dalam masa pertumbuhan dalam bidang teknologi dan multimedia adalah film. Film pada masa ini mengalami perkembangan pesat sehingga dapat melahirkan identitas baru di Indonesia, dengan munculnya film Darah dan Do’a (1950) oleh Usmar Ismail, yang nantinya film ini bisa menjadi cikal bakal pertumbuhan film Nasional. Film nasional dapat dihasilkan dari karya kreatifitas seseorang, dan juga nantinya bisa menjadi suatu identitas baru dari produk budaya sebuah bangsa. Menurut Anon dalam bukunya Sight and Sound (Hjort, 2000:69) yang menyatakan bahwa35 :

“Perfilman nasional adalah proyek realis bahwa... ia akan mencerminkan waktu, kehidupan dan budaya penduduk suatu negara. Bisa dibayangkan betapa kita akan kehilangan performa sosial sesungguhnya akan sebuah bangsa-negara kitika efek globalisasi benar-benar menghilangkan identitas-identitas yang sesungguhnya, karena setiap pembuat film akan dipacu dengan kecepatan globalisasi dalam proses penggambarannya di film.”

Salah satu ide konsep perfilman nasional adalah invasi film-film Hollywood ke seluruh dunia, terutama pada awal tahun 1910. Bahkan sampai tahun 1915 sekitar 50 persen semua film yang terdistribusi di dunia

34

Sumber dari buku Katalog Film Indonesia 1926-2007 karangan J.B. Kristanto, penulis merangkum berdasarkan tahun produksi film pada periode tersebut.

35Arda Muhlisiun, Film “Darah dan Do’a” sebagai Wacana Film Nasional

(40)

adalah hasil produksi Hollywood.36 Maka dari itu film Nasional dihadirkan diharapkan agar budaya bangsa tetap terjaga dan tidak terpengaruhi oleh budaya lain yang diperkenalkan dari film-film Amerika.

Berbicara mengenai film Nasional, tidak dapat dipungkiri bahwa Usmar Ismail adalah penggagas lahirnya film nasional, lewat filmnya Darah dan Do’a, sutradara dan para pemian film mencoba membuka dunia bahwa Indonesia juga mempunyai eksistensi sebagai negara yang berdaulat, tentunya melalui pepresentasi film.37

Sejak pembuatan film Darah dan Do’a yang dilakukan tepat tanggal 30 Maret 1950, ditetapkanlah hari tersesbut sebagai Hari Film Nasional.38 Dengan beberapa pertimbangannya sesuai dengan keputusan Presiden Republik Indonesia adalah karena untu pertama kalinya film cerita Indonesia dibuat oleh orang dan perusahaan Indonesia sendiri, dan untuk meningkatkan motivasi dan kepercayaan orang-orang Indonesia akan film produksinya yang relatif baik. Dan menurut Misbach Yusa Biran, dalam bukunya sejarah film 1900-1950, sejak Usmar Ismail pembuatan film sudah didasarai oleh kesadaran nasional, dan ia (Usmar Ismail) akan membuat film yang bisa mencerminkan national personality, kepribadian bangsa. –Ketika diucapkan dalam wawancaranya.39

Film Darah dan Do’a juga mencerminkan terdapat unsur Islami dalam film tersebut. Menunjukkan bahwa proses Islamisasi sudah dimulai

36

Andrea Gronemenyer, Film, 1998, New York: Barron’s Educational Series, Inc, hlm. 41.

37 Arda Muhlisiun, Film “Darah dan Do’a” sebagai Wacana Film Nasional

Indonesia, hlm. 236.

38

Ibid, hlm. 237.

Tanggal 30 Maret ditetapkan sebagai Hari Film Nasional memalui Keputusan Presiden Republik Indoneisa Nomor 25 Tahun 1999, yang kala itu dijabat oleh Presiden BJ. Habibie. Tepatnya ditandatangani tanggal 29 Maret 1999 di Jakarta. Jauh sebelumnya, rapat kerja Dewan Film Nasional dengan organisasi-organisasi perfilman tanggal 11 Oktober 1962 telah menetapkan hari syuting dalam pembuatan film nasional yang pertama Darah dan Do’a sebagai Hari Film Indonesia.

39

(41)

sejak periode ini. Selain daripada film Darah dan Do’a, terdapat juga film

Titian Serambut dibelah Tujuh (1959) karya Asrul Sani, yang juga merupakan film bernuansa Islami. Film ini bercerita tentang seorang guru beragama Islam yang mencoba mengajar di desa lain. Di desa tersebut guru Ibrahim (nama tokoh utama film tersebut) mulai mendapat beberapa rintangan mulai dari ancaman oleh guru agama sesepuh desa tersebut, ancaman jika menolong Halimah (orang yang dianggap gila oleh penduduk setempat karena sering bertingkah laku tidak wajar), padahal Halimah seperti itu karena trauma mendapat fitnah dan hampir menjadi korban pemerkosaan.40 Dengan diputarnya film tersebut, Asrul Sani, Sutradara film tersebut berusaha menunjukkan bahwa komoditas agama Islam pun dapat direalisasikan dalam media film.

40

(42)

BAB III

AKHLAK ISLAMIYAH DALAM FILM RELIGI ISLAM

TAHUN 1959-2000

A. Lonjakan Pertama Film “Titian Serambut Dibelah Tujuh”

Di dalam Islam kita mengenal adanya konsep Tauhid, suatu konsep sentral yang berisi ajaran bahwa Tuhan adalah pusat segala sesuatu, dan bahwa manusia harusmengabdikan diri sepenuhnya kepada-Nya. Konsep tauhid ini mengandung implikasi diktrinal lebih jauh bahwa tujuan hidup manusia harus diorientasikan utuk penganbdian kepada Allah inilah yang merupakan kunci dari seluruh ajaran Islam.

Film Titian Serambut dibelah Tujuh mencoba memberikan tononan bermoral dan menjunjung tinggi nilai moral yakni keyakinan, perjuangan, kepasrahan, kesetiaan serta harapan. Film ini juga berisi tentang dakwah Islam, dengan menegakkan amar ma’ruf nahi munkar di desa Batu Hampar yang dilakukan oleh okoh protagonis Ibrahim dalam mengaktualisasika ajaran Islam yag sesuai dengan konteks amar ma’ruf nahi munkar. Ibrahim dalam mengaktualisasikan ajaran agama Islam yang sesuai dalam konteks

amar ma’ruf nahi munkar. Ibrahim dalam meangsungkan dakwahnya

(43)

berbagai cara ia tempuh untuk menghentikan usaha Ibrahim dalam

menegakkan amar ma’ruf nahi munkar di desa Batu Hampar.41

Megenai tentang pesan moral yang dapat tersampaikan dalam film tersebut adalah, antara lain42 :

1. Tentang keimanan kepada Allah SWT.

Dalam skenario ini, isi cerita yang diangkat megenai perjuangan Ibrahim sebagai guru muda yang teguh, menemuka kejanggalan-kejanggalan dalam kehiupan kampung yang akan ia tinggali. Namun Ibrahim tidak berputus asa. Ibrahim senantiasa memberikan ajaran-ajaran Islam kepada masyarakat desa Batu Hampar, Ibrahim selalu berdoa meminta pertolongan kepada Allah dan pada akhirnya Allah memberikan jalan keluar atas permasalahan yang sedang dihadapi, dan mereka percaya bahwa

menegakkan amar ma’ruf nahi munkar adalah suatu perbuatan

yang amat terpuji. 2. Tentang ikhtiar

Dalam film ini, penulis mencoba menggambarkan fakta mengenai kepasrahan seorang ibu yang telah merawat Halimah dari kecil hingga dewasa yang menceritakan kepada guru Ibrahim tentang keadaan anaknya yang telah difitnah berzina. Oleh karena itu ibu Halimah selalu menangis melihat keadaan psikologis dari Halimah yag terkadang membingungkan.

3. Tentang kesabaran

Film ini menggambarkan tentang kesabaran guru ibrahim yang tinggal di desa Batu hampar yang telah melihat kejanggalan-kejanggalan. Kesabaran Ibrahim ditunjukkan dalam mengatasi problematika yang hadir di tengah prahara yang membelutnya. Disetiap langkahya selalu saja di terpa oleh

41

Skripsi : Zakka Abdul Malik Syam, Analisis Wacana Film Titian Serambut dibelah Tujuh Karya Chaerul Umam, Jurusan KPI, Fakultas Dakwah dan Ilmu Komunikasi, UIN Syarif Hidayatullah, Jakarta, 2010, hlm. 6.

42

(44)

cobaan yang hadir disaat ingin menegakkan amar ma’ruf,

namun kesabaran guru Ibrahim dalam mengarungi kehidupan yang nyata dengan penuh kesabaran.

4. Tentang perjuangan

Selain kesabaran, film ini juga mengangkat tema tentang

perjuangan menegakkan amar ma’ruf dan melawan munkar,

sosok guru Ibrahim dalam membela yang haq dan bathil melihat dari usaha untuk menciptakan ajaran Islam yang benar. Ketika dihadapkan sebuah masalah yang penuh dilematika, maka Ibrahim selalu memperjuangkan dengan bentuk perbuatan yang sebenarnya dan tidak melalui peperangan tetapi melalui reorika yang baik dan benar.

5. Muamallah

Di dalam film ini juga digambarkan mengenai pesan muamallah. Manusia hidup di dunia tidak sendiri tetapi masih ada orang lain di sekitar kita, karena sesama muslim dengan muslim lainnya adalah bersaudara. Jadi, apabila ada seseorang yang butuh pertolongan, maka kewajiban kita seharusnya menolong orang tersebut.

B. Genre Film Religi bertemakan Islam

Menurut Alicia, dalam bukunya Gender and Islam in Indonesian Cinema, menjelaskan bahwa film bergenre religi Islam adalah film yang dibuat oleh orang Islam untuk tujuan dakwah dan dibuat sebagaimana mungkin menggunakan audiovisual sehingga para penonton bisa mengetahui dan beranggapan bahwa film tersebut adalah film Islam.43 Sesuai genrenya, tentu saja film tersebut selalu menampilkan idiom/simbol tentang ajaran agama Islam, seperti menyembah Allah SWT. Melaksanakan sholat, mengaji, berpakaian Islami, dan melakukan syiar Islam dengan cara dakwah. Dakwah merupakan rekonstruksi masyarakat sesuai dengan ajaran Islam,

43

(45)

bahkan seluruh aspek kehidupan bisa digunakan untuk sarana atau alat dakwah.

Berdakwah dapat menggunakan media apapun terutamanya melalui film, film-film pada masa orde baru lebih mempunyai ciri khas tentang identitas keislaman. Dimana budaya Islam dan pemerintah saling bisa berkolaborasi dalam membangun bangsa Indonesia.

1. Film Religi Sejarah dan Mitos

Kesenian yang merupakan salah satu bentuk ekspresi manusia sudah berkembang pesat sebelum Islam datang di Nusantara dan semakin menunjukkan corak yang khas ketika bersentuhan dengan agama baru. Kesenian ini lebih bercirikan Hindu dan Budha yang sudah terlebih dahulu melekat di kebudayaan Nusantara dalam waktu yang lama, kemudian disambung dengan kebudayaan Islam yang relatif membawa dampak perubahan di masyarakat indonesia (pada abad ke-20) utamanya foklor, hingga dituangkan dalam film.44

Komoditi film-film sejarah bernuansa Islam pada periode ini relatif menuai pro dan kontrak dari kalangan sineas maupun masyarakat, seperti kata Dr. Budhisantoso, dalam koran Kompas edisi 5 Mei 1985, hlm. 6.

“Besar kemungkinan merangsang dan meningkatkan

kesadaran pemuka agama untuk memperoleh wewenang yang lebih besar dalam mengatur penyebaran ajaran agama, termasuk kalau perlu menghukum orang yang dianggap

tidak menguntungkan.”

Anggapan itu ditambahkan dengan sejumlah pendapat, bahwa digambarkan dalam film-film religi tersebut selalu disertai dengan gambaran

44

(46)

“biadab” nya masyarakat Indonesia sebelum mereka memeluk agama Islam.

Padahal sebelum kedatangan Islam, nenek moyang kita sudah mampu mendirikan tempat-tempat ibadah seperti Borobudur, itu menunjukkan bahwa masyarakat Indonesia pada waktu itu sudah mengenal budi pekerti yang luhur.

Anggapan lain mengungkapkan bahwa Islam menawarkan konsep kerukunan beragama. Dalam film Sunan Kalijaga misalnya, produksi PT Tobali Indah bersama PT Empat Gajah Film, sang sutradara, Sofyan Shama,

dalam film ini berusaha menampilkan “tongkat” yang dijaga oleh Sunan

Kalijaga (Dedi Mizwar) yang diperintahkan oleh gurunya, Sunan Bonang, bahwa tongkat tersebut merupakan lambang agama yang akan menjadi tetunjuk dan penopang kehidupan manusia. Sedangkan gagang tongkat yang terbuat dari emas menunjukkan keimanan yang merupakan syarat mutlak dalam beragama yang harus selalu dipegang.45

Kemudian, dalam film tersebut juga ditayangkan bahwa Sunan Kalijaga melarang anak-anak yang sedang bermain kejar-kejaran di tempat peribadatan umat Budha yaitu di candi Borbudur, menunjukkan bagaimana Islam sangat menghargai keberagaman umat beragama seperti yang diperankan oleh Raden Mas Sahid (Sunan Kalijaga) tersebut.

Melihat dari kondisinya, nampaknya film Sunan Kalijaga ini yang menjadi film religi yang sangat fenomena pada periode ini, dikabarkan di beberapa surat kabar bahwa film ini mendapatkan dukungan dari berbagai pihak karena keseriusan penggarapan film ini dengan persiapan lebih dari satu tahun dan biaya yang dibutuhkan untuk produksi film tersebut sekitar 500 juta untuk segala persiapan hingga proses cetak copy film ini. Dikabarkan juga bahwa ilustrator film ini, Sudharnoto, mendapatkan predikat ilustrator musik film kolosal terbaik.46

Dengan mengambil tiga lokasi shooting di Solo, Yogyakarta, dan Demak. Di Solo, di Langen Budaya Istana Pakubowono diatas tanah seluas

45

Lihat koran Pelita, edisi 7 Juli 1984 hlm. 8, didapatkan dari koleksi Sinematek Indonesia, pusat perfilman Indonesia. (Lihat di Lampiran).

46

(47)

2,5 hektar telah dibuat set disamping melakukan pemugaran istana, dengan menelan biaya sekitar 45 juta rupiah. Disamping itu, untuk dapat menyorot hasil gambar yang bagus, telah dibuat crane berderek seperti dolli yang bergerak vertikal dengan ketinggian 25 meter dengan biaya 4 juta rupiah. Dan rupanya, pihak produser tidak ingin sembarangan dalam membuat film, banyak nama-nama dan pejabat pemerintah yang berkompeten ikut terlibat

langsung seperti KH. Dr. Idham Chalid dan KH. Abdurrohman Ma’shum

duduk sebagai penasehat, sedangkan Drs. Masbuchin dari Departemen Agama turut hadir sebagai penasehat lapangan dan Kuswadji K sebagai penasehat mengenai budaya Jawa.47

Dan beberapa film religi sejarah yang lain, film Arya Penangsang

(1983), Jaka Sembung Sang Penakluk (1981), Sembilan Wali (Walisanga) tahun 1985, Sunan Gunung Jati (1985), Sunan Kalijaga dan Syech Siti Jenar

(1985), Syeh Siti Kobar Membangkang (1989), Fatahillah (1997) yang merupakan kelanjutan dari perkembangan film religi Islam berdasarkan film sejarah.

Dan tidak dapat dipungkiri, film mempunyai pengaruh besar terhadap masyarakat. Dan menghimbau produser-produser film untuk tidak membuat film sekedar tontonan untuk mencari penghasilan semata tetapi juga dapat berguna bagi masyarakat secara luas.48 Dari perkembangan film sejarah bernuansa Islam tersebut diharapkan masyarakat dapat memahami tentang sejarah para wali dalam menyebarkan agama Islam di Nusantara pada abad ke-14 hingga 16.

2. Film Religi Drama-Musikal

Salah satu genre film adalah film musikal. Genre film musikal adalah film yang mengkombinasi unsur musik, lagu, tari (dansa), serta gerak (koreogragbfi). Dalam flm musikal, unsur yang paling sering muncul adalah

47

Koran Pelita, edisi 1 Juli 1983, hlm. 8.

(48)

lagu dan tarian. Kedua unsur itulah yang berperan penting pada film musikal. Hal ini menyebabkan film musikal sagat minim ditemuka dialog.49

Film-film religi Islam pada masa Orde Baru yang beraliran Drama-Musikal didominasi oleh artis sekaligus penyanyi dangdut terkenal Rhoma Irama. Raja dangdut tersebut (sebutan sekarang) sering menyiarkan dakwah melalui lagu-lagu yang dibawakannya, seperti : Keagungan Tuhan (1980),

Perjuangan dan Doa (1980), Nada dan Dakwah (1991) dan masih banyak diantaranya.

3. Film Religi Horor

Kebanyakan film horor di Indonesia masa Orde Baru berbau pornografi, mulai tindakan pelecehan terhadap wanita dan pemerkosaan yang akhirnya meninggal dunia, kemudian film-film tersebut selalu digambarkan dengan arwah gentayangan yang tujuannya untuk mencari jawaban atau pertanggungjawaban atas apa yang telah orang lain lakukan terhadapnya. Tak jarang pula berakhir dengan datangnya seorang ulama/kyai untuk mengusir hantu/arwah gentanyangan tersebut.

Karl Heider dalam Rusdiarti (2009:11) menyatakan bahwa film horor pada Orde Baru tidak bisa lepas dari tiga unsur. Tiga unsur tersbut antara lain, unsur komedi, seks, dan religi. Ketiga unsur tersebut menjadi resep yang mampu membuat film horor digemari oleh penonton masa Orde Baru.

Terdapat lagi beberapa ciri-ciri film horor di Indonesia, sebagai berikut :

a. Tokoh utama identik dengan korban yang mengalami teror atau tokoh pembawa bencana.

b. Tokoh antagonis atau tokoh pembawa kejahatan biasanya terasing atau tesingkir secara sosial atau bukan bagian dari dunia nyata.

49 Skripsi: Lianita Musikaning Raras, Film Musikal Dokumeter “Generasi Biru”:

(49)

c. Dekor ruang relatif monoton. Misal, sebuah rumah, kota terpencil, rumah sakit, dekor waktu didominasi malam hari atau suasana gelap.

d. Tokoh agama sering dilibatkan untuk menyelesaikan masalah. e. Hal-hal supranatural dipakai untuk menjelaskan peristiwa yang

tidak dapat dijelaskan secara rasional.

f. Tokoh anak biasanya memiliki kekuatan berkat kemurnian jiwanya.

g. Adegan kekerasan fisik sering menjadi warna utamanya. Misal, pembunuhan, teror, dan mutilasi.

h. Teknologi sering menjadi salah satu pemicu masalah kearifan lokal dan kedekatan manusia dengan alam justru yang menjadi pemenangnya.

Berikut beberapa film horor bernuasa Islami: Pengabdi Setan

(1980), Perjanjian Setan (1983), Kuburan Angker (1987), Arwah Anak Ajaib

(1988), Nenek Lampir di Rumah Angker (1988), Manusia Penunggu Jenazah (1988), Santet (1988), Setan Pocong (1988), Pembalasan Setan Karang Bolong (1989), Susuk (1989), Titisan Nenek Lampir (1989), Nyi Lamped (1990), Perjanjian Terlarang (1990).

C. Pengaruh Islam dalam Film Indonesia Masa Orde Baru

Selama hampir lima tahun setelah kemerdekaan, Indonesia memasuki masa revolusi (1945-1950). Selama periode tersebut, tidak ada hambatan serius antara aktivis Islam dengan politik dengan kelompok nasionalis, mereka cenderung lebih memikirkan bagaimana cara mempertahankan Negara Kesatuan Republik Indonesia yang baru berdiri dan mencegah Belanda menjajah kembali.

Referensi

Dokumen terkait

oda di

mengungkapkan bahwa motivasi dan hasil belajar siswa rendah dikarenakan sebagian siswa memiliki kemampuan yang kurang, saat proses pembelajaran berlangsung siswa

Sebaliknya jika NNH makin kecil (misalnya NNH=5 ), ini berarti dari 5 pasien yang diterapi, satu diantaranya akan mengalami efek samping. • Memilih obat dengan nilai NNH terbesar

Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa: strategi peningkatan mutu pendidik berbasis analisis SWOT di SDIT Bina Insani Semarang menggunakan konsep analisis SWOT dimulai

penggunaan model TGT pada materi operasi hitung bilangan bulat di kelas IV. MI Darussalam Blimbing Rejotangan” ini diharapkan

Sebuah skripsi yang diajukan untuk memenuhi salah satu syarat memperoleh gelar Sarjana Pendidikan pada Fakultas Ilmu Pendidikan. © Lasarus Eliasar Malafu 2015 Universitas

4.2.1 Peta Daerah Rawan Banjir Kota Semarang dari

In a purchase with nearer temporal distance, when the decision- making task is a joint evaluation, it is expected that consumers will choose products with better comparable attributes