• Tidak ada hasil yang ditemukan

PENGANGKATAN ANAK WARGA NEGARA INDONESIA KETURUNAN TIONGHOA DAN AKIBAT HUKUMNYA

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "PENGANGKATAN ANAK WARGA NEGARA INDONESIA KETURUNAN TIONGHOA DAN AKIBAT HUKUMNYA"

Copied!
15
0
0

Teks penuh

(1)

47

PENGANGKATAN ANAK WARGA NEGARA INDONESIA

KETURUNAN TIONGHOA DAN AKIBAT HUKUMNYA

Isti sulistyorini ( Fakultas Hukum Universitas Pekalongan )

Abstract

According to Western law gives the notion of an adopted child, which is where her emphasis to include children who knew the other children in the family to get the status and function exactly the same with her own child or a determination by the court. In the development of community life suggests that the purpose of adoption is not only, as mentioned above, but more than that, particularly with respect to the legal consequences.

Adoption as a legal act can be justified if aimed at the interests and welfare of children, which is caused due to legal inheritance rights acquired an adopted child is one of the main objectives. The purpose of this study was to determine the adoption procedure, the position adopted children related to the legal effect of adoption deed Indonesian citizens of Chinese descent.

In relation to the research objectives was about, so in conducting research using normative juridical (legal normative research), which refers to the material library or secondary data. Data sources consisted of primary data sources and data source support (optional), hoping to illustrate the results of a descriptive study on issues related to the procedure and the legal effect of adoption Indonesian citizens of Chinese descent.

Keywords: Adoption, procedures, legal consequences. PENDAHULUAN

Didalam sebuah keluarga yang harmonis dan lengkap anggotanya terdiri ayah, ibu dan anak. Anak sebagai buah perkawinan antara seorang suami dengan seorang istrri merupakan hal yang sangat didambakan guna meneruskan keturunan dan menambah kebahagiaan keluarga. Tanpa adanya anak suatu keluarga tidak dapat meneruskan keturunan kepada generasi berikutnya. Generasi yang baru akan menggantikan kedudukan

generasi yang lama, sehingga rantai kehidupan tidak akan berhenti dan roda kehidupan terus berputar.

Namun dalam kenyataannya tidak sedikit pula keinginan tersebut tidak terwujud karena terdapat kekurangan atau hambatan diantara pasangan suami istri, sehingga mereka yang tidak dikaruniai anak ingin memiliki anak dimungkinkan dengan cara pengangkatan anak (adopsi). Perbuatan pengangkatan anak merupakan perbuatan yang dapat dibenarkan apabila bertujuan

(2)

48 demi kepentingan dan kesejahteraan

anak, sehingga payung hukumnya harus jelas.

Didalam Kitab Undang-undang Hukum Perdata (KUH Perdata) tentang pengangkatan anak yang demikian tidak diatur, sedangkan bagi masyarakat WNI keturunan Tionghoa perbuatan pengangkatan anak merupakan suatu kebutuhan karena menurut tradisi seorang anak laki-laki yang akan melanjutkan garis keturunan (patrilinial).

Sejak diundangkannya Stbl. 1917 No. 129 yo Stbl. 1924-557, maka bagi golongan Timur asing Tionghoa dinyatakan bahwa seluruh ketentuan dalam KUH Perdata yang berlaku bagi golongan Eropa termasuk hukum keluarganya juga memuat ketentuan-ketentuan tentang pengangkatan anak khusu bagi golongan Timur Asing. Hal ini perlu diciptakan di Indonesia karena bagi golongan Warganegara Indonesia keturunan Tionghoa lembaga pengangkatan anak dianggap masih berakar kuat dalam tradisi mereka.

Menurut ketentuan dalam stbl 1917 no. 129 bahwa peengangkatan

anak bagi golongan Warganegara Indonesia keturunan Tionghoa diharuskan mengangkat anak laki-laki. Pengangkatan ini mengakibatkan putusnya hubungan keperdataan antara anak yang diangkat dengan orang tua kandung, dan kedudukan anak angkat dipersamakan dengan anak kandung oleh orang tua yang mengangkat, sehingga anak angkat berhak mewaris harta kekayaan dari orang tua angkatnya.

Didalam perkembangannya dimungkinkan pengangkatan anak perempuan, dalam hal ini secara otomatis kedudukan Anak angkat perempuan dipersamakan dengan anak laki-laki, hal ini disebabkan hukum adat Tionghoa mengarah ke masyarakat yang lebih bercorak parental. Sebelum dikeluarkannya SEMA No. 2 Tahun 1979, yang kemudian disempurnakan dengan SEMA No. 6 Tahun 1983 tentang pengangkatan anak, untuk pengangkatan anak bagi WNI keturunan Tionghoa dengan akta Notaris, yang tertulis dalam Bab II Stbl 1917 No. 129 tentang pengangkatan anak, yaitu dalam ketentuan pasal 10 ayat (1); sehingga

(3)

49 pengangkatan anak tanpa adanya akta

Notaris tidak dibenarkan.

Setelah dikeluarkan SEMA No. 2 Tahuun 1979 yang kemudian disempurnakan dengan SEMA No. 6 Tahun 1983 tentang pengangkatan anak, terdapat perubahan yang mendasar untuk kepastian hukum pengangkatan anak bukan lagi dengan adanya akta Notaris, tetapi adanya produk hukum pengadilan berupa penetapan dari Pengadilan Negeri dimana anak tersebut berdomisili. Di masyarakat Tionghoa pengangkatan anak lebih banyak atas pertalian darah dan yang diangkat harus satu generasi dibawah orang yang mengangkat dan ada keterpautan umur paling sedikit 18 tahun, bisa diduga merupakan syarat yang disesuaikan dengan syarat menikah, pada azasnya tidak dilarang untuk mengadopsi orang yang bukan anggota keluarga.

Permasalahan yang timbul sebagai akibat dari pengangkatan anak (adopsi) adalah persoalan hukum, khususnya yang menyangkut akibat dari adanya peengangkatan anak.

TUJUAN

Tujuan dari penelitian adalah (1) Untuk mengetahui prosedur pengangkatan anak bagi warga Negara Indonesia keturunan Tionghoa. (2) Untuk mengetahui kedudukan anak angkat warga Negara Indonesia keturunan Tionghoa.

PENGANGKATAN ANAK

Pengertian pengangkatan anak atau adopsi dapat kita lihat dari dua sudut pandang, yaitu : secara etimologi yaitu, pengangkatan anak berasal dari kata “adoptie” bahasa Belanda atau “adopt” bahasa Inggris. Pengertian dalam bahasa Belanda menurut kamus hukum, berarti pengangkatan seorang anak untuk sebagai anak kandungnya sendiri. Secara terminology, yaitu dalam kamus umum bahasa Indonesia dijumpai arti anak angkat, yaitu anak orang lain yang diambil dan disamakan dengan anaknya sendiri. Dalam ensiklopedia umum disebutkan bahwa pengangkatan anak adalah suatu cara untuk mengadakan hubungan antara orang tua dan anak yang diatur dalam pengaturan perundang-undangan.

(4)

50 Selanjutnya beberapa ahli

telah memberikan rumusan tentang pengertian pengangkatan anak (adopsi). DR. J.A. Nota seorang ahli hukum Belanda yang khusus mempelajari adopsi memberikan rumusan bahwa : “adopsi adalah suatu lembaga hukum yang dapat memindahkan seorang ke dalam ikatan keluarga lain (baru) sedemikian rupa sehingga menimbulkan secara keseluruhan atau sebagian hubungan hukum yang sama seperti antara seorang anak yang dilahirkan sah dengan orang tuanya.

Ketentuan dalam KUH Perdata tidak mengatur tentang lembaga pengangkatan anak yang berlaku bagi anak angkat warga Negara Indonesia keturunan Tionghoa, yang ada hanya pengakuan anak luar kawin, sedangkan pengangkatan anak sangat lazim dilakukan oleh masyarakat. Pada tahun 1917 pemerintah Belanda mengeluarkan Stbl. No. 129 dimana arahnya pengangkatan anak lebih menekankan kepada memasukkan anak yang diketahuinya sebagai anak orang lain kedalam keluarganya dengan mendapatkan status dan

fungsi yang sama persis dengan anak kandungnya sendiri.

DASAR HUKUM PENGANGKAT-AN PENGANGKAT-ANAK

Permohonan pengesahan dan atau pengangkatan anak yang telah diajukan ke Pengadilan Negeri Nampak kian bertambah. Keadaan tersebut merupakan gambaran bahwa kebutuhan masyarakat tentang penggangkatan anak makin bertambah dan uuntuk memperoleh jaminan hukum hanya didapat setelah memperoleh putusan pengadilan. Ketentuan hukum yang berlaku bagi pengangkatan anak warga Negara Indonesia keturunan tionghoa :

1. Stbl 1917 No. 129

Dalam Bab II, mengatur tentang pengangkatan anak yang khusus berlaku bagi warga Negara Indonesia keturunan tionghoa 9 istilah yang digunakan untuk pengangkatan anak dalam ketentuan ini adalah “adoptie”). Menurut ketentuan ini yang dapat mengangkat anak adalah laki-laki beristri atau pernah beristri dan tidak mempunyai keturunan laki-laki. Sedangkan yang dapat

(5)

51 diangkat sebagai anak hanyalah

anak laki-laki yang belum kawin dan yang belum diambil sebagai anak angkat oleh orang lain. Anak angkat tersebut selanjutnya menggunakan nama keluarga orang tua angkatnya dan mempunyai kedudukan hukum yang sama dengan anak kandung dari orang tua angkatnya serta terputusnya hubungan hukum antara anak angkat dengan orang tua kandungnya.

Dari ketentuan-ketentuan tersebut diatas ddapat disimpulkan bahwa tujuan pengangkatan anak bagi orang-orang golongan warga Negara Indonesia keturunan Tionghoa sebagaimana diatur dalam Stbl. 1917 No. 129 adalah untuk meneruskan atau melanjutkan keturunan dalam garis laki-laki.

2. UU No. 4 Tahun 1974 tentang Kesejahteraan Anak

Dalam ketentuan UU No. 4 tahun 1974 tentang Kesejahteraan Anak dengan tegas ditentukan motif pengangkatan anak yang dikehendaki dalam pengaturan

hukum tentang pengangkatan anak, yaitu untuk kepentingan kesejahteraan anak. Hal tersebut dapat diketahui dari perumusan ketentuan pasal 12 yang selengkapnya berbunyi :

1. Pengangkatan anak menurut adat dan kebiasaan dilaksanakan dengan mengutamakan kepentingan kesejahteraan anak.

2. Kepentingan kesejahteraan anak yang dimaksud dalam ayat (1) diatur lebih lanjut dengan peraturan pemerintah.

3. Penggangkatan anak untuk kepentingan kesejahteraan anak yang dilakukan di luar adat dan kebiasaan, dilaksanakan berdasarkan peraturan perundang-undangan. Sedangkan yang

dimaksud dengan

kesejahteraan anak dalam UU ini adalah suatu tata kehidupan daan penghidupan yang dapat menjamin

pertumbuhan dan

(6)

52 wajar baik secara rohani,

jasmani maupun social. 3. Surat Edaran Direktur jenderal

Hukum dan Perundang-unddangan No. JHA 1/1/2 tanggal 24 Pebruari 1978 tentang Prosedur Pengangkatan Anak Warga Negara Indonesia oleh Orang asing.

Berdasarkan surat edaran tersebut, pengangkatan anak warga Negara inddonesia oleh orang asing hanya dapat dilakukan dengan suatu penetapan Pengadilan Negeri. Tidak dibenarkan apabila pengangkatan anak tersebut dilakukan dengan akta Notaris yang dilegalisir Pengadilan Negeri.

4. SEMA RI No. 6 tahun 1983 tentang penyempurnaan SEMA RI No. 2 tahun 1979 mengenai Pengangkatan Anak yang berlaku sejak tanggal 30 September 1983. Surat Edaran tersebut dikeluarkan bahwa berdasarkan pengamatan Mahkamah Agung, bahwa permohonan pengesahan dann pengangkatan anak yang

diajukan ke Pengadilan Negeri menunjukkan adanya perubahan, pergeseran dan variasi-variasi pada motivasinya.

5. Keputusan Menteri social Republik Indonesia No. 41/HUK/KEP/VII/1984 tentang petunjuk pelaksanaan perizinan pengangkatan anak.

6. SEMA RI No. 4 tahun 1989 tentang Pengangkatan anak; pengadilan negeri untuk mengirimkan salinan putusan/penetapan mengenai pengangkatan anak kepada instansi terkaitt dan satu salinan kepada mahkamah Agung. 7. UU No 23 tahun 2002 tentang

Perlindungan Anak; dalam Bab VIII bagian kedua ketentuan UU ini yaitu yang tentang pengangkatan anak, bahwa pengangkatan anak hanya dapat dilakukan uuntuk kepentingan yang terbaik bagi anak.

8. UU No. 3 tahun 2006 tentang perubahan atas UU No. 7 tahun 1986 tentang Peradilan agama pada pasal 49 huuruf a angka 20 mengatur tentang penetapan

(7)

53 pengangkatan anak berdasarkan

hukum Islam.

AKIBAT HUKUM PENGANGKAT-AN PENGANGKAT-ANAK

Akibat hukum dari pengangkatan anak menurut ketentuan dalam Stbl 1917 No. 129 yang berlaku bagi golongan warga Negara Indonesia keturunan Tionghoa, antara lain : 1. Pasal 11 menyatakan :

Pengangkatan anak membawa akibat dari hukum bahwa orang yang diangkat, jika ia mempunyai nama keturunan lain, berganti menjadi nama keturunan orang yang mengangkatnya dan secara otomatis terputus hubungan nasab dengan orang tua kandung kecuali :

- Mengenai larangan kawin yang berdasarkan pada tali kekeluargaan.

- Mengenai peraturan hukum perdata yang beerdasarkan pada tali kekeluargaan.

2. Pasal 12 ayat (1) menyatakan : Apabila orang tua angkatnya seorang laki-laki yang telah kawin, maka anak angkat serta merta dianggap sebagai anak

yang dilahirkan dari perkawinan mereka.

Pasal 12 ayat (2) menyatakan : Apabila ayah angkatnya seorang suami yang telah kawin dan perkawinannya telah putus, maka anak angkat harus dianggap sebagai anak yang lahir dari mereka yang disebabkan putus karena kematian.

3. Pasal 13 menyatakan :

Apabila seorang janda mengangkat seorang anak, maka ia dianggap dilahirkan dari perkawinan dengan suami yang telah meninggal dunia, dengan ketentuan bahwa ia dapat memasukkan sebagai ahli waris dalam harta peninggalan orang yang telah meninggal dunia sepanjang tidak ada surat wasiat. 4. Pasal 14 menyatakan :

Suatu pengangkatan anak berrakibat putusnya hubungan hukum antara anak yang diangkat dengan orang tuanya sendiri. Sehubungan dengan hal-hal tersebut, maka anak angkat warga Negara Indonesia keturunan Tionghoa berhak mendapatkan harta warisan dari orang tua

(8)

54 angkatnya, dalam hal ini

berlakulah system pewarisan yang diatur dalam KUH Perdata.

METODE PENELITIAN

Penelitian ini menggunakan metode yuridis normative (normative legal research) yang mengacu pada bahan pustaka atau data sekunder. Sumber data penelitian terdiri dari sumber data utama dan sumber data pendukung (tambahan). Sumber data utama menggunakan data sekunder yang berupa bahan hukum primer, bahan hukum sekunder dan bahan hukum tersier. Bahan hukum primer terdiri dari peraturan perundang-undangan yang berlaku di Indonesia sejak jaman penjajahan colonial Belanda sampai sekarang. Bahan hukum sekunder antara lain buku-buku teks hukum, hasil penelitian, jurnal-jurnal hukum, bahan hukum tersier terdiri dari laporan-laporan yang dapat mendukung bahan-bahan primer dan sekunder. Sumber data pendukung menggunakan data primer yaitu data yang diperoleh melalui penelitian lapangan. Teknik pengumpulan data adalah studi

pustaka. Teknik analisa data dengan metode deduksi.

Data-data sekunder yang diperoleh dari studi pustaka tersebut kemudian dianalisa dengan menggunakan metode deduksi yaitu pola berpikir dari hal-hal yang bersifat umum (premis mayor) kepada hal-hal yang bersifat khusus (premis minor). Premis minor dalam penelitian ini adalah prosedur pengangkatan anak dan akibat hukumnya dihubungkan dengan premis mayor pengangkatan anak bagi warga Negara Indonesia keturunan Tionghoa dan akibat hukumnya.

HASIL DAN PEMBAHASAN I. Prosedur pengangkatan anak warga

Negara Indonesia keturunan Tionghoa.

- Pengangkatan anak dapat digolongkan menjadi dua bagian yaitu :

1. Pengangkatan anak antar warganegara Indonesia (adomestic adoption) 2. Pengangkatan anak yang

dilakukan antara orang tua angkat warganegara

(9)

55 Indonesia mengangkat

anak warganegara asing dan orang tua warganegara asing mengangkat anak warganegara Indonesia (inter country adoption). Mengenai pengangkatan anak antar warganegara Indonesia (domestic adoption) dapat dibedakan lagi menjadi dua bagian :

1. Pengangkatan anak yang langsung dilakukan antara orang tua kandung dengan orang tua angkat (private adoption)

2. Pengangkatan anak yang dilakukan antara orang tua yang akan mengangkat anak dengan yayasan social yang mengasuh anak.

Pengangkatan anak bagi mereka (golongan timur asing Tionghoa), dimana mereka tunduk pada KUH Perdata yang menunjuk Stbl. 1917 No. 129 yang mengatur tentang pengangkatan anak.

Pada awalnya pengangkatan anak hanya diperbolehkan bagi mereka yang mengangkat anak

laki-laki saja, yang dilakukan oleh pihak-pihak yang diperbolehkan oleh syarat-syarat tertentu. Tetapi melihat kepentingan anak dan kemajuan zaman, maka melalui Yurisprudensi pemerintah melakukan beberapa perubahan yaitu memperbolehkan pengangkatan anak perempuan dan pengangkatan anak bagi wanita yang belum pernah menikah. Pengangkatan anak menurut stbl. 1917 no. 129 dengan ancaman batal jika tidak memakai akta notaries. Tetapi dengan dikeluarkan SEMA No. 2 tahun 1979 yang kemudian disempurnakan dengan SEMA No. 6 tahun 1983 tentang Pengangkatan Anak, bahwa pengangkatan anak harus dengan putusan atau penetapan Pengadilan Negeri setempat. - Penetapan Pengadilan

Pengadilan Negeri dalam pengangkatan anak masih mempedomani Stbl. 1917 No. 129, yang semula hanya berlaku dilingkungan golongan Tionghoa yang belum memperoleh anak laki-laki, serta SEMA No. 2 tahun

(10)

56 1979, jo No. 6 tahun 1983 jo. No.

4 tahun 1989 tentang Pengangkatan anak, Kep Men. Sos RI No. 41/Huk/Kep/VII/1984 tentang Petunjuk Pelaksanaan Perizinan Pengangkatan Anak yang juga memberi peluang kepada seseorang yang belum berkeluarga untuk mengajukan diri sebagai orang tua angkat. Dalam SEMA No. 6 tahun 1983 (Penyempurnaan Sema No. 2 tahun 1979) tentang Pengangkatan Anak, dalam angka I bagian umum menyebutkan :

- Pengamatan Mahkamah Agung menghasilkan kesimpulan bahwa per-mohonan pengesahan/ pengangkatan anak diajukan kepada Pengadilan Negeri yang kemudian diputus tampak kian bertambah. Baik yang merupakan permohonan khusus pengesahan/ pengangkatan anak. Yang terakhir ini menunjukkan adanya

perubahan/pergeseran/variasi-variasi pada motif dasarnya.

- Keadaan tersebut merupakan gambaran, bahwa kebutuhan akan pengangkatan anak dalam masyarakat makin bertambah dan dirasakan bahwa untuk memperoleh suatu putusan pengadilan. Dalam angka IV mengenai hal-hal yang harus diperhatikan dalam menerima, memeriksa dan mengadili permohonan pengesahan/pengangkatan anak.

Dari hasil peneelitian di Pengadilan Negeri, memberikan peenjelasan dan informasi mengenai prosedur pengangkatan anak, masih tettap mengacu pada SEMA RI No. 6 tahun 1983 tentang penyempurnaan SEMA RI No. 2 tahun 1974 tentang pengangkatan anak.

Permohonan pengesahan/ pengangkatan anak antar warga Negara Indonesia perlu diperhatikan hal-hal sebagai berikut :

1. Syarat dan bentuk surat permohonan(sifatnya voluntair) a. Ada urgensi yang memadai

(11)

57 b. Permohonan bisa secara

lisan atau tertulis

c. Digunakan oleh pemohon sendiri atau kuasanya d. Dibubuhi materai

e. Dialamatkan kepada ketua pengadilan negeri didaerah

hukum tempat

tinggal/domisili anak yang akan diangkat.

2. - Syarat bagi orang tua angkat (pemohon)

1. Pengangkatan anak yang langsung dilakukan antara orang tua kandung dengan orang tua angkat (private adoption) diperbolehkan. 2. Pengangkatan anak yang

dilakukan oleh seorang yang tidak terkait dalam perkawinan sah/belum menikah (single parent adoption) diperbolehhkan. - Syarat bagi calon anak yang

diangkat :

1. Dalam hal calon anak angkat tersebut berada dalam asuhan suatu yayasan social harus dilampirkan surat izin tertulis Menteri social

bahwa Yayasan yang bersangkutan telah diizinkan bergerak dibidang kegiatan pengangkatan anak.

2. Calon anak angkatt yang berada dalam asuhan yayasan social yang dimaksud diatas harus pula mempunyai izin tertulis dari Menteri Sosial atau pejabat yang ditunjuk bahwa anak tersebut diizinkan untuk diserahkan sebagai anak angkat. Setelah dilakukan permohonan pengesahan/pengangkatan anak, berdasarkan SEMA No. 6 tahun 1983 tahap berikutnya adalah dilakukan pemeriksaan di persidangan.

Dalam pemeriksaan di persidangan diperhatikan hal-hal sebagai berikut :

1. Pengadilan Negeri mendengar langsung pihak-pihak yang terkait dengan proses pengangkatan anak. 2. Pengadilan Negeri

memeriksa dan meneliti alat-alat bukti lain yang

(12)

58 dapat menjadi dasar

permohonan ataupun pertimbangan putusan pengadilan. 3. Pengadilan Negeri mengarahkan pemeriksaan dipersidangan. 4. Putusan terhadap permohonan pengesahan/ penggangkatan anak.

3. Putusan dalam hal ini bersifat constitutif, yaitu menciiptakan suatu status atau keadaan hukum baru.

Permohonan pengesahan/ pengangkatan anak merupakan

“PENETAPAN” anak

penetapan berbunyi sebagai berikut :

MENETAPKAN 1. Menyatakan sah

pengangkatan anak yang dilakukan oleh pemohon bernama ……., alamat ………, terhadap anak laki-laki/perempuan bernama ……., umur/tanggal lahir ……….

2. Menghukum pemohon untuk membayar biaya

perkara yang ditetapkan sebesar Rp. ……

II. Kedudukan Anak Angkat Warga Negara Indonesia keturunan Tionghoa

Akibat hukum yang terpenting dari pengangkatan anak ialah yang berkaitan dengan kekuasaan orang tua, hak waris, hak pemeliharaan dan juga soal nama. Akibat hukum yang paling pokok dan paling besar adalah apa yang disebutkan dalam pasal 12 Stbl. 1917 No. 129, yang mengatakan :

1. Jika suami istri mengangkat seseorang sebagai anak mereka, maka dianggaplah anak itu dilahirkan dari perkawinan mereka.

2. Jika si suami mengankat seorang anak, settelah karena kematian isterinya perkawinan bubar, maka dianggaplah anak yang dilahirkan dari perkawinan laki-laki itu, yang bubar karena kematian.

Sebagai akibat dari tindakan pengangkatan anak, peembuat Undang-undang membuat fiksi,

(13)

59 seakan-akan orang yang diangkat

anak dilahirkan dari perkawinan suami istri yang mengangkat anak.

Konsekuensi lebih lanjut adalah, bahwa karena dianggap dilahirkan dari perkawinan orang yang mengangkat anak, maka ddalam keluarga anak angkat berkedudukan sebagai anak sah. Sekarang dengan adopsi itu, pada asasnya semua hubungan kekeluargaan dengan keluarga asalnya menjadi hapus (pasal 14 Stbl. 1917 No. 129) dan sekarang timbul hubungan kekeluargaan dengan keluarga yang mengangkat anak, yang semula mungkin saja bukan apa-apanya (pasal 12 Stbl. 1917 No. 129). Akibat yang paling nyata adalah akibat hukum dalam hukum waris. Anak angkat tidak lagi mewaris dari keluarga sedarah asalnya, sebaliknya ia sekarang mewaris dari keluarga ayah dan ibu yang mengangkatnya.

Mengenai pengangkatan anak bagi golongan warga Negara Indonesia keturuna Tionghoa, diharuskan pengangkatan anak

laki-laki, demikian sebagaimana ditentukan dalam pasal 6 Sstbl. 1917 No. 129. Akan tetapi sehubungan dengan per-kembangan zaman, adopsi anak perempuan dibolehkan, karena kalangan warga Negara Indonesia keturunan Tionghoa sedikit demi sedikit meninggalkan sifat patrilinial, sehingga sekarang lebih bercorak parental. Bahwa pendapat tersebut sesuai dengan asas persamaan hak, dengan adanya pertimbangan hukum dalam putusan terseebut, dapat dukatakan pengangkatan anak laki-laki dan perempuan sama. Demikian juga dengan hak waris anak angkat, baik antara laki-laki dengan perempuan sama yaitu dengan menganut system kekerabatan keluarga yang bersifat parental. Akan tetapi akan muncul persoalan yaitu, apakah hak waris anak yang diangkat tersebut sama juga dengan anak sah, khususnya hak bagian mutlak (legitieme portie) yang diatur dalam KUH Perdata.

Pasl 913 KUH Perdata menentukan tentang bagian

(14)

60 mutlak (legitieme portie), yaitu

suatu bagian dari harta peninggalan yang harus diberikan kepada para ahli warris yang berada dalam garis lurus menurut Undang-undang. Si pewaris tidak diperbolehkan menetapkan sesuatu, baik selaku pemberian antara yang masih hidup maupun selaku wasiat.

Pasal 12 ayat (1) Stbl. 1917 No. 129, yang mengatakan :”Jika suami istri mengangkat seseorang sebagai anak mereka, maka dianggaplah anak itu dilahirkan dari perkawinan mereka”. Menurut pendapat penulis, jika pengertian “dianggaplah anak itu dilahirkan dari perkawinan mereka” dianalogikan, maka anak angkat sebenarnya mempunyai hak yang sama dengan anak kandung dalam artian memiliki hak atas bagian mutlak (legitieme portie).

KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan :

1. Prosedur pengangkatan anak warga negera Indonesia keturunan

Tionghoa, dimana mereka tunduk pada KUH Perdata yang menunjuk pada Stbl. 1917 No. 129 yang mengatur tentang pengangkatan anak.

2. Permohonan

pengesahan/penggangkatan anak bagi warga Negara Indonesia keturunan Tionghoa harus tetap mengacu pada SEMA No. 6 tahun 1983 tentang penyempurnaan SEMA RI No. 2 tahun 1979. 3. Dalam permohonan pengeesahan

pengangkatan anak harus nampak bahwa tujuan utama untuk kepentingan calon anak yang bersangkutan dan digambarkan kemungkinan kehidupan hari depan si anak setelah pengangkatan anak terjadi.

4. Kedudukan anak angkat sama seperti anak kandung (anak sah), sebagai akibat dari tindakan pengangkatan anak, seakan-akan orang yang diangkat anak dilahirkan dari perkawinan suami istri yang mengangkat anak. 5. Anak angkat punya hak waris

sama seperti anak kandung yang tunduk pada KUH Perdata.

(15)

61 Saran :

1. Pengangkatan anak merupakan suatu lembaga hukum yang keberadaannya sangat dibutuhkan oleh masyarakat, maka perlu adanya payung hukum yang bisa memecahkan persoalan-persoalan

yang berkaitan dengan pengangkatan anak.

2. Perlu ppeengkajian dalam hal pewarisan, sehubungan dengan pengaturan legitieme portie dalam KUH Perdata kaitanya dengan hak waris.

DAFTAR PUSTAKA

Burhan Bungin, 2001. Metode

Penelitian Kualitatif,

Jakarta, Rajawali Pres, halaman 15-20.

Gosifa, Arif, 2004. Masalah

Perlindungan Anak,

Jakarta, Bhuana Ilmu Populer, hal 42.

J. Satrio, 2005. Hukum Keluarga Tentang Kedudukan anak Dalam Undang-undang, Bandung, PT. Citra Aditya Bakti, Halaman 242.

Soimin, Soedharjo, 2004. Himpunan

Dasar Hukum

Pengangkatan anak,

Jakarta, Sinar Grafika, halaman 78.

Zaini, Muderia, 1999. Adopsi Suatu Tinjauan dari Tiga Sistem

Hukum, Jakarta; sinar

Grafika, halaman4.

Surat Edaran Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 6 Tahun 1983 Tentang Penyempurnaan Surat Edaran Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 2 tahun 1979 tentang Pengangkatan Anak.

Statsblad. 1917 Nomor 129

Undang-undang nomor 4 tahun 1979 tentang Kesejahteraan Anak.

Referensi

Dokumen terkait

Budaya organisasi merupakan salah satu elemen terpenting dalam suatu perusahaan, karena dengan budaya organisasi yang diciptakan dan dikomunikasikan dengan baik,

Secara umum penelitian ini bertujuan pengembangan ilmu hukum dalam bidang hukum perdata yang mengenai pemahaman terhadap prosedur eksekusi hak tanggungan yang dibebani hak sewa

Berdasarkan uraian pada latar belakang masalah dan adanya riset gap pada faktor-faktor yang diduga berpengaruh terhadap kepuasan dan keputusan pembelian ulang Rumah

Penelitian ini dilakukan di dua tempat, yaitu penelitian yang dilakukan tahap satu tes awal yang dilakukan di laboratorium hama dan penyakit tanaman dan untuk

Pengembangan kemampuan sains pada kegiatan metode bertanam kacang hijau bertujuan untuk mengambangkan kemampuan kognitif anak melalui pembelajaran praktek langsung

Mengingat ibadah umrah dan haji haruslah ditempuh dengan dana yang halal, tidak boleh pada dana yang samar (syubhat) apalagi yang haram, karena apabila dana yang digunakan

[r]

Setelah ditayangkan cerita inspiratif tentang kaya dan miskin melalui video pembelajaran (Integrasi ICT), siswa mampu Menuliskan (C6) sikap yang perlu dikembangkan dalam hal